TEKNIK PENYUSUNAN PERDA • KERANGKA PERATURAN DAERAH Kerangka peraturan daerah terdiri atas : • • Judul; • Pembukaan; • Batang tubuh • Penutup • Penjelasan (bila di perlukan) • Lampiran ( bila di perlukan) Judul • Setiap peraturan daerah diberi judul. • Judul peraturan daerah memuat keterangan mengenai Jenis, Nomor, Tahun Pengundangan atau penetapan dan nama Peraturan Daerah. • Nama Peraturan Daerah dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Daerah. • Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang di letakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. B. Pembukaan 1. Pembukaan Peraturan Daerah terdiri dari : a. Frase Dengan Mengharap Berkat Dan Rahmat Allah Subhanahu Wata’ala Pada Pembukaan Peraturan Daerah sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Daerah, dicantumkan frase DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakan di tengah marjin. b. Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah Jabatan pembentuk Peraturan Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf Kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan koma (,). c. Konsiderans 1) Konsiderans diawali dengan kata Menimbang; 2) Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Daerah; 3) Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Peraturan Daerah memuat unsur filosofis, yuridis dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya; 4) Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Daerah dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya Peraturan Daerah tersebut; 5) Jika konsiderans memuat lebih dari 1 (satu) pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian; 6) Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;). Contoh : Menimbang : a. bahwa ... ; b. bahwa ... ; 7) Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut : Contoh : Menimbang : a. bahwa.....; b. bahhwa...; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di maksud dalam huruf a dan b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang ... d. Dasar Hukum • Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat; • Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Daerah; • Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. • Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk (atau ditetapkan) atau peraturan perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. • Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan Dasar Hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya; • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tidak digunakan sebagai dasar hukum, kecuali secara tegas telah memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksud; • Penulisan Undang-Undang, kedua huruf U ditulis dengan huruf kapital. • Jika dasar hukum memuat lebih dari satu peraturan perundang- undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka arab 1, 2, 3 dan seterusnya dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;). e. Diktum; 1. Diktum terdiri dari : • a) kata Memutuskan; • b) kata Menetapkan; c) nama Peraturan Daerah. • Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf Kapital tanpa spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:) serta diletakkan di tengah marjin. C. BatangTubuh • Batang Tubuh Peraturan Daerah memuat semua substansi Peraturan Daerah yang dirumuskan dalam pasal-pasal; • Pada umumnya Substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam : • Ketentuan Umum; • Materi pokok yang diatur; • Ketentuan Pidana (jika diperlukan); • Ketentuan Peralihan (jika diperlukan); • Ketentuan Penutup. • Dalam pengelompokan Substansi sedapat mungkin dihindari adanya bentuk KETENTUAN LAIN-LAIN atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan diupayakan untuk masuk ke dalam Bab-Bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur. • Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan apabila terjadi pelanggaran atas norma tersebut. • Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi keperdataan dan sanksi Administratif dalam satu bab. • Sanksi administratif dapat berupa antara lain pencabutan ijin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif atau daya paksa polisional, sedangkan sanksi keperdataan dapat berupa ganti kerugian. • Pengelompokan materi Peraturan Daerah dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. • Jika Peraturan Daerah mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal-pasal tersebut dapat dikelompokan menjadi buku (jika merupakan kodifikasi), Bab, bagian, dan paragraf. • Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. • • Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut : • Bab dengan pasal-pasal tanpa bagian dan paragraf; • Bab dengan bagian dan pasal-pasal tanpa paragraf; • Bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal-pasal. Bab diberi Nomor urut dengan angka romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. C.2.a Ketentuan Umum 1. Ketentuan Umum diletakkan dalam Bab ke satu. Jika dalam Peraturan Daerah tidak ada pengelompokkan Bab, ketentuan Umum diletakkan dalam pasal pertama. 2. Ketentuan Umum dapat memuat lebih dari satu Pasal. 3. Ketentuan Umum berisi : a. batasan pengertian atau definisi ; b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan ; c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal berikutnya, antara lain ketentuan yang mencerminkan azas, maksud, dan tujuan. 4. Frasa pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Daerah berbunyi sebagai berikut Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 5. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik (.). 6. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan di dalam pasal-pasal selanjutnya. 7. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi. 8. