Uploaded by raihanaqsa1

LAPORAN DKP1 GCT

advertisement
LAPORAN DISKUSI PEMICU 1
MODUL GINJAL DAN CAIRAN TUBUH
Disusun Oleh :
Kelompok 8
Reza Redha Ananda
I11112005
Rodiah
I1011151066
Arih Humairo
I1011171004
Restu Saputra
I1011171011
Velvia Ramona
I1011171012
Aisya Rezki Noeriman
I1011171031
Tupa Julita Tampubolon
I1011171041
Kurnia Pralisa
I1011171043
M. Rizky Rivaldo
I1011171049
Angelina Putri Utami Ningsih
I1011171052
Daniel Leon Hart Panjaitan
I1011171082
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Danang 21 tahun, seorang mahasiswa FK Untan mendapati BAK nya berwarna
kuning bening di pagi hari setelah sarapan pagi, Danang sangat aktif dan sering terlupa
untuk minum. Di sore harinya Danang rutin olahraga jogging selama 30 menit. Setelah
jogging, Danang mendapati kali ini BAK nya sedikit dan berwarna kuning pekat. Selain
itu Danang juga merasa sangat haus, lalu disarankan oleh temannya untuk minum air
mineral yang cukup.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
Tidak ada
1.3 Kata Kunci
1.3.1
Danang 21 tahun
1.3.2
BAK kuning bening di pagi hari
1.3.3
BAK sedikit dan kuning pekat setelah olahraga
1.3.4
Haus
1.3.5
Sering lupa minum
1.3.6
Minum air mineral yang cukup
1.3.7
Sangat aktif beraktivitas
1.4 Rumusan masalah
Laki-laki 21 tahun mendapati BAK-nya sedikit dan berwarna kuning pekat setelah
melakukan berbagai aktivitas dan sering lupa minum
1.5 Analisis Masalah
1.6 Hipotesis
Perubahan kepekatan dan volume urine bergantung pada osmolaritas cairan tubuh
1.7 Pertanyaa Diskusi
1.7.1
Sistem Urinaria
1.7.1.1 Anatomi
1.7.1.2 Histologi
1.7.2
Fisiologi
1.7.2.1 Filtrasi
1.7.2.2 Reabsorpsi
1.7.2.3 Sekresi
1.7.2.4 Ekskresi
1.7.3
Mekanisme haus
1.7.4
Peran hormon ADH
1.7.5
Dehidrasi
1.7.5.1 Definisi
1.7.5.2 Klasifikasi
1.7.5.3 Etiologi
1.7.5.4 Manifestasi Klinis
1.7.5.5 Tatalaksana
1.7.5.6 Patofisiologi
1.7.5.7 Komplikasi
1.7.5.8 Pemeriksaan penunjang
1.7.6
Mekanisme pemekatan dan pengenceran urine
1.7.7
Osmolaritas
1.7.8
Karakteristik urin normal
1.7.9
Studi kasus
1.7.9.1 Hubungan aktivitas fisik dengan produksi Urine
1.7.9.2 Kebutuhan air minum bagi tubuh manusia
1.7.9.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi urine
1.7.9.4 Adaptasi tubuh terhadap dehidrasi
1.7.9.5 Hubungan regulasi tekanan darah dan produksi urine
1.7.10 Renin Angiotensin System
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Urinaria
2.1.1
Anatomi
Ginjal (ren) manusia berjumlah sepasang, terletak di rongga perut sebelah
kanan depan dan kiri depan ruas-ruas tulang belakang bagian pinggang. Ginjal
kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri karena di atas ginjal kanan terdapat hati.
Ginjal berbentuk seperti biji ercis dengan panjang sekitar 10 cm dan berat sekitar
200 gram.
Ginjal yang dibelah secara membujur akan memperlihatkan bagian-bagian
korteks yang merupakan lapisan luar. Medula (sumsum ginjal), dan pelvis (rongga
ginjal). Di bagian korteks terdapat jutaan alat penyaring yang disebut nefron. Setiap
nefron terdiri atas badan Malpighi dan tubulus kontortus. Badan Malpighi terdiri
atas kapsula (simpai) Bowman dan glomerulus. Glomerulus merupakan anyaman
pembuluh kapiler. Kapsula Bowman berbentuk mangkuk yang mengelilingi
glomerulus.
'I'ubulus kontortus terdiri atas tubulus kontortus proksimal. tubulus
kontortus distal.
Tubulus kontortus kolektivus. Di antara tubuIus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distal terdapat gelung /lengkung Henle pars
ascenden (naik) dan pars descenden (turun). Penamaan beberapa bagian ginjal
mengambil nama ahli yang berjasa dalam penelitian ginjal. Kapsula Bowman
mengambil nama William Bowman (l816 – 1892). Seorang ahli bedah yang
merupakan perintis di bidang saluran kentih yang mengidentifikasi kapsula
tersebut. Lengkung Henle meugambil nama Jacob Henle (1809-1885), seorang ahli
anatomi berkebangsaan Jerman yang mendeskripsikan lengkung di dalam ginjal
tersebut. Glomerulus di identifikasi oleh seorang ahli mikroanatomi berkebangsaan
ltalia bernama Marcerllo Malpighi (1628 - 1694). Ginjal merupakan alat
pengeluaran sisa metabolisme dalam bentuk urine yang di dalamnya mengandung
air, amoniak (NH3), ureum, asam urat dan garam mineral tertentu. Penderita
diabetes miletus urine mengandung glukosa.
Kedua, Ureter, merupakan perpanjangan tubular berpasangan dari pelvis
ginjal yang merentang sampai kandung kemih. Panjang tiap ureter : 25-30 cm,
diameter 4-6 mm, saluran ini menyempit di 3 tempat yaitu, titik asal ureter pada
pelvis renalis, titik saat melewati pinggiran pelvis renalis, titik pertemuan ureter
dengan kandung kemih.
Ketiga, kandung kemih yang berlokasi dibelakang simfisis pubis didepan
rektum. Organ ini terletak agak di bawah uterus didepan vagina. Ukuran organ
sebesar kacang kenari dan tertelak di pelvis saat kosong. Kandung kemih di topang
dalam rongga pelvis dengan lipatan-lipatan peritoneum dan kondensasi fasia.
Terakhir, adalah uretra. Pada laki-laki membawa cairan semen dan urine,
tetapi tidak pada waktu yang bersaaman. Uretra panjangnya mencapai 20 cm
melalui kelenjar prostat dan penis. Uretra perempuan berukuran pendek 3,75 cm.
saluran ini membuka keluar tubuh melalui orifisium uretra eksternal yang terletak
dalam vestibulum antara klitoris dan mulut vagina.1
2.1.2
Histologi
Sistem urinaria merupakan sistem yang penting untuk membuang sisa-sisa
metabolisme makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama senyawa-senyawa
nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan produk sisa metabolisme.
Sampah metabolisme ini dikeluarkan (disekresikan) oleh ginjal dalam bentuk urin.
Urin kemudian akan turun melewati ureter menuju kandung kemih untuk disimpan
sementara dan akhirnya secara periodik akan dikeluarkan melalui uretra. Sistem
urinaria manusia terdiri dari dua ginjal, dua ureter, vesika urinaria (urinary bladder/
kandung kemih), dan uretra.
2.1.2.1 Ginjal
Ginjal berbentuk seperti kacang merah dengan panjang 10-12 cm dan tebal
3,5-5 cm, terletak retroperitoneal di sebelah atas rongga abdomen. Ginjal kanan
terletak lebih ke bawah dibandingkan ginjal kiri. Secara histologi ginjal
terbungkus dalam kapsul jaringan lemak dan jaringan ikat kolagen. Organ ini
terdiri atas bagian korteks dan medula yang satu sama lain tidak dibatasi oleh
jaringan pembatas khusus, ada bagian medula yang masuk ke korteks (prosesus
Ferreini) dan ada bagian korteks yang masuk ke medula (kolumna renalis
Bertini). Bangunan-bangunan yang terdapat pada korteks dan medula ginjal
yaitu Korteks ginjal terdiri atas beberapa bangunan, yait Korpus Malphigi
(Korpus renalis) terdiri atas kapsula Bowman dan glomerulus dan bagian sistim
tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan tubulus kontortus distal.
Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan bagian
sistem tubulus, yaitu pars ascendens dan descendens ansa Henle, bagian tipis
ansa Henle, duktus koligens, dan duktus papilaris Bellini.
2.1.2.2 Tubulus Uriniferus
Tubulus uriniferus merupakan unit fungsional terkecil dalam ginjal. Tubulus
uriniferus terdiri dari nefron dan tubulus koligens. Nefron terdiri dari dua
bangunan, korpus renalis dengan tubulus renalis. Korpus renalis terdiri atas 2
macam bangunan yaitu kapsul Bowman dan glomerulus.1 Kapsul Bowman
merupakan pelebaran ujung proksimal saluran keluar ginjal (nefron) yang
dibatasi epitel. Bagian ini diinvaginasi oleh glomerulus. Dinding sebelah luar
disebut lapis parietal (pars parietal) sedangkan dinding dalam disebut lapis viseral
(pars viseralis) yang melekat erat pada glomerulus. Ruang diantara ke dua lapisan
ini sebut ruang Bowman yang berisi cairan ultrafiltrasi. Dari ruang ini cairan
ultrafiltrasi akan masuk ke dalam tubulus kontortus proksimal.
Glomerulus merupakan bangunan yang berbentuk khas, bundar dengan warna
yang lebih tua daripada sekitarnya karena sel-selnya tersusun lebih padat.
Glomerulus merupakan pembuluh kapiler. Glomerulus ini akan diliputi oleh
epitel pars viseralis kapsul Bowman. Di sebelah luar terdapat ruang Bowman
yang akan menampung cairan ultra filtrasi dan meneruskannya ke tubulus
kontortus proksimal.
Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan tubulus
kontortus proksimal yang membentuk kutub tubular (urinary pole), sedangkan
pada kutub yang berlawanan bertautan dengan arteriol yang masuk dan keluar
dari glomerulus terdapat kutub yang disebut kutub vaskular. Arteriol glomerular
aferent masuk kemudian bercabang-cabang lagi menjadi sejumlah kapiler yang
bergulung-gulung. Pembuluh kapiler ini diliputi oleh sel-sel khusus yang disebut
sel podosit. Sel podosit ini dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Kapilerkapiler ini kemudian bergabung lagi membentuk arteriol yang selanjutnya keluar
dari glomerulus dan menjadi arteriol glomerular eferen.3
2.1.2.3 Aparatus Juksta-Glomerular
Sel-sel otot polos dinding arteriol aferent di dekat glomerulus berubah
sifatnya menjadi sel epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam
sitoplasmanya terdapat granula yang mengandung enzim renin, suatu enzim yang
diperlukan dalam mengontrol tekanan darah. Sel-sel ini dikenal sebagai sel juksta
glomerular.
