PROLEGOMENA TO THE METAPHYSICS OF ISLAM: AN EXPOSITION OF THE FUNDAMENTAL ELEMENTS OF THE WORLDVIEW OF ISLAM karya: Syed Muhammad Naquib Al-Attas 1 Prolegomena RESUME PROLEGOMENA TO THE METAPHYSICS OF ISLAM: AN EXPOSITION OF THE FUNDAMENTAL ELEMENTS OF THE WORLDVIEW OF ISLAM Profil Buku dan Pengarang Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, merupakan sebuah buku yang ditulis oleh seorang filsuf Islam yang bernama Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Buku ini, sebagaimana dikatakan pada bagian pengantar cetakan pertama pada tahun 1995, merupakan Bab-bab yang pada aslinya diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah terbatas atas permintaan staf akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta saya untuk mengelaborasi komentar tiap monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu Malam[1]. Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan pada tahun 1989 (III; 1990 (IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Bab II, merupakan komentar atas penjelasan teori Al-Attas tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Penutup, akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna yang tersembunyi dari bagian Qur’an tentang Penciptaan dalam Enam Hari. Sekilas tentang Al-Attas, dia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tahun 1931, dan menjalani pendidikan dasar di Sukabumi dan Johor Baru. Lalu, menempuh pendidikan di The Royal Military Academy, Sandhurst, England, lalu ke University of Malaya, Singapura. Gelar master diraihnya di McGill University, Montreal, Canada, dan PhD di University of London, London, Inggris, dengan konsentrasi bidang ‘Islamic philosophy’, ‘theology’ dan ‘metaphysics’. Di McGill inilah kemudian ia berkenalan dengan beberapa orang sarjana yang terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran). Kualitas keilmuan yang dimilikinya tersebut sampai membuat Fazlur Rahman menyatakan bahwa Al-Attas merupakan seorang pemikir ‘jenius’ yang dimiliki dunia Islam. Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang dialaminya, antara lain: ketua Department of Malay Language and Literature, Dekan the Faculty of Arts, dan pemegang pertama ‘the Chair of Malay Language and Literature’, dan Direktur pertama The Institute of Malay Language, Literature and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Ia juga mengetuai The Division of Literature di Department of Malay Studies, University of Malaya, Kuala Lumpur. Juga, ia pernah memegang posisi UNESCO expert on Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and Ohio University, distinguished Professor of Islamic Studies and the first holder of the Tun Abdul Razak Distinguished Chair of Southeast Asian Studies at the American University, Washington, Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies (1986), dan Life Holder Distinguished Al-Ghazali Chair of Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993. 2 Prolegomena Professor al-Attas telah memberikan kuliah di berbagai belahan dunia dan menulis lebih dari 30 buku dan berbagai artikel tentang Islam, menyangkut masalah filsafat Islam, teologi, metafisika, sejarah, sastra, agama, dan peradaban. Beberapa bukunya yang ditulis dalam bahasa Melayu dan Inggris telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Jerman, Italia, Rusia, Bosnia, Albania, Jepang, Korea, India, dan Indonesia. Atas jasanya yang besar dalam pengembangan bidang comparative philosophy, ‘The Empress of Iran’ mengangkatnya sebagai Fellow di Imperial Iranian Academy of Philosophy tahun 1975. Presiden Pakistan memberikan penghargaan ‘Iqbal Medal’ tahun 1979. Sejak tahun 1974, Marquis Who's Who in the World telah memasukkan Al-Attas ke dalam daftar nama orang-orang yang menunjukkan prestasi istimewa dalam bidangnya. Al-Attas dikenal sebagai pelopor konseptualisasi Universitas Islam, yang ia formulasikan pertama kalinya pada saat acara ‘First World Conference on Muslim Education’, di Makkah (1977). Tahun 1987, ia mewujudkan gagasannya dengan mendirikan The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Ia merancang dan membuat arsitektur sendiri bangunan ISTAC, merancang kurikulum, dan membangun perpustakaan ISTAC yang kini tercatat salah satu perpustakaan terbaik di dunia dalam Islamic Studies. Raja Hussein mengangkatnya sebagai ‘Member of the Royal Academy of Jordan (1994). The University of Khartoum menganugerahinya ‘Degree of Honorary Doctorate of Arts (D.Litt.), 1995. The Organization of Islamic Conference (OIC), atas nama dunia Islam, melalui ‘The Research Centre for Islamic History, Art and Culture (IRCICA) menganugerahi Al-Attas ‘The IRCICA Award’ atas kontribusi besarnya terhadap peradaban Islam (2000); The Russian Academy of Science memberikan kehormatan kepada al-Attas untuk memberikan ‘Special Presentation’ kepada para akademisi di Moskow (2001). Pemerintah Iran, melalui lembaganya, ‘Society for the Appreciation of Cultural Works and Dignitaries’, memberikan penghargaan kepada al-Attas ‘a special Award of Recognition’ (2002). Disamping itu, Prof. al-Attas juga anggota ‘The Advisory Board of Al-Hikma Islamic Translation Series, Institute of Global Cultural Studies, Binghamton University, SUNY, Brigham Young University; anggota ‘The Advisory Board of the Royal Academy for Islamic Civilization Research, Encyclopaedia of Arab Islamic Civilization, Amman, Jordan; dan anggota ‘The Assembly of the Parliament of Cultures, International Cultures Foundation’, Turki. Al-Attas telah menulis lebih dari 400 makalah ilmiah di negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Timur Jauh, dan pelbagai negara Islam lainnya. Dia juga telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia,Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Albania.[2] Al-Attas juga menjadi seorang yang penting karena pandangannya tentang elemen-elemen pandangan-dunia (worldview) Islam dan Barat, serta analisanya tentang kemunduran umat Islam. Bagaimana respon Barat sendiri terhadap pandangannya begitu bervariasi seperti dapat dilihat, misalnya, juga disampaikan saat Konferensi Internasional para Filosof pada Januari 2000, di University of Hawai. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara dan berlangsung selama dua minggu. Tema yang dibahas ialah “Technology and Cultural Values on the Edge of the Third Millennium”. Dalam editorialnya terhadap buku kompilasi hasil konferensi itu, tiga ilmuwan terkenal, yaitu Pater D. Hershock, Marietta Stepaniants, dan Roger T. Ames, mencatat bahwa paparan al-Attas yang menyorot kesesuaian dan ketidaksesuaian antara tradisi 3 Prolegomena Barat dalam sains dan teknologi dengan sistem epistemologi dan metafisika Islam, merupakan paparan yang artikulatif, cermat, dan sistematis, tentang basis revisi Islami terhadap tujuan dan premis-premis moral dalam sains dan teknologi. Kandungan Buku Prolegomena Penjelasan kandungan buku tersebut, akan penulis uraikan dari sebuah pertanyaan: apa signifikansi dari buku Prolegomena To The Metaphysics Of Islam? dan kemudian mengelaborasi unsurunsur mendasar pandangan-dunia Islam yang disajikan di dalamnya. Buku tersebut memiliki signifikansi terhadap umat Islam dan masyarakat Barat. Khusus bagi umat Islam, signifikansi tersebut terletak pada persoalan kemunduran umat Islam dewasa ini. Kemunduran tersebut, menurut Al-Attas, terletak pada persoalan ilmu, bukan hukum maupun politik. Kemunduran yang terjadi pada umat Islam, menurutnya, disebabkan oleh korupsi atau kerusakan ilmu. Kerusakan ilmu yang dimaksud bahwa ilmu yang kini beredar di seluruh dunia sebenarnya tidak netral dan dirasuki oleh karakteristik peradaban Barat yang bermasalah. Hal ini diungkapkan di dalam beberapa bagian buku tersebut, seperti bagian Pengenalan, bab 1: Konsep Agama dan Fondasi Moralitas, bab 2: Kebahagiaan, dan bab 3: Islam dan Filsafat Sains. Sorotan yang sedemikian tajam diberikan terhadap persoalan ini, sebab ilmu yang telah dimuati karakteristik Barat telah membuat umat Islam – yang secara internal juga memiliki masalah pemahaman keislaman – tertipu oleh slogan objektifitas dan ilmiah yang membuat mereka tidak kritis dalam menerima apa yang datang dari Barat – secara umum dari luar. Hal ini diperoleh saat Al-Attas berusaha mengenali Barat secara tepat. Ia kemudian mendefinisikan Barat sebagai : Dengan ‘peradaban Barat’ saya bermaksud peradaban yang telah berevolusi dari leburan historis, filsafat, nilai dan cita-cita dari Yunani Kuno dan Romawi; peleburan mereka dengan Yudaisme dan Kristianitas, dan pengembangan mereka lebih lanjut dan pembentukan oleh orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan Nordik. Dari Yunani kuno diturunkan unsur filosofis dan epistemologis dan fondasi pendidikan dan etika dan estetika; dari Romawi unsur hukum dan keahlian berpolitik dan pemerintahan; dari Yudaisme dan Kristianitas unsur keyakinan keagamaan; dan dari orang-orang Latin, Jerman, Celtic, dan Nordik semangat independensi dan jiwa kebangsaan dan nilai tradisional mereka, dan pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan alam dan fisik dan teknologi dimana mereka, bersama dengan orang-orang Slavia, telah mendorong hingga kekuatan puncak. Islām juga telah membuat kontribuasi yang sangat penting pada peradaban Barat dalam nuansa pengetahuan dan menanamkan jiwa rasional dan saintifik, tetapi pengetahuan dan jiwa rasional dan saintifik telah dituang kembali dan dicetak ulang untuk menyesuaikan tempat kebudayaan Barat sehingga mereka telah menjadi menyatu dan lebur dengan semua unsur lain yang membentuk karakter dan personalitas peradaban Barat. Tetapi fusi dan peleburan ini dengan demikan berevolusi menghasilkan karakter dualisme dalam pandangan-dunia dan nilai dari peradaban dan kebudayaan Barat; sebuah dualisme yang tidak dapat diselesaikan ke dalam kesatuan yang harmonis, karena itu dibentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaan-lemah, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang bertentangan dan semuanya merefleksikan sebuah visi dualistik tentang realitas dan kebenaran yang menembus semua yang terkunci dalam perang yang putus asa. Dualisme terdapat di semua aspek kehidupan dan filsafat Barat: yang spekulatif, sosial, politis, kebudayaan – seperti itu meliputi dengan ketidaktawaran (inexorableness) yang setara agama Barat.[3] 4 Prolegomena Definisi tersebut ternyata kemudian dinyatakan sebagai sesuatu yang paling menohok dalam mengungkapkan kelemahan peradaban Barat, terbukti dengan diapresiasinya dan digunakannya definisi tersebut dalam studi tentang Barat. Inilah hal yang menjadikan buku ini juga memiliki signifikansi terhadap peradaban Barat. Mengungkapkan Barat secara tepat merupakan sesuatu yang sebenarnya dilakukan untuk mengidenfitikasi entitas, yang secara mendalam bertentangan secara permanen (permanent confrontation).[4] Al-Attas lebih lanjut menegaskan bahwa umat Islam juga memiliki persoalan internal yang terjadi disebabkan pembatasan makna kosa kata kunci dalam pandangan-dunia Islam. Penyempitan dan perluasan tidak berdasarkan sistem akar kata merupakan salah satu penyebab. Al-Attas menyatakan pada bagian Pengenalan bahwa: kata-kata yang mengandung makna yang fokus di atas kebenaran mendasar yang khas bagi Islām, contohnya di antara yang lain, ‘pengetahuan’ (‘ilm), ‘keadilan’ (‘adl), tindakan yang betul (adab), ‘pendidikan’ (ta’dīb), telah dirusakkan, sehingga ‘pengetahuan’ menjadi terbatas pada jurisprudensi, atau yang hanya berdasarkan pada bentuk terbatas dari rasio dan pengalaman inderawi; ‘keadilan’ bermakna persamaan yang tidak memenuhi syarat, atau hanya prosedur; ‘tindakan yang betul’ bermakna etiket yang hipokrit; dan ‘pendidikan’ bermakna jenis pelatihan yang memimpin kepada akhir yang diturunkan dari rasionalisme filosofis dan sekular.[5] Oleh karena itu, menurutnya, menjadi kewajiban pada cendekiawan muslim dalam mengawasi penggunaan kosa kata kunci tersebut sehingga umat Islam tetap terpelihara dari kebingungan yang tidak perlu, khususnya dalam persentuhan dengan peradaban lain. Pandangan yang sedemikian ketat, disebabkan pandangan Al-Attas bahwa bahasa mencerminkan ontologi. Bahasa memuat pandangan-dunia suatu peradaban. Islamisasi, menurutnya, dimulai dari bahasa. Oleh karena itu ia kemudian memperkenalkan pula apa yang disebutnya sebagai bahasa Islami. Sebab bahasa dapat dikategorikan sebagai Islām ada dengan kebajikan dari keumuman kosakata dasar Islām yang melekat dalam setiap bahasa tersebut, istilah dan konsep kunci dari setiap bahasa sebaiknya memang mengandung makna yang sama, karena mereka semua terlibat dalam jaringan konseptual dan semantik yang sama.[6] Dalam persoalan bahasa tersebut ia juga mengatakan bahwa jika Islamisasi bermula dari pikiran yang terwujud kepada bahasa, maka begitu pula sekularisasi. Oleh sebab itu ia mengatakan bahwa kebingungan yang tidak perlu mengenai kosa kata kunci dalam pandangandunia Islam, secara utama disebabkan oleh penerjemahan sekularisasi dan sekularisme ke dalam bahasa Arab Kristen dan kemudian dibiarkan digunakan dalam pemikiran Islam kontemporer dengan kata ‘almāniy. Padahal tidak ada padanan antara sekularisme dengan apa yang ada pada Islam. Penerjemahan ini diperparah dengan tidak sadarnya para penerjemah tersebut dengan perubahan makna sekularisme dalam kesadaran dan pengalaman peradaban Barat. Makna yang diterjemahkan oleh para penerjemah Arab Kristen tersebut sebenarnya merupakan makna yang ada pada masa Gereja Latin Awal. Sedangkan makna yang sekarang ada adalah apa yang disampaikan oleh pendukung utamanya yaitu Van Peurseun. [7] Pada akhirnya sekularisme ataupun sekularisasionisme merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Sebab, sekularisme menghapuskan hubungan alam dengan Tuhan, menghapuskan legitimasi ilahi terhadap persoalan siyasah, dan meletakkan semua nilai-nilai dalam wilayah yang relatif dengan asumsi bahwa semua nilai-nilai tersebut merupakan buatan manusia. 5 Prolegomena Mulailah kiranya dapat dilihat bahwa Prolegomena menjadi buku yang sangat penting sebab buku tersebut menyoroti unsur-unsur mendasar pandangan-dunia Islam yang memiliki ikatan yang erat dengan gagasan umat Islam tentang tajdid. Al-Attas mengungkapkan bahwa unsurunsur mendasar tersebut dan konsep kunci bersangkutan memiliki kegamblangan yang mendalam, di atas gagasan kita tentang perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Menurut AlAttas, secara singkat: Konsep ‘perubahan’, ‘perkembangan’, dan ‘kemajuan’ mengandaikan situasi dimana kita menemukan diri kita dibingungkan oleh campuran kebenaran dan kepalsuan, akan kenyataan dan ilusi, dan menjadi tawanan dalam wilayah yang ambigu. Dalam situasi yang bertentangan, tindakan kita yang positif dalam pertunjukkan kebebasan untuk memilih yang lebih baik, untuk menerima apa yang baik dan relevan dengan kebutuhan kita, untuk secara sungguh hati-hati dalam keputusan kita akan kebutuhan, sementara itu tetap mempertahankan usaha kita untuk kembali kepada jalan lurus dan mengarahkan langkah kita dalam kesepakatan dengannya – usaha semacam itu, yang menyertakan perubahan, adalah perkembangan; dan kondisi kembali seperti itu, yang terkandung dalam perkembangan, adalah kemajuan.[8] Unsur-unsur mendasar tersebut terdiri dari, untuk menyebutkan yang paling penting dari unsur-unsur mendasar pandangan-dunia, yakni, sifat-dasar Tuhan; tentang Wahyu (cth. Qur’ān); tentang ciptaan-Nya; tentang manusia dan psikologi jiwa manusia; tentang pengetahuan; tentang agama; tentang kebebasan; tentang nilai dan kebajikan (ihsān); tentang kebahagiaan. Kini penulis akan mengelaborasi secara ringkas tapi cukup mendalam tentang unsur-unsur mendasar tersebut, berdasarkan bab-bab yang ada dalam Prolegomena, meski tidak berurutan. Pada Bab 1: Islam, Konsep Agama dan Fondasi Moralitas, Al-Attas menawarkan sebuah definisi agama berdasarkan pada penanda dīn. Definisi ini merupakan suatu yang asli baru pertama kali dibuat olehnya. Disebabkan penanda atau kosa kata kunci dalam pandangan-dunia Islam berputar dalam jaringan semantik yang berdasarkan akar kata, definisi tersebut memang merupakan aplikasi Al-Attas terhadap prinsip tersebut. Definisi tersebut diberikan juga dengan pertimbangan bahwa definisi agama dari peradaban Barat – yakni, religion – tidak sama dengan apa yang ada dalam Islam. Ia mengatakan bahwa: Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar yang meskipun terlihat berlawanan satu sama lain, namun secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan semuanya menampilkan diri sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan ‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam dirinya semua makna mungkin yang relevan dan inheren dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan konsep Islām yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam pengalaman manusia, kemunculan pertentangan pada makna dasarnya tentu saja tidak terkait dengan kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-dasar manusia itu sendiri, yang direfleksikan secara setia. Dan kekuatan mereka untuk merefleksikan sifat-dasar manusia secara setia adalah demonstrasi yang jelas itu sendiri akan kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung kebenaran.[9] Penanda dīn, menurutnya, dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1) keberhutangan; (2) ketundukan; (3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Ia 6 Prolegomena lebih lanjut mengatakan bahwa kata kerja dana yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, beberapa dari mereka berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, itu untuk mengatakan, seorang da’in menyertainya bahwa seseorang memerintah dirinya sendiri, dalam pengertian hasil dan mematuhi, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga, dengan cara, kepada kreditor, yang juga sama ditunjuk sebagai da’in[10]. Ada juga yang terkandung dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan pengadilan: daynunnah, dan kesaksian: idanah, sebagaimana kasus tersebut. Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dana hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang ditunjuk dengan mudun atau mada’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, seorang dayyan. Jadi sudah ada di sini dalam pelbagai penggunaan hanya dari kata kerja dana, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas[11]. Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain maddana[12] yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan; darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial. Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar pada kondisi berhutang penanda lain yang berhubungan, yang lain seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari penanda seperti hakim, pengatur, pemerintah terdapat tanda yang diturunkan makna yang menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang dijanjikan). Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini adalah sebuah kondisi yang biasa atau terbiasa. Dari sini, kemudian, kita dapat lihat logika dibalik turunan dari penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah. Pada tahap partikular ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian yang benar akan kecenderungan alamiah manusia untuk membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan sebuah kerajaan, sebuah kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya. Dalam bab 1, Al-Attas kemudian juga mengelaborasi tentang bagaimana seseorang secara alamiah akhirnya menyadari bahwa ia sedang berhutang kepada Tuhan. Hutang tersebut termasuk juga dirinya atau eksistensinya. Hutang tersebut dikembalikan kepada Tuhan dengan dirinya sebagai alat bayar hutang itu sendiri. Manusia yang membayar hutang tersebut akan menjadikan dirinya sebagai pelayan Tuhan. Terdapat dua penanda yang menunjuk kepada makna pelayan Tuhan yaitu khadim dan ‘abid. Penanda pertama menunjuk kepada makna bahwa pelayanan seseorang kepada Tuhan merupakan suatu hal yang beranjak dari keinginan dirinya sendiri. Khadim merupakan pihak yang tidak terikat dengan pihak yang dilayani. Dari sini kita langsung menuju penanda kedua yaitu, ‘abid yang bermakna bahwa seseorang yang menjadi 7 Prolegomena pelayan bersifat terikat dengan yang dilayani. Sehingga seorang pelayan melayani dengan bentuk yang sesuai dengan permintaan yang dilayani. Meskipun dua penanda tersebut nampak berlawanan, sebenarnya tidak demikian. Kedua penanda tersebut sebenarnya menunjuk kepada aspek bahwa manusia memiliki pilihan (ikhtiyār) untuk melayani Tuhan dan saat dia sudah memilih maka ia melayani Tuhan sesuai dengan apa yang disampaikan Tuhan. Dari sini juga, AlAttas mengatakan bahwa ‘abid lebih tepat dalam menunjuk pelayan Tuhan, yang pelayanannya disebut ‘ibadāt. Saat manusia melayani Tuhan, maka pelayanannya tersebut berbuah kebaikan, seperti bumi yang mati kemudian ditimpa hujan yang berulang-ulang dan menumbuhkan pelbagai tumbuhan di atasnya. Pengembalian hutang atau pelayanannya pun kemudian dibalas dengan berlipat ganda. Dalam pelayanannya, sebenarnya manusia – yang ditunjuk sebagai ‘abid – juga sedang memenuhi tujuan penciptaannya, sebagaimana disampaikan dalam Qur’an: ‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’buduni).[13] Maka menjadi masuk akal jika pelayanan yang dilakukan oleh manusia dirasakan oleh manusia sendiri sebagai sesuatu yang alamiah. Kealamiahan ini akhirnya beririsan dengan apa yang dikenal sebagai fţtrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah[14]. Fitrah adalah pola yang berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala sesuatu. Hal tersebut adalah cara penciptaan oleh Tuhan, sunnat Allah, dan segalanya cocok satu sama lain ke dalam pola yang diciptakan untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Itu adalah hukum Tuhan. Ketundukan kepadanya membawa kondisi harmonis, karena itu bermakna perwujudan apa yang inheren dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya membawa ketidakharmonisan, karena itu bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan terhadap sifat-dasar seseorang yang benar. Fiţrah adalah cosmos sebagaimana dilawankan dengan chaos; keadilan sebagaimana dilawankan dengan ketidakadilan. Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri sejati manusia, bersaksi pada dirinya, menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar, mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga penyembahannya tersebut, tindakan kesalehan, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan. Satu makna dari fiţrah sebagai dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian oleh manusia[15]. Ketundukan dalam pengertian yang digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan sadar, dan ketundukan ini tidak menyertakan kehilangan ‘kebebasan’ untuknya, karena kebebasan dalam faktanya bermakna bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia yang tunduk pada Tuhan dalam jalan ini adalah menghidupi dīn ini. Dari sini pula, Al-Attas menegaskan pandangannya bahwa hanya ada satu agama, sedangkan yang lainnya hanya merupakan keagamaan. Sebab, hanya Islamlah yang dilekatkan dengan dīn secara sejati sedangkan ketika dīn digunakan untuk agama lain, sebenarnya hanya dilekatkan secara metaforis. Hal ini secara gamblang dikatakannya bahwa ketundukan menunjuk kepada kesadaran dan ketundukan sukarela, karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat bermakna ketundukan sejati. Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti kepercayaan-kuat (faith) atau kepercayaan-lemah (belief) adalah inti semua agama, tetapi kita mempertahankan bahwa tidak semua agama menetapkan ketundukan sejati. Bukanlah 8 Prolegomena ketundukan jika bermakna jenis yang sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati adalah tindakan berkelanjutan yang dihidupi sepanjang masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis yang hanya beroperasi di alam hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh sebagaimana perbuatan ditampilkan dalam kepatuhan pada hukum Tuhan. Ketundukan pada keinginan Tuhan bermakna juga kepatuhan pada hukum-Nya. Kata yang menandakan pengertian ketundukan ini adalah aslama, sebagai bukti dalam Qur’an Suci ketika Tuhan berkata: ‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan (aslama) wajahnya (cth. seluruh dirinya) pada Tuhan...?’[16] Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn, tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya pada Tuhan adalah yang terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia berkata dalam Qur’an Suci: ‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak pernah akan diterima darinya...”[17] dan lagi: ‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’[18] Menurut Qur’an Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan, sekalipun hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang membuat Islām berbeda dengan agama lain adalah bahwa ketundukan menurut Islām adalah ketundukan yang tulus dan total pada kehendak Tuhan, dan ini ditetapkan secara sukarela sebagai kepatuhan absolut pada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat diungkapkan dalam Qur’an Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut: ‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk di langit dan bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendak-Nya, dan kepada-Nyalah mereka semua dikembalikan.’[19] Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di sinilah keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain[20]. Bentuk ini, yang merupakan cara institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah, cara ungkapan hukum, cara sikap dan perilaku keagamaan, etis, dan moral – cara yang dengannya ketundukan pada Tuhan ditetapkan dalam hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi Ibrahim (Abraham), yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian atasnya!). Millah mereka secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang benar dīn alqayyim, sebab dari semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung secara sempurna, hanifan, menuju Agama yang benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaankuat, kepercayaan-lemah, hukum, dan praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim, meskipun Agama Islām seperti sekarang ini mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama lain mengembangkan sistem atau bentuk ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang tidak serta merta diturunkan dari millah Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama ahlu’l-kitab – Orang-Orang Berbuku 9 Prolegomena (People of the Book) – yang telah mengembangkan campuran tradisi kultural mereka sendiri dengan tradisi yang berdasarkan Wahyu. Adalah untuk pelbagai sistem atau bentuk ketundukan ini yang, untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis ketundukan yang ”terpaksa”[21]. Kembali pada pelayanan yang dilakukan oleh manusia, maka jiwa pelayan yang telah memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak ada yang kenal lebih baik tentang Rabbnya daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang dengan pelayanan seperti itu mendapatkan keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, maka ‘ibādah bermakna, pada akhirnya, pada tahap lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah[22]. Pandangannya tentang agama sebenarnya juga berputar atau berpusat pada Perjanjian Manusia di alam arwah, yang terungkap dalam Qur’an surat Al-‘Araf ayat 172. Pada bab ini juga Al-Attas mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan oleh Tuhan pada manusia; dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri atau penelusuran rasional berdasarkan pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui tindakan penyembahan dan ketaatan, tindakan dalam pelayanan pada Tuhan (‘ibadat) yang, tergantung pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang diciptakan Tuhan untuk menerimanya, manusia tersebut menerima dengan pandangan langsung atau perasaan spiritual (dhawq) dan terbukanya selubung pada visi spiritualnya (kashf). Pengetahuan (ma’rifah) ini menyentuh pada diri atau jiwanya, dan pengetahuan tersebut – seperti sudah kita sentuh pada penjelasan kita tentang hubungan analogis yang diperoleh antara makrokosmos dan mikrokosmos – memberikan pandangan mendalam pada pengenalan akan Tuhan, dan karena alasan tersebut, adalah pengetahuan tertinggi. Karena pengetahuan tersebut secara pokok tergantung rahmat Tuhan dan membutuhkan perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sebagai persyaratan akan kemungkinan pencapaiannya, itu menyertakan bahwa pengetahuan tentang prasyarat menjadi diperlukan, dan ini termasuk pengetahuan yang esensial dari Islām (arkan alislām dan arkan-al-iman), makna, tujuan mereka, pemahaman yang benar, dan implementasi dalam kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus memiliki pengetahuan tentang prasyarat tersebut, harus memahami dasar esensial dari Islām dan Keesaan Tuhan (tawhid), dan mempraktekkan pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sehingga setiap manusia Islām sudah siap pada tahap awal pengetahuan pertama tersebut; dia siap pada Jalan Lurus (sirat al-mustaqin) menuju Tuhan. Kemajuan lebih lanjutnya pada jalan peziarah tergantung pada perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada beberapa melayani Tuhan seperti mereka melihat-Nya; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang kemudian adalah apa yang membentuk kebajikan tertinggi (ihsan). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua dicapai melalui rasio, pengalaman dan observasi; pengetahuan itu bersifat diskursif dan deduktif dan menunjuk pada nilai pragmatis dari objek. Sebagai sebuah ilustrasi dari pemilahan antara dua jenis pengetahuan itu kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah ke lingkungannya. Pada awalnya dia mengetahui tetangganya yang baru hanya dengan perkenalan; dia mungkin tahu tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan; dia mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian informasi lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran dari orang lain yang dia tahu dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan tempat kerja dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang hati-hati lebih lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan 10 Prolegomena cara ini tanpa kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun pengetahuan akannya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak masalah berapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan akan pengetahuan tentang tetangganya yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang dia tidak akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan, pemikirannya tentang hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik dan rincian lain seperti disebutkan. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan untuk mengenali orang tersebut secara langsung dan memperkenalkan diri padanya; dia sering mengunjungi, makan dan minum dan berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun persahabatan yang terpercaya, pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima secara kebetulan penyampaian secara langsung dari temannya banyak rincian personal, pemikiran dan perasaan rahasia yang kini dalam kilatan yang disampaikan dengan cara yang mungkin tidak akan dapat dicapai seumur hidup dari investigasi, observasi, dan penelitian. Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan sebagai hasil dari keintiman tidak pernah lengkap, karena kita tahu bahwa tidak masalah seberapa dekat hubungan yang intim antara seseorang dan temannya – atau teman, atau istri dan anak, atau orang tua, atau kekasih – akan selalu ada baginya penutup atau misteri yang membungkus seseorang yang ingin kita ketahui seperti rangkaian ukiran bola gadīng Cina di dalam ukiran, yang hanya dapat terbuka baginya dengan penyampaian secara langsung dari orang lain. Dan orang lain akan tahu dengan merenungkan diri dan sifat-dasar tidak terbatas akan dirinya yang selalu berkelit dari pencarian kognitifnya, sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan kecuali hanya yang dia ketahui. Setiap orang seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang tak terduga dengan kegelapan, dan kesepian yang dia tahu begitu absolut sebab bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya secara lengkap. Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara analogis dengan pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan pengetahuan tentang dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan seperti itu menyentuh pada tingkatan yang sama dalam wujud, dan ini adalah sebab komunikasi gagasan dan perasaan menjadi mungkin dan dapat dipahami. Ketiga, izin untuk mendekat dan mengetahuinya, seseorang yang mencari tahu harus tinggal dengan aturan kepantasan dan kode perilaku dan sikap yang diterima oleh seseorang yang berhasrat untuk diketahui. Keempat, pemberian pengetahuan tentang dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan, kesetiaan, ketaatan orang lain, dan kapasitas untuk menerima – sebuah periode yang membentuk ikatan yang pasti dari keintiman antara berdua. Dari uraian di atas, kemudian Al-Attas mengaitkan pandangan tersebut dalam hubungannya dengan Tuhan. Dalam perhatian pada kondisi pertama, Dia katakan dalam Qur’an Suci bahwa Dia telah ciptakan manusia hanya untuk melayani-Nya, dan pelayanan dalam pengertian yang mendalam secara utama bermakna pengetahuan (ma’rifah), sehingga tujuan-Nya menciptakan adalah agar makhluk mengenali-Nya, sebagaimana Dia katakan dalam Tradisi Suci (Hadits Qudsiyy): ”Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku ciptakan makhluk sehingga Aku mungkin dikenali.” Jadi Tuhan mengungkapkan diri-Nya pada jiwa rasional manusia, yang menguasai organ komunikasi dan kognisi spiritual seperti hati (al-qalb), yang mengenali-Nya; ruh (al-ruh), yang mencintai-Nya; dan jiwa yang tersembunyi dan paling dasar (al-sirr), yang merenungkan-Nya. 11 Prolegomena Meskipun jiwa rasional tidak pada tingkatan yang sama dengan Tuhan, namun terdapat percikan asal Ilahiyah yang membuatnya mungkin untuk menerima komunikasi di atas dan memiliki pengertian atas apa yang diterima; dan dari di sini kita menurunkan analogi atas kondisi kedua. Dalam hal kondisi ketiga, kita katakan bahwa manusia mendekati Tuhan dengan ketundukan tulus pada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut pada hukum-Nya; dengan perwujudan yang sadar dalam diri pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan penunjukkan ketaatan dan ibadah nawafil yang diterima-Nya dan berkenan untuk-Nya, sampai orang seperti itu memperoleh tempat perhubungan dimana kepercayaan dan pertemanan-Nya mungkin dirundīngkan atasnya dengan pengetahuan yang diberikan sebagai rahmat untuknya dimana Dia telah ciptakan kapasitas untuk menerima pengetahuan yang diberikan. Seperti itulah kata-kataNya dalam Tradisi Suci: “Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku mencintainya; dan ketika Aku mencintainya Aku adalah pendengarannya, sehingga dia mendengar dengan-Ku, dan penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan lidahnya, sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan tangannya, sehingga dia mengambil dengan-Ku.” Sebagaimana pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian itu dengan sendirinya sudah jelas. Kita lihat kemudian bahwa pengetahuan demikian itu, dengan kebajikan sifatdasarnya, memberi kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh dari pengetahuan jenis kedua; dan karena ini, dan fakta bahwa hal itu menyentuh pada jiwa atau diri manusia dan pemenuhan perjanjiannya yang dibuat dengan Tuhan, pengetahuan akan prasyaratannya, yang sesungguhnya berdasarkan pada pengetahuan yang diberikan ini, tidak mungkin terpisah dari ikatan dengan etika dan moralitas Islām. Dengan pengetahuan dan praktek yang mengikutinya kita membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku seharihari dan meletakkan nilai kita dalam kehidupan dan diri kita dengan benar. Pengetahuan pertama menyibak misteri Wujud dan Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia dan Rabbnya, dan karena bagi manusia pengetahuan tersebut menyentuh tujuan utama dari mengetahui, pengetahuan tentang persyaratan tersebut menjadi fondasi mendasar dan esensial untuk pengetahuan jenis yang kedua, karena hanya dengan pengetahuan yang kemudian, tanpa bimbingan dari yang sebelumnya, tidak dapat sungguh-sungguh membimbing manusia dalam kehidupannya, tetapi hanya membimbing pada kebingungan, mengacaukan, dan menjeratnya dalam labirin pencarian tak berujung dan tak bertujuan. Kita juga menerima bahwa ada batas bagi manusia bahkan pada pengetahuan pertama dan tertinggi; sedangkan tidak adanya batas pada jenis yang kedua, sehingga kemungkinan pengembaraan terus menerus yang dihimbau oleh penipuan intelektual dan khayalan-diri dalam keraguan yang konstan dan kecurigaan adalah selalu nyata. Manusia individu tidak memiliki waktu untuk menghabiskan persinggahan sementara di bumi, dan seseorang yang dibimbing secara benar tahu bahwa pencarian individualnya untuk pengetahuan jenis kedua harus membutuhkan batas untuk kebutuhan praktisnya dan sesuai dengan sifat-dasar dan kapasitasnya, sehingga ia dapat meletakkan pengetahuan dan dirinya di tempatnya yang tepat dalam hubungan dengan diri sejati dan dengan demikian mempertahankan kondisi adil. Karena alasan ini dan dengan maksud mencapai keadilan sebagai akhirnya, Islām membedakan pencarian untuk dua jenis pengetahuan, membuat perolehan pengetahuan tentang persyaratan akan yang pertama menjadi kewajiban bagi semua muslim (fard ’ayn), dan yang lain kewajiban hanya pada beberapa muslim (fard kifayah), dan kewajiban yang kemudian tentu saja dapat berpindah pada kategori yang sebelumnya dalam kasus mereka yang menganggap dirinya terikat tugas untuk mencarinya untuk pembuktian diri 12 Prolegomena mereka sendiri. Pembagian dalam pencarian pengetahuan berdasarkan kewajiban dalam dua kategori itu sendiri adalah prosedur bertindak adil pada pengetahuan dan manusia yang mencarinya, karena semua pengetahuan prasyarat dari pengetahuan jenis pertama adalah baik bagi semua manusia, sedangkan tidak semua pengetahuan dalam jenis kedua yang baik untuknya; untuk manusia yang mencari pengetahuan yang kemudian, yang akan membawa pengaruh yang harus dipertimbangkan dalam menentukan peran sekular dan posisi sebagai warga negara, tidak serta merta menjadikannya manusia yang baik. Manusia baik yang dimaksud secara utama menjadi Nabi Muhammad Saw. sebagai modelnya. Pengakuan seluruh dunia, bahkan pengakuan Allah Swt. tentang pribadi Rasulullah Saw. merupakan salah satu bukti yang menegaskan betapa pribadi Rasul merupakan teladan bagi seluruh manusia dan jin. Sehingga tidap pernah ada dalam sejarah peradaban Islam keterpisahan hubungan antara kelompok pemuda, usia-pertengahan, dan kelompok tua. Termasuk juga tidak ada persoalan gender, sebab Rasul juga merupakan teladan bagi para perempuan. Sosoknya, yang kemudian ditegaskan sebagai insan kamil, merupakan sosok ideal yang juga real, yang dapat ditiru oleh manusia dan jin. Pada bab 2: Makna Kebahagiaan, Al-Attas mengemukakan bahwa kebahagiaan dalam Islam berbeda dengan pandangan Barat. Ia mengatakan bahwa tradisi pemikiran Barat menerima posisi bahwa terdapat dua konsepsi kebahagiaan: yang kuno adalah Aristoteles; dan yang modern secara bertahap muncul dalam sejarah di Barat sebagai hasil dari sekularisasi. Konsepsi Aristotelian mempertahankan bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini; bahwa itu adalah akhir pada dirinya sendiri (end of itself); dan bahwa itu adalah kondisi yang melewati perubahan dan beragam dalam derajat dari waktu ke waktu; atau itu adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara sadar dari masa ke masa dan dapat dinilai telah dicapai ketika kehidupan duniawi seseorang, jika secara baik dihidupi dan dibantu oleh nasib baik, telah mencapai sebuah akhir. Konsepsi modern setuju dengan konsep Aristotelian bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini dan adalah akhir pada dirinya sendiri, tetapi sementara yang terdahulu dianggap dalam pengertian standar perilaku yang tepat, yang kemudian menganggapnya sebagai kondisi psikologis sambungan yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral. Hal itu adalah konsepsi kebahagiaan modern yang kini diakui lazim di Barat. Kita tidak setuju dengan posisi Aristotelian bahwa kebajikan dan kebahagiaan hanya terkait dengan dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam urusan kehidupan duniawi menjadi tidak terjangkau. Kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya dalam wilayah temporal, kehidupan sekular, karena berdasarkan pandangan-dunia kita, kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan alam akhirat memiliki ketegasan intim dan mendalam pada hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan karena bahwa dalam kasus terdahulu kebahagiaan adalah kondisi spiritual dan permanen terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita alami dan sadari yang ketika sekali dicapai bersifat permanen. Karena konsepsi kebahagiaan modern, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang diketahui dan dipraktekkan orang-orang di masa lalu oleh masyarakat pagan. Dari pandangan demikian kemudian ia mengajukan pandangan kebahagiaan dalam Islam, yang berkaitan dengan kebahagiaan (cth. yang kita maksud sa’ādah) sebagaimana diketahui dalam pengalaman dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh tunduk pada Tuhan dan mengikuti petunjuk-Nya adalah bukan akhir pada dirinya sendiri sebab kebajikan tertinggi dalam kehidupan ini adalah cinta Tuhan. Kebahagiaan yang terus berlangsung dalam kehidupan menunjuk bukan pada entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia; 13 Prolegomena maupun kondisi pikiran, atau perasaan yang melewati kondisi perhubungan, maupun kenikmatan maupun hiburan. Kebahagiaan ada urusannya dengan kepastian (yaqīn) akan Kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan kepastian adalah kondisi permanen kesadaran yang alamiah terhadap apa yang permanen dalam manusia dan diterima oleh organ kognitif spiritual yang merupakan hati (qalb). Kebahagiaan adalah kedamaian dan keamanan dan ketenangan hati (tuma’nīnah); itu adalah pengenalan (ma’rifah) dan pengenalan (knowledge) adalah kepercayaan-kuat (īmān) yang benar. Adalah pengenalan tentang Tuhan sebagaimana Dia gambarkan diri-Nya dalam Wahyu yang asli, adalah juga mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat dengan Pencipta ditemani dengan tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) sesuai dengan pengetahuan tersebut kondisi yang dihasilkannya adalah keadilan (‘adl). Hanya dengan pengetahuan macam itu cinta Tuhan dapat diraih di kehidupan bumi. Dari interpretasi makna dan pengalaman kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan kesimpulan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir pada dirinya sendiri; bahwa akhir dari kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan duniawi terdapat dua tingkatan kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah psikologis, sementara, dan kondisi perhubungan yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika keinginan dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan pada kebajikan. Tingkatan kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang secara sadar dialami, menjadi lapisan dasar dari kehidupan duniawi yang diakui sebagai percobaan, pengujian aktifitas perilaku dan aktifitas kebajikan oleh nasib baik atau sakit. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul secara bersamaan dengan yang pertama kecuali bahwa keinginan hilang dan kebutuhan dipuaskan. Tingkatan kebahagiaan kedua ini adalah sebuah persiapan untuk tingkatan ketiga di alam akhirat yang merupakan kondisi tertinggi adalah melihat Tuhan. Tidak ada perubahan makna dan pengalaman kebahagiaan ini dalam kesadaran mukmin sejati sepanjang zaman. Untuk menguatkan pandangannya tentang kebahagiaan, Al-Attas juga mengungkapkan antonim dari kebahagiaan (sa’adah) yakni, penderitaan (shaqawah). Leksikon bahasa Arab pada waktu terdahulu dan kembali pada penggunaan Qur’an menggambarkan shaqawah sebagai mengandung padanan terdekat dalam bahasa Inggris ‘great misfortune’, ‘misery’, ‘straitness of circumstance’, ‘distress’, ‘disquietude’, ‘despair’, ‘adversity’, ‘suffering’. Masing-masing kondisi tersebut jelasnya melibatkan aktifitas internal dan eksternal yang serius. Tentu saja shaqawah adalah istilah umum yang meliputi semua bentuk penderitaan, sehingga istilah lain yang mengungkapkan kondisi yang sama tapi lebih khusus dalam aplikasi kontekstual mereka hanya unsur penyusun dari shaqawah. Ini termasuk, di antara yang lain contoh, khawf (takut, tak diketahui, kesendirian penuh dan tidak dapat dikomunikasikan, kematian dan apa yang ada dibaliknya, ramalan ketakutan, angst); huzn (dukacita, penderitaan, kesedihan, jiwa yang kasar); dank (kesempitan, kekakuan, menderita dalam jiwa dan intelek memandang ketidakmampuan untuk memahami sesuatu yang menyebabkan keraguan dalam hati); hasrat (dukacita yang dalam dan menyesali sesuatu yang telah hulang dan tidak akan dialami lagi, seperti – ketika menunjuk pada akhirat – melewati dukacita dan penyesalan yang tajam dari manusia yang berpaling dari Tuhan dan menghabiskan hidupnya dalam kesia-sian ketika dia menemukan setelah kematian bagaimana dia telah kehilangan jiwanya dan meratap dīngin akan kemustahilan kembali ke kehidupan duniawi untuk membuat perubahan). Istilah tersebut digunakan secara khusus untuk mereka yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku pada kondisi dunia ini dan akhirat. Istilah lain yang mengungkapkan penderitaan satu jenis dan yang lain dan berlaku semuanya 14 Prolegomena dalam kehidupan ini adalah, contoh, diq (kesukaran, hati dan pikiran, mendesak); hamm (kegelisahan, kecemasan, menyedihkan dari hati dan pikiran berkaitan dengan ketakutan bencana yang akan datang atau kesakitan); ghamm (sama seperti hamm, hanya kesakitan yang ditakuti yang akan datang telah datang, sehingga menjadi sangat menderita; ‘usr (kondisi keras, sulit dan tidak menyenangkan). Menurutnya, salah satu hal penting yang membuat manusia bahagia atau menderita adalah berkaitan dengan petunjuk Tuhan. Maksudnya, ketika seseorang tidak mengambil petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya, maka sebenarnya dalam tataran mendasar ia sedang menderita meskipun secara aksidental ia nampaknya bahagia. Begitu pula sebaliknya, jika manusia mengambil petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya maka lapisan dasar kehidupannya merupakan kebahagiaan walaupun secara lahir ia terlihat menderita. Penderitaan tersebut pada orang yang mengambil petunjuk hanya akan bermakna bala yaitu ujian terhadap diri orang tersebut, bukan shaqawah. Al-Attas berpandangan secara tegas bahwa peradaban Barat yang kini ada merupakan peradaban yang telah membuang petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya. Meskipun secara lahiriah peradaban Barat nampak menguasai teknologi, sains, memiliki harta dan hal-hal lain, sebenarnya pada lapisan-dasar kehidupan mereka adalah penderitaan. Penderitaan yang erat kaitannya, dikatakan oleh Al-Attas, sebagai tragedi. Tragedi tersebut bukan hanya berada pada tataran seni, melainkan sudah berada pada tataran kehidupan. Bahkan, tragedi yang ada sebenarnya ditiru (mimesis) oleh manusia Barat untuk melihat kehidupannya dan akhirnya mencapai katharsis. Kisah-kisah tragedi yang ada pada karya-karya sastra Yunani yang kemudian juga dikaji lagi pada masa renaisans, menguak sebuah kenyataan bahwa manusia telah ditinggalkan di dunia tanpa tahu dari mana, di mana, dan hendak ke mana. Ia dipikulkan tanggung jawab sedemikian besar untuk menjalani kehidupan yang kemudian tidak lagi melihat apa yang dituju, namun hanya menikmati penderitaan yang dialaminya. Peradaban Barat seperti seorang Sisipus, yang menggelindingkan batu ke atas bukit untuk menggelindikannya lagi ke bawahdan begitu seterusnya. Kondisi yang mirip dengan permainan tersebut berubah menjadi permainan yang serius dan tidak menyenangkan. Qur’an menghubungkan bagaimana Adam digoda Setan, tidak patuh pada Tuhan, dan membiarkan dirinya digoda Setan. Namun, Adam dan istrinya sadar akan kesalahan mereka dan tidak seperti Setan, mengakui dosa mereka, diisi dengan penyesalan mendalam pada ketidakadilan mereka pada diri mereka sendiri, dan meminta rahmat dan ampunan Tuhan. Mereka berdua dimaafkan, tetapi diturunkan bersama Setan ke dunia ini untuk menghidupi kehidupan percobaan dan kesengsaraan. Tuhan meyakinkan Adam dan keturunannya bahwa petunjuk-Nya akan datang dan siapapun yang mengikuti petunjuk-Nya tidak akan tersesat maupun jatuh pada penderitaan; tetapi siapapun yang berpaling dari pengingatan akan Dia tentu akan menghidupi kehidupan yang merana diserang oleh keraguan dan tegangan-dalaman (innertension) ditinggikan oleh kebutaan pada kebenaran dan realitas keadaan sulit mereka[23]. Pada Bab 3: Islam dan Filsafat Sains, Al-Attas menyatakan bahwa bahwa sains menurut Islām secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wil atau interpretasi alegoris dari benda-benda empiris yang menyusun dunia alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap pada tafsir atau interpretasi dari penampakan atau makna yang jelas dari benda-benda dalam alam. Penampakan dan makna mereka yang jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam 15 Prolegomena sistem hubungan; dan tempat mereka menjadi nampak pada pemahaman kita ketika batas kebenaran dari arti mereka dikenali. Ta’wil secara dasar bermakna mendapatkan makna pokok dan primordial dari sesuatu melalui proses inteleksi. Tetapi dalam kasus ini, terdapat hal-hal yang makna pokoknya tidak dapat dipegang dengan intelek; dan yang secara mendalam berakar dalam pengetahuan yang menerima mereka sebagaimana adanya melalui kepercayaan-kuat yang benar yang kita sebut iman. Ini adalah posisi kebenaran: bahwa terdapat batas makna dari sesuatu, dan tempat mereka secara mendalam terikat dengan batas arti mereka. Diungkapkan pada bagian bab awal, filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi itu pada gilirannya menentukan arah yang diambil sains dalam studi alam. Adalah interpretasi tentang pernyataan ini dan kesimpulan umum sains dan arah sains sepanjang garis yang ditawarkan oleh interpretasi yang harus diletakkan pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka tawarkan pada kita hari ini problem paling mendalam yang telah dihadapkan pada kita secara umum dalam urusan agama dan sejarah intelektual kita. Sebuah inti sari dari asumsi dasar mereka adalah bahwa sains adalah satu-satunya pengetahuan otentik; bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh pada fenomena; bahwa pengetahuan ini, termasuk pernyataan dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas untuk zaman partikular dan dapat berubah pada zaman lain; bahwa pernyataan saintifik harus mengakui hanya apa yang telah di observasi dan dibuktikan oleh saintis; bahwa apa yang seharusnya diterima adalah hanya teori yang dapat direduksi pada unsur inderawi, bahkan meskipun teori tersebut mungkin melibatkan gagasan yang menyentuh pada wilayah yang melampaui lingkungan empiris dari pengalaman; bahwa universalitas seharusnya tidak dihubungkan pada rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang didefinisikan dengan universalitas digambarkan sebagai realitas melampaui apa yang di observasi; bahwa isi pengetahuan adalah kombinasi dari realisme, idealisme, dan pragmatisme; bahwa tiga aspek tersebut dari kognisi bersama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa pengertian adalah subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan antara struktur logis pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logika yang diakui; bahwa teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang struktur dan proses alam, dan bahwa pada faktanya adalah sebuah teori logika; bahwa karena logika harus ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan struktur dan proses alam adalah yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan adalah bagian dari kepercayaanlemah (cth. kepercayaan-lemah dalam pengertian penerimaan intelektual sebagai benar atau membuat pernyataan apapun atau proposisi) yang tergantung pada hubungan kepercayaanlemah pada fakta; bahwa fakta adalah netral sejauh kebenaran dan kepalsuan yang dipedulikan – mereka hanya ada seperti itu. Dalam sistem pengetahuan ini adalah absah hanya jika menyentuh pada tatanan alamiah akan peristiwa dan hubungan mereka; dan tujuan penelusuran adalah untuk menggambarkan dan mensistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna totalitas objek dan peristiwa dalam ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan datar secara naturalistik dan pengertian rasional yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, mereduksi asal-usulnya dan realitas satu-satunya pada kekuatan alamiah. 