LAPORAN PRAKTIKUM PESTISIDA NABATI “Penggunaan Metode Poisoned Food dengan Ekstrak Bawang Putih terhadap Jamur Colletorichum spp dan Metode Seed Treatment pada Benih Padi ” Disusun Oleh : Fadhilah Rahmah Aprianti 150320190003 PASCASARJANA PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2019 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jamur Colletotrichum spp. (Antraknosa) Antraknosa adalah jenis penyakit tumbuhan yang ditemukan pada berbagai tanaman pohon dan semak, awal gejala yang ditunjukan berupa bercak pada daun atau bagian lain berbentuk bulat panjang berwarna hitam yang akan berlanjut hingga kematian jaringan. Anthraknosa disebabkan oleh berbagai macam jamur antara lain: Colletotrichum capsici pada cabai merah, Colletotrichum sp. pada kakao, sorghum, jagung, dan Colletotrichum coccodes pada tomat. Antraknosa sering disebut hawar pada daun, akar, ataupun ranting Infeksi pada daun akan lebih parah ketika musim hujan, karena jamur antraknosa membutuhkan air dalam penyebaran. Jamur penyebab antraknosa tidak akan menyebar dalam kondisi kering. Klasifikasi fungi Colletotrichum capsici menurut Alexopoulus (1996) yaitu: Kingdom : Fungi Divisi : Aschomycota Classis : Ascomycetes Order : Melanconiales Family : Melanconiaceae Genus : Colletotrichum Species : Colletotrichum capsici / Colletotrichum spp. 2.1.1 Morfologi Colletotrichum spp. Fungi Colletotrichum mempunyai konidiofor yang pendek dan konidia dibentuk dalam aservulus. Colletotrichum mempunyai stroma yang terdiri dari massa miselium yang berbentuk aservulus, bersepta, panjang antara 30-90 μm, umumnya yang berkembang merupakan perpanjangan dari setiap aservulus. Konidia berwarna hialin, bersel tunggal dan berukuran 5-15 μm (Daniel, 1972 dalam Purwanti, 2017). Aservulus tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih, kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai dengan pigmen yang dikandung konidia. Diantara bangsa Melanconiales yang konidianya cerah (hialin) adalah Gloeosporium dan Colletotrichum. Keduanya mempunyai konidia yang memanjang dengan penciutan di tengah (Dwidjoseputro, 1978 dalam Purwanti, 2017). 2.1.2 Gejala Serangan Gejala awal serangan fungi Colletotrichum salah satunya pada tanaman cabai yaitu mula-mula berbentuk bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dan berlekuk, pada buah yang masih hijau atau yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna kuning, membesar dan memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap (Semangun, 1994). Menurut Rukmana & Oesman (2002), pada buah yang terserang fungi Colletotrichum akan menjadi busuk berwarna seperti terkena sinar matahari yang kemudian menyebabkan busuk basah berwarna hitam. Gambar 1. Buah cabai yang terserang fungi Colletotrichum capsici, Sumber : Halil (2013) Pada tahap awal infeksi konidia Colletotrichum spp. yang berada di permukaan kulit buah cabai merah akan berkecambah dan membentuk tabung perkecambahan. Setelah tabung perkecambahan berpenetrasi ke lapisan epidermis kulit buah cabai merah maka akan terbentuk jaringan hifa. Kemudian hifa intra dan interseluler menyebar keseluruh jaringan dari buah cabai merah (Photita, et al., 2005 dalam Purwanti, 2017) . Tanaman cabai dewasa yang terkena fungi Colletotrichum spp. akan menimbulkan gejala mati pucuk, kemudian menjalar pada daun bawah dan batang, menimbulkan busuk kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Fungi Colletotrichum spp. menyebar dengan