Sampah jadi Listrik tanpa Polusi, Kenapa Tidak? Priyo Adi Sesotyo Mahasiswa Magister Energi Universitas Diponegoro Indonesia, sebagai negara dengan jumlah populasi terbanyak keempat di dunia, tentunya juga menghasilkan banyak sampah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, Indonesia berpopulasi 258 juta jiwa dengan total sampah yang dihasilkan sebesar 65 juta ton. Sehingga dapat dirata-rata, bahwa setiap harinya, dihasilkan sampah sejumlah hampir 180 ribu ton, dan per orangnya perharinya menghasilkan sekitar 0.7 kg. Jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya sebanding dengan jumlah produksi sampahnya. Dengan kondisi seperti ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat sampah. Semakin bertambahnya jumlah penduduk, tentu sebanding pula dengan bertambahnya kebutuhan energi serta ketersediaannya. Pemakaian energi yang efisien adalah salah satu solusi dalam menjawab untuk semakin meningginya kebutuhan energi serta semakin sukarnya mencari ketersediaannya di lingkungan sekitar. Energi yang paling banyak digunakan penduduk dalam kehidupan sehari-hari adalah energi listrik, selain tentunya BBM. Kedua permasalahan tersebut di atas, yaitu dalam hal pengelolaan sampah serta mencari dan menjaga ketersediaan energi, utamanya energi listrik, merupakan latar belakang dari adanya PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Pemerintah pun telah meletakkan dasar regulasi terkait PLTSa sebagai berikut : Perpres No 35 tahun 2018. Perpres ini berisi tentang percepatan pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan. Dalam PerPres ini ditegaskan, pengolahan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, dan untuk mengurangi volume sampah secara signifikan demi kebersihan dan keindahan kota serta menjadikan sampah sebagai sumber daya, yang dilakukan secara terintegrasi dari hilir sampai ke hulu melalui pengurangan dan penanganan sampah. Pasal 2 ayat 3 dari PerPres ini berbunyi “Pengelolaan sampah dilaksanakan untuk mendapatkan nilai tambah sampah menjadi energi listrik”. Pengelolaan sampah menjadi listrik ini diimplementasikan ke dalam PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Pengembangan PLTSa di Indonesia masih belum menunjukkan tren positif, walaupun telah dinyatakan oleh Pemerintah sebagai proyek Infrastruktur Strategis Nasional. Ada 2 jenis kendala terkait pengembangan PLTSa, yaitu (1) kendala ekonomi, yaitu harga jual listrik dari pemilik PLTSa ke PLN sebesar USD 13sen/kWh, masih lebih tinggi daripadai harga listrik TDL yang sekitar IDR 1400/kWh ~ USD 10sen/kWh serta adanya tipping fee dari pemilik / pengepul sampah ke pengelola sampah di TPS/TPA. (2) kendala lingkungan. Kendala lingkungan dalam pengembangan PLTSa ini antara lain : (1). Pemilahan sampah. Seperti yang kita amait di lingkungan sekitar, pemilahan sampah sesuai jenisnya, masih sangat minim implementasinya. Sekalipun di beberapa tempat, sudah disediakan tempat sampah sesuai jenis sampahnya, yaitu seperti sampah organik dan sampah anorganik. Di sebagian tempat lainnya, jenis tempat sampah anorganik kembali lagi dipisahkan menjadi sampah plastik, sampah logam dan kaca serta sampah kimia. Namun secara mayoritas, belum tersedianya tempat sampah dengan jenis seperti itu dan belum adanya kesadaran masyarakat untuk memilah-milah sampahnya. Ataupun bilamana sudah terpilah-pilah, nantinya di TPS (tempat pengumpulan sampah) ataupun di TPA (tempat pembuangan sampah akhir) akan digabungkan kembali sampah-sampah yang telat terpilah-pilah. (2) Sampah yang basah. Sebagai negara tropis yang memiliki hanya 2 musim, yaitu musim penghujan dan kemarau, dengan curah hujan rerata yang cukup tinggi sebesar 2000-3000mm, menjadikan sampah yang terlokalisasi di TPS / TPA akan selalu terpapar hujan sepanjang tahun. Keadaan sampah yang dalam kondisi basah, akan lebih menyulitkan dalam pengelolaan sampah, termasuk pencegahan penyebaran air lindi ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Air lindi merupakan cairan yang merembes melalui