16 Prolegomena Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan bahwa mereka menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi bahwa mereka mereduksi otoritas dan intuisi pada rasio dan pengalaman. Adalah benar bahwa pada contoh asal dalam kasus baik otoritas dan intuisi, selalu ada seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi ini serta merta bahwa karena ini, otoritas dan intuisi seharusnya direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui bahwa ada tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan normal, kesadaran manusia yang batasannya dikenali, tidak ada alasan untuk menduga bahwa tidak ada tingkatan yang lebih tinggi akan pengalaman dan kesadaran manusia melampaui batas rasio dan pengalaman normal dimana terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang batasnya hanya diketahui Tuhan. Sejauh pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog telah mereduksi intuisi pada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan oleh pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan emosi yang dibangun yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi ini adalah dugaan pada bagian mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian itu datang dari pengalaman inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka tentang fakultas intuitif seperti hati, yang tersirat dalam pendirian mereka dalam memandang intuisi, adalah juga dugaan.[24] Intuisi yang dikenalkan AlAttas dalam buku ini berpusat pada penjelasan tentang tahapan-tahapan kasyaf yang dialami mulai dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi. Bahasan, yang dilakukan pada Bab 5: Intuisi Akan Eksistensi ini, juga berusaha menunjukkan bahwa panteisme atau inkarnasi – khususnya dalam tasawuf – merupakan sesuatu yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan spiritual dan proses penyibakan yang belum selesai. Jika ketidaksempurnaan tersebut tidak diakui, yang juga berarti tidak mengakui kesempurnaan spiritual yang lain, hanya akan memperosokkan kepada hal tersebut (baca: panteisme). Al-Attas juga menegaskan bahwa sifat-dasar manusia itu merupakan sesuatu yang lebih karena rasionalitasnya daripada karena fisiknya. Pandangannya tentang manusia ini – seperti juga yang ada pada bab 4: Sifat-Dasar Manusia dan Psikologi Jiwa Manusia – dinyatakan seperti berikut: “Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’ dimana istilah ‘rasional’ ditandai oleh istilah natiq, yang menunjuk pada fakultas bawaan pengetahuan yang menangkap makna semesta dan merumuskan makna. Perumusan makna ini, yang melibatkan putusan, diskriminasi, dan klarifikasi, adalah apa yang menyusun rasionalitasnya. Istilah ‘rasional’ (natiq) dan ‘memiliki kekuatan untuk merumuskan makna’ (dhu nutq) diturunkan dari akar sama yang mengandung makna dasar ‘berbicara’, dalam pengertian ucapan manusia, keduanya menandakan kekuatan tertentu dan kapasitas bawaan manusia untuk mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbolis dalam pola yang bermakna. Dari akar yang sama (nutq) juga diturunkan nama dari sains diskursus yang diketahui sebagai al-mantiq (cth. logika), yang mengembangkan bangunan argumentasi, rumusan metode bantahan, penemuan kesalahan teori klasifikasi dan definisi, gagasan dasar dari silogisme, konsepsi bukti dan demonstrasi, garis besar dari sebuah metode intelektual dalam pengejaran kebenaran. Manusia adalah, sebagaimana adanya, ‘hewan yang berbahasa’ atau ‘hewan yang berbicara’ (al-hayawan al-natiq); dan artikulasi simbol linguistik ke dalam pola bermakna tidak lain dari ungkapan bagian keluar (outward), terlihat, dan terdengar dari realitas bagian kedalam (inward) dan tidak terlihat yang kita sebut intelek (al-’aql). Istilah ‘aql sendiri secara dasar 17 Prolegomena menandakan jenis ‘ikatan’ atau ‘pegangan’, jadi dalam hal ini ‘aql menandakan entitas aktif dan sadar yang mengikat dan memegang objek pengetahuan dengan kata-kata atau bentuk simbolis; dan ‘aql menunjukkan realitas yang sama yang ditunjuk oleh istilah ‘hati’ (qalb), ‘ruh’ (ruh), dan ‘diri’ (nafs). Entitas atau realitas aktif dan sadar ini memiliki banyak nama seperti yang diidentifikasi oleh empat istilah di atas karena memiliki banyak modus dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan eksistensi. Intelek adalah substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenali kebenaran dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. Intelek adalah realitas yang mendasari definisi manusia, dan itu ditunjukkan oleh setiap orang ketika dia berkata “aku”. Dalam mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’, dimana kita maksudkan dengan rasional sebagai kapasitas kecerdasan menangkap makna universal, kekuatan ungkapan linguistik, kekuatan yang bertanggungjawab untuk perumusan makna – yang melibatkan tindakan putusan, diskriminasi, pemilahan dan klarifikasi, dan artikulasi akan bentuk simbol dalam pola bermakna – makna akan ‘makna’ (ma’na) adalah pengenalan akan tempat segala sesuatu dalam sistem. Pengenalan muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami. Hubungan itu menggambarkan tatanan tertentu dalam istilah prioritas dan posterioritas sebagaimana juga dalam istilah ruang dan posisi. Makna adalah sebuah bentuk intelijibel (intelligible) berkenaan pada sebuah kata, sebuah ungkapan, atau simbol digunakan untuk menunjuknya. Ketika kata, ungkapan, atau simbol itu menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) maka disebut pemahaman (mafhum). Sebagai sebuah bentuk intelijibel yang dibentuk dalam jawaban dari pertanyaan “apakah itu?” makna disebut ‘esensi’ (mahiyyah). Dipertimbangkan sebagai sesuatu yang berada di luar pikiran, atau secara objektif, makna disebut ‘realitas’ (haqiqah). Dilihat sebagai realitas khusus yang berbeda dari yang lain, makna disebut ‘individualitas’ atau ‘eksistensi individual’ (huwiyah). Dengan demikian apa yang menyusun makna, atau definisi dari makna, adalah pengenalan tempat segala sesuatu dalam sistem, yang muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami[25]. Dalam pandangannya tentang filsafat sains, Al-Attas juga menyatakan bahwa keraguan yang diangkat sebagai metode dan dipandang sebagai jalan menuju kebenaran, sebenarnya bermasalah. Menurutnya: “...tidak ada bukti bahwa adalah keraguan dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang membuat seseorang tiba pada kebenaran. Hadir pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil petunjuk, bukan keraguan. Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa mengunggulkan salah satunya; itu adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan tanpa hati cenderung menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan tidak menuju yang lain sementara masih belum menolak yang lain, itu adalah dugaan; jika hati menolak yang lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan hati terhadap yang lain adalah sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada kebenaran, tetapi pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuan. Ini adalah petunjuk. Keraguan, apakah itu jelas atau sementara, memimpin pada dugaan atau pada posisi lain akan ketidakpastian, tidak pernah pada kebenaran – “dan dugaan tidak berfaedah terhadap kebenaran” (Qur’an 10: 36).”[26] Beranjak dari hal tersebut, Al-Attas menyatakan bahwa meskipun banyak persamaan antara filsafat sains Barat dan Islam, hal tersebut tidak menutup kenyataan bahwa banyak pula perbedaan di antaranya. Salah satu perbedaannya adalah pandangan tentang rasio. Menurut AlAttas, rasio tidak sesederhana dalam pengertian yang dibatasi pada unsur inderawi; pada fakultas 18 Prolegomena mental yang mensistematisasi dan menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan logis, atau yang membuat pengertian dan kepengaturannya pada penerimaan data pengalaman inderawi, atau yang menampilkan abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan mengatur mereka dalam sebuah operasi memberi-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam dapat menjadi terpahami. Tentu saja, pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih lanjut bahwa ini adalah salah satu aspek intelek dan fungsinya dalam kesesuaian dengannya, bukan berlawanan dengannya; dan intelek adalah substansi spiritual yang inheren dalam organ spiritual dari kognisi yang kita sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini dan lewat perantara intelek kita telah menghubungkan rasio dengan intuisi. Oleh sebab itu, penyamaan antara rasio dan akal (‘aql) merupakan suatu kesalahan. Sebab, rasio merupakan satu bagian dari akal, dan tidak ada keterpisahan antara keduanya. Permasalahan yang muncul karena penekanan yang sangat terhadap rasio, telah nyata-nyata membuat Barat tidak melihat alam sebagai sebuah tanda (āyāt) Tuhan. Meskipun pernah terdapat di masa lalui filsuf Barat yang menekankan penggunaan intelectus untuk melihat alam sebagai sebuah Kitab Suci Besar yaitu, St. Bonaventura, tetapi hal itu tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam peradaban Barat. Barat menjadi menganggap bahwa alam memiliki suatu substansi yang pernah disebut sebagai ‘atom’. Manusia Barat terus mecoba mengetahui apa unsur mendasar yang menyusun dunia ini. Namun, asumsi bahwa alam bukan merupakan tanda inilah yang menjadi Barat terpaku pada alam dan tidak dapat melihat apa yang disimbolkan oleh alam. Pandangan Al-Attas tentang alam sebagai tanda kemudian dituangkannya dalam bentuk cerita sebagai berikut: “Andaikan kita berjalan-jalan dengan mobil dalam kegelapan malam berbadai menuju tempat yang telah kita dengar tapi kita belum pernah ke sana. Kemudian kita tiba di persimpangan utama dengan banyak jalan menuju tempat yang berbeda. Di tengah persimpangan terdapat penunjuk arah dan lengannya dibuat sederhana dan di cat putih, dan di sepanjang papan penunjuk yang berfungsi sebagai lengan digoreskan huruf tebal, huruf hitam nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik itu. Ketika mobil kita dapat mendekati dan lampunya menyinari penunjuk arah dan lengannya yang banyak, kita segera sadar akan salah satu lengan yang menegaskan nama tempat tujuan kita. Apa yang kita lakukan kemudian, jika kita hendak mengejar tujuan kita, tentunya kita akan berpaling dari penunjuk arah tanpa ragu, dan mengikuti jalan menuju apa yang tanda tersebut tuju. Kita melakukan ini karena tandanya jelas. Tetapi kini andaikan penunjuk arahnya dibuat dengan keramik yang secara baik ditulis, dan lengan yang menunjuk dipahat menjadi bentuk yang menawan dan indah, nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik yang dipahat menjadi huruf dari emas murni dan dihiasi permata tulen yang jarang ditemui – akankah kita kemudian mampu untuk pergi, tanpa banyak ragu dan berlambat-lambat, mengkuti lengan yang menunjuk yang menunjukkan kita jalan tujuan kita; dan akankah kita kemudian mudah berpaling dari penunjuk arah untuk mengikuti arah yang diarahkan? Tentu saja, apa yang paling mungkin terjadi dalam kasus ini adalah kita akan memberhentikan mobil dan bahkan keluar dalam hujan dengan senter untuk melihat lebih dekat pandangan yang indah di hadapan kita. Dan kita mungkin akan menghabiskan malam di mobil menunggu siang untuk penglihatan yang lebih memuaskan. Tandanya dalam kasus ini tidak jelas; ambigu, dan menunjuk dirinya daripada menunjuk pada objek yang eksistensinya bergantung padanya.”[27] 19 Prolegomena Dalam memandang sains, Al-Attas menegaskan bahwa realitas sesuatu tidak serta menjadi sesuatu itu menjadi benar atau dengan kata lain adanya suatu fakta tidak menjadikan fakta itu menjadi benar. Sebab, kebenaran suatu fakta erat kaitannya dengan Kebenaran yang diwahyukan. Hal ini patur menjadi perhatian khususnya dengan adanya kenyataan bahwa dalam Islam kebenaran juga ditunjuk dengan kata Haqq. Haqq bermakna kebenaran dan juga realitas. Itulah mengapa realitas memiliki hubungan yang mendalam dengan kebenaran. Tentang realitas, sebagaimana dijelaskan pada Bab 7: Kuiditas dan Esensi, Al-Attas mengatakan bahwa Kata haqq digunakan baik untuk realitas dan kebenaran. Lawannya batil, bermakna bukan-realitas atau kepalsuan. Haqq bermakna kecocokan pada kebutuhan akan kebijaksanaan, keadilan, kebetulan (rightness), kebenaran, realitas, kesopanan. Haqq adalah sebuah kondisi, kualitas atau bagian dari menjadi bijaksana, adil, betul, benar, sejati, tepat; haqq adalah kondisi niscaya, tidak terhindarkan, kewajiban, yang berkaitan; haqq adalah kondisi eksistensi dan meliputi segala sesuatu. Ada kata lain, sidq, bermakna kebenaran, yang lawannya adalah kidhb bermakna tidak benar atau kepalsuan, yang ditujukan hanya kebenaran menyentuh pada pernyataan atau ucapan kata-kata; sedangkan kata haqq tidak hanya menunjuk pada pernyataan, tetapi juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan, keputusan, dan sesuatu dan peristiwa dalam eksistensi. Sesuatu dan peristiwa dalam hal ini pada alam eksistensi yang ditunjuk haqq menyentuh tidak hanya kondisi mereka yang sekarang, tetapi juga masa lalu mereka sebagaimana kondisi masa depan. Menyentuh pada kondisi masa depan haqq bermakna pengujian, realisasi, aktualisasi. Tentu saja, bahwa makna haqq dipahami meliputi realitas dan kebenaran menyentuh pada kondisi eksistensi adalah berkaitan pada fakta bahwa itu adalah salah satu nama-nama Tuhan yang menggambarkan diri-Nya sebagai eksistensi absolut yang merupakan realitas dan bukan konsep eksistensi. Untuk kebanyakan orang, sifat-dasar eksistensi dan hubungannya untuk memisahkan, realitas beragam namun sama dengan yang kita sebut ‘sesuatu’ adalah eksistensi yang merupakan konsep umum, konsep abstrak yang umum bagi semua eksistensi, yakni, bagi segala sesuatu dan pada apapun tanpa kecuali. Pikiran, ketika memandang realitas eksternal yang kita sebut ‘sesuatu’, mengabstraksikan mereka pertama kali dari eksistensi dan memberi predikat eksistensi pada mereka. Pikiran oleh karena itu menghubungkan pada sesuatu yang dipertimbangkan sebagai bagian mereka dari eksistensi. Maka eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang ditambahkan, aksidental, dan hidup dalam sesuatu. Dalam proses mental ini, konsep tunggal, umum, abstrak menjadi majemuk dan secara rasional dibagi menjadi bagian-bagian yang berhubungan dengan sesuatu. Eksistensi sesuatu adalah bagian-bagian tersebut, dan bagian tersebut, sejauh konsep umum dan abstrak dari eksistensi, adalah eksternal bagi ‘esensi’ sesuatu dan hanya secara mental ditambahkan pada mereka. Menurut perspektif ini, eksistensi adalah sesuatu yang murni konseptual, sedangkan esensi-esensi adalah nyata; esensi-esensi adalah realitas yang diaktualisasikan secara ekstramental. Tetapi kita katakan lebih lanjut bahwa dalam tambahan pada konsep eksistensi terdapat entitas lain yang merupakan realitas akan eksistensi, dimana eksistensi sebagai konsep murni yang datang inheren dalam pikiran adalah salah satu akibatnya. Eksistensi sebagai realitas, tidak seperti bagian konseptual, adalah bukan sesuatu yang statis; eksistensi secara terus menerus melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan dīnamis akan pengungkapan-diri ontologis, mengartikulasikan kemungkinan dalaman (inner) yang tidak terbatas dalam gradasi dari kurang menentukan sampai lebih menentukan sampai itu muncul pada tingkatan bentuk konkret, seperti eksistensi partikular yang kita pandang sebagai ‘sesuatu’ yang banyak dan beranekaragam memiliki ‘esensi-esensi’ individual yang terpisah adalah tidak 20 Prolegomena lain dari modus dan aspek dari realitas eksistensi. Dari perspektif ini, esensi sesuatu tidak lain sebuah entitas dalam konsep, sedangkan eksistensi sesuatu adalah nyata. Tentu saja, esensi sejati dan benar dari sesuatu adalah eksistensi sebagaimana diindividuasikan ke dalam modus partikular. Adalah realitas eksistensi ini yang telah kita identifikasi di atas sebagai meliputi-semua Realitas atau Kebenaran (al-haqq), dengan mana Tuhan sebagai yang absolut dalam semua bentuk manifestasi yang disebut. Karena filsafat modern dan sains telah menyadari bahwa sifat-dasar mendasar dari fenomena adalah proses, nama-nama deskriptif yang telah digunakan oleh para filsuf dan saintis untuk menghubungkan dengan proses harus juga merefleksikan dīnamisme yang terlibat dalam inti gagasan proses. Mereka telah menggunakan nama-nama seperti ‘kehidupan’ atau ‘impuls vital’, atau ‘energi’, menyiratkan pergerakan, perubahan, menjadi (becoming) yang merupakan hasil dari peristiwa dalam ruang-waktu. Bahwa mereka telah memilih nama-nama tersebut sebagai deskripsi manifestasi realitas sebagai proses adalah sebuah tanda bahwa mereka mempertimbangkan eksistensi, tidak seperti kehidupan, impuls vital, atau energi, hanya sebagai sebuah konsep; dan hanya sebagai konsep eksistensi tentu sesuatu yang statis, secara jelas mendiskualifikasinya sebagai berhubungan dengan proses. Dalam pengertian ini, rumusan mereka akan sebuah filsafat sains, dalam kontradiksi dengan posisi mereka bahwa realitas yang mendasari fenomena adalah proses, tetap berputar di dalam lingkungan sebuah pandangan-dunia esensialistik, sebuah pandangan-dunia yang asyik dengan ‘sesuatu’ sebagai ‘esensi-esensi’ independen dan hidup, dan akan peristiwa, hubungan, dan konsep yang menyentuh pada sesuatu, membuat sesuatu menunjuk pada diri mereka sebagai realitas tunggal, dan bukan pada Realitas lain yang melampaui mereka baik termasuk sebagaimana juga mengecualikan mereka. Posisi kita adalah bahwa apa yang sungguh-sungguh deskripsi dari sifat-dasar mendasar dari fenomena sebagai proses adalah ‘eksistensi’ sebab eksistensi sendiri, baik dipahami sebagai konsep sebagaimana juga realitas, adalah entitas paling dasar dan universal yang kita ketahui. Adalah benar bahwa eksistensi yang dipahami sebagai konsep adalah statis dan tidak berhubungan dengan proses. Tetapi kita mempertahankan bahwa eksistensi bukan hanya konsep tapi juga realitas: eksistensi bukan hanya diusulkan dalam pikiran, tetapi juga entitas nyata dan aktual yang independen dari pikiran. Eksistensi bersifat dīnamis, aktif, kreatif, dan mengandung banyak kemungkinan pengungkapan-diri secara ontologis; eksistensi adalah sebuah aspek Tuhan yang muncul dari sifat-dasar intrinsik dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan oleh karena itu adalah sebuah entitas ‘sadar’ yang bertindak berdasarkan cara biasa Tuhan biasa bertindak (sunnat Allah). Yang disebut “hukum alam” dalam kenyataannya adalah kebiasaan Tuhan dalam bertindak, dan dipahami seperti itu, “hukum” ini tidak lagi dilihat sebagai ketat karena mereka kini terbuka pada kemungkinan tak terbatas. Eksistensi maka adalah bahan pokok dan utama dari realitas, dimana kehidupan, impuls vital, atau energi dan istilah yang lain yang digunakan oleh para filsuf dan saintis untuk menggambarkan entitas mendasar itu, yang merupakan realitas yang mendasari sifat-dasar sesuatu, semuanya sekunder bagi eksistensi karena mereka seperti bagianbagian atau pelengkap dari eksistensi. Sebagaimana makna haqq sebagai realitas, istilah tepat yang digunakan untuk menunjuk realitas adalah haqiqah, yang diturunkan dari haqq. Perbedaan antara haqq dan haqiqah adalah bahwa yang terdahulu menunjuk pada kondisi ontologis, tatanan, atau sistem seperti diketahui dengan cara intuisi; dimana yang kemudian menunjuk pada struktur ontologis, pada sifatdasarnya, makhluk atau diri akan sesuatu. Haqiqah atau realitas adalah yang dengannya sesuatu adalah apa adanya (by which a thing is what it is). Kini bahwa yang dengannya sesuatu menjadi 21 Prolegomena sesuatu itu sendiri memiliki aspek ganda; pada satu pihak karena segala sesuatu adalah bagian dari realitas, maka realitas adalah sesuatu yang umum bagi segala sesuatu. Sesuatu yang umum pada segala sesuatu ini adalah eksistensi. Dengan demikian salah satu dari aspek ganda dari yang dengannya sesuatu adalah apa adanya adalah ‘menjadi maujud’ dari sesuatu. Aspek lain yang dengannya sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri adalah ‘menjadi-terpilah’nya dari yang lain. ‘Menjadi-maujud’ adalah umum bagi semua maujud dalam pelbagai tingkatan eksistensi, dan meskipun eksistensi adalah bahan dari realitas, eksistensi adalah, berbicara secara ketat, bukan keumuman yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri; melainkan adalah ‘menjaditerpilah’ dari yang lain yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri, karena itu hanya dengan kebajikan keterpilahan realitas-realitas itu telah datang ke dalam eksistensi. Oleh karena itu sifat-dasar mendasar dari realitas adalah perbedaan. Eksistensi (wujud, dari wujida bentuk pasif dari wajada) menunjuk sesuatu yang ditemukan, disibak, diterima, diketahui, diinderai – dengan indera eksternal dan internal atau intelek, atau hati. Karena eksistensi sebagai realitas adalah bahan kreatif yang darinya sesuatu menjadi ada, bentuk lain dari kata tersebut (ijad) menunjuk sesuatu yang dieksistensiasikan, diciptakan, diasalkan. Karena realitas adalah eksistensi yang meliputi segala sesuatu, realitas adalah cukupdiri dalam keabadian yang melimpah ruah, dan makna ini akan tidak sedang dalam kondisi keinginan, atau kebutuhan, yang ditunjuk masih dengan bentuk lain (wajid). Ketika dengan intuisi yang lebih tinggi seseorang datang menemukan realitas yang ada, ‘penemuan’ eksistensi ini disebut wijdan, yang kita katakan sebelumnya menunjuk pada intuisi akan eksistensi. Jadi ketika kita menunjuk di atas pada aspek dari yang dengannya sesuatu adalah apa adanya sebagai ‘menjadi-maujud’, ‘sebagai-maujud’ dari sesuatu seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai menunjuk sesuatu yang hanya ada secara aktual atau mutakhir dalam dunia eksternal; tetapi juga menunjuk kategori eksistensi itu dalam kondisi interior dari realitas eksistensi yang secara berkelanjutan membentangkan dirinya sendiri dalam gradasi menjadi sesuatu yang kita lihat dan pegang. Eksistensi bermakna memiliki tempat dalam tatanan realitas. Karena eksistensi yang dipartikularisasi sebagai ‘menjadi maujud’ dari sesuatu adalah salah satu dari aspek ganda realitas, penunjukkan akan ‘tempat’, ketika kita katakan bahwa eksistensi itu berarti memiliki tempat dalam tatanan realitas, maka adalah ‘menjadi maujud’ dari sesuatu. Tatanan realitas, menurut kita dan dalam pengertian yang sudah disebutkan, tidak dapat dibatasi pada dunia fenomena, atau dunia benda-benda empiris dalam alam indera dan pengalaman inderawi. Maka, dapat dilihat di sini, eksistensi memiliki keunggulannya (seperti pernyataan Mulla Shadra: Al-sholah al-wujud) daripada esensi yang ternyata hanya terpilah di ranah mental dan bukan pada ranah ontologis. Sebab esensi atau kuiditas yang ditunjuk oleh para pendukungnya sebenarnya juga menunjuk eksistensi sebagai suatu realitas. Pada bagian akhir, Bab 7: Derajat-Derajat Eksistensi, Al-Attas menegaskan bahwa terdapat alam yang kita hidupi tidak hanya terbatas pada dunia indera dan pengalaman inderawi. Alam ini begitu luas sehingga disebut al-‘ālamīn atau alam-alam. Seperti sudah dinyatakan pada bagian pengantar Prolegomena, bagian akhir ini merupakan ta’wil yang diajukan terhadap bagian ayat Qur’an tentang Penciptaan dalam Enam Hari dengan Enam Derajat Eksistensi. Dikatakan bahwa Enam Hari Penciptaan itu dapat dibagi ke dalam fase-fase terpilah di antara Empat Hari dan Dua Hari (Fuşşilat (41): 10; dan 9; 12). Dalam bagian tersebut kita lebih lanjut diinformasikan bahwa Dia membawa menjadi wujud (ja’ala) rawāsiya – yang biasanya para 22 Prolegomena komentator menginterpretasikan dengan makna ‘gunung-gunung’ – meletakkan mereka tinggi di atas Bumi. Makna dasar dari kata rawāsiya, yang merupakan bentuk jamak dari akar rasā, mengandung gagasan akan entitas-entitas yang rampung, kokoh, dan secara teguh dibangun dengan sebuah jenis cara permanen yang tidak dapat digerakkan atau dipindahkan ke tempat yang lain. Interpretasi terhadapnya sebagai ‘gunung-gunung’ oleh karena itu masuk akal; karena gunung-gunung dikarakteristikkan dengan jenis kerampungan yang digambarkan dengan rawāsiya, dan mereka tinggi di atas level tanah. Dia juga memberkahi Bumi, dan mengukurnya dalam proporsi (qaddara) semua benda-benda di dalamnya, memberi mereka makanan (aqwātaha) “berdasarkan kebutuhan dari yang meminta” (sawā’an li al-sā’ilīn). Fase penciptaan ini diselesaikan dalam Empat Hari. Ungkapan ‘Langit’ (al-samāwāt) dan ‘Bumi’ (al-ard) yang disebutkan dalam bagian penciptaan tidak selalu menunjuk pada Langit dan Bumi yang bersifat fisik, tapi pada tahap-tahap tertentu dan dengan merujuk pada hubungan sebab-musabab prioritas-posterioritas dalam proses penciptaan yang dipahami dalam konteks derajat-derajat eksistensi, mereka menunjuk pada arketip-arketip mereka (al-a’yān al-thābitah). Dalam pengertian ini kita kemudian dapat menginterpretasikan rawāsiya, yang secara teguh ditegakkan “tinggi di atas” Bumi, untuk bermakna realitas-realitas arketipal yang secara teguh dan permanen ditegakkan dalam kerampungan sedemikian rupa agar mereka tidak dapat digerakkan atau dipindahkan dari wilayah mereka dalam kondisi interior Wujud (Being). Dalam aspek derajat pertama eksistensi Realitas Tertinggi merupakan Eksistensi Absolut, dan asal semua ciptaan, bermula dengan pancaran pertama dari eksistensi, menyentuh pada aspek ini dimana kesempurnaan esensial (kamālāt dhātiyyah) dan kecenderungan-Nya (shu’ūn) menjadi terwujud pada kesadaran-Nya (cf. Hlm. 289 (II) dan 290 di atas). Penciptaan merupakan tindakan eksistensiasi Realitas Tertinggi; hal tersebut juga verifikasi dari apa yang sekaligus benar (pada Perintah penciptaan) dan nyata (secara potensial sebagaimana juga secara aktual). Maka, Eksistensi Absolut di sini identik dengan istilah Qur’an akan ‘Kebenaran’ atau ‘KebenaranKenyataan’ (al-haqq). Pancaran pertama eksistensi adalah pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas), yang merupakan sebuah ekspansi tunggal eksistensi dengan cara yang umum (cth. wujūd ‘āmm), mengandung manifestasi bentuk-bentuk pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang mungkin dalam dunia yang terlihat sebagaimana juga yang tidak terlihat. Semua hal tersebut merupakan manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah sebagaimana juga manifestasi pasif, kontingen, dan ciptaan. Hal ini merupakan yang pertama dari semua manifestasi realitas Eksistensi dan disebut determinasi pertama (ta’ayyun awwal), yang berhubungan pada derajat kedua eksistensi. Realitas Tertinggi, pada level ekspresi ontologis ini, tidak lagi dipandang Esa secara absolut (ahadiyyah mutlaqah), tapi sebagai Tunggal (fard) dengan kebajikan telah disebabkan muncul dalam kesadaran-Nya potensialitas akan ‘yang lain’, diri-Nya sendiri menjadi Yang Lain daripada keyanglainan (otherness) dari ‘yang lain’. Ini merupakan tahap Kesatuan dari yang banyak (wāhidiyyah). Kemudian, seperti sebuah artikulasi lanjutan dari ekspresi ontologis dan aktifitas penciptaan Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, menyebabkan muncul dalam kesadaran-Nya manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah yang berhubungan pada derajat Keilahiyahan (iliāhiyyah) di mana, sebagai ‘Tuhan’ (ilāh), Dia dikualifikasikan dengan Nama-Nama 23 Prolegomena (cth. mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll.) dan Sifat-Sifat (cth.pengetahuan, kehendak, kekuasaan, dll.) keilahiyahan. Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut merupakan partikularisasi lanjutan dari kecenderungan dan kesempurnaan esensial-Nya yang menjadi terwujud pada-Nya yang sudah terdapat dalam derajat pertama eksistensi. Tahap ini menandai ‘penurunan’-Nya pada determinasi kedua (ta’ayyun thāni) berhubungan pada derajat ketiga eksistensi. Ini merupakan tahap Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Kini kencederungan dan kesempurnaan esensial dari Realitas Tertinggi terwujud padaNya sebagai bentuk-bentuk Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Bentuk-bentuk tersebut secara esensial merupakan ‘gagasan-gagasan’ atau ‘intelejibel-intelejibel’ dalam pengetahuan Ilahi. Inheren dalam masing-masing bentuk tersebut terdapat sebuah aspek ‘keyanglainan’, sebuah keterpilahan yang khas pada dirinya sendiri dan dengan demikian juga berbeda dari-Nya. Mereka dikualifikasikan dengan ditegakkan secara permanen sebab sebagai ‘gagasan’ dalam pikiran Ilahi mereka hidup secara permanen (baqā’) dalam pengetahuan Ilahi, tidak berubah dalam sifat-dasar mereka dan tidak bergerak dari kondisi interior dan intelejibel mereka. Dengan keutamaan wujud mereka yang terpilah satu sama lain dan dari-Nya, dan dari kesinambungan mereka sedemikian rupa dalam pengetahuan Ilahi, mereka merupakan realitas-realitas (haqā’iq) asli yang kondisi masa depannya untuk diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Inheren dalam masing-masing realitas terdapat potensialitas yang khas bagi masing-masing; masing-masing telah menerima ukurannya dalam proporsi (cf. qaddara), sehingga masing-masing memiliki sebuah kesiapan (isti’dād) untuk diaktualisasikan berdasarkan kebutuhannya. Inteleksi-Nya terhadap bentukbentuk tersebut dalam aspek mereka akan ‘keyanglainan’ dari-Nya, dan pengungkapan-diri-Nya (tajallī) pada mereka sebagaimana pancaran eksistensi-Nya yang mengembang terhadap mereka, membawa sifat-dasar positif mereka sebagai realitas-realitas yang dapat diaktualisasikan sebagai eksistensi konkret dan individual dalam dunia eksternal. Oleh karena itu realitas-realitas bersifat arketipal dalam alam dan esensi dan tepat disebut ‘arketip-arketip permanen’ (a’yān thābitah), yang level ontologisnya berhubungan pada determinasi ketiga (ta’ayyun thālith) dari Eksistensi Absolut pada derajat keempat eksistensi (cf. hlm. 277-278; 290 (III), di atas). Untuk fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam Dua Hari, kita diinformasikan bahwa Tuhan, “setelah menyelesaikan penciptaan sebelumnya (cth. fase pertama), mengarahkan rancangan-Nya (cth. Rencana-Nya membuat dengan tujuan yang jelas) pada Langit” (Fuşşilat (41): 11; lihat berbagai makna istawā ila dalam Lisān al-‘Arab, XIV hlm. 414, kol. 1&2). Langit yang dimaksudkan, kita telah diberitahu, adalah sebagai asap (dukhān), yang berarti sesuatu yang sebagian fisik dan sebagian non-fisik dalam alam. Dia kemudian memerintahkan Langit dan Bumi untuk datang bersama secara sukarela atau terpaksa; dan mereka berdua datang dalam kepatuhan yang sukarela. Kemudian Dia melengkapi mereka dengan tujuh cakrawala dalam Dua Hari, dan menugaskan pada masing-masing langit tugas dan perintahnya. Langit yang lebih rendah Dia hiasi dengan cahaya dan diamankan dengan penjaga (41: 11-12). Sudah kita lihat di sini, dalam Dua Hari yang disebutkan untuk melengkapi penciptaan semesta bersama semua bagiannya, sebuah kiasan pada dua derajat terakhir eksistensi: derajat kelima dan keenam, yang berhubungan pada determinasi keempat dan kelima dari Eksistensi Absolut. Itu juga dapat bahwa pada level artikulasi ontologis pada derajat kelima eksistensi (determinasi keempat), Langit dan Bumi ditunjuk tetap menyimbolkan aspek spiritual dan intelejensial dalam perkembangan mereka ke dalam bentuk yang lebih dan lebih konkret. Ini 24 Prolegomena merupakan level arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah). Arketip-arketip eksterior menerima pancaran suci eksistensi yang mengalir dari aspek eksterior arketip-arketip permanen. Kini arketip-arketip permanen pada faktanya merupakan realitas-realitas sesuatu yang ditegakkan dalam kehadiran kognitif dari Realitas Tertinggi. Mereka merupakan ‘realitas-realitas ideal’ yang hidup secara permanen dalam pikiran Tuhan, dan sedemikian rupa mereka tidak dibuat untuk muncul pada kondisi manifestasi eksterior dalam alam benda-benda empiris. Mereka dalam pengertian itu bukan ‘maujud’ meskipun mereka memiliki realitas ontologis positif. Dalam hubungan dengan arketip-arketip eksterior mereka adalah determinan aktif dari semua maujud yang mungkin, karena mereka, lagi pula, merupakan artikulasi kecenderungan Ilahi; mereka merupakan realitas-realitas asli dan positif yang seimbang dalam kesiapan untuk mengaktifkan potensialitas inheren pada mereka, dan untuk membentangkan keadaan masa depan mereka dalam bentuk eksistensi individual dan konkret dalam dunia eksternal. Dalam hal ini hubungan arketip-arketip eksterior bertugas sebagai penerima pasif mereka. Isi dari pancaran suci eksistensi adalah potensialitas tersebut, yang keadaan masa depannya secara bertalian menjadi diaktualisasikan dalam dunia benda-benda empiris melalui perantara arketip-arketip eksterior sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Maka, arketip-arketip eksterior merupakan manifestasi pasif, kontingen, dan ciptaan dari Eksistensi Absolut. Karena arketip-arketip tersebut sendiri memiliki aspek interioritas dan eksterioritas, mereka menjadi, dalam hubungan pada dunia hal-hal empiris, pengembang aktif aktualisasi dari kandungan mereka melalui aspek eksterior mereka sebagai pancaran eksistensi yang berlanjut untuk mengembang terhadap mereka pada derajat level ontologis yang terendah. Level ontologis arketip-arketip eksterior merupakan determinasi keempat dari Eksistensi Absolut yang berhubungan pada derajat kelima eksistensi. Yang keenam dan derajat yang terakhir eksistensi adalah level dari determinasi kelima dari Eksistensi Absolut. Hal itu merupakan manifestasi dalam rincian derajat yang mendahului dan merupakan alam benda-benda empiris, dunia indera dan pengalaman inderawi yang sifat-dasarnya dikarakterisitikkan dengan kontingensi. (cf. hlm. 279-280, dan 290 (III), dan 290 (VI) di atas). Kini dalam bagian di mana Tuhan memanggil Langit dan Bumi untuk datang bersama “sukarela atau terpaksa” (ţaw’an aw karhan) merupakan indikasi jelas yang menunjukkan bahwa Langit dan Bumi memiliki kesadaran kepatuhan dan ketidakpatuhan pada perintah Ilahi kendati dari realitas dimana perintah tidak dapat dikontradiksikan. Itu juga menunjukkan bahwa mereka memiliki sebuah kekuatan atau kapasitas untuk menjawab pada kata perintah Ilahi, karena mereka menjawab: “kami datang dalam kepatuhan sukarela” (ataynā ţā’i’īn). Kita memahami dar sini bahwa proses penciptaan yang digambarkan muncul pada level ontologis dari arketip-arketip eksterior dalam derajat kelima eksistensi. Seseorang dapat menyebut bahwa arketip-arketip eksterior merupakan penerima semua manifestasi kontingen dan ciptaan dari Eksistensi Absolut, dan bahwa dalam hubungan pada apa yang merupakan akibat dari mereka, yakni, dunia dari benda-benda empiris dalam derajat keenam dari eksistensi, mereka merupakan agen aktif aktualisasi akan kandungan mereka ke dalam eksistensi eksternal pada derajat terendah dari level ontologis. Mereka mengatakan “kami datang dengan kepatuhan sukarela” secara eksplisit memberi kesan sifat-dasar pasif mereka; dan “kami datang” menyiratkan kekuatan atau kapasitas laten mereka untuk mengaktifkan aktualisasi akan kandungan mereka. Kemudian Tuhan memenuhi penciptaan mereka sebagai tujuh cakrawala; menugaskan pada masing-masing langit tugasnya dan perintahnya, dan menghiasi langit dari bumi kita (samā’ al-dunyā) dengan jasad langit yang bercahaya dan mengamankannya dengan penjaga. 25 Prolegomena Berdasarkan pada interpretasi kita, hanya pada tahap ini kata-kata: ‘langit’ atau ‘cakrawala’ (samāwāt), ‘langit’ (samā) dan ‘bumi’ (ard yang dalam kasus ini ditunjuk sebagai dunyā) menunjuk pada semesta fisik bersama semua bagiannya. Kata dunyā, diturunkan dari akar dana, mengandung makna akan sesuatu yang ‘dibawa dekat’. Menjadi ‘dibawa dekat’, menurut kita, berarti ‘dibawa dekat’ pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel manusia. Yang dibawa dekat pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel kita adalah semesta fisik bersama semua bagiannya. Seluruh semesta fisik dibawa dekat pada kita dengan cara ini dengan keutamaan akan realitas dan kebenaran bahwa hal itu menyusun tanda-tanda dan simbol-simbol (āyāt) Tuhan yang ditampilkan pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel dengan maksud bahwa kita dapat melihat makna dan tujuan mereka. Qur’an Suci menyatakan demikian dalam banyak bagian. Jika kita benar dalam interpretasi kita, hal itu merupakan Dua Hari terakhir yang ditunjuk sebagai penyelesaian penciptaan ke dalam tujuh cakrawala; dan seluruh semesta fisik adalah yang terakhir dari tujuh langit. Catatan kaki [1] Kuliah tersebut, dimulai 1992, dibantu oleh semua profesor, profesor tamu, asisten peneliti, dan mahasiswa ISTAC, sebagaimana juga oleh para profesor, staf akademik, dan pejabat senior dari departemen, institusi, dan kementerian pemerintahan. [2]Wan Mohd Wan Daud. 1998. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan. Hlm. 57. [3] S.M.N. Al-Attas. 1995. Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The Fundamental Elements Of Worldview Of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC. Hlm. 85. Selanjutnya disebut Prolegomena. [4]Konfrontasi tersebut terjadi di ranah mendasar atau radix dari masing-masing peradaban. [5] Prolegomena, hlm. 31. [6] Ibid. Hlm. 30. [7] Definisi ini diformulasikan oleh teolog Jerman, Cornelis van Peursen, yang menduduki the chair of philosophy di University of Leiden. Gelar tersebut diberikan dalam laporan yang diselenggarakan dalam Ecumenical Institue of Bossey, Switzerland, September 1959. Lihat juga karya teolog Harvard Harvey Cox, the Secular City, New York, 1965, hlm. 2; dan yang mengikutinya, par. 2-17; 20-23; 30-36; 109 et passim. Karya utuh dari sekularisasi sebagai program filosofis diberikan dalam Islām and Secularism, Kuala Lumpuur, 1978, chs. I dan II. [8] Prolegomena, Hlm. 39. [9] Ibid. Hlm. 41-42. [10] Da’in menunjuk sebagai penghutang sebagaimana juga sebagai pemberi hutang, dan penampakan makna yang berlawanan ini hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut sebagai menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu, jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di bawah hlm. 57-60. 26 Prolegomena [11] Saya pikir sangat penting untuk melihat keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara konsep dīn dan madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan terhadap yang sebelumnya dan secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus diingat dalam pentingnya perubahan nama kota yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-madīnah: Kota – atau lebih tepat, madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi – yang muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan historis (hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah yang menandai Era Baru dalam sejarah manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-madīnah disebut dan dīnamakan demikian sebab di sanalah dīn yang benar menjadi terwujud untuk manusia. Terdapat mukmin yang memperbudak dirinya di bawah otoritas dan hukum Nabi Suci, dayyan-nya; terdapat realisasi berhutang kepada Tuhan yang mengambil bentuk yang jelas, dan dibuktikan dalam cara dan metode pembayarannya mulai dibentangkan. Kota Nabi menandakan tempat dimana dīn yang benar ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi, untuk Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan untuk mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang jasad dan fisik mukmin dimana jiwa rasional, dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan memberkahi dan memberi kedamaian!, menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan lebih lanjut, lihat di bawah, hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84. [12] Lisan al-‘Arab, vol. 13: 402, kol. 2-403, kol. 1. [13] Al-Dhariyat (51): 56. [14] LA, vol. 5:58, kol. 1 & 2; lihat juga Al-Rum (30): 30. [15] LA, vol. 5: 56, kol. 2, 57, kol. 1. [16] Al-Nisa’ (4): 125. [17] Ali ‘Imran (3): 85. [18] Ali ‘Imran (3): 19. [19] Ali ‘Imran (3): 83. [20] Hal ini tentu tidak menyiratkan bahwa keanekaragaman antara agama-agama hanya soal bentuk, karena perbedaan dalam bentuk tentu saja menyiratkan perbedaan dalam konsep Tuhan, Esensi, NamaNama, Sifat-Sifat, dan Tindakan-Nya – sebuah perbedaan dalam konsepsi yang diungkapkan dalam Islām sebagai tawhid: Keesaan Tuhan. [21] Dalam sebuah pengertian, kata-kata Tuhan dalam Qur’an Suci: – ‘Biarkan tidak ada ada paksaan dalam agama’ (Al-Baqarah (2): 256) – menguatkan apa yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam agama yang benar harus tidak terdapat paksaan: bukan hanya dalam pengertian bahwa, dalam tindakan penaklukan pada agama dan tunduk padanya, seseorang harus tidak memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam pengertian bahwa bahkan dengan diri sendiri, seseorang harus memaksa dan menundukkan diri sepenuh hati dan sukarela, dan mencintai dan menikmati ketundukan. Ketundukan yang terpaksa memperlihatkan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan, dan adalah serupa dengan salah-percaya (misbelief), yang merupakan salah satu bentuk dari tidak-percaya (kufr). Adalah salah untuk berpikir percaya pada Tuhan yang Satu sendiri adalah cukup dalam agama yang benar, dan bahwa kepercayaan-lemah seperti itu menjamin keamanan dan keselamatan. Iblis (syaitan), yang percaya pada Satu Tuhan Yang Benar dan mengetahui dan mengakui-Nya sebagai Pencipta, Pengasih, Pemelihara, rabbnya, meskipun demikian seorang yang salah-percaya (kafir). Meskipun 27 Prolegomena Iblis tunduk pada Tuhan, namun dia tunduk dengan kurang ajar dan enggan, dan kufrnya berkaitan dengan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan. Dia adalah contoh buruk yang terkenal dari ketundukan yang terpaksa. Maka, ketundukan yang terpaksa bukan tanda kepercayaan yang benar, dan seorang kafir oleh karena itu menjadi seseorang yang, meskipun percaya pada Satu Tuhan, tidak tunduk dalam ketundukan sejati, melainkan lebih tunduk dalam jalannya sendiri yang keras kepala – sebuah jalan, atau cara, atau bentuk yang tidak diterima ataupun diwahyukan atau diperintahkan Tuhan. Ketundukan sejati adalah apa yang telah sempurna oleh Nabi Suci sebagai model bagi manusia, karena itu adalah cara ketundukan seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya, dan bentuknya diterima, diwahyukan, dan diperintahkan Tuhan. Jadi, inti agama yang benar, maka, bukan kepercayaan-lemah, tetapi melainkan, lebih mendasar, ketundukan; karena ketundukan membuktikan dan mengakui kepercayaan-lemah sebagai benar dan sejati. [22] Kita tidak menyiratkan di sini bahwa ketika ’ibadah menjadi diidentifikasi dengan ma’rifah, yang terdahulu disebutkan sebagai kerja pelayanan (‘amal) termasuk sholat (salat) – cth. yang ditentukan (fard), praktek yang jalankan Nabi (sunnah), tambahan utama (nawafil) –tidak lagi wajib bagi seseorang yang memperoleh yang kemudian, atau sholat seseorang hanya bermakna kontemplasi intelektual, seperti beberapa pemikiran filsuf. Ma’rifah sebagai ‘pengetahuan’ adalah kognisi yang benar (‘ilm) dan perasaan yang benar atau suasana hati spiritual (hal); dan yang disebutkan di awal, yang menandai tahap terakhir ‘tempat-perhubungan’ spiritual (maqamat), mendahului yang kemudian disebut, yang menandai awal ‘kondisi’ spiritual (ahwal). Jadi ma’rifah menandai posisi-perpindahan spiritual antara tempat perhubungan dan kondisi spiritual. Hal seperti itu, dan karena itu adalah pengetahuan yang datang dari Tuhan pada hati (qalb) dan tergantung seluruhnya pada-Nya, adalah tidak serta merta merupakan kondisi permanen kecuali secara berkelanjutan diamankan dan dibentengi dengan ‘ibadah. Dia yang berpandangan tajam mengetahui bahwa adalah absurd dalam kasus seseorang yang menerima pengetahuan dari Tuhan tentang Tuhan (cth. ‘arif) untuk mengubah ‘ibadahnya menjadi sekedar kontemplasi, karena ‘arif sangat sadar akan fakta bahwa menjadi satu setidaknya separuhnya berkaitan dengan ‘ibadah yang merupakan alat mendekati Rabbnya. [23] Al-A’raf (7): 19-25; Ta ha (20): 117-124; Bani Isra’il (7): 72. [24] Prolegomena, hlm. 112-116. [25] Lihat karya Al-Attas The Concept of Education in Islām, hlm. 15. [26] Prolegomena, hlm. 116. [27] Prolegomena, hlm. 136-137. 28 Prolegomena Pengantar Konsepsi dan konseptualisasi pengetahuan dan sains itu, sebagaimana halnya adaptasi metode dan teori, dirumuskan di setiap peradaban di dalam kerangka-kerja sistem metafisika yang membentuk pandangan-dunia (worldview) masing-masing. Setiap sistem metafisis, dan karenanya juga pandangan-dunia yang diproyeksikannya, tidaklah sama bagi setiap peradaban lain; hal tersebut berbeda satu sama lain sesuai dengan perbedaan interpretasi atas apa yang dipegang secara mendasar sebagai benar (true) dan nyata (real). Jika pengetahuan dan sains yang tumbuh darinya tidak diluruskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran wahyu maka, apa yang dipegang sebagai benar dapat tidak selalu benar, maupun apa yang dipegang sebagai nyata sebagai sungguh-sungguh nyata; dan oleh karena itu interpretasi demikian pasti mengalami perubahan pembetulan (corrective) berulang-ulang yang memerlukan apa yang disebut pergeseran paradigma (paradigm shifts) yang juga melibatkan perubahan dalam pandangan-dunia dan sistem metafisis yang memproyeksikannya. Kita tidak sepakat dengan mereka yang mengambil posisi bahwa realitas dan kebenaran, dan nilai yang diturunkan darinya, adalah terpisah, dan mereka mengartikulasikan makna tersebut di dalam paradigma relatifitas dan pluralitas yang memiliki keabsahan yang sepadan. Karena kita mempertahankan bahwa pengetahuan tidak sepenuhnya milik kesadaran manusia, dan bahwa sains yang diturunkan darinya bukanlah semata-mata hasil rasio manusia tanpa-bantuan (unaided human reason) dan pengalaman inderawi yang memiliki objektifitas sehingga menghalangi putusan nilai, tetapi pengetahuan dan sains tersebut membutuhkan bimbingan dan verifikasi dari pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran wahyu, hal tersebut diemban para sarjana dan cendekia di antara kita yang dipercayakan mengajar dan mendidik untuk memperkenalkan diri mereka dengan pemahaman yang jelas akan metafisika Islam dan unsur-unsur mendasar yang didirikan secara permanen dari pandangan-dunia yang diturunkan darinya. Hal ini karena metafisika itu tidak hanya dibangun di atas rasio dan pengalaman sebagaimana direfleksikan dalam tradisi intelektual dan keagamaan Islam, tetapi juga di atas artikulasi agama wahyu itu sendiri tentang sifat-dasar realitas dan kebenaran dalam verifikasi Wahyu. Buku yang kini terbentang di tangan anda dibuat untuk diskursus awal tentang sifatdasar metafisika Islam. Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan-bulan pada tahun 1989 (III; 1990 (IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Pada Bab II, yang merupakan komentar atas penjelasan tentang kebahagiaan yang diberikan pada bab I, saya telah mengenalkan sebuah teori baru saya sendiri tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah saya jelaskan pada bagian Penutup, pada akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna tersembunyi dari bagian Qur’ān tentang Penciptaan dalam Enam Hari. Pada asalnya bab-bab tersebut diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah terbatas atas permintaan staf akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta supaya saya mengelaborasi komentar pada setiap monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu Malam. Kuliah tersebut, dimulai 1992, dibantu semua profesor, profesor tamu, asisten peneliti, dan mahasiswa ISTAC, maupun oleh para profesor, staf akademik, dan pejabat senior dari departemen, institusi, dan kementerian pemerintahan. Saya 29 Prolegomena mengucapkan terima kasih kepada mereka semua atas dukungan yang tulus, khususnya asisten Profesor Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, sebagai Pembantu Deputi Direktor, atas kerjasama terus-menerus dan keberaniannya, dan kepada asisten peneliti Muhammad Zainy Uthman, yang membantu saya dalam mempersiapkan Indeks Umum buku ini. Syed Muhammad Naquib al-Attas 5 September, 1995/9 Rabi’al-akhir 1416 Kuala Lumpur 30 Prolegomena Pengantar Edisi Kedua Prolegomena to the Metaphysics of Islam, yang diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) pada 1995, kini diterbitkan kembali tanpa perubahan. Beberapa bagian buku ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa sejak publikasi pertama. Bagian Pengenalan buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; bab I ke dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Bosnia, Urdu, Malaya, Jepang, Korea, Indonesia; bab II ke dalam bahasa Arab, Turki, Jerman, Itali, Bosnia, dan Melayu; bab V, VI, dan VII ke dalam bahasa Persia. Seluruh buku ini sekarang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, di bawah pengawasan Institute of Islamic Civilization, Moskow, yang berkolaborasi dengan anggota Russian Academy of Science, sebuah Institusi Filsafat yang telah mengundang saya berbicara pada sebuah Presentasi Khusus tentang gagasan saya yang diungkapkan dalam buku tersebut, dan ditemani Deputi saya Profesor Dr. Wan Mohd. Nor, ke Akademi Moskow pada Mei 2001. Saya mengucapkan terima kasih kepada International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) karena menerbitkan kembali buku ini dalam bentuk yang sekarang ini, dan memperbaharui rasa terima kasih saya kepada Profesor Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, Deputi Direktur Institut, dan asisten Profesor Dr. Muhammad Zainy Uthman, Pustakawan akademis Institut untuk dukungan terus-menerus akan pekerjaan saya. Pada cetakan kedua buku ini, saya juga mengucapkan terima kasih kepada anggota baru staf akademik, asisten Profesor Dr. Mohamed Ajmal Abdul Razak, Editor Umum Publikasi Institut, yang membaca salinan buku ini lewat percetakannya. Syed Muhammad Naquib al-Attas 5 September, 2001/ 17 Jumad al-Akhir 1422 Kuala Lumpur 31 Prolegomena PENGENALAN Dari perspektif Islām, ‘pandangan-dunia’ bukan hanya pandangan kesadaran tentang dunia fisik dan keterlibatan manusia secara historis, sosial, politis dan kultural di dalamnya seperti direfleksikan, sebagai contoh, dalam ungkapan bahasa Arab saat ini tentang gagasan yang dirumuskan dalam frase nazrat al-islām li al-kawn. Tidaklah tepat menunjuk pandangan-dunia Islām sebagai nazrat al-islām li al-kawn. Hal ini karena, tidak seperti apa yang dikandung nazrat, pandangan-dunia Islām tidaklah berdasarkan spekulasi filosofis yang sebagian besar dirumuskan dari observasi data pengalaman inderawi, dari apa yang terlihat pada mata; maupun dibatasi pada kawn, yang merupakan dunia pengalaman inderawi, dunia hal-hal ciptaan. Jika ungkapan demikian kini digunakan dalam bahasa Arab pada pemikiran muslim kontemporer, hal itu hanya menunjukkan bahwa kita sudah terlalu dipengaruhi konsepsi saintifik Barat sekular tentang dunia yang dibatasi pada dunia indera dan pengalaman inderawi. Islām tidak mengakui dikotomi sakral dan profan; pandangan-dunia Islām meliputi al-dunyā dan al-ākhirah, dimana aspek-dunyā harus terhubung secara mendalam dan tak terpisahkan dengan aspek-ākhirah, dan dimana aspekākhirah memiliki nilai mendasar (ultimate) dan penghabisan (final). Aspek-dunyā itu dilihat sebagai persiapan untuk aspek-ākhirah. Segala hal dalam Islām secara mendasar terfokus kepada aspekākhirah tanpa kemudian mengakibatkan perilaku lalai atau tidak peduli terhadap aspek dunyā. Realitas bukan apa yang sering ‘didefinisikan’ dalam kamus-kamus bahasa Arab sebagai wāqi’iyah, yang penggunaannya itu, secara partikular dalam bentuk gramatikal wāqi’iy, sekarang sedang populer. Realitas adalah haqīqah, yang secara berarti kini jarang digunakan berkaitan pada keasyikan dengan wāqi’iyah yang hanya menunjuk kepada penampakan faktual. Penampakan faktual hanya merupakan satu aspek dari sekian banyak haqīqah, yang cakupannya meliputi seluruh realitas. Lebih lanjut, penampakan faktual dapat merupakan aktualisasi sesuatu yang palsu (cth. bāţil); sedangkan realitas selalu merupakan aktualisasi sesuatu yang benar (cth. haqq). Maka, apa yang dimaksud dengan ‘pandangan-dunia’, menurut perspektif Islām, adalah visi akan realitas dan kebenaran yang muncul di hadapan mata kesadaran yang mengungkapkan segala hal tentang eksistensi; karena pandangan-dunia merupakan dunia eksistensi dalam totalitasnya yang diproyeksikan Islām. Jadi, dengan ‘pandangan-dunia’ kita harus mengartikannya sebagai ru’yat al-islām li al-wujūd. Visi Islāmi akan realitas dan kebenaran, yang merupakan investigasi metafisis dari apa yang nampak maupun yang tidak nampak termasuk perspektif akan kehidupan sebagai keseluruhan, bukanlah pandangan-dunia yang dibentuk hanya dengan mengumpulkan bersamasama pelbagai objek, nilai, dan fenomena kultural ke dalam koherensi artifisial.