cepat dengan timbulnya gejala yang cepat (Rukmana & Oesman, 2002) 2.1.3 Siklus Hidup Fungi Colletotrichum spp. Siklus hidup dari fungi Colletotrichum spp. yang terdapat pada tanaman cabai yaitu berawal dari buah, masuk menginfeksi biji. Pada umumnya fungi tersebut menginfeksi semai yang tumbuh dari biji buah yang sakit. Fungi Colletotrichum spp. juga menyerang daun dan batang, hingga buah tanaman dan dapat mempertahankan dirinya dalam sisa-sisa tanaman sakit. Konidium dari fungi akan disebarkan oleh angin (Semangun, 1994). Spora fungi Colletotrichum spp. dapat disebarkan oleh angin dan percikan air hujan dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Dickman, 1993 dalam Purwanti, 2017). Pertumbuhan awal fungi Colletotrichum spp. membentuk koloni miselium yang berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan, kemudian perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus. Aservulus berwarna merah muda sampai coklat muda merupakan kumpulan massa konidia (Rusli & Zulpadli, 1997 dalam Purwanti, 2017). 2.1.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Colletotrichum spp. Pertumbuhan fungi Colletotrichum spp. sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan tersebut adalah: 1. pH pH sangat penting dalam mengatur metabolisme dan sistem-sistem enzim. Bila terjadi penyimpangan pH, maka proses metabolisme fungi dapat terhenti. Menurut Yulianty (2006) dalam Purwanti (2017), pH optimal untuk pertumbuhan fungi Colletotrichum yang baik adalah pH 5-7. 2. Suhu Suhu optimum pertumbuhan Colletotrichum spp. yaitu antara 24-30°C (Nurhayati, 2011 dalam Purwanti, 2017) dengan kelembaban relatif antara 8090% (Rompas, 2001 dalam Purwanti, 2017). 3. Musim Pertumbuhan fungi Colletotrichum spp. kurang baik pada musim kemarau dan lahan yang mempunyai drainase baik. fungi tersebut dapat dibantu oleh angina dan hujan untuk penyebaran konidia (Semangun, 1991). 2.2 Bawang Putih (Allium sativum) Sejarah masuknya bawang putih ke Indonesia diduga melalui jalur perdagangan dengan bangsa India, Arab, dan Cina. Kemudian penggunaan bawang putih semakin menyebar. Konsumsi bawang putih memang telah meluas dari Asia Tengah ke Eropa, Afrika, Asia Timur, Amerika bahkan hingga seluruh tanah air kita (Kuswardhani, 2016 dalam Nurfitrianti, 2017). 2.2.1 Taksonomi Bawang Putih (Allium sativum L.) Klasifikasi ilmiah bawang putih adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Super division : Spermatophyta Division : Magnoliophyta Class : Liliopsida Order : Liliales Family : Liliaceae Genus : Allium Species : Allium sativum L. (CCRC, 2014) 2.2.2 Kandungan Bawang Putih Bawang putih merupakan tanaman yang memilki kegunaan seperti antikanker, antipotensif, antibakteri dan antihiperkolesterol (Kuswardhani, 2016 dalam Nurfitrianti, 2017). Bawang putih termasuk salah satu rempah yang telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Golongan senyawa yang diperkirakan memiliki aktivitas antimikroba pada bawang putih, seperti allisin, ajoene, dialil sulfida, dialil disulfida, yang termasuk dalam golongan senyawa tiosulfinat. Tiosulfinat adalah golongan senyawa yang mengandung 2 atom belerang yang saling berikatan rangkap dengan atom oksigen seperti allisin. CH2=CHCH2S-SCH2CH=CH2 ║ O Gambar 2. Struktur Kimia Allisin Sumber: Block (1992) dalam Hadittama (2009) Struktur kimia allisin dapat dilihat pada gambar di atas. Allisin adalah komponen utama hasil degradasi secara enzimatis dari prekursir pembentuk