Uploaded by Fatiya Humaira Syahdilla

IMRE LAKATOS

advertisement
IMRE LAKATOS
Kata kunci (key word) dalam pemikiran lakatos adalah PROGRAM RISET.
Pengertian dalam ilmu riset tersebut adalah Ilmu berawal dari keingintahuan
manusia atas fenomena yang ada disekitarnya ataupun tentang dirinya sendiri. Pada
awalnya hasrat ingin mengetahui itu terhambat oleh berbagai mitos yang
berkembang di masyarakat. Lakatos sering terlibat diskusi dengan Popper,
Feyerband, dan Khun untuk membantu memantapkan gagasan tentang Metodology
of Scientific Research Programms dan Lakatos pun mengandakan suatu simposium
yang mempertemukan gagasan Khun dan Popper.
KONSEP PEMIKIRAN IMRE LAKATOS
Sebagaimana yang telah disinggung diatas bahwasanya Imre Lakatos
mengambil jalan tengan atas pemikiran Khun dan Popper. Lakatos ingin
mengembangkan dan mengkritik atas kekurangan dari pemikiran Popper dan
menghasilkan metode baru yang selanjutnya di sebut Program Riset. Imre lakatos
menengahi perubahan antara paradigm Kuhn dengan FAlsifikasi Popper. Perikiran
Lakatos berhubungan dengan struktur teori.
- Pemikiran Kuhn dalam pandangan Lakatos.
Karena dalam pandangan Kuhn dalam Scientific Revolution banyak
menimbulkan kegoncangan dalam ilmu filsafat dan metodenya menjadi goyah
dengan pemaparan Kuhn yang membawa pada skeptisisme. Pemikiran ini
berpendapat bahwa dalam sebuah teori terdapat sebuah inti teori yang tidak
bisa dibandingkan satu sama lain. Ini disebut dasar, dari dasar (Hardcore) dari
sebuah ilmu, dan ini tidak bisa difalsifikasi. Paradigmanya menggunakan
istilah Program penelitan (program research). Pemikiran Lakatos cukup rumit
sehingga lebih baik difokuskan untuk memahami bagaimana Lakatos
memecahkan problema batas-batas.
Menurut Lakatos perbedaan antara sains dan pseudosains adalah bahwa sebuah
sains adalah sains bahwa sains bisa menciptakan peramalan-peramalan terhadap
fenomena baru. Pseudosains tidak menciptakan peramalan-peramalan baru dan
karena itu gagal disebut sains. Sebuah sains mampu menciptakan peramalanperamalan terhadap fakta-fakta, entah ditemukan atau tidak. Sebuah program
penelitian disebut progresif ketika dia membuat ramalan-ramalan mengejutkan yang
dikonfirmasi dan degeneratif ketika ramalannya tidak akurat atau hanya memoles
teori agar sesuai dengan fakta.
Lakatos menyebutkan Pseudosains contoh-contohnya adalah astronomi Ptolemy,
kosmogony planetari cosmogony, psychoanalysis Freud, Marxisme abad ke
duapuluh, Biology Lysenko, Quantum mekanik Bohr sebelum 1924, astrologi,
psychiatry, sosiologi dan ekonomi neo-klasik.
Dalam Program Riset ini terdapat aturan-aturan metodologi yang disebut
“Heuristik”, yaitu kerangka kerja konseptual sebagai kosekuensi dari bahasa.
Heuristik adalah suatu keharusan untuk melakukan penemuan-penemuan lewat
penalaran induktif dan percobaan-percobaan sekaligus menghadirkan kesalahan
dalam memecahkikan masalah.
Menurut Imre Lakatos terdapat tiga elemen yang masing mempunyai fungsi yang
berbeda dan harus diketahui dalam kaitanya dengan Program Riset, yaitu:
1)
Inti Pokok (Hard-core)
Asumsi dasar yang menjadi ciri dariprogram riset ilmiah yang melandasinya, yang
tidak dapat ditolak atau dimodifikasi. Inti pokok ini dilindungi oloeh falsifikasi.
Dalam aturan metodologis inti pokok disebut sebagai “heuristik negatif” maksudnya
inti pokok yang menjadi dasar diatas elemen yang lain karena sifatnya menentukan
dari suatu program riset dan menjadi nhepotese teoritis yang bersifat umum dan
sebagai dasar bagi pengembangan program pengembangan.