[i] Bukan pula sesuatu yang dibentuk secara bertahap melalui proses historis dan perkembangan spekulasi filosofis dan penemuan saintifik, yang pasti perlu dibiarkan samar dan terbuka-tanpa-akhir (openended) untuk perubahan di masa depan dan pergantian yang sejalan dengan paradigma yang berubah dalam korespondensi dengan keadaan yang berubah. Visi Islām akan realitas dan kebenaran bukanlah pandangan-dunia yang mengalami proses transformasi dialektik yang berulang-ulang sepanjang zaman, dari tesis kepada antitesis kemudian sintesis, dengan unsurunsur masing-masing tahapan tersebut dalam proses sedang terserap menjadi yang lain, seperti sebuah pandangan-dunia berdasarkan sistem pemikiran yang asalnya berpusat pada tuhan, kemudian secara bertahap menjadi berpusat pada tuhan-dunia, dan kini menjadi berpusat pada dunia dan mungkin bergeser lagi membentuk tesis baru dalam proses dialektik. Pandangan-dunia demikian berubah sejalan dengan ideologi zaman yang dikarakteristikkan oleh banyaknya 32 Prolegomena pengaruh sistem pemikiran partikular dan berlawanan yang mendukung perbedaan interpretasi akan pandangan-dunia dan sistem nilai seperti yang telah dan akan terus muncul dalam sejarah tradisi kultural, keagamaan, dan intelektual Barat. Tidak pernah ada dalam sejarah tradisi kultural, keagamaan, dan intelektual Islām keterpilahan zaman yang dikarakteristikkan dengan banyaknya sistem pemikiran berdasarkan materialisme dan idealisme, yang didukung posisi dan pendekatan bantuan metodologis seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme, positivisme, positivisme logis, kritisisme, yang bergerak dari satu posisi ke posisi lain di antara abad, yang muncul bergantian langsung pada masa kita. Perwakilan pemikiran Islām — teolog, filosof, metafisikawan — secara keseluruhan dan individual telah menerapkan pelbagai metode dalam investigasi mereka tanpa mementingkan satu metode partikular. Mereka memadukan dalam investigasi mereka, dan secara bersamaan dalam pribadi mereka, yang empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif dan mengakui tidak ada dikotomi antara yang subjektif dan objektif,[ii] sehingga mereka semua terpengaruh dengan apa yang saya sebut sebagai metode tawhīd akan pengetahuan. Bukan pula pernah terdapat dalam Islām periode sejarah yang dapat dikarakteristikkan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, lalu ‘modern’ dan kini nampak bergeser lagi ke ‘pos-modern’; maupun masa kritis antara pertengahan dan modern dialami sebagai ‘renaisans’ dan ‘pencerahan’. Pendukung pergeseran dalam sistem pemikiran yang melibatkan perubahan dalam unsur-unsur mendasar pandangan-dunia dan sistem nilai, mungkin mengatakan bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran sedemikian, jika tidak dalam proses interaksi dengan keadaan yang berubah mereka akan melelahkan diri mereka, menjadi tidak kreatif, dan membatu. Namun, hal ini hanya benar dalam pengalaman dan kesadaran peradaban yang sistem pemikiran dan nilainya telah diturunkan dari unsur kultural dan filosofis yang dibantu sains pada masa mereka. Islām bukanlah sebuah bentuk kebudayaan, dan sistem pemikirannya yang memproyeksikan visi akan realitas dan kebenaran dan sistem nilai yang diturunkan darinya tidak hanya diturunkan dari unsur kultural dan filosofis yang dibantu sains, tetapi sesuatu yang sumber asalnya adalah Wahyu, yang dikonfirmasi agama, diafirmasi prinsip intelektual dan intuitif. Islām melekatkan kepada dirinya akan kebenaran sebagai sungguh-sungguh agama wahyu, yang sempurna sejak dari awal, tidak membutuhkan penjelasan historis dan penilaian dalam pengertian tempat yang disinggahi dan peran yang dimainkan dalam proses perkembangan. Semua yang penting dalam agama: nama, kepercayaankuat (faith) dan prakteknya, ritual, kredo dan sistem kepercayaan (belief) telah diberikan Wahyu, diinterpretasikan, dan didemonstrasikan Nabi dalam ucapan dan contoh tindakan, bukan dari tradisi kultural yang pasti perlu mengalir dalam arus historisisme. Agama Islām telah sadar identitas dirinya sejak saat diwahyukan. Ketika Islām muncul dalam tahapan sejarah dunia, Islām sudah ‘dewasa’, dan tidak membutuhkan proses ‘pertumbuhan’ menuju kedewasaan. Agama Wahyu hanya dapat sebagai sesuatu yang mengetahui dirinya sejak sangat awal; dan swapengetahuan ini datang dari Wahyu itu sendiri, bukan dari sejarah. Maka, sesuatu yang disebut ‘perkembangan’ dalam tradisi keagamaan manusia tidak dapat diterapkan pada Islām, karena apa yang diasumsikan sebagai proses perkembangan tersebut dalam kasus Islām hanya sebuah proses interpretasi dan elaborasi yang pasti perlu muncul dalam generasi mukmin berturut-turut dari bangsa yang berbeda, dan yang merujuk kepada Sumber yang tidak berubah.[iii] Pandangandunia Islām tersebut dikarakteristikkan dengan otentisitas dan finalitas yang menunjuk pada apa yang mendasar, dan pandangan-dunia Islām memproyeksikan pandangan akan realitas dan kebenaran yang meliputi eksistensi dan kehidupan secara keseluruhan dalam perspektif utuh dimana unsur-unsur mendasarnya didirikan secara permanen. Unsur-unsur tersebut adalah, untuk menyebutkan yang paling penting, sifat-dasar Tuhan; tentang Wahyu (cth. Qur’ān); tentang makhluk-Nya; tentang manusia dan psikologi jiwa manusia; tentang pengetahuan; tentang 33 Prolegomena agama; tentang kebebasan; tentang nilai dan kebajikan (ihsān, penerj.); tentang kebahagiaan — semua yang, bersama dengan istilah dan konsep kunci yang dibentangkan, memiliki ketegasan mendalam pada gagasan kita akan perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Saya mengajukan di sini, di Pengenalan ini, untuk memberikan intisari beberapa unsur mendasar pandangan-dunia Islām. Pernyataan menyeluruh tentang sifat-dasar mereka telah dibuat di dalam bab-bab buku ini. Unsur-unsur mendasar pandangan-dunia inilah yang kita pertahankan supaya tegak secara permanen yang kini sedang ditantang modernitas, dimana dijumpai bahwa pergeseran sistem pemikiran yang telah melahirkan modernitas dari rahim sejarah telah dihasilkan oleh kekuatan sekularisasi sebagai ideologi filosofis. Namun, sebenarnya modernitas atau posmodernitas tidak memiliki visi koheren untuk menawarkan sesuatu yang dapat disebut sebagai pandangan-dunia. Jika kita dapat menarik bahkan sebuah persamaan superfisial antara pandangan-dunia dan gambar yang dilukiskan dalam teka-teki potongan gambar (jigsaw), maka potongan gambar modernitas itu bukan hanya jauh dari melukiskan gambar koheren apapun, tetapi juga bagianbagian inti untuk membentuk gambar sedemikian itu tidak cocok. Hal ini tidak termasuk menyebutkan posmodernitas, yang telah menggagalkan semua bagian. Tidak ada pandangandunia yang benar yang dapat fokus ketika sistem ontologis skala-besar untuk memproyeksikannya itu ditolak, dan ketika terdapat pemisahan antara kebenaran dan realitas, antara kebenaran dan nilai. Unsur-unsur mendasar tersebut berperan sebagai prinsip penyatu yang meletakkan semua sistem makna, standar kehidupan, dan nilai kita dalam tatanan koheren sebagai sistem yang disatukan membentuk pandangan-dunia; dan prinsip tertinggi dari realitas sejati yang diartikulasikan unsur-unsur mendasar tersebut difokuskan pada pengetahuan akan sifat-dasar Tuhan sebagaimana diwahyukan dalam Qur’ān. Sifat-dasar Tuhan sebagaimana di-Wahyukan dalam Islām diturunkan dari Wahyu. Kami tidak memaksudkan Wahyu sebagai visi mendadak para pujangga besar dan seniman yang diklaim untuk diri mereka; maupun inspirasi apostolik para penulis naskah suci; maupun intuisi iluminatif dan orang-orang bijaksana dan orang-orang berpandangan tajam. Kami memaksudkan Wahyu sebagai ucapan Tuhan tentang diri-Nya sendiri, ciptaan-Nya, hubungan antara keduanya, dan jalan keselamatan yang dikomunikasikan kepada Nabi dan Utusan pilihan-Nya, tidak dengan suara atau huruf, namun sudah berisikan semuanya Dia telah merepresentasikannya dalam katakata, kemudian dibawa oleh Nabi kepada manusia dalam bentuk linguistik yang baru di dalam alam namun menyeluruh, tanpa kebingungan dengan subjektifitas dan imajinasi kognitif Nabi. Wahyu ini final, dan bukan hanya mengonfirmasikan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam bentuk asli, tetapi juga termasuk substansinya, yang memisahkan kebenaran dari kreasi kultural dan penemuan etnik. Karena kita mengafirmasi Qur’ān sebagai ungkapan Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk baru bahasa Arab, oleh karena itu deskripsi sifat-dasar-Nya di dalam Qur’ān merupakan deskripsi diri-Nya oleh diri-Nya dalam kata-kata-Nya sendiri berdasarkan bentuk linguistik tersebut. Hal ini berarti bahasa Arab Qur’ān, interpretasi tentangnya dalam Tradisi (sunnah, pen.), dan penggunaan otentik dan otoritatifnya sepanjang zaman telah membentuk keabsahan bahasa tersebut ke derajat unggul dalam bertugas menggambarkan realitas dan kebenaran.[iv] Dalam pengertian ini dan tidak seperti situasi yang berlaku umum pada pemikiran modernis dan posmodernis, kita mempertahankan bahwa bukanlah perhatian Islām untuk terlalu terlibat dalam urusan semantik dari bahasa secara umum dimana kondisi filsuf bahasa menemukan penuh masalah pada kemampuan mereka untuk mendekati atau menghubungkan dengan realitas yang benar. Konsepsi sifat-dasar Tuhan yang diturunkan dengan Wahyu juga dibangun di atas fondasi 34 Prolegomena rasio dan intuisi, dan dalam beberapa kasus dengan intuisi empiris, sebagai sebuah hasil pengalaman dan kesadaran manusia akan-Nya dan ciptaan-Nya. Sifat-dasar Tuhan yang dipahami dalam Islām tidaklah sama seperti konsepsi Tuhan yang dipahami dalam pelbagai tradisi keagamaan di dunia; maupun sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami di dalam tradisi filsafat Yunani dan yang Helenistik; maupun konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filosofis dan saintifik Barat; maupun tradisi mistik Barat dan Timur. Penampakan kesamaan yang mungkin ditemukan di antara pelbagai konsepsi mereka tentang Tuhan dengan sifat-dasar Tuhan yang dipahami dalam Islām tidak dapat diinterpretasikan sebagai bukti identitas Tuhan Universal yang Esa dalam pelbagai konsepsi mereka akan sifatdasar Tuhan; karena setiap dari mereka bertugas dan berada pada sistem konseptual yang berbeda, yang secara serta merta menyumbangkan konsepsi tersebut sebagai keseluruhan atau super-sistem (super-system) sehingga menjadi tidak sama satu sama lain. Maupun terdapat ‘kesatuan transenden agama-agama’, jika ‘kesatuan’ (unity) bermakna ‘keesaan’ (oneness) atau ‘kesamaan’ (sameness); dan jika ‘kesatuan’ tidak bermakna ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ maka terdapat pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama bahkan pada tingkatan transenden. Jika diakui bahwa terdapat pluralitas atau ketidaksamaan pada tingkatan tersebut, dan ‘kesatuan’ bermakna ‘kesalinghubungan bagian-bagian yang menciptakan keseluruhan’, maka kesatuan merupakan saling-hubung pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama sebagai bagian yang menyusun keseluruhan, maka hal itu berarti bahwa pada tingkatan kehidupan sehari-hari, dimana manusia terpengaruh keterbatasan kemanusiaan dan material alam semesta, agama apapun tidak utuh pada dirinya dan tidak mampu mewujudkan tujuannya, dan hanya mampu mewujudkan tujuannya, yang merupakan ketundukan kepada Tuhan Universal yang Esa tanpa menyamakan Dia dengan segala rekan, lawan, atau semacamnya, pada tingkatan transenden. Namun, agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan tepatnya pada tingkatan eksistensi ketika manusia terpengaruh keterbatasan kemanusiaan dan material alam semesta, dan bukan ketika manusia tidak dipengaruhi keterbatasan tersebut sebagaimana terkandung dalam istilah ‘transenden’. Jika ‘transenden’ bermakna menunjuk kepada kondisi ontologis yang tidak termasuk salah satu dari sepuluh kategori, Tuhan adalah, berbicara secara ketat, bukan Tuhan agama (cth. ilāh) dalam pengertian bahwa dapat ada sesuatu yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama pada tingkatan tersebut. Pada tingkatan tersebut Tuhan dikenali sebagai rabb, bukan sebagai ilāh; dan mengenali Tuhan sebagai rabb tidak serta merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang pantas akan kebenaran yang dikenali, karena Iblīs juga mengakui Tuhan sebagai rabb namun tidak mengakui Dia secara pantas. Tentu saja, seluruh keturunan Adam telah mengakui Dia sebagai rabb pada tingkatan tersebut. Namun pengenalan manusia sedemikian akan-Nya tidaklah benar kecuali diikuti pengakuan yang pantas pada tingkatan dimana Dia diketahui sebagai ilāh. Dan pengakuan yang pantas pada tingkatan ini dimana Dia diketahui sebagai ilāh terdiri atas tidak menyamakan Dia dengan segala sekutu, lawan, atau semisalnya, dan berserah kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang diterima-Nya dan ditunjukkan oleh Nabi yang diutus-Nya. Jika ‘transenden’ bermakna menunjuk kepada kondisi psikologis pada tingkatan pengalaman dan kesadaran yang ‘melampaui’ atau ‘melewati’ kebanyakan di antara manusia, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkatan transenden itu bukanlah agama, tetapi pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dapat dicapai secara relatif oleh beberapa individu di antara manusia. Namun, agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi keseluruhan manusia dan manusia secara keseluruhan tidak pernah dapat sampai pada tingkatan transenden dimana terdapat kesatuan agama-agama pada tingkatan tersebut. Maka jika ditolak bahwa kesatuan pada tingkatan transenden merupakan saling-hubung pluralitas atau 35 Prolegomena ketidaksamaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang menyusun keseluruhan, melainkan bahwa setiap agama pada tingkatan kehidupan sehari-hari bukan merupakan bagian dari keseluruhan, tetapi merupakan keseluruhan dalam dirinya sendiri – maka ‘kesatuan’ bermakna ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ tidak sungguh-sungguh akan agama-agama, tetapi akan Tuhan agama-agama pada tingkatan transenden (cth. esoterik), yang menyiratkan dengan demikian pada tingkatan kehidupan sehari-hari (cth. eksoterik), dan kendati akan pluralitas dan keanekaragaman agamaagama, masing-masing agama itu memadai dan absah dalam jalannya yang terbatas, dimana masing-masing otentik dan mengandung kebenaran yang sama meskipun terbatas. Gagasan pluralitas kebenaran absah yang sama dalam pluralitas dan keanekaragaman agama-agama mungkin diluruskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains modern yang muncul dari penemuan pluralitas dan keanekaragaman hukum yang mengatur alam dan memiliki keabsahan yang sama dalam sistem kosmologis masing-masing. Kecenderungan meluruskan penemuan saintifik modern terhadap sistem alam semesta dengan pernyataan yang berhubungan dengan masyarakat, tradisi kultural, dan nilai merupakan salah satu karakteristik corak modernitas. Posisi mereka yang mendukung teori kesatuan transenden agama-agama itu berdasarkan dengan asumsi bahwa semua agama, atau agama-agama besar umat manusia, adalah agama wahyu. Mereka berasumsi bahwa universalitas dan transendensi esoterisme mengesahkan teori mereka, yang mereka ‘temukan’ setelah berkenalan dengan metafisika Islām. Dalam pemahaman mereka akan metafisika kesatuan transenden eksistensi (the trancendent unity of existence), mereka lebih lanjut berasumsi bahwa kesatuan transenden agama-agama sudah tersirat. Terdapat kesalahan yang serius dalam semua asumsi mereka, dan frase ‘kesatuan transenden agama-agama’ itu menyesatkan dan mungkin dimaksudkan demikian karena dorongan selain kebenaran. Klaim mereka untuk mempercayai kesatuan transenden agama-agama adalah sesuatu yang dianjurkan kepada mereka secara induktif oleh imajinasi dan diturunkan dari spekulasi intelektual dan bukan dari pengalaman aktual. Jika ini ditolak, dan klaim mereka diturunkan dari pengalaman orang lain, maka kembali kita katakan bahwa pengertian ‘kesatuan’ yang dialami bukanlah agama, tetapi pelbagai derajat atas pengalaman keagamaan individual yang tidak serta merta membimbing pada asumsi bahwa agama diri individu yang mengalami ‘kesatuan’ tersebut, memiliki kebenaran absah yang sepadan sebagaimana agama wahyu pada tingkatan kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, seperti sudah diungkapkan, Tuhan dari pengalaman tersebut dikenali sebagai rabb, bukan ilāh agama wahyu. Dan mengenali-Nya sebagai rabb tidak serta merta bermakna mengakui-Nya dalam ketundukan sejati yang diikuti dari pengenalan tersebut, karena pembangkangan, kesombongan, dan kesalahan juga berasal dari alam transenden. Terdapat hanya satu agama wahyu. Agama tersebut merupakan agama yang dibawa Nabi-Nabi terdahulu, yang telah dikirim untuk menyampaikan pesan wahyu kepada kaum mereka sendiri sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan rencana Ilāhi untuk mempersiapkan orang-orang di dunia menerima agama dalam bentuk terakhir dan sempurna sebagai Agama Universal di tangan Nabi terakhir, yang telah dikirim untuk membawa pesan wahyu bukan hanya untuk kaumnya sendiri, tetapi untuk manusia secara keseluruhan. Pesan penting wahyu selalu sama: mengenali, mengakui, dan menyembah Tuhan (ilāh) Yang Benar dan Nyata yang Esa, tanpa menyamakan Dia dengan segala sekutu, lawan, atau semisalnya, ataupun menyifatkan sebuah keserupaan kepada-Nya; dan untuk mengonfirmasikan kebenaran yang disampaikan Nabi-Nabi terdahulu sebagaimana halnya mengonfirmasikan kebenaran final yang dibawa Nabi terakhir sebagaimana telah dikonfirmasikan semua Nabi-Nabi terdahulu sebelumnya. Dengan pengecualian atas orang-orang pada masa Nabi terakhir ini, yang dengannya agama Wahyu mencapai kondisi paling sempurna dan asalnya yang murni dipelihara hingga saat ini, kebanyakan orang-orang pada masa NabiNabi terdahulu diutus dengan sengaja meninggalkan petunjuk dan sebagai gantinya lebih 36 Prolegomena menyukai kreasi kultural dan penemuan etnik milik mereka, lalu mengakui hal tersebut sebagai ‘agama’ dalam imitasi terhadap agama Wahyu. Terdapat hanya satu agama Wahyu yang sejati, dan nama yang diberikan adalah Islām, dan orang-orang yang mengikuti agama ini didoakan Tuhan sebagai yang terbaik di antara manusia. Bagi beberapa orang yang lebih menyukai mengikuti bentuk dan praktek kepercayaan mereka yang anekaragam yang digambarkan sebagai ‘agama’, kesadaran mereka akan Kebenaran merupakan penemuan ulang, dengan bimbingan dan ketulusan hati, dari apa yang sudah jelas ada dalam Islām bahkan pada tingkatan kehidupan sehari-hari. Hanya Islām yang mengakui dan mengafirmasikan Keesaan Tuhan secara absolut tanpa harus sampai pada tingkatan transenden untuk melakukannya; tanpa membingungkan pengakuan dan afirmasi tersebut dengan bentuk-bentuk tradisional kepercayaan (belief) dan praktek yang digambarkan sebagai ‘agama’; tanpa mengacaukan pengenalan dan afirmasi tersebut dengan kreasi kultural dan penemuan etnik yang diinterpretasikan dalam imitasi dari agama wahyu. Oleh karena itu, Islām tidak mengakui kesalahan apapun dalam memahami Wahyu, dan dalam pengertian ini Islām bukan hanya sebuah bentuk — Islām adalah esensi agama (dīn) itu sendiri. Kita tidak mengakui dalam kasus Islām pembedaan garis horisontal yang memisahkan pemahaman eksoterik dari esoterik akan Kebenaran dalam agama. Melainkan kita menjaga sebuah garis vertikal berkelanjutan dari eksoterik ke esoterik; sebuah garis lurus berkelanjutan yang kita identifikasi sebagai Jalan Lurus akan Islām-īmān-ihsān tanpa kemudian terdapat inkonsistensi dalam tiga tahap pendakian spiritual tersebut sehingga Realitas atau Kebenaran transendental yang dikenali dan diakui dalam kasus kita dapat dimasuki banyak orang. Sia-sialah mengusahakan kamuflase kesalahan dalam agama-agama, dalam pemahaman dan interpretasi akan kitab-kitab mereka yang mereka percaya merefleksikan Wahyu yang asli, dengan memilih bentuk-bentuk karakteristik dan keanehan akan bentuk yang berbeda dari etnisitas dan simbolisme, kemudian menjelaskan simbolisme tersebut dengan sebuah hermenutika yang disusun dan menipu sedemikian sehingga kesalahan nampak sebagai kebenaran. Agama bukan hanya terdiri dari afirmasi akan Keesaan Tuhan (al-tawhīd), tetapi juga cara dan bentuk dimana kita menguji afirmasi tersebut sebagaimana ditunjukkan Nabi-Nya yang terakhir, yang mengonfirmasikan, menyempurnakan, dan mengukuhkan cara dan bentuk afirmasi dan verifikasi dari Nabi-Nabi sebelumnya. Cara dan bentuk verifikasi ini merupakan cara dan bentuk ketundukan kepada Tuhan. Maka, pengujian afirmasi yang benar akan Keesaan Tuhan, adalah bentuk ketundukan kepada Tuhan tersebut. Hal ini hanya karena bentuk ketundukan yang ditetapkan agama yang mengafirmasi Keesaan Tuhan adalah benar terhadap verifikasi afirmasi tersebut sehingga agama partikular tersebut disebut Islām. Maka Islām, bukan hanya kata kerja yang menandakan ‘ketundukan’; Islām juga nama agama partikular yang mendeskripsikan ketundukan sejati, seperti halnya definisi agama: ketundukan kepada Tuhan. Kini cara dan bentuk ketundukan yang ditetapkan agama secara jelas dipengaruhi oleh konsepsi akan Tuhan dalam agama. Oleh karena itu konsepsi akan Tuhan dalam agama adalah penting bagi artikulasi yang betul akan bentuk ketundukan sejati; dan konsepsi ini harus memadai dalam bertugas menggambarkan sifat-dasar Tuhan yang benar, yang hanya dapat diturunkan dari Wahyu, bukan dari tradisi kultural dan etnis, maupun dari peleburan tradisi kultural dan etnis dengan kitab sucinya, maupun dari spekulasi filosofis yang dibantu penemuan sains. Konsepsi sifat-dasar Tuhan dalam Islām merupakan kesempurnaan atas apa yang telah diwahyukan kepada Nabi menurut Qur’ān. Dia adalah Tuhan yang esa; hidup, swa-berada, abadi dan kekal. Eksistensi adalah inti esensi-Nya. Dia itu satu dalam esensi; tidak ada pembelahan dalam esensi-Nya, baik dalam imajinasi, aktualitas, atau dalam dugaan, yang mungkin. Dia bukan tempat kualitas, maupun sesuatu yang dibagi atau terpisah menjadi bagian-bagian, maupun 37 Prolegomena sesuatu yang tersusun atau terdiri dari unsur-unsur penyusun. Keesaan-Nya absolut, dengan keabsolutan tidak seperti keabsolutan alam semesta, karena selama menjadi sedemikian absolut namun Dia diindividuasikan dalam cara individuasi (individuation) yang tidak mengurangi kemurnian keabsolutan-Nya maupun kesucian keesaan-Nya. Dia itu transenden, dengan transendensi yang tidak membuat transendensi tersebut tidak membuatnya tidak mampu bagiNya untuk sekaligus hadir dimana-mana (omnipresent), sehingga Dia juga imanen, namun bukan dengan pengertian yang dipahami seperti yang ada dalam semua paradigma panteisme. Dia memiliki sifat-sifat nyata dan abadi yang merupakan kualitas dan kesempurnaan yang Dia tujukan kepada diri-Nya; mereka tidak lain dari esensi-Nya, dan namun mereka juga terpilah dari esensi-Nya dan dari satu sama lain tanpa realitas dan keterpilahan mereka membuat mereka menjadi entitas terpisah yang berada terlepas dari esensi-Nya sebagai pluralitas yang abadi; melainkan mereka bersatu dengan esensi-Nya dalam kesatuan yang tidak terimajinasikan. Keesaan-Nya adalah keesaan esensi-esensi, sifat-sifat, dan tindakan-tindakan, karena Dia hidup dan berkuasa, mengetahui, berkehendak, mendengar dan melihat, dan berbicara melalui sifatsifat-Nya akan kehidupan dan kekuasaan, pengetahuan, kehendak, mendengar, melihat, dan berbicara; dan hal-hal yang berlawanan dengan semua hal tersebut adalah mustahil pada-Nya. Dia tidak seperti Penggerak Pertama (First Mover) Aristotelian, karena Dia selalu dalam tindakan sebagai agen bebas yang bertaut dalam aktifitas penciptaan yang berkelanjutan yang tidak mengakibatkan perubahan pada-Nya atau transformasi dan proses-menjadi (becoming). Dia jauh terlalu agung untuk menerima dualisme bentuk dan materi Platonis dan Aristotelian pada aktifitas kreatif-Nya; maupun dapat aktifitas kreatif dan ciptaan-Nya digambarkan dalam pengertian metafisika Plotinian tentang emanasi. Aktifitas penciptaan oleh-Nya adalah membawa realitas-realitas ideal yang azali (preexist) dalam pengetahuan-Nya menjadi eksistensi eksternal dengan kekuasaan dan kehendak-Nya; dan realitas tersebut merupakan entitas yang disebabkanNya termanifestasi dalam kondisi interior keberadaan-Nya. Aktifitas penciptaan oleh-Nya adalah tindakan tunggal yang berulang dalam proses abadi, sedangkan isi proses tersebut yang merupakan ciptaan-Nya tidaklah abadi, selalu dalam kondisi baru namun nampak serupa dalam durasi eksistensi yang terpisah selama Dia menghendaki. Melalui Wahyulah, dimana Tuhan telah menggambarkan diri-Nya, aktifitas kreatif dan ciptaan-Nya, dan bukan melalui tradisi filosofis Yunani atau yang Helenistik, bukan juga melalui filsafat maupun sains, dimana Islām menginterpretasikan dunia bersama semua bagiannya dalam pengertian peristiwa yang muncul di dalam sebuah proses abadi akan ciptaan yang baru. Interpretasi ini menyertakan afirmasi terhadap realitas dan sifat-dasar ganda mereka yang terdiri atas aspek berlawanan yang saling melengkapi (complementary opposites); kondisi eksistensial mereka atas permanensi dan perubahan; keterlibatan mereka dalam proses pembinasaan dan pembaharuan terus menerus dengan yang serupa; keberadaan absolut mereka pada masa lalu dan akhir mereka yang absolut di masa depan. Terdapat batasan terhadap waktu dan ruang; dan keduanya merupakan hasil tindakan penciptaan yang membuat alam semesta menjadi being. Perubahan bukanlah pada hal-hal yang fenomenal, karena hal itu akan menyiratkan persistensi being pada hal-hal yang menjadikan mereka sebagai lapisan dasar terjadinya perubahan, tetapi pada tingkatan ontologis realitas mereka yang terkandung di dalam diri mereka semua kondisi masa depan mereka. Maka, perubahan merupakan aktualisasi berturut-turut, oleh tindakan penciptaan, dari potensialitas yang inheren dalam realitas hal-hal dimana mereka membentangkan kandungan mereka dalam persesuaian dengan perintah penciptaan yang memelihara identitas mereka sepanjang waktu. Kondisi ganda realitas yang melibatkan 38 Prolegomena permanensi di satu sisi dan perubahan di sisi lain mengandaikan kategori ontologis ketiga dalam kondisi interior Being antara eksistensi eksternal dan non-eksistensi. Kategori tersebut adalah alam realitas ideal yang berada sebagai entitas yang didirikan secara permanen dalam kesadaran Tuhan, dan mereka tidak lain dari bentuk dan aspek dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang dipertimbangkan dalam aspek mereka yang berbeda dari-Nya. Islām mengafirmasi kemungkinan pengetahuan; bahwa pengetahuan akan realitas hal-hal dan sifat-dasar pokok mereka dapat dibangun secara pasti dengan fakultas indera eksternal dan internal, rasio dan intuisi, dan berita yang benar atas sifat-dasar saintifik atau agama, yang ditransmisikan oleh otoritas mereka yang otentik. Islām tidak pernah menerima, ataupun pernah terpengaruh relatifisme etis dan epistemologis yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala hal, maupun pernah tercipta situasi bagi kemunculan skeptisisme, agnotisisme, dan subjektifisme, yang semua itu satu sama lain menggambarkan aspek dari proses pensekularan yang telah berkontribusi terhadap kelahiran modernisme dan posmodernisme. Pengetahuan adalah tibanya makna dalam jiwa maupun tibanya jiwa pada makna. Dalam definisi ini kita mengafirmasi bahwa jiwa bukan hanya penerima pasif seperti tabula rasa, tetapi juga sesuatu yang aktif dalam pengertian mengatur diri sendiri dalam kesiapan untuk menerima apa yang ingin diterima, sehingga secara sadar bekerja keras untuk tiba kepada makna. Makna hadir ketika tempat yang tepat dari segala hal di dalam sistem telah jelas kepada pemahaman. Gagasan ‘tempat yang tepat’ sudah menyiratkan keberadaan ‘relasi’ yang diperoleh antara sesuatu yang secara keseluruhan menggambarkan sebuah sistem, dan hubungan atau jaringan relasi itulah yang menentukan pengenalan kita akan tempat yang tepat tentang segala hal di dalam sistem. ‘Tempat’ yang dimaksud di sini adalah apa yang muncul bukan hanya dalam tatanan eksistensi spasio-temporal, tetapi juga dalam tatanan eksistensi imajinal, intelijibel (intelligible), dan transendental. Karena objek pengetahuan dari sudut pandang kognisi manusia adalah tanpa batas, dan karena indera eksternal dan internal dan fakultas imajinasi dan kognisi semuanya memiliki kekuatan dan potensi terbatas, dimana masing-masing diciptakan untuk mengandung dan memelihara informasi yang diperhatikannya sebagaimana telah ditetapkan, maka rasio menuntut ada batas kebenaran untuk setiap objek pengetahuan, yang jika melampaui atau kurang darinya kebenaran tentang objek itu sejauh ia dan potensi yang seharusnya diketahui itu menjadi palsu. Pengetahuan tentang batas kebenaran ini pada setiap objek pengetahuan dicapai dengan akal sehat jika objek tersebut sudah merupakan sesuatu yang jelas kepada pemahaman, atau dicapai lewat kebijaksanaan, baik praktis maupun teoritis sepanjang kasus yang mungkin, ketika objek tersebut tidak jelas kepada pemahaman. Penampakan dan kejelasan makna objek pengetahuan berkaitan dengan tempat masing-masing di dalam sistem relasi; dan tempat mereka yang ‘tepat’ menjadi nampak kepada pemahaman kita ketika batas dari arti mereka dikenali. Maka hal ini merupakan posisi kebenaran: bahwa ada batas makna hal-hal dalam cara dimana mereka dimaksudkan untuk diketahui, dan tempat mereka yang tepat secara mendalam terikat dengan batas arti mereka. Maka, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengenali batas kebenaran dalam setiap objeknya. Tantangan kita sesungguhnya adalah problem kerusakan pengetahuan. Hal ini datang terkait dengan kondisi kita yang bingung maupun juga karena pengaruh yang datang dari filsafat, sains, dan ideologi kebudayaan dan peradaban Barat Modern. Kebingungan intelektual muncul sebagai hasil perubahan dan pembatasan makna kata kunci yang memproyeksikan pandangandunia yang diturunkan dari Wahyu. Akibat yang timbul dari kebingungan intelektual ini 39 Prolegomena memanifestasikan diri mereka dalam dislokasi moral dan kultural, yang merupakan gejala kemerosotan pengetahuan, kepercayaan-kuat (faith), dan nilai keagamaan. Perubahan dan pembatasan makna kata kunci tersebut muncul berkaitan dengan penyebaran sekularisasi sebagai program filosofis, yang berayun dalam hati dan menjerat pikiran dalam krisis kebenaran dan identitas. Krisis tersebut, pada gilirannya, telah teraktualisasi sebagai hasil sistem pendidikan yang disekularisasi yang menyebabkan penyimpangan, jika tidak dipotong, dari akar historis yang telah secara teguh dibangun oleh orang bijak dan para pendahulu kita yang masyhur di atas fondasi yang dihidupkan oleh agama. Seseorang harus melihat bahwa jenis problem yang menghadang kita ini merupakan suatu sifat-dasar yang mendalam sehingga memeluk seluruh unsur mendasar pandangan-dunia kita yang tidak dapat secara sederhana diselesaikan dengan hukum dan politik. Hukum dan keteraturan hanya dapat menemukan tempatnya ketika pengenalan akan kebenaran dibedakan dari kepalsuan, dan nyata dapat dibedakan dari ilusi, telah diafirmasi dan dikonfirmasi dengan tindakan dalam pengakuan menurut pengenalan tersebut. Hal ini dicapai dengan pengetahuan yang betul dan metode penyebarannya yang betul. Jadi mari kita jangan menghamburkan energi kita dalam mengusahakan mencari jalan keluar dengan meraba-raba dalam labirin legalisme, melainkan mengonsentrasikan energi itu kepada problem utama, yang terikat secara intim dengan pemahaman yang tepat dan apresiasi akan agama dan pandangan-dunia yang diproyeksikan olehnya, karena hal itu secara langsung memedulikan manusia, pengetahuan dan tujuannya dalam hidup, tujuan akhirnya. Proses perolehan pengetahuan tidak disebut ‘pendidikan’ kecuali pengetahuan yang diperoleh itu termasuk tujuan moral yang mengaktifasikan dalam diri seseorang yang memperolehnya apa yang saya sebut adab. Adab adalah tindakan yang betul (right action) yang bersemi dari swa-disiplin yang dibangun di atas pengetahuan yang bersumber pada kebijaksanaan. Demi kenyamanan saya akan menerjemahkan adab secara sederhana sebagai ‘tindakan yang betul’ (right action). Terdapat hubungan intrinsik antara makna dan pengetahuan. Saya definisikan ‘makna’ sebagai pengenalan akan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem, yang terjadi ketika relasi sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami. ‘Tempat’ menunjuk kepada tempat yang benar atau tepat dalam sistem; dan ‘sistem’ di sini menunjuk kepada sistem konseptual Qur’āni sebagaimana dirumuskan menjadi pandangan-dunia oleh tradisi dan diartikulasikan oleh agama. Pengetahuan sebagaimana telah didefinisikan adalah tibanya makna ke dalam jiwa, dan tibanya jiwa pada makna, dan hal ini merupakan pengenalan akan tempat yang tepat akan segala hal dalam tatanan penciptaan, yang menggiring kepada pengenalan tempat yang tepat akan Tuhan dalam tatanan being dan eksistensi. Namun, pengetahuan sedemikian tidak menjadi pendidikan kecuali pengenalan tempat yang tepat tersebut diaktualisasikan dengan pengakuan — yakni, dengan konfirmasi dan afirmasi di dalam diri — akan realitas dan kebenaran dari apa yang dikenali. Pengakuan mengharuskan tindakan yang tepat sesuai dengan pengenalan. Adab, atau tindakan yang betul, mengandung pengenalan semacam itu. Maka, pendidikan adalah penyerapan adab dalam diri. Aktualisasi adab dalam diri individual yang menyusun masyarakat sebagai entitas kolektif merefleksikan kondisi keadilan; dan keadilan itu sendiri merupakan refleksi kebijaksanaan, yang merupakan sinar yang diambil dari sinar kenabian yang memungkinkan penerimanya menemukan tempat yang benar dan tepat bagi sesuatu atau being. Kondisi being dalam tempat yang tepat adalah apa yang telah saya sebut sebagai keadilan; dan adab adalah tindakan kognitif dimana kita mengaktualisasikan kondisi being dalam tempat yang tepat. Jadi adab dalam pengertian yang saya definisikan, adalah juga refleksi kebijaksanaan; dan dalam hal masyarakat, adab adalah tatanan yang adil di dalamnya. Adab, secara singkat 40 Prolegomena didefinisikan, adalah pertunjukkan keadilan (‘adl) sebagaimana direfleksikan oleh kebijaksanaan (hikmah). Dengan maksud menjelaskan apa yang saya maksud dengan adab dan untuk menilai definisi saya tentangnya, mari kita anggap, sebagai contoh, diri sendiri. Diri atau jiwa manusia memiliki dua aspek; yang satu memengaruhi terhadap tindakan yang terpuji, bersifat-dasar cerdas, setia kepada perjanjiannya dengan Tuhan; yang lain ditundukkan oleh perbuatan iblis, bersifat-dasar buas, tidak memerhatikan perjanjiannya dengan Tuhan. Yang awal kita sebut jiwa rasional (al-nafs al-nāţiqah), yang kemudian jiwa jasmani atau hewani (al-nafs al-hayawāniyyah). Ketika jiwa rasional menundukkan jiwa hewani dan membuat di bawah kendalinya, maka seseorang meletakkan jiwa hewani dalam tempatnya yang tepat dan jiwa rasional juga dalam tempat yang tepat. Dengan demikian, dan dalam relasi dengan diri seseorang, seseorang meletakkan diri sendiri dalam tempat yang tepat. Hal ini merupakan adab terhadap diri sendiri. Kemudian dalam relasi keluarga seseorang dan pelbagai anggotanya; ketika perilaku dan sikap seseorang terhadap orang tua dan sesepuhnya menampilkan tindakan yang tulus dengan rendah hati, sayang, hormat, peduli, dan derma; hal ini menunjukkan seseorang mengetahui tempat yang tepat dalam berhubungan dengan mereka dengan meletakkan mereka dalam tempat yang tepat. Hal ini merupakan adab terhadap keluarga. Dan hal yang serupa, dalam perilaku dan sikap, ketika diperluas kepada para guru, teman, komunitas, pemimpin, memanifestasikan pengetahuan tentang tempat yang tepat dari seseorang dalam hubungan dengan mereka; dan pengetahuan ini menyertakan tindakan yang diwajibkan dengan maksud mengaktualisasi adab terhadap mereka semua. Lalu, ketika seseorang meletakkan kata dalam tempat mereka yang tepat sehingga makna mereka yang benar menjadi dipahami, dan kalimat dan sajak dalam cara sedemikian rupa menjadi prosa dan puisi kemudian menjadi literatur, maka hal itu merupakan adab terhadap bahasa. Lebih lanjut, ketika seseorang meletakkan pepohonan dan bebatuan, gunung, sungai, lembah, dan danau, hewan dan habitat mereka dalam tempat mereka yang tepat, maka hal itu merupakan adab terhadap alam dan lingkungan. Hal yang sama berlaku pada rumah seseorang ketika seseorang mengatur perabot dan meletakkan segala hal pada tempat yang tepat hingga kondisi harmonis tercapai – semua aktifitas tersebut merupakan adab terhadap rumah dan perabot. Dan kita juga menyebutkan peletakan warna, bentuk, dan suara dalam tempat mereka yang tepat sehingga menghasilkan efek yang menyenangkan — hal itu merupakan adab terhadap seni dan musik. Demikian juga pengetahuan, dengan cabang dan disiplin yang banyak, beberapa di antaranya secara tegas lebih penting terhadap kehidupan dan nasib kita daripada yang lain; jika seseorang menggolong-golongkan mereka berdasarkan kepada pelbagai tingkatan dan prioritas dan mengelompokkan pelbagai sains tersebut dalam hubungan dengan prioritas mereka kemudian meletakkan setiap dari mereka dalam tempatnya yang tepat, maka hal merupakan adab terhadap pengetahuan. Seharusnya sudah jelas bahwa interpretasi saya terhadap makna adab menyampaikan bahwa adab menyiratkan pengetahuan; adab merupakan pengetahuan yang diturunkan dari kebijaksanaan (hikmah); yang mewujudkan tujuan mencari pengetahuan; adab juga merupakan aktifitas internal dan eksternal dari jiwa yang bersemi dari nilai etis dan moral dan kebajikan; sumber asalnya bukan filsafat atau sains, tetapi kebenaran wahyu yang mengalir dari agama. Dari definisi di atas tentang beberapa konsep kunci utama dalam Islām, yang semuanya memusat pada konsep pengetahuan, menjadi jelas bahwa makna mereka secara dekat saling berhubungan, dimana secara khusus makna mereka yang semuanya terpusat atas gagasan ‘tempat yang tepat’ menunjuk kepada ‘tatanan’ tertentu dalam sistem dan relasi seseorang dengan 41 Prolegomena tatanan tersebut. Tatanan tersebut merupakan bentuk hierarki yang meliputi tatanan penciptaan being dan eksistensi, baik eksistensi eksternal dan mental. Hierarki yang saya maksud, ketika diterapkan kepada tatanan manusia, bukan untuk disalahpahami sebagai jenis hierarki yang diciptakan manusia dan diartikulasikan ke dalam struktur sosial seperti sistem kasta, atau kelas organisasi pendeta, atau segala jenis stratifikasi sosial berdasarkan kelas. Hal tersebut bukan sesuatu yang diatur menjadi struktur sosial; melainkan sesuatu yang diatur dalam pikiran dan diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku. Pengaturan dalam pikiran tidak dirumuskan oleh kriteria manusia tentang kekuasaan, kekayaan, dan keturunan, namun dengan kriteria Qur’āni tentang pengetahuan, kecerdasan, dan kebajikan. Ketika pikiran mengenali kenyataan bahwa pengetahuan dan being diatur berdasarkan pelbagai tingkatan dan derajat mereka, dan ketika sikap dan perilaku mengakui dengan tindakan apa yang dikenali pikiran, maka kesesuaian pengakuan dengan pengenalan ini, dimana diri berasumsi tentang tempatnya yang tepat bersesuaian dengan tindakan pengakuan, tidak lain merupakan adab. Namun, ketika pikiran salah meletakkan tingkatan dan derajat pengetahuan dan being, lalu mengacaukan tatanan hierarki yang absah, maka hal ini berkaitan dengan kerusakan pengetahuan. Kerusakan demikian direfleksikan dalam kebingungan tentang keadilan, sehingga gagasan ‘tempat yang tepat’ tidak lagi diterapkan dalam pikiran atau secara eksternal, dan berlangsunglah kehancuran adab. Kehancuran adab, yang merupakan akibat dari kerusakan pengetahuan, menciptakan situasi dengan mana pemimpin palsu muncul dalam seluruh lapisan kehidupan; karenanya hal itu bukan hanya menyiratkan kerusakan pengetahuan, tetapi juga bermakna kehilangan kapasitas dan kemampuan untuk mengenali dan mengakui pemimpin yang benar. Disebabkan anarki intelektual yang mengarakteristikkan situasi ini, orang awam menjadi penentu putusan intelektual dan diangkat ke tingkatan otoritas pada persoalan pengetahuan. Definisi otentik menjadi tidak beres, dan sepeninggalan mereka kita ditinggalkan dengan slogan basa-basi dan kabur yang tersamar sebagai konsep yang mendalam. Ketidakmampuan mendefinisikan; mengidentifikasi dan mengisolasi problem, dan karenanya untuk menghasilkan solusi yang tepat; penciptaan problem-semu; reduksi masalah menjadi hanya bersifat politis, sosio-ekonomi dan faktor hukum menjadi buktinya. Tidak mengagetkan jika situasi macam itu menyediakan lahan subur bagi kemunculan para penyimpang dan ekstrimis dalam banyak jenis yang menjadikan kebodohan sebagai modal mereka/ menjadi abai terhadap kebagusan mereka. Bahasa merefleksikan ontologi. Memperkenalkan konsep kunci asing kepada sebuah bahasa bukan hanya melibatkan menerjemahkan kata-kata, tetapi lebih dalam menerjemahkan bentuk simbolik yang berada pada super-sistem pandangan-dunia asing yang tidak cocok dengan pandangan-dunia yang diproyeksikan oleh bahasa dimana konsep demikian diperkenalkan. Mereka yang bertanggungjawab memperkenalkan dan mendukung penggunaan mereka adalah cendekiawan, akademisi, jurnalis, kritikus, politisi, dan amatiran yang tidak secara kokoh berdasarkan atas pengetahuan esensial dari agama dan visinya tentang realitas dan kebenaran. Salah satu sebab utama kemunculan kebingungan dan anarki intelektual adalah perubahan dan pembatasan yang telah mereka akibatkan dalam makna kata kunci yang memroyeksikan pandangan-dunia Islām yang diturunkan dari Wahyu. Faktor terbesar yang memengaruhi pemikiran mereka tidak diragukan lagi adalah pengenalan konsep sekular dan akibatnya kepada bahasa dan alam diskursus kita, dan dengan muslim secara keseluruhan belum menerimanya dari perspektif yang tepat. 42 Prolegomena Gereja Barat yang awal dilatinkan (latinized) memonopoli pembelajaran dan penemuan istilah ‘sekular’ (saeculum) untuk menunjuk kepada orang yang tidak mampu membaca dan menulis, yang oleh karena itu tidak belajar humaniora dan sains, khususnya hukum dan pengobatan, yang kemudian secara umum disebut ‘laity’: non-profesional, bukan ahli. Berkaitan dengan keasyikan orang-orang demikian dengan masalah keduniaan, istilah tersebut juga mengandung makna umum ‘perhatian dengan urusan dunia’; menjadi ‘tidak suci’, ‘bukan monastik’, ‘tidak gerejawi’; sesuatu yang ‘temporal’, ‘sesuatu yang ‘profan’. Karenanya kita menemukan istilah tersebut diterjemahkan oleh orang Arab Kristen ke dalam bahasa Arab Kristen sebagai ‘almāniy’, bermakna: laysa min arbāb al-fann aw al-hirfah( ); dan ‘sekularitas’ sebagai alihtimām bi umur al-dunyā, atau al-ihtimām bi al-‘ālamiyyāt ( ); dan ‘sekularisasi’ sebagai hawwal ilā gharad ‘ālamiy ay dunyāwiy ( ). Terjemahan istilah ini dan pelbagai bentuk gramatikalnya, dalam pengertian yang dipahami oleh Gereja Kristen Barat dan penerjemah Arab Kristen, telah dibiarkan memperoleh penggunaan dalam arus utama bahasa Arab Islām kontemporer, meskipun dengan fakta yang jelas bahwa tidak ada relevansi apapun bagi Islām dan umat Muslim. Tidak ada padanan apapun dalam Islām dengan konsep sekular, khususnya karena tidak ada padanan bagi ‘gereja’ atau ‘clergy’, dan karena Islām tidak mengakui bahwa terdapat dikotomi antara yang sakral dan profan yang secara alamiah (dikotomi itu, penerj.) membawa perendahan terhadap dunia yang profan. Jika ada padanan terdekat yang dapat ditemukan dalam Islām dengan konsep sekular, maka hal itu adalah apa yang dikonotasikan oleh konsep Qur’ān tentang al-hayāt al-dunyā: ‘kehidupan dunia’. Kata dunyā, diturunkan dari danā, yang mengandung makna sesuatu yang ‘dibawa dekat’. Sesuatu yang ‘dibawa dekat’ ini, menurut interpretasi saya, adalah dunia bersama dengan seluruh bagiannya; karena dunia yang dibawa dekat, sedang dibawa dekat dengan pengalaman dan kesadaran manusia. Karenanya dunia disebut dunyā. Dengan sebab fakta bahwa apa yang dibawa dekat — adalah, dunia dan kehidupan di dalamnya — mengelilingi kita dan meliputi kita, mereka membatasi untuk mengalihkan kesadaran dari tujuan akhir kita, yang melampaui dunia dan kehidupan ini, akan apa yang datang kemudian, yakni, al-ākhirah. Karena alākhirah datang terakhir, al-ākhirah dirasakan jauh; dan hal ini menekankan pengalihan yang diciptakan oleh apa yang dekat. Qur’ān Suci mengatakan bahwa Akhirat lebih baik dari kehidupan di dunia ini; akhirat itu lebih abadi, tahan lama. Namun, Qur’ān Suci tidak merendahkan dunia itu sendiri atau menjauhkan dari perenungan, refleksi, interpretasi, dan keingintahuan atasnya; melainkan memuji dunia ciptaan dan mendorong kita untuk merenungkan dan merefleksikannya dengan maksud mungkin kita mampu untuk menginterpretasikan dan menurunkan kegunaannya yang praktis dan menguntungkan. Qur’ān Suci hanya memeringatkan sifat mengalihkan dan sementara dari kehidupan di dunia. Peringatan tersebut yang ditekankan dalam konsep al-hayāt al-dunyā adalah tentang kehidupan di dalamnya, bukan dunia itu sendiri, sehingga alam dan dunia tidak direndahkan sebagaimana tersirat dalam konsep sekular. Itulah mengapa saya mengatakan bahwa al-hayāt al-dunyā merupakan padanan terdekat dengan konsep sekular, karena pada fakta aktual tidak ada konsep yang sungguh sepadan dalam pandangan-dunia Islām yang diproyeksikan Qur’ān Suci. Lebih lanjut, karena dunia adalah apa yang ‘dibawa dekat’, dan karena dunia dan alam merupakan tanda-tanda atau āyāt Tuhan, dunia merupakan tanda akan Tuhan yang dibawa dekat kepada pengalaman dan kesadaran kita; dan akan merupakan mengumpat Tuhan, mengatakan dengan selembut-lembutnya, dengan merendahkan dunia dan alam tanpa mengetahui mereka dalam tujuan dan karakter sejati mereka. Manifestasi rahmat dan kasih sayang Tuhan yang tak terbataslah sehingga Dia membuat tanda-Nya dibawa dekat kepada kita, dan lebih baik bagi kita untuk mengerti makna yang dimaksudkan mereka. Oleh karena itu tidak ada kata maaf, untuk mereka yang kagum dengan tanda itu, lalu menyembah tanda daripada Tuhan yang mereka tuju; atau mereka yang, mencari Tuhan, namun merendahkan dan 43 Prolegomena menyangkal tanda-Nya sebab mereka melihat godaan iblis di dalamnya dan bukan di dalam diri mereka sendiri; atau bagi mereka, yang menolak Tuhan, lalu menyesuaikan tanda-tanda tersebut untuk tujuan mereka yang materialistis dan mengubah mereka dalam pengejaran ‘perkembangan’ yang palsu. Dunia tidak dapat berkembang karena sudah sempurna mengacu kepada fiţrahnya; hanya kehidupan di dalam dunia yang dapat berkembang. Ada tujuan akhir dari dunia sebagaimana ada tujuan akhir dari kehidupan di dunia. Perkembangan kehidupan di dunia adalah mengarahkan kepada keberhasilan yang akan datang setelahnya, karena tidaklah bermakna kata ‘perkembangan’ kecuali diluruskan pada tujuan akhir. Istilah Latin saeculum dalam pengertian aslinya berkaitan dengan rumusan doktrinal tradisi keagamaan Kristen Barat. Namun, makna sejati yang diletakkan di dalamnya, secara bertahap mengungkapkan makna mereka dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat yang meluas lebih dari satu periode selama tujuh abad perkembangan intelektual dan saintifik mereka hingga akibat totalnya kini telah menjadi teraktualisasikan. Sedangkan asal istilah ‘secular’, dari saeculum, mengandung konotasi spasio-temporal, sebagaimana dapat dipahami dari cara penggunaannya, dimana tatanan terdahulu dalam rumusan makna ganda itu kini telah melalui perubahan yang menekankan aspek temporal daripada aspek spasial. Asal konotasi spasio-temporal itu diturunkan secara historis dari pengalaman dan kesadaran yang lahir dari perpaduan tradisi Yunani-Romawi dan Yudais dalam Kristen Barat. ‘Perpaduan’ unsur-unsur yang bertentangan secara mutual dari pandangan-dunia Hellenis dan Yahudi inilah yang secara hati-hati disatukan dalam Kristianitas yang juga disadari oleh teolog dan intelektual Kristen sebagai problematis, dalam pandangan yang awal memandang eksistensi secara mendasar adalah spasial dan yang belakangan adalah temporal. Kemunculan kebingungan akan pandangan-dunia menjadi akar problem epistemologis dan karenanya juga problem teologis. Karena dunia hanya telah di masa modern menjadi lebih dan lebih dipahami dan dikenali oleh mereka sebagai bersifat historis, penekanan pada aspek temporal menjadi penuh bermakna dan mengandung arti khusus bagi mereka. Karena alasan ini lalu mereka menggunakan diri mereka dalam usaha menekankan apa yang mereka terima sebagai visi Yahudi akan eksistensi, yang mereka pikir lebih serumpun dengan semangat ‘waktu’, dan menuduh yang Hellenistik sebagai kesalahan serius dan mendasar. Sehingga, kini mereka menyatakan bahwa konsep sekular mengandung konotasi ganda akan waktu dan lokasi; waktu menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’, dan lokasi menunjuk kepada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Dengan begitu saeculum diinterpretasikan secara mendasar bermakna ‘zaman ini’ atau ‘saat ini’; dan zaman ini atau saat ini menunjuk kepada peristiwa di dalam dunia, dan juga bermakna ‘peristiwa kekinian’. Penekanan makna tersebut diletakkan pada waktu atau periode partikular dalam dunia yang dipandang sebagai sebuah proses historis. Konsep sekular menunjuk kepada kondisi dunia ini pada waktu atau periode atau zaman yang partikular. Sudah kita lihat di sini kuman makna yang dengan mudah mengembangkan dirinya sendiri secara alamiah dan logis ke dalam konteks eksistensial atas dunia yang selalu-berubah (ever-changing) dimana di sana muncul relatifitas nilai manusia. Dan perkembangan alamiah dan logis dari konsep sekular kini berlangsung dalam peradaban Barat modern, kontemporer, yang disebarkan ke seluruh dunia. Kita mesti melihat, dalam pandangan atas fakta bahwa sekularisasi tidak hanya terkurung dalam dunia Barat, bahwa pengalaman dan sikap mereka atasnya merupakan yang paling mengandung pelajaran bagi muslim. Kita harus sadar bahwa sekularisasi, dalam cara yang juga terjadi di dunia muslim, jelas memengaruhi kepercayaan-kuat (faith) dan jalan hidup kita, meskipun tidak dengan cara yang sama seperti halnya terjadi pada kepercayaan dan jalan hidup 44 Prolegomena manusia Barat; karena problem yang muncul dari sekularisasi, walaupun tidak sama seperti di Barat, secara pasti menyebabkan banyak kebingungan di tengah-tengah kita. Tidaklah mengejutkan bahwa problem tersebut disebabkan berkaitan dengan pengenalan cara berpikir, putusan, dan kepercayaan (belief) Barat yang juga coba diikuti oleh beberapa sarjana dan intelektual muslim modernis maupun muslim tradisional yang telah terlalu terpengaruh Barat modern dan terlalu kagum dengan pencapaian teknologis dan saintifik, yang dengan sebab fakta bahwa mereka dapat begitu sedemikian siap terpengaruh yang memperlihatkan kekurangan pemahaman yang benar dan pengertian yang penuh baik pandangan-dunia Islām dan Barat modern dan kepercayaan (belief) esensial dan mode pemikiran yang memproyeksikan mereka. Mereka telah, karena posisi yang berpengaruh dalam masyarakat, secara sadar atau tidak sadar menjadi penyebar kebingungan yang tidak perlu yang dibangun di atas krisis identitas. Situasi di tengah-tengah kita dapat dilihat kritis ketika kita memertimbangkan fakta bahwa muslim secara umum tidak sadar apa yang tersirat dari proses pensekularan. Oleh karena itu penting supaya kita memperoleh pemahaman yang jelas tentangnya dari mereka yang mengetahui dan sadar akannya, seseorang yang percaya dan menerimanya, yang mengajarkan dan mendukungnya kepada dunia. Sekularisasi didefinisikan sebagai “pelepasan manusia pertama kali dari kontrol agama kemudian dari kontrol metafisika dari rasio dan bahasanya”.