BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan atau tanda, yang merupakan akibat dari kelainan setempat atau penyakit umum. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari baik pada anak maupun pada usia lanjut dan 90% epistaksis dapat berhenti sendiri (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri dengan cara menekan hidungnya tanpa memerlukan bantuan medis. Umumnya pada epistaksis terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret yang berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahannya. Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak dan bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu untuk memanggil dokter. Epistaksis yang berat , walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien. Bahkan dapat berakibat fatal bila tidak segera ditolong. 1 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi hidung pada Epistaksis? 2. Bagaimana vaskularisasi pada Epistaksis? 3. Bagaimana inervasi persyarafan pada hidung? 4. Apa etiologi dari Epistaksis? 5. Bagaimana perawatan pada Epistaksis? C. Tujuan 1. Untuk dapat mengetahui bagaimana anatomi, vaskularisasi, dan inervasi pada Epistaksis 2. Untuk dapat mengetahui penyebab dari Epistaksis 3. Untuk dapat mengetahui bagaimana perawatan pada Epistaksis 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Hidung 1. Anatomi Hidung Luar Hidung terdiri atas bagian hidung luar dan hidung dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dan bibir atas, struktur hidung luar dibedakan atas 3 bagian: yang paling atas ( kubah tulang yang tidak dapat digerakkan ), dibawahnya ( terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ), dan yang paling bawah ( terdapat lobules yang dapat digerakkan ). Bentuk hidung luar seperti pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) Pangkal hidung ( bridge ) 2) Batang hidung ( dorsum nasi ) 3) Puncak hidung ( hip ) 4) Ala nasi 5) Kolumela 6) Lubang hidung ( nares anterior ) Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka hidung terdiri dari: 1) Tulang hidung ( os nasal ) 2) Proseus frontalis ( os maksila ) 3) Proseus nasalis ( os frontalis ) Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1) Sepasang kartilago nasalis lateris superior 2) Sepasang kartilago nasalis lateris inferior ( ala mayor ) 3) Tepi anterior kartilago septum 3 2. Anatomi Hidung Dalam Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam 2.1. Septum Nasi Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum ( kuadrilateral ), premaksila dan kolumela membranosa, bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid. 2.2. Kavum Nasi Kavum nasi terdiri dari: 1) Dasar hidung Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. 4 2) Atap hidung Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os spenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. 3) Dinding lateral Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatinum dan lamina pterigoideus medial. 4) Konka Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan disebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat ( konka suprema ) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagia superior dan palatum. 2.3. Meatus Superior Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang antara septum dan massa lateral os etmoid diatas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka 5 superior dan didepan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. 2.4. Meatus Media Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penononjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara dibagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri didepan infundibulum. 2.5. Meatus Inferior Meatus inferior adalah yang terbesar diantara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm dibelakang batas posterior nostril. 2.6. Nares Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat disebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis 6 palatum, bagian dalam ole hos vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar olah lamina pterigoideus. 2.7. Sinus Paranasal Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung trdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan spenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa dan puncaknya menghadap kea rah apeks prosesus zygomatikus os maksila. B. Vaskularisasi Hidung Suplai darah kavum nasi berasal dari system karotis, arteris karotis eksterna dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai sarah terbanyak pada cavum nasi melalui: 1. Arteri spenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui fenomena sphenopaltina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung. 2. Arteri palatine desenden memberikan cabang arteri palatine mayor, yang berjalan melalui kanalis incicivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. 3. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri etmoid anterior dan dinding posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior. 7 Vaskularisasi barasal dari sistem karotis interna dan eksterna. Arteri carotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior. Cabang etmoidalis anterior dan posterior menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan arteri stenopalatina dan arteri palatina mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna yang menyuplai darah pada conc, meatus, dan septum nasalis. Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui anastomisis. Suatu vleksus vaskuler disepanjang bagian anterior septum katilaginosa menggabungkan anastomisis ini dan dikenal sebagai Little Area atau Pleksus Kiesselbech. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan subjek trauma fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epostaksis tersaring. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial 8 Jaringan limfatik berasal dari mukosa superfisial. Jaringan limfatik anterior bermuara disepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan limfatik posterior terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok superior bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media menuju ke kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior menuju ke kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis interior yang merupaakan cabang n.nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n.maksilaris, serabut paasimpatis dari n.petrosus superfisial mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang da sedikit diujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerha sepertiga atas hidung. 