citarasa (Alliin) bawang putih yang tidak stabil dan sangat reaktif yang disebabkan lemahnya ikatan S-S (Block, 1992 dalam Hadittama, 2009). Dari beberapa penelitian umbi bawang putih mengandung zat aktif aucin, enzim alinase, germanium (mampu mencegah rusaknya sel darah merah), sativine (mempercepat pertumbuhan sel dan jaringan serta merangsang susunan sel saraf), sinistrine, selenium (mikromineral penting yang berfungsi sebagai antioksidan), scordinin (antioksidan), nicotrinic acid. Kandungan allisin pada bawang putih bermanfaat sebagai bakterisida, fungisida, dan dapat menghambat perkembangan cendawan maupun antimikroba lainnya (Solihin, 2009). Bawang putih diduga mengandung senyawa alilsistein. Alilsistein merupakan salah satu senyawa antijamur yang bekerja dengan mengganggu metabolisme sel Candida albicans dengan cara inaktivasi protein, penghambatan kompetitif dari senyawa sulfidril atau dengan penghambatan non kompetitif dari fungsi enzim melalui oksidasi. Selain itu alilsistein juga dapat menghambat sintesis DNA dan protein (Khaira, dkk, 2016 dalam Nurfitrianti, 2017). Senyawa kimia lain yang dapat merusak membran jamur adalah saponin. Saponin mempunyai kerja merusak membran plasma dari jamur. Senyawa saponin dapat merusak sel membran sitoplasma jamur dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel jamur. Saponin dapat terkondensasi pada permukaan suatu benda atau cairan dikarenakan memiliki gugus hidrokarbon yang larut lemak (berada pada membran sel), sehingga dapat menyebabkan sel-sel pada membran sitoplasma lisis (Kulsum, 2014 dalam Nurfitriani, 2017). Senyawa kimia flavonoid pada bawang putih juga memiliki aktivitas antijamur. Flavonoid yang berada di dalam sel jamur akan mengendapkan protein yang tersusun atas asam amino sebagai hasil translasi dari RNA. Gangguan pada pembentukan partikel protein dapat mencegah proses sintesis protein di dalam inti sel sehingga menyebabkan kematian pada sel jamur (Supriyono, 2016). 2.2.3 Manfaat Bawang Putih Bawang putih memiliki potensi sebagai antimikroba, kemampuan dalam menghambat pertumbuhan mikroba meliputi virus, bakteri, protozoa, dan jamur. Fungsi bawang putih dalam menghambat pertumbuhan bakteri memiliki spectrum yang luas, karena dapat menghambat pertumbuhan gram positif maupun bakteri gram negatif. Dialildisulfida (DADS) dan dialiltetrasulfida (DATS) yang merupakan kandungan dari bawang putih memiliki berpotensi sebagai antibakteri. Cara senyawa ini bekerja dengan mereduksi sistein dalam bakteri yang akhirnya mengganggu ikatan disulfida dalam protein bakteri (Damayanti, 2014 dalam Nurfitrianti, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Supriyono (2016) menunjukan ekstrak bawang putih mampu untuk pengendalian jamur S. Rolfsii yang menyebabkan penyakit pada kedelai dengan kandungan senyawa bawang putih yaitu lliin sebagai antifungi yang disintesis dari asam amino sistein. Menurut Desvani dkk (2015) dalam Nurfitrianti (2017) ekstrak bawang putih juga dapat berfungsi sebagai penolak kehadiran serangga. Pestisida dari bawang putih juga dapat berfungsi untuk mengusir keong, siput dan bekicot, bahkan mampu membasmi siput dengan merusak sistem saraf. Menurut Kulsum (2014) dalam Nurfitrianti (2017) bawang putih berpotensi sangat kuat dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans, hal ini disebabkan dalam bawang putih terdapat suatu zat yang disebut minyak atsiri. Minyak atsiri ini sifatnya mudah menguap pada suhu