C. KEDUDUKAN MAS KAWIN ATAU MAHAR 1. Pengertian Mahar Kata maharMahar berasal daripada perkataan Arab. Di dalam al-Quran istilah mahar disebut dengan al-sadaq, al-saduqah, al-nihlah, al-ajr, al-faridah dan al-‘aqd. secara etimologi berasal dari ( الصداقdengan harakat fathah pada huruf shod) lebih fasih daripada ( الصداقharakat kasrah pada huruf shod), yang mana berasal dari الصدق yang berarti nama benda padat, sedangkan menurut terminologi atau syara’ ialah harta yang wajib diberikan oleh seorang pria karena satu akad nikah atau hubungan sex samar (subhat)atau mati1. 2. Hukum Maskawin Fuqoha, berpendapat bahwa maskawin itu termasuk syarat sah nikah, dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya ص ُدقَا ِّت ِّه َّن ِّن ْحلَة َ سا َء ِّ َوآَتُوا َ الن “Berikanlah maskawin-maskawin kepada wanita-wanita (yang kamu nikah) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa : 4) Dan firman-Nya : ور ُهن َ فَا ْن ِّك ُحو ُه َّن ِّب ِّإ ْذ ِّن أ َ ْه ِّل ِّه َّن َوآَتُو ُه َّن أ ُ ُج “....karena itu kawinlah mereka (wanita-wanita) dengan seizin keluarganya, dan berikanlah kepada mereka maskawinnya.” (QS. An-Nisa : 25) 3. Kadar Maskawin Mengenai besarnya maskawin, fuqoha sependapat bahwa bagi maskawin itu tidak ada batas tertingginya. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya diantaranya2 : Kalau menurut Imam Syafi’i, Ahmad Ishaq, Abu tsaur, dan fuqoha Madinah dari keluarga tabi’in berpendapat bahwa bagi maskawin tidak ada batas terendahnya. Yakni segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan maskawin. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahb dari kalangan pengikut Madzhab Maliki Imam Malik berpendapat bahwa maskawin itu minimalnya seperempat dinar emas, seberat tiga dirham perak, atau barang seharga dengan nilai dengan tiga dirham tersebut. Imam Abi Hanifah berpendapat minimal maskawin itu sepuluh dirham. Menurut riwayat lain lima dirham. Dalam riwayat lain menyebutkan empat puluh dirham. 1 Sayyid al-Bakri ibn Muhammad 'Umar Satho, Al-Dimyati Ianah al-Tholibin juz 3, Beirut Libanon : Daru ibn 'Ashosho 2005. hal.396 2 Ibnu rusyd, terjemahan Bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid juz 2 hal.441 Adapun Hadist yang pengertiannya menghendaki tiadanya pembatasan maskawin adalah hadist Sahl bin Sa’ad as Sa’idi yang telah disepakati kesahihannya. Dalam hadis tersebut disebutkan : “Bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang wanita, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku berikan diriku untukmu. Maka wanita itu tetap saja berdiri dalam waktu lama. Maka berdirilah seorang lelaki, kemudian berkata, Wahai Rasulullah, kawinkan dia dengan aku, jika engkauberminat dengan dia.Rasulullah SAW lantas bertanya :Adakah engkau memiliki sesuatu yang dapat disedekahkan kepadanya ?.Lelaki itu menjawab:aku tidak punya sesuatu pun selain kainku ini. Rasulullah pun menjawab, jika kain itu engkau berikan kepadanya, maka engkau akan duduk tanpa memakai kain. Maka carilah sesuatu yang lain. Lelaki itu berkata: aku tidak mendapatkan sesuatu pun. Maka Rasulullah berkata: Carilah, walau hanya sebuah cincin besi, kemudian lelaki itu mencari-cari, tetapi ia tak mendapatkan sesuatu pun. Rasulullah SAW kemudian bertanya lagi, Adakah engkau hapal sesuatu dari al-Qur’an? Jawab lelaki itu: ya, ayat ini dan ayat ini, beberapa ayat disebutkannya. Maka berkatalah Rasulullah: Telah kunikahkan engkau dengan dia dengan ayat-ayat al-Qur’an yang engkau hafal.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud) 4. Sifat-sifat Maskawin Adapun mengenai maskawin, fuqoha sependapat tentang sahnya pernikahan berdasarkan pertukaran dengan sesuatu barang tertentu yang dikenal sifatnya. Yakni yang tertentu jenis, besar, dan nilainya3. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang barang yang tidak diketahui sifatnya dan tidak ditentukan jenisnya. Sepeti jika seseorang mengatakan, “aku kawinkan engkau dengan dia dengan maskawin seorang hamba atau pelayan,” tanpa meneragkan sifat-sifat hamba atau pelayan itu yang dapat diketahui harga dan nilainya. Imam Malik dan Abi Hanifah berpendapat bahwa perkawinan dengan cara seperti itu diperbolehkan. Sedang Imam Syafi’i berpendapat tidak boleh. Apabila terjadi seperti itu, Malik berpendapat bahwa pengantin wanita memperoleh jenis seperti disebutkan untuknya.Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa pengantin pria dipaksa untuk mengeluarkan harganya. Silang pendapat ini disebabkan, apakah perkawinan seperti itu dapat disamakan dengan jual beli yang mengandung unsur kebakhilan, atau dimaksudkan memberi adalah sesuatu yang lebih tinggi dari itu, sebagai realisasi kedermawanan? Bagi fuqoha yang menyamakan perkawinan dengan kebakhilan pada jual beli, mengatakan, tidak boleh jual beli suatu barang yang tidak diketahui sifat-sifatnya, pernikahan juga berlaku seperti jual beli. Sedang bagi fuqoha yang tidak menyamakan dengan jual beli, karena yang dimaksudkan adalah memberikan kehormatan, mengatakan bahwa perkawinan seperti itu boleh. 3 Syaikh Ibrahim, Al-Bajuri Hasyiyah al-Bajuri 'ala Ibn Qasim juz 2, Beirut Libanon : Darul Fikri 2005. hal.171 Dftar pustaka : Al-Dimyati, Sayyid al-Bakri ibn Muhammad 'Umar Satho Ianah al-Tholibin juz 2, Beirut Libanon : Daru ibn 'Ashosho 2005. Al-Bajuri, Syaikh Ibrahim Hasyiyah al-Bajuri 'ala Ibn Qasim juz 1, Beirut Libanon : Darul Fikri 2005. Ibnu rusyd, terjemahan Bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid juz 2 hal.441