2)
Lingkaran Pelindung (Protective-belt)
Yang terdiri dari hepotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypothese) dalam kondisikondisi awal. Dalam mengartikulasi lingkaran pelindung, lingkaran pelindung ini
harus menahan berbagai serangan, pengujian dan memperoleh penyesuaian, bahkan
perubahan dan pengertian, demi mempertahankan hard-core. Dalam aturan
metodologis lingklaran pelindung ini disebut “heuristik positif” maksudnya un tuk
menunjukkan bagaimana inti pokok program riset dilengkapi agar dapat
menerangkan dan meramalakan fenomena-fenomena yang nyata. Heuristik positif
terdiri dari saran atau isyarat tentang bagaimana mengembangkan vaian-varian yang
komplek, bagaimana memodifikasi dan meningkatkan lingkaran pelindung yang
fleksibel
3)
Serangkaian Teori (a series theory)
Keterkaitan teori dimana teori yang berikutnya merupakan akibat dari klausal bantu
yang ditambah dari teori sebelumnya. Menurut Imre Lakotos, yang harus dinilai
sebagai ilmiyah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian teori
baru.
Yang gterpenting dalam serangkaian teori adalah ditandai oleh kontinuitas yang
pasti. Kontinuitas berangkat dari program riset yang murni. Keilmiahan sebuah
program riset dinilai dari dua syarat, yaitu:
1)
Harus memenuhi derajat koherensi yang mengandung perencanaan yang pasti
untuk program riset selanjutnya.
2)
Harus dapat menghasilkan penemuan baru.
Dalam struktur program riset ini diharapkan bisa menghasilkan suatu keilmuan
baru yang rasional. Keberhasilan dari suatu program riset ini dilihat dari terjadinya
perubahan problem yang progresif dan sebaliknya dikatakan gagal dalam program
riset ini adalah jika hanya menghasilkan problem yang justru merosot atau
degeneratif.
Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan
paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan
besar dalam ilmu pengetahuan. Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang
tersaing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang
secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan adanya anomali. Kemudian
riset berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah
anomali. Dan riset tersebut hanya akan berakhir bila teori atau paradigma itu telah
disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi sesuai dengan yang diharapkan.
Jadi yang jelas, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan
teori yang baru.
Pendahuluan
Berbicara mengenai kerangka dasar keilmuan, para ilmuwan seperti tidak pernah
kehabisan akal dalam membentuk konsep-konsep mendasar dan metode-metode
demi tegaknya sebuah teori kebenaran dan validalitas sebuah ilmu. Keseluruhn
proses keilmuwan ini terikat dalam satu keadaan logis, dan suatu hubungan logis
akan selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Dalam proses keilmuan, kita
mengenal paradigma sebagai bagian penting dalam memberikan kerangka,
mengarahkan bahkan menguji konsistensi proses keilmuan. Paradigma disini
menjadi sebuah tonggak dalam membentuk cara pandang terhadap ilmu dan menjadi
sebuah
kerangka
logis
dari
teori
tersebut.
Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu yang
dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan sebuah ilmu atau teori.
Paradigma tersebut antara lain : Positivisme, Postpositivisme, Kontruktivisme, dan
kritik teori. Keempat teori ini dapat dibedakan dalam cara mereka memandang
realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu yang ditinjau dari tiga aspek
pertanyaan
:
ontologis,
epistemologis
dan
metodologis.
Berawal dari keempat bentuk paradigma tersebut, para ilmuwan ternama memiliki
beberapa bentuk kerangka dasar teori keilmuwan. Mereka saling tumpang-tindih,
kritik-menkritiki antara satu konsep dan konsep ilmuwan lainnya. Beberapa dari
ilmuwan tersebut antara lain, Francis Bacon, John Stuart Mill, Karl Popper dan
Thomas Kuhn. Dalam makalah singkat kali ini pemakalah akan mengkaji beberapa
bentuk kerangka dasar keilmuwan milik Karl Popper seperti konsep falsifikasinya
dan demarkasi ilmunya. Kemudian berlanjut kepada pembahasan paradigma
Thomas Kuhn dalam mengamati kerangka dasar teori ilmu tersebut. Apakah yang
dimaksud konsep falsifikasi tersebut dan apakah yang mempengaruhi Popper hinga
ia mencetuskan konsep falsifikasi tersebut? Dan bagaimana paradigma Thomas
Kuhn dalam hal ini? sebelum memulai pembahasan beberapa konsep diatas terlebih
dahulu akan dijelaskan mengenai dua tokoh yang menjadi fokus pembahasan kali
ini.