[v] Sekularisasi adalah membebaskan dunia dari pemahaman religius dan semi-religius akan dirinya sendiri; pengusiran seluruh pandangan-dunia tertutup, penghancuran semua mitos supranatural dan simbol-simbol suci; “defatalisasi” sejarah; penemuan manusia bahwa dia telah ditinggalkan dengan dunia di tangannya, sehingga dia tidak lagi dapat menyalahkan Keberuntungan (Fortune) atau Amukan (Furies) atas apa yang dia lakukan dengannya; hal itu merupakan peralihan perhatian manusia dari dunia setelahnya dan menuju dunia ini dan saat ini. Sekularisasi meliputi tidak hanya aspek sosial dan politis, akan tetapi tak terhindarkan juga kultural, karena sekularisasi juga apa yang didenotasikan sebagai “penghilangan determinasi keagamaan dari integrasi simbol-simbol kultural”. Sekularisasi menyiratkan sebuah proses historis yang tidak dapat diubah kembali dimana kebudayaan dan masyarakat “dilepaskan dari perwalian kontrol keagamaan dan pandangan-dunia metafisis yang tertutup”. Sekularisasi dianggap sebuah “perkembangan yang membebaskan”, dan hasil akhir sekularisasi adalah relatifisme historis. Karenanya menurut mereka sejarah merupakan proses sekularisasi. Komponen integral dalam dimensi sekularisasi adalah “disenchanment alam, “desakralisasi politik”, dan “deconsecration nilai”. Dengan disenchanment alam — sebuah istilah dan konsep yang dipinjam dari sosiolog Jerman Max Weber[vi] — mereka bermaksud seperti yang dimaksudkannya, “pembebasan alam dari nada tambahan keagamaan”, yang berarti menghilangkan sifat-dasar makna spiritual sehingga manusia dapat bertindak kepada alam sesukanya dan menggunakan alam sesuai dengan kebutuhan dan rencananya, dan karenanya menciptakan perubahan dan ‘perkembangan’ historis. Dengan desakralisasi politik mereka memaksudkan “penghilangan legitimasi sakral dari otoritas dan kekuasaan politik”, yang merupakan prasyarat perubahan politik dan karenanya juga perubahan sosial yang mengizinkan kemunculan proses historis. Dengan deconsecration nilai mereka bermaksud “memandang sementara dan relatif semua kreasi kultural dan setiap sistem nilai” yang bagi mereka termasuk agama dan pandangan-dunia yang memiliki nilai penghabisan dan mendasar, sehingga dengan cara ini sejarah dan masa depan, terbuka bagi perubahan, dan manusia bebas menciptakan perubahan dan membenamkan diri dalam proses ‘evolusi’. Sikap terhadap nilai ini menuntut 45 Prolegomena sebuah kesadaran dalam bagian diri manusia sekular tentang relatifitas kepercayaan dan pandangannya sendiri; dia harus hidup dengan kenyataan bahwa aturan dan kode etik dari perilaku yang membimbing kehidupannya akan berubah seiring waktu dan generasi. Sikap ini menuntut apa yang mereka sebut ‘kedewasaan’; dan karenanya sekularisasi juga sebuah proses ‘evolusi’ kesadaran manusia dari kondisi ‘kanak-kanak’ kepada ‘dewasa’, dan didefinisikan sebagai “perpindahan ketergantungan pemuda dari setiap tingkatan masyarakat”; proses “pendewasaan dan mengasumsikan tanggungjawab”; “perpindahan dukungan keagamaan dan metafisis dan meletakkan manusia pada dirinya sendiri”. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa perubahan nilai yang berulang ini juga merupakan fenomena yang berulang akan “pengubahan yang muncul “pada persimpangan tindakan sejarah atas manusia dan tindakan manusia pada sejarah”, yang mereka sebut “tanggungjawab”, penerimaan akan “tanggungjawab orang dewasa”. Seperti sudah disebutkan, mereka memvisualisasikan pengalaman kontemporer akan sekularisasi sebagai bagian dari proses evolusi sejarah manusia; sebagai bagian proses yang tak dapat diubah kembali dari ‘kedatangan zaman’, akan ‘pertumbuhan’ kepada ‘kedewasaan’ ketika mereka harus ‘meninggalkan hal-hal kekanak-kanakan’ dan belajar untuk ‘berani’. Jika maksud utuh dari penjelasan ringkas di depan tentang makna sekularisasi telah dipahami, akan menjadi jelas bahwa bahasa Arab Kristen abad dua puluh dan penerimaan penerjemahan istilah ‘sekular’ sebagai ‘almāniy hanyalah merefleksikan maknanya sebagaimana dirumuskan oleh Kristen Barat yang dilatinkan pada abad ketiga belas. Bahkan walaupun penerjemah modern secara samar menunjuk kepada istilah ‘sekular’ sebagai bermakna jīliy atau qarniy, sekalipun begitu mereka telah tidak sadar secara penuh akan bagaimana konsep yang diletakkan dalam istilah ‘sekular’ telah mengalami evolusi selama tujuh abad terakhir dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat, yang menyebabkan kemunculan problem kontemporer yang belum pernah ditemui sebelumnya. Deskripsi mereka tentang sekularitas sebagai al-ihtimām bi umur al-dunyā, atau sebagai ihtimām bi al-‘ālamiyyāt tidaklah terlalu tepat, sebab asyik dengan urusan dunia atau hal-hal duniawi, bagi kita tidak serta-merta harus dilawankan dengan agama; sedangkan sekularitas yang dipahami dalam pengertian modern adalah serta merta dilawankan dengan agama. Hal yang serupa, sekularisasi tidak sama sebagai hawwal ilā gharad ‘ālamī ay dunyāwi, sebab untuk berubah berdasarkan apa yang baik dalam pengejaran akhir kehidupan duniawi bagi kita tidak serta merta untuk berubah dalam perlawanan dengan agama. Sekularisasi dalam pengertian modern yang digambarkan di atas, dan yang secara aktual terjadi, merupakan sebuah proses yang secara jelas dilawankan dengan agama; hal itu merupakan program filosofis atau sebuah ideologi yang hendak menghancurkan inti agama. Maka, ‘almāniyyah, tidak dapat menjadi gambaran tentang ‘sekularisme’; nampaknya bagi saya lebih dekat dengan kebenaran untuk menggambarkannya sebagai wāqi’iyyah dalam pandangan akan hubungan konseptual tertutup yang sama dengan ideologi filsafat dari positivisme. Walaupun demikian, karena konotasi ganda atas tempat dan waktu itu mendasar pada konsep saeculum, yang sudah mengandung kuman makna yang berkembang secara alamiah dan logis ke dalam kondisi yang sekarang, menular secara penuh; dan karena tempat dan waktu menunjuk kepada kini dan di sini secara berturut-turut, akan lebih tepat mendeskripsikan ‘sekularisme’ secara literal dengan beberapa susunan kata-kata seperti hunālāniyyah, dari hunā dan al-ān. Karena ‘ke-kini-dan-di-sini-an’ yang dimunculkan oleh hunālāniyyah secara jelas memroyeksikan konsepsi dunia dan kehidupan di dalamnya yang menolak dunia lain setelahnya; yang menanggalkan masa lalu sejauh hal itu membuktikan kondisi saat ini; yang mengakui masa depan yang terbuka; yang secara keseluruhan menolak agama dan pandangan-dunia yang memiliki arti mendasar dan penghabisan. Akan tetapi lebih baik untuk tetap melakukan metode yang dilakukan sarjana, 46 Prolegomena pelajar, orang bijak, di antara para pendahulu kita yang sangat sadar akan nilai penting tertinggi dari bahasa dan hubungan mendalamnya dengan rasio; yang telah sangat teliti dalam penggunaan yang tepat akan bahasa dan pencarian makna yang otentik; yang menunjukkan kepedulian yang tinggi untuk tidak membuat bingung istilah dan konsep Islām dengan istilah yang tidak berhubungan dan koherensial dengan pandangan-dunia Islām; yang tidak berkehendak membenci dan lalai mengarabisasi istilah dan konsep asing yang berlawanan dengan agama dan visi kita tentang realitas dan kebenaran. Banyak istilah dan konsep Yunani yang direkam dalam bentuk asli mereka sehingga membuat asal mereka yang asing segera dikenali sehingga tempat mereka yang tepat menjadi diketahui. Jadi akan lebih baik jika istilah ‘sekular’ hanya ditranskripsikan ke dalam bahasa Arab yang dieja sīn-yā’-kāf-lām-rā’, dengan kasrah kepada sīn; dammah kepada kāf; dan fathah kepada lām. Dengan cara ini kita akan segera tahu bahwa konsep dan istilah tersebut bukan bahasa Arab Islāmi. Mengarabisasi istilah dan konsep sedemikian adalah mengenalkan kebingungan dalam pikiran kita, karena akan memberikan kesan bahwa mereka itu alamiah bagi Islām dan akan mendorong muslim tidak hanya untuk berpikir dengan istilah dan konsep tersebut, tetapi mengaktualisasikan pemikiran tersebut yang asing dan berlawanan dengan Islām ke dalam realitas konkret. Saya sangat percaya dengan akal sehat bahwa arabisasi dan pengenalan konsep yang bertentangan akan ‘almāniyyah ke dalam arus utama bahasa Arab kontemporer secara besar bertanggungjawab terhadap pemasukkan (insinuating) ke dalam pikiran muslim tentang pemisahan dikotomis yang sakral dan profan, yang menciptakan gagasan sosio-politis tentang jurang pemisah yang tak terjembatani atas apa yang dianggap sebagai ‘negara teokratis’ dari sebuah ‘negara sekular’. Terdapat kebingungan dalam pikiran muslim yang menyalahpahami negara muslim yang ‘sekular’ dalam meletakkannya secara kontras dengan negara ‘teokratis’. Akan tetapi karena Islām tidak melibatkan dirinya sendiri dalam dikotomi antara yang sakral dan profan, maka bagaimana hal tersebut dapat diletakkan secara kontras antara negara teokratis dan negara sekular? Sebuah negara Islām tidak seluruhnya teokratis ataupun seluruhnya sekular. Sebuah negara muslim menyebut dirinya sendiri atau disebut oleh yang lain ‘sekular’, tidak serta merta harus melepaskan makna spiritual; tidak serta merta harus menolak nilai dan kebajikan agama dalam politik dan urusan manusia; tidak serta merta harus dilawankan dengan kebenaran agama dan pendidikan keagamaan sebagaimana dalam cara proses saintifik dan filosofis yang saya sebut ‘sekularisasi’ yang memang melibatkan pelepasan makna spiritual dari dunia ciptaan; penolakan nilai dan kebajikan agama dalam politik dan urusan manusia; dan relatifisasi semua nilai dan kebenaran dalam pikiran dan tingkah laku manusia. Kebingungan dalam pikiran muslim inilah yang menyebabkan muncul di tengah-tengah kita pergolakan dan perpecahan sosial dan politik. Persatuan memiliki dua aspek: bagian ke-luar (outward), persatuan eksternal yang dimanifestasikan dalam masyarakat sebagai solidaritas komunal dan nasional; dan bagian ke-dalam (inward), persatuan internal gagasan dan pikiran yang diungkapkan dalam koherensi intelektual dan spiritual yang meliputi alam yang melampaui ikatan komunal dan kebangsaan. Pemahaman tentang identitas kita sebagai muslim berkaitan pada aspek kedua, yang mendasar terhadap realisasi yang pertama. Koherensi dari aspek yang kedua tergantung pada kesehatan dan integritas konsep yang dikonotasikan dalam bahasa sebagai alat rasio yang memengaruhi penalaran penggunanya. Jika kesehatan dan integritas konsep dalam bahasa dibingungkan, maka hal ini berkaitan dengan kebingungan dalam ‘pandangan-dunia’ yang disebabkan oleh kerusakan pengetahuan. 47 Prolegomena Dalam bahasa orang-orang Muslim, termasuk bahasa Arab, terdapat kosakata dasar yang terdiri atas istilah kunci yang mengatur interpretasi visi Islāmi akan realitas dan kebenaran, dan yang memproyeksikan pandangan-dunia Islām dalam perspektif yang benar. Oleh karena katakata yang meliputi kosa kata dasar ini berasal dari Qur’ān Suci kata-kata tersebut secara alamiah berbahasa Arab, dan menyebar secara seragam dalam seluruh bahasa-bahasa muslim di seluruh dunia yang merefleksikan persatuan intelektual dan spiritual muslim seluruh dunia. Kosakata dasar Islāmi terdiri dari istilah dan konsep kunci yang berhubungan satu sama lain secara penuh bermakna, dan secara keseluruhan menentukan struktur konseptual akan realitas dan eksistensi yang diproyeksikan olehnya. Islāmisasi bahasa, yang merupakan sebuah unsur mendasar dalam pengubahan (conversion) kepada Islām, tidak lain merupakan pemasukan kosakata dasar Islāmi ini ke dalam bahasa orang-orang muslim. Dengan cara ini, setiap bahasa orang muslim dengan bahasa yang lain memiliki kesamaan dalam kosakata dasar Islāmi sebagai kosakata dasarnya sendiri; dan semua jenis bahasa orang-orang muslim tentu saja berada dalam keluarga yang sama dari bahasa-bahasa Islāmi. Apa yang ingin saya perkenalkan di sini adalah konsep bahasa Islāmi — bahwa terdapat sesuatu yang disebut bahasa Islāmi. Penyebab bahasa dapat dikategorikan sebagai Islāmi telah ada dengan sebab akan keumuman kosakata dasar Islāmi yang melekat dalam setiap bahasa tersebut, dimana istilah dan konsep kunci dari setiap bahasa tersebut sebaiknya memang mengandung makna yang sama, karena mereka semua terlibat dalam jaringan konseptual dan semantik yang sama. Jika, sebagai contoh, kita temukan sekarang bahwa fokus dari kata ‘ilm, yang merupakan istilah kunci utama dalam kosakata dasar semua bahasa Islāmi, mengandung makna yang berbeda di setiap anggota keluarga bahasa Islāmi, maka fakta yang patut disayangkan ini bukan disebabkan oleh apa yang secara samar disebut sebagai ‘perubahan sosial’, tetapi oleh kebodohan dan kesalahan, yang dihasilkan dari kebingungan yang menyebabkan perubahan sosial. Untuk mengatakan bahwa pembatasan makna, atau perubahan makna, sehingga makna yang asli tidak lagi dikandung, yang memengaruhi istilah kunci dalam kosakata dasar Islām, adalah berkaitan dengan perubahan sosial, dan menerima secara pasrah pembatasan dan perubahan makna semacam itu sebagai contoh pengajaran linguistik modern, adalah menyiratkan legitimasi otoritas yang diinvestasikan kepada orang awam, dalam masyarakat, untuk menyebabkan perubahan semantik. Pengajaran jenis ini, yang ternyata telah disebarkan atas nama pengetahuan ‘saintifik’, menyesatkan dan berbahaya dan harus tidak ditoleransi, karena Islām tidak menerima ‘masyarakat’ sebagai yang berwenang (otoritatif) dalam persoalan pengetahuan, atau menginvestasikannya dengan otoritas yang membawa perubahan yang akan membuat muslim tersesat. Masyarakat itu, sejauh dalam perhatian terhadap pengetahuan dan pemahaman tentang Islām dan pandangan-dunianya, tidak memiliki otoritas; secara berlawanan, masyarakat secara umum abai dan membutuhkan pendidikan yang tepat dan bimbingan yang terus menerus oleh cendekiawan dan orang bijak di dalamnya sehingga memastikan keselamatannya. Hal ini bermakna bahwa cendekiawan dan orang bijak di antara muslim mesti menunjukkan kewaspadaan terus menerus dalam mendeteksi kesalahan penggunaan dalam bahasa yang berbenturan di atas perubahan semantik dalam konsep kunci utama dengan maksud mencegah kemunculan kebingungan umum dan kesalahan dalam pemahaman tentang Islām dan visinya akan realitas dan kebenaran. Banyak istilah kunci utama dalam kosakata dasar Islāmi dalam bahasa orang-orang muslim kini telah disalahtempatkan dan dibuat bertugas secara absurd di wilayah makna asing dalam jenis kemunduran menuju pandangan-dunia non-Islāmi; sebuah fenomena yang saya sebut deislāmisasi bahasa. Pengabaian dan kebingungan, memungkinkan pemasukan konsep asing, yang juga membiarkan lolos kekuatan sentimen bangsa yang sempit dan ideologisasi tradisi etnik dan 48 Prolegomena kebudayaan. Kata-kata yang mengandung makna yang fokus di atas kebenaran mendasar yang khas bagi Islām, contoh di antara yang lainnya, ‘pengetahuan’ (‘ilm), ‘keadilan’ (‘adl), tindakan yang betul (adab), ‘pendidikan’ (ta’dīb), telah dirusakkan, sehingga ‘pengetahuan’ menjadi terbatas pada jurisprudensi, atau yang hanya berdasarkan pada bentuk terbatas dari rasio dan pengalaman inderawi; ‘keadilan’ bermakna persamaan yang tidak memenuhi syarat, atau hanya prosedur; ‘tindakan yang betul’ bermakna etiket yang hipokrit; dan ‘pendidikan’ bermakna jenis pelatihan yang memimpin kepada akhir yang diturunkan dari rasionalisme filosofis dan sekular. Jika meskipun beberapa contoh kata yang telah dibatasi dalam makna mereka, atau telah dibuat untuk membawa makna yang tidak otentik dan otoritatif — yang saya maksud yang tidak lagi merefleksikan apa yang telah dipahami oleh otoritas di antara muslim terdahulu — maka tidak bisa diacuhkan hal ini akan menciptakan kebingungan dan kesalahan dalam pikiran muslim dan mengacaukan persatuan intelektual dan spiritual di antara mereka. Lebih lanjut, hal tersebut akan membuat sains yang di satu saat dianggap patut dipuji menjadi patut disalahkan. Saya tidak menyarankan sesuatu yang dapat ditafsirkan seolah tidak mengizinkan bahasa untuk berkembang, untuk membentangkan dirinya berdasarkan kekuatan potensial untuk melacak kekayaan hiasan kehidupan sebagaimana dibentangkan, untuk berkembang dengan gagasan sebagaimana mereka berkembang, untuk memegang realitas-kebenaran (reality-truth) sebagaimana hal itu mewujudkan dirinya dalam bagian yang cepat berlalu dari waktu. Saya hanya menyarankan bahwa kosakata dasar dalam bahasa Islāmi hanya dapat berkembang dari akarnya, dan bukan terpisah darinya, maupun mereka dapat berkembang dari akarnya terhalang pembatasan. Sistem nilai sekular dan materialistis memiliki tempat awalnya dalam pikiran, kemudian diterjemahkan ke dalam simbol linguistik, dan selanjutnya menjadi termanifestasi dalam dunia eksternal di kota dan kota besar dengan penyebaran seperti amukan penyakit menular dalam masyarakat pedesaan. Kegagalan menggunakan bahasa secara betul dan mengandung makna yang benar menyiratkan ketidaksadaran tentang perspektif yang tepat tentang situasi yang benar dan nyata, yang melibatkan pemahaman bukan hanya tentang bahasa, tetapi juga pandangan-dunia yang memroyeksikannya. Penyebaran luas sekularisasi intelektual berkaitan dengan pengabaian terhadap Islām sebagai agama Wahyu yang benar, manifestasinya sebagai peradaban, dan visinya tentang realitas dan kebenaran sebagai pandangan-dunia telah bermaksud membingungkan banyak sarjana dan intelektual kita dan pengikut mereka menjadi meniru slogan-slogan yang bergeser dari modernitas, yang menyebabkan perubahan dan pembatasan makna istilah kunci yang merefleksikan sistem nilai kita. Makna yang merefleksikan realitas dan kebenaran yang kejelasannya telah diketahui pada pengalaman dan kesadaran kita kini telah menjadi tidak jelas dalam pikiran yang melebur dengan rumusan modernitas. Unsurunsur mendasar pandangan-dunia kita dan sistem nilai yang dikandungnya, yang melibatkan makna ‘kebajikan’, ‘kebebasan’, dan ‘kebahagiaan’, juga telah terpengaruh. Karena kita mempertahankan bahwa kebajikan (fadīlah) adalah suatu aktifitas jiwa, dan bahwa manusia memiliki sifat-dasar ganda, hewani dan rasional, realisasi kebajikan dalam diri membutuhkan kemampuan untuk melihat realitas dan kebenaran dibarengi tindakan yang sesuai dengan penglihatan tersebut yang melibatkan menyubordinasi fakultas jasmani dan nabati dari jiwa hewani, kepada fakultas praktis dan teoritis sehingga kondisi stabil dari jiwa, yang diperintah dengan intelek dan agama, dapat dicapai. Latihan subordinasi fakultas jiwa hewani kepada jiwa rasional membutuhkan kebebasan. Aktifitas yang disebut ‘kebebasan’ terdapat dalam ikhtiyār, yang merupakan tindakan, bukan dalam hurriyah, yang merupakan kondisi. Tindakan yang dimaksud dalam ikhtiyār adalah 49 Prolegomena membuat pilihan, bukan di antara banyak alternatif tetapi antara dua alternatif: baik atau buruk. Karena ikhtiyār diikat dalam makna dengan khayr, berarti ‘baik’, diturunkan dari akar yang sama khāra (khayara), pilihan yang dimaksud dalam ikhtiyar adalah pilihan atas apa yang baik, lebih baik, atau terbaik diantara dua alternatif. Hal ini merupakan yang paling penting sebagaimana disejajarkan dengan pertanyaan filosofis tentang kebebasan. Oleh karena itu sebuah pilihan atas apa yang buruk dari dua alternatif bukan sebuah pilihan yang dapat disebut ikhtiyār, bahkan hal itu bukan sebuah pilihan, melainkan tindakan tidak adil (zulm) yang dilakukan kepada diri sendiri. Kebebasan adalah untuk bertindak sesuai dengan tuntutan sifat-dasar sejati dan benar seseorang — yakni, seperti permintaan haqq dan fiţrah seseorang — dan maka hanya pertunjukan (exercise) pilihan tersebut yang merupakan atas apa yang baik dapat secara tepat disebut ‘pilihan bebas’. Oleh karena itu sebuah pilihan untuk yang lebih baik merupakan tindakan kebebasan, dan juga tindakan keadilan (‘adl) kepada diri sendiri. Hal tersebut mengandaikan pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan, tentang kebaikan dan sifat buruk; sedangkan pilihan atas yang terburuk bukan sebuah pilihan karena berpijak di atas keabaian yang dihimbau hasutan jiwa yang menuju aspek kesalahan dari kekuatan hewani; hal itu juga bukan sebuah pertunjukan kebebasan sebab kebebasan bermakna secara tepat menjadi bebas dari dominasi kekuatan jiwa yang menimbulkan keburukan. Ikhtiyār merupakan tindakan kognitif dalam memilih yang lebih baik dari dua alternatif yang sesuai dengan kebajikan yang digali dalam keadilan pada diri sendiri dan merupakan, seperti itu, sebuah pertunjukkan kebebasan. Tindakan dari apa yang baik ditunaikan dengan kebajikan. Dalam Islām, semua kebajikan termasuk yang dianggap sebagai kebajikan mendasar seperti kebijaksanaan, kesadaran, keberanian, dan keadilan dan subdivisinya, adalah kebajikan keagamaan karena mereka diturunkan dari Qur’ān dan dari contoh kehidupan Nabi. Sumber kebajikan mendasar tersebut dan subdivisinya adalah kepercayaan-kuat yang benar atau īmān, yang merupakan pembuktian dengan perbuatan atas apa yang diakui lidah dan hati sebagai Wahyu Tuhan yang nyata dan benar dan perintah dan larangan-Nya. Īmān sudah menyiratkan kesadaran akan Tuhan dan ingat akan-Nya yang membawa kondisi ketenangan dalam jiwa; īmān adalah bebas dari cemas yang dihasilkan dari keraguan; bebas dari kecemasan dan takut yang berkenaan pada nasib akhir; īmān adalah keamanan ke-dalam (inward) yang datang ketika jiwa berserah kepada Tuhan; dan tunduk kepada Tuhan adalah kebebasan, yang menyebabkan muncul dalam kesadaran jiwa akan kedamaian yang disebut Islām. Tindakan dalaman (inner) jiwa tersebut menyiratkan kesadaran yang lebih dahulu dalam jiwa akan kebenaran yang datang dari petunjuk Ilāhi; dan kesadaran ini merupakan kepastian (yaqīn) akan kebenaran. Dari sini jelas bahwa kebahagiaan, yang merupakan tujuan aktifitas kebajikan yang membimbing kepada kondisi jiwa yang stabil, bukanlah sesuatu yang hanya berhubungan dengan dunia ini; kebahagiaan bukan sesuatu yang hanya terdiri dari perasaan dan emosi yang beragam dalam derajat dari waktu ke waktu; hal itu bukan sesuatu yang hanya bersifat psikologis dan biologis, yang ternyata juga sama dengan binatang. Maupun kebahagiaan merupakan akhir pada dirinya sendiri (ends in itself) yang entah bagaimana tidak dapat dialami secara sadar sebagai sesuatu yang terus berlangsung, sesuatu yang permanen dalam jalur eksistensi kehidupan duniawi kita. Tradisi pemikiran Barat menerima posisi bahwa terdapat dua konsepsi kebahagiaan: yang kuno adalah Aristoteles; dan yang modern secara bertahap muncul dalam sejarah di Barat sebagai hasil sekularisasi. Konsepsi Aristotelian memertahankan bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini; bahwa kebahagiaan merupakan akhir pada dirinya sendiri (end of itself); dan bahwa kebahagiaan merupakan kondisi yang mengalami perubahan dan beragam dalam derajat dari waktu ke waktu; atau kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara sadar dari masa ke masa dan dapat dinilai telah dicapai ketika kehidupan duniawi seseorang, jika secara 50 Prolegomena baik dihidupi dan dibantu nasib baik, telah mencapai akhir. Konsepsi modern setuju dengan konsep Aristotelian bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini dan merupakan akhir pada dirinya sendiri, tetapi sementara yang terdahulu akhir tersebut dianggap dalam pengertian standar perilaku yang tepat, yang kemudian menganggapnya sebagai kondisi psikologis terminal yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral. Konsepsi kebahagiaan modernlah yang kini diakui lazim di Barat. Kita tidak setuju dengan posisi Aristotelian bahwa kebajikan dan kebahagiaan hanya terkait dengan dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam urusan kehidupan duniawi menjadi tidak terjangkau. Kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya dalam wilayah temporal, kehidupan sekular, karena berdasarkan pandangan-dunia kita, kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan alam akhirat memiliki ketegasan intim dan mendalam pada hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan karena bahwa dalam kasus terdahulu kebahagiaan adalah kondisi spiritual dan permanen terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita alami dan sadari yang ketika sekali dicapai bersifat permanen. Sedang mengenai konsepsi kebahagiaan modern, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang diketahui dan dipraktekkan orang-orang di masa lalu oleh masyarakat pagan. Kebahagiaan (cth. yang kita maksud sa’ādah) sebagaimana diketahui dalam pengalaman dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh tunduk kepada Tuhan dan mengikuti petunjukNya bukanlah akhir pada dirinya sendiri sebab kebajikan tertinggi dalam kehidupan ini adalah cinta Tuhan. Kebahagiaan yang terus berlangsung dalam kehidupan menunjuk bukan pada entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia; maupun kondisi pikiran, atau perasaan yang melewati kondisi terminal, maupun kenikmatan maupun hiburan. Kebahagiaan ada urusannya dengan kepastian (yaqīn) akan Kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan kepastian merupakan kondisi permanen kesadaran yang alamiah terhadap apa yang permanen pada manusia dan diterima oleh organ kognitif spiritual yang merupakan hati (qalb). Kebahagiaan adalah kedamaian, keamanan, dan ketenangan hati (tuma’nīnah); kebahagiaan adalah pengenalan (ma’rifah) dan pengenalan (knowledge) adalah kepercayaan-kuat (īmān) yang benar. Kebahagiaan adalah pengenalan tentang Tuhan sebagaimana Dia menggambarkan diri-Nya dalam Wahyu sejati; kebahagiaan adalah juga mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat dengan Pencipta ditemani dengan tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) sesuai dengan pengetahuan tersebut sehingga kondisi yang dihasilkannya adalah keadilan (‘adl). Hanya dengan pengetahuan sedemikian cinta Tuhan dapat diraih di kehidupan bumi. Dari interpretasi makna dan pengalaman kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan kesimpulan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir pada dirinya sendiri; bahwa akhir dari kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan duniawi terdapat dua tingkatan kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah psikologis, sementara, dan kondisi terminal yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika keinginan dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan pada kebajikan. Tingkatan kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang secara sadar dialami, menjadi lapisan dasar dari kehidupan duniawi yang diakui sebagai percobaan, pengujian aktifitas perilaku dan aktifitas kebajikan oleh nasib baik atau sakit. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul secara bersamaan dengan yang pertama kecuali keinginan hilang dan kebutuhan dipuaskan. Tingkatan kebahagiaan kedua ini merupakan sebuah persiapan untuk tingkatan ketiga di alam akhirat yang 51 Prolegomena merupakan kondisi tertinggi adalah melihat Tuhan. Tidak ada perubahan makna dan pengalaman kebahagiaan ini dalam kesadaran mukmin sejati sepanjang zaman. Di halaman-halaman depan saya telah mempersiapkan dalam ringkasan yang gamblang beberapa unsur mendasar, yang dibangun secara permanen, bersama dengan konsep kunci yang mereka bentangkan, yang bertindak sebagai prinsip penyatu yang meletakkan semua sistem makna dan standar nilai dan kehidupan dalam tatanan yang koheren sebagai super-sistem yang disatukan membentuk pandangan-dunia Islām. Unsur-unsur mendasar tersebut dan konsep kunci bersangkutan memiliki kegamblangan yang mendalam, sudah kita katakan sebelumnya, di atas gagasan kita tentang perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Meskipun perubahan dan keanekaragaman dapat dan memang muncul di dalam suasana pandangan-dunia ini, sebagaimana keanekaragaman dalam mazhab jurisprudensi, teologi, filsafat dan metafisika, dan dalam tradisi, kebudayaan, dan bahasa; dan perubahan dalam pertemuan akan naik turunnya perubahan nasib baik dalam jalur sejarah, namun keanekaragaman dan perubahan tidak pernah memengaruhi karakter dan peran unsur-unsur mendasar itu sendiri, sehingga apa yang diproyeksikan sebagai pandangan-dunia dengan supersistem tetap tertinggal utuh. Hal ini karena keanekaragaman dan perubahan telah muncul di dalam ikatan kognitif yang dikekang dengan hati-hati oleh komunitas yang tahu dan sadar identitasnya, memastikan sedemikian rupa bahwa tidak ada keterlibatan perubahan ataupun gangguan kebingungan dalam konsep kunci yang melayani unsur-unsur yang mendasar dari pandangan-dunia. Pandangan-dunia berada dalam pikiran muslim sejati. Penglihatan seseorang di antara mereka tahu bahwa Islām bukanlah sebuah ideal — tapi adalah kenyataan; dan bahwa apapun yang mungkin dituntut dari mereka oleh tantangan zaman dimana mereka hidup harus dihadapi tanpa membuat bingung pandangandunia tersebut dengan unsur-unsur asing. Mereka tahu bahwa ahli dalam sains dan teknologi dan penggunaannya yang memadai dalam kehidupan sehari-hari tidak serta merta harus melibatkan kebingungan dalam visi mereka tentang realitas dan kebenaran. Teknologi tidak sama dengan sains; dan penerimaan teknologi yang berguna dan relevan tidak serta merta harus juga melibatkan penerimaan sebab pada sains, yang telah melahirkannya. Kebingungan muncul hanya sebagai hasil dari tidak memadainya pengetahuan tentang Islām dan pandangan-dunia yang diproyeksikannya, sebagaimana juga keabaian terhadap sifat-dasar tantangan konfrontasi intelektual, agama, tantangan ideologis, dan implikasi yang melekat dalam pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains sekular modern. Perubahan, perkembangan, dan kemajuan, dalam pengertian yang benar secara mendasar bermakna bagi kita merupakan sebuah kesadaran dan gerakan yang hati-hati menuju Islām sejati pada suatu waktu ketika kita menghadapi tantangan, seperti yang kita lakukan sekarang, yang mencoba mengganggu nilai dan kebajikan kita, mode perilaku kita, kepercayaan-kuat dan pemikiran kita, jalan hidup kita. Perikatan awal kita adalah dengan tantangan pandangan-dunia asing yang dikenalkan secara diam-diam ke dalam pemikiran dan kepercayaan muslim oleh modernis muslim yang bingung, intelektual, akademisi, penulis, dan pengikutnya, maupun penyimpang dan ekstrimis muslim dalam banyak bentuk. Mereka telah tanpa sadar dan sadar datang di bawah mantra filsafat dan sains Barat sekular modern, teknologi dan ideologinya yang telah menyebarkan penyakit menular global dari sekularisasi sebagai program filosofis. Kita sadar akan fakta bahwa tidak semua sains dan teknologi Barat itu serta merta ditolak agama tetapi ini tidak berarti bahwa kita harus tidak kritis menerima teori saintifik dan filosofis yang ada bersama sains dan teknologi, dan sains dan teknologi itu sendiri, tanpa lebih dahulu memahami implikasi dan menguji keabsahan nilai yang menemani teori tersebut. Islām memiliki dalam dirinya sendiri 52 Prolegomena sumber pengakuan kepada kebenaran dan tidak membutuhkan teori sains dan filosofis untuk membenarkan pengakuan tersebut. Lebih lanjut, bukanlah perhatian Islām untuk menakuti penemuan saintifik dan teori-teori filosofis yang dapat mengontradiksikan keabsahan kebenarannya. Kita tahu bahwa sains tidak bebas nilai; dan untuk menerima asumsi dan kesimpulan umum tersebut tanpa dibimbing dengan pengetahuan asli pandangan-dunia kita — yang memerlukan juga pengetahuan sejarah kita, peradaban dan pemikiran kita, identitas kita — yang akan membuat kita mampu memberikan putusan yang benar terhadap keabsahan dan relevansi mereka atau dengan kata lain kepada kehidupan kita, maka perubahan yang dihasilkan dalam jalan hidup kita akan dengan mudah berubah cocok dengan apa yang asing kepada pandangan-dunia kita. Dan kita tidak akan menyebut sesuatu perubahan demikian sebagai ‘perkembangan’ ataupun ‘kemajuan’. Perkembangan terdiri dari bukan tentang ‘mengaktifasikan dan membuat terlihat dan konkret atas apa yang laten dalam manusia biologis’ sebab manusia bukan hanya entitas biologis: kemanusiaan adalah sesuatu yang lebih karena rasionalitas dibandingkan sifat hewaniah. Kemajuan bukan ‘proses-menjadi’ atau ‘datang-menjadi-being‘ (coming-into-being), ataupun pergerakan terhadap apa yang datang-menjadi-being dan tidak pernah menjadi being; karena gagasan ‘sesuatu yang dituju’, atau ‘tujuan’ yang melekat dalam konsep kemajuan hanya dapat mengandung makna sejati dan benar ketika menunjuk kepada apa yang dipahami sebagai sesuatu yang berdiri secara permanen, sebagai sudah being. Karenanya, apa yang sudah jelas dalam pikiran dan berdiri secara permanen di tempat itu dan secara eksternal, sudah dalam kondisi being, tidak dapat mengalami perubahan, maupun menjadi subjek terus menerus terlepas dari pegangan pencapaian, maupun secara terus menerus mundur melampaui pencapaian. Istilah ‘kemajuan’ menunjuk kepada arah jelas yang disejajarkan kepada tujuan akhir yang dimaksudkan untuk dicapai dalam kehidupan duniawi. Jika arah yang dicari masih samar, masih datang-menjadi-being sebagaimana dikatakan, dan tujuan yang disejajarkan pada tujuan tidak penghabisan (final), maka bagaimana keterlibatan di dalamnya sungguhsungguh berarti kemajuan? Orang yang meraba dalam gelap tidak dapat dikatakan sebagai sedang maju dan mereka yang mengatakan bahwa orang tersebut sedang maju hanya mengucapkan kebohongan terhadap makna yang benar dan tujuan dari kemajuan. Konsep ‘perubahan’, ‘perkembangan’, dan ‘kemajuan’ mengandaikan situasi dimana kita menemukan diri kita dibingungkan oleh campuran kebenaran dan kepalsuan, akan kenyataan dan ilusi, dan menjadi tawanan dalam wilayah yang ambigu. Dalam situasi yang bertentangan demikian, tindakan kita yang positif dalam pertunjukan kebebasan untuk memilih yang lebih baik, untuk menerima apa yang baik dan relevan dengan kebutuhan kita, untuk secara sungguh hati-hati dalam keputusan kita akan kebutuhan, lalu sementara itu tetap mempertahankan usaha kita untuk kembali kepada jalan lurus dan mengarahkan langkah kita dalam kesepakatan dengannya — usaha semacam itu, yang menyertakan perubahan, adalah perkembangan; dan pengembalian demikian, yang terkandung dalam perkembangan, adalah kemajuan. Catatan kaki [i] Saya memaksudkan dengan koherensi artifisial, sebuah koherensi yang tidak alamiah dalam pengertian alamiah yang dimaksud sebagai fiţrah. Koherensi demikian yang diproyeksikan sebagai pandangan-dunia pasti menjadi tergantung pada perubahan dengan keadaan yang berubah. 53 Prolegomena [ii] Dengan ‘subjektif’, yang saya maksud bukan dalam pemahaman umum atas kata tersebut. Jiwa manusia itu kreatif; dengan maksud persepsi, imajinasi, dan kecerdasan itu berpartisipasi dalam ‘penciptaan’ dan interpretasi dunia indera dan pengalaman inderawi, akan citra, dan bentuk-bentuk intelejibel (intelligible). ‘Subjektif’ di sini merupakan sesuatu yang tidak dilawankan dengan apa yang ‘objektif’, tetapi bersifat melengkapi. [iii] Bandingkan. Al-Attas, Islām and Secularism, Kuala Lumpur, 1978, Bab. II. [iv] Untuk rincian lebih lanjut, lihat The Concept of Education in Islām, Kuala Lumpur, 1980, par. 1-13 [v] Definisi ini diformulasikan oleh teolog Jerman, Cornelis van Peursen, yang menduduki the chair of philosophy di University of Leiden. Gelar tersebut diberikan dalam laporan yang diselenggarakan dalam Ecumenical Institue of Bossey, Switzerland, September 1959. Lihat juga karya teolog Harvard Harvey Cox, the Secular City, New York, 1965, hlm. 2; dan yang mengikutinya, par. 2-17; 20-23; 30-36; 109 et passim. Karya utuh dari sekularisasi sebagai program filosofis diberikan dalam Islām and Secularism, Kuala Lumpur, 1978, bab. I dan II. [vi] Frase ‘disenchanment alam’ telah digunakan oleh Friedrich Schiller dan dikutip oleh Weber. Istilah lain yang digunakan Weber dalam pengertian ini adalah ‘rasionalisasi’. Lihat karya Weber Essay in Sociology, New York, 1958; lihat juga karyanya Sociology of Religion, Boston, 1964; bab. III dan V dari yang terdahulu; dan untuk konsep Weber tentang ‘rasionalisasi’, lihat penjelasan Talcott Parson tentangnya dalam karya yang kemudian, hlm. xxxi-xxxiii. 54 Prolegomena I ISLĀM: KONSEP AGAMA DAN FONDASI ETIKA DAN MORALITAS Konsep yang dituangkan dalam istilah dīn, yang secara umum dipahami bermakna agama, tidaklah sama seperti konsep agama sebagaimana diinterpretasi dan dipahami sepanjang sejarah keagamaan Barat. Ketika kita berbicara tentang Islām dan menunjuknya dalam bahasa Inggris sebagai ‘religion’, kita memaksudkan dan memahaminya sebagai dīn, dimana seluruh konotasi dasar yang inheren dalam istilah dīn1 dipahami sebagaimana terkumpul ke dalam satu kesatuan tunggal makna yang koheren seperti direfleksikan dalam Qur’ān Suci dan bahasa Arab dimana dia berada. Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar yang meskipun terlihat berlawanan satu sama lain, namun semuanya secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan dari semuanya menampilkan dirinya sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan ‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam dirinya semua makna relevan dan inheren yang ada dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan konsep Islāmi yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam pengalaman manusia, penampakan pertentangan pada makna-makna dasarnya tentu saja tidak terkait dengan kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifatdasar manusia itu sendiri, yang mereka refleksikan dengan setia. Dan kekuatan mereka untuk merefleksikan sifat-dasar manusia dengan setia merupakan demonstrasi yang jelas akan kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung kebenaran. Penanda dasar istilah dīn dapat direduksi menjadi empat: (1) keberhutangan; (2) ketundukan; (3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Dalam apa yang akan disampaikan kemudian, saya akan berusaha menjelaskan secara ringkas dan menempatkan mereka dalam konteks yang relevan, menggambarkan ke depan makna pokok koheren yang dimaksudkan, yang menandakan kepercayaan-kuat, kepercayaan-lemah, praktek, dan pengajaran yang dilekatkan oleh muslim secara individual dan kolektif sebagai Komunitas (Ummah), dan mewujudkan dirinya sendiri bersama sebagai sebuah keseluruhan objektif sebagai Agama yang disebut Islām. Kata kerja dāna yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, dimana beberapa dari mereka berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, hal itu untuk mengatakan, seorang dā’in berarti bahwa seseorang mengendalikan dirinya sendiri, dalam pengertian sukarela dan kepatuhan, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga, dalam satu sisi, kepada kreditor, yang juga serupa ditunjuk sebagai dā’in.2 Terdapat pula kandungan dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah 1 Dalam bab ini, interpretasi saya tentang konotasi dasar inheren dalam istilah dīn berdasarkan karya klasik standar Ibn Manzur, Lisān al-‘Arab (Beyrouth, 1968, 15v.), di sini akan disebut LA. Atas apa yang dīnyatakan dalam halaman ini dan selanjutnya, lihat vol.3: 166, kol. 2-117, kol.2. Rumusan dan konseptualisasi makna agama (dīn), maupun penjelasan konsep kunci dalam tatanan yang bermakna, adalah milik saya sendiri. 2 Dā’in menunjuk sebagai penghutang maupun sebagai pemberi hutang, dan penampakan makna yang berlawanan ini hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu, jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di bawah hlm. 57-60. 55 Prolegomena melibatkan pengadilan: daynūnnah, dan kesaksian: idānah, sebagaimana kasus tersebut. Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dāna hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota kecil dan kota besar, yang ditunjuk dengan mudun atau madā’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, seorang dayyān. Jadi sudah ada di sini, dalam pelbagai penggunaan hanya dari kata kerja dāna, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas.3 Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain maddana4 yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan; yang darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial. Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar kondisi berhutang penanda lain yang berhubungan, seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari penanda lain seperti hakim, pengatur, pemerintah diturunkan makna yang menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang ditentukan). Kini inti gagasan akan hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini merupakan kondisi yang biasa atau terbiasa. Maka, dari sini kita dapat lihat logika di balik turunan penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah. Pada titik ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian sejati akan kecenderungan alamiah manusia untuk membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan kerajaan, kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya, dan perlu ditegaskan lagi di sini, karena kita akan harus membutuhkannya lagi ketika kita berurusan dengan aspek keagamaan dan spiritual dari pengalaman eksistensial manusia. Saya telah begitu jauh menjelaskan secara sepintas konsep dasar dīn, mereduksi pelbagai konotasinya kepada empat penanda dasar dan menunjukkan hubungan nyata dan konseptual, dalam konteks hubungan ‘sekular’ manusia. Dalam konteks keagamaan, yakni akan hubungan antara manusia dan Tuhan, dan apa yang Tuhan terima dalam hubungan manusia dengan sesamanya, penanda dasar tersebut, walaupun mempertahankan makna dasar mereka, meski 3 Saya pikir sangat penting untuk melihat baik keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara konsep dīn dan madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan terhadap yang sebelumnya dan secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus dipertimbangkan dalam pentingnya perubahan nama kota yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-Madīnah: Kota – atau lebih tepat, Madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi – yang muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan historis (hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah yang menandai Era Baru dalam sejarah manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-Madīnah disebut dan dinamakan demikian sebab di sanalah dīn yang benar menjadi terwujud bagi manusia. Di sana mukmin memperbudak dirinya di bawah otoritas dan hukum Nabi Suci, dayyān-nya; di sana realisasi hutang kepada Tuhan mengambil bentuk yang jelas, dan cara dan metode pembayarannya yang diterima mulai dibentangkan. Kota Nabi menandakan tempat dimana dīn yang benar ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi, untuk Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan bagi mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang jasad dan fisik mukmin dimana jiwa rasional, dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan memberkahi dan memberi kedamaian!, menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan lebih lanjut, lihat di bawah, hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84. 4 LA, vol. 13: 402, kol. 2-403, kol. 1. 56 Prolegomena demikian mengalami sintesis dan intensifikasi mendalam sekaligus benar kepada pengalaman yang digambarkan dan pada deskripsi Agama Islām sebagai kepercayaan-kuat, kepercayaanlemah, praktek, dan pengajaran yang objektif yang dialami dan dihidupi oleh masing-masing dan setiap anggota Komunitas Muslim maupun oleh Komunitas sebagai keseluruhan. Bagaimana konsep sedang berhutang dapat dijelaskan dalam konteks kegamaan dan spiritual? — seseorang mungkin menanyakan; apa sifat-dasar dari hutang itu?, dan kepada siapa hutang dimiliki? Kita menjawab bahwa manusia berhutang kepada Tuhan, Pencipta dan Penyedianya, karena membawanya menjadi eksistensi dan memeliharanya dalam keberadaannya. Manusia sebelumnya bukan apa-apa dan tidak ada, dan kini dia ada. ‘Manusia Kami ciptakan dari sari tanah liat; kemudian Kami tempatkan dia sebagai sperma yang jatuh dalam tempat istirahat, ditetapkan dengan kuat; kemudian Kami membuat sperma itu menjadi segumpal darah yang memadat; kemudian dari gumpalan itu Kami membuat gumpalan; kemudian Kami membuat dari gumpalan itu tulang dan membungkus tulang itu dengan daging; kemudian Kami jadikannya makhluk yang lain. Puji Tuhan, Pencipta yang terbaik,’5 Manusia yang merenungkan secara serius asalnya akan menyadari bahwa beberapa dekade yang lalu dia tidak ada, dan seluruh manusia yang kini ada pun dahulu tidak ada maupun mengetahui kemungkinan keberadaan mereka saat ini. Kebenaran yang sama berlaku pada manusia di seluruh zaman sejak awal keberadaannya. Dengan begitu alamiah dia yang merenung sedemikian tulus mengetahui secara intuitif bahwa rasa berhutang akan penciptaan dan keberadaannya tidak dapat sungguh-sungguh ditujukan kepada orang tuanya, karena dia sungguh tahu bahwa orang tuanya pun dipengaruhi proses yang sama oleh Pencipta dan Penyedia. Manusia tidak menyebabkan pertumbuhan dan perkembangannya sendiri dari kondisi segumpal darah yang menggantung kepada yang kini dewasa dan sempurna. Dia mengetahui bahkan dalam kondisi dewasa dan sempurna dia tidak mampu menciptakan bagi dirinya sendiri indera penglihatan atau pendengaran atau yang lain — dan membiarkan dirinya dalam kesadaran pertumbuhan dan perkembangan dalam kondisi embrionik yang tak berdaya, maka: ‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Ādam – dari kesiapan mereka – keturunan mereka, dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” – mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”6 Manusia yang dibimbing secara benar menyadari bahwa diri sejatinya, jiwanya, sudah mengakui Tuhan sebagai Rabbnya, bahkan sebelum keberadaannya sebagai manusia, sehingga manusia tersebut mengenali Pencipta, Pengasih, dan Pemeliharanya. Sifat-dasar hutang penciptaan dan eksistensi begitu sangat luar biasa, sehingga saat dia diciptakan dan diberi eksistensi, manusia sudah dalam kondisi merugi, karena dia sungguh tidak memiliki apapun pada dirinya sendiri, dengan melihat bahwa segala tentangnya, di dalam dirinya, dan darinya adalah apa yang dimiliki Pencipta Yang memiliki segalanya. Dan ini adalah makna dari Qur’ān Suci: ‘Sesungguhnya manusia dalam kerugian (khusr)...’7 5 Al-Mu’minūn (23): 12-14. Al-A’rāf (7): 172. 7 Al-‘Asri (103): 2. 6 57 Prolegomena Melihat bahwa dia tidak memiliki apapun secara absolut untuk ‘membayar’ hutangnya, kecuali kesadarannya sendiri akan fakta bahwa dirinya adalah inti hutang tersebut, sehingga dia harus ‘membayar’ dengan dirinya, jadi dia harus ‘mengembalikan’ dirinya kepada-Nya Yang memilikinya secara absolut. Dia adalah hutang itu sendiri yang untuk dikembalikan kepada Pemiliknya, dan ‘mengembalikan hutang’ berarti memberikan diri dalam pelayanan, atau khidmah, kepada Rabb dan Pemiliknya; untuk menghinakan diri di hadapan-Nya dan sehingga manusia yang dibimbing dengan benar secara tulus dan sadar memperbudak dirinya demi Tuhan dengan maksud memenuhi perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan demikian patuh terhadap hukum-Nya. Konsep ‘pengembalian’ yang disebut di atas juga merupakan bukti dalam struktur konseptual dīn, karena itu dapat dan memang bermakna, sebagaimana akan saya elaborasikan dalam cara yang berkaitan, sebuah ‘pengembalian kepada sifat-dasar inheren manusia’, konsep ‘sifat-dasar’ menunjuk pada aspek spiritual dan tidak secara keseluruhan pada aspek fisik manusia.8 Hal ini pasti juga ditunjuk dalam kata-kata Qur’ān Suci: ‘Demi langit yang menurunkan hujan’,9 Kata yang diinterpretasikan sebagai ‘hujan’ adalah raj’, yang bermakna secara literal ‘kembali’.10 Diinterpretasikan sebagai hujan sebab Tuhan mengembalikannya secara berulang, dan menunjuk pada pengembalian yang baik dalam pengertian, manfaat, laba, dan keuntungan. Oleh karena itu raj’, digunakan secara sinonim dalam pengertian ini dengan rabah, bermakna keuntungan,11 yang merupakan lawan dari khusr, kerugian, yang referensinya sudah dibuat di atas. Kini tepat untuk disebutkan di sini satu dari makna dasar dīn yang belum dijelaskan di atas adalah hujan yang berkelanjutan, hujan yang kembali lagi dan lagi; dan karenanya kita menerima bahwa dīn di sini, seperti sebuah hujan, yang menyebut pada manfaat dan keuntungan (rabah). Ketika kita katakan bahwa dengan maksud ‘membayar’ hutangnya manusia harus ‘mengembalikan’ diri pada Tuhan, Pemiliknya, ‘pengembalian diri’nya adalah, seperti kembalinya hujan, sebuah keuntungan baginya.12 Dan ini adalah makna dari perkataan: ‘Dia yang memperbudak dirinya beruntung13 (rabiha yang kata benda dasarnya: rabah) Ungkapan ‘memperbudak diri’ (dāna nafsahu) bermakna ‘memberikan diri’ (dalam pelayanan), dan karenanya juga ‘mengembalikan diri’ (kepada Pemiliknya) sebagaimana dijelaskan.14 Makna yang sama diungkapkan dalam kata-kata Nabi Suci: 8 Konsep pengembalian juga diungkapkan dalam makna istilah ‘uwwida dalam pengertian kembali ke masa lalu, yakni, kepada tradisi. Karenanya penanda dari dīn sebagai adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini bermakna kembali kepada tradisi Nabi Ibrahim (semoga kedamaian kepadanya!). Dalam hubungan ini tolong lihat di atas hlm.44 dan di bawah, hlm. 51-55. Harus dilihat bahwa ‘tradisi’ di sini tidak bermakna jenis tradisi yang berasal dan berevolusi dalam sejarah dan kebudayaan manusia dan bersumber dari kesadaran manusia. Melainkan, dari apa yang Tuhan telah wahyukan dan perintahkan dan diajarkan Nabi dan Rasul-Nya, sehingga meskipun mereka muncul dalam periode sejarah yang berturut-turut dan tidak berhubungan, mereka mengandung dan bertindak seakan-akan apa yang mereka kandung dan bertindak atasnya telah berwujud dalam tradisi yang berkelanjutan. 9 Al-Thāriq (86): 11, LA, vol. 8:120, kol.2. 10 Terdapat hubungan yang dekat antara konsep yang digambarkan di sini dan aplikasi kata kerja ‘raja’a’ dalam pelbagai bentuknya dalam Qur’ān Suci dengan referensi kepada kembalinya manusia kepada Tuhan. 11 LA, vol. 2:442, kol 2-445, kol. 1. 12 Dīn yang benar membawa kehidupan pada tubuh yang jika sebaliknya mati seperti ’hujan yang diturunkan Tuhan dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan besertanya kepada bumi yang mati.’ Lihat Al-Baqarah (2): 164. 13 LA, vol. 13: 167, kol. 1. 14 Secara jelas menunjuk kepada manusia yang, telah secara sadar menyadari bahwa dirinya itu di bawah hutangnya sendiri kepada Pencipta, Pemelihara, dan Pengasihnya, memperbudak dirinya pada dirinya sendiri karenanya ‘mengembalikan’ dirinya pada Rabbnya yang benar. 58 Prolegomena “Seorang yang cerdas adalah dia yang memperbudak dirinya (dāna nafsahu) dan bekerja untuk apa yang akan datang setelah kematian.”15 ‘Apa yang akan datang setelah kematian’ merupakan sesuatu yang akan diperhitungkan dengan baik, balasan, kembali yang baik. Pengembalian yang baik ini seperti kembalinya hujan yang membawa keuntungan kepada bumi dengan membawa kehidupan padanya dan dengan menyebabkan pertumbuhan yang baik dan menguntungkan bagi kehidupan untuk tumbuh darinya. Dalam cara yang serupa hujan memberi kehidupan kepada bumi yang jika sebaliknya akan mati, begitu juga dīn memberi kehidupan kepada manusia, yang tanpanya manusia akan seperti seseorang yang, sebagaimana disebutkan, juga ‘mati’. Hal ini secara benar-benar disimbolisasikan oleh kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci, dimana Dia berkata: ‘...Dalam hujan Tuhan turunkan dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan beserta kepada bumi yang mati....’16 Dengan ‘mengembalikan diri’ kepada Rabb dan Pemiliknya, dengan setia dan sungguhsungguh mengikuti dan mematuhi perintah, larangan, peraturan, dan hukum Tuhan, manusia yang bertindak demikian akan dibalas dan akan menerima pengembaliannya yang baik ditambah berkali lipat, seperti dikatakan Tuhan dalam Qur’ān Suci: ‘Siapakah dia yang ingin meminjamkan (yuqridu) kepada Tuhan pinjaman yang baik (qardan hasanan) yang akan digandakan Tuhan pada piutangnya dan bertambah berkali lipat?’17 Perhatikan di sini bahwa kata kerja yang digunakan untuk menandakan ‘pinjaman’ (yuqridu), dari qarada, qard tidak memiliki konotasi yang sama sebagaimana yang diistilahkan sebagai ‘hutang’ (dayn), karena istilah yang kemudian hanya berlaku kepada manusia. ‘Pinjaman’ di sini bermakna ‘pengembalian yang merupakan dimiliki ‘secara asli’ oleh Dia Yang kini memintanya, dan yang harus dikembalikan pada-Nya’. Manusia itu milik Tuhan dan eksistensinya hanya ‘dipinjamkan’ kepadanya untuk suatu waktu. Di sisi lain ungkapan ‘pinjaman yang baik’ (qardan hasanan) sebagaimana diterapkan kepada manusia memiliki arti metaforis, yakni ‘pelayanannya kepada Tuhan’, ‘kerja baik’nya, yang bermakna, karena hal tersebut ini dapat sungguh dikatakan miliknya, dan karena persembahan yang dengannya dia akan dibalas dalam kelimpahan. Tuhan adalah Yang Maha Pembalas, Hakim tertinggi: dayyān. Dia adalah Raja, mālik, Hari Pengadilan dan Pembalasan, yawm al-dīn, juga disebut Hari Perhitungan, yawm al-hisāb.18 Fakta bahwa Tuhan ditunjuk sebagai Raja, dan segalanya sebagai Kerajaan dimana Dia menunjukkan kekuasaan dan otoritas absolut, malakūt, kembali menunjukkan bahwa manusia itu mamlūk-Nya, budak-Nya. Jadi dīn dalam konteks keagamaan juga menunjuk kepada kondisi menjadi budak.19 Kita beberapa saat yang lalu menunjuk ‘pengembalian diri manusia’ bermakna ‘memberikan diri dalam pelayanan’ (khidmah) kepada Tuhan. Kini kita katakan lagi bahwa dalam akibat apa yang sungguh-sungguh dimaksud bukan 15 LA, vol. 12: 169, kol. 2. Al-Baqarah (2): 164. 