BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Rumah pada dasarnya adalah sebuah tempat untuk bertahan diri bagi manusia dari perubahan iklim atau cuaca. Dalam hal ini menurut Undang – Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman menyebutkan “Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, saran dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah layak huni”. Tetapi dalam perkembangannya fungsi rumahpun mengalami perubahan. Bagi masyarakat, kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal merupakan hal yang penting untuk di wujudkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan rumah memiliki fungsi penting yaitu sebagai tempat tinggal dan tempat berlindung. Hal inilah yang mendorong pihak pemerintah dan pihak swasta yaitu pihak developer atau pengembang perumahan untuk membangun sebuah perumahan. Pengembang merupakan seseorang atau tim yang ahli di bidang pembangungan, yang meliputi segi arsitektur, teknisi, pemasaran, keuangan, konstrusi, dan manajemen properti. Di indonesia, pengembang pada umumnya selaku pihak yang mengelola kawasan di suatu lahan yang telah dibebaskan dan mengembangkan (membangun) lahan tersebut untuk dijadikan kawasan perumahan lalu menjualnya kepada konsumen. Seiring dengan perkembangannya, para pengembang perumahan memerlukan sebuah media dalam memasarkan rumah yang telah mereka 1 buat. Dimana media ini menggunakan sebuah iklan atau brosur yang mengandung promosi yang juga menampilkan sebuah contoh rumah yang mereka buat dan kelebihan dari rumah atau perumahan yang telah dibangun tersebut. Karena iklan dan brosur dianggap sebagai sebuah sarana bagi masyarakat untuk memperoleh sebuah informasi, dalam peredarannya iklan dan brosur sangat mudah untuk didapat. Tetapi dalam perkembangannya banyak dari pihak pengembang perumahan yang menyalahgunakan media iklan dan brosur tersebut. Dimana para pihak pengembang tidak memberikan informasi yang sebenarnya didalam mengiklankan rumah atau perumahan yang mereka buat tersebut. Tujuan dari hal tersebut adalah tidak lain untuk memikat calon pembeli rumah supaya tertarik untuk membeli dan pihak pengembang dapat mengambil keuntungan yang sebesar – besarnya dalam proses jual beli rumah tersebut. Pemberian informasi yang tidak sesuai tersebut akan menyesatkan atau membohongi kosumen. Hal ini akan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak yaitu konsumen yang tertipu dengan informasi pada brosur atau iklan tersebut yang ketika membeli rumah tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam iklan atau brosur yang dibuat oleh pihak pengembang perumahan. Pemberian informasi yang tidak sesuai dapat berupa fasilitas yang dicantumkan dalam brosur atau iklan yang disebar tidak terdapat dalam komplek perumahan tersebut. Seperti contoh iklan dan brosur sebuah rumah atau perumahan yang menyatakan bahwa daerah rumah atau perumahan tersebut bebas dari 2 banjir tetapi setelah ditempati rumah atau perumahan tersebut tidak sesuai dengan fakta yang tertera dalam iklan dan brosur. Pemberian informasi yang tidak sesuai lainnya dapat berupa, pemberian informasi berupa promosi potongan uang muka yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Dalam beberapa kasus pihak pengembang dalam promosinya menjanjikan uang muka yang relatif ringan namun pada kenyataannya pada akhir proses konsumen akan dibebakan biaya uang muka melebihi ketentuan promosi. Hal ini serupa dengan kejadian yang disaksikan langsung oleh penulis dalam promosi uang muka pada Perumahan Griya Surakarta, yang awalnya dalam iklan promosi menjanjikan uang muka kecil namun saat proses pengurusan pengambilan perumahan menjadi berbeda. Menyadari bahwa posisi konsumen untuk memperoleh informasi yang jujur dan benar dari pelaku usaha sangat lemah, maka pemerintah telah memberikan sebuah perlindungan terhadap konsumen dalam Undang – Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang secara jelas juga tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) yang dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang atau jasa secara tidak benar. Kemudian, dalam Pasal 9 ayat (2) dan (3) dinyatakan agar barang dan atau jasa sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan serta dilarang untuk dilanjutkan proses penawaran, promosi dan pengiklananannya. Memperhatikan substansi ketentuan Pasal 9 UUPK ini, pada intinya merupakan bentuk larangan yang tertuju pada perilaku pelaku 3 usaha khususnya pengembang perumahan untuk menawarkan atau mempromosikan suatu barang dalam arti rumah atau perumahan yang seolah-olah barang tersebut memiliki standar mutu tertentu atau dalam keadaan barang itu tidak memiliki cacat tersembunyi. Meskipun larangan tersebut telah dibuat pemerintah dalam UUPK tetapi dalam praktiknya masih ada saja pengembang perumahan yang melanggar aturan yang tercantum dalam UUPK tersebut. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berjudul “Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan Terhadap Kerugian Yang Timbul Dari Pemenuhan Hak Atas Promosi” 2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi konsumen perumahan? 2. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab pengembang perumahan kepada kosumen yang merasa dirugikan dengan adanya promosi yang tidak sesuai? 