Biografi
Karl
Popper
Sebelum masuk kepada bentuk pemikiran Karl Popper, pemakalah akan
mencantumkan beberapa biografi milik Karl Popper. Ia adalah salah satu tokoh filsuf
yang memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper, ia lahir di Wina pada tahun
1902. Ketika ia berumur 17 tahun, ia sempat memiliki arah pandang pemikiran yang
menganut komunisme. Tetapi kemudian dia meninggalkannya karena kebanyakan
dari
pengikutnya
menerima
dogma-dogma
yang
tidak
kritis.
Karl Popper (1902-1994) adalah salah satu filsuf sains paling berpengaruh di abad
ke-20. Dia membuat kontribusi signifikan untuk debat mengenai metodologi ilmiah
umum dan pilihan teori, demarkasi sains dari non-sains, sifat probabilitas dan
mekanika kuantum, dan metodologi ilmu-ilmu sosial. Karyanya terkenal karena
pengaruhnya yang luas baik dalam filsafat sains, dalam sains itu sendiri, dan dalam
konteks
sosial
yang
lebih
luas.
Popper memiliki beberapa pokok pemikiran yang diklasifikasikan oleh beberapa
penulis dalam tiga tema pokok, yaitu persoalan induksi, persoalan demarkasi dan
persoalan dunia ketiga. Sebelum memiliki ketiga pandangan ini Popper mendapat
banyak pengalaman karena hidup dekat dengan organisasi Lingkaran Wina, namun
dalam hal ini Popper tidak menerima arah pemikiran Lingkaran Wina. Dari
penolakan inilah timbul sebuah paham dalam kerangka keilmuan milik Popper yang
dikenal
Biografi
dengan
Thomas
falsifikasi.
Kuhn
Kemudian Thomas Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio Amerika
Serikat. Pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Ph.D dalam bidang ilmu fisika di
Harvard University. Kemudian ia mendapatkan gelar guru besar dari Princenton
University dalam bidang filsafat dan sains. Yang kemudian diikuti dengan gelar guru
besar keduanya dari Massachusetts Institute of University. Secara umum Kuhn
banyak mendasari pandangannya tentang ilmu berdasarkan pandangan model
politiknya. Ia terkenal dengan sebuah karya yang cukup monumental yaitu The
Structure of Scientific Revolutions pada tahun 1962 oleh University of Chicago
Press. Thomas Samuel Kuhn, meskipun dilatih sebagai fisikawan di Universitas
Harvard, menjadi sejarawan dan filsuf ilmu pengetahuan melalui dukungan presiden
Harvard, James Conant. Pada tahun 1962, Struktur Revolusi Ilmiah (Struktur) Kuhn
yang terkenal membantu meresmikan revolusi --- revolusi historiografi 1960-an --dengan memberikan citra baru ilmu pengetahuan. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah
melibatkan perubahan paradigma yang menandai periode stasis atau sains normal.
Namun, menjelang akhir kariernya, Kuhn mengalami perubahan paradigma sendiri
---
dari
filsafat
historis
Falsifikasi
sains
dan
ke
filsafat
Karl
evolusioner.
Popper
Jika kita mengkaji tentang Popper, maka kita tidak bisa melepaskan pembahasan
mengenai positivisme dan neo-positivisme. Secara khusus, Popper menkritik
pandangan neopositivisme (Vienna Circle), yang menerapkan pemberlakuan hukum
umum. Neopositivisme sendiri adalah salah satu bentuk dalam aliran filsafat yang
baru abad ke-20, menurut aliran ini pengethuan tentang suatu hal yang nyata hanya
dalam rangka pemikiran ilmiah yang kongkrit, mereka menganggap bahwa filsafat
hanya
berbicara
dalam
ranah
bahasa
dan
analisis
kebahasaan.