17 Al-Baqarah (2): 245. 18 Dīn juga bermakna perhitungan yang benar: hisāb al-sahīh. Yakni membagi dengan perhitungan benar yang tepat kepada suatu jumlah atau sesuatu sehingga cocok pada tempatnya yang tepat: ‘adad al-mustawā. Hal yang entah bermakna matematis ini mengandung pengertian bahwa terdapat sistem atau hukum yang memerintah dan memelihara semuanya dalam keseimbangan yang sempurna. Lihat LA, vol. 13: 169, kol. 1. 19 LA, vol. 13: 170, kol. 1. 16 59 Prolegomena ‘pelayanan’ dalam pengertian pelayanan apapun, atau jenis yang ditawarkan kepada manusia atau institusi manusia lain. Konsep khidmah menyiratkan bahwa seseorang yang memberikan pelayanan tersebut ‘bebas’, tidak terikat, tetapi ‘tuan bagi dirinya’ dalam hal dirinya sendiri. Namun konsep mamlūk, mengandung fakta implisit kepemilikan seseorang yang menerima pelayanannya. Mamlūk dimiliki mālik. Jadi kita tidak mengatakan seseorang yang melayani Tuhan adalah seorang khādim, bermakna pelayan, tetapi dia adalah ‘ābid Tuhan dan sungguh dia adalah ‘abd Tuhan, yang juga bermakna pelayan atau budak, dengan istilah yang memiliki konotasi ‘dimiliki’ oleh Dia Yang dia layani. Oleh karena itu dalam konteks keagamaan, ‘abd merupakan istilah yang tepat yang menunjuk kepada seseorang yang, dalam kenyataan dia berhutang secara absolut pada Tuhan, menghinakan diri dalam pelayanan kepada-Nya; dan karenanya tindakan melayani yang berkenan bagi-Nya disebut ‘ibādah dan pelayanannya adalah ‘ibādāt, yang menunjuk pada semua tindakan pelayanan yang sadar dan sukarela hanya demi Tuhan dan yang diterima-Nya, termasuk penyembahan yang diwajibkan. Dengan menyembah Tuhan dalam cara pelayanan tertentu manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya, seperti perkataan Tuhan dalam Qur’ān Suci: ‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’budūni).20 Ketika kita katakan bahwa manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan keberadaannya, jelas bahwa kewajiban manusia untuk melayani Tuhan dirasakannya sebagai normal sebab hal itu datang sebagai kehendak alamiah dalam bagian diri manusia untuk melakukannya. Kecenderungan alamiah pada manusia untuk melayani dan menyembah Tuhan juga ditunjuk sebagai dīn, seperti telah kita observasi dari awal dalam hubungan dengan konotasinya sebagai adat, kebiasaan dan watak. Namun, di sini dalam konteks keagamaan hal tersebut juga memiliki penanda khusus akan kondisi alamiah wujud yang disebut fitrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah.21 Fitrah adalah pola yang berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala hal. Hal tersebut adalah cara penciptaan oleh Tuhan, sunnat Allāh, dan segalanya cocok satu sama lain ke dalam pola yang diciptakan untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Hal itu adalah hukum Tuhan. Ketundukan kepadanya membawa kondisi harmonis, karena bermakna perwujudan apa yang inheren dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya membawa ketidakharmonisan, karena bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan terhadap sifat-dasar seseorang yang benar. Fitrah adalah keteraturan (cosmos) sebagaimana dilawankan dengan kekacauan (chaos); keadilan sebagaimana dilawankan dengan ketidakadilan. Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri sejati manusia, bersaksi pada dirinya, menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar, mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga penyembahannya tersebut, tindakan kesalehannya, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan. Satu makna dari fitrah sebagai dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian ini oleh manusia.22 Ketundukan dalam pengertian yang digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan sadar, dan ketundukan ini tidak serta merta kehilangan ‘kebebasan’ baginya, karena kebebasan pada faktanya bermakna bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia yang tunduk kepada Tuhan dalam jalan ini adalah menghidupi dīn ini. 20 Al-Dhāriyat (51): 56. LA, vol. 5:58, kol. 1 & 2; lihat juga Al-Rūm (30): 30. 22 LA, vol. 5: 56, kol. 2, 57, kol. 1. 21 60 Prolegomena Ketundukan, kita katakan lagi, menunjuk kepada kesadaran dan ketundukan sukarela, karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat bermakna ketundukan sejati. Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti kepercayaan-kuat atau kepercayaan-lemah merupakan inti semua agama, tetapi kita mempertahankan bahwa tidak semua agama menetapkan ketundukan sejati. Bukanlah ketundukan jika bermakna jenis yang sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati merupakan tindakan berkelanjutan yang dihidupi sepanjang masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis yang hanya beroperasi di alam hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh sebagaimana perbuatan ditampilkan dalam kepatuhan kepada hukum Tuhan. Ketundukan kepada keinginan Tuhan bermakna juga kepatuhan kepada hukum-Nya. Kata yang menandakan pengertian ketundukan ini adalah aslama, sebagai bukti dalam Qur’ān Suci ketika Tuhan berkata: ‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan (aslama) wajahnya (cth. seluruh dirinya) kepada Tuhan...?’23 Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn, tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya kepada Tuhan adalah yang terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia berkata dalam Qur’ān Suci: ‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak akan pernah itu diterima darinya...”24 dan lagi: ‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’25 Menurut Qur’ān Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan, sekalipun hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang membuat Islām berbeda dengan agama lain adalah ketundukan menurut Islām merupakan ketundukan yang tulus dan total kepada kehendak Tuhan, dan hal ini ditetapkan secara sukarela sebagai kepatuhan absolut kepada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat diungkapkan dalam Qur’ān Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut: ‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk di langit dan bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendakNya, dan kepada-Nyalah mereka semua dikembalikan.’26 Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di sinilah keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain.27 Bentuk ini, yang merupakan 23 Al-Nisā’ (4): 125. Āli ‘Imrān (3): 85. 25 Āli ‘Imrān (3): 19. 26 Āli ‘Imrān (3): 83. 27 Hal ini tentu tidak menyiratkan bahwa keanekaragaman antara agama-agama hanya soal bentuk, karena perbedaan dalam bentuk tentu saja menyiratkan perbedaan dalam konsep Tuhan, Esensi, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan TindakanNya — sebuah perbedaan dalam konsepsi yang diungkapkan dalam Islām sebagai tawhīd: Keesaan Tuhan. 24 61 Prolegomena cara institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah, cara ungkapan hukum, cara sikap dan perilaku keagamaan, etis, dan moral — cara yang dengannya ketundukan kepada Tuhan ditetapkan dalam hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi Ibrāhīm (Abraham), yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian atasnya!). Millah mereka secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang betul dīn al-qayyim, sebab dari semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung sempurna, hanīfan, menuju Agama yang benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaankuat, kepercayaan-lemah, hukum, dan praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim, meskipun Agama Islām seperti sekarang ini mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama lain telah mengembangkan sistem atau bentuk ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang tidak serta merta diturunkan dari millah Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama Ahlu’l-Kitāb — Orang-Orang Berbuku (People of the Book) — telah mengembangkan campuran tradisi kultural mereka sendiri dengan tradisi yang berdasarkan Wahyu. Untuk pelbagai sistem atau bentuk ketundukan inilah yang, untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis ketundukan yang ”terpaksa”.28 Konsep dīn dalam pengertian kepatuhan yang benar dan ketundukan sejati seperti digambarkan dalam paparan ringkas sebelumnya diwujudkan di kehidupan nyata dalam Agama Islām. Dalam Islāmlah dīn yang benar dan sempurna diwujudkan, karena hanya dalam Islām swapengungkapan tersebut terpenuhi secara utuh. Islām menyerupai pola atau bentuk sesuai dengan cara Tuhan memerintah Kerajaan-Nya; Islām adalah imitasi tatanan alam semesta yang diwujudkan di sini dalam kehidupan duniawi ini sebagai sebuah tatanan sosial maupun tatanan politik. Tatanan sosial Islām meliputi seluruh keberadaan aspek fisik, material, dan spiritual manusia dalam sebuah cara yang, di sini dan kini, melaksanakan keadilan kepada individu maupun kepada masyarakat; dan kepada individu sebagai makhluk fisik maupun sebagai makhluk ruhani, sehingga seorang muslim adalah sekaligus dirinya dan Komunitasnya, dan Komunitasnya juga merupakan dia, karena setiap anggota menghendaki, seperti dia, untuk mewujudkan tujuan yang sama dalam kehidupan dan mencapai hasil yang sama. Tatanan sosial Islām merupakan Kerajaan Tuhan di bumi, karena di dalam tatanan tersebut Tuhan, dan bukan manusia, adalah tetap Rabbnya, Pemilik Kedaulatan dimana keinginan, hukum, peraturan, perintah, dan larangan-Nya memegang peranan absolut. Manusia hanya wakil-Nya atau khalīfah, 28 Dalam sebuah pengertian, kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci: – ‘Biarkan tidak ada ada paksaan dalam agama’ (Al-Baqarah (2): 256) – menguatkan apa yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam agama sejati seharusnya tidak ada paksaan: bukan hanya dalam pengertian bahwa, dalam tindakan pengendalian pada agama dan tunduk padanya, seseorang harus tidak memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam pengertian bahkan dengan diri sendiri, seseorang harus mengendalikan dan menundukkan diri sepenuh hati dan sukarela, dan mencintai dan menikmati ketundukan. Ketundukan yang terpaksa memperlihatkan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan, dan adalah serupa dengan salah-percaya (misbelief), yang merupakan salah satu bentuk dari tidak-percaya (kufr). Sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa percaya hanya pada Tuhan yang Satu sendiri adalah cukup dalam agama sejati, dan bahwa kepercayaan-lemah seperti itu menjamin keamanan dan keselamatan. Iblīs (syaitan), yang percaya pada Satu Tuhan Yang Benar dan mengetahui dan mengakui-Nya sebagai Pencipta, Pengasih, Pemelihara, rabbnya, meskipun demikian seorang yang salah-percaya (kāfir). Meskipun Iblīs tunduk kepada Tuhan, namun dia tunduk dengan kurang ajar dan enggan, dan kufrnya berkaitan dengan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan. Dia adalah contoh buruk yang terkenal dari ketundukan yang terpaksa. Maka, ketundukan yang terpaksa bukan tanda kepercayaan yang benar, dan seorang kāfir oleh karena itu mungkin menjadi seseorang yang, meski percaya pada Satu Tuhan, tidak tunduk dalam ketundukan sejati, melainkan lebih tunduk pada jalannya sendiri yang keras kepala – sebuah jalan, atau cara, atau bentuk yang tidak diterima ataupun diwahyukan atau diperintahkan Tuhan. Ketundukan sejati adalah apa yang telah sempurna oleh Nabi Suci sebagai model bagi manusia, karena hal itu merupakan cara ketundukan seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya, dan bentuknya diterima, diwahyukan, dan diperintahkan Tuhan. Dengan demikian, inti agama sejati, maka, bukan kepercayaan-lemah, melainkan, lebih mendasar, ketundukan; karena ketundukan membuktikan dan mengakui kepercayaan-lemah sebagai benar dan sejati. 62 Prolegomena yang telah diberikan kepercayaan memerintah, amānah, untuk mengatur sesuai kehendak Tuhan dan perkenan-Nya. Ketika kita katakan ‘aturan’, kita tidak secara sederhana bermaksud menunjuk pada pengertian sosio-politik dari ‘mengatur’, karena yang kita maksud juga, tentu saja jauh lebih mendasar, aturan tentang diri sendiri oleh diri sendiri, karena amanah menunjuk juga kepada tanggung jawab dan kebebasan diri untuk bertindak adil kepada diri sendiri. Pernyataan terakhir ini kita harus menegaskannya kembali sekarang, karena apa yang dimaksudkan itu mengungkapkan inti prinsip etis dan moralitas Islām. Islām, kita katakan lagi, merupakan sebuah tatanan sosial, tetapi dalam tatanan tersebut setiap individu, masing-masing berdasarkan kapasitas dan kekuatan laten yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk memenuhi dan menyadari tanggung jawab dan kebebasannya, menghendaki mencapai dan mewujudkan yang ideal bagi dirinya dalam Jalan29 yang dimanifestasikan oleh Hukum30 Yang diwahyukan yang ditaati seluruh anggota Komunitas. Maka dengan demikian, sebagaimana setiap muslim merupakan khalīfah Tuhan di bumi, maka setiap muslim adalah budak-Nya, ‘abd-Nya, yang menghendaki dirinya agar menyempurnakan pelayanan dan ketaatan, ‘ibādahnya, dalam cara yang diterima Tuhan, Pemiliknya Yang Absolut. Dan karena setiap individu dalam tatanan sosial ini mampu menjawab kepada Tuhan, maka dalam tatanan sosial tersebut masing-masing individu secara personal mengarahkan kesetiaan yang benar dan sejati, tā’ah, pada Tuhan, Rabbnya yang Sejati. Kita telah katakan bahwa konsep dīn merefleksikan gagasan sebuah kerajaan — sebuah kosmopolis. Perdagangan dan pertukaran merupakan inti kehidupan kosmopolis, dan aktifitas tersebut bersama pelbagai implikasinya memang inheren dalam konsep dīn sebagaimana telah sedemikian jauh digambarkan. Maka tidak heran dalam Qur’ān Suci kehidupan dunia dilukiskan secara terus-menerus secara sungguh-sungguh dalam metafora sebagai perusahaan dagang. Di dalam kosmopolis atau kerajaan yang direfleksikan dalam konsep dīn, terdapat lukisan aktifitas sibuk akan lalu lintas perdagangan. Manusia tidak terelakkan bertaut dengan perdagangan: altijārah, dengan dirinya sebagai subjek dan objek perdagangan. Dia adalah modalnya sendiri, dan kerugian dan keuntungannya tergantung pada rasa tanggung jawab dan pertunjukan kebebasannya. Dia membawa kepercayaan dalam membeli dan menjual, bay’ah, dan pertukaran: ishtarā, dan dirinyalah yang dia beli atau jual atau tukar; dan tergantung kehendaknya terhadap pertunjukkan keinginan dan kebutuhannya, perdagangannya akan untung: rabiha’l-tijārah, atau menderita rugi: mā rabiha’l-tijārah. Dalam situasi yang muncul di hadapan kita harus lihat bahwa manusia yang begitu terikat menyadari keseriusan berspekulasi dagang yang secara sukarela diambil.31 Dia tidak sekedar hewan yang makan, minum, tidur, dan bersenang-senang atas kesenangan32 sensual — tidak ada orang suci ataupun barbar yang demikian melewatkan dirinya dalam perwujudan tanggung jawabnya yang besar dan kesadaran akan kebebasannya untuk memenuhi dan menebus dirinya sendiri dari beban eksistensi. Hal itu adalah seperti dia yang menukar dirinya dengan diri sejatinya yang ditunjuk Tuhan ketika Dia berkata dalam Qur’ān Suci: ‘Sesungguhnya Tuhan telah membeli mukmin diri-diri mereka...’33 29 Dengan ‘Jalan’ saya bermaksud apa yang menunjuk pada ihsān, atau kesempurnaan dalam kebajikan. Hukum yang diwahyukan, atau sharī’ah, adalah hukum Tuhan. 31 Lihat Al-Ahzāb (33): 72. 32 Lihat Al-‘Arāf (7): 179. 33 At-Tawbah (9): 111. 30 63 Prolegomena Konsep dīn dengan menunjuk kepada manusia Islām34 mengandaikan kemunculannya dalam dirinya jenis manusia yang lebih tinggi yang sanggup akan cita-cita mulia menuju swapembuktian — swa-pembuktian yang tidak kurang dari aktualisasi kekuatan dan kapasitas latennya untuk menjadi manusia yang sempurna. Manusia Islām sebagai penduduk kota, sebuah kosmopolitan, yang menghidupi kehidupan beradab sesuai dengan fondasi batasan yang jelas akan tatanan sosial dan kode perilaku adalah dia yang patuh kepada Hukum Ilahi, dimana berusaha menuju perwujudan keadilan sejati dan menghendaki pengetahuan yang benar merupakan kebajikan pokok. Dorongan perilaku manusia demikian merupakan rahmat abadi, dimana pintu masuk ke dalam kondisi damai tertinggi yang mungkin dia rasakan bahkan di sini, tetapi yang akan diberikan padanya ketika dia masuk arus kota lain itu dan menjadi penduduk, yakni penduduk kerajaan lain yang di dalamnya kebahagiaan pokoknya dapat memandang Wajah Agung Sang Raja. Sementara Islām merupakan lambang tatanan kosmis ilahiyah, manusia Islām yang sadar akan takdirnya sadar bahwa dirinya, sebagai makhluk fisik, juga lambang alam semesta, sebuah representasi mikrokosmos, ‘ālam saghīr, dari makrokosmos, al-’ālam al-kabīr. Karenanya dalam cara Islām itu seperti kerajaan, sebuah tatanan sosial, begitu juga manusia Islām mengetahui bahwa dia merupakan kerajaan dalam ukuran miniatur, karena dia, sebagaimana pada manusia seluruhnya, memanifestasikan Sifat-Sifat Pencipta, tanpa menjadi kebalikannya, karena ‘Tuhan menciptakan manusia dalam citra-Nya sendiri’. Kini manusia adalah tubuh dan jiwa, dia adalah makhluk fisik sekaligus ruhani, dan jiwanya memerintah tubuh seperti Tuhan memerintah Alam Semesta. Jiwa manusia juga memiliki dua aspek yang analogis dengan sifat-dasar gandanya: yang tinggi, jiwa rasional: al-nafs al-natīqah; yang rendah, jiwa hewani atau jasmani: al-nafs al-hayawāniyyah. Di dalam kerangka-kerja konseptual dari konsep dīn yang diterapkan di sini sebagai persoalan subjektif, personal, dan individual, jiwa rasional manusia merupakan raja dan harus menggunakan kekuatan dan aturannya terhadap jiwa hewani yang merupakan bawahannya dan yang harus ditundukkan padanya. Kekuasaan dan aturan efektif yang ditunjukkan jiwa rasional terhadap jiwa hewani, dan penaklukan dan ketundukan total dari yang kemudian atas yang terdahulu sungguh dapat diinterpretasikan sebagai dīn, atau sebagai islām dalam pengertian subjektif, personal, individual dalam hubungan yang sedemikian dibangun. Dalam konteks ini jiwa hewanilah yang memperbudak dirinya sendiri dalam ketundukan dan pelayanan sehingga ‘mengembalikan’ diri kepada kekuasaan dan otoritas jiwa rasional. Ketika Nabi Suci berkata: “Matilah sebelum kamu mati.”Hal tersebut sama saja dengan berkata: “kembalilah sebelum kamu akhirnya kembali”; dan ini menunjuk kepada penaklukan diri sendiri oleh diri sejatinya, yakni jiwa hewani seseorang oleh jiwa rasionalnya; dan menyentuh pengetahuan akan diri inilah yang dimaksudkannya ketika dia katakan: “Dia yang mengenal dirinya mengenali Rabbnya”. Lebih lanjut, ketika Tuhan memproklamasikan kekuasaan-Nya pada keturunan Ādam jiwa rasional manusialah yang Dia tuju, sehingga setiap jiwa telah mendengar perkataan “Bukankah Aku Rabbmu?” dan menjawab “Ya!” dan bersaksi pada dirinya sendiri. Jadi manusia Islām yang dibimbing secara benar bertindak sesuai sebagai pelayan sejati Tuhan, ‘abd-Nya. Kita menunjuk di awal pada tujuan penciptaan dan eksistensi manusia, mengatakan bahwa hal itu 34 Manusia Islām, cth., Muslim. 64 Prolegomena merupakan untuk melayani Tuhan; dan kita katakan bahwa tindakan melayani dari bagian diri manusia adalah ‘ibādah dan pelayanan sedemikian adalah ‘ibādāt, yang menunjuk kepada semua tindakan pelayanan yang sadar dan sukarela hanya karena Tuhan dan yang diterima oleh-Nya, termasuk penyembahan yang ditentukan. Pada kenyataannya, kita kini mengatakan lebih lanjut bahwa bagi manusia Islām seluruh kehidupan etisnya adalah ‘ibādah yang berkelanjutan, karena Islām sendiri merupakan sebuah jalan hidup yang utuh. Ketika manusia itu telah, dengan ‘ibādāt, berhasil menahan hasrat hewani dan jasmani dan telah membuat jiwa hewaninya tunduk, lalu membuatnya dipengaruhi jiwa rasional, manusia yang digambarkan demikian telah mencapai kebebasan bahwa dia telah memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya; dia telah mencapai kedamaian tertinggi35 dan jiwanya ditenangkan, diletakkan bebas seperti dikatakan, bebas dari belenggu nasib yang tak terelakkan dan perselisihan yang mengganggu dan neraka sifat buruk manusia. Jiwa rasionalnya dalam kondisi spiritual ini disebut dalam Qur’ān Suci sebagai jiwa yang ‘ditenangkan’ atau ‘tenang’: al-nafs al-mutma’innah. Jiwa ini merupakan jiwa yang ‘mengembalikan’ diri secara sukarela kepada Rabbnya, dan padanyalah Tuhan mengalamatkan perkataan-Nya: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kamu pada Rabbmu, - dengan ridho pada (dirimu) dan ridho pada-Nya! Maka masuklah kamu, di antara pelayanKu! Ya, masuklah kamu ke Taman-Ku”36 jiwa ini merupakan jiwa pelayan yang telah memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak ada yang mengenal lebih baik tentang Rabbnya daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang dengan pelayanan seperti itu mendapatkan keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, sehingga ‘ibādah bermakna, pada akhirnya, pada tahap lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah.37 Saya telah melacak dalam garis besar secara gamblang inti dasar Agama Islām dan telah menunjukkan secara umum yang dapat, sekalipun, dielaborasikan kepada catatan logis yang merinci sifat-dasar yang mencakup semua yang meliputi kehidupan individu maupun masyarakat. Sudah saya katakan bahwa Islām adalah agama subjektif, personal dari individu maupun sebagai agama objektif meliputi agama swa-sama untuk Komunitas – yang beroperasi sebagai agama yang sama untuk individu sebagai entitas tunggal maupun masyarakat yang tersusun secara kolektif dari entitas-entitas demikian.38 Tersirat pada penjelasan kita bahwa Islām 35 Ketika kita juga berkata bahwa Islām bermakna ‘damai’, kita menunjuk pada akibat dari ketundukan yang ditandai dengan kata kerja aslama. 36 Al-Fajr (89): 27-30. 37 Kita tidak menyiratkan sekurang-kurangnya di sini bahwa ketika ’ibādah menjadi diidentifikasi dengan ma’rifah, yang terdahulu disebutkan sebagai kerja pelayanan (‘amal) termasuk sholat (salāt) — cth. yang diwajibkan (fard), praktek yang jalankan Nabi (sunnah), tambahan utama (nawafīl) —tidak lagi wajib bagi seseorang yang memperoleh yang kemudian, atau sholat seseorang hanya bermakna kontemplasi intelektual, seperti dipikirkan beberapa filsuf. Ma’rifah sebagai ‘pengetahuan’ adalah kognisi yang benar (‘ilm) dan perasaan yang benar atau suasana hati spiritual (hāl); dan yang disebutkan di awal, yang menandai tahap terakhir ‘tempat-perhubungan’ spiritual (maqāmāt), mendahului yang kemudian disebut, yang menandai awal ‘kondisi’ spiritual (ahwāl). Jadi ma’rifah menandai posisitransisi spiritual antara tempat-perhubungan dan kondisi spiritual. Hal seperti itu, dan karena itu merupakan pengetahuan yang datang dari Tuhan pada hati (qalb) dan tergantung sepenuhnya kepada-Nya, tidaklah serta merta merupakan kondisi permanen kecuali secara berkelanjutan diamankan dan dibentengi dengan ‘ibādah. Dia yang berpandangan tajam mengetahui bahwa adalah absurd dalam kasus seseorang yang menerima pengetahuan dari Tuhan tentang Tuhan (cth. ‘ārīf) untuk mengubah ‘ibādahnya menjadi sekedar kontemplasi, karena ‘ārīf sangat sadar akan fakta bahwa keutuhan atau setidaknya sebagian berkaitan dengan ‘ibādah merupakan alat mendekati Rabbnya. 38 Terdapat kebenaran bahwa tidak ada sesuatu seperti Islām subjektif dan objektif dalam pengertian yang terdahulu disebutkan menyiratkan kurang nyata dan kurang benar dari yang kemudian, kepada perluasan tersebut yang terdahulu dipandang sebagai kurang absah dan kurang otentik dari yang kemudian; atau bahwa yang kemudian itu berbeda 65 Prolegomena adalah kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat (īmān) maupun ketundukan dalam pelayanan (islām); Islām adalah ketetapan hati (qalb) dan pikiran (‘aql) yang dikonfirmasikan oleh lidah (lisān) maupun oleh perbuatan dan kerja (‘amal)39; Islām adalah hubungan yang harmonis yang dibangun antara jiwa dan tubuh; Islām adalah kepatuhan dan kesetiaan (tā’ah) kepada Tuhan juga kepada Nabi Suci; Islām adalah menerima sepenuh hati kebenaran akan Kesaksian (kalimah shahādah) bahwa tiada Tuhan selain Allāh, dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allāh – Islām adalah kesatuan semua itu, bersama dengan apa yang menyertai mereka, dalam kepercayaan-lemah dan praktek, dalam diri pribadi muslim maupun pada Komunitas secara keseluruhan. Tidak bisa terdapat perpisahan, ataupun pembagian, ataupun dikotomi antara bagian integrasi yang harmonis dari kesatuan yang sedemikian dibentuk, sehingga dapat ada, bagi Islām, pemercayalemah atau pemercaya-kuat sejati (mu’min) tanpa seseorang tersebut juga tunduk dalam pelayanan (muslim); tidak ada penerimaan hati dan pikiran yang dikonfirmasikan dengan lidah tanpa perbuatan dan kerja; tidak ada kepatuhan dan kesetiaan sejati kepada Tuhan tanpa kepatuhan dan kesetiaan kepada Utusan-Nya; maupun terdapat penerimaan Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allāh tanpa juga menerima Muhammad sebagai Utusan-Nya, yang pertama kali mewujudkan Rumusan Keesaan (kalimah al-tawhīd). Saya juga telah mengangkat sifat-dasar mendasar wahyu Qur’ān akan perjanjian jiwa manusia dengan Tuhan dalam hal KemahakuasaanNya dan konsep dīn sebagaimana merefleksikan alam semesta, layaknya pemerintahan Tuhan atas alam ciptaan, dan saya telah menggambarkan perbandingan antara konsep dīn dan konsep makrokosmos dan hubungan analogisnya dengan manusia sebagai mikrokosmos dimana jiwa rasional mengatur jiwa hewani dan tubuh seperti Tuhan mengatur Kerajaan-Nya. Perjanjian jiwa dengan Tuhan dan sifat-dasar hubungan yang diungkapkan dari perjanjian tersebut memang menempati posisi utama dalam konsep dīn dan merupakan basis pokok Islām, seperti akan saya ungkapkan lebih lanjut. Perjanjian tersebut dibuat oleh seluruh jiwa keturunan Adam dan Tuhan menunjuk kepada mereka secara kolektif juga secara individual, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang dibuat setiap jiwa individu sekaligus oleh mereka secara kolektif untuk mengakui Tuhan sebagai Rabb mereka. Mengakui Tuhan sebagai Rabb (rabb) bermakna mengakui Dia sebagai Raja Yang Absolut (sin. mālik), Rabb, Pemilik (sin. sāhib), Pengatur, Pemerintah, Tuan, Pencipta, Pengasih, Pemelihara —karena semua makna tersebut menunjuk pada konotasi inheren dari konsep Rabb. Semua jiwa memiliki status yang sama dalam hubungan kepada Rabb mereka: menjadi bawahan, dikuasai, dimiliki, diatur, diperintah, diperbudak, diciptakan, dikasihi, dan dipelihara. Dan karena perjanjian itu menyentuh jiwa individu sekaligus jiwa tersebut secara kolektif, jadi kita lihat di sini ketika jiwa tersebut dimanifestasikan di sini sebagai manusia dalam pembentangan akan Islām jiwa yang sama disatukan dalam usaha memenuhi perjanjian secara kolektif sebagai masyarakat dan Komunitas (ummah) maupun secara individual sedemikian rupa sehingga Islām adalah, seperti kita telah katakan, sekaligus personal dan subjektif maupun sosial, komunal, dan objektif;40 Islām merupakan campuran harmonis baik individu maupun masyarakat. Hal yang menyatukan seorang muslim individual satu sama lain daripada yang terdahulu sebagai suatu realitas dan kebenaran yang independen sedangkan yang terdahulu adalah interpretasi yang beragam dari pengalaman akan yang kemudian. Kita mempertahankan bahwa apa yang dialami oleh setiap individu muslim secara subjektif adalah sama sebagai Islām secara objektif, dan kita menggunakan istilah ‘subjektif’ dan ‘objektif’ di sini untuk memilah daripada membuat diskriminasi yang satu dengan yang lain. Pemilahan antara dua hal tersebut menyentuh pada tingkatan pemahaman dan derajat pengertian dan praktek yang ada antara muslim yang satu dengan yang lain. Jadi pemilahan tersebut menunjuk kepada aspek-ihsān dari pengalaman Islāmi. Kendati secara alamiah tingkatan pemahaman yang berbeda dan derajat pengertian dan praktek yang ada antara muslim yang satu dengan yang lainnya namun semuanya adalah muslim dan hanya ada satu Islām, dan apa yang umum pada mereka semua adalah Islām yang sama. 39 Contoh, ‘ibādah dan tindakan ‘ibādāt 40 Lihat di atas, catatan 38. 66 Prolegomena dan ikatan persaudaraan yang menakjubkan dan unik yang melampaui batasan ras, bangsa, waktu, dan ruang dan bahkan lebih kuat dari ikatan keluarga dan kekerabatan tidaklah lain dari perjanjian ini, karena jiwa di sini yang ada sebagai manusia dengan perjanjian tersebut mengenali satu sama lain sebagai saudara, sebagai keluarga jiwa-jiwa. Mereka terhubung satu sama lain di tempat nun jauh dan di sini mereka merupakan saudara yang menyayangi satu sama lain hanya karena Tuhan. Meskipun seseorang berada di Timur dan yang lain di Barat, namun mereka merasakan kesenangan dan kenyamanan pada kabar angin satu sama lain, dan yang hidup di generasi selanjutnya daripada yang lain itu diarahkan dan dihibur oleh kata-kata saudaranya. Mereka merupakan saudara yang terlibat dalam tujuan yang sama jauh sebelum mereka muncul sebagai saudara di bumi, dan mereka adalah kawan dan keluarga sejati sebelum mereka dilahirkan dalam kekerabatan bumi. Jadi di sini kita lihat bahwa perjanjian yang sama merupakan inti dasar persaudaraan Islām (ukhuwwah). Perasaan sejati akan persaudaraan di antara muslim inilah yang berdasarkan fondasi spiritual dimana tidak ada kekuatan bumi yang dapat memecah berkeping-keping yang menyatukan individu kepada masyarakat dalam Islām tanpa kemudian individu menderita kerugian akan individualitas dan personalitasnya, ataupun pada masyarakat, pemerintahan dan otoritasnya. Dalam organisasi politik dan sosial Islām — apakah itu dari bentuk yang satu atau yang lain — perjanjian yang sama menjadi inti fondasi mereka. Manusia Islām tidak diikat oleh kontrak sosial, ataupun mendukung doktrin kontrak sosial. Tentu saja, meskipun dia hidup dan bekerja di dalam ikatan pemerintahan dan otoritas sosial dan memberikan andil pada kebaikan sosial, dan meskipun dia berperilaku seolah-olah ada kekuatan kontrak sosial, hal itu merupakan, meskipun demikian, sebuah kontrak individu yang merefleksikan perjanjian jiwanya yang disegel dengan Tuhan; karena perjanjian tersebut kenyataannya dibuat bagi masing-masing dan setiap jiwa individu. Tujuan dan nilai pokok etis dalam Islām secara mendasar adalah untuk individu; apa yang manusia Islām lakukan di sini dia melakukan apa yang di percaya baik hanya karena Tuhan dan Utusan-Nya mengatakan demikian dan dia percaya bahwa tindakannya akan menemukan ridho Tuhan. Baginya bukan kondisi ataupun masyarakat yang merupakan objek sejati dan benar akan kesetiaan dan kepatuhannya, karena baginya tindakan tersebut bukan hak istimewa negara dan masyarakat pada perluasan bahwa perilaku tersebut berkaitan dengan mereka sebagai hak mereka; dan jika dia dalam sebuah negara dan masyarakat Islām lalu hidup dan menghendaki yang baik bagi negara dan masyarakat, hal itu hanya karena masyarakat tersebut terdiri dari manusia Islām individual dan negara yang diorganisir mereka menciptakan akhir dan tujuan Islām yang sama sebagai tujuan mereka — jika tidak dia diwajibkan melawan negara dan mengupayakan membetulkan kesalahan masyarakat dan mengingatkan mereka akan tujuan sejati dalam hidup mereka. Kita tahu bahwa dalam analisis mendasar akan pencarian manusia akan ‘kebahagiaan’ – sebagaimana mereka katakan dalam filsafat dalam hubungan dengan etika – adalah selalu untuk diri individu. Bukanlah ‘kebahagiaan’ entitas kolektif yang begitu menjadi persoalan daripada kebahagiaan individu; dan setiap orang pada kenyataannya tentu harus berpikir dan bertindak untuk keselamatan dirinya, karena tidak ada orang lain yang dapat dibuat bertanggung jawab atas tindakannya karena setiap manusia menanggung beban tanggung jawabnya sendiri.41 ‘Kebahagiaan’, seperti yang akan saya elaborasikan dalam bab selanjutnya, berkaitan dengan kondisi permanen di dalam jiwa rasional; pada pengetahuan dan kepercayaankuat; pada perilaku yang baik dan pencapaian kondisi yang diketahui sebagai ‘keadilan’ (‘adl). Dalam Islām — karena baginya agama meliputi kehidupan keseluruhannya — semua kebajikan bernilai keagamaan; kebajikan ada kaitannya dengan kebebasan jiwa rasional, dimana kebebasan bermakna kekuatan untuk bertindak adil pada diri sendiri; dan hal ini pada gilirannya 41 Lihat Al-An’ām (6): 164. 67 Prolegomena menunjuk pada pertunjukan atas aturan, supremasi, bimbingan dan pertahanannya atas jiwa hewani dan tubuh. Kekuatan untuk bertindak adil kepada diri sendiri menunjuk pada pengakuan konstan dan pemenuhan perjanjian yang telah dibuat dengan Tuhan. Keadilan dalam Islām bukan konsep yang menunjuk pada kondisi urusan yang hanya dapat beroperasi di dalam situasi hubungan-dua-orang (two-person-relation) atau hubungan-dua-pihak (dual-party-relation), seperti: antara seseorang dengan yang lain; atau antara masyarakat dengan negara; atau antara pengatur dengan yang diatur; atau antara raja dengan bawahannya. Pada pertanyaan: “Dapatkah seseorang untuk tidak adil kepada diri sendiri?” agama lain atau para filsuf tidak memberikan jawaban jelastegas (clear-cut) yang konsisten. Tentu saja dalam peradaban Barat, contohnya, meskipun benar bahwa manusia yang melakukan bunuh diri dapat dikatakan bertindak tidak adil; tetapi hal ini dipertimbangkan sejauh hanya karena bunuh diri merugikan negara dari pelayanan warga negara yang berguna, sehingga ketidakadilan bukanlah kepada dirinya, tetapi kepada negara dan masyarakat. Kita telah beberapa kali menyebutkan konsep bahwa keadilan bermakna kondisi harmonis atau kondisi persoalan ketika segala hal dalam tempatnya yang benar dan tepat — seperti alam semesta; atau sama dengan itu, yakni kondisi seimbang, apakah itu menunjuk pada benda atau makhluk hidup. Pada manusia, kita katakan bahwa keadilan bermakna secara dasar sebuah kondisi dan situasi ketika dia ada dalam tempatnya yang benar dan tepat. ‘Tempat’ di sini bukan hanya menunjuk pada situasi total dalam hubungan dengan yang lainnya, tetapi juga pada kondisinya dalam hubungan dengan diri sendiri. Sehingga konsep keadilan dalam Islām tidak hanya menunjuk pada situasi hubungan yang harmonis dan seimbang yang ada antara seseorang dan yang lain, atau antara masyarakat dengan negara, atau antara pengatur dengan yang diatur, atau antara raja dengan bawahannya, tetapi jauh lebih mendalam dan mendasar sehingga menunjuk pada cara yang mendasar terhadap hubungan yang harmonis dan benar-seimbang antara seseorang dengan dirinya, dan dalam cara sekunder ada di antara dia dan sesamanya dan yang lain atau, antara dia, pengatur, raja, negara dan masyarakat. Dengan begitu terhadap pertanyaan: “Dapatkah seseorang tidak adil pada diri sendiri?” kita jawab dalam afirmatif (baca: ya, penerj.), dan menambahkan lebih lanjut bahwa keadilan dan ketidakadilan tentu bermula dan berakhir dengan diri sendiri. Qur’ān Suci menekankan berulang-ulang bahwa manusia, ketika berbuat salah, ia sedang berbuat tidak adil (zālim) kepada dirinya, dan ketidakadilan (zulm) merupakan kondisi yang dilakukan manusia kepada dirinya.42 Untuk memahami ini kita sekali lagi harus menunjuk kepada perjanjian dengan Tuhan dan percaya terhadap sifat-dasar ganda manusia dalam jiwa dan tubuhnya. Manusia sejati hanya dapat diwujudkan dengan menjadi jiwa rasional. Jika dalam keberadaannya sebagai manusia dia membiarkan jiwa hewani atau jasmani mendapatkan yang lebih baik darinya dan akibatnya melakukan tindakan yang dilarang Tuhan dan tidak menyenangkan-Nya, atau jika dia menolak percaya-lemah pada Tuhan secara keseluruhan, maka dengan demikian dia menanggalkan pengakuannya sendiri akan kekuasaan Tuhan dimana dia sebagai jiwa rasional telah berjanji dengan Tuhan. Dia telah melakukan kekerasan pada perjanjiannya sendiri, yakni kontrak individualnya dengan Tuhan. Jadi seperti dalam kasus seorang yang merusak kontraknya sendiri membawa bencana pada diri sendiri, dalam cara yang sama dia yang berbuat salah atau jahat, yang tidak patuh atau menolak Tuhan, merusak perjanjian jiwanya yang telah dibuat dengan Tuhan, dan dengan demikan tidak adil kepada jiwanya. Dia dengan demikian juga telah ‘berdusta’ – kadhaba, ungkapan Qur’āni yang lain – terhadap dirinya sendiri (jiwa). Sangat penting dalam sinaran penjelasan ringkas ini untuk mengerti mengapa kepercayaan kebangkitan jasad itu mendasar dalam Islām, karena jiwa yang disusun ulang dengan jasad terdahulunya tidak akan mampu menolak apa yang telah tubuhnya lakukan, karena mata, lidah, tangan, dan kaki atau ototnya – organ perilaku etis dan moral – akan 42 Lihat Al-Nisā’ (4): 123; Yūnus (10): 44. 68 Prolegomena bersaksi terhadap tindakan tidak adil pada dirinya sendiri.43 Meskipun dalam Islām ketidakadilan terlihat berlaku antara manusia dengan Tuhan, dan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan dirinya, pada kenyataannya, namun, ketidakadilan secara mendasar berlaku – bahkan dalam dua kasus sebelumnya – hanya pada diri manusia; dalam pandangan-dunia Islāmi dan pandangan spiritual, apakah seorang manusia tidak percaya-lemah atau tidak patuh pada Tuhan, atau apakah dia melakukan kesalahan pada orang lain, adalah sungguh-sungguh melakukan kesalahan kepada diri sendiri. Ketidakadilan, sebagai lawan dari keadilan, adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya; ketidakadilan adalah salah-letak (misplace) sesuatu; ketidakadilan adalah salah-guna (misuse) atau menyalahi; ketidakadilan adalah melebihi atau kurang dari suatu ukuran atau batas; ketidakadilan adalah menderita kerugian; ketidakadilan adalah penyimpangan dari jalur yang benar; ketidakadilan adalah tidak percaya-lemah pada apa yang benar, atau dusta atas apa yang benar diketahui sebagai benar. Jadi ketika manusia bertindak tidak adil, berarti dia telah menyalahi jiwanya sendiri, karena dia telah meletakkan jiwanya dalam tempat yang bukan miliknya; dia telah menyalahgunakannya; dia telah membuatnya melampaui atau kurang dari sifat-dasar sejatinya; dia telah menyebabkannya menyimpang dari apa yang benar, menanggalkan kebenaran, dan menderita kerugian. Semua yang telah dilakukannya sedemikian – dengan satu cara dengan yang lain – menyertakan kekerasan atas perjanjiannya dengan Tuhan. Jelas dari apa yang kita katakan tentang ketidakadilan bahwa keadilan menyiratkan pengetahuan tentang tempat yang benar dan tepat untuk sesuatu atau makhluk; akan kebenaran maupun kesalahan; akan ukuran atau batas; atau keuntungan spiritual maupun kerugian; akan kebenaran maupun kesalahan dan kepalsuan. Inilah mengapa pengetahuan (al’ilm: ma’rifah : ‘ilm) menempati posisi yang sangat penting dalam Islām, di mana di Qur’ān Suci sendiri kita temukan lebih dari delapan ratus referensi untuk pengetahuan. Dan bahkan dalam hal pengetahuan, manusia harus adil padanya, yakni, untuk mengetahui batas kegunaannya dan tidak melampaui atau tidak kurang darinya; untuk mengetahui pelbagai tatanan akan prioritas dalam relasi akan kegunaannya dengan diri sendiri; untuk mengetahui dimana berhenti dan mengetahui apa yang dapat diraih dan apa yang tidak, apakah itu pengetahuan sejati dan apa itu pelajaran perkiraan dan teori – secara keseluruhan, untuk meletakkan setiap data pengetahuan pada tempat yang benar dalam relasi pada yang mengetahui sehingga apa yang diketahui menghasilkan harmoni dalam diri seseorang yang mengetahui. Mengetahui bagaimana meletakkan suatu pengetahuan di tempatnya, pengetahuan tersebut adalah kebijaksanaan (hikmah). Sebaliknya, pengetahuan tanpa keteraturan dan mencarinya tanpa disiplin mengarahkan kepada kebingungan dan karenanya tidak adil kepada diri sendiri.44 Pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan Tuhan kepada manusia; dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri lewat penelusuran rasional berdasarkan pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui tindakan penyembahan dan ketaatan, yakni tindakan dalam pelayanan kepada Tuhan (‘ibādāt), 43 Secara analogis, konsep hukum habeas corpus (kau harus miliki bendanya) sebagai prosedur mendasar keadilan yang secara jelas dipinjam dari gagasan kebangkitan dalam agama wahyu, mungkin hanya refleksi yang tidak sempurna akan Prosedur yang mengagumkan dan tidak dapat disangkal di masa depan. Bahwa jiwa mampu menolak tindakan tidak adil tersirat dalam Al-A’rāf (7): 172-173; dan ayat ini harus dilihat bukti yang jelas dari kapasitas (wus’) jiwa untuk menunjukkan kekuatan (quwwah) kehendak menuju kebaikan atau kesalahan sebagai hasil pengenalan atas perolehan (kasaba, iktasaba) akan kebaikan dan kejahatan. Dalam konsep Islāmi akan keadilan dan ketidakadilan dalam garis besar di atas, fakta bahwa saksi kepada tindakan manusia, baik atau buruk, adalah dirinya sendiri memiliki arti yang besar. Lihat juga Al-Nūr (24): 24. 44 ‘Keteraturan’ dan ‘disiplin’ di sini tidak menunjuk kepada jenis tatanan dan disiplin dalam penyebaran sistematis pengetahuan yang dibangun dalam universitas-universitas dan sekolah modern, tetapi pada pengaturan pengetahuan oleh diri yang hendak mengetahui, dan pada pendisiplinan diri akan dirinya sendiri pada pengaturan tersebut (lihat di bawah hlm. 72-74). 69 Prolegomena yang tergantung pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang diciptakan Tuhan untuk menerimanya, dimana manusia tersebut menerimanya dengan pandangan langsung atau perasaan spiritual (dhawq) dan penyingkapan selubung pada visi spiritualnya (kashf). Pengetahuan (ma’rifah) ini menyentuh pada diri atau jiwanya, dan pengetahuan tersebut — seperti sudah kita sentuh pada penjelasan kita tentang hubungan analogis yang diperoleh antara makrokosmos dan mikrokosmos — memberikan penglihatandalam (insight) pada pengenalan tentang Tuhan, dan karena alasan tersebut pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan tertinggi. Karena pengetahuan demikian secara mendasar tergantung rahmat Tuhan dan membutuhkan perbuatan dan kerja pelayanan kepada Tuhan sebagai persyaratan kemungkinan pencapaiannya, hal itu menyertakan bahwa untuk itu pengetahuan tentang prasyarat menjadi diperlukan, dan ini termasuk pengetahuan Islām yang esensial (arkan al-islām dan arkan-al-īmān), makna, tujuan mereka, pemahaman yang benar, dan implementasi dalam kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus memiliki pengetahuan tentang prasyaratprasyarat tersebut, harus memahami dasar esensial dari Islām dan Keesaan Tuhan (tawhīd), dan memraktekkan pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan kerja pelayanan kepada Tuhan sehingga setiap manusia Islām sudah siap pada tahap awal pengetahuan pertama tersebut; dia sudah siap pada Jalan Lurus (sirāt al-mustaqīm) menuju Tuhan. Kemajuan lanjutannya pada jalan peziarah ini tergantung pada perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada beberapa orang melayani Tuhan seperti mereka melihat-Nya, dan yang lain melayani-Nya seperti Dia melihat mereka; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang kemudian adalah apa yang membentuk kebajikan tertinggi (ihsān). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua dicapai melalui rasio, pengalaman dan observasi; pengetahuan tersebut bersifat diskursif dan deduktif dan menunjuk pada nilai pragmatis. Sebagai sebuah ilustrasi pemilahan antara dua jenis pengetahuan tersebut kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah ke lingkungannya. Pada awalnya dia mengetahui tetangga barunya hanya dengan perkenalan; dia mungkin mengetahui tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan; dia mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian informasi lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran dari orang lain yang dia ketahui dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan tempat kerja dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang hati-hati lebih lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan cara ini tanpa kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun pengetahuan tentangnya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak masalah seberapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan pada pengetahuan tentang tetangganya yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang dia tidak akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan, pemikirannya tentang hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik dan rincian lain seperti hal-hal tersebut. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan mengenali orang tersebut secara langsung dan memperkenalkan diri kepadanya; dia sering mengunjungi, makan dan minum dan berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun persahabatan yang terpercaya, pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima secara spontan penyampaian secara langsung dari temannya banyak rincian personal, pemikiran dan perasaan rahasia yang kini dalam kilasan yang disampaikan dengan cara yang mungkin tidak akan dapat dicapai seumur hidup dari investigasi, observasi, dan penelitian. Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan sebagai hasil dari keintiman tidak pernah lengkap, karena kita tahu bahwa tidak masalah seberapa dekat hubungan yang intim antara seseorang dan temannya — atau teman, atau istri dan anak, atau orang tua, atau kekasih — akan selalu ada baginya selubung misteri yang 70 Prolegomena membungkus seseorang yang ingin kita ketahui seperti rangkaian tak terbatas dari ukiran bola gading Cina di dalam ukiran, yang hanya dapat terbuka baginya dengan penyampaian secara langsung dari orang lain. Dan orang lain juga akan mengetahui dengan merenungkan diri dan sifat-dasar tidak terbatas akan diri tersebut yang selalu berkelit dari pencarian kognitifnya, sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan kecuali hanya yang diketahuinya. Setiap orang itu seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang tak terduga yang dibungkus kegelapan, dan kesepian yang dia ketahui itu begitu absolut sebab bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya secara lengkap. Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara analogis dengan pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan pengetahuan tentang dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan sedemikian itu menyentuh pada tingkatan yang sama dalam wujud, dan ini merupakan penyebab komunikasi gagasan dan perasaan menjadi mungkin dan dapat dipahami. Ketiga, diizinkan untuk mendekat dan mengetahuinya, seseorang yang mencari tahu harus tinggal dengan aturan kepantasan dan kode perilaku dan sikap yang diterima oleh seseorang yang berhasrat untuk diketahui. Keempat, pemberian pengetahuan tentang dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan, kesetiaan, ketaatan pihak lain, dan kapasitas untuk menerima — sebuah periode yang membentuk ikatan yang kokoh akan keintiman di antara keduanya. Maka, dalam cara yang serupa atau bahkan lebih dari itu, hal tersebut merupakan kasus pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan. Dalam hal kondisi pertama, Dia katakan dalam Qur’ān Suci bahwa Dia telah menciptakan manusia hanya untuk melayani-Nya, dan pelayanan dalam pengertian yang mendalam secara mendasar bermakna pengetahuan (ma’rifah), sehingga tujuan-Nya menciptakan adalah agar makhluk mengenali-Nya, sebagaimana Dia katakan dalam Tradisi Suci (Hadīth Qudsiyy): ”Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku ciptakan makhluk sehingga Aku mungkin dikenali.” Jadi Tuhan mewahyukan diri-Nya pada jiwa rasional manusia, yang menguasai organ komunikasi dan kognisi spiritual seperti hati (al-qalb), yang mengenali-Nya; ruh (al-rūh), yang mencintai-Nya; dan jiwa yang tersembunyi dan paling dasar (al-sirr), yang merenungkan-Nya. Meskipun jiwa rasional tidak pada tingkatan yang sama dengan Tuhan, namun terdapat di dalamnya percikan asal Ilahiyah yang memungkinkannya menerima komunikasi di atas dan memiliki pengertian atas apa yang diterima; dan dari di sini kita menurunkan analogi atas kondisi kedua. Dalam hal kondisi ketiga, kita katakan bahwa manusia mendekati Tuhan dengan ketundukan tulus kepada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut kepada hukum-Nya; dengan perwujudan yang sadar dalam dirinya pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan penunjukkan ketaatan dan ibadah nawafil yang diterima-Nya dan berkenan bagi-Nya, sampai orang tersebut memperoleh tempat-perhubungan dimana kepercayaan dan pertemanan-Nya mungkin dianugerahkan atasnya dengan pengetahuan yang diberikan sebagai sebuah pemberian rahmat baginya dimana Dia telah menciptakan kapasitas untuk menerima pengetahuan yang diberikan. Seperti itulah kata-kata-Nya dalam Tradisi Suci: “Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku mencintainya; dan ketika Aku mencintainya Aku adalah pendengarannya, sehingga dia mendengar dengan-Ku, dan penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan lidahnya, sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan tangannya, sehingga dia mengambil dengan-Ku.” 71 Prolegomena Sebagaimana pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian tersebut dengan sendirinya sudah jelas. Kita lihat kemudian bahwa pengetahuan demikian, dengan sebab sifatdasarnya, memberi kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh dari pengetahuan jenis kedua; dan karena ini, dan fakta bahwa hal itu menyentuh pada jiwa atau diri manusia dan pemenuhan perjanjiannya yang dibuat dengan Tuhan, pengetahuan akan prasyaratannya, yang sesungguhnya berdasarkan pada pengetahuan yang diberikan ini, tidak mungkin terpisah dari ikatan dengan etika dan moralitas Islāmi. Dengan pengetahuan dan praktek demikian yang menyertainya kita membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku sehari-hari dan meletakkan nilai kita dalam kehidupan dan diri kita dengan benar. Pengetahuan pertama menyibak misteri Being dan Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia dan Rabbnya, dan karena bagi manusia pengetahuan tersebut menyentuh tujuan utama mengetahui, dimana pengetahuan tentang persyaratan tersebut menjadi fondasi mendasar dan esensial bagi pengetahuan jenis kedua, karena hanya dengan pengetahuan yang kemudian, tanpa bimbingan dari yang sebelumnya, tidaklah dapat sungguh-sungguh membimbing manusia dalam kehidupannya, tetapi hanya membingungkan, mengacaukan, dan menjeratnya dalam labirin pencarian tak berujung dan tak bertujuan. Kita juga menerima bahwa ada batas bagi manusia bahkan pada pengetahuan pertama dan tertinggi; sedangkan tidak adanya batas pada jenis yang kedua, sehingga kemungkinan pengembaraan terus menerus didorong oleh muslihat intelektual dan swa-khayalan dalam keraguan yang konstan dan kecurigaan itu selalu nyata. Manusia individu tidak memiliki waktu untuk menghabiskan persinggahan sementaranya di bumi, dan seseorang yang dibimbing secara benar mengetahui bahwa pencarian individualnya untuk pengetahuan jenis kedua harus dibatasi untuk kebutuhan praktisnya dan disesuaikan dengan sifat-dasar dan kapasitasnya, sehingga ia dapat meletakkan pengetahuan dan dirinya di tempatnya yang tepat dalam hubungan dengan diri sejati dan dengan demikian mempertahankan kondisi adil. Karena alasan ini dan dengan maksud mencapai keadilan sebagai akhirnya, Islām membedakan pencarian dua jenis pengetahuan tersebut, dimana membuat perolehan pengetahuan tentang persyaratan yang pertama menjadi kewajiban bagi semua muslim (fard ’ayn), dan yang lain kewajiban hanya kepada beberapa muslim (fard kifāyah), dan kewajiban yang kemudian tentu saja dapat berpindah pada kategori yang sebelumnya dalam kasus mereka yang menganggap dirinya terikat tugas untuk mencarinya untuk perbaikan diri mereka sendiri. Pembagian dalam pencarian pengetahuan berdasarkan kewajiban dalam dua kategori itu sendiri merupakan prosedur bertindak adil pada pengetahuan dan manusia yang mencarinya, karena semua pengetahuan prasyarat dari pengetahuan jenis pertama itu baik bagi semua manusia, sedangkan tidak semua pengetahuan dalam jenis kedua itu baik untuknya; karena manusia yang mencari pengetahuan yang kemudian, yang akan membawa pengaruh penting dalam menentukan peran sekular dan posisinya sebagai warga negara, tidak serta merta menjadikannya manusia yang baik. Dalam peradaban Barat secara umum, karena konsep keadilannya berdasarkan fondasi sekular, menyertakan bahwa konsepsi pengetahuannya juga berdasarkan fondasi yang sama atau fondasi saling melengkapi yang menekankan manusia sebagai entitas fisik dan makhluk hewani rasional, yang pada perluasannya fondasi tersebut mengakui apa kita tunjuk sebagai pengetahuan jenis kedua sebagai satu-satunya ‘pengetahuan’ absah yang mungkin. Akibatnya, tujuan mencari pengetahuan dari tingkat dasar sampai atas, bagi peradaban Barat, adalah untuk menghasilkan pada diri pencari pengetahuan tersebut seorang warga negara yang baik. Namun, Islām berbeda dalam hal ini bahwa tujuan mencari pengetahuan adalah menghasilkan manusia yang baik. Kita mempertahankan bahwa lebih mendasar menghasilkan manusia yang baik, daripada menghasilkan warga negara yang baik, karena manusia yang baik 72 Prolegomena tanpa diragukan akan menjadi warga negara yang baik, tetapi warga negara yang baik, tidak serta merta menjadi manusia yang baik. Dalam suatu pengertian kita dapat mengatakan bahwa Islām juga mempertahankan bahwa tujuan pencarian pengetahuan adalah menghasilkan dalam diri pencari pengetahuan tersebut warga negara yang baik, hanya yang kami maksud dengan ‘warga negara’ adalah Warga Negara dari Kerajaan lain, sehingga bertindak sedemikian bahkan di sini dan kini sebagai manusia yang baik. Konsep ‘manusia yang baik’ dalam Islām tidak hanya mengonotasikan bahwa dia harus ‘baik’ dalam pengertian sosial umum yang dipahami, tetapi bahwa dia juga harus pertama kali baik pada dirinya sendiri, dan tidak menjadi tidak adil pada dirinya dalam cara yang sudah kita jelaskan,45 karena jika dia tidak adil pada dirinya sendiri bagaimana dia dapat sungguh-sungguh adil kepada orang lain? Jadi kita lihat bahwa pada konsep paling dasar dalam kehidupan — konsep pengetahuan — Islām bertentangan dengan peradaban Barat, bahwa bagi Islām (a) pengetahuan termasuk kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah yang benar (īmān); dan bahwa (b) tujuan mencari pengetahuan adalah menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri individu, dan bukan hanya pada manusia sebagai warga negara atau sebagai bagian integral dari masyarakat: hal tersebut merupakan nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai makhluk ruhani, yang ditekankan, daripada nilainya sebagai entitas fisik yang diukur dalam pengertian pragmatis atau utilitarian akan kegunaan untuk negara, masyarakat, dan dunia. Saya telah menggambarkan apa yang menyusun inti Agama Islām, dan dalam deskripsi ini telah dijelaskan secara ringkas tetapi mudah, singkat dan jelas, tentang konsep mendasar dīn dan kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah dalam Islām. Saya telah menyentuh pada pandangan-dunia Islāmi dan telah menekankan yang mendasar dari konsep Qur’āni tentang perjanjian manusia dengan Tuhan, lalu menunjukkan bagaimana perjanjian ini merupakan sifatdasar yang esensial; perjanjian tersebut merupakan titik awal dalam konsep Islāmi tentang agama, dan hal itu merupakan unsur dominan di semua konsep Islām yang lain yang terikat dengannya, seperti kebebasan, tanggung jawab, keadilan, pengetahuan, kebajikan, persaudaraan; perjanjian tersebut juga menunjuk pada peran dan karakter individu dan masyarakat dan identitas bersama dalam kerangka-kerja negara dan kehidupan kolektif. Saya juga telah menekankan dalam deskripsi ini peran individu dan, jiwa, dan perjalanannya kembali kepada Tuhan. Kini perlu bagi saya untuk menggambarkan dalam garis besar visi Islāmi tentang realitas, yang tidak lain merupakan inti metafisika Islām yang menentukan pandangan-dunianya. Islām memfokuskan visi (shuhūd) keagamaan dan metafisis tentang Realitas dan pandangan-dunia pada Being, dan membedakan antara Eksistensi (Wujūd) dan eksisten (mawjūd); antara kesatuan (wahdah) dan kemajemukan (kathrah); antara abadi (baqā’) dan fana (fanā’). Visi tentang Realitas ini berdasarkan atas pengetahuan wahyu melalui pengalaman keagamaan, dan menembus realitas objektif, metafisis, dan ontologis maupun realitas subjektif, intuitif, dan pengalaman psikologis dari realitas tersebut. Secara fenomenologis, Islām, dalam konfirmasi akan visinya tentang Realitas, mengafirmasi ‘being’ daripada ‘proses-menjadi’ atau ‘datang-menjadi-being’, karena objek visi tersebut itu jelas, tegak, permanen, dan tidak berubah. Konfirmasi dan afirmasi ini absolut karena muncul dari kepastian (yaqīn) pengetahuan wahyu; dan karena Objeknya jelas, kokoh, permanen dan tidak berubah, maka demikian juga Islām, bersama dengan jalan hidup dan metode praktek dan nilainya, merupakan sebuah refleksi absolut dari modus Objek tersebut. Jadi Islām sendiri itu seperti Objek tersebut yang menyerupai sifat-dasar ontologisnya seperti abadi dan tidak berubah – sebagai being; dan karenanya mengafirmasi dirinya sebagai lengkap dan sempurna sebagaimana dikonfirmasi Kata-Kata Tuhan dalam Qur’ān Suci,46 dan Islām menolak kemungkinan akan selalu 45 Konsep ‘manusia yang baik’ didefinisikan sebagai manusia dengan adab menurut definisi saya tentang adab yang dibuat dalam karya saya The Concept of Education in Islām, Kuala Lumpur, 1980. Lihat juga Pengenalan di buku ini. 46 Al-Mā’idah (5): 4. 