kamar sehingga disebut Terpenoid Essential Oils. Minyak atsiri dapat digunakan sebagai pewangi, antibakteri dan antijamur. Salah satu zat aktif yang terdapat di dalam minyak atsiri adalah allicin. Allicin dapat bergabung dengan protein dan mengubah strukturnya agar mudah untuk dicerna. Kemampuan bergabung dengan protein itulah yang akan mendukung daya antibiotiknya, karena allicin menyerang protein mikroba dan akhirnya membunuh mikroba tersebut. Gambar 3. Bawang Putih (Allium sativum L) 2.3 Fungisida Berbahan Aktif Propineb Dalam pengendalian OPT khususnya patogen jamur, petani masih banyak menggunakan fungisida sintetik sebagai langkah pengendalian utama. Adiyoga dan Soetiarso (1999) dalam Astuti dkk. (2014) melaporkan bahwa 80% petani cabai menggunakan fungisida untuk mengendalikan penyakit tanaman. Propineb merupakan jenis fungisida yang bekerja secara kontak (racun kontak). Pada umumnya, peluang dari fungisida jenis ini untuk terjadi resistensi pada targetnya lebih kecil dibandingkan dengan fungisida sistemik. Hal ini dikarenakan, fungisida kontak tidak spesifik target seperti fungisida sitemik. Berdasarkan penelitian Astuti dkk, (2014) Colletotrichum capsici dan Colletotrhicum gloesporioides sangat sensitif terhadap propineb pada dosis setengah dari dosis anjuran pada label. 2.4 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Selama ribuan tahun manusia menggunakan sumber tanaman untuk meringankan atau menyembuhkan penyakit. Tanaman merupakan sumber senyawa kimia baru yang potensial digunakan dalam bidang kedokteran dan aplikasi lainnya. Tanaman mengandung banyak senyawa aktif seperti alkaloid, steroid, tanin, glikosida, minyak atsiri, minyak tetap, resin, fenol dan flavonoid yang disimpan di bagian-bagian tertentu seperti daun, bunga, kulit kayu, biji-bijian, buahbuahan, akar, dan lain-lain menjadi obat yang lebih bermanfaat dari bahan tanaman, biasanya hasil dari kombinasi dari produk-produk sekunder. BAB III BAHAN DAN METODE Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung. Praktikum dilaksanakan hari Selasa, 12 November 2019. Adapun bahan dan alat yang dipersiapkan dan digunakan sebagai berikut : 3.1 Bahan Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah : 1. Jamur Colletotrichum spp. 2. Bawang Putih sebanyak 20 gram 3. Benih padi ± 100 butir, masing-masing perlakuan @ 25 butir (seed treatment) 4. Media Agar (Untuk perlakuan poisoned food) 5. Aquades 6. Tween 80 7. Fungisida berbahan aktif Propineb 1 ml 3.2 Alat Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah : 1. Petridish 2. Bunsen 3. Gelas Ukur 4. Jarum/Oase 5. Mortar 6. Pipet 7. Kain Muslin 8. Timbangan 9. Plastik Wrap 10. Aluminium Foil 11. Laminar Air Flow 12. Kertas saring (Perlakuan benih/Seed Treatment) 3.3 Penyiapan Bahan Preparat Jamur Colletotrichum spp. Jamur Colletotrichum spp. yang akan digunakan yaitu berasal dari tanaman cabai. Jamur sudah dibiakan dan diperbanyak sebagai koleksi laboratorium. Media Agar (Perlakuan Poisoned Food) Media Agar diberikan chloramphenicol 20 mg/l untuk mencegah perkembangan bakteri dan media dipanaskan pada suhu 100°C agar mencair. Bahan Ekstrak Bawang Putih 20 ml Bawang putih dikupas lalu ditimbang sebanyak 20 mg. Setelah ditimbang bawang putih dihaluskan dengan menggunakan mortar, lalu aquades sebanyak 20 ml yang mengandung tween 0,1% dalam kondisi panas dicampurkan dengan bawang putih yang telah dihaluskan tersebut. Larutan ekstrak lalu disaring dengan kain muslin