Uploaded by User56318

imunoterapi

advertisement
MAKALAH IMUNOLOGI
TENTANG IMUNOTERAPI KANKER DAN DEGENERATIF
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
Gabriel Frangkie Assa(19101105045)
Tjandra Rumagit (19101105049)
Tabita Pasaribu (19101105052)
Alda Lapian (19101105054)
Alvina payawa (19101105055)
Ath Thariq F A Ghanny (19101105056)
Beatrice Simaremare (19101105057)
Cheisy Lengkong (19101105070)
Marcelino Dien (19101105074)
Shania Polii (19101105081)
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
IMUNOTERAPI
A. DEFINISI
Imunoterapi adalah peningkatan daya tahan tubuh terhadap penyakit dengan
meningkatkan pengadaan antibodi dalam tubuh. Imunoterapi adalah pengobatan
yang bertujuan mengubah reaksi imunologik untuk menguntungkan penderita pada
suatu proses penyakit (Davies dalam Wiyono dan Yunus, 1991). Pengobatan ini
bersifat individual, periodik dan memakan waktu lama (Wells dalam Wiyono dan
Yunus, 1991).
B. IMUNOTERAPI PENYAKIT KANKER
Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh perkembangan
populasi sel yang lolos pada pertumbuhan regulasi normal, replikasi, dan
diferensiasi dan yang menyerang jaringan di sekitarnya. Kanker dihasilkan dari
fungsi sel yang abnormal dan kelainan ini hasil dari mutasi dalam struktur
nukleotida DNA yang paling sering diperoleh selama hidup (mutasi somatik)
(Wiseman, 2007).
Kanker dapat dianggap sebagai penyakit dari sel-sel tubuh yang
berkembang secara abnormal. Pengembangannya melibatkan kerusakan pada selsel DNA (Deoxyribonucleic Acid), dan kerusakannya ini terakumilasi dari waktu
ke waktu. Sel-sesl ini merusak dan melepaksan diri dari mekanisme yang berfungsi
untuk melindungi dari pertumbuhan dan invasi atau penyebaran ke jaringan lain.
Pertumbuhan neoplasma ganas biasanya merusak jaringan sekitarnya dan dapat
menyebar ke organ lainnya, proses ini dikenal sebagai metastasis (Grant, 2008).
B.1 Gejala kanker
Gejala yang muncul akan berbeda-beda pada setiap pengidapnya,
tergantung jenis kanker yang dialami dan organ bagian mana yang terkena.,
beberapa gejala umum yang kerap dirasakan oleh pengidap kanker, meliputi:

Tubuh menjadi cepat lelah.

Wajah pucat.

Nyeri pada bagian yang terkena.

Penurunan berat badan.

Gangguan buang air besar dan buang air kecil.

Demam yang datang dan pergi.

Memar dan pendarahan secara tiba-tiba.

Batuk kronis.
Menurut Corwin (2001), Wilson ( 2003), dan Escott (2008), terdapat
beberapa gejala kanker yang secara khusus berdasarkan jenis kanker yang dialami,
yaitu :
a. Kanker Paru-paru
Batuk persisten, dispnea, nyeri pleura (dada), hemoptisis ( batuk berdarah
). Aneroksia, penurunan berat badan adalah manifestasi kanker paru yang
lanjut.
b. Kanker Payudara
Adanya benjolan, penebalan kulit ( tickening), perubahan bentuk, kulit
menjadi merah , panas , edematosa ( pembengkakan), beridurasi ( benjolan
) dan nyeri.
c. Kanker Lambung
Gejala dini rasa sedikit tidak enak pada abdomen bagian atas, rasa penuh
setelah makan.Pada akhirnya terjadi aneroksia dan penurunan berat badan.
d. Kanker Kolon
Perubahan kebiasaan defekasi, pendarahan, nyeri, aneroksia dan penurunan
berat badan.
e. Kanker kandung kemih atau ginjal
Ada darah pada seni, rasa sakit atau perih pada saat buang air kecil,
keseringan atau kesulitan buang air kecil, sakit pada kandung kemih.
f. Kanker prostat
Kencing tidak lancar, rasa sakit ketika buang air kecil rasa terbakar.
g. Leukimia
Pucat, kekelahan kronis, penurunan berat badan, anemia , mual , muntah
dan demam.