Sel-sel juksta glomerular di sisi luar akan berhimpitan dengan sel-sel makula
densa, yang merupakan epitel dinding tubulus kontortus distal yang berjalan
berhimpitan dengan kutub vaskular. Pada bagian ini sel dinding tubulus tersusun
lebih padat daripada bagian lain. Sel-sel makula densa ini sensitif terhadap
perubahan konsentrasi ion natrium dalam cairan di tubulus kontortus distal.
Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam cairan tubulus kontortus distal akan
merangsang sel-sel makula densa (berfungsi sebagai osmoreseptor) untuk
memberikan sinyal kepada sel-sel juksta glomerulus agar mengeluarkan renin.
Sel makula densa dan juksta glomerular bersama-sama membentuk aparatus
juksta-glomerular.
Di antara aparatus juksta glomerular dan arteriol eferen glomerulus terdapat
sekelompok sel kecil-kecil yang terang disebut sel mesangial ekstraglomerular
atau sel polkisen (bantalan) atau sel lacis. Fungsi sel-sel ini masih belum jelas,
tetapi
diduga
sel-sel
ini
berperan
dalam
mekanisma
umpan
balik
tubuloglomerular. Perubahan konsentrasi ion natrium pada makula densa akan
memberi sinyal yang secara langsung mengontrol aliran darah glomerular. Selsel mesangial ekstraglomerular diduga berperan dalam penerusan sinyal di
makula densa ke sel-sel juksta glomerular. Selain itu sel-sel ini menghasilkan
hormon eritropoetin, yaitu suatu hormon yang akan merangsang sintesa sel-sel
darah merah (eritrosit) di sumsum tulang.
2.1.2.4 Tubulus Ginjal
2.1.2.4.1
Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir
sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle).
Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas-batas yang sukar
dilihat. Inti sel bulat, bundar, biru dan biasanya terletak agak berjauhan
satu sama lain. Sitoplasmanya bewarna kemerahan. Permukaan sel yang
menghadap ke lumen mempunyai mikrovili (brush border). Tubulus ini
terletak di korteks ginjal.
Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrat
glomerulus 80-85 persen dengan cara reabsorpsi via transport dan pompa
natrium. Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan
direabsorpsi.
2.1.2.4.2
Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun (pars
desendens), bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik (pars
asendens). Segmen tebal turun mempunyai gambaran mirip dengan
tubulus kontortus proksimal, sedangkan segmen tebal naik mempunyai
gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis ansa henle
mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler darah, tetapi epitelnya
sekalipun hanya terdiri atas selapis sel gepeng, sedikit lebih tebal sehingga
sitoplasmanya lebih jelas terlihat. Selain itu lumennya tampak kosong.
Ansa henle terletak di medula ginjal..
2.1.2.4.3
Tubulus kontortus distal
Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya disusun
oleh selapis sel kuboid dengan batas antar sel yang lebih jelas
dibandingkan tubulus kontortus proksimal. Inti sel bundar dan bewarna
biru. Jarak antar inti sel berdekatan. Sitoplasma sel bewarna kebiruan dan
permukaan sel yang mengahadap lumen tidak mempunyai mikrovili.
2.1.2.4.4
Tubulus koligen
Saluran ini mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal tetapi
dinding sel epitelnya jauh lebih jelas, selnya lebih tinggi dan lebih pucat.
Di bagian medula yang lebih ke tengah beberapa tubulus koligen akan
bersatu membentuk duktus yang lebih besar yang bermuara ke apeks
papila. Saluran ini disebut duktus papilaris (Bellini). Muara ke permukaan
papil sangat besar, banyak dan rapat sehingga papil tampak seperti sebuah
tapisan (area kribrosa). Fungsi tubulus koligen adalah menyalurkan kemih
dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit absorpsi air yang dipengaruhi
oleh hormon antidiuretik (ADH).
2.1.2.5 Ureter
Secara histologi, ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan
adventisia. Lapisan mukosa terdiri atas epitel transisional yang disokong oleh
lamina propria. Epitel transisional ini terdiri atas 4-5 lapis sel. Sel permukaan
bervariasi dalam hal bentuk mulai dari kuboid sampai gepeng. Sel-sel permukaan
ini mempunyai batas cekung pada lumen dan dapat berinti dua. Sel-sel permukaan
ini dikenal sebagai sel payung. Lamina propria terdiri atas jaringan fibrosa yang
relatif padat dengan banyak serat elastin
Lapisan muskularisnya terdiri atas atas serat otot polos longitudinal disebelah
dalam dan sirkular di sebelah luar (berlawan dengan susunan otot polos di saluran
cerna). Lapisan adventisia atau serosa terdiri atas lapisan jaringan ikat
fibroelsatin. Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang diproduksi oleh ginjal
ke dalam kandung kemih.
2.1.2.6 Vesika Urinaria
Vesika urinaria terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan serosa/adventisia.
Mukosanya dilapisi oleh epitel transisional yang lebih tebal dibandingkan ureter
(terdiri atas 6-8 lapis sel) dengan jaringan ikat longgar yang membentuk lamina
propria dibawahnya. Tunika muskularisnya terdiri atas berkas-berkas serat otot
polos yang tersusun berlapis-lapis yang arahnya tampak tak membentuk aturan
tertentu. Diantara berkas-berkas ini terdapat jaringan ikat longgar. Tunika
adventisianya terdiri atas jaringan fibroelastik. Fungsi kandung kemih adalah
menampung urin yang akan dikeluarkan kedunia luar melalui uretra.
2.1.2.7 Uretra
Panjang uretra pria antara 15-20 cm dan terbagi atas 3 bagian yaitu:
2.1.2.7.1
Pars Prostatika, yaitu bagian uretra mulai dari muara uretra pada kandung
kemih hingga bagian yang menembus kelenjar prostat. Pada bagian ini
bermuara 2 saluran yaitu duktus ejakulatorius dan saluran keluar kelenjar
prostat.
2.1.2.7.2
Pars membranasea yaitu bagian yang berjalan dari puncak prostat di
antara otot rangka pelvis menembus membran perineal dan berakhir pada
bulbus korpus kavernosus uretra.
2.1.2.7.3
Pars kavernosa atau spongiosa yaitu bagian uretra yang menembus korpus
kavernosum dan bermuara pada glands penis.
Epitel uretra bervariasi dari transisional di uretra pars prostatika, lalu pada bagian
lain berubah menjadi epitel berlapis atau bertingkat silindris dan akhirnya epitel
gepeng berlapis tanpa keratin pada ujung uretra pars kavernosa yang melebar yaitu
di fosa navikularis. Terdapat sedikit sel goblet penghasil mukus. Di bawah epitel
terdapat lamina propria terdiri atas jaringan ikat fibro-elastis longgar.
Pada wanita uretra jauh lebih pendek karena hanya 4 cm panjangnya. Epitelnya
bervariasi dari transisional di dekat muara kandung kemih, lalu berlapis silindris atau
bertingkat hingga berlapis gepeng di bagian ujungnya. Muskularisnya terdiri atas 2
lapisan otot polos tersusun serupa dengan ureter.2,3,4,5
2.2 Fisiologi Sistem Urinaria
2.2.1
Filtrasi
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas-protein
tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Dalam keadaan
normal, 20% plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses ini, dikenal
sebagai filtrasi glomerulus, adalah langkah pertama dalam pembentukan urine.
Secara rerata, 125 mL filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi) terbentuk secara
kolektif melalui seluruh glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180 liter
(sekitar 47,5 galon) setiap hari. Dengan mempertimbangkan bahwa volume rerata
plasma pada orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti bahwa ginjal menyaring
keseluruhan volume plasma sekitar 65 kali sehari. Jika semua yang difiltrasi keluar
sebagai urine, semua plasma akan menjadi urine dalam waktu kurang dari setengah
jam! Namun, hal ini tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus
berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga bahan-bahan dapat
dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di dalam kapiler
peritubulus.
Filtrasi glomerulus umumnya adalah proses yang indiskriminatif. Kecuali
sel darah dan protein plasma, semua konstituen di dalam darah H20, nutrien,
elektrolit, zat sisa, dan sebagainya-secara non-selektif masuk ke lumen tubulus
sebagai aliran masal selama filtrasi-yaitu, dari 20% plasma yang difiltrasi di
glomerulus, segala sesuatu yang ada di bagian plasma tersebut masuk ke kapsula
Bowman kecuali protein plasma. Proses-proses tubulus yang sangat diskriminatif
kemudian bekerja pada filtrat untuk mengembalikan ke darah suatu cairan dengan
komposisi dan volume yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas
lingkungan cairan internal. Bahan terfiltrasi yang tak-diinginkan dibiarkan
tertinggal di cairan tubulus untuk diekskresikan sebagai urine. Filtrasi glomerulus
dapat dianggap sebagai pemindahan sebagian dari plasma, dengan semua
komponen esensial serta komponen yang perlu dikeluarkan dari tubuh, ke "ban
berjalan" yang berakhir di pelvis ginjal, yaitu titik pengumpulan urine di dalam
ginjal. Semua konstituen plasma yang masuk ban berjalan ini dan kemudian tidak
dikembalikan ke plasma di ujung ban akan dikeluarkan dari ginjal sebagai urine.
Sistem tubulus yang menentukan bagaimana menyelamatkan bahan-bahan filtrasi
yang perlu dipertahankan di dalam tubuh melalui proses reabsorpsi sementara
membiarkan bahan-bahan yang harus diekskresi tetap dalam ban berjalan tersebut.
Selain itu, sebagian bahan tidak saja difiltrasi, tetapi juga disekresikan ke dalam
ban berjalan tubulus, sehingga jumlah bahan-bahan tersebut yang diekskresikan
dalam urine lebih besar daripada jumlah yang difiltrasi. Untuk banyak bahan,
proses-proses ginjal ini berada di bawah kontrol fisiologik. Karena itu, ginjal
menangani setiap konstituen plasma dengan kombinasi tertentu filtrasi, reabsorpsi,
dan sekresi.