sehingga didapatkan larutan ekstrak dengan konsentrasi 100%. Penyiapan larutan ekstrak bawang putih konsentrasi 25% 5 ml larutan ekstrak bawang putih ditambahkan dengan 15 ml Aquades yang mengandung Tween 80 (0,1%) sehingga didapatkan larutan ekstrak bawang putih konsentrasi 25% sebanyak 20 ml. Penyiapan ekstrak bawang putih konsentrasi 5 % 1 ml larutan ekstrak bawang putih ditambahkan dengan 19 ml Aquades yang mengandung Tween 80 (0,1%) sehingga didapatkan larutan ekstrak bawang putih konsentrasi 5% sebanyak 20 ml. Penyiapan Fungisida berbahan aktif Propineb Fungisida bahan aktif propineb yang digunakan yaitu sebanyak 1ml. Penyiapan Benih Padi Benih padi sebelumnya sudah direndam semalaman dengan air aquades. 3.4 Metode Praktikum 1. Metode yang digunakan adalah Makanan Beracun (Poisoned Food) dimana media agar sebagai makanan dicampurkan masing-masing perlakuan yaitu ekstrak bawang putih konsentrasi 25%, konsentrasi 5%, fungisida berbahan aktif propineb, dan kontrol (tanpa perlakuan). Setiap perlakuan akan diamati bagaimana perkembangan jamur Colletotrichum spp dengan mengukur diameter pertumbuhan jamur. Prinsip yang terlibat dalam metode ini adalah meracuni media nutrisi dengan bahan kimia untuk diuji dan kemudian membiarkan jamur yang diuji tumbuh pada media tersebut. Dalam teknik ini media padat atau cair dapat digunakan dalam metode ini. Media Potato Dextrose Agar (PDA) diberikan chloramphenicol agar terhindar dari bakteri dan disterilkan. Serangkaian konsentrasi untuk perlakuan dapat disiapkan. Bahan kimia tersebut dicampur dengan cara diaduk. Media PDA dan konsentrasi perlakuan yang sudah tercampur tersebut disebut makanan beracun (poisoned food). Media beracun kemudian dituangkan ke dalam cawan petri dan disimpan agar mengeras (solid). Bagian kecil kultur jamur dipotong dengan jarum atau alat steril dan dipindahkan secara aseptik di tengah cawan petri yang berisi media beracun. Dipersiapkan juga media PDA tanpa perlakuan konsentrasi racun sebagai Kontrol. Diameter koloni jamur diukur ketika pertumbuhan pada salah satu perlakuan mencapai tepi lempeng. Diameter koloni, dibandingkan dengan kontrol, diambil sebagai ukuran fungitoksisitas. 2. Metode Seed Treatment. Metode ini yaitu dengan menggunakan benih padi yang akan diberikan perlakuan dan dibiarkan untuk tumbuh. Setelah itu diamati bagaimana pertumbuhannya, baik kualitas benihnya maupun panjangnya perkecambahannya. 3.5 Langkah-langkah Perlakuan 1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum ini. Pastikan semua alat dan bahan tersedia dan alat dalam keadaan steril dan berfungsi dengan baik. Metode Poisoned Food. Pada setiap perlakuan yaitu ekstrak bawang putih konsentrasi 25%, konsenstrasi 5%, fungisida berbahan aktif propineb sebanyak 1 ml masingmasing dicampurkan ke dalam media agar yang masih mencair dan dimasukkan ke dalam petridish dengan ketebalan media sekitar 1 cm. Diamkan sekitar 10 menit hingga media agar mengeras. 2. Pada setiap perlakuan dimasukkan bagian kecil kultur jamur Colletotrichum spp. Dan diletakkan di tengah-tengah media agar yang sudah mengeras. Perlakuan dilakuan dengan 2 kali ulangan. 