h. Kanker otak
Sakit kepala sering merupakan manifestasi kanker otak stadium lanjut.
i. Kanker Mulut
Bengkak kecil di dasar mulut yang dapat bergerak dan tidak menimbulkan
nyeri.
j. Kanker hati
Nyeri akut karena pendarahan dari tumor, acites ( penumpukan cairan di
rongga perut), nafsu makan menurun dan muncul ikterus ( kuningan )
k. Kanker Pankreas
Penurunan nafsu makan, penurunan berat badan dan nyeri punggung.
l. Nasofaring
Gejala pertama baru muncul setelah pertumbuhan masuk meluas
kelingkungan sekitar misalnya menyebabkan mata juling, tuli satu telinga
dan bengkak dileher akibat metastatis di kelenjar limfe leher.
m. Kanker serviks
Gangguan silus haid, keputihan berlebihan dan bau busuk, penderita sering
mendadak sakit perut.
B.2 Pengobatan Kanker
Meskipun pengobatan kanker seperti operasi, kemoterapi, radiasi telah
meningkatkan masa hidup penderita, manipulasi respon imun terhadap kanker
untuk meningkatkan destruksi kanker, merupakan hal yang penting. Mengontrol
kanker dengan cara-cara imunologis berperan dalam eradiksi kanker primer,
metastasis, dan residu yang tertinggal setelah regimen terapi konvensional.
Imunoterapi adalah bentuk terapi kanker yang baru diciptakan yang
memanfaatkan dua sifat atau ciri utama dari sistem imun : spesifitas dan daya ingat.
Imunoterapi dapat digunakan untuk mengidentifikasi tumor dan memungkinkan
pendeteksian semua tempat metastasis yeng tersembunyi. Imunoterapi dapat
merangsang sistem kekebalan penjamu agar berespon secara lebih agresif terhadap
tumor , atau sel sel tumor dapat diserang oleh antibodi yang dibuat di laboratorium.
Imunoterapi
yang digunakan seperti ; Antibodi Berlabel Fluoresen,
Stimulan Imunitas dan Antibodi penyerang. Selain itu, sedang dikembangkan
terapi yang didasarkan pada biologi molekuler sel tumor yang khas yang berbeda
dengan sel – sel non kanker, contoh terapi biologi untuk tumor yang menggunakan
obat-obat yang secara spesifik menghambat faktor angiogenesis dan enzim-enzim
tumor tertentu misalnya tipe IV. Hasil imunoterapi yang ideal adalah eradiksi
spesifik kanker dengan kerusakan minimal terhadap sel normal penjamu.
a)
Imunoterapi Pasif
1.
Antibodi Monoklonal
Imunoterapi (IT) pasif yang menggunakan antibody monoclonal
(mAb) untuk menghancurkan sel ganas telah dicoba, namun tidaklah
spesifik. Anti CD20 adalah mAb yang banyak digunakan dalam onkologi.
mAb membunuh sel kanker melalui apoptosis atau aktivasi komplemen,
ADCC atau fagositosis. Sebagai contoh CD20 diekspresikan pada sel B
normal dan sel limfoma.Infus anti CD20 dapat mengurangi atau
menyembuhkan 50% limfoma sel B.
Anti CD20 menghancurkan sel B ganas melalui aktivasi komplemen
dan sitotoksisitas selular, serta menginduksi apoptosis sel B. Anti-CD20
telah pula dikonjugasikan dengan bahan radioaktif untuk menghantarkan
dosis tinggi radioaktif langsung ke tempat kanker. Anti-CD20 juga
merusak sel normal dan bila dilabel dengan bahan radioaktif dapat juga
digunakan untuk mengetahui luas penyebaran limfoma dalam tubuh.
2.
Imunotoksin
Imunoterapi dengan mAb terhadap TAA telah dicoba bersama
toksin yang dapat mencegah proses selular atau bersama radioisotop yang
membantu membunuh DNA dan melepas partikel dengan energy tinggi.
Namun dosis yang diperlukan adalah tinggi dan toksik untuk sumsum
tulang. Cara pemberian antibody ini belum nampak berhasil.
b)
Imunoterapi Aktif
Imunoterapi aktif telah digunakan dalam usaha mencegah anergi sel T.