3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi konsumen perumahan. 2. Untuk mengetahui Bagaimanakah bentuk tanggung jawab pengembang perumahan kepada kosumen yang merasa dirugikan dengan adanya promosi yang tidak sesuai. 4 4. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoretik 1) Hasil skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang hukum pidana maupun perdata, khususnya berkaitan dengan perlindungan konsumen. 2) Bagi penulis sendiri, penulisan skripsi ini bermanfaat dalam memenuhi syarat untuk menyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana (S-1) di Universitas Swadaya Gunung Jati. 2. Secara Praktik 1) Dapat dijadikan rujukan dan sebagai pedoman bagi rekan – rekan mahasiswa dan masyarakat luas untuk memperolah informasi hukum dan pengetahuan yang lebih dalam mengenai perlindungan konsumen. 5. Kerangka Teori Untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara pengembang (pelaku usaha) dan konsumen maka perlu adanya hak dan kewajiban masingmasing pihak. Hal tersebut lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bagi pengembang (pelaku usaha), selain dibebani kewajiban sebagaimana disebutkan di atas, ternyata dikenakan larangan-larangan 5 yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum. Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan hanya sekedar fisik, melainkan hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hakhak konsumen1 Perlindungan hukum merupakan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum yang bersumber dari Pancasila dan konsep negara hukum2. Inti sari yang dapat disimpulkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan barang antar penyedia dan penggunanya3. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis dapat katakana bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen mungkin kurang dapat dipahami 1 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika: Jakarta, 2011, halaman 30. 2 Philipus M. Hardjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu: Surabaya, 1987, halaman 25. 3 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2013, halaman 23. 6 sehingga menjadi peluang bagi pengambang untuk melakukan kecurangan termasuk dalam perihal iklan dan promosi. 6. Metode penelitian 1. Metode Pendekatan Metode pandekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti4. Dalam penelitian ini pendekatan yuridis normatif dipraktekkan dalam bentuk mengkaji peraturan dan literatur yang berhubungan dengan perlindungan hukum konsumen. 2. Spesifikasi Penelitian Dilihat dari sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal didaerah tertentu dan pada saat tertentu5. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang manusia, keadaan gejala-gejala lainnya, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama, atau dalam rangka menyusun teori – teori baru. 4 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers. Jakarta, 2001, halaman 13. 5 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Grafika: Jakrta, 1991, halaman 8. 7 3. Obyek Penelitian Penelitian yang dilaksanakan mengenai Perlindungan Hukum Konsumen akan memiliki obyek sebagian konsumen asosiasi pengembang perumahan diwilayah kabupaten Cirebon. 4. Jenis dan Sumber Data 1) Data Primer Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang – Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman 2) Data Sekunder Bahan berupa semua publikasi tentang hukum meliputi teks-teks, surat kabar, majalah, situs internet, skripsi, tesis, disertasi, kamus kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Macam-macam teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini diantaranya: 8 1) Penelitian Kepustakaan Dalam pengumpulan data melalui library research ini penulis mempelajari dan menganalisa data dan petunjuk melalui buku-buku ilmiah, maupun dari majalah serta literatur-literatur lainnya. 2) Penelitian Lapangan (Field Research) Metode pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengunjungi langsung objek penelitian. Penelitian ini dilakukan di salah satu perumahan yang dikembangkan oleh asosiasi pengembang perumahan diwilayah kabupaten cirebon. 6. Metode Analisis Data Data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan diolah secara: 1) Analisa Kualitatif Yaitu: data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diseleksi menurut mutu dan sifat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga diperoleh data-data yang merupakan kenyataan yang berlaku secara umum yang dapat menjawab permasalahan yang diajukan. 2) Analisa Deskriptif Yaitu: data yang diperoleh dianalisa sehingga dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dilapangan. Sesuai dengan dua cara tersebut diatas maka dapat diperoleh suatu uraian yang bersifat deskriptif kualitatif, yaitu data-data 9 yang diperoleh, diseleksi menurut mutu dan sifat yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas sehingga dapat menggambarkan suatu permasalahan yang terjadi dilapangan kemudian permasalahan tadi disimpulkan untuk digunakan menjawab permasalahan sehingga mempermudah pemahaman dalam pembahasan tesis ini kemudian hasil penelitian tersebut diuraikan dalam suatu penuli 7. Lokasi Penelitian Dalam Penelitian ini, peneliti memilih satu perumahan yang dikembangkan oleh asosiasi pengembang perumahan diwilayah kabupaten Cirebon. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum Tentang Pengembang 1. Pengertian Umum Tentang Pengembang Istilah pengembang berasal dari bahasa asing yaitu developer yang menurut kamus bahasa inggris artinya adalah pengembang atau pembangun perumahan. Sementara itu menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian developer atau pengembang, yaitu “Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana – prasarana lingkungan dan fasilitas – fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya”. Dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen pengembang masuk dalam kategori sebagai pelaku usaha. Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu: “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- 11 sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. 2. Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengembang Untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara pengembang (pelaku usaha) dan konsumen maka perlu adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal tersebut lebih lanjut diatur dalam UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 6 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, meliputi: 1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. 4) Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan. Sedangkan Pasal 7 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai Kewajiban Pengembang (Pelaku Usaha) yang meliputi: 1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 12 2) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikkan, dan pemeliharaan. 3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 4) Menjamin mutu barang/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang/jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. 6) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 7) Memberi kompensasi dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Bagi pengembang (pelaku usaha), selain dibebani kewajiban sebagaimana disebutkan di atas, ternyata dikenakan larangan – larangan yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : 13 1) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen. 2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yag tidak benar, tidak akurat, dan yang menyesatkan konsumen. Di samping adanya hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh pengembang (pelaku usaha), ada tanggung jawab (Product Liability) yang harus dipikul oleh pengembang sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatannya dalam berusaha. Sehingga diharapkan adanya kewajiban dari pengembang untuk selalu bersikap hati – hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya. Tanggung jawab (Product Liability) dapat didefinisikan sebagai suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut. Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip – prinsip sebuah tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip – prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, yaitu: 1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa 14 seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya; 2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of libility), yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat. 3) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presump of nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah. 4) Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict libility), dalam prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, nemun ada pengecualian pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. 5) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability), dengan adanya prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, maka 15 harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.6 Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28, Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi : 1) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, 2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, 3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.7 Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu – satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.8 Penerapan konsep product liability ternyata tidak mudah, dalam sistem pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung gugat produk didasarkan adanya wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (fault). Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, konsumen yang menderita kerugian akibat produk barang/jasa yang cacat bisa menuntut pihak produsen (pelaku usaha) secara langsung. Tuntutan tersebut didasarkan pada kondisi telah terjadi perbuatan 6 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2010, hal 58. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo, Jakarta, 2004, hal 125. 8 Ibid, hal 125. 