Ginjal hanya bekerja pada plasma, tetapi CES terdiri dari plasma dan cairan
interstisium. Cairan interstisium adalah lingkungan cairan internal sejati di tubuh
karena merupakan satu-satunya komponen CES yang berkontak langsung dengan
sel. Namun, karena terjadi pertukaran bebas antara plasma dan cairan interstisium
melalui dinding kapiler (kecuali protein plasma), komposisi cairan interstisium
mencerminkan komposisi plasma. Karena itu, dengan melakukan peran reguIatorik
dan ekskretorikpada plasma, ginjal mempertahankan lingkungan cairan internal
yang sesuai agar fungsi sel optimal. Sebagian besar dari isi bab ini selanjutnya akan
ditujukan kepada pembahasan tentang bagaimana proses-proses dasar ginjal
dilakukan dan mekanisme pengaturan mereka untuk membantu mempertahankan
homeostasis.
Cairan yang difiltrasi dari glomerulus ke dalam kapsula Bowman harus
melewati tiga lapisan berikut yang membentuk membrane glomerulus (1) dinding
kapiler glomerulus, (2) membran basal, dan (3) lapisan dalam kapsula Bowman.
Secara kolektif, lapisan-lapisan ini berfungsi sebagai saringan halus molekular
yang menahan sel darah dan protein plasma tetapi membolehkan H20 dan zat
terlarut dengan ukuran molekul lebih kecil lewat. Marilah kita bahas tiap-tiap
lapisan secara lebih terperinci.
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari selapis sel endotel gepeng. Lapisan
ini ditembus oleh banyak pori besar yang menyebabkannya 100 kali lebih
permeabel terhadap H20 dan zat terlarut daripada kapiler di bagian lain tubuh.
Kapiler glomerolus tidak hanya memiliki pori yang biasanya ditemukan antara sel
endotel yang membentuk dinding kapiler, tetapi sel endotel sendiri juga dilubangi
oleh lubang atau fenestrasi yang besar. Membran basal adalah lapisan gelatinosa
aselular (tidak mengandung sel) yang terbentuk dari kolagen dan glikoprotein yang
tersisip di antara glomerulus dan kapsula Bowman. Kolagen menghasilkan
kekuatan struktural, dan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma yang
kecil. Protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat
melewati pori kapiler, tetapi pori ini masih dapat melewatkan albumin, protein
plasma terkecil. Namun, karena bermuatan negatif, glikoprotein menolak di
membran basal, yang menyebabkan membrane glomerulus lebih permeabel
terhadap albumin meskipun ukuran pori kapiler tidak berubah
Lapisan terakhir membran glomerulus adalah lapisan dalam kapsula
Bowman. Lapisan ini terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang mengelilingi kuntum
glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak prosesus kaki (podo artinya "kaki";
prosesus adalah tonjolan atau apendiks) memanjang yang saling menjalin dengan
prosesus kaki podosit sekitar, seperti Anda menjalinkan jari-jari tangan Anda ketika
Anda memegang bola dengan kedua tangan Celah sempit di antara prosesusprosesus kaki yang berdampingan, yang dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk
jalur tempat cairan meninggalkan kapiler glomerulus menuju lumen kapsula
Bowman. Karena itu, rute yang dilalui oleh bahan terfiltrasi melewati membran
glomerulus seluruhnya berada di luar sel-pertama melalui pori kapiler, kemudian
melalui membran basal aselular, dan akhirnya melewati celah filtrasi
Untuk melaksanakan filtrasi glomerulus, harus terdapat gaya yang
mendorong sebagian plasma di glomerulus menembus lubanglubang di membran
glomerulus. Tidak terdapat pengeluaran energy lokal yang berperan dalam
memindahkan cairan dari plasma menembus membran glomerulus menuju kapsula
Bowman. Filtrasi glomerulus dilakukan oleh gaya-gaya fisik pasif yang serupa
dengan yang bekerja di kapiler di tempat lain. Karena glomerulus adalah suatu
kuntum kapiler, prinsip-prinsip dinamika cairan yang sama yang menyebabkan
ultrafiltrasi di kapiler lain berlaku di sini (lihat h.384), kecuali untuk dua perbedaan
penting: (1) Kapiler glomerulus jauh lebih permeable daripada kapiler di tempat
lain, sehingga lebih banyak cairan difiltrasi untuk tekanan filtrasi yang sama, dan
(2) keseimbangan gaya-gaya menembus membran glomerulus adalah sedemikian
sehingga filtrasi terjadi di keseluruhan panjang kapiler. Sebaliknya, keseimbangan
gaya-gaya di kapiler lain bergeser sehingga filtrasi terjadi di bagian awal pembuluh
tetapi di ujung pembuluh terjadi reabsorpsi.
Tiga gaya fisik terlibat dalam filtrasi glomerulus: tekanan darah kapiler
glomerulus, tekanan osmotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula
Bowman :
a. Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan (hidrostatik) yang
ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini pada akhirnya
bergantung pada kontraksi jantung (sumber energi yang menghasilkan filtrasi
glomerulus) dan resistensi terhadap aliran darah yang ditim-bulkan oleh
arteriol aferen dan eferen. Tekanan darah kapiler glomerulus, dengan nilai
rerata diperkirakan 55 mm Hg, lebih tinggi daripada tekanan darah kapiler di
tempat lain. Penyebab lebih tingginya tekanan di kapiler glomerulus adalah
diameter arteriol aferen yang lebih besar dibandingkan dengan arteriol eferen
(Gambar 14-4). Karena darah dapat lebih cepat masuk ke glomerulus melalui
arteriol aferen yang lebar daripada keluar melalui arteriol eferen yang lebih
sempit, tekanan darah kapiler glomerulus tetap tinggi akibat terbendungnya
darah di kapiler glomerulus. Selain itu, karena tingginya resistensi yang
dihasilkan oleh arteriol eferen, tekanan darah tidak memiliki kecenderungan
yang sama untuk turun di sepanjang kapiler glomerulus seperti di kapiler lain.
Tekanan darah glomerulus yang tinggi dan tidak menurun ini cenderung
mendorong cairan keluar glomerulus menuju kapsula Bowman di seluruh
panjang kapiler glomerulus, dan merupakan gaya utama yang menghasilkan
filtrasi glomerulus. Sementara tekanan darah kapiler glomerulus mendorong
filtrasi, dua gaya lain yang bekerja menembus membran glomerulus (tekanan
osmotik koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman) melawan
filtrasi.
b. Tekanan osmotik koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi takseimbang
protein-protein plasma di kedua sisi membrane glomerulus. Karena tidak dapat
difiltrasi, protein plasma terdapat di kapiler glomerulus tetapi tidak di kapsula
Bowman. Karena itu, konsentrasi H20 lebih tinggi di kapsula Bowman
daripada di kapiler glomerulus. H20 yang difiltrasi keluar darah glomerulus
jauh lebih banyak sehingga konsentrasi protein plasma lebih tinggi daripada di
tempat lain.Kecenderungan H20 untuk berpindah melalui osmosis menuruni
gradien konsentrasinya sendiri dari kapsula Bowman ke dalam glomerulus
melawan filtrasi glomerulus. Gaya osmotik yang melawan ini memiliki rerata
30 mm Hg, yang sedikit lebih tinggi daripada di kapiler lain.
c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman, tekanan yang ditimbulkan oleh cairan
di bagian awal tubulus ini, diperkirakan sekitar 15 mm Hg. Tekanan ini, yang
cenderung mendorong cairan keluar kapsula Bowman, melawan filtrasi cairan
dari glomerulus menuju kapsula Bowman.
Gaya-gaya yang bekerja menembus membran glomerulus tidak berada dalam
keseimbangan. Gaya total yang mendorong filtrasi adalah tekanan darah kapiler
glomerulus pada 55 mm Hg. Jumlah dua gaya yang melawan filtrasi adalah 45 mm
Hg. Perbedaan neto yang mendorong filtrasi (10 mm Hg) disebut tekanan filtrasi
neto. Tekanan yang ringan ini mendorong cairan dalam jumlah besar dari darah
menembus membrane glomerulus yang sangat permeabel. Laju filtrasi yang
sebenarnya, laju filtrasi glomerulus (LFG), bergantung tidak saja pada tekanan
filtrasi neto tetapi juga pada seberapa luas permukaan glomerulus yang tersedia
untuk penetrasi dan seberapa permeabel membran glomerulus (yaitu, seberapa
"bocor" lapisan ini). Sifat-sifat membran glomerulus ini secara kolektif disebut
sebagai koefisien filtrasi (Kf). Karena itu, LFG = Kf x tekanan filtrasi neto Dalam
keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus disaring pada
tekanan filtrasi neto 10 mm Hg, melaiui selurub glomerulus secara kolektif
menghasilkan 180 liter filtrat glomerulus setiap hari untuk LFG rerata 125 mL/ mnt
pada pria (160 liter filtrat per hari pada LFG rerata 115 mL/mnt pada wanita).6
2.2.2
Reabsorpsi
2.2.2.1 Tubulus Proksimal
Pada pertengahan pertama tubulus proksimal, natrium direabsorbsi dengan
cara ko-transpor bersama-sama dengan glukosa, asam amino, dan zat terlarut
lainnya. Tetapi pada bagian pertengahan kedua dari tubulus proksimal, hanya
sedikit glukosa dan asam amino yang direabsorbsi. Justru sekarang natrium
yang terutama direabsorbsi bersama dengan ion klorida. Pertengahan kedua
tubulus proksimal memiliki konsentrasi klorida yang relatif tinggi (sekitar 140
mEq/L) dibandingkan dengan bagian awal tubulus proksimal (sekitar 105
mEq/L) karena saat natrium direabsorbsi, natrium membawa glukosa,
bikarbonat, dan ion organik pada bagian awal tubulus proksimal, meninggalkan
suatu larutan yang mempunyai konsentrasi klorida yang tinggi. Di pertengahan
kedua tubulus proksimal, tingginya konsentrasi klorida membantu difusi ion ini
dari lumen tubulus melalui taut interselular ke dalam cairan interstisial ginjal.
Sebagian kecil klorida juga direabsorpsi melalui kanal klorida khusus di
membran sel tubulus proksimal.
2.2.2.2 Ansa Henle
Bagian desendens segmen tipis sangat permeabel terhadap air dan sedikit
permeabel terhadap sebagian besar zat terlarut, termasuk ureum dan natrium.