Anergi terjadi bila antigen kanker dipresentasikan ke sel T tanpa bantuan
molekul konstimulator.Jalan mudah untuk melakukan hal itu ialah dengan
menginfuskan sitokin. IL-2 akan mengaktifkan sel T dan sel NK secara
langsung. Namun IL-2 dapat menimbulkan efek samping berat yaitu kebocoran
kapiler, edem dan hipotensi.Pemberian IFN sistemik, baik IFN-α dan IFN-β
meningkatkan ekspresi MHC-1.IFN juga menunjukkan efek anti-proliferasi
terhadap sel kanker, meskipun pemberian sistemik memberikan efek samping.
c)
Lymphokine Activated Killer cells
CTC/Tc dapat diaktifkan di luar tubuh dan kemudian diinfuskan
kembali dengan atau tanpa IL-2.Limfosit perifer dibiakkan dengan IL-2 untuk
memperoleh Lymphokine Activated Killer (LAK) sitotoksik yang diaktifkan.
Sel tersebut tidak lain adalaha sel NK, jadi tidak mempunyai spesifisitas sel T,
tetapi hanya bereaksi dan membunuh sel kanker saja yang tidak atau sedikit
mengekspresikan MHC-I. Cara tersebut menunjukkan toksisitas yang
bermakna.
d)
Tumor Infiltrating Lymphocyte
Pada pemeriksaan histologi kanker padat ditemukan infiltrasi sel.
Tumor.Infiltrating Lymphocyte (TIL) tersebut terutama terdiri atas makrofag
dan limfosit yang terdiri atas sel NK dan CTL.Seperti halnya dengan LAK,
TIL diperoleh dari penderita dengan kanker, diaktifkan dengan IL-2.TIL
adalah limfosit CD8+ yang diperoleh dari kanker penderita yang beberapa
diantaranya spesifik untuk kanker.Cara yang juga menginfuskan kembali ke
penderita dengan atau tanpa IL-2 ini menunjukkan toksisitas yang berarti.
e)
Macrophage Activated Killer Cells
Pendekatan lain yaitu menggunakan sitokin dan makrofag yang
diaktifkan. Monosit diisolasi dari darah perifer penderita dengan kanker,
dibiakkan in vitro dengan sitokin (IFN-ɣ) yang mengaktifkan sel dan
meningkatkan
sitotoksisitas
sebelum
diinfuskan
kembali
ke
penderita.Meskipun sel yang diperoleh sangat sitotoksik dan fagositik, namun
non-spesifik.
C. IMUNOTERAPI PENYAKIT DEGENERATIF
Penyakit degeneratif adalah penyakit yang mengiringi proses penuaan.
Sistem imun mengalami perubahan seiring bertambahnya umur, karena terjadi
kemunduran respon imun seluler dan humoral terhadap antigen, juga terjadi
peningkatan respon imun terhadap autoantigen.Timbulnya penyakit degenerative
berhubungan dengan penyakit
autoimun dimana system imun tidak mengenali jaringan tubuh sendiri dan
menyerangnya. Gangguan ini bercirikan terdapatnya auto-antibodi atau sel T
autoreaktif, dan lazimnya dibagi dalam dua kelompok : - auto-imunitas organ
spesifik (menyangkut organ tunggal), misalnya anemia; - auto-imunitas non-organ
spesifik (menyangkut pelbagai organ) misalnya SLE, rema, MS. (multiple sclerosis
= banyak pengerasan, cth bicara kaku, kaki tangan kaku, persendian kaku.
Penyakit degeneratif yang dibahas ada dua macam yaitu penyakit generative
yang disebabkan karena gangguan autoimun yaitu rema dan diabetes mellitus tipe
1.
1. PENYAKIT REMA (ARTHRITIS RHEUMATICA)
Arthitis rheumatic, singkatan A.R., rematik atau rema adalah
penyakit sendi kronis dan sistematis yang termsuk kelompok gangguan auto-imun.
Bercirikan perubahan-perubahan beradang kronis dari sendi dan membrannya
(Synovium) dan kemudian destruksi tulang rawan dengan perubahan anatomis.
Yang khusus dihinggapi rema adalah persendian tangan dan kaki, lutut, bahu, dan
tengkuk.