Kemudian pada pendapat Popper lainnya, ia menolak konsep generalisasi milik
John S. Mill dan Francis Bacon. Menurutnya sebuah teori tidak bersifat ilmiah hanya
karena dibuktikan kebenarannya, namun ia berpendapat bahwa teori itu dianggap
ilmiah jika ia diuji dari bentuk-bentuk yang dapat menyangkalnya. Dalam hal ini
Popper menekankan konsep yang berbeda yaitu mengambil cara untuk menguji
sebuah teori berbeda dari yang biasanya, yaitu dengan segala unsur objektif yang
dapat
menyangkal
ilmu
tersebut.
Sebelum memasuki pembahasan mengenai falsifikasi, terlebih dahulu pemakalah
akan menjelaskan mengenai beberapa pemikiran Popper, diantara hal yang penting
untuk dikaji dalam hal ini yaitu, induksi dan hipotesa dalam pandangan
Popper,
kemudian masuk kepada demarkasi dan falsifikasi itu sendiri.
Induksi
dan
Hipotesa
Menurut para praktisi ilmu, metode induksi sering tidak pernah jadi persoalan,
namun tidak bagi filsuf dan para teoritis. Metode induksi dalam sebuah kajian ilmiah
berangkat dari beberapa kasus partikular yang kemudian dipakai untuk menciptakan
hukum umum dan mutlak. Dalam metode induksi ini Francis Bacon juga mengkritik
dan menolak metode tersebut, kemudian ia mengajukan teori "Idola"nya. Bacon
memimpin suatu pemberontakan terhadap cara berpikir aristoteles dalam
memandang perkembangan ilmu. Ia berpendapat bahwa terdapat tendensi diantara
para ahli filsafat untuk mula-mula setuju pada suatu kesimpulan, dan kemudian
barulah mereka menyusun usaha untuk mengumpulkan berbagai fakta yang
mendukung kesimpulan tersebut. Sementara tokoh yang kemudian menolak konsep
idola milik bacon secara radikal adalah David Hume, sementara Popper berada
dalam
satu
pemikiran
dengan
David
Hume
pada
metode
ini.
Popper menolak bentuk totalitarisme segala kemungkinan pemeriksaan empiris
sehingga luput dari kemungkinan falsifikasi. Pemikirannya ini menentang pemikiran
sebelumnya terutama pemikiran kelompok lingkaran wina, bahkan sejak Bacon juga
termasuk menjadi objeknya, yaitu teori-teori ilmu alam merupakan ilmu-ilmu
induktif dan bahkan induksi itu merupakan suatu proses menguhkan atau
membenarkan teori-teori dengan pengamatan atau eksperimen yang dilakukan
berulang-ulang. Induksi ini merupakan kriterium demarkasi untuk membedakan
antara ilmu dan bukan ilmu. Hal ini ditentang oleh Popper, karena teori universal
bisa bertentangan dengan fakta yang teramati. Menurut Popper kriterium demarkasi
antara ilmu dan bukan ilmu adalah testabilitas dan falsifibilitas (falsifikasi). Popper
dalam hal ini melihat bahwasanya sebuah teori tidaklah kuat jika hanya diuji dengan
satu aspek kebenarannya. Jika seluruh hipotesa diarahkan kepada hal yang bersifat
mendukung teori tersebut maka kebenaran dan kekuatan teori tersebut kurang begitu
teruji. Maka ia menawarkan konsep demarkasi dan falsifikasi yang ingin menguji
suatu
teori
dari
kemungkinan
kesalahannya.
Namun secara khusus Popper mengkritik pandangan neo-positivisme yang
memberlakukan hukum umum dan menganggapnya sebagai teori ilmiah. Kita
mengenal bahwa aliran neo-positivisme memiliki dua istilah yang digunakan
meaningfull dan meaningless dalam memandang sebuah teori keilmuan. Bagi
Popper hal ini bukanlah suatu kriteria yang tepat dalam sebuah kajian teori ilmu.
Dalam hal ini Popper menggunakan dan menawarkan metode farifikasi yang
menolak metode verifikasi (yang menggunakan pembuktiaan teori dengan
mengujinya dengan konsep yang dapat mendukungnya). Menurutnya makin besar
kemungkinan suatu hipotesa dan teori dapat bertahan dari bentuk uji yang dapat
menyangkalnya maka kebenaran dari hipotesa tersebut semakin diperkokoh dan
diperkuat
dengannya.