73 Prolegomena butuh pelengkapan (completion) atau evolusi menuju kesempurnaan; dan konsep seperti pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan ketika diterapkan pada kehidupan sejarah dan nasib manusia memang, dalam Islām, secara mendasar pada sifat-dasar spiritual dan sejati dari manusia. Jika tidak demikian, maka hal itu tidak dapat sungguh-sungguh bermakna, bagi Islām, pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan sejati, karena hal itu hanya bermakna pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan hewani pada manusia; dan hal itu tidak akan menjadi evolusi sejati kecuali evolusi tersebut mewujudkan dalam dirinya sifat-dasar sejatinya sebagai makhluk ruhani. Perubahan, pengembangan, kemajuan, menurut sudut pandang Islāmi, menunjuk kembali kepada Islām sejati yang diucapkan dan dipraktekkan Nabi Suci, anggota Rumah Sucinya dan Sahabat-Sahabat mulia dan Pengikutnya, dan kepercayaan-kuat dan praktek muslim sejati setelah mereka, dan juga menunjuk pada diri dan berarti kembali pada sifat-dasar asli dan agamanya (Islām). Konsep tersebut menyentuh pada situasi yang diandaikan ketika muslim menemukan diri mereka sendiri tersesat dan asyik dalam keabaian akan Islām, bingung, dan tidak adil kepada diri mereka sendiri. Dalam situasi tersebut, usaha mereka sendiri untuk mengarahkan mereka kembali pada Jalan Lurus dan Benar dan kembali pada kondisi Islām sejati — usaha tersebut, yang menyertakan perubahan, adalah pengembangan; dan kembali seperti demikian, yang terkandung dalam pengembangan, adalah kemajuan. Jadi, bagi Islām, proses pergerakan menuju Islām sejati oleh muslim yang telah tersesat darinya adalah pengembangan; dan pengembangan demikian itu satu-satunya yang dapat sungguh-sungguh diistilahkan kemajuan. Kemajuan bukan ‘prosesmenjadi’ atau ‘datang-menjadi-being’, ataupun pergerakan menuju yang ‘datang-menjadi-being’ dan tidak pernah menjadi ‘being’ karena gagasan ‘sesuatu yang dituju’, atau ‘tujuan’ yang inheren dalam konsep ‘kemajuan’ hanya dapat mengandung makna sejati ketika menunjuk pada apa yang sudah jelas dan berdiri secara permanen atau sudah being. Karenanya apa yang sudah jelas dan berdiri, sudah dalam kondisi being, tidak dapat mengalami perubahan, maupun merupakan sesuatu terpengaruh pada terpeleset terus-menerus dari pegangan pencapaian, maupun secara terus-menerus mundur melampaui pencapaian. Istilah ‘kemajuan’ merefleksikan arah yang jelas yang diluruskan pada tujuan akhir untuk dicapai dalam hidup; jika arah yang dicapai masih samar, masih datang-menjadi-being, sebagaimana sebelumnya, dan tujuan yang diluruskan dengannya tidak final, maka bagaimana keterlibatan di dalamnya sungguh-sungguh bermakna kemajuan? Mereka yang meraba dalam gelap tidak dapat ditunjuk sebagai sedang maju, dan mereka yang mengatakan orang-orang semacam itu sedang maju telah bohong sepenuhnya terhadap makna sejati dan tujuan kemajuan, dan mereka telah berbohong pada diri mereka sendiri! Perumpamaannya adalah seperti seorang manusia yang menyalakan api; Setelah api itu menerangi sekelilingnya, Tuhan menghilangkan cahaya mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan yang sangat. Sehingga mereka tidak dapat melihat. Tuli, bisu, buta, Mereka tidak akan kembali (pada jalan itu) Atau (perumpamaan yang lain) Akan awan hujan yang lebat Dari langit: di dalamnya merupakan wilayah Kegelapan, guruh, dan kilat: 74 Prolegomena Mereka menekan jarinya dalam telinga mereka Untuk menjauhkan dari petir yang mengejutkan, Sementara itu mereka dalam teror kematian. Tetapi Tuhan selalu meliputi Orang-orang yang menolak Kepercayaan-kuat ! Hampir-hampir kilat itu menyambar Penglihatan mereka; setiap kali kilat itu (membantu) mereka, mereka berjalan di bawahnya, Dan bila gelap menimpa mereka, Mereka berhenti. Dan jikalau Tuhan menghendaki, niscaya Dia melenyapkan Fakultas pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Tuhan berkuasa atas segala sesuatu.47 Pandangan-dunia Islāmi jangan disalahpahami sebagai dualisme, karena meskipun ada dua unsur yang terlibat, namun yang satu abadi dan independen sedangkan yang lain tergantung padanya; yang satu absolut dan yang lain relatif; yang satu nyata dan yang lain perwujudan kenyataan tersebut. Jadi hanya ada Satu Realitas dan Kebenaran, dan semua nilai Islāmi menyentuh secara mendasar hanya kepada-Nya, sehingga bagi muslim, secara individual dan kolektif, semua usaha menuju perubahan dan pengembangan dan kemajuan dan kesempurnaan secara tanpa alternatif ditentukan pandangan-dunia yang memproyeksikan visi tentang Satu Realitas dan mengonfirmasi afirmasi akan Kebenaran yang sama. Dengan cara ini dalam prakteknya muslim telah mampu menghidupi kehidupan mereka sesuai kepercayaan-lemah itu tanpa mengalami perubahan apapun yang diperoleh dengan mengacaukan harmoni dalam Islām dan diri mereka sendiri; tanpa mengalah pada sentuhan waktu yang membinasakan, maupun pada tantangan dalam pergantian eksistensi duniawi. Manusia Islām memiliki Qur’ān Suci yang tidak berubah, tidak dalam proses berubah, dan tidak dapat diubah; Qur’ān adalah Kata-Kata Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk final dan lengkap kepada Nabi dan Utusan Terakhir Pilihan-Nya, Nabi Muhammad. Qur’ān Suci adalah petunjuk jelas yang dibawa bersamanya dimanapun, tidak hanya secara literal, tetapi lebih pada lidah, pikiran, dan hatinya, sehingga menjadi inti kekuatan utama yang menggerakkan bingkai manusianya. Saya telah katakan di awal, ketika menunjuk pada perenungan manusia akan dirinya, bagaimana setiap manusia itu seperti pulau yang terletak dalam isolasi lautan tak terduga yang dibungkus kegelapan, berkata bahwa kesepiannya begitu absolut sepenuhnya karena bahkan dia tidak mengetahui dirinya sendiri secara lengkap. Saya harus menambahkan bahwa kesepian yang penuh itu secara mendasar muncul dari ketidakmampuan untuk menjawab pertanyaan dalaman (inner) yang tak kenal zaman dan terus-menerus pada dirinya sendiri: “Siapa aku?” dan “Apa tujuan pokokku?” kita katakan bahwa pengalaman kesepian yang penuh tersebut, bagaimanapun, hanya menyerang pada hati manusia yang menolak Tuhan, atau meragukan-Nya, atau menanggalkan perjanjian jiwanya dengan Tuhan; karena hal itu, lalu, pengenalan dan afirmasi akan perjanjian yang sama yang membangun bagi manusia identitasnya dalam tatanan being dan Eksistensi. Manusia Islām — dia yang mengonfirmasi dan mengafirmasi perjanjian tersebut dalam dirinya — tidak pernah kesepian karena bahkan saat merenungkan dirinya dia mengetahui secara intuitif, melalui tindakan ‘ibādah termasuk pembacaan dan refleksi dan perenungan terus-menerus akan kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci, betapa dekatnya diri dengan Tuhan, Pencipta dan Rabbnya, yang dengan-Nya dia merenung dalam pengingatan (dhikr) dan dengan-Nya dia melakukan 47 Al-Baqarah (2): 17-20. 75 Prolegomena pembicaraan intim (munājāt). Manusia tersebut telah mengenal dirinya pada dirinya sendiri dan mengetahui tujuan pokoknya, dan dia aman di dalam dirinya sendiri dan bebas dari gema mengerikan dari kesepian absolut dan cengkraman yang mencekam dari ketakutan yang sunyi. Dalam afirmasi akan Being, Qur’ān Suci, sumber Islām dan proyektor pandangan-dunia Islāmi dan visi tentang Realitas dan Kebenaran yang Satu, merupakan ungkapan finalitas dan kesempurnaan ‘being’ seperti layaknya Islām merupakan afirmasi fenomenologis akan ‘being’; dan dia yang membawa Qur’ān Suci, pada manusia merepresentasikan finalitas dan kesempurnaan ‘being’ dalam manusia. Nabi Suci, padanya rahmat Tuhan dan kedamaian!, adalah penutup para Nabi,48 utusan Tuhan yang universal dan akhir kepada manusia, 49 yang memimpin dari gelap kepada terang;50 yang dirinya merupakan Lampu yang menyebarkan sinar;51 dia adalah Rahmat Tuhan kepada semua makhluk,52 dan kebaikan-Nya pada mereka yang percaya padanya dan apa yang dia bawa53 dan bahkan pada Orang-Orang Berbuku (ahli kitab, pen),54 yang mungkin masih belum percaya padanya. Dia adalah manusia yang diciptakan Tuhan dengan karakter agung sebagai standar manusia;55 dia adalah manusia dan contoh sempurna par excellence.56 Dia adalah manusia yang bahkan didoakan dan dihormati Tuhan dan malaikat sebagai yang terbaik dari manusia,57 dan semua mukmin sejati, dalam pemenuhan Perintah Tuhan, dan berusaha meniru malaikat-Nya, melakukan hal yang serupa, dan telah dan akan terus melakukan juga di dunia dan seterusnya sepanjang Tuhan menghendaki; dan di Akhirat Tuhan akan bersedia memberikan Tempat yang Terpuji padanya.58 Muhammad, Utusan Tuhan, adalah dia yang namanya ajaib akan pemenuhan (ramalan nubuwwah, pen.), karena hanya dia sendiri di antara seluruh manusia yang didoakan terus menerus di setiap zaman dan generasi setelahnya tanpa akhir, sehingga tercatat dalam catatan zaman dan generasi sebelumnya dia merupakan satu-satunya manusia yang didoakan sedemikian itu. Kita mendoakannya dengan tulus cinta dan hormat dan terima kasih karena telah memimpin kita keluar dari gelap menuju terang, dan dia dicintai di atas seluruh manusia termasuk diri kita sendiri. Cinta dan hormat kita padanya adalah seperti sesuatu dimana waktu dan memori tidak akan sanggup menghilangkan, karena dia ada dalam diri kita di setiap zaman dan generasi — tidak, dia lebih dekat dari kita sendiri,59 dan kita berusaha menyerupai kata-kata (qawl) dan tindakan (fi’l) dan konfirmasi diamnya (taqrīr) atas perbuatan yang diketahuinya, sehingga berhubungan dengan Qur’ān Suci dia merupakan pembimbing yang baik dan sempurna dan contoh dalam kehidupan. Dia adalah model sempurna bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan; dengan demikian remaja, umur-pertengahan, dan tua renta muslim tidak mengalami krisis identitas. Karena Nabi Suci, struktur eksternal atau pola dalam masyarakat muslim tidak terpisahkan jurang generasi sebagaimana yang lazim kita temukan dalam masyarakat Barat. Peradaban Barat secara terus menerus berubah dan ‘proses-menjadi’ tanpa pernah mencapai ‘being’, kecuali ‘being’nya sedang dan selalu ‘proses-menjadi’. Hal ini ada dan begitu dengan sebab fakta bahwa Barat tidak mengakui satu pun, Realitas mapan untuk memperbaiki visinya; tidak satu pun, Kitab yang absah yang dapat dikonfirmasi dan diafirmasi dalam 48 Al-Ahzāb (33): 40. Al-Talāq (65): 11. 50 Al-Ahzāb (33): 46; Al-Talāq (65): 11. 51 Al-Anbiyā’ (21): 107 52 Sabā (34): 28. 53 Āli ‘Imrān (3): 164; Al-Nisā’ (4): 170. 54 Al-Mā’idah (5): 21. 55 Al-Qalam (68) : 4. 56 Al-Ahzāb (33): 21. 57 Al-Ahzāb (33): 56. 58 Banī Isrā’īl (17): 79. 59 Al-Ahzāb (33): 6. 49 76 Prolegomena kehidupan; tidak seorangpun, Bimbingan manusia dimana kata-kata, perbuatan, tindakan, dan seluruh modus kehidupannya dapat dijadikan sebagai model untuk di teladani dalam kehidupan, tetapi masing-masing dan setiap individu harus menemukan untuk diri (laki-laki) mereka dan dirinya (perempuan) identitas, makna kehidupan, dan nasib masing-masing. Peradaban Barat mengafirmasi aspek kesementaraan (fanā’) dari realitas, dan nilainya menyentuh pada realitas sekular, material, dan fisik dari eksistensi. Dengan demikian masyarakat Barat dibagi oleh jurang pemisah antara tiga generasi: pemuda, usia-pertengahan (middle-aged), dan yang tua. Masingmasing generasi yang terpisah bergerak di dalam batasan usahanya sendiri dalam mencari makna bagi diri dan kehidupannya sendiri dalam pencarian yang tak lekang zaman untuk jawaban dari pertanyaan: “Siapa aku?” dan “Apa tujuanku?” Pemuda, yang ada pada tahap pengalaman akan perubahan dalam hidup, menganggap nilai yang diturunkan orang tua mereka, yang usiapertengahan, tidak lagi berguna ataupun relevan dengan jalan hidup mereka. Akibatnya, mereka tidak mengambil yang usia-pertengahan sebagai teladan untuk membimbing mereka dalam kehidupan, dan karenanya menuntut ‘kebebasan’ mereka untuk memilih tujuan mereka sendiri. Yang usia-pertengahan, menyadari bahwa nilai mereka juga, ketika dalam masa muda, tidak berhasil membimbing mereka dalam kehidupan, dan kini mereka mengetahui bahwa mereka sendiri tidak mampu menyediakan bimbingan yang diperlukan anak-anak mereka, sehingga menyerahkan ‘kebebasan’ yang dicari pemuda untuk memilih tujuannya dengan harapan bahwa pemuda masih dapat sukses saat di pihak lain mereka (usia-pertengahan, pen.) telah gagal. Kini pemuda, yang menuntut ‘kebebasan’ memilih tujuan mereka, juga mengetahui bahwa mereka membutuhkan bimbingan, yang sayangnya tidak tersedia, karena bahkan dari tengah-tengah mereka tidak ada yang mampu menjadi seorang pemimpin yang mampu menjalankan peran teladan sempurna yang contohnya dapat ditiru oleh yang lain. Situasi membingungkan ini menciptakan pada diri pemuda ketidakpastian dan lebih banyak keraguan tentang masa depan, dan mereka secara putus asa berani berharap bahwa ketika mereka mencapai usia-pertengahan mereka akan mampu untuk mencetak kembali dunia yang lebih dekat dengan hasrat hati mereka. Tetapi yang usia-pertengahan, yang memainkan peranan utama dalam mencetak dan melayani negara, masyarakat, dan dunia mereka, mengetahui dari pengalaman muda mereka bahwa nilai mereka yang terdahulu kini tidak lagi melayani sebuah tujuan dan telah kehilangan makna dalam kehidupan; dan karena pencarian identitas yang terdahulu telah gagal, sehingga kehidupan mereka kini tidak merefleksikan kepuasan akan pemenuhan dan hampa akan kebahagiaan. Jadi nilai yang kini mereka hargai itu, nilai yang kini menjadi ukuran sukses bagi mereka dalam pencarian makna kehidupan individual mereka, hanyalah sesuatu yang memromosikan pencapaian sekular dan materialistis yang bersinggungan dengan negara dan masyarakat; dan sehingga mereka berusaha dan dengan kejam bersaing di antara mereka untuk memperoleh tempat yang tinggi dalam tangga sosial atau kekayaan, kekuasaan, dan kemasyhuran dunia. Di tengah-tengah pergulatan demikian, mereka menyadari bahwa kapasitas mental dan kecerdasan mereka mulai melemah; kekuatan fisik dan vitalitas mulai memburuk, dan kegemparan dan penyesalan dan kesedihan mulai menguasai mereka ketika muncul dalam rangkaian pergantian di hadapan persepsi mental mereka akan penglihatan akan pengunduran diri dari kehidupan publik ke dalam kesepian masa tua. Akibatnya, mereka melihat pemuda dengan nostalgia dan meletakkan harapan yang tinggi bahwa pemuda masih mungkin mengangkat kerinduan akan teladan dan contoh sempurna yang ditunggu dalam kehidupan untuk ditiru semua masyarakat; dan perilaku terhadap pemuda ini merupakan inti dari penyembahan masa Muda, yang menjadi corak dominan dari peradaban Barat sejak masa kuno. Krisis identitas yang dialami usiapertengahan sedikit banyaknya sama dengan apa yang dialami pemuda, dengan pengecualian bahwa, bagi usia-pertengahan, ‘kebebasan’ memilih tujuan mereka semakin lama semakin 77 Prolegomena terbatas, karena waktu dengan kejam bergerak pada akhirnya seperti tragedi Yunani. Yang tua, dalam masyarakat seperti ini, hanya makhluk yang dilupakan masyarakat, sebab keberadaan mereka mengingatkan pemuda dan usia-pertengahan akan kondisi seperti apa mereka nantinya yang ingin mereka lupakan. Yang tua mengingatkan mereka akan kehilangan dan kematian; yang tua telah kehilangan kekuatan dan vitalitas fisik; mereka telah kehilangan keberhasilan; mereka telah kehilangan ingatan, kegunaan, dan fungsi mereka dalam masyarakat; mereka telah kehilangan teman dan keluarga — mereka telah kehilangan masa depan. Ketika masyarakat mendasarkan filsafat hidupnya pada fondasi sekular dan mendukung nilai materialistis untuk dihidupi, tidak terhindarkan menyertakan bahwa makna dan nilai dan kualitas kehidupan dari warga negara individual di dalamnya diinterpretasikan dan diukur dalam posisinya sebagai warga negara; jabatan, kegunaan, pekerjaan, dan kekuatan menghasilkannya dalam hubungan dengan negara. Ketika usia tua semua ini hilang, demikian juga identitasnya — yang kenyatannya dicetak oleh peran sekular diperankannya — kemudian hilang. Tiga generasi yang dalam hal ini menyusun masyarakat Barat adalah selamanya bertaut dalam pencarian identitas dan makna kehidupan; selamanya bergerak dalam lingkaran setan ketidakpencapaian; masing-masing generasi tidak puas dengan nilainya yang swa-berkembang (self-evolved) dari kehidupan; masingmasing generasi menemukan dirinya tidak-cocok (misfit). Dan kondisi ini, kita memertahankan, adalah apa yang kita maksud sebagai tidak adil (zulm). Kondisi ini lebih lanjut menjengkelkan karena ternyata dalam masyarakat Barat juga terdapat krisis identitas antar jenis kelamin, dalam hal ini yang terkait adalah perempuan, sebagai perempuan, dalam pencarian identitas yang terpisah bagi diri mereka sendiri. Masyarakat Islāmi tidak dikepung kondisi seperti itu. Individu di dalam generasi yang menyusunnya, apakah laki-laki atau perempuan, telah menemukan identitas dan menyadari tujuan utama mereka; yang terdahulu melalui pengenalan dan konfirmasi akan perjanjian tersebut, dan yang kemudian melalui afirmasi dan perwujudan perjanjian tersebut dengan ketundukan tulus kepada kehendak Tuhan dan kepatuhan kepada hukum-Nya sebagaimana ditetapkan sebagai Islām. Manusia yang telah membawa kepada kita Qur’ān Suci sebagaimana diwahyukan Tuhan kepadanya, yang telah dengan demikian membawa kepada kita Pengetahuan akan identitas dan tujuan kita, yang kehidupannya merupakan interpretasi Qur’ān Suci yang paling baik dan sempurna sehingga kehidupannya menjadi pusat teladan dan jiwa pembimbing sejati bagi kita, adalah Nabi Suci, semoga Tuhan memberkahinya dan memberinya kedamaian! Dengan pengajaran dan teladannya dia telah menunjukkan praktek Islām dan kebajikan Islāmi yang benar dan tepat kepada kita; dia merupakan model sempurna bagi manusia bukan hanya satu generasi, tetapi bagi semua generasi; bukan untuk suatu waktu, tetapi untuk sepanjang waktu. Tentu saja, kita katakan bahwa konsep ‘model yang sempurna’ hanya dapat memenuhi makna sejatinya jika dia yang dengan demikian digambarkan, seperti hanya Muhammad, mewujudkan di dalam dirinya sendiri semua nilai manusia dan spiritual permanen yang diperlukan sebagai petunjuk bagi manusia dalam kehidupan, yang keabsahannya sedemikian rupa sehingga melayani manusia bukan hanya untuk sejengkal kehidupan individualnya, tetapi untuk selama manusia hidup di dunia ini. Jadi setiap generasi muslim, yang meniru contohnya, melewati jalan hidup yang dipolakannya (Nabi Muhammad, penerj.) pada yang berikutnya sedemikian rupa sehingga tidak ada jurang pemisah ataupun krisis identitas yang muncul di antara mereka, melainkan masing-masing generasi terdahulu membimbing generasi setelahnya dengan mengonfirmasi dan mengafirmasi contohnya dalam kehidupan mereka. Masalah identitas dan tujuan manusia itu merupakan, menurut pemikiran saya, penyebab akar semua masalah lain yang mengepung masyarakat modern. Banyak tantangan yang telah muncul di tengah-tengah kebingungan manusia sepanjang zaman, tetapi mungkin tidak ada yang 78 Prolegomena lebih serius dan merusak manusia daripada tantangan yang kini diajukan peradaban Barat. Saya berusaha mempertahankan bahwa tantangan terbesar yang telah diam-diam muncul pada masa kita adalah tantangan pengetahuan, tentu, bukan terhadap kebodohan; tetapi pengetahuan sebagaimana dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; pengetahuan yang sifat-dasarnya telah menjadi problematis sebab telah kehilangan tujuan utamanya berkaitan dengan pemahaman yang tidak adil, dan dengan demikian telah membawa kekacauan dalam kehidupan manusia, bukannya kedamaian dan keadilan; pengetahuan yang nampak sejati tetapi merupakan penghasil kebingungan dan skeptisisme, yang telah mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat ‘saintifik’ dalam metodologi; pengetahuan yang telah, pada pertama kalinya dalam sejarah, membawa kekacauan pada Tiga Kerajaan Alam; binatang, tumbuhan, dan barang tambang. Bagi saya terlihat penting untuk menekankan bahwa pengetahuan itu tidak netral, dan memang dapat dimasukkan sifat-dasar dan isi yang menyamar sebagai pengetahuan. Namun pada kenyataannya, diterima secara keseluruhan, bukanlah pengetahuan sejati, tetapi interpretasi terhadapnya melalui prisma, sebagaimana adanya, pandangan-dunianya, visi intelektual dan persepsi psikologis dari peradaban yang kini memainkan peran kunci dalam perumusan dan penyebarannya. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dimasukkan karakter dan personalitas peradaban tersebut — pengetahuan yang ditampilkan dan dikandung sebagai pengetahuan dalam samaran itu begitu rumit dileburkan bersama dengan yang sejati sehingga orang lain mengambilnya secara tidak sadar in toto sebagai pengetahuan sejati secara per se. Apakah karakter dan personalitas, esensi dan jiwa peradaban Barat yang telah mengubah dirinya dan dunia, yang membawa semua penerima interpretasi pengetahuan tersebut kepada kondisi kacau yang memimpin pada tepi bencana? Dengan ‘peradaban Barat’ saya bermaksud peradaban yang telah berevolusi dari leburan historis akan kebudayaan, filsafat, nilai dan cita-cita dari Yunani Kuno dan Romawi; peleburan mereka dengan Yudaisme dan Kristianitas, dan pengembangan mereka lebih lanjut dan pembentukan oleh orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan Nordik. Dari Yunani kuno diturunkan unsur filosofis dan epistemologis dan fondasi pendidikan, etika, dan estetika; dari Romawi unsur hukum dan keahlian berpolitik dan pemerintahan; dari Yudaisme dan Kristianitas unsur kepercayaan-kuat keagamaan; dan dari orang-orang Latin, Jerman, Celtic, dan Nordik semangat independensi dan jiwa kebangsaan dan nilai tradisional mereka, dan pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan alam dan fisik dan teknologi dimana mereka, bersama dengan orang-orang Slavia, telah mendorong hingga kekuatan puncak. Islām juga telah membuat kontribuasi yang sangat penting pada peradaban Barat akan nuansa pengetahuan dan menanamkan jiwa rasional dan saintifik, tetapi pengetahuan dan jiwa rasional dan saintifik tersebut telah dituang kembali dan dicetak ulang untuk menyesuaikan wadah kebudayaan Barat sehingga mereka telah menjadi menyatu dan melebur dengan semua unsur lain yang membentuk karakter dan personalitas peradaban Barat. Namun fusi dan peleburan yang sedemikian berevolusi menghasilkan karakter dualisme dalam pandangan-dunia dan nilai peradaban dan kebudayaan Barat; sebuah dualisme yang tidak dapat dipecahkan menjadi kesatuan yang harmonis, karena hal itu dibentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaanlemah, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang bertentangan dan semuanya merefleksikan visi dualistik yang meliputi-semua (all-pervasive) akan realitas dan kebenaran yang terkunci dalam pertarungan yang putus asa. Dualisme terdapat pada semua aspek kehidupan dan filsafat Barat: yang spekulatif, sosial, politis, kebudayaan — sebagaimana hal tersebut meliputi ketidakberubahan (inexorableness) yang sepadan pada agama Barat. Barat merumuskan visinya akan kebenaran dan realitas tidak di atas pengetahuan dan kepercayaan-lemah agama wahyu, tetapi lebih pada tradisi kultural yang diperkuat dengan premis filosofis yang ketat berdasarkan spekulasi yang menyentuh secara mendasar pada 79 Prolegomena kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai entitas fisik dan hewan rasional, meletakkan perbekalan yang luar biasa hanya terhadap kapasitas intelektual manusia untuk membuka seluruh misteri lingkungan dan keterlibatannya dalam eksistensi, dan menyusun hasil spekulasi yang berdasarkan premis tersebut akan nilai etis dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya sesuai spekulasi tersebut. Tidak akan ada kepastian dalam spekulasi filosofis dalam pengertian kepastian keagamaan berdasarkan pengetahuan wahyu yang dipahami dan dialami dalam Islām;60 dan karenanya pengetahuan dan nilai yang memproyeksikan pandangan-dunia tersebut dan arah kehidupan peradaban tersebut itu di bawah penilaian ulang dan perubahan. Jiwa penelusuran dari kebudayaan dan peradaban Barat mula-mula dengan disenchanment terhadap agama sebagaimana peradaban tersebut memahaminya. Agama dalam pengertian yang digarisbesarkan di sini tidak pernah sungguh-sungguh mengakar dalam peradaban Barat berkaitan dengan sifat berlebihan dan cinta yang salah kepada dunia dan kehidupan sekular dan manusia dan keasyikan dengan tujuan sekular manusia. Jiwa penelusuran tersebut secara mendasar dibangkitkan dalam kondisi ragu dan tegangan dalaman (inner); tegangan dalaman tersebut merupakan hasil benturan unsur-unsur yang bertentangan dan nilai yang berlawanan dalam dualisme abadi, sementara keraguan memelihara kondisi tegangan dalaman tersebut. Kondisi tegangan dalaman ini pada gilirannya menghasilkan hasrat yang tak terpenuhi untuk mencari dan naik pada perjalanan abadi akan penemuan. Pencarian tersebut tak terpenuhi dan perjalanan menjadi abadi karena keraguan tidak pernah selesai, sehingga apa yang dicari tidak pernah sungguh-sungguh ditemukan, apa yang ditemukan tidak pernah sungguh-sungguh memuaskan tujuan sejatinya. Hal tersebut seperti pejalan haus yang pada pertama kalinya secara tulus mencari air pengetahuan, tetapi yang kemudian, mungkin menemukannya kurang menarik, mulai mengeraskan cangkirnya dengan garam keraguan sehingga rasa hausnya menjadi tidak terpuaskan meskipun dia minum secara berkelanjutan, dan dengan demikian meminum air tersebut tidak dapat menghilangkan hausnya, dia telah lupa tujuan asal dan sejatinya untuk apa air itu dicari. Kebenaran mendasar dari agama dipandang, dalam skema hal-hal, hanya sebagai teori, atau dibuangnya sebagai ilusi yang sia-sia. Nilai absolut ditolak dan nilai relatif diafirmasi; tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti. Akibat logis perilaku tersebut terhadap pengetahuan, yang menentukan dan ditentukan oleh pandangan-dunianya, adalah menolak Tuhan dan Akhirat dan mengafirmasi manusia dan dunianya. Manusia dituhankan dan Tuhan dimanusiakan, dan dunia menjadi keasyikan tunggal bagi manusia sehingga bahkan immortalitas dirinya sendiri terdiri dari kelanjutan spesies dan kebudayaannya di dunia ini. Apa yang disebut ‘perubahan’ dan ‘pengembangan’ dan ‘kemajuan’ dalam semua aspeknya sejauh dalam hal ini peradaban Barat merupakan hasil dari penelusuran yang tak terpuaskan dan perjalanan abadi yang muncul oleh keraguan dan tegangan dalaman. Konteks pada gagasan akan perubahan dan pengembangan dan kemajuan selalu dipahami sebagai duniawi-kini (this-wordly), menampilkan pandangan-dunia materialistis yang secara konsisten dapat diistilahkan sebagai jenis eksistensialisme humanistik. Jiwa kebudayaan Barat yang menggambarkan dirinya sebagai Promethean adalah seperti Camusian Sisyphus yang secara putus asa berharap bahwa semuanya baik. Saya katakan secara putus asa berharap bahwa semuanya baik sebab saya menduga faktanya 60 Lihat di atas, hlm. 75, referensi pada yaqīn (kepastian). Qur’ān Suci menyebutkan tiga derajat atau tingkatan kepastian pengetahuan: kepastian yang diturunkan dari penyimpulan, apakah deduktif atau induktif: ‘ilm al-yaqīn, (AlTakāthur (102): 5); kepastian yang diturunkan dari pandangan langsung: ‘ayn al-yaqīn (Al-Takāthur (102): 7); dan kepastian yang diturunkan dari pengalaman langsung haqq al-yaqīn (Al-Hāqqah (69): 51). Tingkatan pengetahuan yang pasti tersebut menyentuh pada kebenaran, apakah berwujud atau tersembunyi, empiris atau transendental; dan pengetahuan yang pasti dari apa yang tersembunyi memiliki kekuatan yang sama akan kepastian atas apa yang terlihat. Tingkatan kepastian tersebut juga menyentuh pada apa yang diterima organ atau kognisi spiritual, hati (al-qalb), dan menunjuk pada pengetahuan sebagai kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat (īmān). Lihat hlm. 65 di atas. 80 Prolegomena tidak semuanya baik, karena Saya percaya bahwa dia tidak pernah dapat sungguh-sungguh bahagia dalam kondisi tersebut. Pengejaran pengetahuan tersebut, seperti perjuangan mendorong Batu dari daratan ke atas Gunung dimana ketika sampai puncaknya batu tersebut ditakdirkan untuk berguling ke bawah lagi, menjadi jenis permainan serius, yang tak pernah berhenti, seolaholah untuk mengalihkan jiwa dari tragedi dan ketidakpencapaian. Maka, tak heran bahwa dalam kebudayaan Barat tragedi dipuji sebagai nilai mulia dalam drama eksistensi manusia! Menggantungkan hanya pada kekuatan intelek manusia untuk membimbing manusia menjalani kehidupan; ketaatan pada keabsahan visi dualistik tentang realitas dan kebenaran; afirmasi realitas akan aspek-sementara dari eksistensi yang memproyeksikan sebuah pandangandunia sekular; mendukung doktrin humanisme; peniruan realitas universal yang diduga keras akan drama dan tragedi dalam kehidupan manusia dalam wilayah spiritual, atau transendental, yang membuat drama dan tragedi sebagai unsur nyata dan dominan dalam sifat-dasar dan eksistensi manusia — unsur-unsur tersebut keseluruhan yang diterima sebagai sebuah keseluruhan merupakan, menurut pendapat saya, apa yang membentuk inti, jiwa, karakter, dan personalitas kebudayaan dan peradaban Barat. Unsur-unsur inilah yang menentukan kebudayaan dan peradaban tersebut akan cetakan konsep pengetahuan dan arah tujuannya, perumusan isi dan sistematisasi penyebarannya; sehingga pengetahuan tersebut yang kini secara sistematis disebarkan ke seluruh dunia tidak serta merta merupakan pengetahuan sejati, melainkan apa yang telah diilhami dengan karakter dan personalitas kebudayaan dan peradaban Barat, dan diisi dengan jiwanya dan dicocokkan dengan tujuannya. Maka, unsur-unsur inilah, yang harus diidentifikasi dan dipisahkan dan diisolasikan dari tubuh pengetahuan, sehingga pengetahuan tersebut dapat dibedakan dari apa yang diilhami dengan unsur-unsur tersebut, karena unsurunsur tersebut dan apa yang diilhami dengannya tidak merepresentasikan pengetahuan sedemikian, tetapi mereka hanya menentukan bentuk karakteristik dimana pengetahuan yang dipahami, dinilai, dan diinterpretasikan sesuai dengan tujuan yang diluruskan dengan pandangan-dunia peradaban Barat. Kemudian juga terlepas dari identifikasi dan pemisahan dan isolasi unsur-unsur tersebut dari tubuh pengetahuan, yang tidak diragukan juga mengubah bentuk konseptual dan nilai dan interpretasi beberapa isi dari pengetahuan sebagaimana yang kini ditampilkan,61 tujuan inti dan sistem penyebaran dan diseminasinya dalam institusi pembelajaran dan dalam wilayah pendidikan harus diubah sesuai dengannya. Hal tersebut dapat diargumentasikan bahwa apa yang disarankan adalah interpretasi yang lain atau interperetasi alternatif akan pengetahuan yang diilhami dengan bentuk konseptual dan nilai yang diluruskan dengan tujuan lain yang merefleksikan pandangan-dunia lain; dan dengan demikian, dan hal yang sama diterima, apa yang dirumuskan dan disebarkan sebagai pengetahuan mungkin tidak serta merta merefleksikan pengetahuan sejati. Akan tetapi hal ini, tinggal dilihat, karena pengujian pengetahuan sejati adalah dalam diri manusia sendiri, bahwa jika, melalui sebuah interpretasi alternatif atas pengetahuan kemudian manusia mengetahui dirinya dan tujuan utamanya,62 dan dengan mengetahuinya dia mencapai kebahagiaan,63 maka pengetahuan itu, kendati wujudnya diilhami dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik yang dipahami dan dinilai dan diinterpretasikan berdasarkan tujuan yang diluruskan pada pandangan-dunia tertentu, merupakan pengetahuan sejati; karena pengetahuan tersebut telah memenuhi tujuan manusia untuk mengetahui. 61 ‘Beberapa isi pengetahuan’ menunjuk di sini menyentuh secara utama pada sains kemanusiaan. Lihat di atas, hlm. 65-74; 81-84 63 Lihat di atas, hlm. 65. 62 81 Prolegomena II MAKNA DAN PENGALAMAN KEBAHAGIAAN DALAM ISLĀM Kebahagiaan menurut perspektif Islām diungkapkan dengan istilah sa’ādah, dan berhubungan dengan dua dimensi eksistensi; akhirat (ukhrawiyyah) dan dunia saat ini (dunyawiyyah). Lawan sa’ādah adalah shaqawāh, yang secara umum berarti ketidakberuntungan besar dan penderitaan. Dalam hal akhirat sa’ādah menunjuk pada kebahagiaan mendasar, yang merupakan kebahagiaan dan rahmat besar yang abadi, dimana wujud tertingginya adalah Melihat Tuhan, yang dijanjikan pada mereka yang di kehidupan dunia telah hidup dalam ketundukan sukarela, sadar, dan tahu akan kepatuhan kepada perintah dan larangan Tuhan. Kondisi ini, kita lihat bahwa hubungan sa’ādah dengan akhirat sangat dekat terhubung dengan dunia saat ini, yang terhubung dengan tiga hal: (1) diri (nafsiyyah), seperti yang menyentuh pengetahuan dan karakter yang baik; (2) pada tubuh (badaniyyah) seperti kesehatan yang baik dan keamanan; dan (3) pada hal-hal eksternal bagi diri dan tubuh (kharijiyyah) seperti kekayaan dan sebab lain yang meningkatkan kondisi yang baik dari diri, tubuh dan hal-hal eksternal dan lingkungan dalam hubungan dengan mereka.64 Oleh karena itu kebahagiaan di dunia saat ini bukan hanya menyentuh kehidupan sekular, karena juga memiliki hubungan dengan kehidupan sebagaimana diinterpretasikan dan dibimbing agama yang bersumberkan Wahyu. Pada hubungan kebahagiaan dengan diri sendiri, yang kita katakan menyentuh pada pengetahuan dan karakter yang baik, Islām mengajarkan bahwa tempat bersemayamnya pengetahuan pada manusia adalah sebuah substansi spiritual yang secara beragam ditunjuk Qur’ān sebagai hati (qalb), atau jiwa atau diri (nafs), atau intelek (‘aql), atau ruh (rūh). Karena diri secara intim terlibat dalam dua aspek tubuh dan jiwa, diri dideskripsikan di satu pihak sebagai jiwa hewani (al-nafs al-hayawāniyyah) dan di pihak lain sebagai jiwa rasional (alnafs al-nātiqah); dan tujuannya dalam pencapaian kebahagiaan di sini, dan kebahagiaan tertinggi di akhirat tergantung lebih banyak pada aspek mana diri memilih meletakkan dirinya. Kedua aspek tersebut memiliki kekuatan atau fakultas (quwā). Fakultas jiwa hewani ialah penggerak (motive) dan perseptif, dan fakultas jiwa rasional itu aktif dan kognitif. Sejauh hal tersebut berfungsi sebagai intelek aktif fakultas tersebut merupakan prinsip pergerakan atas tubuh manusia. Fakultas tersebut merupakan rasio praktis, dan mengarahkan tindakan individu dalam persetujuan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif. Dalam hubungan dengan daya penggerak dari jiwa hewani, yang bertanggungjawab untuk penggunaan keinginan sehingga hasrat atau keengganan muncul dalam tindakan, dimana fakultas tersebut menghasilkan emosi manusia. Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan fakultas representasif, estimatif, dan imajinatif fakultas tersebut mengatur objek fisik dan menghasilkan kemahiran manusia dan seni; dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi rasional tersebut fakultas tersebut memunculkan premis dan kesimpulan. Sejauh fakultas tersebut memerintah dan mengatur tubuh manusia fakultas tersebut mempengaruhi perilaku etis manusia yang melibatkan pengenalan akan sifat buruk dan kebajikan.65 64 Lihat al-Ghazāli, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Kairo, 1939, 4v., vol.3, hlm. 229. Sebagaimana untuk istilah sa’ādah dan lawannya shaqawāh, hal ini secara mendasar diturunkan dari Qur’ān, Hūd, (11): 105-108. Dengan menunjuk pada tiga hal yang mana kebahagiaan terhubung dalam dunia ini, lihat juga Nichomachean Ethics karya Aristoteles, tr. Sir David Ross, O.U.HLM. London, 1963, Ethics I.8.1098b5. 65 Lihat al-Ghazāli, Ma’ārij al-Quds fi Madārij Ma’rifat al-Nafs, Bayrut, 1978, pp 49-50; ibn Sina, Kitāb al-Shifā’, Kairo, 1975, hlm. 185; Kitāb al-Najāt, Bayrut, 1985, hlm. 202-203, Lihat selanjutnya bab IV di bawah. 82 Prolegomena Kebajikan (fadīlah) dapat diklasifikasikan di bawah sebuah judul umum akan kesempurnaan pikiran atau ketajaman dan karakter yang baik.66 Karakter merupakan kondisi yang stabil dari jiwa. Jika kondisi ini menyebabkan tindakan yang diperintahkan intelek dan agama maka hal itu disebut karakter yang baik. Karakter yang baik dapat dicapai dengan pembelajaran dan pembiasaan, dan dalam beberapa kasus hal tersebut datang secara alamiah sebagai pemberian Ilahi. Karakter dapat berubah dari buruk ke baik, dan sebaliknya dari baik ke buruk.67 Tujuan karakter yang baik ini adalah kebahagiaan, baik di dunia ini dan di akhirat. Dalam rangka menghasilkan kebajikan dan karakter yang baik maka jiwa hewani dan fakultas tubuh harus ditundukkan kepada fakultas praktis dari jiwa rasional, yang mengarahkan tindakan individual setelah pertimbangan yang mendalam sesuai dengan apa yang disepakati oleh fakultas teoritis. Untuk mencapai karakter yang baik intelek harus dilatih dalam pemikiran dan refleksi mendalam. Hanya ketika hal tersebut telah ditunaikan barulah dapat diwujudkan kebijaksanaan. Fakultas hasrat, ketika dilatih, akan mewujudkan kesederhanaan, dan keberanian untuk marah. Ketika hasrat dan kemarahan ditundukkan kepada intelek maka keadilan terwujudkan; dan titik pertengahannya (al-wasat) itu dicapai oleh dua fakultas tubuh tersebut setelah mereka telah dilatih dan didisiplinkan oleh fakultas praktis dari jiwa rasional yang membimbing pada pencapaian karakter yang baik. Pelatihan fakultas tubuh membutuhkan pilihan bebas.68 Berlawanan dengan penerjemahan yang tidak berubah oleh kebanyakan orang dari kata ikhtiyār sebagai ‘pilihan’, kita mempertahankan bahwa ikhtiyār tidak hanya bermakna ‘pilihan’. Kata khayr, yang bermakna ‘baik’, yang diikat dalam makna dengan ikhtiyār dan diturunkan dari akar yang sama, menentukan bahwa pilihan tersebut berarti menuju apa yang baik. Hal ini penting ketika diluruskan dengan pertanyaan filosofis tentang kebebasan. Oleh karena itu yang disebut ‘pilihan’ menuju apa yang buruk bukanlah pilihan. Karena kita mengafirmasi bahwa kebebasan itu adalah bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar kita yang benar dan sejati, hanya pertunjukan pilihan yang baik dapat dengan tepat disebut ‘pilihan bebas’. Pilihan untuk yang lebih baik adalah pertunjukan kebebasan. Pilihan tersebut mengandaikan pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan. Sebuah ‘pilihan’ untuk yang terburuk bukanlah pilihan, karena berdasarkan kebodohan dan dorongan jiwa yang menginginkan menuju aspek kesalahan dari kekuatan hewani. Kebajikan filosofis akan kesederhanaan, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan tidak cukup pada diri mereka sendiri untuk menghasilkan kebahagiaan yang dialami secara tetap dan tidak ditentukan oleh lingkungan eksternal dan perubahan. Kita setuju bahwa jika kebahagiaan dipahami hanya berhubungan dengan dimensi temporal, sekular dari kehidupan tanpa hubungan apapun dengan akhirat, hal itu merupakan kondisi yang mengalami perubahan dari pelbagai derajat dari waktu ke waktu; atau kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara sadar dari waktu ke waktu di dunia ini, dan hanya dapat dinilai ketika dicapai oleh seseorang yang kehidupannya, jika secara baik dihidupi dibantu oleh lingkungan yang mendukung, telah berakhir. Tapi kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya pada wilayah temporal, kehidupan sekular; karena kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan akhirat memiliki ketegasan yang penting dan intim atas hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan karena dalam kasus terdahulu kebahagiaan merupakan kondisi spiritual dan permanen, terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita alami dan sadari yang sekali dicapai bersifat permanen. Oleh karena itu, kita tidak sepakat dengan posisi Aristoteles bahwa kebajikan dan kebahagiaan berhubungan hanya dengan 66 Lihat karya al-Ghazāli Mizān al-‘Amal, Bayrut, hlm.59. Mizān, hlm.54, fol. 68 Ibid, hlm. 55-56. 67 83 Prolegomena dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam jalur kehidupan dunia kita tidak dapat dicapai. Menurut tradisi pemikiran Barat ada dua konsepsi kebahagiaan; yang kuno, yang kembali pada Aristoteles dan yang pada abad pertengahan kembali juga pada filsuf dan teolog muslim seperti Ibn Sinā dan al-Ghazāli; dan yang modern, yang secara bertahap muncul dalam sejarah Barat sebagai hasil dari proses sekularisasi. Proses filosofis dan saintifik ini yang saya sebut ‘sekularisasi’ melibatkan penghilangan makna spiritual dari dunia alamiah, desakralisasi politik dari urusan manusia, dan deconsecration nilai dari pikiran dan perilaku manusia, kedua yang terakhir disebutkan tersebut adalah akibat logis dari yang pertama, yang menurut pendapat saya menemukan pergerakan awalnya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat dalam fondasi filosofis yang dipimpin peletakannya oleh Aristoteles sendiri.69 Konsepsi modern tentang kebahagiaanlah yang diakui lazim kini di Barat, dan ini berarti bahwa bagi peradaban tersebut makna kebahagiaan, dan tentunya kebajikan yang memimpin padanya, telah mengalami perubahan, membawa dengannya bukan hanya dekadensi dan krisis moral, tetapi juga pertikaian dan konflik politik. Konsepsi yang kuno dan yang modern sepakat bahwa kebahagiaan itu akhir pada dirinya (end in itself), tetapi sementara yang terdahulu menganggap akhir tersebut dalam pengertian standar perilaku yang pantas, yang kemudian menganggap sebagai terminal kondisi psikologis yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral.70 Namun, pada kenyataannya, yang disebut konsepsi modern tentang kebahagiaan, terlepas dari kerumitan rumusan dan pengejarannya, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang pernah diketahui dan dipraktekkan pada masa kuno oleh masyarakat pagan. Meskipun kebajikan filosofis, yang nampaknya telah dipahami melalui pilihan manusia dan hanya dengan rasio, tidaklah memadai dalam dirinya sendiri untuk perwujudan kebahagiaan yang berlangsung terus dalam diri, penerimaan mereka dibenarkan ketika mereka tidak berselisih dengan agama; dan kegunaan mereka untuk pencapaian kebahagiaan diakui ketika beberapa rumusan ulang makna mereka telah diakibatkan dalam persetujuan dengan agama. Rumusan ulang ini diakibatkan penarikan mereka ke dalam cakupan kebajikan lain dari tatanan yang lebih tinggi yang tidak diketahui dalam tradisi filosofis Yunani, seperti kebajikan yang diturunkan dari Qur’ān dan dari kehidupan Nabi. Pengetahuan tentang Tuhan menurut Wahyu merupakan kebajikan keagamaan yang diturunkan dari kebijaksanaan; dan kebijaksanaan itu sendiri, apakah teoritis atau praktis, merupakan kebajikan keagamaan sebab merupakan pemberian Tuhan dan bukan perolehan rasio yang tidak dibantu. Kebajikan keagamaan diklasifikasikan menjadi dua jenis, yang eksternal (zāhir) dan yang internal (bātin). Yang eksternal menyentuh pada pemenuhan perintah ilahi seperti tindakan penyembahan yang diarahkan hanya kepada Tuhan; perbuatan yang diarahkan kepada sesama untuk kelanjutan kondisi-baik dari tatanan sosial dan politik; penampilan lima hal esensial dari agama Islām termasuk kemurnian ritual, pembacaan Qur’ān, pengingatan Tuhan, membaca doa; dan pemenuhan keperluan tradisi atau kebiasaan Islāmi seperti etiket terhadap makanan, pakaian, kebersihan personal, pernikahan, transaksi bisnis, hal-hal yang diizinkan dan dilarang, aturan bertetangga, pertemanan, perjalanan, peniruan model tindakan dan perkataan Nabi, dan kewajiban persaudaraan dalam Islām.71 69 Lihat karya saya Islām dan Secularism, Kuala Lumpur, 1978. Hal ini jelas direfleksikan, contoh, dalam tulisan pemikir besar Barat kontemporer, bernama Mortimer Adler dalam Reforming Education, Macmillah, N.Y. 1988, contohnya hlm. 81-89; 230-253; 254-274; dan Alasdair MacIntyre dalam After Virtue, University of Notre Dame Press, Indiana, 1984, contohnya hlm. 1-5; 181-203; 226-243; 244-255; 256-263. 71 Catatan menyeluruh dan rinci dari kebajikan keagamaan yang ditulis di sini dalam uraian dapat ditemukan dalam jilid empat dan buku al-Ghazāli Ihyā’ (op. cit, vol. 1-2). 70 84 Prolegomena Kebajikan internal menunjuk pada aktifitas hati; aktifitas yang didasarkan atas pengetahuan tentang Tuhan dan diri yang diturunkan baik dari rasio dan Wahyu, dan yang membutuhkan kecondongan positif dalam diri untuk mempengaruhi maksud (niyyah) baik yang diikuti tindakan (‘amal) dengan tujuan yang tulus (ikhlās) dan kejujuran pada diri sendiri (sidq). Pengetahuan akan diri memimpin pada pengetahuan kualitas baik dan buruknya, dan memberikan tugas pada diri sendiri untuk menjauhi yang buruk dengan maksud memurnikan jiwa dari ketidakmurnian.72 Tindakan pada bagian diri ini berarti bahwa jiwa rasional harus mengawasi jiwa hewani (murāqabah) untuk memastikan bahwa tugas yang diberikan pada diri sendiri dijalankan. Hal itu juga berarti swa-pengujian untuk melihat apakah pelaksanaan tugas tersebut telah ditunaikan dalam cara yang tepat, dan untuk menyelesaikan penyimpangan apapun dari apa yang tepat (muhāsabah). Pada pengetahuan tentang Tuhan hal itu berarti pengetahuan tentang siapa Dia, tentang sifat-dasar dan Keesaannya sebagaimana Dia menggambarkan diri-Nya dalam Wahyu, dan pengetahuan ini memimpin pada pemahaman hubungan yang tepat antara diri dan Tuhan. Dalam Wahyu tersebut Tuhan juga berbicara tentang ciptaan-Nya dan tentang diri manusia sebagai tanda yang menunjukkan realitas dan kebenaranNya;73 dan perenungan dan refleksi karya-Nya dan sifat-dasar manusia dan psikologi jiwa merupakan prasyarat untuk pencapaian pengetahuan tersebut. Semua ini melibatkan meditasi (tafakkur) dan membawa perwujudan yang bertahap dalam diri akan kebajikan lain dari tatanan yang lebih tinggi, seperti penyesalan (tawbah), sabar (sabr), terima kasih (shukr), harap (rajā), takut (khawf), keesaan ilahi (tawhīd), kepercayaan (tawakkul), dan akhirnya kebajikan tertinggi untuk pencapaian kebahagiaan di dunia, cinta Tuhan (mahabbah).74 Kebajikan eksternal dan internal sebenarnya tumpang tindih satu sama lain, dan kemungkinan aktifitas kebajikan yang terlibat hanya dengan salah satu tanpa dengan suatu cara terhubung dengan yang lain tidaklah dapat dipahami. Klasifikasi mereka ke dalam eksternal dan internal hanya untuk membedakan aktifitas bagian ke-dalam (inward) hati, yang mengkarakterisasi yang kemudian, dari aktifitas tubuh bagian ke-luar (outward); penekanan pada makna dalaman (inner) merupakan bukti yang kemudian, dari praktek atas apa yang nampak didemonstrasikan pada yang terdahulu. Beberapa mungkin mengunggulkan perwujudan kebajikan eksternal dan beberapa terhadap kebajikan internal; tetapi tidak mungkin bagi beberapa orang mewujudkan hanya kebajikan eksternal tanpa menegaskan pada kebajikan internal, maupun bagi beberapa orang hanya mewujudkan kebajikan internal tanpa menunaikan perwujudan kebajikan yang eksternal. Jadi, kedua kebajikan eksternal dan internal itu diperlukan untuk pencapaian kebahagiaan di alam kehidupan ini, dan kebahagiaan tertinggi di akhirat. Akhirnya, karena kebajikan yang diklasifikasikan sebagai filosofis telah dirumuskan ulang dan diserap ke dalam kerangka keagamaan yang di dalamnya terdapat interpretasi nasib manusia yang meluas pada horizon yang melampaui eksistensi temporal, dan karena kerangka-kerja keagamaan ini dibangun bukan hanya atas rasio tapi atas rasio sebagaimana diverifikasi Wahyu, maka semua kebajikan dalam Islām itu bersifat keagamaan. Dengan maksud memahami makna sa’ādah nampaknya perlu bagi saya pertama kali menghadirkan penjelasan singkat akan makna lawan katanya yang tepat yaitu, shaqawāh. Leksikon bahasa Arab pada waktu terdahulu dan kembali lagi pada penggunaan Qur’ān menggambarkan shaqawāh sebagai mengandung padanan terdekat dalam bahasa Inggris ‘great 72 Jiwa, menurut Qur’ān, diciptakan berkaitan dengan proporsi dan tatanan. Jiwa tahu apa yang benar baginya dan apa yang salah baginya. Keberhasilannya dicapai ketika jiwa dimurnikan, dan kegagalannya dipastikan ketika ia dikotori (91: 7-10). Pemurnian jiwa itu dicapai dengan kebajikan dan karakter yang baik seperti dirumuskan dan dikonseptualisasikan dengan ajaran Islām. 