tumpukan sampah dengan membawa materi terlarut atau tersuspensi terutama hasil proses dekomposisi materi sampah. Kandungan air lindi ini banyak terdapat senyawa kimia organik, anorganik limbah B3 serta sejumlah patogen. (3). Polusi udara akibat sampah yang dibakar. Pembakaran sampah merupakan solusi pengelolaan sampah yang tidak ramah lingkungan, karena ketika terjadi proses pembakaran, banyak polutan yang dilepaskan ke udara, seperti dioksin dan PCB, termasuk adanya abu. Walaupun sekarang ini proses pembakaran sampah telah dikemas menjadi insinerator. Dengan teknologi insinerator, panas hasil pembakaran sampah, akan di recovery untuk memanaskan air hingga menjadi uap bertemperatur dan tertekanan tinggi, yang akan digunakan untuk memutar turbin uap dan turbin tersebut akan turut memutar generator listrik, sehingga akan diperoleh energi listrik yang seperti sekarang dapat dilihat di rumah-rumah. Teknologi pengolahan sampah yang dapat menjawab kendala-kendala lingkungan tersebut di atas hanyalah Gasifikasi Plasma. Dengan menggunakan plasma torch (obor plasma) yang bertemperatur yang sangat tinggi, ia akan mengubah semua jenis sampah, baik organik ataupun anorganik, baik sampah basah ataupun sampah kering, menjadi Syngas (syntetic gas) dan vitrified slag (kerak). Pada temperatur yang sangat tinggi, senyawa-senyawa organik kompleks ataupun anorganik kompleks pada sampah tersebut akan terpecah menjadi unsur penyusun dasarnya ataupun senyawa penyusun dasar nya yang berupa syngas yang terdiri dari utamanya Hydrogen dan CO. Hydrogen tersebut untuk dijadikan bahan baku pembangkitan listrik dengan teknologi SOFC (solid oxide fuel cell). Dan kerak yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan dapat dijadikan material konstruksi ataupun bilamana diekstrak kembali, dapat direcovery logam yang dapat bernilai tinggi. Energy yang diperlukan untuk mengaktifkan plasma torch tersebut ialah energi listrik. Namun dengan integrasi dari sistem Gasifikasi Plasma dengan sistem SOFC, maka akan bisa dihasilkan energi listrik, yang sebagian dapat digunakan untuk suplai daya ke plasma torch serta memiliki efisiensi sistem kelistrikan secara keseluruhan mencapai 34%. Hasil ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan sistem Gasifikasi Plasma yang diintegrasikan dengan sistem Combine Cycle (yang terdiri dari turbin gas, HRSG dan turbin uap) ataupun sistem open cycle (yang terdiri hanya dari turbin gas), yang notabene masih terjadi reaksi pembakaran dan akan menghasilkan polutan udara yang masih lebih ramah llingkungan bilaman dibandingkan dengan teknologi insinerator. Walaupun dengan teknologi Gasifikasi Plasma, ia mampu mengolah semua jenis sampah, namun ia memiliki nilai efisiensi yang lebih baik bilamana jenis sampah tersebut ialah sampah jenis ban/karet ataupun sampah plastik. Dengan Gasifikasi Plasma yang terintegrasi dengan SOFC, dapat mereduksi volume sampah hingga mencapai 95%, sehingga tidak memakan banyak tempat dalam pengelolaan sampah, tanpa menimbulkan polutan udara yang berbahaya bagi kesehatan serta dapat menghasilkan energi listrik yang ramah lingkungan. Negara pertama yang telah menerapkan teknologi gasifikasi plasma dalam pengelolaan sampah serta dalam upaya menggunakannya sebagai sumber energi dalam pembangkitan listrik tenaga sampah dengan menggunakan teknologi fuel cell ialah Korea Selatan, dengan daya output sebesar 50kW. Walaupun daya outputnya masih terlihat cukup kecil, sebuah teknologi yang ramah lingkungan, tentunya semuanya dimulai dari langkah kecil. Seperti halnya pada film “Back to the Future” seri ke 2, ada dialog antara Marty dan Doc. Di kala mobil mereka kehabisan bahan bakarnya, Doc membawa keranjang sampah yang berisi kulit pisang dan kaleng bir untuk dijadikan bahan bakar untuk kendaraannya. Walaupun film ini dirilis tahun 1989, namun sudah diimaginasikan bahwa sampah di masa depan, akan menjadi sumber energi / sebagai bahan bakar. Dan sekarang ini, hal ini semakin mendesak untuk segera terimplementasikan.