Gejalanya yang khas berupa bengkak dan nyeri simetris di sendi-sendi
tersebut. Nyeri ini paling hebat waktu bangun pagi dan umumnya berkurang setelah
melakukan aktivitas. Nyeri waktu malam dapat menyulitkan tidur. Sendi-sendi
menjadi kauk waktu pagi (morning stiffnes), sukar digerakkan dan kurang
bertenaga, khususnya juga setelah bangun selama 1-2 jam lebih. Gejala lainnya
adalah perasaan lelah dan malaise umum. Pada lebih kurang 20% dari pasien
terdapat benjolan-benjolan kecil (noduli), terutama di jeriji serta pergelangan
tangan dan kaki.
Jalannya penyakit. Rema berlangsung dengan serangan bergelombang
secara progresif, artinya berangsur-angsur bertambah berat akibat degenerasi tulang
rawan. Sering kali penyakit ini mengakibatkan cacat seperti pada artrose akibat
pertumbuhan sendi yang keliru, misalnya jeriji dan tangan membengkok. Progres
rema sukar diramalkan, kadang-kadang kerusakan hanya terbatas tetapi adakalanya
terjadi dekstruksi hebat setelah beberapa tahun sampai puluhan tahun, yang dapat
menyebabkan invaliditas. Selain itu, sering kali terjadi komplikasi-komplikasi di
luar sendi (extra articular) misalnya di paru-paru, jantung, ginjal, kulit (nodules),
dan organ-organ lain.
Prevalensi rema menghinggapi kira-kira 2% dari populasi baik di Negaranegara dingin dan lembab seperti Eropa Barat. Insidensinya kira-kira tiga kali lebih
sering pada wanita daripada pria. Rema dapat timbul sejak usia 10 tahun, tetapi
paling sering antara 30-40 tahun. Pada penyakit ini, factor keturunan memegang
peranan yang nyata.
A. Pathogenesis
Rema merupakan suatu penyakit auto-imun, dimana antibody tubuh
menyerang dan merusak organ/jaringan sendiri. Penyakit diawali dengan masuknya
suatu antigen (entah mikro-organisme atau zat lain) ke dalam sirkulasi. Antigen ini
diperangkap oleh makrofag, tetapi tidak dimusnahkan atau dikeluarkan karena
sebab-sebab yang tidak diketahui. Akibatnya adalah terbentuknya antibodies dari
jenis igM, yang disebut factor rema. Antigen dan antibodies bergabung dengan
komplemen
dan
menghasilkan
suatu
imunokompleks,
yang
kemudian
menimbulkan serentetan reaksi peradangan. Akibat penggabungan ini antara lain
terjadi pelepasan zat-zat chemotactic, yang berdaya menarik lekosit tertentu
(neutrofil) ke daerah peradangan (Yun. taxis=pergerakan, regulasi). Dalam 24 jam,
kira-kira satu milyar neutrofil menginvasi sendi bersangkutan. Granulosit tersebut
“memakan” imunokompleks (fagocytose), lalu mati sambil melepaskan enzimenzim lysosomal, seperti protease, glikoprotease dan fosfatase. Semua enzim ini
dapat merusak tulang rawan dan bahan dasar tulang (matrix).
Bila tulang rawan mengalami kerusakan, jaringan kuat itu pecah dab
proteoglycan dapat lolos. Akibatnya, tulang rawan hilang kekuatan dan
fleksibilitasnya. Berhubung tidak memiliki pembuluh darah atau neuron, maka
kerusakannya pada umumnya tidak dapat diperbaiki lagi (irreversible). Zat-zat
peronbakan dari tulang rawan dan sisanya kemudian dapat bekerja sebagai antigen
lagi dan siklus peradangan senantiasa berlanjut.
B. Diagnosa
Pertama-tama didasarkan atas gejala tersebut di atas dan dapat dipastikan
melalui foto X-ray yang pada umumnya selama 6 bulan pertama belum
menunjukkan kelaian sendi. Selain itu, di dalam darah dapat ditentukan adanya
factor rema (=IgM), kenaikan laju endap eritrosit, dan turunnya kadar hemoglobin
(anemia), yang semuya tidak spesifik bagi rema. Lebih khas lagi adalah tes endapan
mucine dalam cairan synovial (di antara sendi) serta pemeriksaan mikroskopis dari
nodule dan jaringan synovial, (di antara sendi) serta pemeriksaan mikroskopis dari
nodule dan jaringan synovial, yang memperlihatkan kelainan-kelainan tertentu.