9 C. Inervasi Hidung Inervasi intranasal dilakukan oleh n.etmoidale, n.etmoidale anterior, dan n.nasopalatina. Hidung bagian luar di inervasi oleh n.etmoidale anterior, n.infraorbitalis, n.infratoklearis dan supratroklearis ( Gambar 2B ), n.supratoklearis dan n.infratoklearis merupakan cabang n.optalmikus memberikan inervasi sensorik kulit bagian proksimal dan lateral dorsum nasi n.ertmoidale anterior memberikan inervasi kulit bagian distal dorsum nasi dan apeks nasi. Nervus ini muncul diantara sisi kaudal os.nasal dan kartilago nasalislateris superior. Cedera pada saraf ini saat insisi dapat menyebabkan mati rasa pada daerah tersebut. Ganglion spenopalatina yang berasal dari ujung konka media memberikan inervasi dibagian posterior kavum nasi. Cabang interna n.etmoidale anterior dan posterior serta n.nasopalatina saling menyilang pada bagian superior dan posterior intranasal untuk memberikan inervasi sensorik pada sebagian septum nasi. 10 D. Etiologi Epistaksis Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalu lintas. Disamping itu juga dapat disebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusistis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma , karsinoma dan angiofibroma. Tiwari ( 2005 ) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak biasa. Hipertensis dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arteriosklerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukimia serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-Osler-Weber disease. Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer. E. Perawatan Epistakis Prinsisp perawatan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan , hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai terapi 11 pendukung pada pasien epistaksis. Bila pasien datang dengan epistaksis, periksa keadaan umumnya, nadi, pernafasan, serta tekanan darah. Bila ada kelainan , atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini sering kali berhasil, Bila sumber perdarahan dapat terlihat, dapat dikauterisasi dengan larutan Nitrat Argenti ( AgNO3 ) 25-30%. Bila perdarahan masih berlangsung maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini berfungsi agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dipasang tampon baru. Pasien juga harus diberikan antibotik spektrum luas untuk mencegah infeksi akibat pemasangan tampon ( Iskandar, 2006 ). Gambar. Tampon anterior Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilkukan pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocg. Tampon ini terbuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 buah benang. 2 di satu 12 sisi dan 1 sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon Bellocg, dapat digunakan Folley dengan balon. Gambar. Tampon Posterior Penanganan yang lebih efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi pembuluh darah yang rupture pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligase arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung: a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligase arteri sclerosis eksterna. Tindalan ini dapat dilakukan dibawah anastesi local. Dibuat insisi horixontal sekitar dua jari dibawah batas mandibular yang menyilang pinggir anterior muskulus sternokleidomastoideus. Seteleh flap subplastima dielavasi, muskulus sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan kearah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian arteri karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligase dibawah arteri faringeal asendens, terutaman apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen. 13 b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi local atau umum, lalu dilakukan insisi Caldwell-Luc dan dibust lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sunus posterior dengan melakukan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela ( window ) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Denan operatin microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandalan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pteringopalatina diseksi dengan menggunakan denan menggunakan dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi antibiotik selama 24 jam. c. Ligasi Arteri Etmoidalis Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm.sebelah anterior nervus optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.Dua klem arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior, dan rongga hidung 14 dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. 15 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan atau tanda, yang merupakan akibat dari kelainan setempat atau penyakit umum. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari baik pada anak maupun pada usia lanjut dan 90% epistaksis dapat berhenti sendiri (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri dengan cara menekan hidungnya tanpa memerlukan bantuan medis. Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak dan bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu untuk memanggil dokter. Epistaksis yang berat , walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien. Bahkan dapat berakibat fatal bila tidak segera ditolong. B. Saran Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua dan menambah pengetahuan bagi kita. 16 DAFTAR PUSTAKA 1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok. Edisi 4. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2000. hal 89-91. 2. Jafek BW. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. In: Jafek BW, Murrow BW, eds. ENT secrets. 3thed. New York: Elsevier Inc; 2007.p.100-7. 3. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 – 27, 112 – 6. 4. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 – 31. 5. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol, 2005. Vol. 30 (2): 209 – 10. 6. Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik. Jurnal Kesehatan Andalas. 2(3): 178-182. 17