73 Fussilat (41): 53 74 Ihyā’, vol. 4. 85 Prolegomena misfortune’ (ketidakberuntungan yang besar), ‘misery’ (kesengsaraan), ‘straitness of circumstance’ (kondisi yang sukar), ‘distress’ (kekhawatiran), ‘disquietude’ (kecemasan), ‘despair’ (putus asa), ‘adversity’ (kemalangan), ‘suffering’ (penderitaan). Masing-masing kondisi tersebut secara jelas melibatkan aktifitas internal dan eksternal yang serius. Tentu saja shaqawāh merupakan istilah umum yang meliputi semua bentuk kesengsaraan, sehingga istilah lain mengungkapkan kondisi yang sama hanya lebih khusus dalam aplikasi kontekstual mereka yang hanya merupakan unsur penyusun shaqawāh. Hal tersebut termasuk, di antara yang lain contoh, khawf (takut, tak diketahui, kesendirian penuh dan tidak dapat dikomunikasikan, kematian dan apa yang ada di baliknya, ramalan ketakutan, angst); huzn (dukacita, penderitaan, kesedihan, jiwa yang kasar); dank (kesempitan, kekakuan, sengsara dalam jiwa dan intelek dalam memandang ketidakmampuan memahami sesuatu yang menyebabkan keraguan dalam hati); hasrat (dukacita yang dalam dan menyesali sesuatu yang telah hilang dan tidak akan dialami lagi, seperti — ketika menunjuk pada akhirat — melewati dukacita dan penyesalan yang tajam dari manusia yang berpaling dari Tuhan dan menghabiskan hidupnya dalam kesia-sian ketika dia menemukan setelah kematian bagaimana dia telah kehilangan jiwanya dan meratap dingin akan kemustahilan kembali ke kehidupan duniawi untuk membuat perubahan). Istilah-istilah tersebut digunakan secara khusus bagi mereka yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku pada kondisi dunia ini dan akhirat. Istilah lain yang mengungkapkan penderitaan satu jenis dan yang lain dan berlaku semuanya dalam kehidupan ini adalah, contoh, dīq (kesukaran, hati dan pikiran, mendesak); hamm (kegelisahan, kecemasan, menyedihkan dari hati dan pikiran berkaitan dengan ketakutan bencana yang akan datang atau kesakitan); ghamm (sama seperti hamm, hanya kesakitan yang ditakuti yang akan datang telah datang, sehingga menjadi sangat menderita; ‘usr (kondisi keras, sulit dan tidak menyenangkan). Nampaknya bagi saya intisari makna shaqawāh di atas sudah menjelaskan bahwa dalam pengertian umum istilah itu menunjuk pada apa yang dipahami di Barat sebagai tragedi — tragedi bukan hanya dalam pengertian dramatis sebagai bentuk seni, tetapi lebih dari itu dalam pengertian filosofis sebagai drama kehidupan yang ditetapkan dalam pengalaman dan kesadaran manusia ketika dia menolak agama dan berpaling dari Tuhan. Pernyataan ini membutuhkan elaborasi. Menurut Aristoteles dalam Poetics tragedi dalam pengertian dramatis merupakan sebuah imitasi artistik dari sebuah tindakan yang serius, lengkap dalam dirinya, dan cukup menarik, contoh, yang dijadikan dalam bahasa yang puitis, memiliki tujuan moral yang membawa karakter (ethos), dan pemahaman diskursif (dianoia) yang membuat sang karakter tragis menunjukkan kemampuan untuk mengatakan apa yang pantas dalam situasi yang diberikan. Drama Yunani protagonis harus memiliki tinggi rata-rata, mengalami penderitaan fisik juga mental, dijatuhkan oleh kesalahan putusan berkaitan dengan kekurangan penglihatan-mendalam (insight), kesalahan tragis (hamartia), dalam proses dramatis yang dihasilkan oleh beberapa kesempatan menggoda (kairos). Dia harus juga memiliki rasa bangga (hubris), pongah terhadap dewa yang melawan mereka. Faktor yang sambil lalu adalah takdir (amanke), yang mengejar sang karakter tragis tanpa belas kasihan dengan sebuah kepercayaan (ate), sebuah kutukan, yang bergiliran diwariskan sepanjang generasi. Kerangka-kerja peristiwa tersebut yang di atasnya drama tersebut dibentuk membentuk kesatuan yang terdiri dari awal, pertengahan, dan akhir; dan di dalam kesatuan peristiwa ini harus muncul proses pembalikan (peripeteia) seperti dari kebahagiaan kepada penderitaan, dari nasib baik kepada nasib buruk, dan penemuan (anagnorisis) seperti dari kebodohan kepada pengetahuan sesuatu yang mengerikan. Akibat dari tragedi adalah memunculkan kasihan dan ketakutan sedemikian rupa supaya mengakibatkan pemurnian jiwa mereka dan memberinya pembebasan (katharsis).75 75 Poetics, tr. Dengan komentar oleh S.H. Butcher, 1911, definisi tragedi dalam 1449B. 86 Prolegomena Menurut leksikon Yunani pembersihan yang dimaksud dengan katharsis adalah dari dosa dan rasa bersalah jiwa atau diri.76 Hal yang demikian, dan dari uraian di atas tentang sifat-dasar tragedi dalam drama Yunani, pemurnian dari takut dan belas kasihan yang muncul oleh tragedi dapat dipahami sebagai bermakna ketakutan dalam diri akan kesengsaraan yang akan datang yang dihasilkan oleh rasa bersalah berkaitan dengan dosa yang dilakukan di masa lalu. Kini tragedi bukan hanya sebuah bentuk seni, karena faktanya tragedi yang mewujudkan dirinya sendiri secara unik dalam tradisi intelektual, keagamaan, dan sekular dari pemikiran dan spiritualitas Barat di semua zaman dan membangun dirinya dalam mitologi secara ringkas dan jelas menunjukkan bahwa tragedi — setidaknya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat — merupakan fakta kehidupan, dan bentuk dramatisnya hanya sebuah refleksi dari apa yang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya. Hal tersebut demikian kendati dalam pengalaman dan kesadaran tersebut dibuat untuk selalu tinggal mengomeli kesalahan agama yang melekat pada dosa asal yang dilakukan oleh leluhur manusia, yang dengan kesalahan tragis dikalahkan godaan kesempatan yang didesak oleh musuh yang bertekad terhadap kejatuhannya dari keagungan. Akibat kejatuhannya sebuah kutukan turun-temurun yang menyertai penerusnya menyebabkan mereka merasakan kesalahan tersebut yang berlanjut mewabah pada hati dan pikiran mereka sepanjang zaman. Leluhur manusia pernah memiliki kehormatan tinggi yang kemudian dijatuhkan oleh kesalahan tragis. Pada awalnya dia dalam kehormatan yang tinggi dan bahagia di sebuah dunia yang berbeda. Kemudian setelah kejatuhan ini dia dibuang ke dunia ini; dan keturunannya kini menemukan diri mereka di tengah bagian kesatuan peristiwa yang sedang terbentang dalam proses pembalikan dan penemuan, dan memainkan bagian mereka dalam konflik dan kekerasan. Tetapi penemuan final belum juga datang dalam akhir yang menakutkan ketika setiap orang harus meninggalkan dunia ini dan kembali berhadap-hadapan dengan kebenaran. Obsesi dengan tragedi dan seni yang melukiskannya sedemikian rupa sebab bahkan agama telah dibuat sebagai tragedi penyaliban. Dunia telah menjadi panggung dimana manusia menyusun, menetapkan, dan memegang drama eksistensinya sendiri dengan maksud menyebabkan pemurnian dari ketakutan dan belas swa-kasih. Filsafat humanistik dan proses bertahap dari sekularisasi bersama-sama dengan kemunculan filsafat dan sains sekular, membuat tragedi, daripada agama, sebagai pengagungan akan manusia. Ketakutan harus dimurnikan bukan dengan kepercayaan-kuat kepada Tuhan, tetapi dengan pembuangan Tuhan dari alam ciptaan; rasa kasihan diri harus dimurnikan bukan dengan pengingatan akan Tuhan, tapi dengan kebanggaan akan humanitas dan penerimaan yang menantang akan keadaan sulit manusia. Faktor penyebab dalam tragedi tidak lagi Takdir Yunani yang kuno maupun Tuhan agama, tetapi konflik individu dan sosial, kebakaan biologis, psikologi ketidaksadaran, yang dikalahkan oleh frustasi, dimana manusia dihadang oleh misteri alam semesta dan pencarian abadi oleh manusia, dan absurditas kehidupan. Kebebasan keinginan menjadi kepercayaan-lemah yang kokoh sebab hal itu menolong dalam perjuangan abadi terhadap rintangan yang menghalangi mencapai tujuan. Tetapi tujuan itu sendiri selalu-bergeser. Dapatkah Sisifus bahagia secara abadi dengan harus mendorong batu ke bukit dimana saat di puncak batu itu ditakdirkan untuk menggelinding lagi ke bawah? Fitzgerald tidak sungguh-sungguh menerjemahkan makna yang dimaksudkan dari puisi Persia, meskipun itu adalah apa yang diklaim dilakukannya, ketika dia menulis: Wahai Engkau, Manusia yang telah dipinjamkan Bumi didst, Dan bahkan dengan Surga ditemui Ular; Untuk semua dosa dimana dengannya Wajah Manusia Dihitamkan – pemaafan Manusia diberikan – dan diambil! 76 A Greek-English Lexicon, comp. Oleh H.G. Liddell dan R.Scott, etc., Oxford, 1968, hlm. 851, kol. 1; dan F.E. Peter, Greek Philosophical Lexicon, New York, 1967, hlm. 98-99. 87 Prolegomena Dia hanya mengungkapkan jiwa menantang yang lazim yang mengamuk dalam pengalaman dan kesadaran manusia ketika dia menolak Tuhan dan berpaling dari petunjuk-Nya. Qur’ān menghubungkan bagaimana Ādam digoda Setan, tidak patuh kepada Tuhan, dan membiarkan dirinya digoda Setan. Namun, Ādam dan istrinya sadar akan kesalahan mereka dan tidak seperti Setan, mengakui dosa mereka, diisi dengan penyesalan mendalam pada ketidakadilan mereka pada diri mereka sendiri, dan meminta rahmat dan ampunan Tuhan. Mereka berdua dimaafkan, tetapi diturunkan bersama Setan ke dunia ini untuk menghidupi kehidupan percobaan dan kesengsaraan. Tuhan meyakinkan Ādam dan keturunannya bahwa petunjuk-Nya akan datang dan siapapun yang mengikuti petunjuk-Nya tidak akan tersesat maupun jatuh pada penderitaan; tetapi siapapun yang berpaling dari pengingatan akan Dia tentu akan menghidupi kehidupan yang merana diserang oleh keraguan dan tegangan dalaman yang dipertinggi dengan kebutaan pada kebenaran dan realitas keadaan sulit mereka.77 Aplikasi Qur’ān dalam makna shaqawāh dalam pelbagai bentuk konjugasi seperti shaqā,78 yashqā,79 tashqā,80 ashqā,81 al-ashqā,82 shaqiyy83, dan shiqwah84 terhubung, beberapa dengan akhirat, beberapa dengan dunia ini, dan beberapa pada keduanya. Semuanya menunjuk pada mereka yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya. Shiqwah, contoh, menunjuk pada mereka yang kehilangan jiwa mereka (khasirū anfusahum)85 di dunia ini karena terlalu kagum oleh kenikmatan dunia yang memimpin mereka pada kesesatan dan menjatuhkan mereka pada kesalahan. Mereka dapat merasakan dan berpikir bahwa mereka bahagia dengan apa yang mereka lakukan di dunia, tetapi penderitaan yang mendasari kondisi sejati mereka mungkin yang kini tidak diakui mereka sebab mereka telah kehilangan jiwa mereka tetapi hal tersebut akan disadari di akhirat adalah tidak terbantahkan: sebuah Hari yang Sukar (yawm al-hasrat, Keluh Kesah dan Sedu Sedan, menunggu mereka di sana.86 Tentu saja menurut Qur’ān semua manusia dalam kondisi merugi (khusr) kecuali yang memiliki kepercayaan-kuat yang benar (īmān) dan berbuat baik, memerintahkan satu sama lain pada Kebenaran dan kesabaran.87 Perbuatan yang baik ditunaikan dengan kebajikan, dengan īmān menjadi sumber kebahagiaan seseorang, dan karakter yang baik. Makna kebahagiaan di dunia ini dan kebahagiaan tertinggi di akhirat sangat dekat terikat dengan īmān, yang makna umumnya sebagaimana dipahami dan dialami oleh mereka yang memilikinya telah dinyatakan pada bab berikutnya.88 Akar amina mengandung makna menjadi aman, menjadi bebas dari takut. Kata benda bentuk dasar amina: amnu, bermakna keamanan, bebas dari takut. Ketakutan yang dimaksud di sini adalah ketakutan akan sesuatu yang tidak dikenali, dari kesendirian yang penuh, ketakutan akan masa depan — secara singkat hal itu merupakan ketakutan yang menunjuk pada tujuan final. Mereka yang memiliki īmān dan gigih berbuat baik menjaga diri mereka dari ketidakpatuhan pada Tuhan maka tidak terpengaruh oleh ketakutan semacam itu (khawf), yang merupakan lawan dari keamanan (amnu).89 Istilah 77 Al-A’rāf (7): 19-25; Tā hā (20): 117-124; Banī Isrā’īl (7): 72. Hūd (11): 106-107 79 Tā Hā (20): 2; 123. 80 Tā Hā (20): 117. 81 Al-Shams (91): 12. 82 Al-A’lā (87): 11; Al-Layl (92): 15 83 Hūd (11): 105; Maryam (19): 4; 32; 48. 84 Al-Mu’minūn (23): 107. 85 Al-An’ām (6): 12; 20; Al-A’rāf (7): 9; 53; Hūd (11): 21; Al-Mu’minūn (23): 103; Al-Zumar (39): 15; Al-Shūrā (42): 45. 86 Maryam (19): 39. 87 Al-‘Asr (103): 2. 88 Lihat di bawah, hlm. 112. 89 Al-Mā’idah (5): 69; Al-An’ām (6): 48; Al’A’rāf (7): 35; Yūnus (10): 62; Al-Ahqāf (46): 13. 78 88 Prolegomena ‘ketakutan’ berhubungan dengan dua kondisi psikologis. Ketika ketakutan menunjuk pada seseorang yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya maka bermakna ketakutan yang telah dijelaskan di atas; akan tetapi, ketika menunjuk pada seseorang yang tunduk pada Tuhan dan memegang erat petunjuk-Nya, ketakutan itu bermakna ketakutan yang takzim atau kagum atas keagungan-Nya, yang juga bermakna mengetahui-Nya. Karena seseorang yang takut pada Tuhan bermakna takut pada ketidakpatuhan, pada melakukan tindakan yang dilarang Tuhan, menjadi jahat, menjadi terhalang dari Tuhan dan tertolak untuk dekat pada-Nya. Ketakutan demikian, yang muncul dari pengetahuan akan Tuhan dan kebebasan absolut-Nya untuk melakukan apa yang Dia inginkan, dan akan tindakan manusia dalam pelanggaran dan ketakutan akan akibatnya, mendorong perwujudan kebajikan seperti kesederhanaan (‘iffah), keterpeliharaan (wara’), kesalehan (taqwā), dan kejujuran (sidq)90. Berdasarkan apa yang telah dan masih dibuktikan oleh “mereka yang memiliki kepercayaan-kuat (āmanū) dan hatinya dibuat tenang (tatma’innu) oleh pengingatan (dhikr) akan Tuhan, karena sungguh dalam pengingatan akan Tuhan hati menjadi tenang”,91 kepercayaan-kuat (īmān) dan pengingatan (dhikr) itu diperlukan dalam pencapaian kestabilan dan kedamaian hati yang tenang yang disebut tuma’nīnah. Kondisi ini menunjuk pada kondisi jiwa yang tenang (al-nafs al-mutma’innah) yang disebutkan sebelumnya.92 Tuma’nīnah menggambarkan kondini hati yang tenang dan tenteram, yang telah kita katakan merupakan sebagai aspek dari diri.93 Tuma’nīnah adalah kebebasan dari kekhawatiran yang dihasilkan dari keraguan, kebebasan dari kegelisahan; Tuma’nīnah adalah kedamaian dalaman (inner), kepuasan, kesenangan, kebahagiaan, yang datang ketika jiwa atau diri tunduk pada Tuhan. Tunduk pada Tuhan adalah apa yang dikenal sebagai kebebasan, karena kebebasan itu kembali pada sifat-dasar sejati seseorang yang diakui oleh jiwa manusia sebelum berwujud (pre-existent) ketika membuat perjanjiannya dengan Tuhan.94 Tunduk kepada Tuhan melibatkan pengingatan dalam hati akan kehadiran Tuhan, dan pengingatan bermakna ingat akan Tuhan, pengenalan dan pengakuan kekuasaan-Nya. Tunduk pada Tuhan merupakan perukunan kembali jiwa dengan Tuhan, yang memunculkan dalam jiwa kesadaran akan keselamatan, keamanan, kebebasan dari kegagalan dan kecurangan, kesadaran akan kedamaian yang disebut islām. Aktifitas jiwa atau diri tersebut menyiratkan kondisi yang mendahului akan kesadaran dalam jiwa akan kebenaran yang datang dari petunjuk. Kesadaran ini adalah kepastian (yaqīn) akan kebenaran. Yaqīn adalah lawan dari keraguan (shakk) dan dugaan (zann); Yaqīn adalah pemindahan keraguan dan dugaan dari hati dan verifikasi akan kebenaran pada masa lalu, kini, dan akan datang. Qur’ān menyebutkan tiga derajat kepastian pengetahuan: yang diturunkan dengan penyimpulan, apakah deduktif atau induktif (‘ilm al-yaqīn),95 yang diturunkan dengan observasi atau visi langsung (‘ayn al-yaqīn);96 dan yang diturunkan dari pengalaman langsung (haqq al-yaqīn).97 Derajat kepastian pengetahuan tersebut menyentuh pada kebenaran, apakah berwujud atau tersembunyi, empiris atau transendental; dan kepastian pengetahuan atas apa yang tersembunyi memiliki kekuatan kepastian yang sama sebagaimana apa yang terlihat. Derajat kepastian ini juga menyentuh pada hati dan menunjuk pada kepercayaan-kuat (īmān). 90 Ihyā’, vol. 4, hlm. 153. dengan ‘kesalehan’ kita bermaksud bimbingan secara hati-hati terhadap diri sendiri dari perbuatan dosa dan peninggalan akan tugas. Taqwā adalah takzim dalam kekaguman akan keagungan Tuhan; taqwā adalah tindakan yang hati-hati akan penjagaan dari ketidakpatuhan dengan perilaku yang benar berdasarkan kebajikan yang dihasilkan dalam keadilan, cth. sedang dalam tempatnya yang tepat akan diri dalam hubungan pada Tuhan sehingga kedamaian dicapai dalam jiwa. 91 Al-Ra’d (13): 28. 92 Lihat di atas, hlm. 60. 93 Lihat di bawah, hlm. 145-146. 94 Al-A’rāf (7): 172. 95 Al-Takāthur (102): 5. 96 Al-Takāthur (102): 7. 97 Al-Hāqqah (69): 51. 89 Prolegomena Kita katakan bahwa pengingatan akan Tuhanlah yang membawa kondisi jiwa yang tenang; dan aktifitas kebajikan ini dan yang lain menyiratkan kesadaran yang mendahului dalam jiwa akan kebenaran yang datang dari petunjuk Ilahi. Kesadaran ini muncul sebagai kepastian (yaqīn). Maka bagaimana dapat seseorang yang lupa kepada Tuhan menemukan kedamaian dalam hati dan pikiran dan jiwa yang tenang ketika pada kenyataannya kelupaan terhadap Tuhan melibatkan juga kelupaan pada jiwanya sendiri? Tidak dapat ada kesadaran kepastian akan kebenaran dalam jiwa ketika jiwa itu telah melupakan dirinya sendiri, yakni, ketika aspek rasionalnya telah ditindas aspek hewaninya sedemikian sehingga ia hanya sadar akan keterlibatannya dalam fakultas jasmaninya dan kenikmatan dan hiburan kehidupan duniawi, atau pengejaran filsafat dan sains sekular dan perenungan fakta yang diturunkan darinya, atau bahkan keduanya sekaligus. Inilah mengapa Qur’ān memperingatkan bahwa mereka yang lupa pada Tuhan akan dibuat melupakan jiwa atau diri mereka.98 Kelupaan pada diri di sini harus bermakna, di antara makna lain yang mungkin, ketidaksadaran jiwa rasional itu sendiri, dan hanya kesadaran dari jiwa hewani yang cenderung menuju kepuasan hasrat jasmani. Seseorang yang melupakan diri sendiri dalam cara ini adalah seseorang yang telah kehilangan jiwanya (q.v. khusr) dan kondisi mereka adalah “makhluk alas dari yang rendah”.99 Perasaan dan emosi yang terlibat dalam kesadaran dan mereka yang sadar akan Tuhan, memverifikasi kesadaran ini dengan pengingatan, pengalaman dalam perasaan dan emosi mereka akan kesadaran kebahagiaan yang padanya kehidupan mereka kokoh — maksud saya bahwa kehidupan mereka diamankan di atas sebuah lapisan-dasar kebahagiaan. Dalam kasus mereka pengalaman penderitaan kehidupan duniawi, yang pasti mereka alami dari waktu ke waktu seperti yang lain, tidak secara sadar dirasakan mereka sebagai kesengsaraan dalam pengertian tragis. Melainkan penderitaan dikenali oleh mereka sebagai ujian, pengujian kepercayaan-kuat mereka kepada Tuhan dan kebajikan akan perilaku dalam berhadapan dengan kesukaran dan bencana. Penderitaan tersebut tidak disebut shaqawāh; itu disebut balā’, dan cobaan ibtilā’ kendati penderitaan, kemudian, mereka tahu dan sadar akan kebenaran bahwa lapisan-dasar yang mereka hidupi adalah kesenangan dan kebahagiaan, yang pada kondisi itu, mereka selalu kembali. Qur’ān mewahyukan kebenaran ini dengan menyatakan dua kali untuk menekankan jaminan bahwa “bersama setiap kesukaran (‘usr) terdapat kemudahan (yusr)”.100 Tetapi bagi mereka yang berpaling dari Tuhan dan buta pada petunjuk-Nya, lapisan-dasar kehidupan yang mereka hidupi adalah penderitaan dan tragedi, dan sebanyak apapun perasaan, atau emosi, atau aktifitas yang mereka percaya sebagai kebahagiaan tidak akan membersihkan lapisan-dasar tersebut. Kondisi inilah yang kita percaya menjadi alasan bagi kebutuhan mereka akan pemurnian jiwa yang abadi selain dari mengingat Tuhan, seperti dengan pelbagai bentuk seni dan musik yang dibuat dengan pelaksanaan yang serius dan ningrat untuk membuat kondisi sulit mereka terasa nikmat pada citarasa estetis; dengan kerja tanpa istirahat dan perjuangan terhadap diri mereka sendiri, terhadap orang lain, terhadap dunia, terhadap alam — untuk mengalihkan dari tragedi akan ketidakpencapaian, dan untuk mencegah kembali pada lapisan-dasar kehidupan. Itulah mengapa filsuf mereka berbicara bunuh diri sebagai persoalan filosofis. Sayangnya ini juga mengapa dari waktu ke waktu muncul ledakan pesimistis akan kemarahan dalam bentuk kekerasan yang sedikit banyak seperti upacara pengorbanan sparagmos dari tragedi Yunani Kuno. Dan hal itu juga menjelaskan alasan keasyikan berkelanjutan dengan pencarian kebahagiaan yang dipandang sebagai sebuah akhir pada dirinya. Kebahagiaan (sa’ādah) sebagai lawan yang tepat dari penderitaan (shaqawāh) dan sebagaimana diketahui dalam pengalaman dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh 98 Al-Hasr (59): 19. Al-Tīn (95): 4; hlm. 146 di bawah; dan dari khusr, hlm. 103 di atas. 100 Al-Inshirāh (94): 5-6. 99 90 Prolegomena tunduk kepada Tuhan dan mengikuti-Nya bukanlah akhir pada dirinya sebab kebajikan tertinggi dalam kehidupan ini adalah cinta Tuhan. Kebahagiaan yang berlangsung terus dalam kehidupan menunjuk bukan pada entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia; maupun sebuah kondisi pikiran, atau perasaan yang mengalami kondisi terminal, maupun kenikmatan atau hiburan. kebahagiaan berhubungan dengan kepastian (yaqīn) kebenaran pokok dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan kepastian adalah kondisi permanen kesadaran yang alamiah pada apa yang permanen pada manusia dan dipahami organ kognisi spiritual yakni hati (qalb). Kepastian adalah kedamaian, keamanan, dan ketenangan hati (tuma’nīnah); kepastian adalah pengetahuan (ma’rifah) dan pengetahuan adalah kepercayaankuat yang benar (īmān). Kepastian adalah pengetahuan akan Tuhan sebagaimana Dia telah menggambarkan Diri-Nya dalam Wahyu sejati; kepastian juga mengetahui tempat seseorang yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan seseorang yang tepat dengan Pencipta ditemani oleh tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) dalam kesesuaian dengan pengetahuan tersebut sedemikian sehingga kondisi itu hasilnya adalah keadilan (‘adl). Hanya lewat pengetahuan seperti itulah cinta Tuhan dapat dicapai di kehidupan bumi. Dari ringkasan di depan tetapi komprehensif akan penjelasan makna dan pengalaman kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan kesimpulan bahwa kebahagiaan di kehidupan ini bukan akhir pada dirinya; bahwa akhir kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan dunia terdapat dua tingkatan kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah psikologis, sementara, dan kondisi terminal yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika keinginan dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan kebajikan. Tingkatan kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang disadari sebagai, menjadi lapisan dasar dari kehidupan duniawi yang diafirmasi sebagai percobaan, pengujian aktifitas perilaku dan aktifitas kebajikan oleh nasib baik atau buruk: cth. Tidak terpengaruh dengan kesalahan dengan nasib baik maupun dikalahkan dalam kesengsaraan dengan nasib buruk. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul secara bersamaan dengan yang pertama kecuali keinginan hilang dan kebutuhan dipuaskan. Tingkatan kedua kebahagiaan adalah persiapan untuk tingkatan ketiga di alam akhirat yang merupakan kondisi tertinggi adalah Melihat Tuhan. Tidak ada perubahan makna dan pengalaman kebahagiaan dalam kesadaran mukmin sejati sepanjang zaman. Kita telah mendiskusikan secara ringkas tetapi komprehensif dan secara langsung makna dan pengalaman kebahagiaan sebagaimana diketahui dalam kesadaran manusia ketika dia tunduk kepada Tuhan dan mengikuti petunjuk-Nya. Kebahagiaan, kita katakan, terhubung dengan kehidupan temporal dan sekular sebagaimana juga pada akhirat. Karena agama mendasar dalam hubungannya dengan manusia dan kondisinya yang baik, makna agama pertama kali dijelaskan diikuti dengan garis besar yang singkat tentang sifat-dasar manusia dan psikologi jiwa manusia yang diturunkan dari rasio dan Wahyu. Sebagai pembukaan pada penjelasan sifat-dasar kebahagiaan yang didefinisikan di sini dalam pengertian kondisi yang berlawanan, kita memertahankan bahwa aktifitas yang tepat pada manusia adalah tindakan kebajikan akan tubuh dan jiwanya berdasarkan dengan rasio yang dibantu oleh Wahyu. Aktifitas kebajikan yang didefinisikan di sini bukan hanya dalam pengertian kebajikan filosofis, tetapi dalam pengertian rumusan ulang mereka dalam cakupan konseptual kebajikan keagamaan yang digambarkan sebagai eksternal dan internal. Dalam mendefinisikan kebahagiaan dalam pengertian lawannya yang tepat, istilah lain yang berhubungan menggambarkan kebahagiaan dan penderitaan telah dibawa ke dalam fokus dan dijelaskan. Penjelasan tersebut dibuat semakin bermakna dengan membuat analisis komparatif terhadap corak penting tertentu dari konsep kebahagiaan Aristotelian dan Barat modern dengan konsepsi Islāmi tentang 91 Prolegomena kebahagiaan dengan maksud menunjukkan penyimpangan yang besar antara yang terdahulu dengan yang kemudian. Hal tersebut dipertahankan bahwa tiga tingkatan kebahagiaan yang dilihat dalam konsepsi Islāmi, dua dari mereka dalam kehidupan dunia dan satunya di akhirat. Dalam ringkasan ini penjelasan Qur’ān merupakan sumber tepat akan interpretasi kita tentang kebahagiaan, yang kita jaga dan dibuktikan adalah terbukti dalam pengalaman dan kesadaran kita berdasarkan pada pencapaian dalam pelbagai derajat, dalam kepercayaan-lemah dan praktek, di antara pelbagai kelas dari orang-orang. Hal itu juga mempertahankan bahwa dalam pengalaman dan kesadaran kita tidak ada perubahan sepanjang zaman dalam makna kebahagiaan dalam Islām. Definisi umum tentang kebahagiaan telah dibuat hingga pada akhirnya. Akhirnya, dapat dijadikan catatan bahwa referensi pada “mereka yang kembali pada Tuhan dan petunjuk-Nya” tidak serta merta bermakna menunjukkan hanya kepada mereka yang menyatakan menganut agama Islām, sama halnya dengan mereka mengaku mengikuti agama Islām tidak semuanya serta merta termasuk di antara yang kembali kepada Tuhan dan mengikuti petunjuk-Nya. 92 Prolegomena III ISLĀM DAN FILSAFAT SAINS Makna agama dalam Islām, seperti telah kita analisa dalam bab pertama, yang diungkapkan dengan istilah dīn, bukan hanya konsep, tetapi merupakan sesuatu yang diterjemahkan ke dalam realitas secara intim dan mendalam dihidupi pada pengalaman manusia. Sumber mendasar makna yang diturunkan darinya adalah wahyu Qur’ān akan perjanjian (almithāq) dimana jiwa manusia sebelum wujud telah membuatnya dengan Tuhan.101 Nama agama: Islām, kenyataannya adalah definisi agama: ketundukan kepada Tuhan. Sudah tersirat pada inti gagasan ketundukan, perasaan, kepercayaan, dan tindakan; tetapi unsur mendasar tindakan manusia tunduk kepada Tuhan adalah perasaan keberhutangannya kepada Tuhan untuk pemberian-Nya atas eksistensi, jadi rasa keberhutangan ini — yang melibatkan pengenalan dan pengakuan akan Tuhan sebagai pemberi eksistensi — adalah kondisi yang mendahului ketundukan sejati (islām).102 Tujuan pokok agama adalah agar manusia kembali pada kondisi dimana dia sebelumnya ada, dan ini melibatkan pencarian identitas dan tujuan transenden melalui perilaku yang benar. ‘Pengembalian’ ini ialah segalanya tentang kehidupan, dan melibatkan pengejaran pengetahuan sejati,103 pemahaman akan tanda dan simbol Tuhan dalam halaman buku alam semesta dengan sinar petunjuk kata-kata-Nya dan dinterpretasikan dalam diri yang suci dari utusan-Nya. Hal tersebut juga melibatkan penggunaan akal sehat pada pengalaman akan realitas, dan penggunaan pertimbangan sehat untuk penangkapan kebenaran.104 Agama (islām) dan kepercayaan-lemah (belief/īmān) tidaklah identik, tetapi keduanya saling tidak terpisahkan dan sangat dibutuhkan. Kepercayaan-lemah dalam pengertian yang kita maksudkan adalah memiliki kepercayaan-kuat, tidak seperti pengertian yang dipahami dalam bahasa Inggris, tetapi dalam pengertian bahwa hal itu termasuk menjadikan benar terhadap kepercayaan (trust) dimana Tuhan telah menceritakan rahasia-Nya pada seseorang, bukan dengan pengakuan kepercayaan-lemah dengan lidah, tanpa persetujuan hati dan tindakan tubuh dalam kesesuaian dengannya; dan hal ini lebih dari pengetahuan, yang mendahului kepercayaankuat, sehingga juga merupakan verifikasi dengan perbuatan berdasarkan apa yang diketahui sebagai kebenaran.105 Kepercayaan-kuat merupakan pengenalan dan pengakuan kebenaran yang meniscayakan aktualisasinya dalam diri seseorang. Pengenalan akan kebenaran dalam kasus ini hadir hanya karena jelas dalam dirinya sebagaimana ditangkap fakultas intuitif yang kita sebut hati, yakni, dengan petunjuk (hudā) dan bukan hanya dengan proposisi rasional dan demonstrasi logis. Kebenaran itu sekaligus objektif dan subjektif; dan yang objektif dan subjektif, seperti agama dan kepercayaan-lemah, adalah aspek-aspek tak terpisahkan dari satu realitas. Agama sejati bukanlah sesuatu yang dapat mati terhadap kebingungan yang muncul dari dikotomi 101 Lihat Al-A’rāf (7): 172. Dengan ‘ketundukan sejati’ (islām, huruf pertama dalam huruf kecil) kita maksud ketundukan sadar dan sukarela untuk keseluruhan kehidupan etis seseorang dengan cara yang ditampakkan dan ditunjukkan oleh Nabi dan nabi-nabi yang dikirim sebelumnya. 103 Dengan ‘pengetahuan sejati’ kita memahaminya bermakna pengetahuan yang mengenali batas kebenaran di setiap objeknya. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 134-135. 104 Pada makna agama atau dīn dalam Islām, lihat bab I di atas. 105 ‘Kebenaran’ di sini bermakna apa yang datang dengan wahyu kepada Nabi tentang sifat-dasar dan realitas akan Tuhan, tentang ciptaan-Nya, tentang tujuan manusia, tentang hubungan antara manusia dan Tuhan dan tanggung jawab dan kebebasan individu manusia. 102 93 Prolegomena objektif-subjektif dari tradisi filsafat Yunani; maupun agama sejati merupakan ‘agama humanitas’ yang personal, individual, privat, dan internal yang muncul dari proses pensekularan yang berusaha menghilangkan pelembagaan kepercayaan-lemah agama. Agama dalam pengertian yang kita maksudkan tidaklah dilawankan dengan desakralisasi alam jika hal itu berarti pengenyahan dari pemahaman kita akan konsepsi magis atau mistis tentang alam; karena alam tetap dapat dipandang sebagai perwujudan bentuk yang suci tanpa mitos atau sihir jika memahaminya sebagai perkembangan realitas ideal dalam kesadaran Ilahi yang akibatnya menjadi termanifestasi dalam alam indera dan pengalaman inderawi. Alam dalam dirinya sendiri bukan entitas ilahiyah, tetapi sebuah bentuk simbolis yang memanifestasikan yang Ilahi. Tentu saja, dalam pengertian yang telah kita bawa, semua alam, dan bukan hanya pohon atau batu, menyatakan kesucian kepada mereka yang melihat realitas di balik penampakan. Agama hanya dilawankan dengan desakralisasi jika hal itu berarti pemusnahan semua makna spirtual dalam pemahaman kita tentang alam, dan pembatasan cara mengetahui kita pada metode saintifik sebagaimana didukung filsafat sekular dan sains.106 Tuhan bukan mitos, citra, simbol, yang terus berubah seiring waktu. Dia merupakan Realitas itu sendiri. Kepercayaan-lemah memiliki isi kognitif; dan salah satu titik utama perbedaan antara agama sejati dan filsafat sekular dan sains adalah cara dimana sumber dan metode pengetahuan dipahami. Filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan mengatur hasil dari sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi tersebut pada gilirannya menentukan arah yang akan diambil sains dalam studinya tentang alam. Interpretasi inilah tentang pernyataan dan kesimpulan umum sains dan arah sains sejauh yang ditawarkan oleh interpretasi tersebut yang harus diletakkan pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka tawarkan pada kita hari ini problem paling mendalam yang telah dihadapkan pada kita secara umum dalam urusan agama dan sejarah intelektual kita. Evaluasi kita harus termasuk pengujian kritis akan metode sains modern; konsep, presuposisi, dan simbolnya; aspek empiris dan rasionalnya, dan yang menyangkut nilai dan etika; interpretasinya tentang asal-usul; teori pengetahuannya; presuposisinya tentang eksistensi dunia eksternal, tentang keseragaman alam, dan rasionalitas proses alamiah; teori tentang alam semesta; klasifikasi tentang sains; batasannya dan saling-hubung satu sama lain dari sains, dan hubungan sosialnya. Sebuah inti sari asumsi dasar mereka ialah bahwa sains itu satu-satunya pengetahuan otentik; bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh fenomena; bahwa pengetahuan ini, termasuk pernyataan dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas untuk zaman tertentu dan dapat berubah pada zaman lain; bahwa pernyataan saintifik harus mengakui hanya apa yang telah di observasi dan dibuktikan oleh saintis; bahwa apa yang seharusnya diterima hanyalah teori yang dapat direduksi kepada unsur inderawi, bahkan meskipun teori tersebut mungkin melibatkan gagasan yang menyentuh wilayah yang melampaui lingkungan empiris dari pengalaman; bahwa universalitas seharusnya tidak dilekatkan dengan rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang didefinisikan dengan universalitas digambarkan sebagai realitas yang melampaui apa yang di observasi; bahwa isi pengetahuan itu adalah kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme; bahwa tiga aspek kognisi tersebut bersama-sama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa pengertian merupakan suatu yang subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan antara struktur logis pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logikalah yang diafirmasi; bahwa teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang struktur dan proses alam, dan bahwa pada kenyataannya merupakan sebuah teori logika; sehingga karena 106 Lihat lebih jauh karya saya Islām dan Secularism, (op. cit.) bab I dan II. 94 Prolegomena logika harus ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan struktur dan proses alam merupakan yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan merupakan bagian dari kepercayaan-lemah (cth. kepercayaan-lemah dalam pengertian penerimaan intelektual sebagai benar atau nyata terhadap pernyataan atau proposisi apapun) yang tergantung pada hubungan kepercayaan-lemah dengan fakta; bahwa fakta itu netral sejauh kebenaran dan kepalsuan yang dipedulikan — mereka hanya ada. Sains kontemporer telah berevolusi dan berkembang dari sebuah filsafat yang sejak periode awalnya mengafirmasi kedatangan menjadi being dari hal-hal satu sama lain. Segala maujud merupakan sebuah kemajuan, pengembangan atau evolusi dari apa yang terbentang dalam kondisi laten dalam materi abadi. Dunia yang terlihat dari perspektif ini merupakan semesta independen dan abadi; sebuah sistem swa-berada yang berkembang berdasarkan hukumnya sendiri. Penolakan realitas dan eksistensi Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini. Metodenya secara utama adalah rasionalisme filosofis, yang cenderung bergantung sendiri pada rasio tanpa bantuan persepsi atau pengalaman inderawi; rasionalisme sekular, yang sementara menerima rasio cenderung menyandarkan diri lebih pada pengalaman inderawi, dan menolak otoritas dan intuisi dan menolak Wahyu dan agama sebagai sumber pengetahuan sejati; dan empirisme filosofis atau empirisme logis yang mendasarkan semua pengetahuan pada fakta yang terobservasi, konstruksi logis, dan analisa linguistik. Visi realitas tersebut sebagaimana terlihat menurut perspektif baik bentuk rasionalisme dan empirisme itu berdasarkan atas pembatasan realitas dunia alamiah yang dianggap sebagai satu-satunya tingkatan realitas. Pembatasan demikian akibat reduksi kekuatan operasional dan kapasitas fakultas kognitif dan inderawi pada lingkungan realitas fisik. Dalam sistem ini pengetahuan itu absah hanya jika menyentuh tatanan alamiah dari peristiwa dan hubungannya; dan tujuan penelusuran tersebut adalah menggambarkan dan menyistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna totalitas objek dan peristiwa dalam ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan dalam pengertian datar secara naturalistik dan rasional yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, yang mereduksi asal dan realitasnya hanya pada kekuatan alamiah. Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan berarti mereka menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi mereka mereduksi otoritas dan intuisi kepada rasio dan pengalaman. Benarlah bahwa dalam contoh awal dalam kasus baik otoritas dan intuisi, selalu terdapat seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi hal tersebut tidak serta merta bahwa karena ini, otoritas dan intuisi harus direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui bahwa terdapat tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan kesadaran manusia normal yang batasannya dikenali, tidak ada alasan menduga bahwa tidak ada tingkatan pengalaman dan kesadaran manusia yang lebih tinggi yang melampaui batas rasio dan pengalaman normal dimana terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang batasnya hanya diketahui Tuhan. Pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog telah mereduksi intuisi kepada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan bangunan emosional yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi hal ini merupakan dugaan pada bagian mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian tersebut datang dari pengalaman inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka terhadap fakultas intuitif seperti hati, yang tersirat dalam pendirian mereka dalam memandang intuisi, juga merupakan dugaan. Karena manusialah yang merasa dan memahami dunia objek-objek dan peristiwa yang eksternal baginya, maka studi akan alam termasuklah diri manusia sendiri. Tetapi studi akan 95 Prolegomena manusia, akan pikiran, dan diri juga dibatasi dengan metode sains baru seperti psikologi, biologi, dan antropologi, yang memandang manusia hanya sebagai pengembangan lebih lanjut dari spesies hewan, dan yang tidak lain dari perluasan metodologis akan pembatasan rasio dan pengalaman pada tingkatan realitas fisik. Lebih lanjut, untuk menguji hipotesa dan teori sains, menurut mereka, dibutuhkan korespondensi dengan fakta yang terobservasi, dan namun karena hipotesis dan teori yang berlawanan satu sama lain dapat berkorespondensi dengan fakta yang terobservasi, dan karena preferensi bagi seseorang terhadap yang lain dari mereka tidak didikte kriteria apapun dari kebenaran objektif — sebab kebenaran itu sendiri dibuat untuk menyesuaikan dengan fakta — maka preferensi tersebut didikte hanya oleh pertimbangan subjektif dan abitrer tergantung konvensi. Ketergantungan atas konvensi ini telah menciptakan kecenderungan untuk membuat masyarakat, daripada manusia individu, sebagai sesuatu yang mendasar, sejati, dan otoritatif. Konvensionalisme mereduksi semua bentuk institusional sebagai ciptaan oleh yang disebut ‘pikiran kolektif’ dari masyarakat. Pengetahuan itu sendiri, dan bahkan bahasa manusia, tidak lain dari ungkapan dan alat pikiran kolektif dewa yang tidak dapat berbicara ini yang disebut Masyarakat. Akhirnya, keraguan diangkat sebagai sebuah metode epistemologis yang dengannya rasionalis dan sekularis percaya bahwa kebenaran dapat hadir. Tetapi tidak ada bukti bahwa keraguanlah dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang membuat seseorang tiba pada kebenaran. kehadiran pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil petunjuk, bukan keraguan. Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa condong pada salah satunya; keraguan adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan tanpa hati cenderung menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan tidak menuju yang lain sementara masih belum menolak yang lain, hal tersebut merupakan dugaan; jika hati menolak yang lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan hati terhadap yang lain merupakan sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada kebenaran, tetapi pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuannya. Hal ini merupakan petunjuk. Keraguan, apakah itu pasti atau sementara, mengarah kepada dugaan atau pada posisi lain akan ketidakpastian, tidak pernah pada kebenaran – “dan dugaan tidak berfaedah terhadap kebenaran” (Qur’ān 10: 36). Berdasarkan atas posisi yang dibangun oleh tradisi filosofis dan saintifik sebagaimana terintegrasi ke dalam sistem metafisika yang koheren, kita memertahankan bahwa banyak kesamaan penting yang ditemukan antara posisi kita dan filsafat modern dan sains kontemporer dalam memandang sumber dan metode pengetahuan; kesatuan cara mengetahui yang rasional dan empiris; kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif sebuah filsafat sains; filsafat dan sains akan proses. Tetapi kesamaan tersebut hanya nampak dan menyentuh aspek ektsernal, dan tidak menegasikan perbedaan mendalam yang muncul dari pandangan-dunia dan kepercayaan-lemah kita yang berlainan tentang sifat-dasar mendasar Realitas. Afirmasi kita terhadap Wahyu sebagai sumber pengetahuan akan realitas pokok dan kebenaran menyentuh baik pada hal-hal ciptaan maupun kepada Pencipta mereka yang menyediakan kita fondasi karangka-metafisis untuk mengelaborasi filsafat sains kita sebagai sistem integratif yang mendeskripsikan realitas dan kebenaran dalam cara yang tidak terbuka pada metode rasionalisme filsafat sekular dan empirisme filosofis filsafat dan sains modern. Bertentangan dengan filsafat modern dan sains dalam memandang sumber dan metode pengetahuan, kita mempertahankan bahwa pengetahuan itu datang dari Tuhan dan diperoleh dari saluran akan berita yang benar berdasarkan otoritas, rasio sehat, dan intuisi. Makna yang mendasari ungkapan ‘rasio sehat’ (sound senses) menunjuk pada persepsi dan observasi, dan hal tersebut tersusun dari panca indera internal dari peraba, penciuman, pengecap, penglihatan dan 96 Prolegomena pendengaran yang menampilkan fungsi persepsi dari hal-hal partikular dalam dunia eksternal. Berhubungan dengan hal tersebut terdapat lima panca indera internal yang menerima secara internal akan citra inderawi dan makna mereka, mengombinasi atau memisahkan mereka, memahami gagasan mereka, menjaga pemahaman yang telah dipahami, dan menampilkan inteleksi (intellection) terhadap mereka. Panca indera internal tersebut adalah indera umum, representasi, estimasi, retensi dan rekoleksi, dan imajinasi. Dalam tindakan memersepsi, penerima menerima bentuk objek eksternal, cth. sebuah representasi realitas ektsernal, dan bukan realitas itu sendiri. Apa yang diterima indera bukanlah realitas eksternal seperti yang ada pada dirinya sendiri, tetapi yang serupa dengannya sebagaimana direpresentasikan dalam indera. Realitas eksternal merupakan sumber dimana indera mengabstraksi bentuknya. Sama halnya dalam hal makna dan pengertian merupakan representasi realitas yang tercetak pada jiwa, sebab intelek sudah mengabstraksi mereka dari tambahan aksidental yang asing pada sifat-dasar mereka, seperti kuantitas, kualitas, ruang dan posisi. Perbedaan antara bentuk dan makna dari objek inderawi adalah bahwa bentuk merupakan apa yang diterima pertama kali oleh indera eksternal, dan kemudian oleh indera internal; makna adalah apa yang indera internal terima dari objek inderawi tanpa sebelumnya diterima oleh indera eksternal. Dalam hal ‘rasio sehat’ (sound reason), kita memahami rasio tidak hanya dalam pengertian yang dibatasi kepada unsur inderawi; pada fakultas mental yang menyistematisasi dan menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan logis, atau yang membuat pengertian dan mampu diatur bagi pemahaman akan data pengalaman inderawi, atau yang menampilkan abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan mengatur mereka dalam sebuah operasi pemberian-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam dapat terpahami. Tentu saja, pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih lanjut bahwa hal tersebut merupakan salah satu aspek intelek dan berfungsi dalam kesesuaian dengannya, bukan berlawanan dengannya; dan intelek merupakan substansi spiritual yang inheren dalam organ spiritual dari kognisi yang kita sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini dan lewat perantara intelek kita telah menghubungkan rasio dengan intuisi. Dengan cara yang sama bahwa kita tidak membatasi rasio kepada unsur sensasi, kita juga tidak membatasi intuisi kepada pengertian langsung dan segera, oleh subjek yang mengetahui, terhadap dirinya, terhadap kondisi sadarnya, terhadap orang lain seperti dirinya sendiri, terhadap dunia eksternal, terhadap alam semesta, terhadap nilai atau kebenaran rasional. Kita memahami intuisi juga sebuah pengertian langsung dan segera terhadap kebenaran keagamaan, terhadap realitas dan eksistensi Tuhan, terhadap realitas eksistensi sebagaimana dilawankan dengan esensi — tentu saja, pada tingkatan intusi yang lebih tinggi merupakan intuisi akan eksistensi itu sendiri. Dengan referensi pada intuisi di tingkatan kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak begitu saja datang kepada setiap orang, tetapi kepada seseorang yang telah menghidupi kehidupan dalam pengalaman kebenaran keagamaan dengan praktek ketaatan yang tulus kepada Tuhan, yang telah dengan pencapaian intelektual memahami sifat-dasar keesaan Tuhan dan apa yang tersirat dari keesaan tersebut dalam sebuah sistem metafisika yang integratif, yang telah secara berkelanjutan merenungkan sifat-dasar realitas ini, dan dia yang kemudian, melalui perenungan mendalam dan dengan kehendak Tuhan, dibuat melewati kesadaran dirinya dan kondisi subjektifnya dan memasuki kondisi kedirian yang lebih tinggi dan berada dalam Tuhan. Ketika dia kembali kepada kondisi subjektif kemanusiaannya, dia kehilangan apa yang telah ditemukan, tetapi pengetahuan tentang itu tetap bersamanya. Hal tersebut ada dalam durasi keberadaan dalam Tuhan, dimana ketika dia memperoleh kedirian yang lebih tinggi, berlangsunglah pengertian langsung dan segera itu. Dia telah diberikan pandangan sekilas sifat-dasar realitas dalam durasi tersebut yang 97 Prolegomena bersamaan dengan Kebenaran. Dalam kasusnya isi kognitif dari intuisinya akan eksistensi mengungkapkan kepadanya sistem integratif akan realitas sebagai sebuah keseluruhan. Dalam memandang intuisi, dan pada tingkatan normal kesadaran manusia, tingkatan yang lebih tinggi yang dicapai orang-orang besar dari sains dan para pembelajar, pada saat penemuan yang menentukan akan hukum dan prinsip yang mengatur dunia alam, merupakan tingkatan yang sepadan dengan latihan, disiplin, dan pengembangan kekuatan mereka akan penalaran dan kapasitas eksperensial, dan dengan problem khusus yang menghadang mereka ketika rasio dan pengalaman mereka tidak mampu memberikan makna yang koheren. Tibanya pada makna tersebut adalah melalui intuisi, karena intuisilah yang menyintesis apa yang masingmasing rasio dan pengalaman lihat secara terpisah tanpa mampu mengombinasikannya ke dalam keseluruhan yang koheren. Intuisi datang kepada seorang manusia ketika dia telah siap untuk itu; ketika rasio dan pengalamannya dilatih dan didisiplinkan untuk menerima dan menginterpretasikannya. Tetapi sementara tingkatan intuisi yang padanya metode empiris dan rasional mungkin hanya menunjuk pada aspek khusus sifat-dasar realitas, dan bukan keseluruhan darinya, dimana tingkatan intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi dari kesadaran manusia yang dicapai nabi-nabi dan orang-orang suci memperoleh pandangan-mendalam langsung ke dalam sifat-dasar realitas sebagai sebuah keseluruhan. Nabi dan orang suci juga membutuhkan persiapan untuk menerima dan mampu menginterpretasikannya; dan persiapan mereka tidak hanya terdiri dari latihan, disiplin, dan pengembangan kemampuan menalar dan kapasitas pengalaman inderawi, tetapi juga latihan, disiplin, dan pengembangan diri dalaman (inner) mereka dan fakultas-fakultas diri yang berhubungan dengan pengertian akan kebenaran-realitas (truth-reality). Pada berita yang benar sebagai saluran yang melaluinya pengetahuan itu diperoleh, terdapat dua jenis: yang dalam rangkaian dan berkelanjutan dibangun oleh ucapan orang-orang yang rasionya tidak dapat menerima bahwa mereka memiliki tujuan bersama dalam kebohongan; dan apa yang dibawa oleh Utusan Tuhan. Otoritas yang diinvestasikan dengan kesepakatan umum dalam jenis pertama dari berita yang benar, yang termasuk di dalamnya para sarjana, saintis, dan orang-orang akan pengetahuan secara umum, dapat dipertanyakan dengan metode rasio dan pengalaman. Tetapi otoritas jenis kedua akan berita yang benar, yang juga diafirmasi oleh penerimaan umum, adalah absolut. Otoritas itu berpijak secara mendasar atas pengalaman intuitif, yang dengannya kita memaksudkan baik dalam tatanan indera dan realitas inderawi, dan dalam tatanan realitas transendental, seperti intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi. Bertentangan dengan posisi sains modern dan filsafat dalam memandang sumber dan metode pengetahuan, kita mempertahankan bahwa sama halnya terdapat tingkatan akan rasio dan pengalaman, begitu juga tingkatan otoritas dan intuisi. Terlepas dari otoritas orang-orang sains dan pembelajar secara umum, tingkatan tertinggi otoritas dalam pandangan kita adalah Qur’ān Suci dan Tradisi termasuk diri yang suci akan Nabi Suci. Mereka menampilkan otoritas tidak hanya dalam pengertian bahwa mereka mengomunikasikan kebenaran, tetapi dalam pengertian mereka menyusun kebenaran. Mereka menampilkan otoritas yang dibangun di atas tingkatan yang lebih tinggi dari kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang tidak dapat secara sederhana direduksi kepada tingkatan rasio dan pengalaman normal. Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’ dimana istilah ‘rasional’ ditandai oleh istilah nātiq, yang menunjuk kepada fakultas bawaan pengetahuan yang menangkap makna universal dan merumuskan makna. Perumusan makna ini, yang melibatkan putusan, diskriminasi, dan klarifikasi, adalah apa yang menyusun rasionalitasnya. Istilah ‘rasional’ (nātiq) dan ‘memiliki kekuatan merumuskan makna’ (dhū nutq) diturunkan dari akar sama yang mengandung makna dasar ‘kemampuan berbicara’, dalam pengertian ucapan manusia, sehingga keduanya menandakan kekuatan dan kapasitas tertentu yang merupakan bawaan pada manusia 98 Prolegomena untuk mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbolis dalam pola yang bermakna. Dari akar yang sama (nutq) juga diturunkan nama sains diskursus yang diketahui sebagai al-mantiq (cth. logika), yang dibangun untuk konstruksi argumentasi, rumusan akan metode bantahan, penemuan kesalahan, teori klasifikasi dan definisi, gagasan dasar akan silogisme, konsepsi akan bukti dan demonstrasi, garis besar dari sebuah metode intelektual dalam pengejaran kebenaran. Manusia adalah, sebagaimana disebutkan, ‘hewan yang berbahasa’ atau ‘hewan yang berbicara’ (al-hayawān al-nātiq); dan artikulasi simbol linguistik menjadi pola bermakna tidak lain dari ungkapan bagian ke-luar (outward), terlihat, dan terdengar dari realitas bagian ke-dalam (inward) dan tidak terlihat yang kita sebut intelek (al-’aql). Istilah ‘aql sendiri secara dasar menandakan jenis ‘ikatan’ atau ‘pegangan’, jadi dalam hal ini ‘aql menandakan entitas aktif dan sadar yang mengikat dan memegang objek pengetahuan dengan kata-kata atau bentuk simbolis; dan ‘aql menunjukkan realitas yang sama yang ditunjuk oleh istilah ‘hati’ (qalb), ‘ruh’ (rūh), dan ‘diri’ (nafs). Entitas atau realitas aktif dan sadar ini memiliki banyak nama sebagaimana yang diidentifikasi oleh empat istilah di atas karena memiliki banyak modus dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan eksistensi. Maka, intelek adalah substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenali kebenaran dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. Intelek merupakan realitas yang mendasari definisi manusia, dan ditunjukkan oleh setiap orang ketika dia berkata “Aku”. Dalam mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’, dimana kita memaksudkan dengan rasional sebagai kapasitas kecerdasan untuk menangkap makna universal, kekuatan ungkapan linguistik, kekuatan yang bertanggungjawab untuk perumusan makna — yang melibatkan tindakan putusan, diskriminasi, pemilahan dan klarifikasi, dan artikulasi bentuk simbol dalam pola yang bermakna — makna akan ‘makna’ (ma’nā) adalah pengenalan akan tempat segala hal dalam sistem. Pengenalan muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem tersebut menjadi jelas dan dipahami. Hubungan tersebut menggambarkan tatanan tertentu dalam pengertian prioritas dan posterioritas maupun dalam pengertian ruang dan posisi. Makna merupakan sebuah bentuk intelijibel (intelligible) yang padanya sebuah kata, sebuah ungkapan, atau simbol digunakan untuk menunjuknya. Ketika kata, ungkapan, atau simbol tersebut menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) makna disebut pemahaman (mafhūm). Sebagai sebuah bentuk intelijibel yang dibentuk dalam jawaban terhadap pertanyaan “apakah itu?” makna disebut ‘esensi’ (māhiyyah). Dipertimbangkan sebagai sesuatu yang berada di luar pikiran, atau secara objektif, makna disebut ‘realitas’ (haqīqah). Dilihat sebagai realitas khusus yang berbeda dari yang lain, makna disebut ‘individualitas’ atau ‘eksistensi individual’ (huwiyyah). Dengan demikian apa yang menyusun makna, atau definisi dari makna, adalah pengenalan tempat segala hal dalam sistem, yang muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami.107 Kita katakan bahwa hubungan tersebut menggambarkan tatanan tertentu. Jika segala hal dalam sistem apapun terdapat dalam tempat yang sama, maka tidak akan ada pengenalan, tidak akan ada makna karena tidak ada kriteria relasional bagi putusan, diskriminasi, pembedaan, dan kejelasan. Tentu saja, tidak akan ada sistem. Karena untuk memungkinkan pengenalan harus ada perbedaan spesifik dalam hal-hal, harus ada hubungan esensial antar hal-hal dan, lebih lanjut, hal tersebut harus tetap sedemikian; karena jika perbedaan dan hubungan tersebut tidak tetap tetapi dalam kondisi perubahan terus-menerus secara spesifik dan esensial, maka pengenalan terhadap hal-hal akan menjadi mustahil dan makna akan hilang. Dengan demikian dalam hal ini kita lihat bahwa hubungan intrinsik antara makna dan pengetahuan telah menjadi jelas, bahwa pengetahuan terdiri dari unit-unit makna yang secara koheren terhubung dengan unit lain yang serupa sehingga membentuk gagasan, ide, konsep, 107 Lihat karya saya The Concept of Education in Islām, (op.cit); hlm. 15. 