Fungsi segmen nefron ini terutama untuk memungkinkan difusi zat-zat secara
sederhana melalui dindingnya. Sekitar 20 persen dari air yang difiltrasi akan
direabsorbsi di ansa Henle, dan hampir semuanya terjadi di pars tipis desendens.
Segmen tebal ansa Henle, yang dimulai dari separuh bagian atas pars
asendens, memiliki sel-sel epitel yang tebal yang mempunyai aktivitas
metabolik tinggi dan mampu melakukan reabsorpsi aktif natrium, klorida, dan
kalium. Sekitar 25 persen dari beban natrium, klorida, dan kalium yang difiltrasi
akan direabsorbsi di ansa Henle, kebanyakan di pars tebal asendens. Sejumlah
besar ion lain, seperti kalsium, bikarbonat, dan magnesium juga direabsorbsi
pada pars tebal asendens ansa Henle. Segmen tipis pars asendens memiliki
kapasitas reabsorpsi yang lebih rendah daripada segmen tebal, danpars
desendens tipis tidak mereabsorbsi zat terlarut ini dalam jumlah yang
bermakna.
Segmen tebal asendens ansa Henle sesungguhnya impermeabel terhadap
air. Oleh karena itu, kebanyakan air yang dibawa ke segmen ini tetap tinggal
dalam tubulus, walaupun terjadi reabsorpsi zat terlarut dalam jumlah besar.
Cairan tubulus pada pars asendens menjadi sangat encer sewaktu cairan
mengalir menuju tubulus distal, suatu sifat yang penting untuk memungkinkan
ginjal mengencerkan atau memekatkan urine pada berbagai kondisi.
2.2.2.3 Tubulus distal
Segmen tebal asendens ansa Henle berlanjut ke dalam tubulus distal. Bagian
pertama dari tubulus distal membentuk makula densa, sekelompok sel epitel
yang tersusun padat yang merupakan bagian dari kompleks jukstaglomerulus
yang memberi kontrol umpan balik LFG dan aliran darah dalam nefron yang
sama.
Bagian tubulus distal selanjutnya sangat berkelok-kelok dengan banyak ciri
reabsorpsi yang sama dengan segmen tebal pars asendens ansa Henle. Artinya,
bagian tersebut mereabsorbsi sebagian besar ion, termasuk natrium, kalium, dan
klorida, tetapi sesungguhnya tidak permeabel terhadap air dan ureum. Oleh
karena alasan ini, bagian itu disebut segmen pengencer (diluting segment)
karena juga mengencerkan cairan tubulus.
Kurang lebih 5 persen dari beban natrium klorida yang difiltrasi akan
direabsorbsi di bagian awal dari tubulus distal. Ko-transporter natrium-klorida
memindahkan natrium klorida dan lumen tubulus masuk ke dalam sel, dan
pompa natrium-kalium ATPase mentranspor natrium keluar dari sel melalui
membran basolateral. Klorida berdifusi keluar dari sel dan masuk ke dalam
cairan interstisial ginjal melalui kanal klorida di membran basolateral.
Separuh bagian kedua dari tubulus distal dan tubulus koligens kortikalis
berikutnya mempunyai ciri-ciri fungsional yang sama. Secara anatomis,
keduanya terdiri dari dua tipe sel yang berbeda, sel-sel prinsipalis dan sel-sel
interkalatus. Sel-sel prinsipalis mereabsorbsi natrium dan air dari lumen dan
menyekresikan ion kalium ke dalam lumen. Sel-sel interkalatus mereabsorbsi
ion kalium dan menyekresikan ion hidrogen ke dalam lumen tubulus.7
2.2.3
Sekresi
Sekresi tubulus juga melibatkan transpor transepitel, dalam hal ini dari
plasma kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Dengan sekresi tubulus,
tubulus ginjal dapat secara selektif menambahkan bahan-bahan tertentu ke dalam
cairan tubulus. Sekresi suatu bahan mempercepat ekskresinya di urin. Sistem
sekresi terpenting adalah untuk (1) H+, yang penting dalam regulasi keseimbangan
asam-basa; (2) K+, yang menjaga konsentrasi K+ plasma pada kadar yang sesuai
untuk mempertahankan eksitabilitas membran sel otot dan saraf; dan (3) ion
organik, yang melaksanakan eliminasi lebih efisien senyawa organik asing dari
tubuh. H+ disekresikan di tubulus proksimal, distal, dan koligentes. K+ disekresikan
hanya di tubulus distal dan koligentes di bawah kendali aldosteron. Ion organik
hanya disekresikan di tubulus proksimal.6
2.2.4
Ekskresi
Ekskresi urine adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam urin.
Ini bukan merupakan proses terpisah tetapi merupakan hasil dari tiga proses
perrama di atas. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tetapi
tidak direabsorpsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk
diekskresikan sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh (Gambar 14-5). (Jangan
mengacaukan ekskresi dengan sekresi). Perhatikan bahwa semua yang difiltrasi dan
kemudian direabsorpsi, atau tidak difiltrasi sama sekali, masuk ke darah vena dari
kapiler.6
2.3 Mekanisme haus
Mekanisme munculnya rasa haus merupakan proses pengaturan primer asupan
cairan. Pusat rangsangan haus berada di hipotalamus otak dekat sel penghasil vasopresin.
Hipotalamus sebagai pusat pengontrolan mengatur sekresi vasopresin (pengeluaran urin)
dan rasa haus (minum) bekerja secara berkesinambungan. Sekresi vasoprin serta rasa haus
di rangsang oleh kekurangan cairan dan dikendalikan oleh kelebihan cairan. Itu sebabnya,
kondisi yang mendorong kejadian penurunan pengeluaran urin untuk menghemat cairan
tubuh dapat menimbulkan rasa haus untuk mengganti kehilangan cairan tubuh.6
Osmoreseptor hipotalamus yang terletak dekat sel penghasil vasopresin dan pusat
haus, marangsang sinyal eksitatorik utama sekresi vasopresin dan rasa haus. Osmoreseptor
ini memantau osmolaritas cairan, selanjutnya mencerminkan konsentrasi keseluruh cairan
internal. Sepanjang peningkatan osmolaritas (air terlalu sedikit) dan kebutuhan akan air
bertambah, maka secara otomatis akan terjadi aktifasi sekresi vasopresin dan rasa haus.
Akibat proses aktifasi tersebut, terjadi peningkatan reabsorpsi air di tubulus distal dan
koligentes sehingga pengeluaran urin kurang dan air akan dihemat, disisi lain asupan air
secara bersamaan dirangsang. Proses ini memulihkan cadangan air yang berkurang
sehingga keadaan hipertonik mereda seiring pulihnya konsentrasi zat terlarut dalam kondisi
normal. Sebaliknya, air yang berlebihan, bermanifestasi sebagai menurunnya osmolaritas
CES, mendorong kenaikan ekskresi urin (lewat penurunan sekresi
vasopresin) dan
menekan perasaan haus, sehingga mengurangi jumlah air dalam tubuh.6
Sebagian stimulus merangsang pusat ini, termasuk juga tekanan osmotik cairan
tubuh, volume vaskular, dan angiotensin (hormon yang dilepaskan sebagai respon pada
penurunan aliran darah ke ginjal). Tekanan osmotik yang meningkat akan menstimulasi
pusat haus yang menyebabkan munculnya rasa haus dan mendorong keingin untuk minum
untuk menggantikan kehilangan cairan. 7
Regulasi ketat harus dilakukan pada osmolalitas cairan ekstraselular karena
perubahan osmolalitas akan menyebabkan pembengkakan atau pengerutan sel dan
mengakibatkan sel mati. Kontrol pada osmolalitas lebih dulu terjadi dari kontrol volume
cairan tubuh.8
Peningkatan osmolalitas plasma terjadi pada kondisi defisiensi air dan menurun
dengan ingesti air. Osmoreseptor dihipotalamus anterior sangat sensitif pada perubahan
kecil 1% pada osmolalitas plasma serta meregulasi hormon antidiuretik (antidiuretic
hormone, ADH). Osmolalitas yang meningkat merangsang peningkatan pelepasan ADH
dan menstimulasi munculnya rasa haus serta reabsorpsi air, dan pada keadaan menurunnya
osmolalitas menyebabkan efek yang sebaliknya. 8
Peningkatan konsentrasi plasma, penurunan volume darah, membran mukosa dan
mulut yang kering, angiotensin II, kehilangan kalium, dan faktor-faktor psikologis. Sel
reseptor osmoreseptor secara terus- menerus memantau osmolalitas, apabila tubuh
kehilangan cairan banyak osmoreseptor akan bekerja mendeteksi kehilangan cairan dan
mengaktifkan pusat rasa haus, hal ini yang mengakibatkan seseorang merasa haus dan
mencul keinginan untuk minum. 9
Munculnya rasa haus merupakan sebuah fenomena penting mekanisme dasar yang
dialami tubuh manusia sebagai sinyal atau tanda kebutuhan akan cairan (air) dalam tubuh
untuk mempertahankan kebutuhan cairan. Karena jumlah air dalam tubuh manusia harus
seimbang pada setiap saat antara yang masuk dan yang keluar setiap hari. Jika antara
jumlah air yang masuk dan keluar tidak seimbang (jumlah air yang keluar lebih banyak
dibanding yang masuk), maka akan muncul rasa haus. 10
Rasa haus akan segera hilang sesaat setelah seseorang minum dan bahkan sebelum
cairan yang diminum diabsorpsi oleh saluran gastrointestinalis. Tetapi rasa haus hanya
akan hilang sementara setelah seseorang minum dan cairan yang di minum mendistensi
saluran gastrointestinalis atas, kemudian rasa haus akan kembali dirasakan dalam waktu
sekitar 15 menit. Karena saat lambung kemasukan air, akan terjadi peregangan lambung
dan bagian lain dari traktus gastrointestinalis atas yang dapat memberikan efek
pengurangan rasa haus untuk sesaat selama 5 sampai 30 menit. Mekanisme ini mengatur
kebutuhan cairan tubuh manusia agar cairan yang di minum tidak berlebihan, karena cairan
dalam tubuh butuh waktu 30 menit sampai 1 jam untuk diabsorpsi dan diedarkan ke seluruh
tubuh. 7,11
2.4 Peran Hormon ADH
Kerja ADH ginjal yang paling penting adalah meningkatkan permeabilitas air pada
tubulus distal, tubulus koligens, dan epitel duktus koligens. Hal ini membantu tubuh untuk
menyimpan air dalam keadaan seperti dehidrasi. Bila tidak ada ADH, permeabilitas tubulus
distal dan duktus koligens terhadap air menjadi rendah, menyebabkan ginjal mengekskresi
sejumlah besar urine yang encer. Jadi, kerja ADH memegang peran penting dalam
mengontrol derajat pengenceran atau pemekatan urine.