Menurut Popper sebuah kajian ilmu selama masih dalam bentuk hipotesa adalah
masih dalam tahap definisi atau teori yang bersifat sementara. Dia beranggapan
bahwa tidak ada suatu kebenaran yang memiliki sifat tak tergantikan dan
akhir. Popper beranggapan suatu hipotesa itu dapat dikuatkan dengan menemukan
bentuk teori yang baru yang mengubah konsep teori lama dan hipotesa lama yang
ada.
Dalam proses pengembangan ilmu ini, Popper memiliki cara yang lain dari pada
ilmuwan lainnya. Dia menggunakan cara eliminasi untuk membuktikan suatu
hipotesa itu menjadi teori, dalam metode tersebut ia menggunakan kemungkinan
kekeliruan dan kesalahan sebagai kunci pengujian hipotesa yang ada.
Demarkasi
dan
Falsifikasi
Popper dalam pemikirannya sering bersinggungan dengan paham Lingkaran Wina
seperti telah dikutip dalam penjelasan sebelumnya. Menurut Wina suatu yang
meaningfull selalu dapat dibuktikan dengan serta diverifikasi, berbeda dengan
meaningless. Namun menurutnya suatu hal yang tidak bersifat ilmiah kadang sangat
mampu menjadi meaningfull dan juga sebaliknya. Menurut Popper kedua bentuk
teori baik meaningfull ataupun meaningless tetap dapat menjadi suatu hipotesa yang
layak
untuk
diuji.
Popper dalam hal ini memiliki beberapa pendapat yang akhirnya menawarkan
konsep falsifikasi tersebut. Menurutnya suatu teori harus ditinjau dari sudut pandang
kemungkinan kesalahannya. Suatu teori dapat dikatakan ilmiah jika teori tersebut
memiliki kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Falsifikasi
menurut Popper telah menjadi sebuag metode atau alat untuk membedakan genuine
sciene (ilmu murni) dari apa yang disebut Popper sebagai pseduo sciene (ilmu
tiruan). Maka dari itu Popper mengatakan "Sciene is revolution in permanance and
criticism
is
the
heartof
scientifis
enterprise".
Popper dalam mahakaryanya The Logic of Scientific Discovery menyatakan
bahwa logika ilmu pengetahuan adalah teori tentang perkembangan ilmu
pengetahuan dibidang apapun, perdebatan tentang teori itulah kemudian yang
mengembangkan teori tersebut berkembang sekaligus mendorong perkembangan
ilmu
pengetahuan.
Walaupun demikian pada dasarnya sebuah teori memang penting, namun teori
tersebut bukanlah sebuah pakem atau kebenaran yang tak bisa digugat. Tak ada
sebuah teori yang 100% benar dan akurat, karena teori sendiri pada dasarnya adalah
sebuah simplifikasi terhadap realitas berdasarkan pada asumsi asumsi pembuat teori
tersebut. Seperti Popper, teori adalah cara merasionalkan, menjelaskan dan
menguasai
Dunia
dunia.
Tiga
Berbicara mengenai Popper, kita sering sekali mendengar bahwa ia memberikan
beberapa pendapat mengenai konsep realitas. Dalam konsep ini Popper
membedakannya menjadi Dunia Satu (kenyataan fisis dunia), Dunia Dua (segala
kenyataan psikis dalam diri manusia), Dunia Tiga (segala hipotesa, hukum dan teori
ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara Dunia Satu dan Dunia Dua. Menurut
Popper Dunia Tiga mempunyai otoritas dan tidak terkait dengan Dunia Satu ataupun
Dunia Dua. Pemikiran ini akan terlihat signifikan dalam memahami konsep
falsifikasi. Karena dalam konsep tersebut dia menghindari konsep objektivisme dan
subjektivisme.
Secara tidak langsung tujuan Popper dalam menghindari konsep
objetivisme dan subjektivisme tidaklah seutuhnya berjalan. Karena dalam sebuah
teori penelitian atau pengujian, unsur objek dan subjek selalu berkaitan. Popper
hanya berbeda dalam beberapa bentuk untuk menguji teori yang ada.
Paradigma
Thomas
Kuhn
Beralih kepada tokoh selanjutnya, Thomas Kuhn. Ia memiliki konsep yang cukup
terkenal yang ia sebut sebagai paradigma ilmu. Paradigma layaknya sebuah senjata
yang digunakan Kuhn untuk merespon pandangan neo-positivisme dan Popper.