7 16 melawan hukum. Atau dengan kata lain, konsumen harus membuktikan terlebih dahulu kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Langkah pembuktian semacam itu sulit dilakukan karena konsumen berada pada kondisi yang sangat lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha. Disamping sulitnya pembuktian, konsumen nantinya juga sulit mendapatkan hak ganti rugi (kompensasi) atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha. Oleh karena itu, diperlukan adanya penerapan konsep strict liability (tanggung jawab mutlak), yaitu bahwa produsen seketika itu juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari pihak produsen.9 Jika dicermati sebenarnya UU Perlindungan Konsumen mengadopsi konsep strict liability. Dalam pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengkonsumsi barang/jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Sedangkan Pasal 28 Undang – Undang Perlindungan Konsumen menyatakan “Pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, dan pasal 23, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” 9 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen:Perlindungan Konsumen dan Tnaggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hal 15. 17 Lebih lanjut apabila membicarakan mengenai tanggung jawab developer maka hal tersebut berkaitan dengan tanggung jawab moral pengembang kepada konsumennya. Pada umumnya pengembang yang bernaung dalam Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) memiliki tanggung jawab moral terhadap konsumen. Tanggung jawab moral ini terangkum dalam kode etik Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia yang dikenal dengan “Sapta Brata”. Adapun isi dari Sapta Brata adalahal sebagai berikut: 1) Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya senantiasa berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2) Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya senantiasa mentaati segala undang-undang maupun peraturan yang berlaku di Indonesia. 3) Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya, senantiasa menjaga keselarasan antara kepentingan usahanya dengan kepentingan pembangunan bangsa dan negara. 4) Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya, senantiasa menempatkan dirinya sebagai perusahaan swasta nasional yang bertanggung jawab, menghormati dan menghargai profesi usaha real estate dan menjunjung tinggi rasa keadilan, kebenaran dan kejujuran. 18 5) Anggota Real Estate dalam melaksanakan usahanya, senantiasa menjunjung tinggi AD/ART Real Estate Indonesia serta memegang teguh disiplin dan solidaritas organisasi. 6) Anggota Real Estate dalam melaksanakan usahanya, dengan sesama pengusaha senantiasa saling menghormati, menghargai, dan saling membantu serta menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat. 7) Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya, senantiasa memberikan pelayanan pada masyarakat dengan sebaik – baiknya. Tujuh kode etik tersebut merupakan pedoman bagi seluruh pengembang anggota Real Estate Indonesia. Para pengembang anggota Real Estate Indonesia secara organisatoris tunduk pada AD/ART Real Estate Indonesia terutama kode etik “Sapta Brata”. Dalam Pasal 7 misalnya, mewajibkan anggota Real Estate Indonesia untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam melaksanakan kegiatannya terutama dalam menawarkan rumah kepada konsumen, developer senantiasa memberikan pelayanan yang baik dan tidak merugikan konsumen. 19 2. Tinjauan Umum Tentang Konsumen dan Pengembang 1. Pengertian Konsumen Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dijelaskan pengertian konsumen sebagai berikut, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perseorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.10 2. Hak dan Kewajiban Konsumen Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Hak konsumen berdasarkan Undang – Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 adalah sebagai berikut: 1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa. 2) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. 10 Shidarta, Op.cit, hal 6. 20 4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. 5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Hak – hak konsumen yang tersebut diatas berguna untuk melindungi kepentingan konsumen, sebagaimana tercantum dalam tujuan dari perlindungan konsumen yaitu mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen. Sehingga diharapkan konsumen menyadari akan hak – haknya dan pelaku usaha diharuskan untuk memerhatikan apa saja perbuatan – perbuatan usaha yang dilarang menurut Undang – Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak ada lagi pelanggaran hak – hak konsumen. Bentuk – bentuk pelaggaran hak konsumen menurut Undang – Undang Perlindungan konsumen berupa: 1) Menjual produk atau jasa yang dilarang Menurut pasal 8 ayat (1) Undang – Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, produk atau jasa yag dilarang adalah: 21 a) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang – undangan. b) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut. c) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut yang sebenarnya. d) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam lael, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. e) Tidak sesuai dengan mutu, tingkat komposisi,proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/ atau jasa tersebut. f) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang/jasa terbut. g) Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut. h) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan ”halal” yang dicantumkan dalam label. i) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat 22 sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat. j) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, pengembang (pelaku usaha) dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (pasal 8 ayat (2) Undang – Undang Perlindungan Konsumen. 