ADH berikatan dengan reseptor V2 spesifik di bagian akhir tubulus distal, tubulus
koligens dan duktus koligens, yang meningkatkan pembentukan AMP siklik dan
mengaktivasi protein kinase. Kemudian kedua hal tersebut merangsang pergerakan suatu
protein intrasel, yang disebut aquaporin-2 (AQP-2), ke sisi luminal membran sel. Molekulmolekul AQP-2 berkelompok dan bergabung dengan membran sel melalui eksositosis
untuk membentuk kanal air yang menyebabkan difusi air secara cepat melalui sel. Juga
terdapat aquaporin lainnya, AQP-3 dan AQP-4, di sisi basolateral dari membran sel yang
menyediakan suatu jalur bagi air untuk keluar dari sel secara cepat, walaupun hal ini tidak
diyakini diatur oleh ADH. Peningkatan kadar ADH secara kronis juga meningkatkan
pembentukan protein AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan merangsang transkripsi gen AQP2. Bila konsentrasi ADH menurun, molekul AQP-2 berpindah kembali ke sitoplasma sel,
dengan demikian memindahkan kanal air dari membran luminal dan menurunkan
permeabilitas air.7
2.5 Dehidrasi
2.5.1
Definisi
Dehidrasi merupakan kondisi kekurangan cairan tubuh karena jumlah
cairan yang keluar lebih banyak daripada jumlah cairan yang masuk. Menurut
Asian Food Information Centre, dehidrasi terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi tingkat berat. Dehidrasi dapat
mengganggu keseimbangan dan pengaturan suhu tubuh dan pada tingkat yang
sudah sangat berat bisa berujung pada penurunan kesadaran dan koma.12
2.5.2
Klasifikasi
Dehidrasi dapat dikategorikan menjadi beberapa tipe berdasarkan jumlah
kehilangan cairan dan elektrolit. Berikut ini adalah tipe dehidrasi:13
2.5.2.1 Dehidrasi Isotonik
Didefinisikan sebagai suatu keadaan jumlah kehilangan air sebanding
dengan jumlah kehilangan elektrolit natrium (Na+). Kadar Na+ pada kondisi
dehidrasi isotonik berkisar antara 135-145 mmol/L dengan osmolalitas serum
berkisar antara 275-295 mOsm/L. Terapi umumnya dengan cairan kristaloid
yang bersifat isotonik, seperti:
• NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dalam NaCl 0,225% (untuk pediatrik)
• RL (Ringer’s Lactate) atau NaCl 0,9% (untuk dewasa)
2.5.2.2 Dehidrasi Hipertonik
Didefinisikan sebagai suatu keadaan kehilangan air lebih besar dibandingkan
kehilangan elektrolit Na+. Kadar Na+ pada kondisi dehidrasi hipertonik >145
mmol/L dengan osmolalitas serum >295 mOsm/L. Terapi yang dapat
diberikan untuk mengatasi dehidrasi hipertonik ini adalah:
• Dextrose 5% dalam NaCl 0,45% atau Dextrose 5% dalam ½ kekuatan RL
(untuk pediatrik)
• Fase I: 20 mL/kgBB RL atau NaCl 0,9%; fase II: Dextrose 5% dalam
NaCl 0,45% diberikan ≥48 jam agar tidak terjadi edema otak dan
kematian (untuk dewasa)
2.5.2.3 Dehidrasi Hipotonik
Didefinisikan sebagai suatu keadaan kehilangan air lebih kecil dibandingkan
kehilangan elektrolit Na+. Kadar Na+ pada kondisi dehidrasi hipotonik <135
mmol/L dengan osmolalitas serum <275 mOsm/L. Terapi yang dapat
diberikan untuk mengatasi dehidrasi hipotonik ini adalah:
 NaCl 0,9% disertai dextrose 5% dalam NaCl 0,225% untuk seluruh
pemenuhan kekurangan cairan (untuk pediatrik)
 Fase I: 20ml/kgBB RL atau NaCl 0,9%; fase II: koreksi defisit natrium
(untuk dewasa)13
2.5.3
Etiologi
Dehidrasi disebabkan oleh penurunan kadar air total tubuh baik karena
kurang asupan atau lebih banyak kehilangan cairan. Gejala umum dehidrasi adalah
mulut / lidah kering, haus, sakit kepala, dan lesu.14
2.5.4
Manifestasi Klinis
Berdasarkan persentase kehilangan air dari total berat badan, derajat/skala
dehidrasi dapat ringan, sedang, hingga derajat berat (tabel 1).12 Derajat dehidrasi
berbeda antara usia bayi dan anak jika dibandingkan usia dewasa.
Bayi dan anak (terutama balita) lebih rentan mengalami dehidrasi karena
komposisi air tubuh lebih banyak, fungsi ginjal belum sempurna dan masih
bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya, selain itu
penurunan berat badan juga relatif lebih besar. Pada anak yang lebih tua, tanda
dehidrasi lebih cepat terlihat dibandingkan bayi karena kadar cairan ekstrasel lebih
rendah. Menentukan derajat dehidrasi pada anak juga dapat menggunakan skor
WHO, dengan penilaian keadaan umum, kondisi mata, mulut dan turgor (tabel 2).15
Derajat dehidrasi berdampak pada tanda klinis. Makin berat dehidrasi,
gangguan hemodinamik makin nyata. Produksi urin dan kesadaran dapat menjadi
tolok ukur penilaian klinis dehidrasi.16
2.5.5
Tatalaksana
Pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan
untuk memberikan pada penderita: (1) kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari
cairan dan elektrolit, (2) mengganti kehilangan yang terjadi, dan (3) mencukupi
kehilangan abnomal dari cairan yang sedang berlangsung (on going abnormal
losses).
Perencanaan terapi ketiga komponen ini perlu ditujukan secara individual sehingga
tidak ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi
menjadi beberapa tahap yang berurutan yaitu: (1) menjaga perfusi yang cukup, (2)
memperbaiki defisit cairan & elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam-basa, dan
(3) mencukupi kebutuhan nutrisi.
Pemberian cairan pada penderita dengan dehidrasi berat atau dalam keadaan syok
merupakan tindakan kedaruratan medis. Penderita dapat dinilai secara lengkap apabila
pemberian cairan sudah dimulai dan penderita dalam keadaan stabil.
Dalam perencanaan pemberian terapi cairan, yang penting dipertimbangkan adalah
defisit Na+ dan air, perubahan kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya
elektrolit yang terkait dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen.
Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang ditujukan untuk
memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok). , mengganti defisit yang terjadi,
rumatan (maintenance)/ untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit yang
sedang berlangsung (on going losses).17
2.5.6
Patofisiologi
Kekurangan volume cairan adalah keadaan yang umum terjadi pada
berbagai keadaan dalam klinik. Keadaan ini hampir selalu berkaitan dengan
kehilangan cairan tubuh melalui ginjal atau di luar ginjal. Penyebab tersering
kekurangan volume cairan yang juda sering terjadi adalah tersimpannya cairan pada
cidera jaringan luna, luka bakar berat, peritonitis / obstruksi saluran cerna.
Terkumpulnya cairan di adlam ruang non ECF dan non ECF. Pada prinsipnya
cairan menjadi terperangkapdan tidak dapat dipakai oleh tubuh. Penumpulkan
volume cairan yang cepat dan banyak pada ruang-ruang seperti beradal dari volume
ECF sehingga dapta mengurangi volume sirkulasi darah efektif.
Perdarahan, muntah, diare, keringat adalah cairan hipotonik yang terdiri
dari ari, Na (30-70 m Eg/l) dan klorida. Selama latihan berat pada lingkungan yang
panas, bisa terjadi kehilagnan 1 L keringat / jam. Sehingga dapat menyebabkan
kekurangan volume jika asupannya tidak mencukupi. Jumlah besar cairan dapat
hilang melalui kulit karna penguapan jika luka bakar dirawat dengan metode
terbuka.
Kehilangan Na dan air melalui ginjal tanpa adanya penyakit ginjal terjadi
pada 3 keadaan yang paling sering adalah pemakaian diuretik yang berlebihan,
terutama tiazid atau diuretik sampai yang kuat seperti furosemid. Diuresis osmotik
obligatorik juga sering menyebabkan kehilangan Na dan air yang terjadi selama
glikosuria pada DM yang tidak terkontrol atau koma hipermosmolar non ketonik
pada kasus pemberian makanan tinggi protein secara enternal atau parenteral dapat
terbentuk urea dalam jumlah besar yang bisa bertindak sebagai agen osmotik.
Apapun penyebab dari kekurangan volume cairan, berkurangnya volume
ECF menganggu curah jantung dengan mengurangi alir balik vene ke jantung
sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung. Karena tekanan arteri rata-rata
= curah x tahanan perifer total maka penurunan curah jantung mengakibatkan
hipotensi. Penurunan tekanan darah dideteksi oleh baroreseptor pada jantung dan
arteri karotis dan diteruskan ke pusat vasomotor di batang otak, yang kemudian
menginduksi respon simpatis. Respon berupa vasokonstriksi perifer, peningkatan
denyut dan kontraktilitas jantung bertujuan untuk mengembalikan curah jantung
dan perfusi jarignan yang normal.
Penurunan perfusi ginjal merangsang mekanisme renin-angiotensinaldosteron. Angiotensin merangsang vasokonstriksi sistemik dan aldosteron
meningkatkan reabsorbsi natrium oleh ginjal. Jika terjadi hipovolemi yang lebih
berat (1000 ml) maka vasokontriksi dan vasokonstriksi yang diperantai oleh
angiotensin II yang meningkat. Terjadi penahanan aliran darah yang menuju ginjal,
saluran cerna, otot dan kulit, sedangkan aliran yang menuju koroner dan otak relatif
dipertahankan.6
2.5.7
Komplikasi
Dehidrasi yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan timbulnya
komplikasi pada tubuh Anda. Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat
dehidrasi yang tidak ditangani, yaitu:
2.5.7.1 Kejang yang muncul akibat gangguan keseimbangan elektrolit dalam tubuh,
terutama natrium dan kalium.