Dengan menggunakan paradigmanya, ia banyak menentang pendapat realis yang
memandang bahwasanya sejarah ilmu sains-fisika adalah diambil dari fakta-fakta
yang bebas. Kuhn memang lebih menekankan kepada sejarah suatu ilmu dan segala
hal yang melatarbelakangi ilmu ataupun teori tersbut berhasil muncul ke ranah
ilmiah.
Paradigma ilmu menurut Kuhn adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu cara
pandang dan memahami alam yang telah digunakan oleh sekelompok ilmuwan
sebagai worldviewnya.
Paradigma tersebut digunakan sebagai lensa yang
melaluinya seorang ilmuwan dapat mengamti dan memahami masalah ilmiah dalam
bidangnya.
Dalam karyanya, Kuhn menggunakan metode politik dalam menjelaskan sains.
Kuhn memakai istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains
dan memberi penekanan serius pada aspek wacana. Baginya revolusi ilmiah dan
revolusi politik memiliki karakter yang sama. Memang terdapat revolusi dalam
beberapa fakta politik, ia menganggap bahwa revolusi tersebut sama dengan revolusi
yang
ada
dalam
revolusi
ilmu.
Pandangan Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya pada dasarnya merupakan
respon terhadap pandangan verifikasi dan konfirmasi-eksperimentasi serta
falsifikasi milik Popper. Bedanya jika Popper seperti penjelasan sebelumnya
mengatakan bahwa proses perkembangan ilmu yang menurutnya berkemungkinan
untuk salah dan kemudian dikembangkan dan dikuatkan, sedangkan verifikasi lebih
condong pada unsur sebaliknya. Namun sejatinya kedua pandangan ini memiliki
persamaan, keduanya memiliki nuansa positivistik dan karena juga objektifistik,
yang cenderung memisahkan antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari
ilmuwan. Kuhn bertujuan tidak ingin memisahkan unsur subjektivitas dari
penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan. Jika pengujian ilmu hanya didasarkan
pada unsur realitas baik dalam bentuk verifikasi maupun falsifikasi itu sama halnya
menghilangkan
unsur
subjetivitas.
Dalam proses perkembangan ilmu, Kuhn menekankan aspek sejarah dari ilmu
tersebut seperti yang dilakukan Popper. Bedanya jika Popper hanya fokus kepada
sejarah sebagai bukti dalam mempertahankan sebuah teori maka Kuhn lebih dalam
dan luas menggunakan aspek sejarah yang mengeksplorasi tema-tema besar dalam
ilmu
tersebut.
Dalam paradigmanya Kuhn menawarkan sejumlah contoh yang telah diterima
tentang praktek ilmiah nyata, termasuk didalamnya hukum, teori, aplikasi dan
instrumentasi yang mneyediakan model yang menjadi sumber konsistensi tradisi
riset ilmiah tertentu. Paradigma menurut Kuhn memberikan ilmuwan suatu bentuk
dan skema kognitif untuk mengerti alam sekeliling, maka jika seorang ilmuwan
menafsirkan pemerhatiannya itu sejatinya ia telah menggunakan suatu paradigma
dalam
memberi
makna
kejadian
tersebut.
Selanjutnya dengan skema yang diambil oleh para ilmuwan, menurut Kuhn
mereka telah membentuk suatu komunitas ilmu. Dengan demikian paradigma ilmu
tidaklah sekedar konstruksi segenap komunitas ilmiah, yang dengannya mereka
membaca, menafsirkan, mengungkap dan memahami alam. Ia beranggapan bahwa
didalamnya terdapat faktor historis yang nonmatematis-positifistik, yang merupakan
faktor penting dalam bangunan paradigma keilmuwan secar utuh. Temuan ini
kemudian memperkuat konsep yang mengatakan bahwa sains bukanlah valueneutral.
Konsekuensi yang lebih jauh bahwa metode ilmiah menjadi dasar klaim ilmu
objetivitas dan universalitas, telah berubah menjadi sebuah ilusi. Bagi Kuhn
paradigmalah yang menentukan arah dari suatu penelitian, tanpa ada paradigma
maka ilmuwan tidak mampu mengumpulkan fakta dan merumuskan suatu
penelitian. Jika demikian maka tanpa paradigma maka penelitian akan terlihat samasama
Proses
relevan
Perkembangan
dan
Ilmu
bersifat
Menurut
acak.