C. Pengobatan
Guna menanggulangi gejala nyeri, peradangan dan kelakuan banyak digunakan
analgetika antiradang dan kortikosterida.
a. Analgetika antiradang atau NSAIDs (Non-Steroidal Anti-inflmaatory
Drugs) sangat berguna untuk menghalau gejala rema. Obat ini lebih efektif
daripada analgetika perifer(parasetamol, asetosal atau kombinasinya denga
obat antinyeri lain). Respons individual untuk NSAIDs amat bervariasi,
maka sebaiknya dicoba beberapa obat untuk menentukan obat mana yang
paling efektif bagi pasien tertentu. Setiap obat hendaknya diminum selama
1 minggu. Pilihan pertama adalah obat denga relative sedikit efek
sampingnya, seperti ibuprofen, ketoprofen, naproksen, dan diclofenac, juga
obat selektif baru nabumeton dan meloxicam. Yang ternyata efektif untuk
morning stiffness adalah zat-zat long-acting atau sediaan time-release yang
diminum sebelum tidur, misalnya diklofenac retard 75 mg. Sebagai obat
tambahan, kombinasi parasetamol dengan kodein atau propoksifen sering
kali sangat ampuh.
Penggunaan
jangka
panjang
dianjurkan
dengan
tambahan
suatu
penghambat asam lambung (omeprazol, lansoprazol, pantoprazol) atau zat
pelindung mukosa misopristol guna mencegah terjadinya tukak lambung .
b. Kortikosteroid sangat efektuf tetapi sering kali mengakibatkan efek
samping dan tetapi sukar dihentikan, maka terutama digunakan bila
penyakit menjadi parah (exacerbatio). Misalnya, pada penderita lansia,
exacerbasi dapat diatasi dengan dosis rendah prednisone (sekecil 10 mg)
yang sepanjang tahun dapat dikurangi sampai dosis pemeliharaan. Tetapi,
pada pasien yang lebih muda diperlukan dosis yang jauh lebih tinggi untuk
waktu yang lama dengan resiko efek samping besar (6,7). Secara
intraartikuler, kortikosteroid digunakan untuk kekuatan dan nyeri hebat
pada sendi
c. Obat-obat
supresif
long acting, juga disebut DMARD’S (Disease
Modifying AntirheumaTIC Drugs) memiliki khasiat antiradang kuat. Obat
ini juga berdaya anti-erosif, artinya dapat menghentikan atau memperlambat
progress kerusakan tulang rawan. Senyawa-senyawa ini tidak dapat
menghentikan atau memperlambat progress kerusakan tulang rawan.
Senyawa-senyawa ini tidak bekerja analgetis, maka biasanya dikombinasi
dengan NSAIDs guna memperkuat efeknya.
IMUNOSUPRESIVA
Imunosupresiva adalah zat-zat yang justru menekan aktivitas system-imun
dengan jalan interaksi di pelbagai titik dari system tersebut. Titik kerjanya dalam
proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokine, sehingga mata
rantai penting dalam respons-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial
bagi perbanyakan dan diferensiasi limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek
sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan
pemberian antibody terhadap limfosit.
PENGGUNAAN IMUNOSUPRESIVA
Penggunaannya. Imunosupresiva banyak digunakan untuk mencegah reaksi
penolokan pada transplantasi organ, karena tubuh membentuk antibody terhadap
sel-sel asing yang diterimanya. Guna mencegah penolakan transplantasi selalu
diberikan:
-
Kortikosteroida
-
Azatioprin, siklofosfamida, atau mycofenolat
-
Siklosporin-A dan tacrolimus
-
Limfositimunoglobulin (lumfoglobulin)
Obat-obat imunosupresif lain adalah sulfasalazin dan talidomida.Guna
menekan aktivitas penyakit autoimun sering digunakan zat-zat imunosupresif.
Misalnya pada rematik dan penyakit radang usus (colitis ulcerosa, M. crohn)
diberikan sulfasalazin dan sitostatika (MTX, azatropin) dengan hasil baik.
Penyakit autoimun. Pada gangguan ini, fungsi system-imun terganggu akibat
adanya auto-antibodi, pada mana limfo-T dan NK-cells menyerang jaringan dan
organ tubuh sendiri.