2.5.7.2 Permasalahan pada ginjal dan saluran kemih, terutama jika dehidrasi yang
dialami terjadi berulang kali. Dehidrasi dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih, batu ginjal, bahkan gagal ginjal.
2.5.7.3 Cedera akibat suhu tinggi (heat injury). Jika sedang melakukan aktivitas fisik
berat, namun tidak menjaga asupan cairan tubuh, dapat mengalami dehidrasi
yang memicu terjadinya heat injury. Gejala heat injury yang tergolong ringan
bisa berupa kram. Sedangkan gejala beratnya bisa berupa kelelahan dan heat
stroke.
2.5.7.4 Syok hipovolemik. Ini merupakan komplikasi akibat dehidrasi paling serius,
dan bahkan berpotensi membahayakan jiwa Anda. Kekurangan cairan dapat
menyebabkan volume darah di dalam tubuh menjadi berkurang, sehingga
tekanan darah dan kadar oksigen menjadi menurun.19
2.5.8
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan di laboratorium yang terdiri dari
pemeriksaan :19
2.5.8.1 Kadar natrium plasma darah
2.5.8.2 Osmolaritas serum
2.5.8.3 Ureum dan kreatinin darah
2.5.8.4 Berat jenis urine darah
2.6 Mekanisme Pemekatan dan Pengenceran Urine
Osmolaritas CES (konsentrasi zat terlarut) bergantung pada jumlah relatif H2O
dibandingkan dengan zat terlarut. Pada keseimbangan cairan dan konsentrasi zat terlarut
yang normal, cairan tubuh bersifat isotonik pada osmolaritas 300 miliosmol/liter
(mOsm/liter). Jika terlalu banyak terdapat H2O dibandingkan dengan zat terlarut, cairan
tubuh menjadi hipotonik, yang berarti cairan tubuh terlalu encer dengan osmolaritas kurang
dari 300 mOsm/liter. Namun, jika terjadi defisit H2O relatif terhadap zat terlarut, cairan
tubuh menjadi terlalu pekat, atau hipertonik, dengan osmolaritas lebih besar daripada 300
mOsm/liter. Dengan mengetahui bahwa gaya pendorong bagi reabsorpsi H2O di sepanjang
tubulus adalah gradien osmotik antara lumen tubulus dan cairan interstisium sekitar, dapat
diperkirakan
berdasarkan
pertimbangan
osmotik,
bahwa
ginjal
tidak
dapat
mengekskresikan urine yang lebih encer atau pekat daripada cairan tubuh. Memang, hal
inilah yang akan terjadi jika cairan interstisium yang mengelilingi tubulus di ginjal identik
osmolaritasnya dengan cairan tubuh lainnya. Reabsorpsi air akan berlangsung hanya
hingga ketika cairan tubulus seimbang secara osmosis dengan cairan interstisium, dan
tubuh akan tidak memiliki cara untuk mengeluarkan kelebihan H2O ketika cairan tubuh
hipotonik atau menahan H2O ketika terjadi hipertonisitas. Untungnya, terdapat suatu
gradien osmotik vertikal besar yang khas di cairan interstisium medula ginjal. Konsentrasi
cairan interstisium secara progresif meningkat dari batas korteks hingga ke kedalaman
medula hingga konsentrasi itu pada manusia mencapai maksimal 1200 mOsm/liter di taut
erat dengan pelvis ginjal. Melalui mekanisme yang akan segera dijelaskan, gradien ini
memungkinkan ginjal menghasilkan urine yang konsentrasinya bervariasi dari 100-1200
mOsm/liter, bergantung pada status hidrasi tubuh.
Ketika tubuh berada dalam keseimbangan ideal, terbentuk urine isotonik 1 mL/mnt.
Ketika hidrasi tubuh berlebihan (terlalu banyak H2O), ginjal dapat menghasilkan urine
encer dalam jumlah besar (hingga 25 mL/mnt dan hipotonik pada 100 mOsm/ liter),
membuang kelebihan H2O di urine. Sebaliknya, ginjal dapat menghasilkan urine pekat
dalam jumlah kecil (hingga 0,3 ml/mnt dan hipertonik pada 1200 mOsm/liter) ketika tubuh
mengalami dehidrasi (kekurangan H2O), menahan H20 bagi tubuh. Susunan anatomik yang
unik dan interaksi fungsional yang kompleks antara berbagai komponen nefron di medula
ginjal menjadi penyebab terbentuknya dan dimanfaatkannya gradien osmotik vertikal.
Ingat kembali bahwa lengkung tajam ansa Henle hanya sedikit masuk ke dalam
medula di nefron korteks, tetapi di nefron jukstamedula lengkung masuk jauh ke seluruh
kedalaman medula sehingga ujung lengkung berada dekat dengan pelvis ginjal. Juga, vasa
rekta nefron jukstaglomerulus membentuk lengkung tajam dalam seperti lengkung panjang
Henle. Aliran di lengkung panjang Henle dan vasa rekta dianggap countercurrent karena
aliran di kedua bagian lengkung yang saling berdekatan ini berlawanan arah. Sementara
itu, duktus koligentes yang melayani kedua jenis nefron, dalam perjalanan ke pelvis ginjal,
berjalan menembus medula hanya dalam arah desenden. Susunan ini, ditambah dengan
karakteristik permeabilitas dan transpor segmen-segmen tubulus ini, berperan kunci dalam
kemampuan ginjal menghasilkan urine dengan konsentrasi beragam, bergantung pada
apakah tubuh perlu menghemat atau mengeluarkan air.
Secara singkat, lengkung Henle panjang nefron jukstamedula membentuk gradien
osmotik vertikal, vasa rektanya mempertahankan gradien ini sembari memberi darah ke
medula ginjal, dan duktus koligentes semua nefron menggunakan gradien ini, bersama
dengan hormon vasopresin, untuk menghasilkan urine dengan beragam konsentrasi. Secara
kolektif, susunan fungsional keseluruhan ini disebut dengan sistem countercurrent medula.
Kita akan membahas tiap-tiap seginya dengan lebih terperinci.6
2.7 Jelaskan Mengenai Osmolaritas
Konsentrasi osmotic(osmolalitas) menyatakan jumlah partikel yang larut dalam
suatu larutan. Jika zat terlarut ditambahkan ke dalam air, maka konsentrasi
efektif(aktivitas) dari air relative menurun disbandingkan dengan air murni. Aktivitas
osmotic hanya dipengaruhi oleh jumlah relative dari partikel-partikel zat terlarut dan
pelarut, dan dalam keadaan ideal tidak tergantung pada sifat zat terlarut. Partikel jat yang
memiliki massa dan muatan yang berbeda memiliki efek yang sama pada keadaan
osmolalitas zat pelarut. Misalnya 3 ion natrium dan 3ion klorida setara dengan 6 molekul
glukosa dalam 1 kg air.20
2.8 Karakteristik Urine Normal
2.9 Studi Kasus
2.9.1
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Produksi Urine
Latihan fisik akan menyebabkan beberapa perubahan dalam tubuh, seperti
peningkatan kadar protein urin. Peningkatan kadar protein urin umumnya terjadi
pada orang dengan penyakit ginjal, sehingga tenaga kesehatan sering keliru akan
hal ini. Peningkatan ekskresi protein yang berlebihan pada urin setelah latihan fisik
pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 pada tentara yang melakukan latihan fisik
berat. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan latihan fisik aliran darah menuju
ginjal berkurang dan menyebabkan terganggunya fungsi glomerulus dan tubulus
ginjal. Keadaan ini tidak berbahaya karena hanya bersifat sementara, dan
reversibel. Organ yang bertanggung jawab pada keadaan ini adalah ginjal. Ginjal
mempunyai peran penting mengatur keseimbangan air dan elektrolit di dalam tubuh
dan mempertahankan keseimbangan asam basa dengan mengsekresikannya.21
2.9.2
Kebutuhan Air Minimum bagi Tubuh Manusia
Sesuai rumus Holliday dan Segard yaitu :
2.9.2.1 Pada Orang Dewasa
Total dari :
-
BB 10 kg pertama = 1 liter cairan
-
BB 10 kg kedua = 0,5 liter cairan
-
BB >> 10 kg = 20 mL dikali sisa BB
2.9.2.2 Berdasarkan Berat Badan Bayi dan Anak
(4 × BB 10 kg pertama ) + (2 × BB 10 kg kedua ) + (1 × sisa berat badan
selanjutnya )
2.9.2.3 Berdasarkan Umur, Namun Berat Badan Tidak Diketahui
2.9.3
-
> 1 tahun = 2n + 8 (n dalam tahun)
-
3-12 bulan = n + 9 (n dalam bulan)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Urine
2.9.3.1 Hormon Antidiuretik
Hormon antidiuretik dikeluarkan oleh kelenjer saraf hipofisis. Pengeluaran
hormon ini ditentukan oleh reseptor khusus di dalam otak yang secara terus
menerus mengendalikan tekanan osmotik darah. Oleh karena itu, Hormon ini
akan memengaruhi proses reabsorbsi air pada tubulus kortortus distal sehingga
permeabilitas sel terhadap air akan meningkat.
Pada saat tubuh kekurangan cairan, kosentrasi air dalam darah menurun.
Akibatnya sekresi ADH meningkat dan dialirkan oleh darah menuju ginjal.
ADH meningkat permeabilitas sel terhadap air permeabilitas saluran
pengumpul. Dengan demikian, air akan berdifusi keluar dari pipa pengumpul,
lalu masuk ke dalam darah. Keadaan tersebut dapat memulihkan kosentrasi air
dalam darah. Akibatnya urin yang di hasilkan lebih pekat. Sebaliknya, pada saat
tubuh kelebihan cairan kosentrasi air dalam darah meningkat sehingga sekresi
ADH menurun yang mengakibatkan urine yang di hasilkan lebih cair dan
banyak. Kekurangan hormon antidiuretik akan dapat menyebabkan penyakit
diabetes insipidus.
2.9.3.2 Hormon insulin
Hormon insulin adalah hormon yang dikeluarkan oleh pulau langerhans
dalam pangkreas. Hormon insulin berfungsi mengatur gula dalam darah.