Kuhn
Ada dua konsep Kuhn dalam memandang perkembangan ilmu pengetahuan, yang
pertama keadaan yang disebut normal science dan kedua revolutionary science.
Dalam hal ini Kuhn mengartikan sains normal sebagai penyelidikan yang dibuat oleh
suatu komunitas ilmiah dalam usahanya menafirkan alam ilmiah melalui paradigma
ilmiah. Ia menganggap bahwasanya dalam sebuah sains normal terdapat sebuah
paradigma yang mengarahkan metode penyelidikan atas ilmu tersebut. Namun
dalam perjalanannya, normal science banyak memiliki persoalan yang tidak dapat
diselesaikan dan bahkan inkonsisten. Hal ini dianggap oleh Kuhn sebagai anomalies.
Dari wujud anomalies inilah yang nanti akan menghasilkan konsep revolutionary
science. Dimana ketika anomalies-anomalies kecil tersebut terakumulasi dan
menjadi terasa begitu akut maka pada saatnya akan ditemukan oleh suatu komunitas
ilmiah cara untuk keluar dari ketidakmungkinan penyelidikan tersebut. Hal inilah
yang disebut dengan revolutionary science oleh Kuhn. Dan inilah yang oleh Kuhn
disebut sebagai paradigma baru yang dapat membawa ilmuwan kepada pemecahan
masalah
anomalies
tersebut.
Kuhn berpendapat bahwa dalam sebuah perkembangan ilmu akan selalu melewati
siklus-siklus : sains normal diikuti oleh revolusi yang kemudian diikuti oleh sains
normal dan kemudian revolusi lagi. Kebanyakan aktivitas ilmiah menurut Kuhn
berada pada posisi sains normal yang terdapat pada teks-teks dan buku-buku yang
mensyaratkan teks. Maka proses pencapaian ilmu yang diakui sementara oleh
komunitas
Kritik
ilmiah
Terhadap
sebagai
Paradigma
landasa
dasar
Thomas
bagi
Kuhn
praktek
dan
selanjutnya.
Falsifikasi
Popper
Kuhn berpendapat bahwa pendekatan yang dilakukan Popper dalam konsep
falsifikasinya adalah proses menjungkirbalikkan kenyataan dengan terlebih dahulu
menguraikan kejadian pengetahuan empiris melalui jalan hipotesa yang diusulkan
dengan konsep falsifikasi. Seperti yang dijelaskan diatas, menurut Kuhn sebaiknya
proses perkembangan ilmu supaya memulai dari kajian sejarah ilmu tersebut karena
ia
merupakan
titik
pusat
dan
pangkal
dai
sebuah
penyelidikan.
Kuhn beranggapan bahwa perkembangan ilmu bersifat revolusioner yang
bertentangan dengan anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa ilmu maju
dengan sistem komulatif. Kuhn mengkritik Popper berkenaan dengan proses
conjuncture. Proses pembuatan pernyataan, pemikiran dan penalaran terhadap
problem
yang
ada
akan
menimbulkan
masalah
pada
aplikasinya.
Kuhn juga mengkritik Popper yang berpendapat bahwa aktivitas-aktivitas ilmiah
berpusat pada falsifikasi atau menguji teori; kemudian, dengan berpegang pada
pernyataan-pernyataan observasi seorang ilmuwan bertugas menguji semua teori
atau hipotesis. Kuhn mengkritik karena menurutnya, para ilmuwan yang
berkecimpung dalam "normal science" bukan lagi sebagai penguji teori tetapi
sebagai pemecah masalah dan kesulitan hidup. Dalam kemapaman paradigma itu
tidak ada lagi pertentangan antara paradigma. Karena paradigma yang telah diterima
dipakai sebagai landasan dan pedoman untuk praksis kehidupan. Ia menganggap
bahwa Popper telah memutarbalikkan kenyataan dengan menguraikan terjadinya
ilmu empiris melalui jalan hipotesis disusul upaya falsifikasi. Menurutnya,
terjadinya perubahan-perubahan hanya berlangsung melalui revolusi-revolusi
ilmiah, yakni "Segala perkembangan nonkumulatif dimana paradigma yang telebih
dahulu ada diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian,
dengan
yang
baru".
