ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA KUHP DAN RUU KUHP KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Seperti pengertian diatas jelas bahwa KUHP merupakan warisan kolonial Belanda dan menjadi pedoman seluruh rakyat Indonesia untuk melaksanakan tata hukum pidana di Indonesia. Seiring perkembangan zaman, KUHP dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga dibutuhkan pembaharuan dalam tata hukum pidana di Indonesia dengan dilakukan pembentukan RUU KUHP sebagai pembaharuan hukum yang berkembang di tengah masyarakat. Maka dari itu ketika diberlakukan KUHP baru, ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan undang-undang khusus diluar KUHP atau sebagai aturan umum jika tidak ada undang-undang khusus yang mengaturnya dan juga dimungkinkan sesuai dengan perkembangan hukum dan ilmu hukum yang terjadi. Ide dasar mengenai pokok pikiran tentang konsep RUU KUHP dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/penggantian KUHP lama (Wetbook van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. KUHP WvS sekarang ini dirasakan sudah kurang cocok untuk menjawab permasalahan hukum yang ada. Serta perlunya pembenahan mengenai sistem pemidanaan di Indonesia. Sehingga hukum itu dapat ditegakan berdasarkan keadilan. Untuk menjamin tetap tegaknya keadilan, maka materi hukum nasional nantinya harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Upaya pembaharuan hukum pidana termasuk dibidang penal policy merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy dan social policy.Ini berarti pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum, untuk memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional, serta upaya peninjauan kembali pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio-kultur yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilainilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana. Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu: a. alasan yang bersifat politik adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yanginherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. b. alasan yang bersifat sosiologis suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya. c. alasan yang bersifat praktis teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat. Perbedaan yang sangat mendasar antara RUU KUHP dengan KUHP adalah mengenai Bab dan Jumlah Pasal. Dalam RUU baru dibentuk tahun 2004 hanya berisi dua bab dan 707 pasal dengan ketentuan ; Bab 1 tentang ketentuan umum dengan berisikan 6 bab dan 208 pasal sementara Bab 2 tentang tindak pidana yang mengantikan ketentuan tentang KUHP pada ketentuan kejahatan dan pelanggaran karena tindak pidana dinilai lebih bersifat umum dan cenderung tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran dan agar lebih dapat bersifat adil. Sementara pada KUHP yang sudah secara universal diketahui ; Bab 1 aturan umum (9 bab 103 pasal), Bab 2 kejahatan (31 bab 385 pasal), Bab 3 pelanggaran (9 bab 81 pasal). Dengan demikian ada 569 pasal pada KUHP, memang lebih sedikit dari RUU KUHP karena pada RUU mencoba menambahkan ketentuan ketentuan yang tidak ada dalam KUHP lama.