Penderita kencing manis (diametes melitus) memiliki kosentrasi hormon insulin
yang rendah, sehingga kadar gula dalam darah akan tinggi. Akibat dari keadaan
tersebut adalah terjadinya gangguan rearbsorpsi di dalam tubulus distal,
sehingga dalam urine masih terdapat glukosa
2.9.3.3 Usia
Anak balita lebih sering mengeluarkan urine. Hal ini karena anak balita
belum bisa mengendalikan rangsangan untuk mikturasi. Selain itu ,anak balita
juga mengkomsumsi lebih banyak makanan yang berwujud cairan sehingga
urin yang di hasilkan lebih banyak sedangkan pengeluaran urin pada masa
lansia akan lebih sedikit. Hal ini karena setelah usia 40 tahun, jumlah nefron
yang berfungsi akan menurun kira-kira 10% setiap tahun. Kondisi ini akan
mengurangi kemampuan ginjal dalam memproses pengeluaran urine.
2.9.3.4 Gaya hidup dan aktivitas
Seseorang yang sering berolahraga urine yang terbentuk akan lebih sedikit
dan lebih pekat. Hal ini karena cairan tubuh lebih banyak digunakan untuk
membentuk energi. Oleh karena itu, cairan yang dikeluarkan lebih banyak
dalam bentuk keringat.
2.9.3.5 Kondisi kesehatan
Seseorang yang sehat produksi urinenya berbeda dengan orang yang sakit.
Orang yang sedang sakit bisa mengeluarkan urin lebih banyak ataupun lebih
sedikit tergantung pada jenis penyakit yang dideritanya.
2.9.3.6 Psikologis
Orang yang sedang cemas, aktivitas metabiolismenya akan lebih cepat sehingga
akan lebih sering mengeluarkan urine.
2.9.3.7 Cuaca
Apabila cuaca panas, cairan tubuh lebih banyak di keluarkan dalam bentuk
keringat. Jika cuaca dingin cairan tubuh akan di keluarkan dalam bentuk urine.
2.9.3.8 Jumlah air yang diminum
Jumlah air yang di minum tentu akan mempengaruhi kosentrasi air dalam
darah. Jika kita meminum banyak air, kosentrasi air dalam dara menjadi tinggi,
dan kosentrasi protein dalam darah menurun, sehingga filtrasi akan menjadi
berkurang. Selain itu, keadaan seperti ini menyebabkan darah lebih encer,
sehingga sekresi ADH akan berkurang. Menurunya filtrasi dan berkurangnya
ADH akan menyebabkan menurunya penyerapan air, sehingga urin yang di
hasilkan akan meningkat dan encer.21
2.9.4
Adaptasi Tubuh Manusia Saat Dehidrasi
Ketika sekresi vasopresin meningkat sebagai respons terhadap defisit H20
dan permeabilitas tubulus distal dan koligentes terhadap H20 juga karenanya
meningkat, cairan tubulus yang hipotonik yang mengalir ke bagian distal nefron
dapat kehilangan lebih banyak H20 secara progresif melalui osmosis ke dalam
cairan interstisium sewaktu cairan tubulus mula-mula mengalir melalui korteks
isotonik dan kemudian terpajan ke cairan interstisium medula yang osmolaritasnya
terus meningkat ketika saluran masuk jauh menuju pelvis ginjal. Sewaktu cairan
tubulus 100 mOsm/liter masuk ke tubulus distal dan terpajan ke cairan interstisium
sekitar dengan osmolaritas 300 mOsm/ liter, H20 keluar dari tubulus secara osmosis
menembus sel tubulus yang kini permeabel hingga cairan tubulus mencapai
kosentrasi maksimal 300 mOsm/ liter di akhir tubulus distal. Sewaktu terus
mengalir ke duktus koligentes, cairan tubulus 300 mOsm/liter ini terpajan ke cairan
interstisium medula yang osmolaritasnya bahkan lebih tinggi lagi. Konsekuensinya,
cairan tubulus kembali kehilangan H20 secara osmosis dan menjadi semakin pekat;
hanya untuk mengalir maju, terpajan ke osmolaritas cairan interstisium yang lebih
tinggi, dan kembali kehilangan H20; dan demikian seterusnya.
Di bawah pengaruh vasopresin kadar maksimal, cairan tubulus dapat
dipekatkan hingga 1200 mOsm/liter di akhir duktus koligentes. Cairan tidak
dimodifikasi lebih lanjut lagi setelah duktus koligentes sehingga apa yang tersisa di
tubulus di titik ini adalah urine. Akibat reabsorpsi ekstensif H20 yang didorong oleh
vasopresin di segmen-segmen akhir tubulus ini, dapat diekskresikan urine dengan
volume sedikit dan memiliki konsentrasi hingga 1200 mOsm/liter. Setiap menit
dapat dihasilkan urine bervolume hanya 0,3 ml, kurang daripada sepertiga
kecepatan aliran urine normal yang besarnya 1 mL/mnt. H20 yang direabsorpsi
masuk ke cairan interstisium medula diambil oleh kapiler peritubulus dan
dikembalikan ke sirkulasi umum sehingga dipertahankan di dalam tubuh.
Meskipun mendorong penghematan H20 oleh tubuh, vasopresin tidak dapa
menghentikan secara total produksi urine, meskipun yang bersangkutan sama sekali
tidak mendapat H2O, karena harus terjadi ekskresi H20 dalam jumlah minimal
bersama dengan zat sisa terlarut. Secara kolektif, produk sisa dan konstituen lain
yang dieliminasi di urine berosmolaritas rerata 600 mOsm per hari. Karena
konsentrasi maksimal urine adalah 1200 mOsm/liter, volume minimal urine yang
diperlukan untuk mengekskresikan zat zat sisa ini adalah 500 mL/hari (600 mOsm
zat sisa/hari 1200 mOsm/ liter = urine 0,5 liter, atau 500 mL/hari, atau 0,3 mL/
mnt). Karena itu, di bawah pengaruh maksimal vasopresin, 99,7% dari 180 liter
H2O plasma yang terfiltrasi per hari dikembalikan ke darah, dengan pengeluaran
wajib H20 sebanyak setengah liter.
Kemampuan ginjal memekatkan urine untuk mengurangi kehilangan H20
jika dibutuhkan hanya dimungkinkan karena adanya gradien osmotik vertikal di
medula. Jika gradien ini tidak ada, ginjal tidak dapat menghasilkan urine yang lebih
pekat daripada cairan tubuh seberapapun jumlah vasopressin yang dikeluarkan
karena satu-satunya gaya pendorong untuk reabsorpsi H20 adalah perbedaan
konsentrasi antara cairan tubulus dan cairan interstisium.6
2.9.5
Hubungan Regulasi Tekanan Darah dan Produksi Urine
Salah satu pengatur ekskresi natrium yang paling kuat dalam tubuh adalah
angiotensin II. Perubahan asupan natrium dan cairan berhubungan dengan
perubahan timbal balik pada pembentukan angiotensin II, dan hal ini kemudian
sangat membantu mempertahankan keseimbangan natrium dan cairan tubuh.
Artinya, bila asupan natrium meningkat di atas normal, sekresi renin menurun,
menyebabkan penurunan pembentukan angiotensin II. Oleh karena angiotensin II
memiliki beberapa pengaruh penting untuk meningkatkan reabsorpsi natrium oleh
tubulus.Penurunan kadar angiotensin II menurunkan reabsorpsi natrium dan air
oleh tubulus, sehingga meningkatkan ekskresi natrium dan air oleh ginjal. Hasil
akhirnya adalah memperkecil peningkatan volume cairan ekstraselular dan tekanan
arteri yang akan terjadi bila asupan natrium meningkat.
Sebaliknya, bila asupan natrium menurun di bawah normal, peningkatan
kadar angiotensin II menyebabkan retensi natrium dan air, dan melawan penurunan
tekanan darah arteri yang akan terjadi. Jadi, perubahan aktivitas sistem reninangiotensin berperan sebagai penguat mekanisme natriuresis tekanan yang sangat
ampuh untuk mempertahankan tekanan darah dan volume cairan tubuh yang stabil.
Bila pengontrolan angiotensin terhadap natriuresis berfungsi sempurna,
kurva natriuresis tekanan menjadi curam (kurva normal), yang menunjukkan bahwa
hanya diperlukan sedikit perubahan tekanan darah untuk meningkatan ekskresi
natrium bila asupan natrium meningkat.
Bila asupan natrium meningkat, diperlukan peningkatan tekanan arteri yang
lebih besar untuk meningkatkan ekskresi natrium dan mempertahankan
keseimbangan natrium. Sebagai contoh, pada sebagian besar orang, peningkatan
asupan natrium sebesar 10 kali lipat hanya menyebabkan peningkatan beberapa
milimeter air raksa pada darah, sedangkan pada orang yang tidakdapat menekan
pembentukan angiotensin II dengan tepat sebagai respons terhadap natrium yang
berlebihan, peningkatan asupan natrium dalam jumlah yang sama akan
menyebabkan tekanan darah meningkat sebanyak 50 mm Hg. Jadi, ketidak
mampuan untuk menekan pembentukan angiotensin II bila terdapat natrium yang
berlebihan akan menurunkan kemiringan kurva natriuresis tekanan dan membuat
tekanan arteri menjadi sangat sensitif terhadap garam.
Walaupun angiotensin II adalah salah satu hormon penahan air dan natrium
yang paling kuat dalam tubuh, penurunan maupun peningkatan angiotensin II yang
bersirkulasi tidak berpengaruh besar terhadap volume cairan ekstraselular atau
volume darah selama tidak terjadi kegagalan jantung atau kegagalan ginjal. Hal ini
karena dengan peningkatan kadar angiotensin II yang besar, seperti yang terjadi
pada tumor ginjal yang menyekresikan renin, kadar angiotensin II yang tinggi pada
mulanya menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal dan peningkatan kecil
pada volume cairan ekstraselular. Hal ini juga mengawali peningkatan
tekananarteri, yang dengan cepat meningkatkan ekskresi natrium dan air oleh
ginjal, dengan demikian mengatasi pengaruh penahanan air dan natrium oleh
angiotensin II dan membuat suatu keseimbangan kembali antara asupan dan
keluaran natrium pada tekanan darah yang lebih tinggi. Sebaliknya, setelah
penghambatan pembentukan angiotensin II, seperti yang terjadi bila diberi
penghambat enzim pengonversi angiotensin, mula-mula terjadi kehilangan natrium
dan air, tetapi penurunan tekanan darah melawan pengaruh ini dan ekskresi natrium
kembali normal.