2) Memanipulasi Produk atau jasa. Diatur dalam pasal 9 yang menjelaskan bahwa produk barang/jasa yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan secara tidak benar oleh pelaku usaha dilarang, seolah barang/jasa itu: a) Telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b) Dalam keadaan baik atau baru; c) Telah mendapatkan atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja, atau aksesori tertentu; d) Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi; e) Barang/jasa tersebut tersedia; f) Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; 23 3) Informasi yang menyesatkan. Berdasarkan Undang – Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 10 kurang lebih menyatakan bahwa pelaku usaha yang menawarkan barang/jasa untuk diperdagangkan, dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan. Diatur dalam pasal 10 Undang – Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengembang (pelaku usaha yang menawarkan barang/jasa untuk diperdagangkan, dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan mengenai: a) harga atau tarif suatu barang/jasa; b) kegunaan suatu barang/jasa; c) kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang/jasa; d) tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e) bahaya penggunaan barang/jasa. 4) Cara obral atau lelang yang mengelabui/menyesatkan konsumen yang selanjutnya diatur dalam pasal 11 Undang – Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam hal: a) menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; b) menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; c) tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; 24 d) tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; e) tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f) menaikkan harga atau tarif barang/jasa sebelum melakukan obral. 5) Pemberian hadiah dalam rangka promosi suatu barang/jasa. Diatur dalam pasal 13 ayat (1) dan pasal 14 Undang – Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dua pasal tersebut melarang pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian dilarang untuk: a) Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b) Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa; c) Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d) Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. 6) Melarang pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa untuk tidak menepati pesanan dan tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi (pasal 16 Undang – Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Sedangkan kewajiban konsumen dalam Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 5, adalah sebagai berikut: 25 a) Membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. d) Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. 26 BAB III DESKRIPSI VARIABEL PENELITIAN 1. Ketentuan Umum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunan Konsumen Pasal 1 angka 1 menerangkan mengenai pengertian dari perlindungan konsumen, adalah: segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada asas yang diyakini memberikan arahan dan implementasinya di tingkatan praktis. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 2, ada 5 (lima) asas perlindungan konsumen yaitu: 1) Asas Manfaat 2) Asas Keadilan 3) Asas Keseimbangan 4) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen 5) Asas Kepastian Hukum Perlindungan konsumen sendiri menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999, bertujuan untuk: 1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 27 2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalm memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen 3. Tanggung Jawab Produk Berbicara tentang perlindungan konsumen sama halnya dengan membicarakan tanggung jawab produsen atau tanggung jawab produk, karena pada dasarnya tanggung jawab produsen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pengertian tanggung jawab produk sendiri adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk terebut. Pertanggungjawaban yang diberikan oleh pelaku usaha terhadap produk – produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang dikenal dalam dunia hukum. Khususnya bisnis, yaitu sebagai berikut : 1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, 2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, 3) Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab, 4) Prinsip tanggung jawab mutlak. Prinsip – prinsip tanggung jawab produk terus berkembang, dengan berkembangnya pemikiran dan kebutuhan mencari prinsip dan 28 tanggung jawab produk yang dapat memberikan perlindungan yang lebih baik lagi bagi konsumen. 