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat dalam peraturan lebih tinggi. 9. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, akronim tidak perlu diberi penjelasan dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. 10. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut : a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus. b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu. c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya di letakkan berdekatan secara berurutan. C.2.b Materi pokok yang Diatur 1. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal (pasal) ketentuan umum. 2. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. C.2.c Ketentuan Pidana (jika diperlukan) • Ketentuan Pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan Pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. • Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam buku ke satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. • Dalam menentukan lamanya sanksi pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh sanksi pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. • Ketentuan Pidana ditempatkan dalam Bab tersendiri yaitu BAB KETENTUAN PIDANA yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum BAB KETENTUAN PERALIHAN. Jika ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum BAB KETENTUAN PENUTUP. • Jika di dalam Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan (Bab per bab), ketentuan Pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan Pidana diletakkan sebelum pasal penutup. • Ketentuan Pidana harus menyebutkan secara tegas nama larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian perlu dihindari : a. pengacuan kepada ketentuan Pidana perundang-undangan lain; b. pengacuan kepada kitab Undang-Undang Hukum Pidana, apabila norma yang diacu tidak sama elemen atau unsur-unsurnya. • Jika ketentuan pidana berlaku pada siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang. • Sehubungan dengan adanya perbedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam dengan pidana itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran. C.2.e Ketentuan Penutup • Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir jika tidak diadakan pengelompokan bab ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal terakhir. • Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai : • penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan peraturan Daerah; • • nama singkat; • status Peraturan Daerah yang sudah ada; • saat mulai berlaku Peraturan Daerah. Ketentuan penutup Peraturan Daerah dapat memuat pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang bersifat : • menjalankan (eksekutif) misalnya penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan ijin mengangkat pegawai, dan lain-lain. • mengatur (legislatif), misalnya memberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan. • Bagi nama Peraturan Daerah yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat (judul kutipan). Dengan nama memperhatikan hal- hal sebagai berikut : • nomor dan tahun pengeluaran Peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan. • nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat terkenal dan tidak menimbulkan salah pengertian. • Nama singkat tidak memuat pengertian menyimpang dari isi dan nama peraturan. • Hindari memberikan nama singkat bagi nama Peraturan Daerah yang sebenarnya sudah singkat. • Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat. • Jika materi dalam Peraturan Daerah baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Daerah lama, di dalam peraturan perundang-undangan harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Daerah lama. • Rumusan pencabutan diawali dengan frase pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Daerah pencabutan tersendiri. • Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Daerah hendaknya secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Daerah mana yang dicabut. 11.Untuk mencabut Peraturan Daerah yang telah diundangkan dan mulai berlaku, gunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh untuk nomor 9,10 dan 11 : Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Daerah Tahun ... Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 12.Jika jumlah Peraturan Daerah yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi. Contoh : Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku : • Peraturan Daerah Nomor ... Tahun ... tentang ... • Peraturan Daerah Nomor ... Tahun ... tentang ... dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. • Pencabutan Peraturan Daerah harus disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Daerah yang dicabut. • Untuk mencabut Peraturan Daerah yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frase ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh : Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Daerah Tahun ... Nomor ...) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. • Pada dasarnya setiap Peraturan Daerah mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan. • Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Daerah yang bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan dengan : • menentukan tanggal tertentu saat Peraturan Daerah akan berlaku • Menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Daerah lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukannya itu kodifikasi, atau oleh Peraturan Daerah lain yang lebih rendah. • Dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah ... (tenggang waktu) sejak ... • Hindari frase ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau sejenisnya, karena frase ini menimbulkan ketidakpastian mengenai saat resmi berlakunya suatu Peraturan Daerah saat pengundangan atau saat berlaku efektif. • Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Daerah adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Daerah dan seluruh wilayah Daerah. • Pada dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Daerah tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya. • Saat mulai berlakunya Peraturan Daerah pelaksanaanya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Daerah yang mendasarinya. • Peraturan Daerah hanya dapat dicabut dengan Peraturan Daerah yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. D. Penutup • Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Daerah dan memuat : • rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah; • • penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Daerah; • pengundangan Peraturan Daerah ; • akhir bagian penutup. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah sebagai berikut : contoh : Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah. • Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Daerah memuat : • tempat dan tanggal pengesahan dan penetapan; • nama jabatan; • tanda tangan pejabat; dan • nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat. • Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan. • Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital, pada akhir nama E. Penjelasan (Jika diperlukan) (1) Peraturan Daerah dapat diberi penjelasan, jika diperlukan. (2) Penjelasan berfungsi tafsiran resmi pembentukan Peraturan Daerah atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. (3) Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan. (4) Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Daerah. (5) Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan daerah yang bersangkutan. (6) Judul penjelasan Peraturan Daerah sama dengan judul Peraturan Daerah yang bersangkutan. F. Lampiran (Jika diperlukan) Dalam hal Peraturan Daerah memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah yang bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang menetapkan Peraturan Daerah yang bersangkutan. WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 2 TAHUN 2019 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Ketentuan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; a,Pemerintah Kota Surabaya telah menetapkan PeraturanDaerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentangKawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok; b.bahwa dalam rangka mewujudkan lingkungan hidup yangbaik dan sehat, sebagaimana dimaksud dalam huruf c.bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentangPengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif BerupaProduk Tembakau Bagi Kesehatan, perlu menetapkanPeraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok; d.bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 52 PeraturanPemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang PengamananBahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa ProdukTembakau Bagi Kesehatan dan Ketentuan Pasal 6 PeraturanBersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam NegeriNomor 188/MENKES/PB/I/2011 dan Nomor 7 Tahun 2011tentang Pedoman Kawasan Tanpa Rokok, ketentuanmengenai Kawasan Tanpa Rokok ditetapkan denganPeraturan Daerah, sehingga Peraturan Daerah KotaSurabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan TanpaRokok dan Kawasan Terbatas Merokok, sebagaimanadimaksud dalam huruf b, perlu ditinjau kembali; e.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlumenetapkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok. Mengingat: • Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang PembentukanDaerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi JawaTimur/Jawa Tengah/Jawa Barat dan Daerah IstimewaYogyakarta sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965Nomor 19 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2730); • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063); • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234); • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 6 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5494); • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587) sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5679); • Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5175); • Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tambahan Terhadap Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 278 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5380); • Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2017 Nomor 73 Tambahan Lembaran Negara Nomor 6041); • Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; • Peraturan Bersama Menteri Kesehatan Nomor 188/Menkes/PB/I/2011 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok; • Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah (Berita Negara Tahun 2015 Nomor 1982); • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 (Berita Negara Tahun 2018 Nomor 157); • Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 18 Tahun 2014 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2014 Nomor 18 Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 16). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURABAYA dan WALIKOTA SURABAYA MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : • Daerah adalah Kota Surabaya. • Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Surabaya. • Walikota adalah Walikota Surabaya. • Setiap orang adalah orang perorangan atau badan, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum. • Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu, rokok elektrik, vape, sisha atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. • Kawasan Tanpa Rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. • Tempat Khusus Untuk Merokok adalah ruangan/tempatyang diperuntukkan khusus untuk kegiatan merokok yangberada di dalam Kawasan Tanpa Rokok. • Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutupatau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerjabekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untukkeperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atausumber – sumber bahaya. • Tempat proses belajar mengajar adalah tempat yangdimanfaatkan untuk kegiatan belajar dan mengajardan/atau pendidikan dan/atau pelatihan. • Sarana kesehatan untukmenyelenggarakan adalah upaya tempat yang kesehatan digunakan baik promotif, preventif,kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan olehPemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat. • Arena kegiatan anak–anak adalah tempat atau arena yangdiperuntukkan untuk kegiatan anak–anak. • Tempat ibadah adalah tempat yang digunakan untukkegiatan keagamaan. • Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakatyang dapat berupa kendaraan darat, air, dan udara. • Tempat umum adalah semua tempat tertutup yang dapatdiakses oleh masyarakat umum dan/atau tempat yang dapatdimanfaatkan bersamasama untuk kegiatan masyarakat yangdikelola oleh pemerintah, swasta, dan/atau masyarakat. • Tempat lainnya adalah tempat terbuka tertentu yangdimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat. • Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkatPegawai ASN adalah Pegawai ASN Pemerintah Kota Surabaya. BAB II TUJUAN PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK Pasal 2 Penetapan Kawasan Tanpa Rokok antara lain bertujuan untuk: A. menciptakan ruang dan lingkungan hidup yang bersih dansehat; b.melindungi kesehatanperseorangan, keluarga dan masyarakat dari bahaya rokok; c.melindungi kesehatan masyarakat dari asap rokok orang lain; d.melindungi penduduk usia produktif, usia remaja danperempuan hamil dari dorongan dan pengaruh iklan sertapromosi untuk inisiasi penggunaan dan ketergantunganterhadap rokok; e.meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakatakan bahaya rokok BAB III PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK Pasal 3 • Kawasan Tanpa Rokok di daerah meliputi: • sarana kesehatan; • tempat proses belajar mengajar; • arena kegiatan anak; • tempat ibadah • .angkutan umum; • tempat kerja • .tempat umum; dan • tempat lainnya. • Ketentuan lebih lanjut mengenai Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Walikota. BAB IV LARANGAN Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang merokok di dalam Kawasan Tanpa Rokok. (2) Setiap orang yang berada dalam Kawasan Tanpa Rokok dilarang melakukan kegiatan: a.memproduksi atau membuat produk tembakau; b.menjual produk tembakau; c.menyelenggarakan iklan produk tembakau; dan/atau d.mempromosikan produk tembakau. Pasal 5 (1) Larangan kegiatan menjual, menyelenggarakan iklan dan/atau mempromosikan produk tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf d tidak berlaku bagi tempat yang digunakan untuk kegiatan penjualan Produk Tembakau di lingkungan Kawasan Tanpa Rokok. (2) Larangan kegiatan memproduksi atau membuat produk tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a tidak berlaku bagi tempat yang digunakan untuk kegiatan produksi Produk Tembakau di lingkungan Kawasan Tanpa Rokok. Pasal 6 (1) Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e dilarang menyediakan tempat khusus untuk merokok dan menyelenggarakan Kawasan Tanpa Rokok yang bebas asap rokok hingga batas terluar lahan. (2) Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h menyediakan tempat khusus untuk merokok. (3) Setiap orang dilarang merokok selain di tempat khusus untuk merokok pada kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h. (4) Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik; dan b. terpisah dari tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tempat Khusus Merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Walikota. Pasal 7 Setiap orang dilarang menjual rokok: a. menggunakan mesin layanan mandiri; b. kepada siswa atau anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun; dan/atau c. kepada perempuan hamil. BAB V KEWAJIBAN PIMPINAN ATAU PENANGGUNG JAWAB KAWASAN TANPA ROKOK Pasal 8 (1) Pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib untuk: a. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya; b. membuat dan memasang tanda/petunjuk/peringatan larangan merokok di pintu masuk dan lokasi-lokasi yang berpencahayaan cukup serta mudah terlihat dan terbaca; c. memberikan teguran dan/atau peringatan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4. (2) Pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Tanpa Merokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h wajib untuk: a. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya; b. menyediakan tempat khusus untuk merokok apabila pada kawasan tanpa rokok dimaksud masih memperkenankan aktivitas merokok; c. membuat dan memasang tanda/ petunjuk/peringatan larangan merokok di pintu masuk dan lokasi-lokasi yang berpencahayaan cukup serta mudah terlihat dan terbaca, dan tanda/ petunjuk ruangan boleh merokok pada tempat khusus merokok; d. memberikan teguran dan peringatan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (3). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda/petunjuk/peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b diatur dalam Peraturan Walikota. BAB VI PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 9 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok di Daerah. (2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum atau badan usaha, dan lembaga atau organisasi yang diselenggarakan oleh masyarakat. (3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbanganberkenaan dengan penentuan kebijakan yang terkaitdengan Kawasan Tanpa Rokok; b. melakukan pengadaan dan pemberian bantuan saranadan prasarana yang diperlukan untuk mewujudkanKawasan Tanpa Rokok; c. ikut serta dalam memberikan bimbingan dan penyuluhanserta penyebarluasan informasi kepada masyarakat; d. ikut serta menciptakan Kawasan Tanpa Rokok dilingkungan masing-masing; e. mengingatkan setiap orang yang melanggar ketentuanPasal 4 atau Pasal 6 ayat (3); f. melaporkan setiap orang yang terbukti melanggarketentuan Pasal 4 atau Pasal 6 ayat (3) kepadapimpinan/penanggungjawab Kawasan Tanpa Rokok. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Walikota. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 10 (1) Walikota berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan sebagai upaya mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok di Daerah. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a.penyebarluasan informasi dapat berupa bimbingan,sosialisasi, penyuluhan, edukasi dan pengembangankemampuan masyarakat berperilaku hidup sehat; b.memotivasi dan membangun partisipasi masyarakatuntuk hidup sehat tanpa asap rokok; dan/atau c.melakukan monitoring dan evaluasi terhadap KawasanTanpa Rokok. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemantauan atas ketaatan terhadap ketentuan yang berlaku pada Kawasan Tanpa Rokok. (4) Dalam rangka efektifitas pembinaan dan pengawasan maka Walikota membentuk Satuan Tugas Penegak Kawasan Tanpa Rokok. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Walikota. BAB VIII PENGHARGAAN Pasal 11 Setiap orang/Kelompok Masyarakat, Pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok yang berkontribusi terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah akan diberikan penghargaan dari Pemerintah Daerah sesuai ketentuan yang berlaku. BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 12 (1) Walikota berwenang memberikan sanksi administratif bagi setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 8 ayat (2). (2) Sanksi administratif bagi setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (3) adalah denda sebesar Rp.250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (3) Pegawai ASN yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Sanksi administratif bagi setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 8 ayat (2) berupa: a.teguran lisan; b.peringatan tertulis; c.penghentian sementara kegiatan; d.denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah); dan/atau e.pencabutan izin. (5) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) harus disetorkan ke Rekening Kas Umum Daerah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota. BAB X KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 13 (1) Penyidikan terhadap tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah. (2) Penyidik dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah; b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ; d. melakukan penyitaan benda atau surat ; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang ; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ; h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berwenang melakukan penangkapan dan/atau penahanan. (4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membuat berita acara setiap tindakan dalam hal: a. pemeriksaan tersangka; b. memasuki tempat tertutup; c. penyitaan barang; d.pemeriksaan saksi; e.pemeriksaan di tempat kejadian; f.pengambilan sidik jari dan pemotretan BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 14 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 9 ayat (2) diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 (1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2008 Nomor 5), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan Kepala Daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Daerah ini. Pasal 16 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Surabaya. Ditetapkan di Surabaya pada tanggal 22 April 2019 WALIKOTA SURABAYA, ttd. TRI RISMAHARINI Diundangkan di …… Diundangkan di Surabaya pada tanggal 22 April April 2019 SEKRETARIS DAERAH KOTA SURABAYA, ttd. HENDRO GUNAWAN LEMBARAN DAERAH KOTA SURABAYA TAHUN 2019 NOMOR 2 NOREG PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 71-2/2019 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN HUKUM, IRA TURSILOWATI, SH., M.H. Pembina Tingkat I NIP. 19691017 199303 2 006 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 2 TAHUN 2019 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK I. UMUM Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, oleh karena dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 (empat ribu) zat kimia antara lain nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsiogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah tinggi, enfisema, bronchitis kronik dan gangguan kehamilan. Pengamanan rokok bagi kesehatan perlu dilakukan dengan pemberian informasi tentang kandungan kadar nikotin dan tar pada setiap batang rokok, pencantuman peringatan pada label, pengaturan produksi dan penjualan rokok, periklanan dan promosi rokok. Selain itu perlu ditetapkan Kawasan Tanpa Rokok pada sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum. Dalam upaya penanggulangan bahaya akibat merokok dan agar implementasinya lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok, dengan tujuan: a. melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok; b. membudayakan hidup sehat; c. menekan perokok pemula; d. melindungi perokok pasif. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup Jelas Pasal 5 Cukup Jelas Pasal 6 Cukup Jelas Pasal 7 Cukup Jelas 2 Pasal 8. Cukup Jelas Pasal 9 Cukup Jelas Pasal 10 Cukup Jelas Pasal 11 Cukup Jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 2 .