Keadaan ini dapat terjadi bila system-imun tidak berdaya (lagi) untuk
mengenali jaringan tubuh sendiri sebagai miliknya dan menyerangnya. Gangguan
autoimun terkenal adalah rema, diabetes tipe I, dan radang tiroid. Penyebab
mengapa system tangkis kehilangan daya pengenalannya belum begitu jelas,
meskipun diketahui bahwa faktor genetis, hormonal, viral dan lingkungan berperan
pada manifestasi dan hebatnya penyakit.
Auto-antibodies dalam keadaan normal juga dibuat oleh system imun, tetapi
segera dinonaktifkan oleh makrofag dan limfo-T. bila produksinya terlau banyak,
barulah dapat merusak jaringan. Auto-antibodies dapat bereaksi langsung terhadap
organ dengan menimbulkan peradangan dan kerusakan, seperti pada membrane
glomerolus ginjal. Dapat pula mngacaukan fungsi suatu proses, misalnya dari
reseptor asetikolin pada myasthenia grafis. Kemungkinan lain adalah terbentuknya
kompleks imun yang beredar dengan aktivitas biologis.
Zat-zat tersendiri
a. Siklosporin
Bersifat imunosupresif istimewa dengan jalan menghambat secara spesifik
respon imun seluler. Siklosporin terutama digunakan padda transplantasi organ atau
sumsum untuk profilakse dan penanganan reaksi penolakan. Siklosporin dapat
dikombinasi dengan kortikoida atau imunosupresiva lain dengan maksud
mengurangi nefrotoksiknya. Resorpsinya dari usus sangat variable, bersifat sangt
lipofil, maka distribusinya baik ke semua jaringan tubuh. Dalam hati dirombak
menjadi 15 metabolit yang terutama diekskresikan melalui empedu dengan siklus
enterohepatis. Hanya 6% diekskresikan lewat kemih. Efek sampingnya adalah
nefrotoksisitas yang tergantung dari dosis dengan turunnya nilai kreatinin. Bersifat
karsinogen, terutama bila digunakan lama dengan dosis tinggi (limfoma, kanker).
b. Tacrolimus
Khasiat dan mekanisme imunosupresifnya sama dengan siklosporin, namun
lebih kuat dalam pencegahan sintesa. Juga bersifat sangat lipofil dan sama
efektifnya dengan siklosporin padatransplantasi hati, jantung, paru-paru dan
ginjal. Terutam digunakan bersama kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan
efek samping berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
a. Mycofenolat-mofetil
Khasiat menekan perbanyakan dari khusus limfosit melalui inhibisi
enzim dehidrogenase yang diperlukan untuk sintesis purinnya
DNA/RNA. Dalam hati segera diubah menjadi asam mycofenolat aktif.
Ekskresinya berlangsung melalui urin.
b. Kortikosteroida
Hormon anak ginjal berkhasiat anti radang, imunosupresif dan
antialergis. Kedua efek terakhir untuk sebagian berhubungan dengan
kerja antiradangnya dan terutama Nampak pada reaksi imun di jaringan.
Kortikosteroida banyak digunakan sebagi obat tambahan pada penyakit
auto-imun seperti rema.
c. Talidomida
Obat tidur dengan efek teratogen sangat kuat yang berdasarkan
khasiat anti-angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif dan
antiradang.
d. Sulfasalazin
Bersifat antiradang dengan jalan blockade siklooksigenase serta
lipooksigenase
dan
dengan
demikian
menghambat
sintesis
prostaglandin dan leukotrien. Sulfasalazin. Mempengaruhi fungsi
limfosit, juga berdaya antioksidan.
2 DIABETES MELLITUS TIPE 1
2.1 Etiologi dan Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan selsel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella,
CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang
dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di
dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA
tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh
sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat
beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel á dan sel ä. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel
á memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel ä memproduksi hormon somatostatin.
Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan
sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di
dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan
sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya
kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat,
namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti
ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa
penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan
pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe
1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama
makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi antiGAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko
tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, adabeberapa
otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe
1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel-sel á kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi
tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang
berlebihan oleh sel-sel á ƒnpulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan
menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak
terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal
ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini
adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan
sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan
badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah
rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap
hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat
berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM
Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang
diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah
satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak
bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan
adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan
lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan
menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk
merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4
(protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan
tubuh) di jaringan adiposa.