2. Promosi Iklan dan Brosur 1. Pengertian Promosi Iklan dan Brosur Promosi iklan adalah segala bentuk pesann yang bersifat membujuk tentang suatu produk yang disampaikan lewat media dan dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sedangkan periklanan adalah keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan penyampaian iklan. Dengan demikian jelas iklan merupakan suatu komunikasi. Iklan melibatkan produsen sebagai komunikator. Fisik iklan itu sendiri sebegai unsur pesan. Media sebagai saluran dan khalayak sebagai publik yang ditujunya. Sedangkan brosur adalah terbitan tidak berkala yang dapat terdiri satu hingga sejumlah kecil halaman, tidak terkait dengan terbitan lain dan selesai dalam sekali terbit. Halamannya sering dijadikan satu (antara lain dengan strapler, benang, atau kawat) biasanya menggunakan sampul, tapi tidak menggunakan jilid keras. Brosur atau pamflet memuat informasi atau penjelasan tentang suatu produk, layanan, fasilitas umum, profil perusahaan, sekolah, atau dimaksudkan sebagai sarana beriklan. Informasi dalam brosur ditulis dalam bahasa yang ringkas, dan dimaksudkan mudah dipahami 29 dalam waktu singkat. Brosur juga didesain agar menarik perhatian, dan dicetak di atas kertas yang baik dalam usaha membangun citra yang baik terhadap layanan atau produk tersebut. Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa brosur adalah salah satu jenis dari iklan. Karena brosur digunakan juga sebagai sarana beriklan dalam menyampaikan informasi dari suatu barang dan jasa itu. Selain itu brosur mempunyai unsur yang sama dengan iklan. Atau brosur dapat disebut juga dengan iklan. 3. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Promosi 1. Tinjauan Tentang Promosi yang Menyesatkan Belum terdapatnya undang – undang yang secara khusus mengatur promosi dalam periklanan, menyebabkan pengertian promosi yang bersifat baku dan mencakup semua aspek periklanan belum dapat ditentukan dengan tegas, sehingga untuk mengetahui pengertian tentang promosi dalam periklanan harus dilihat pada berbagai pendapat yang masing – masing memiliki tinjauan yang berbeda. Promosi dianggap sebagai kegiatan bisnis yang bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat (konsumen) terhadap produk yang dipromosikan. Sehingga pada saat bertransaksi, masyarakat cenderung untuk memimilih produk yang diingatnya melaui promosi tersebut. 30 Dalam kenyataannya banyak dari pihak periklanan dan pengusaha juga tidak jujur dalam memberikan infomasi dari barang yang promosikan atau memberikan informasi bohong (fraudulent misrepresentation) merupakan pemberian informasi atau keterangan yang tidak benar atau bohong dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara yang bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan. Tentunya, hal tersebut akan berdampak menimbulkan kerugian kepada konsumen. Pomosi atau iklan yang menyesatkan (false advertising) adalah jika representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan11. Promosi iklan menyesatkan tersebut dapat meliputi: 1) Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tariff, ketetapan waktu dan jaminan, garansi dari jasa. 2) Iklan yang memuat informasi secara keliru, salah, dan tidak tepat tentang barang atau jasa. 3) Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian barang. 4) Iklan yang mengeksploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau kegiatan seseorang. 11 Milton Handler, Business Tort Case and Materials, Foundation Press: New York, 1972 halaman 475. 31 5) Iklan yang melanggar etika periklanan. 6) Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan. 7) Iklan yang melanggar etika dan peraturan periklanan.12 Dalam praktik bisnis, kerap akan timbul pernyataan palsu yang tidak sesuai dengan kondisi produk yang sebenarnya, yang menyesatkan (misleadstatement) atas suatu produk yang dijual atau iklan yang membohongi konsumen dengan cara mengungkapkan halhal yang tidak benar (false statement), serta mempergunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (puffery). Merujuk dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa informasi yang disampaikan pelaku usaha kepada konsumen bukan hanya bertujuan untuk kepentingan promosi penjualan semata, tetapi lebih dari itu informasi tersebut harus mengandung muatan yang dikemas secara jujur dan menyesatkan konsumen. 2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Perlindungan terhadap kepentingan konsumen pada dasarnya sudah diakomodasi oleh banyak perangkat hukum sejak lama. Secara sporadis berbagai kepentingan konsumen sudah dimuat dalam berbagai undang - undang, antara lain sebagai berikut: 1) Undang-Undang No.3 Tahun 1982 tentang wajib Daftar Perusahaan. 2) Undang-Undang No.5 Tahun 1985 tentang Perindustrian. 12 Sri Handayani, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2003, halaman 10. 32 3) Undang-Undang No.5 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. 4) Undang-Undang No.14 Tahun 1993 tentang Lalu Lintas dan angkutanjalan. 5) Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang Perasuransian. 6) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 7) Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Kehadiran Undang – Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Diakui, bahwa undangundang tesebut bukanlah yang pertama dan yang terakhir, karena sebelumnya telah ada beberapa rumusan hukum yang melindungi konsumen tersebar dalam beberapa peraturan perundang – undangan. Beberapa pakar menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan barang/jasa. Ada pula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi perdagangan. Dengan diundangkannya masalah perlindungan konsumen dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya 33 dilanggar bias mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) yang ada di Tanah Air. 34