Bila jantung melemah atau ada penyakit jantung, kemampuan pompa
jantung mungkin tidak cukup besar untuk meningkatkan tekanan arteri untuk dapat
mengatasi retensi natrium akibat kadar tinggi angiotensin II; pada keadaan ini
angiotensin II dapat menyebabkan retensi natrium dan air yang besar sehingga
berlanjut menjadi gagal jantung kongestif. Hambatan pembentukan angiotensin II
dapat, pada beberapa kasus, sedikit mengurangi retensi natrium dan air dan
meredam peningkatan volume cairan ekstraselular yang besar yang dikaitkan
dengan kegagalan jantung.19
2.10
Renin Angiostensin System
Sistem hormon terpenting dan paling terkenal yang terlibat dalam regulasi Na+
adalah
sistem
renin-angiotensinaldosteron
(SRAA).
Sel
granular
aparatus
jukstaglomerulus mengeluarkan suatu hormon enzimatik, renin, ke dalam darah sebagai
respons terhadap penurunan NaC1, volume CES, dan tekanan darah arteri. Fungsi ini
adalah tambahan terhadap peran sel makula densa apparatus jukstaglomerulus dalam
autoregulasi. Secara spesifik, tiga masukan berikut ke sel granular meningkatkan sekresi
renin: arteriol aferen. Ketika mendeteksi penurunan tekanan darah, sel granular ini
mengeluarkan lebih banyak renin. Sel makula densa di bagian tubulus aparatus
jukstaglomerulus peka terhadap NaCl yang melewatinya melalui lumen tubulus. Sebagai
respon terhadap penurunan NaCl, sel macula densa memicu sel granular untuk
mengeluarkan lebih banyak renin. Sel granular disarafi oleh sistem saraf simpatis. Ketika
tekanan darah turun di bawah normal, refleks baroreseptor meningkatkan aktivitas
simpatis. Sebagai bagian dari respons refleks ini, peningkatan aktivitas simpatis
merangsang sel granular mengeluarkan lebih banyak renin. Sinyal-sinyal yang saling
terkait untuk meningkatkan sekresi renin ini semuanya menunjukkan perlunya
meningkatkan volume plasma untuk meningkatkan tekanan arteri ke normal dalam jangka
panjang. Melalui serangkaian proses kompleks yang melibatkan SRAA, peningkatan
sekresi renin menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes
(dengan klorida secara pasif mengikuti perpindahan aktif Na+). Manfaat akhir dari retensi
garam ini adalah bahwa retensi tersebut mendorong retensi H2O secara osmosis, yang
membantu memulihkan volume plasma. Setelah disekresikan ke dalam darah, renin bekerja
sebagai
enzim
untuk
mengaktifkan
angiotensinogen
menjadi
angiotensin
I.
Angiotensinogen adalah suatu protein plasma yang disintesis oleh hati dan selalu terdapat
di plasma dalam konsentrasi tinggi. Ketika melewati paru melalui sirkulasi paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting enzyrne (ACE)
yang banyak terdapat di kapiler paru. ACE terletak di sumur kecil di permukaan luminal
sel endotel kapiler paru. Angiotensin II adalah perangsang utama sekresi hormone
aldosteron dari korteks adrenal. Korteks adrenal adalah kelenjar endokrin yang
menghasilkan beberapa hormon, masing-masing disekresikan sebagai respons terhadap
rangsangan yang berbeda.
Dua jenis sel tubular yang berbeda berlokasi di bagian tubulus distal dan koligentes:
sel prinsipal dan sel interkalasi. Semakin banyak sel prinsipal merupakan tempat kerja
aldosteron dan vasopresin dan karenanya terlibat dalam reabsorpsi Na+ dan sekresi K+
(keduanya diatur oleh aldosteron) serta dalam reabsorpsi H20 (diatur oleh vasopresin).
Sebaliknya, sel interkalasi berkaitan dengan keseimbangan asam basa. Di antara berbagai
efeknya, aldosteron meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes.
Hormon ini melakukannya dengan mendorong penyisipan kanal bocor Na+ tambahan ke
dalam membran luminal dan penambahan pompa Na+-K+ ke dalam membran basolateral
sel-sel ini. Hasilakhirnya adalah peningkatan perpindahan pasif Na masuk ke dalam sel
tubulus dan koligentes dari lumen dan peningkatan pemompaan aktif Na+ keluar sel ke
dalam plasma-yaitu, peningkatan reabsorpsi Na+, disertai sistem ini menghilangkan faktorfaktor yang memicu pelepas-an awal renin-yaitu, deplesi 00garam, penurunan volume
plasma, dan penurunan tekanan darah arteri.
Selain merangsang sekresi aldosteron, angiotensin II adalah konstriktor poten
arteriol sistemik, yang secara langsung meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan
resistensi perifer total . Selain itu, angiotensin II merangsang rasa haus (meningkatkan
asupan cairan) dan merangsang vasopresin (suatu hormon yang meningkatkan retensi H20
oleh ginjal), keduanya ikut berperan dalam menambah volume plasma dan meningkatkan
tekanan arteri.
Situasi yang berlawanan terjadi jika beban Na+, volume CES dan plasma, dan
tekanan darah arteri di atas normal. Pada keadaan-keadaan ini, sekresi renin dihambat.
Dengan demikian, karena angiotensinogen tidak diaktifkan menjadi angiotensin I dan II,
sekresi aldosteron tidak terangsang. Tanpa aldosteron, tidak terjadi reabsorpsi kecil Na+
dependen-aldosteron di segmen distal tubulus. Malahan, Na+ yang tidak direabsorpsi ini
kemudian keluar bersama urine. Tanpa aldosteron, pengeluaran terus-menerus sebagian
kecil Na+ yang terfiltrasi ini dapat dengan cepat mengeluarkan kelebihan Na+ dari tubuh.
Meskipun hanya 8%.
Na+ yang terfiltrasi yang bergantung pada aldosteron untuk direabsorpsi,
pengeluaran sedikit-sedikit ini, yang dikalikan berlipat ganda ketika seluruh volume
plasma difiltrasi melalui ginjal berkalikali per hari, dapat menyebabkan pengeluaran Na+
dalam jumlah bermakna, Jumlah aldosteron yang disekresikan, dan karenanya jumlah
relative garam yang dihemat versus yang dikeluarkan, bervariasi bergantung pada
kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, orang yang mengonsumsi garam dalam jumlah biasa
umumnya mengekskresikan sekitar 10 gr garam per hari di urine, mereka yang
mengonsumsi garam dalam jumlah besar mengeluarkan lebih banyak, dan orang yang telah
kehilangan cukup banyak garam karena mandi keringat mengeluarkan lebih sedikit garam
melalui urine. Dengan sekresi aldosteron maksimum, seluruh Na+ yang terfiltrasi (dan
tentu saja, CI- yang terfiltrasi) direabsorpsi, sehingga ekskresi garam di urine adalah nol.
Dengan mengubah-ubah jumlah renin dan aldosteron yang disekresikan sesuai dengan
jumlah cairan (yang ditentukan oleh garam) di tubuh, ginjal dapat dengan tepat
menyesuaikan jumlah garam yang ditahan atau dikeluarkan. Dengan melakukan hal ini,
ginjal mempertahankan beban garam dan volume CES, dan tekanan darah arteri pada
tingkat yang relatif konstan meskipun konsumsi garam sangat bervariasi dan adanya
pengeluaran cairan penuh garam secara abnormal.6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perubahan kepekatan dan volume urine bergantung pada osmolaritas cairan tubuh
dan jika tubuh tidak dapat mengkompensasi perubahan yang terjadi maka dapat
menyebabkan gangguan seperti dehidrasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Paulsen F, dan Waschke J. Sobotta atlas of human anatomy: Internal Organs. 15th Edition.
Elsevier Urban & Fischer; 2011.
2. Mescher LA.. 2010. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. California: Lange
Medical Publications.
3. Gartner LP, Hiatt JL. 2006. Color Textbook of Histology. 3rd ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier.
4. Wylie, L. Esensial Anatomi & Fisiologi dalam Asuhan Maternitas. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 201.
5. Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal bedah. Jakarta: Salemba medika; 2011.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia. 6th ed. Jakarta: EGC; 2007.
7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 12. Jakarta : EGC. 2014.
8. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2012.
9. Kozier, B., ERB, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2011). Buku ajar fundamental
keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Alih bahasa Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti,
Yuyun Yuningsih dan Ana Lusyana. Jakarta: EGC
10. Ward, J. P. T., Clarke, R. W., & Linden, R. W. A. (2009). At a glance fisiologi. Alih bahasa
Indah Retno Wardhani. Jakarta: Erlangga.
11. Potter, P. A., & Perry, A. G. (2006). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses,
dan praktik. Jakarta: EGC.
12. Degrees
of
dehydration
[Internet].
Available
from:
http://immunopaedia.org.za/fileadmin/new_all/case_studies/pdfs/degrees%20of%20dehydrati
on.pdf
13. Modric J. Dehydration types: Pathophysiology, lab test and values [Internet]. 2014
Available from: http://www.ehealthstar.com/dehydration/types-pathophysiology
14. Shaheen NA, Alqahtani AA, Assiri H, Alkhodair R, and Hussein MA. Public knowledge
of dehydration and fluid intake practices: variation by participant’s characteristics. BioMed
Central Public Health; 2018.
15. Pringle K, Shah SP, Umulisa I, Munyaneza RBM, Dushimiyimana JM, Stegmann K, et al.
Comparing the accuracy of the three popular clinical dehydration scales in children with
diarrhea. Int J Emerg Med. 2011;4:58.
16. Hostetter MA. Gastroenteritis: An evidence-based aproach to typical vomiting, diarrhea
and dehydration. Pediatr Emerg Med Prac. 2004;1(5).
17. Subagyo B., Santoso N.B., 2012. Diare Akut. Juffrie M., Soeparto P., Ranuh R., Sayoeti
Y., Sudigbia I., Ismail R., Subagyo B., Santoso N.B., Soenarto S.S.Y., Hegar B., Boediarso
A., Dwipoerwantoro P.G., Djuprie L., Firmansyah A., Prasetyo D., Santosa B., Martiza I.,
Arief S., Rosalina I., Sinuhaji A.B., Mulyani N. S., Bisanto J., & Oswari H., Buku Ajar
Gastroenterologi- Hepatologi. Jilid 1. Pp 88. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
18. Popkin, et al. (2010). Water, Hydration and Health. Nutr Rev. 68(8), pp. 439–458.
19. Guyton, Arthur C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta: EGC; 2007.
20. A Sylvia. patofisiologi. 6th ed. Vol. 2. EGC; 2012.
21. Snell SR. Anatomi klinik. Jakarta: EGC, 2006; p.250.
Download