Patofisiologi dari DM tipe satu yaitu hampir 90-95% islet sel pankreas
hancur sebelum terjadi hiperglikemia akibat dari antibodi islet sel. Kondisi tersebut
menyebabkan insufisiensi insulin dan meningkatkan glukosa. Glukosa menumpuk
dalam serum sehingga menyebabkan hiperglikemia, kemudian glukosa dikeluarkan
melalui ginjal (glukosuria) dan terjadi osmotik diuresis. Osmotik diuresis
menyebabkan terjadinya kehilangan cairan dan terjadi polidipsi. Penurunan insulin
menyebabkan tubuh tidak bisa menggunakan energi dari karbohidrat sehingga
tubuh menggunakan energi dari lemak dan protein sehingga mengakibatkan ketosis
dan penurunan BB. Poliphagi dan kelemahan tubuh akibat pemecahab makanan
cadangan.
Etiologi dari Diabetes Mellitus Tipe 1 yaitu tergantung insulin yang ditandai
oleh penghancuran sel-sel beta pankreas disebabkan oleh :
a.
Faktor genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe 1. Ini
ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen HLA ( Human
Leucocyte Antigen ) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya.
b.
Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah
sebagai jaringan asing.
c.
Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
2.2 Gejala dan Tanda Diabetes Mellitus Tipe 1
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
2.3 Penatalaksanaa Diabetes Mellitus Tipe 1
A. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensiinsulin
dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap
kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu
harapan hidup.
Selain
jumlah
kalori,
pilihan
jenis
bahan
makanan
juga
sebaiknyadiperhatikan.Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan
melebihi 300mg per hari.Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati,
yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak
jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama
daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling
tidak 25g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,
makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu
mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan
kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buahbuahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral.
B. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar guladarah
tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk
mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan
sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga
yang
disarankan
adalah
yang
bersifat
CRIPE
(Continuous,Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training).Sedapat
mungkinmencapai
zona
sasaran
75-85%
denyut
nadi
maksimal
(220-
umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh
olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan
lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40
menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiripendinginan
antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan
aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkanpenggunaan glukosa.
C. Terapi Insulin
insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. PadaDM Tipe
I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat
memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus
mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolism karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2
tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi
insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
A. Pengendalian sekresi insulin
Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untukmenstabilkan
kadar gula darah. Apabila kadar gula di dalam darah tinggi, sekresi insulin akan
meningkat. Sebaliknya, apabila kadar gula darah rendah, maka sekresi insulin juga
akan menurun. Dalam keadaan normal, kadar gula darah di bawah 80 mg/dl akan
menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat rendah.
B. Mekanisme kerja insulin
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalampengendalian
metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pancreas akan langsung
diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan
ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah
tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan
meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga
tidak dapat memproduksi energy sebagaimana seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam
sel,insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik
metabolisme
karbohidrat
dan
lipid,
maupun
metabolisme
protein
danmineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta
meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai
peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negative dan komplikasi
yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
C. Prinsip terapi insulin
Indikasi
1. Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi
insulin endogen oleh sel-sel β kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak ada
2. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin
apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadarglukosa darah
3. Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miokard akut atau stroke
4. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin,
apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetik
6. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia
hiperosmolar non-ketotik.
7. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen
tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap
memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan
kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9. Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO
D. Cara Pemberian
Sediaan insulin saat initersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya
dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan
subkutan (di bawah kulit). Lokasi penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada
gambar 4 atas.
Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal.Penyerapan paling cepat
terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong.
Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan terjadi lebih
cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan
segera setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga
mempersingkat masa kerja.
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalambentuk
pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akanmenyemprotkan
larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan
langsung ke dalam vena juga tersedia untuk penggunaan di klinik.Penelitian untuk
menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih mudah diaplikasikan saat ini
sedang giat dilakukan.Diharapkan suatu saat nanti dapat ditemukan sediaan insulin
per oral atau per nasal.Gambar 4. Lokasi penyuntikan insulin yang disarankan
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta : Departemen Kesehatan
Sukandar, Elin Yulina, dkk. 2009. Iso Farmakoterapi. Jakarta : PT. Isfi
Tjay, Drs. Tan Hoan. 2008. Obat-obat Penting Edisi Keenam. Jakarta : Elex
Media Komputindo
Download