3. Pengamatan dilakukan 15 hari setelah perlakuan dan dihitung diameter pertumbuhan jamur Colletotrichum spp pada masing-masing perlakuan. Daya hambat terhadap perkembangan dan pertumbuhan koloni jamur Colletotrichum spp. di media beracun, dihitung menggunakan rumus seperti berikut : Keterangan : a = diameter koloni jamur pada kontrol, b = diameter koloni jamur pada perlakuan ekstrak. Berdasarkan nilai persentase penghambatan fungisida terhadap pertumbuhan jamur Colletotrichum, kemudian ditentukan tingkat sensitifitas jamur Colletotrichum terhadap konsentrasi perlakuan uji.. Tingkat sensitifitas jamur Colletotrichum terhadap konsentrasi perlakuan uji didasarkan pada kategori berikut : sangat sensitif (SS) apabila terhambat >90%, sensitive (S) apabila terhambat > 75-90%, moderate resisten (MR) apabila terhambat > 60-75%, resisten (R) apabila terhambat > 40-60%, dan sangat resisten (SR) apabila pertumbuhan jamur terhambat < 40% (Kumar et al., 2007). 4. Seed Treatment. Benih direndam pada masing-masing perlakuan yaitu ekstrak bawang putih konsentrasi 25%, konsentrasi 5 %, fungisida propineb, dan aquades (kontrol) lalu didiamkan selama 30 menit. Setelah direndam selama 30 menit, benih dipindahkan ke petridish yang diberikan kertas saring dan aquades. Pengamatan dilakukan pada 15 hari setelah perlakuan. Setiap hari benih disemprot dengan aquades untuk menjaga kelembapannya. BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Metode Makanan Beracun (Poisoned Food Treatment) Berdasarkan hasil pengamatan pada 15 hari setelah perlakuan didapatkan data sebagai berikut : Tabel 1. Hasil Diameter Pertumbuhan Jamur Colletotrichum spp pada Media Perlakuan Diameter Pertumbuhan Jamur Ulangan I Ulangan II Konsentrasi 5 % 4,8 4,8 Konsentrasi 25 % 4 5 Propineb 0,5 0,5 Kontrol 8,5 8,5 Perlakuan Adapun data penghambatan pertumbuhan dan perkembangan jamur Colletotrichum spp pada masing-masing perlakuan yaitu sebagai berikut : Tabel 2. Data Penghambatan dan Perkembangan Jamur Colletotrichum spp. Perlakuan Konsentrasi 5 % Konsentrasi 25 % Propineb Diameter Ulangan I Ulangan II 44% 44% 53% 41% 94% 94% Total Rata-Rata 87% 94% 188% 44% 47% 94% Berdasarkan hasil data penghambatan pertumbuhan dan pekembangan jamur Colletotrichum spp, penggunaan fungisida berbahan aktif propineb mampu menekan pertumbuhan dan perkembangan jamur sebesar 94% (tidak ada jamur yang tumbuh pada media tersebut). Dari hasil tersebut terlihat bahwa Colletotrichum spp. yang diuji masih sangat sensitif terhadap bahan aktif propineb. Berdasarkan kriteria sensivitas jamur terhadap fungisida yang dikemukakan oleh Kumar et al. (2007), suatu jamur dikatakan sensitif apabila pertumbuhannya terhambat >90% bila ditumbuhkan pada media yang mengandung bahan aktif suatu fungsida. Propineb merupakan jenis fungisida yang berkerja secara kontak (racun kontak). Pada umumnya, peluang dari fungisida jenis ini untuk terjadi resistensi pada targetnya lebih kecil dibandingkan dengan fungisida sistemik. Hal ini dikarenakan, fungisida kontak tidak spesifik target seperti fungisida sistemik. Penghambatan juga terjadi pada perlakuan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 25% dengan presentasi penghambatan sebesar 47%. Akan tetapi, bila berdasarkan dengan Kumar et al. (2007) perlakuan uji dianggap masih kategori resisten (R) apabila terhambat >40-60%. Walaupun penghambatan masih di bawah 50%, jamur Colletotrichum spp masih merespon terhadap ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 25%. Koloni jamur terlihat menumpuk. Berdasarkan pengamatan mikroskopik terhadap jamur Colletotrichum spp pada perlakuan ekstrak bawang putih konsentrasi 25%, isi sel pada miselium jamur berkurang dan miselium terlihat mengecil (bahkan seperti melilit dan patah) dan tumbuh tidak normal dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Kandungan senyawa yang terkandung di dalam ekstrak bawang putih, diduga mampu mengganggu bahkan menghambat pertumbuhan dan perkembangan dari jamur Colletotrichum spp. Bawang putih diduga mengandung senyawa alilsistein. Alilsistein merupakan salah satu senyawa antijamur yang bekerja dengan mengganggu metabolisme sel (Khaira, dkk, 2016). Senyawa kimia lain yang dapat merusak membran jamur adalah saponin. Saponin mempunyai kerja merusak membran plasma dari jamur. Senyawa saponin dapat merusak sel membran sitoplasma jamur dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel jamur (Kulsum, 2014). Senyawa kimia flavonoid pada bawang putih juga memiliki aktivitas antijamur. Flavonoid yang berada di dalam sel jamur akan mengendapkan protein yang tersusun atas asam amino sebagai hasil translasi dari RNA. Gangguan pada pembentukan partikel protein dapat mencegah proses sintesis protein di dalam inti sel sehingga menyebabkan kematian pada sel jamur (Supriyono, 2016). Sedangkan untuk perlakuan ekstraksi bawang putih dengan konsentrasi 5% hanya terjadi penghambatan sebesar 44% sehingga masih kategori Resisten (R) apabila terhambat > 40-60%. Terlihat koloni jamur menumpuk dan berdasarkan mikroskopik miselium cairan isi sel masih lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 25%. 4.2 Seed Treatment Hasil pengamatan hari ke 15 setelah perlakuan didapat data benih yang berkecambah sebagai berikut : Tabel 3. Hasil Pengukuran Perkecambahan Perlakuan Konsentrasi 5 % Konsentrasi 25 % Propineb Kontrol Panjang Perkecambahan (cm) 1 2 3 4 5.5 5 5.5 4.1 5.6 6 5.5 5.5 5.3 5.9 5.1 4.2 5.2 4.6 3.3 3.7 5 5 4 5.1 3.8 Total (cm) 25.1 26.6 25.6 20.6 Rata-Rata (cm) 5.02 5.32 5.12 4.12 Berdasarkan dengan data rata-rata panjang benih yang berkecambah pada masingmasing perlakuan yakni perkecambahan yang tinggi terdapat pada perlakuan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 25% yaitu rata-rata 5.32 cm, diikuti dengan fungisida berbahan aktif propineb yaitu 5.12 cm, perlakuan ekstrak bawang putih konsentrasi 5% yaitu 5.02 cm, dan kontrol dengan rata-rata 4.12 cm. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan ekstrak bawang putih tidak mempengaruhi pertumbuhan benih bahkan benih dapat tumbuh dengan baik dan terlihat pertumbuhan perakaran yang lebih banyak dan panjang. Dibandingkan perlakuan dengan menggunakan fungisida Propineb, ekstrak bawang putih konsentrasi 25% hasil perkecambahan benihnya masih lebih baik. Berdasarkan penelitian Setyowati, Titik (2004) bahwa bawang putih mengandung hormon scordinin yang kandungannya setara dengan auksin yang efektif dalam proses germinasi dan pengeluaran akar. BAB V PENUTUP Pestisida nabati merupakan alternatif pengendalian yang dapat diambil petani untuk mengurangi ketergantungannya terhadap penggunaan pestisida sintetik. Penggunaan ekstrak bawang putih adalah salah satu bahan nabati yang dapat digunakan sebagai fungisida untuk beberapa spesies jamur, salah satunya yaitu Colletotrichum spp. Dari hasil praktikum bahwa ekstrak bawang putih konsentrasi 25% mampu menghambat perkembangan jamur Colletotrichum spp hingga 47%. Selain itu, ekstrak bawang putih juga tidak mempengaruhi kualitas benih dan tidak mengganggu pertumbuhan benih. Berdasarkan hasil pratikum seed treatment pada benih padi bahwa benih masih tumbuh dan berkembang baik. Selain itu diduga ekstrak bawang putih dapat menghindari benih terserang jamur.