Pandangan falsifikasionis Popper ini juga tidak lepas dari kritik dari tokoh-tokoh
yang datang sesudahnya. Imre Lakatos (1974) mengkritik prinsip falsifikasi Popper
yang sangat menentang penerapan induksi dalam metode ilmu pengetahuan.
Metodologi atau logika penemuan ilmiah yang dikembangkan Popper dalam
bukunya logic of Scientific Discovery hanya terdiri dari aturan untuk menilai sebuah
teori yang sudah dirumuskan, dimana dalam pandangan Popper tersebut ditegaskan
bahwa teori ilmiah tidak didasarkan atau dikukuhkan oleh fakta melainkan
dirontokkan olehnya. Taryadi menilai bahwa metodologi yang dikembangkan oleh
popper hanya terdiri dari aturan-aturan untuk menilai teori-teori yang sudah
dirumuskannya sendiri. Metodologi itu berdiri di atas kaki sendiri, dikejar demi
dirinya sendiri. Istilah benar dan salah dihindarkan. Ilmu hanya bisa ditemukan
kekeliruannya. Akibatnya Popper sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan apa yang
bisa
diperoleh
dalam
aturan
permainan
ilmu
atau
metodologi.
Namun bagi Lakatos pandangan kedua tokoh ini cukup menyita perhatian, ia
menganggap bahwa Popper memiliki konsep yang terlihat menjanjikan dalam
falsifikasinya begitupun Kuhn yang membuat bentuk paradigma. Namun khusus
teori Kuhn sendiri Lakatos mengatakan bahwa Kuhn setelah melakukan kritik
terhadap falsifikasi justru ia terjerumus kearah irasionalisme. Menurut lakatos,
perubahan ilmiah dalam benak popper adalah sesuatu yang rasional atau setidaknya
dapat direkronstruksi secara rasional. Namun untuk Kuhn perubahan tersebut
berbentuk misitis. Sedangkan dalam hal ini mereka berdua tidak hanya berada dalam
bentuk yang bersifat teknis belaka, namun masuk dalam titik epistemologi yang
menyangkut nilai intelektual dan memiliki implikasi tidak hanya pada ilmu fisika
teoritis
tetapi
juga
ilmu
sosial.
Kesimpulan
Dalam mengkaji metode pengujian sebuah ilmu, sejatinya filsuf Barat tidak
pernah sampai pada titik akhir. Mereka selalu menguji satu konsep pengujian teori
dengan teori lainnya. Namun teori yang mereka tawarkan sendiri masih memiliki
celah dan kekurangan. Terkadang banyak dari mereka yang menafikan unsur
metafisik dalam mengkaji sebuah ilmu, namun disebagian lainnya menggunakan
konsep
tersebut
namun
tidak
pada
metode
yang
tepat.
Seperti Popper yang menolak bentuk konsep verifikasi, yang menurutnya tidak
mampu membuktikan kebenaran suatu teori karena mengujinya melalui hipotesa
yang mendukungnya. Maka ia menawarkan konsep falsifikasi, dimana yang ia
tujukan adalah membentuk suatu pengujian ilmu sehingga akan timbul teori baru
yang telah melumpuhkan teori lama yang telah ditemukan sebelumnya. Dalam
beberapa masalah mungkin ini menjadi solusi namun tidak mampu menjawab
apakah teori tersebut akan mampu menjanjikan suatu kebenaran hanya dari sebuah
kesalahan. Sedangkan Kuhn yang menganggap para ilmuwan tidak memiliki suatu
bentuk paradigma dalam meneliti, sehingga mereka hanya mengkaji dan mengkaji
sesuai dengan interestik dalam diri ilmuwan tersebut. Maka ia mengangap bahwa
paradigma akan mampu membuat pengkajian sebuah teori sampai pada tingkat yang
benar, bukan dengan verifikasi ataupun falsifikasi. Namun lagi-lagi konsep tersebut
memiliki kelemahan karena sedikit tidaknya tetap mengambil dari pengalaman
perkembangan teori tersebut, seperti Popper. Demikianlah pembahasan singkat
mengenai kedua tokoh tersebut dan konsep kerangka ilmu miliki mereka.
Download