99 Prolegomena konsepsi, dan putusan. Pemikiran (al-fikr) adalah pergerakan jiwa menuju makna, dan hal ini membutuhkan imajinasi (al-khayāl). Intuisi, yakni, baik dalam pengertian kebijaksanaan (al-hads), atau dalam pengertian pengalaman iluminatif (al-wijdān), adalah tibanya jiwa pada makna, atau tibanya makna pada jiwa, baik dengan penerimaan melalui bukti seperti dalam kasus sebelumnya, atau datang dengan sendirinya seperti dalam kasus yang kemudian. Definisi manusia sebagai hewan rasional merupakan sebuah definisi yang meletakkan sebuah batas yang tepat dan singkat (hadd) yang menspesifikasi karakter yang terpilah dari apa yang didefinisikan sebagai manusia. Jenis definisi yang sama tidak dapat diperoleh untuk pengetahuan sebab pengetahuan secara alamiah menentang jenis pembatasan yang mendefinisikan kategori-kategori di dalam pembagian genus dan perbedaan spesifik. Pengetahuan merupakan sesuatu yang tak terbatas dan definisinya hanya dapat menyentuh deskripsi sifat-dasarnya (rasm). Kita sudah mendefinisikannya sedemikian rupa sebagai terdiri dari unit-unit makna yang secara koheren terhubung pada unit lain yang serupa yang membentuk ide, konsep, konsepsi, dan putusan. Karena kita telah mendefinisikan makna sebagai pengenalan akan tempat segala hal dalam sistem, kita kini menambahkan bahwa dengan ‘tempat’ kita menunjuk kepada ‘tempat yang tepat’ dalam pelbagai tingkatan eksistensi manusia. Eksistensi manusia dapat dipertimbangkan memiliki perbedaan tingkatan yang berhubungan dengan pelbagai lingkungan operasi dari indera eksternal dan internal. Hal tersebut merupakan eksistensi sejati (haqīqī), yang merupakan eksistensi pada tingkatan realitas objektif seperti dunia eksternal; eksistensi inderawi (hissi), yang terkurung pada fakultas indera dan pengalaman inderawi termasuk mimpi, visi, ilusi; eksistensi imajiner (khayāli), yang merupakan eksistensi objek-objek eksistensi inderawi dalam imajinasi ketika mereka absen dari persepsi manusia; eksistensi intelektual (‘aqlī), yang terdiri dari konsep abstrak dalam pikiran manusia; eksistensi analogis (shibhī), yang disusun oleh hal-hal yang tidak ada dalam tingkatan manapun seperti di atas, tetapi yang ada sebagai sesuatu yang lain menyerupai hal tersebut pada sisi tertentu, atau analogis dengan mereka. Tingkatan ini dapat juga dipertimbangkan berhubungan dengan lingkungan operasi dari fakultas diskursif dan kogitatif (fikri) dari jiwa. Pada setiap tingkatan tersebut persepsi manusia akan objek persepsinya tidaklah sama. Dalam tambahan pada tingkatan tersebut kita mengafirmasi eksistensi tingkatan lain daripada kebenaran rasional; sebuah tingkatan eksistensi suprarasional atau transendental yang dialami oleh para nabi dan wali Tuhan dan orang-orang berpandangan tajam yang secara mendalam berakar dalam pengetahuan. Level yang terakhir ini merupakan tingkatan eksistensi suci, dimana hal-hal ditangkap sebagaimana adanya. Maka, konsep ‘tempat yang tepat’, menyentuh pada semua tingkatan dari eksistensi manusia tersebut, yang meliputi wilayah ontologis, kosmologis, dan psikologis, dan termasuk manusia sendiri dan dunia hal-hal empiris sebagaimana juga aspek keagamaan dan etis dari eksistensi manusia. Tempat yang ‘tepat’ berarti tempat ‘sejati’ dan ‘benar’ sebagaimana ditunjuk istilah haqq. Haqq menandakan baik realitas dan kebenaran. Sebagai realitas haqq itu menunjuk sebuah kondisi ontologis; sebagai kebenaran hal itu menunjuk pada kondisi logis; dan haqq menunjuk sebuah putusan atau hukm yang menyesuaikan dengan realitas atau situasi sesungguhnya. Salah satu perbedaan mendasar antara posisi kita dan filsafat dan sains modern menyangkut pada problem perumusan filsafat sains seputar pemahaman makna realitas dan kebenaran dan hubungannya dengan fakta. Pemahaman terhadap apa yang ditunjuk istilah tersebut memiliki ketegasan mendalam pada pemahaman makna pengetahuan dan proses metodologis dan nilai, dan secara mendasar pada pemahaman sifat-dasar manusia itu sendiri. Kita menggunakan satu kata untuk memaksudkan secara umum baik realitas dan kebenaran, dan fakta ini pada dirinya merupakan sesuatu yang penting dalam mengandung 100 Prolegomena pemahaman kita akan makna kebenaran bukan hanya sebagai bagian dari pernyataan, kepercayaan-lemah dan putusan, tetapi juga sebagai sebuah bagian dari sifat-dasar realitas. Kata haqq digunakan baik untuk realitas dan kebenaran. Lawannya adalah bātil, bermakna non-realitas atau kepalsuan. Haqq bermakna kecocokan terhadap kebutuhan akan kebijaksanaan, keadilan, kebetulan (rightness), kebenaran, realitas, kesopanan. Haqq merupakan sebuah kondisi, kualitas atau bagian dari menjadi bijaksana, adil, betul, benar, sejati, tepat; haqq merupakan kondisi niscaya, tidak terhindarkan, wajib, hak; haqq merupakan kondisi eksistensi dan meliputi segala hal. Terdapat kata lain, sidq, yang bermakna kebenaran, yang lawannya adalah kidhb yang bermakna tidak benar atau dusta, yang ditujukan hanya tentang kebenaran yang menyentuh pernyataan atau ucapan kata-kata; sedangkan kata haqq tidak hanya menunjuk pada pernyataan, tetapi juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan-lemah, putusan, dan hal-hal dan peristiwa dalam eksistensi. Hal-hal dan peristiwa tersebut yang ditunjuk haqq menyentuh tidak hanya kondisi mereka yang sekarang, tetapi juga pada masa lalu mereka maupun kondisi masa depan. Menyentuh pada kondisi masa depan haqq bermakna verifikasi, realisasi, aktualisasi. Tentu saja, makna haqq yang dipahami meliputi realitas dan kebenaran yang menyentuh kondisi eksistensi adalah berkaitan dengan fakta bahwa haqq adalah salah satu dari nama-nama Tuhan yang menggambarkan diri-Nya sebagai eksistensi absolut yang merupakan realitas eksistensi dan bukan konsep eksistensi. Bagi kebanyakan orang, sifat-dasar eksistensi dan hubungannya untuk memisahkan realitas yang beragam namun serupa yang kita sebut ‘hal’ adalah eksistensi yang merupakan konsep umum, konsep abstrak yang umum bagi semua eksistensi, yakni, bagi setiap hal dan pada apapun tanpa kecuali. Pikiran, ketika memandang realitas eksternal yang kita sebut ‘hal’, dapat mengabstraksikan mereka pertama kali dari eksistensi dan kemudian memberi predikat eksistensi pada mereka. Oleh karena itu pikiran menghubungkan pada suatu hal yang dipertimbangkan sebagai bagian dari eksistensi. Maka eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang ditambahkan, aksidental, dan berada dalam hal-hal. Dalam proses mental ini, konsep yang tunggal, umum, abstrak menjadi majemuk dan secara rasional dibagi menjadi bagian-bagian yang berhubungan dengan hal-hal. Eksistensi hal-hal merupakan bagian-bagian tersebut, dan bagian-bagian tersebut, bersama dengan konsep umum dan abstrak dari eksistensi, merupakan sesuatu yang eksternal bagi ‘esensi’ hal-hal dan hanya secara mental ditambahkan kepada mereka. Menurut perspektif ini, eksistensi merupakan sesuatu yang murni konseptual, sedangkan esensi adalah sesuatu yang nyata; esensi-esensi merupakan realitas yang diaktualisasikan secara ekstramental. Tetapi kita katakan lebih lanjut dalam tambahan pada konsep eksistensi tersebut bahwa terdapat entitas lain yang merupakan realitas akan eksistensi, yang dengannya eksistensi sebagai konsep murni menjadi bagian yang alamiah dalam pikiran sebagai salah satu akibatnya. Eksistensi sebagai realitas, tidak seperti bagian konseptualnya, bukanlah sesuatu yang statis; eksistensi secara terus menerus melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan dinamis akan swa-pengungkapan ontologis, yang mengartikulasikan kemungkinan dalamannya (inner) yang tidak terbatas dalam gradasi dari kurang menentukan hingga semakin menentukan sampai eksistensi muncul pada tingkatan bentuk konkret, seperti eksistensi partikular yang kita pandang sebagai ‘hal-hal’ yang banyak dan beranekaragam yang memiliki ‘esensi’ individual terpisah yang tidak lain merupakan modus dan aspek dari realitas eksistensi. Dari perspektif ini, esensi hal-hal tidak lain dari sebuah entitas yang hanya dalam konsep, sedangkan eksistensi hal-hal merupakan sesuatu yang nyata. Tentu saja, esensi sejati dan benar dari hal-hal adalah eksistensi sebagaimana diindividuasikan ke dalam modus partikular. Realitas eksistensi inilah yang telah kita identifikasi di atas sebagai meliputi-semua Realitas atau Kebenaran (al-haqq), dengan mana Tuhan sebagai yang absolut disebut dalam semua bentuk manifestasi tersebut. 101 Prolegomena Karena filsafat modern dan sains telah kemudian menyadari sifat-dasar mendasar fenomena adalah proses, nama-nama deskriptif yang telah digunakan para filsuf dan saintis untuk menghubungkan dengan proses harus juga merefleksikan dinamisme yang terlibat dalam inti gagasan proses. Mereka telah menggunakan nama seperti ‘kehidupan’ atau ‘impuls vital’, atau ‘energi’, menyiratkan pergerakan, perubahan, proses-menjadi (becoming) yang merupakan hasil dari peristiwa dalam ruang-waktu. Pemilihan nama-nama tersebut sebagai deskripsi manifestasi realitas sebagai proses oleh mereka merupakan sebuah tanda bahwa mereka mempertimbangkan eksistensi, tidak seperti kehidupan, impuls vital, atau energi, yang hanya sebagai sebuah konsep; dan hanya sebagai konsep eksistensi tentu sesuatu yang statis, yang secara jelas mendiskualifikasinya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses. Dalam pengertian ini, rumusan mereka terhadap filsafat sains, dalam kontradiksi dengan posisi mereka bahwa realitas yang mendasari fenomena adalah proses, tetap berputar di dalam lingkungan sebuah pandangan-dunia esensialistik, sebuah pandangan-dunia yang asyik dengan ‘hal’ sebagai ‘esensi’ independen dan berada, dan terhadap peristiwa, hubungan, dan konsep yang menyentuh pada hal-hal tersebut, yang membuat hal-hal tersebut menunjuk pada diri mereka sebagai realitas tunggal, dan bukan pada Realitas lain yang di luar mereka baik memasukkan sebagaimana juga mengecualikan mereka. Posisi kita adalah bahwa apa yang sungguh-sungguh sebagai deskripsi sifat-dasar mendasar fenomena sebagai proses adalah ‘eksistensi’ sebab hanya eksistensi, baik dipahami sebagai konsep sebagaimana juga realitas, adalah entitas paling dasar dan universal yang kita ketahui. Benarlah bahwa eksistensi yang dipahami sebagai konsep merupakan sessuatu yang statis dan tidak berhubungan dengan proses. Tetapi kita mempertahankan bahwa eksistensi bukanlah hanya sebuah konsep tapi juga sebuah realitas: eksistensi bukan hanya postulat dalam pikiran, tetapi juga entitas nyata dan aktual yang independen dari pikiran. Eksistensi merupakan sesuatu yang bersifat dinamis, aktif, kreatif, dan mengandung banyak kemungkinan yang tak terbatas akan swa-pengungkapan ontologis; eksistensi merupakan sebuah aspek dari Tuhan yang muncul dari sifat-dasar intrinsik dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan oleh karena itu merupakan sebuah entitas ‘sadar’ yang bertindak berdasarkan cara Tuhan biasa bertindak (sunnat Allāh). “Hukum alam” yang biasa disebut pada kenyataannya merupakan kebiasaan Tuhan dalam bertindak, dan dipahami seperti demikian, “hukum” tersebut tidak lagi terlihat secara ketat karena kini terbuka pada kemungkinan yang tak terbatas. Maka eksistensi merupakan bahan pokok dan mendasar dari realitas, sedangkan kehidupan, impuls vital, atau energi dan istilah lain yang serupa yang digunakan oleh para filsuf dan saintis untuk menggambarkan entitas mendasar tersebut, yang merupakan realitas yang mendasari sifat-dasar hal-hal, semuanya itu sekunder terhadap eksistensi karena mereka semua adalah seperti bagian-bagian atau sifat-sifat dari eksistensi. Ketika kita katakan bahwa haqq menunjuk baik apa yang nyata dan yang benar, kita mengatakan bahwa haqq memiliki sebuah aspek menyentuh pada yang nyata dan aspek yang menyentuh pada yang benar dalam pengertian bahwa yang nyata menunjuk pada yang ontologis dan yang benar pada tatanan logis dari eksistensi. Haqq yang bermakna ‘nyata’ ditujukan pada realitas eksistensi maupun sebagai modus-modus dan aspek-aspeknya yang kita pahami sebagai ‘peristiwa’ dan ‘proses’; yang bermakna ‘benar’, haqq menunjuk pada putusan menyesuaikan dengan realitas eksternal yang muncul sebagai ‘hal-hal’ dari peristiwa atau proses. Penyesuaian ini melibatkan korespondensi dan koherensi tertentu antara tindakan intelektual akan putusan dan realitas eksternal yang sedang diterima. Seperti kita katakan sebelumnya dalam hubungan dengan persepsi, realitas yang menyusun dunia eksternal tidak secara langsung atau segera diberikan dalam pengalaman, tetapi merupakan abstraksi terhadap mereka dalam pelbagai derajat yang ditampilkan oleh indera eksternal dan internal, dan diubah menjadi pengetahuan 102 Prolegomena tentang dunia eksternal dengan konstruksi intelektual. Maka pengetahuan konseptual kita berhubungan dengan informasi yang dikandung kesadaran atau jiwa kita oleh indera-indera; dan konsepsi kita akan realitas-realitas eksternal ada dalam hubungan koherensi dalam sebuah sistem hubungan konseptual yang sudah dicetak pada jiwa yang membawa pada kita visi akan sifatdasar Realitas. Posisi kita adalah bahwa korespondensi dan koherensi akan sifat-dasar kebenaran harus memenuhi kondisi bersamaan dengan keperluan akan kebijaksanaan dan keadilan. Kebijaksanaan adalah pengetahuan yang diberikan Tuhan yang membuat penerimanya mengetahui tempat yang tepat, atau membuat putusan yang tepat terhadap tempat yang tepat dari hal atau objek pengetahuan. Keadilan adalah kondisi ketika hal atau objek pengetahuan ada di tempat mereka yang tepat. Dengan demikian untuk hal tersebut menjadi benar, korespondensi dan koherensi harus bersamaan dengan tempat yang tepat. Gagasan tempat yang benar atau tepat melibatkan keniscayaan bagi setiap hal dalam tatanan ciptaan untuk ada dalam kondisi tersebut — yakni, disebarkan dalam tatanan tertentu dalam pengertian prioritas dan posterioritas maupun dalam pengertian ruang dan posisi dan diatur berdasarkan pelbagai tingkatan dan derajat. Secara ontologis, hal-hal ciptaan sudah diatur, tetapi manusia, karena kebodohan terhadap tatanan yang adil meliputi semua ciptaan, membuat perubahan dan kebingungan akan tempat hal-hal sehingga muncul ketidakadilan. Ketidakadilan adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya yang tepat; ketidakadilan merupakan kondisi tidak mencukupi atau melampaui batas tempat yang tepat sehingga tatanan umum hal-hal menjadi tidak harmonis. Tentu saja, inti makna ‘tepat’ juga termasuk dalam haqq, karena juga menunjuk pada yang dimiliki seseorang; haqq merupakan bagian yang tepat atau spesifik yang sesuai dengan sifat-dasar atau susunan esensial seseorang, bagi diri sendiri; haqq merupakan sesuatu yang inheren, sebuah bagian, dan sifat esensial. Maka tempat dari seorang, hal, dan objek pengetahuan tidak hanya menunjuk pada lokasi atau ruang spesifik yang ditempati oleh orang, hal, objek pengetahuan; haqq juga merupakan posisi alamiah, posisi yang sesuai pada alam, baik dalam dunia eksternal maupun dalam imajinasi dan pikiran, akan orang tersebut, hal, objek pengetahuan. Oleh karena itu kita tidak setuju, bahwa pengetahuan hanya menyentuh fenomena; bahwa kebenaran hanya sifat dari pernyataan atau kalimat deklaratif, atau kepercayaan-lemah dan putusan darimana pernyataan tersebut diturunkan dan yang tergantung dengan hubungan akan kepercayaan-lemah atau putusan tersebut pada beberapa fakta; bahwa fakta itu netral dalam hubungan dengan kebenaran dan kepalsuan. Kita mempertahankan bahwa kebenaran juga merupakan bagian dari sifat-dasar halhal sejauh mereka sesuai dengan kecocokan pada keperluan akan kebijaksanaan dan keadilan, yakni, pada keperluan kondisi dalam tempat mereka yang benar dan tepat. Dan ini tidak bermakna bahwa kebenaran itu hanya sebuah hubungan pernyataan atau putusan kepada fakta, yang akan membuat fakta menjadi sepadan dengan kebenaran. Meskipun sebuah kalimat dapat benar jika ditujukan kepada fakta, keberadaan fakta itu sendiri tidak serta merta membuat fakta menjadi sebuah kebenaran. Kebenaran tidak sekedar kesesuaian dengan fakta sebab fakta dapat diciptakan manusia dan dengan demikian tidak berada di tempatnya yang tepat, yang bermakna bahwa fakta dapat salah. Kenyataan bahwa fakta dapat diciptakan manusia mengonfirmasikan kebenaran penolakan kita akan kenetralan fakta dalam hubungan dengan kebenaran dan kepalsuan, karena inti eksistensi fakta itu sendiri tergantung pada nilai yang berada pada pandangan-dunia partikular dari pencipta mereka. Maka kebenaran yang melibatkan sebuah hubungan dan koherensi tertentu tidak kita maksudkan sekedar sebuah hubungan pemikiran, gagasan, atau kepercayaan-lemah dengan fakta, kecuali fakta tersebut dalam tempatnya yang tepat, yakni, kecuali fakta itu sesuai di dalam sistem integratif akan kebenaran yang salingberhubungan sebagaimana dimengerti jiwa. Tempat yang tepat dari manusia, contohnya, adalah bahwa dia harus dipertimbangkan baik sebagai entitas spiritual dan fisik; bahwa dia merupakan 103 Prolegomena makhluk hidup yang memiliki fakultas dalaman akan pengetahuan yang menangkap makna dari universal; yang memiliki kekuatan dan kapasitas mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbol dalam pola yang bermakna; dia merupakan ruh, jiwa, hati dan intelek yang termanifestasi dalam bentuk jasmani, dan ruh, jiwa, hati dan inteleknya menunjuk pada realitas yang satu dan sama yang dinamakan dengan banyak nama karena modusnya yang banyak dalam hubungan dengan pelbagai tingkatan eksistensi yang meliputi wilayah spiritual dan fisik. Realitas dan kebenarannya (haqq) berlaku untuk kedua wilayah tersebut. Tetapi jika kita telah tersekularisasi sepenuhnya, jika kita mempertimbangkan hanya sebagai sesuatu yang fisik, seekor hewan yang berbeda dari hewan yang lain hanya dalam derajat dan bukan dalam jenis, maka dia tidak akan pada kenyataannya dipertimbangkan pada tempatnya yang tepat. Dan proposisi saintifik tertentu yang menyentuh padanya yang dengan demikian dipertimbangkan, seperti yang muncul dari pernyataan dan kesimpulan umum dari rekayasa genetik, contohnya, meskipun didukung dengan bukti empiris, namun salah sebab mereka melayani premis-premis yang berdasarkan interpretasi yang salah terhadap sifat-dasar manusia, yang pada gilirannya tergantung pada sistem salah yang diakui untuk mendukung menggambarkan tatanan yang benar dari realitas. Untuk makna haqq sebagai realitas, istilah tepat yang digunakan untuk menunjuk realitas adalah haqīqah, yang diturunkan dari haqq. Pemilahan antara haqq dan haqīqah adalah bahwa yang terdahulu menunjuk kepada kondisi, tatanan, atau sistem ontologis sebagaimana diketahui dengan jalan intuisi; sedangkan yang kemudian menunjuk pada struktur ontologis, pada inti sifatdasarnya, makhluk atau diri suatu hal. Haqīqah atau realitas adalah yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya (by which a thing is what it is). Kini bahwa yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya memiliki aspek ganda; di satu pihak karena segala sesuatu merupakan bagian dari realitas, maka realitas merupakan sesuatu yang umum pada segala sesuatu. Sesuatu yang umum pada segala sesuatu ini adalah eksistensi. Dengan demikian salah satu dari aspek ganda dari yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya adalah ‘sebagai/menjadi maujud’ dari hal tersebut. Aspek lain yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya adalah ‘sebagai/menjadi-terpilah’nya dari yang lain. ‘Menjadi-maujud’ adalah umum bagi semua maujud dalam pelbagai tingkatan eksistensi, dan meskipun eksistensi merupakan bahan dari realitas, bukanlah, berbicara secara ketat, keumuman yang membuat suatu hal menjadi hal tersebut apa adanya; melainkan adalah ‘sebagai/menjadi-terpilah’ dari yang lain yang membuat suatu hal menjadi hal tersebut apa adanya, karena hanya dengan sebab keterpilahan realitas-realitas tersebut telah datang ke dalam eksistensi. Oleh karena itu sifat-dasar mendasar dari realitas adalah perbedaan. Eksistensi (wujūd, dari wujida bentuk pasif dari wajada) menunjuk sesuatu yang ditemukan, disibak, diterima, diketahui, diinderai — dengan indera eksternal dan internal atau intelek, atau hati. Karena eksistensi sebagai realitas merupakan bahan penciptaan yang darinya hal-hal menjadi ada, bentuk lain dari kata tersebut (ījād) menunjuk sesuatu yang dieksistensiasikan, diciptakan, diasalkan. Karena kenyataan bahwa eksistensilah yang meliputi segala sesuatu, eksistensi tersebut swa-mencukupi dalam keabadian yang melimpah ruah, dan ini berarti tidak sedang dalam keinginan, atau kebutuhan, yang ditunjuk namun dengan bentuk lain (wājid). Ketika dengan intuisi yang lebih tinggi seseorang kemudian menemukan realitas yang ada, ‘penemuan’ eksistensi ini disebut wijdān, yang kita katakan sebelumnya menunjuk pada intuisi akan eksistensi. Jadi ketika kita menunjuk sebagaimana di atas pada aspek dari yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya sebagai ‘sebagai/menjadi-maujud’nya, ‘sebagai/menjadimaujud’ dari suatu hal tidak seharusnya diinterpretasikan sebagai menunjuk sesuatu yang hanya ada secara aktual atau mutakhir dalam dunia eksternal; tetapi juga menunjuk kategori eksistensi tersebut dalam kondisi interior realitas eksistensi yang secara berkelanjutan membentangkan 104 Prolegomena dirinya sendiri dalam gradasi menjadi hal-hal yang kita lihat dan pegang. Eksistensi bermakna memiliki tempat dalam tatanan realitas. Karena eksistensi yang dipartikularisasi sebagai ‘sebagai/ menjadi maujud’ dari suatu hal merupakan salah satu dari aspek ganda realitas, penunjukkan akan ‘tempat’, ketika kita katakan bahwa eksistensi itu berarti memiliki tempat dalam tatanan realitas, maka merupakan ‘sebagai/menjadi maujud’ dari suatu hal. Tatanan realitas, menurut kita dan dalam pengertian yang sudah disebutkan, tidak dapat dibatasi kepada dunia fenomena, atau dunia hal-hal empiris dalam alam indera dan pengalaman inderawi. Ketika kita mendefinisikan pengetahuan sebagai mengandung unit-unit makna yang secara koheren terhubung pada unit lain yang serupa dengan demikian membentuk ide, konsepsi, dan putusan; dan kita mendefinisikan makna sebagai pengenalan akan tempat segala hal dalam sistem yang muncul ketika hubungan suatu hal dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami, kita mengerti bahwa hubungan atau jaringan hubungan seperti itulah yang menentukan pengenalan kita akan tempat suatu hal yang tepat dalam sistem. Dengan ‘sistem’ kita menunjuk pada jalur yang tidak hanya pada sistem awal dan parsial di dalam sebuah jaringan sistem yang saling-berhubungan, tetapi akhirnya juga pada sistem pokok dan ontologis skalabesar sebagai suatu keseluruhan. Kita dalam persetujuan bersama bahwa semua pengetahuan itu datang dari Tuhan, dan cara kedatangannya dan indera-indera dan fakultas-fakultas yang menerima dan menafsirkannya secara terpilah tidak sama. Karena semua pengetahuan dari Tuhan, dan diinterpretasikan oleh jiwa melalui fakultas fisik dan spiritual atau kecerdasan, maka definisi epistemologisnya akan menjadi bahwa pengetahuan, dengan referensi pada Tuhan sebagai sumber asalnya, adalah tibanya makna pada jiwa; dan dengan referensi jiwa sebagai penerima aktif dan penafsirnya, pengetahuan adalah tibanya jiwa pada makna. Dunia alam seperti digambarkan Qur’ān Suci tersusun dari bentuk simbolik (āyāt), seperti kata-kata dalam sebuah buku. Tentu saja, dunia alam adalah bentuk Wahyu Ilahiyah yang lain yang analogis dengan Qur’ān Suci itu sendiri, hanya saja buku yang besar dan terbuka dari alam merupakan sesuatu yang diciptakan; alam menampilkan dirinya dalam kemajemukan dan bentuk beragam yang mengambil eksistensi simbolik dengan sebab secara berkelanjutan diartikulasikan oleh kata penciptaan dari Tuhan. Kini sebuah kata sebagaimana kata tersebut sungguh-sungguh ada merupakan sebuah simbol, dan untuk mengetahuinya sebagaimana kata tersebut sungguhsungguh ada adalah mengetahui untuk apa ia berada, apa yang disimbolisasikan, apa maknanya. Jika kita memandang sebuah kata seperti seolah-olah ia memiliki realitas independen dari dirinya sendiri, maka kata tidak lagi menjadi sebuah tanda atau simbol selama dibuat menunjuk dirinya sendiri, yang bukan merupakan apa yang sungguh-sungguh ada. Jadi, secara serupa dalam cara mempelajari alam, akan segala hal, objek pengetahuan apapun di dunia hal-hal yang diciptakan, jika ungkapan ‘sebagaimana ia sungguh-sungguh ada’ diterima bermakna diduga keras sebagai realitas independen, secara esensial dan eksistensial, seolah-olah hal tersebut merupakan sesuatu yang pokok dan swa-berada, maka studi semacam itu menghilangkan tujuan sejati dan pengejaran pengetahuan menjadi penyimpangan dari kebenaran, yang secara niscaya memertanyakan keabsahan pengetahuan demikian. Karena sebagaimana sesuatu sungguhsungguh ada adalah sesuatu yang lain dari apa hal tersebut adanya, dan yang ‘lain’ itu adalah apa maknanya. Dengan demikian dengan cara yang sama mempelajari kata-kata sebagai kata-kata akan mengarah kepada penyimpangan dari kebenaran yang mendasari mereka, keasyikan dalam filsafat dan fisika dengan hal-hal sebagai hal-hal memimpin pada kesalahan, akan rasio sehat yang percaya pada eksistensi mereka di luar pikiran sebagai kumpulan partikel secara terus menerus melewati periode tertentu dan bergerak dalam ruang, seolah-olah partikel tersebut merupakan materi pokok dari dunia. Sedangkan pada kenyataannya bahan dari ‘materi’ terdiri dari rangkaian peristiwa (a’rād, tunggal. ‘arad), dan fenomena fisik merupakan proses yang setiap rinciannya 105 Prolegomena tidak sinambung (diskontinu). Maka suatu hal seperti kata pada kenyataannya secara pokok merupakan sebuah tanda atau simbol, dan tanda atau simbol merupakan sesuatu yang nampak dan tidak terpisahkan dari suatu hal lain yang tidak sama-sama muncul, dengan sedemikian rupa ketika yang terdahulu diterima, yang lain, yang tidak dapat diterima dan yang merupakan salah satu kesulitan sebagai yang terdahulu, menjadi diketahui. Itulah mengapa kita mendefinisikan pengetahuan secara epistemologis sebagai tibanya dalam jiwa akan makna dari suatu hal, atau tibanya jiwa pada makna dari suatu hal. ‘Makna akan sesuatu’ berarti makna yang benar darinya, dan apa yang kita pertimbangkan sebagai makna yang ‘benar’ yang ada dalam pandangan kita ditentukan sistem konseptual Qur’āni. Dengan demikian frase-frase yang kita gunakan sebelumnya, seperti ‘tatanan yang benar dari realitas’, ‘tatanan yang adil meliputi semua ciptaan’, ‘tingkatan dan derajat’, dan ‘tatanan umum dari hal-hal yang diciptakan’ dalam referensi kita pada ‘sistem’ hubungan konseptual dimana ‘tempat yang tepat’ akan hal-hal menjadi dikenali, tidak lain menunjuk kepada sistem konseptual Qur’āni. Korespondesi dan koherensi sebagaimana kita pahami dalam hubungan dengan realitas dan kebenaran menunjuk pada tempat yang tepat dalam kasus terdahulu dan pada sistem Qur’ān dalam kasus yang kemudian. Pengetahuan tidak terbatas sebab objek pengetahuan itu tanpa batas. Tetapi ada sebuah batas kebenaran dalam setiap objek pengetahuan, sehingga pengejaran pengetahuan sejati bukanlah sebuah pencarian tanpa akhir. Jika penelusurannya menjadi tanpa akhir, maka akan menjadi mustahil mencapai pengetahuan dalam sejengkal waktu yang memiliki awal dan akhir, dan akan membuat pengetahuan itu sendiri menjadi tidak bermakna. Pengetahuan akan kebenaran tentang dunia hal-hal empiris dapat sungguh dicapai dan ditingkatkan melalui penelusuran yang dibuat oleh generasi manusia. Tetapi pengetahuan sejati memiliki ketegasan langsung pada manusia individu karena menyentuh identitas dan takdirnya, dan dia tidak dapat menunda putusan terhadap kebenaran pengetahuan tersebut tidak seperti sesuatu yang akhirnya dapat ditemukan oleh generasi di masa depan. Itulah mengapa krisis kebenaran muncul dalam setiap generasi menyentuh pada pengetahuan sejati, dan krisis kebenaran ini sebelumnya mungkin tidak begitu akut sebagaimana dalam masa kita. Filsafat modern dan sains tidak mampu memberikan jawaban meyakinkan pada pertanyaan permanen tentang kebenaran. Perwakilan mereka mencoba menjelaskan hanya ‘perspektif kebenaran’ dari zaman ketika krisis kebenaran itu muncul, dan dengan demikian melepaskan kebenaran dari objektifitasnya. Seseorang tidak dapat mengubah, menambahkan, maupun menghiasi kebenaran sehingga dapat menjadi lebih benar, maupun seseorang dapat mengurangi darinya; dalam kasus yang lain kebenaran tidak akan menjadi kebenaran, tetapi adalah kesalahan. Kebenaran secara tepat adalah dirinya sendiri, tidak lebih atau kurang. Karena pada setiap kebenaran terdapat sebuah batas yang benar terhadap kebenaran tersebut; pengetahuan akan batas itu adalah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan setiap kebenaran ditugaskan pada maknanya yang tepat yang tidak kurang maupun melampauinya. Terdapat batas akan kebenaran dalam setiap objek pengetahuan, dan setiap objek pengetahuan memiliki batas kebenaran yang berbeda, beberapa lebih sukar dikenali dan sulit untuk ditemukan dari yang lain, sehingga dalam usaha kita yang terus menerus untuk menemukan mereka tidak ada pertanyaan akan pembatasan penelusuran, yang tujuannya, dibimbing oleh kebijaksanaan, adalah untuk mengetahui batas tersebut. Oleh karena itu pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengenali batas kebenaran dalam setiap objeknya. Qur’ān Suci sendiri berbicara tentang tanda-tanda dan simbol-simbolnya sebagai terdiri dari sebagian yang jelas dan mapan (al-muhkamāt), dan sebagian darinya ada yang tidak jelas dan ambigu (al-mutashābihāt). Dalam hubungan dengan tanda-tanda dan simbol-simbol dari Qur’ān Suci, dunia fenomena juga terdiri dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang kita sebut ‘hal-hal’ yang jelas dan mapan dalam makna mereka, dan yang tidak jelas dan ambigu. Deteksi, 106 Prolegomena penemuan, dan pengungkapan makna yang tersembunyi dari tanda-tanda dan simbol-simbol ambigu dalam Qur’ān Suci disebut interpretasi alegoris (ta’wīl), dan hal ini berdasarkan interpretasi dari sesuatu yang jelas (tafsīr). Dengan demikian, dalam cara yang sama bahwa interpretasi akan teks yang tidak jelas dan ambigu harus berdasarkan sesuatu yang jelas dan mapan, demikian juga interpretasi atau studi dan penjelasan akan ketidakjelasan dan aspek yang ambigu dari hal-hal di dunia empiris harus berpijak pada apa yang sudah diketahui dan mapan. Meskipun kita katakan bahwa beberapa dari hal-hal yang menyusun dunia empiris, dunia indera dan pengalaman inderawi, adalah simbol-simbol yang maknanya jelas dan mapan, kejelasan dan kemapanan mereka dipahami dengan sebab being mereka dipertimbangkan dalam makna mereka yang nampak sebagaimana tiba dengan jalan rasio sehat. Tetapi karena mereka juga bersifat fisik dalam alam, mereka semua secara umum ambigu sebab mereka muncul pada kesadaran kita dengan menunjuk diri mereka sendiri, seolah-olah masing-masing memiliki realitas independen, individual, dan swa-berada. Sebagai simbol-simbol mereka itu, pastinya, bukan sesuatu yang tidak nyata, bukan hanya penampakan karakter ilusi; tetapi mereka hanya disediakan untuk dimengerti sebagai sesuatu dalam hubungan mendalam dan tergantung dengan apa yang mereka simbolisasi. Sebaliknya, dipertimbangkan sebagai hal-hal pada diri mereka sendiri, mereka adalah tidak nyata, dalam pengertian mereka ada seperti itu hanya dalam pikiran, tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal. Apa yang merupakan maujud dalam dunia eksternal dan independen dari pikiran merupakan realitas-realitas dalam proses aktualisasi ke dalam bentukbentuk partikular dan individual, yang merupakan modus-modus dan aspek-aspeknya dari Realitas tunggal dan dinamis meliputi segalanya. Andaikan kita berjalan-jalan dengan mobil dalam kegelapan malam berbadai menuju tempat yang telah kita dengar tetapi kita belum pernah ke sana. Kemudian kita tiba di persimpangan utama dengan banyak jalan menuju tempat yang berbeda. Di tengah persimpangan terdapat penunjuk arah dengan banyak lengan dalam pelbagai ukuran yang menunjuk kepada pelbagai arah yang menandai jalan menuju tempat yang berbeda. Penunjuk arah dan lengannya dibuat secara sederhana dan di cat putih, dan di sepanjang papan penunjuk yang berfungsi sebagai lengan digoreskan huruf tebal dan hitam akan nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik itu. Ketika mobil kita dapat mendekati dan lampunya menyinari penunjuk arah dan lengannya yang banyak, kita segera sadar terhadap salah satu lengan yang menegaskan nama tempat tujuan kita. Apa yang kita lakukan kemudian, jika kita hendak mengejar tujuan kita, tentunya kita akan berpaling dari penunjuk arah tanpa ragu, dan mengikuti jalan menuju apa yang tanda tersebut tuju. Kita akan melakukan ini karena tandanya itu jelas. Tetapi kini andaikan penunjuk arahnya dibuat dengan keramik yang secara baik ditulis, dan lengan penunjuk dipahat menjadi bentuk yang menawan dan indah, nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik dipahat menjadi huruf dari emas murni dan dihiasi permata tulen yang jarang ditemui — akankah kita kemudian mampu untuk mengikuti, tanpa banyak ragu dan berlambat-lambat, lengan penunjuk yang akan menunjukkan kita jalan menuju tujuan kita; dan akankah kita kemudian mudah berpaling dari penunjuk arah untuk mengikuti jalan yang diarahkan? Tentu saja, apa yang paling mungkin terjadi dalam kasus ini adalah kita akan memberhentikan mobil dan bahkan keluar dalam hujan dengan senter untuk melihat lebih dekat pandangan yang indah di hadapan kita. Dan kita mungkin akan menghabiskan malam di mobil menunggu siang untuk penglihatan yang lebih memuaskan. Tanda tersebut dalam kasus ini tidak jelas; ambigu, dan menunjuk dirinya sendiri daripada menunjuk kepada objek yang inti eksistensinya bergantung padanya. Apa yang telah kita katakan di atas seharusnya membuat jelas kepada kita bahwa sains menurut Islām secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wīl atau interpretasi alegoris terhadap halhal empiris yang menyusun dunia alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara 107 Prolegomena tetap pada tafsīr atau interpretasi akan penampakan atau makna yang jelas dari hal-hal dalam alam. Makna mereka yang nampak dan jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam sistem hubungan; dan tempat mereka menjadi nampak kepada pemahaman kita ketika batas kebenaran dari arti mereka dikenali. Ta’wīl secara dasar bermakna mendapatkan makna mendasar dan primordial dari sesuatu melalui proses inteleksi. Tetapi bahkan dalam kasus ini, terdapat hal-hal yang makna pokoknya tidak dapat dipegang dengan intelek; dan mereka yang secara mendalam berakar dalam pengetahuan yang menerima hal tersebut sebagaimana adanya melalui kepercayaan-kuat yang benar yang kita sebut īmān. Hal ini merupakan posisi kebenaran: bahwa terdapat batas makna dari hal-hal, dan tempat mereka secara mendalam terikat dengan batas arti mereka. Pembatasan bukanlah sebuah kekurangan. Indera internal dan eksternal kita dan fakultas imajinasi dan kognisi semuanya memiliki kekuatan dan potensi terbatas, dengan masing-masing diciptakan untuk mengandung dan memelihara informasi yang diperhatikannya dimana untuknya itu telah ditetapkan. Terdapat tujuan pragmatis dalam pembatasan, karena dengannya kita mampu menerima dan memahami objek pengetahuan dan gagasan tentang mereka dan hubungan mereka sehingga kita dapat meletakkan pengetahuan akan hal-hal untuk kegunaan yang bermanfaat. Jika kita memiliki indera yang kekuatannya tidak terbatas, seperti indera yang dimiliki binatang tertentu, persepsi kita tentang hal-hal dalam kehidupan sehari-hari akan berbeda; karena bukan hanya bentuk, tekstur, warna dan karakteristik lain tentang hal-hal akan berbeda dengan apa yang secara normal kita terima, tetapi juga bahwa beberapa dari mereka tidak akan ada sama sekali bagi kita, dan beberapa dari mereka tidak akan ada sama sekali, dan dengan demikian mempengaruhi inti eksistensi kebudayaan dan peradaban manusia. Kemudian lagi, jika kita memiliki mata yang kekuatannya semakin kurang dibatasi daripada binatangbinatang tertentu; mata yang dapat menembus tabir fenomena seperti yang mereka yang dapat melihat peristiwa dan proses yang mendasari dunia fenomena, maka bentuk hal-hal akan hilang dari pandangan kita dan kita tidak mampu menurunkan dari mereka pengetahuan partikular yang membimbing pada universal/semesta dan inti makna hal-hal akan hilang. Oleh karena itu pengaturan batas pada saluran dan sumber dengan mana kita memperoleh pengetahuan merupakan sebuah rahmat dan kasih sayang Tuhan dengan maksud agar kita mampu mengerti makna objek-objek pengetahuan maupun untuk memahami Pencipta mereka. Karena peran sains adalah sebagai deskripsi dari fakta, dan fakta yang mengalami perubahan berkelanjutan dengan sebab realitas yang mendasari mereka merupakan proses, kemudian aspek sekular dan filsafat modern dan sains akhirnya mempertimbangkan perubahan sebagai sifat-dasar pokok realitas. Itulah mengapa sekularisasi sebagai program filosofis, dalam usahanya untuk menghubungkan dengan realitas yang dipertimbangkan sebagai perubahan absolut, mendukung perubahan dalam semua aspek kehidupan, lalu menolak kemapanan dalam pandangan-dunia dan menyebarkan kepercayaan akan sebuah masa depan yang terbuka. Dengan ‘perubahan’, yang merupakan pergerakan melibatkan ruang dan waktu mengandaikan keanekaragaman, para filsuf dan saintis biasanya memaksudkan perubahan akan tempat atau posisi, atau perubahan kualitatif dan kuantitatif yang melibatkan perubahan abadi atau prosesmenjadi. Beberapa mempertahankan bahwa semua gerak itu relatif dan tidak ada gerak yang absolut; dan beberapa percaya bahwa perubahan hanya berkaitan dengan persepsi psikologis. Kepercayaan-lemah bahwa pengetahuan menyentuh hanya pada fenomena menyertakan kepercayaan-lemah bahwa realitas merupakan perubahan. Kita tidak sepakat bahwa perubahan hanya bersifat psikologis atau ‘subjektif’ karena kita mengakui bahwa pergerakan itu nyata. Posisi kita bahwa perubahan itu sebuah realitas harus dipahami tanpa menyiratkan bahwa perubahan itu absolut; karena kita mempertahankan bahwa realitas itu sekaligus permanensi dan perubahan, 108 Prolegomena bukan dalam pengertian bahwa perubahan itu permanen, tetapi dalam pengertian bahwa terdapat sesuatu yang permanen dengan mana perubahan itu muncul. Implikasi yang mendasari konsep perubahan adalah keanekaragaman hal-hal yang menyusun dunia fenomena yang entah bagaimana terus-menerus ada dalam eksistensi dan mengalami pergerakan atau perubahan. Kita mempertahankan bahwa hal-hal fenomenal tidak tetap dalam eksistensi, tetapi binasa ketika menjadi eksistensi, dimana secara berkelanjutan digantikan dengan yang baru dan serupa dalam proses terus menerus. Pembinasaan akan hal-hal disebut, menurut ungkapan Qur’ān, hālik atau fanā’; dan proses terus menerus akan pembaharuan, kembali menurut ungkapan Qur’ān, disebut khalq jadīd — sebuah penciptaan yang baru. Maka dunia merupakan sesuatu yang selalu baru (muhdats), dan hal itu sesuatu yang baru. Perubahan, kita katakan, muncul bukan pada tingkatan hal-hal fenomenal, karena mereka selalu-binasa, tetapi pada tingkatan realitas mereka yang terkandung dalam diri mereka semua kondisi masa depan mereka. Dalam pengertian ini perubahan merupakan aktualisasi potensialitas yang inheren dalam realitas hal-hal yang, sebagaimana mereka bentangkan isi mereka, memelihara identitas utuh mereka sepanjang waktu. Dunia fenomena, kita katakan sebelumnya, merupakan proses yang setiap rinciannya tidak sinambung. Ketidaksinambungan eksistensi dalam setiap rinciannya itu berkaitan dengan sifatdasar selalu-binasa dari fenomena yang digantikan dengan yang baru dan serupa. Ketidaksinambungan dalam eksistensi juga melibatkan realitas yang mendasari semua fenomena; tetapi sedangkan dunia fenomena itu selalu-baru, realitas-realitas tersebut berubah namun tetap sama. Perubahan mereka merupakan pembentangan kondisi potensial mereka yang melibatkan ketidaksinambungan eksistensial pada setiap kondisi aktualisasi; keadaan mereka yang tetap sama merupakan perolehan kembali identitas mereka. Dengan demikian realitas merupakan selalu-memperoleh kesinambungan dalam eksistensi, sementara modus fenomena dan aspek mereka binasa saat aktualisasi. Kesinambungan selalu-memperoleh ini dalam eksistensi disebut, menggunakan ungkapan Qur’ān yang lain, baqā’. Aspek ganda realitas — permanensi dan perubahan — mengandaikan kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi, dan kategori metafisis ketiga ini adalah alam entitas permanen (al-a’yān al-thābiţhah) yang merupakan aspek nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Pada Realitas Tertinggi yakni Tuhan, bahkan meskipun Dia menggambarkan diri-Nya dalam pengertian eksplisit akan dinamisme absolut, Dia terlalu agung untuk diterima sebagai terbenam dalam proses deskriptif dari proses-menjadi atau perubahan. Dalam bab ini kita telah mengandung pernyataan ringkas yang menggariskan posisi kita tentang makna agama dan kepercayaan-lemah; tentang sifat-dasar Tuhan; tentang sekularisasi dan sifat-dasar sains dan filsafat modern dan kontemporer, dan menampilkan sebuah inti sari asumsi dasar dan presuposisi mereka. Kita mengangkat bahwa terdapat kesamaan antara posisi kita dan filsafat dan sains modern dalam memandang sifat-dasar fenomena dan realitas empiris maupun sumber dan metode pengetahuan, sementara secara bersamaan kita mempertahankan bahwa terdapat perbedaan mendalam dalam pemahaman kita yang tepat akan mereka terkait secara pokok pada afirmasi kita akan Wahyu — dan Tradisi yang menurunkannya — sebagai sumber pengetahuan sejati akan realitas pokok. Kita telah secara singkat menguraikan pertentangan antara posisi kita dan filsafat dan sains modern dalam memandang persepsi, rasio, intuisi, dan otoritas sebagai sumber dan metode pengetahuan. Dalam hubungan ini kita mempertahankan pernyataan pada fakultas psikologi sebab hal itu diluruskan dengan afirmasi eksistensi jiwa, atau ruh kecerdasan, sebagai realitas pokok dari manusia dan sebagai sumber asal dari bahasa manusia. Kita menekankan konsep kita tentang tempat dimulai dengan definisi kita tentang makna sebagai pengenalan tempat di dalam sebuah sistem, menunjukkan juga hubungan konseptual antara makna dan pengetahuan dengan mendefinisikan yang kemudian sebagai unit- 109 Prolegomena unit koheren dari yang terdahulu; kita mendefinisikan kebijaksanaan sebagai pengetahuan akan tempat yang benar; keadilan sebagai kondisi dari dalam kondisi yang benar; kebenaran sebagai kesesuaian dengan tempat yang benar; realitas sebagai entitas yang ditempatkan secara permanen dan terpisah; dan eksistensi sebagai tempat dalam tatanan realitas. Kita menjelaskan makna realitas dan kebenaran, menunjukkan hubungan mereka akan korespondensi dan koherensi dengan fakta. Kita membedakan realitas eksistensi dari konsep eksistensi, dan menjaga bahwa yang terdahulu merupakan kebenaran yang mendasari sifat-dasar proses. Kita mendefinisikan pengetahuan yang sejati sebagai pengenalan akan batas kebenaran dalam setiap objeknya. Kita menunjuk kepada sistem Qur’ān akan kesaling-hubungan konseptual dan metode interpretasinya, mengatakan bahwa sains Islāmi harus menginterpretasikan fakta eksistensi dalam hubungan dengan sistem tersebut, dan tidak menginterpretasikan sistem tersebut dalam hubungannya dengan fakta. Kita menyentuh problem perubahan atau pergerakan, dan mengafirmasi perubahan dan permanensi secara bersamaan; dan kita mempertahankan perubahan dan permanensi hanya pada realitas-realitas hal-hal, dan bukan suatu hal pada dirinya sendiri sebagaimana mereka selalu-binasa dalam sifat-dasar mereka. Kita juga mengafirmasi permanensi juga pada Tuhan, bukan menyiratkan dengan ‘permanensi’ sebagai statisitas, maupun pergerakan maupun dinamisitas yang melibatkan perubahan atau proses-menjadi; sedangkan dalam realitas-realitas perubahan menunjuk pada aktualisasi potensi mereka, sementara entitas-entitas nyata yang membangun identitas mereka tetaplah sama. Apa yang telah kita nyatakan di atas dalam ringkasan uraian sudah tersirat, di antara hal-hal yang lain, keunggulan realitas eksistensi; sifatdasar dinamis dari realitasnya yang secara berkelanjutan membentangkan dirinya dalam gradasi sistematis dari derajat keabsolutan kepada manifestasi, determinasi, dan individuasi; proses abadi dari penciptaan yang baru; absensi hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat, dan penjelasannya dalam kausalitas Ilahiyah; kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan noneksistensi, yang merupakan alam entitas permanen; dan metafisika perubahan dan permanensi yang menyentuh pada realitas. Hal-hal tersebut menyusun basis dasar dari metafisika Islāmi, dan hal tersebut ada di dalam kerangka-kerja dari metafisika inilah filsafat sains kita harus dirumuskan. 110 Prolegomena IV SIFAT-DASAR MANUSIA DAN PSIKOLOGI JIWA MANUSIA Manusia memiliki sifat-dasar ganda, dia itu baik tubuh dan jiwa, makhluk fisik dan ruhani sekaligus.108 Tuhan mengajarkannya nama-nama (al-asmā’) segala hal.109 Dengan ‘nama-nama’ kita menyimpulkan bahwa hal itu bermakna pengetahuan (al-‘ilm) akan segala hal (al-ashyā’). Pengetahuan ini tidak meliputi pengetahuan sifat-dasar spesifik tentang esensi (al-dhāt) atau yang dasar paling dalam (al-sirr) dari suatu hal (shay’) seperti, contohnya, ruh (al-rūh); pengetahuan tersebut menunjuk pada pengetahuan akan aksiden-aksiden (tung. ‘arad) dan sifat-sifat (tung. sifah) yang menyentuh pada esensi hal-hal inderawi dan intelijibel (mahsūsāt dan ma’qūlāt) supaya diketahui hubungan dan perbedaan yang ada di antara mereka, dan memperjelas sifat-dasar mereka di dalam wilayah tersebut dengan maksud melihat dan memahami makna mereka, yakni, sebab, kegunaan, dan tujuan individual mereka yang spesifik. Namun manusia, juga diberikan pengetahuan terbatas tentang ruh,110 tentang diri atau jiwanya yang sejati dan benar, 111 dan dengan pengetahuan ini dia mampu tiba kepada pengetahuan tentang Tuhan (al-ma’rifah) dan keesaan absolut-Nya; bahwa Tuhan adalah Rabb (al-rabb) sejati dan objek penyembahannya (alilāh).112 Tempat bersemayam pengetahuan dalam manusia merupakan substansi spiritual yang secara beragam ditunjuk dalam Qur’ān Suci kadang-kadang sebagai hati (al-qalb), atau jiwa atau diri (al-nafs), atau ruh (al-rūh), atau inteleknya (al-’aql). Dengan sebab akan kebenaran bahwa manusia mengetahui Tuhan dalam keabsolutan-Nya sebagai Rabbnya,113 pengetahuan sedemikian, dan kenyataan dari situasi yang serta merta menyertainya, telah mengikat manusia dalam sebuah perjanjian (al-mīthāq; al-‘ahd) yang menentukan tujuan, perilaku, dan tindakannya dalam hal dirinya dan hubungannya dengan Tuhan.114 Ikatan dan penentuan ini terhadap manusia pada sebuah perjanjian dengan Tuhan dan pada sifat-dasar yang tepat dalam memandang tujuan, tindakan, dan perilakunya, merupakan ikatan dan penentuan dalam agama (al-dīn) yang menyertakan ketundukan sejati (al-islām).115 Dengan demikian pengetahuan dan agama berhubungan secara alamiah dalam sifat-dasar manusia, yakni, sifat-dasar asli dimana Tuhan telah menciptakannya (al-fitrah). Oleh karena itu tujuan manusia adalah untuk mengetahui dan menyembah Tuhan (‘ibādah)116 dan kewajibannya merupakan kepatuhan (tā’ah) kepada Tuhan, yang mengonfirmasikan sifat-dasar esensial yang diciptakan Tuhan untuknya.117 Tetapi manusia juga “tersusun dari kelupaan (nisyān)” — sebagaimana tradisi Kenabian mengatakan,118 dan dia disebut insān secara mendasar dan tepat karena, dia telah bersaksi kepada Al-Hijr (15): 26-29; Al-Mu’minūn (23): 12. Al-Baqarah (2): 31. 110 Banī Isrā’īl (17): 85. 111 Hā Mīm (41): 53. 112 Āli ‘Imrān (3): 81; Al-A’rāf (7): 172. 113 Al-A’rāf (7): 172. 114 Ibid. 115 Lihat bab I, di atas. 116 Al-Dhāriyāt (51): 66. 117 Al-Rūm (30): 30. 118 Kashf al-Khafa, 2 vols. 4th pr, Bayrut, 1985, vol. 2, hlm.419, no 2806. Al-Thabrani, al-Tirmizi, ibn Abi Syahbah, dari ibn ‘Abbas. 108 109 111 Prolegomena dirinya sendiri tentang kebenaran perjanjian yang dibuatnya dengan Tuhan, yang menyertakan kepatuhan akan perintah dan larangan-Nya, kemudian dia lupa (nasiya) untuk memenuhi tugas dan tujuannya. Karenanya berdasarkan ibn ‘Abbās dengan referensi pada bagian dalam Qur’ān Suci,119 istilah insān diturunkan dari nasiya ketika dia mengatakan bahwa manusia disebut insān karena, setelah berjanji dengan Tuhan, lalu dia lupa (nasiya).120 Kelupaan merupakan sebab ketidakpatuhan manusia, dan sifat-dasar yang patut disalahkan ini menghendakinya menuju ketidakadilan (zulm) dan keabaian (jahl).121 Tetapi Tuhan telah melengkapinya dengan kekuatan dan fakultas penglihatan dan pengertian yang benar, perasaan sejati terhadap kebenaran, akan ucapan dan komunikasi yang benar; dan Dia telah menunjukkan kepadanya yang benar dan salah dalam hal jalur tindakan yang seharusnya dia ambil sehingga dia mungkin berusaha mencapai takdirnya yang cerah.122 Pilihan untuk yang lebih baik (ikhtiyār)123 ditinggalkan untuknya. Lebih lanjut, Tuhan telah melengkapinya dengan kecerdasan untuk mengetahui dan membedakan realitas dari non-realitas, kebenaran dari kebohongan, dan kejujuran dari kesalahan; dan meskipun kecerdasannya — atau melainkan fakultas imajinatif dan estimatifnya — mungkin membingungkannya,124 dan jika dia itu tulus dan benar pada sifat-dasarnya yang mulia, Tuhan, dari balasan, ampunan, dan keagungan-Nya, akan membantu dan membimbingnya mencapai kebenaran dan perilaku yang betul. Contoh tertinggi dalam kasus ini adalah Nabi Ibrahim, padanya kedamaian.125 Dengan demikian manusia dilengkapi dan dibentengi untuk menjadi wakil (khalīfah) Tuhan di bumi,126 dan sedemikianlah beban berat kepercayaan (amānah) diletakkan padanya — kepercayaan dan tanggung jawab untuk mengatur berdasarkan kehendak Tuhan, tujuan dan ridho-Nya.127 Kepercayaan menyiratkan tanggungjawab mengatur dengan adil, dan ‘mengatur’ tidak hanya bermakna mengatur dalam pengertian sosio-politis, maupun mengontrol alam dalam pengertian saintifik, tetapi lebih mendasar dalam kemenyeluruhan dari makna sifatdasar (al-tabī’ah), mengatur bermakna pengaturan, pemerintahan, pengontrolan, dan pemeliharaan manusia oleh dirinya atau jiwa rasionalnya. Istilah hati (qalb), jiwa atau diri (nafs), ruh (rūh), dan intelek (‘aql) digunakan dalam hubungan kepada jiwa masing-masing mengandung dua makna; yang satu menunjuk pada aspek material atau fisik dari manusia, atau pada tubuh; dan yang lain pada aspek non-material, imajinal dan intelejensial atau spiritual, atau pada jiwa manusia.128 Secara umum, dan dari sudut pandang etis, makna pertama menunjuk kepada aspek yang darinya diasalkan kualitas yang patut disalahkan dalam manusia, dan mereka merupakan kekuatan hewani yang kendati keberadaan mereka yang bermanfaat bagi manusia dalam beberapa hal, ada dalam konflik dengan kekuatan intelektual. Tambahan kebersalahan kepada kekuatan hewani yang inheren dalam aspek fisik manusia tidak seharusnya dibingungkan dengan gagasan perendahan tubuh manusia, yang tentunya berlawanan dengan ajaran Islām. Manusia diciptakan “dalam cetakan yang terbaik”, tetapi tanpa kepercayaan-kuat sejati dan kerja yang baik dia itu lebih buruk dari Tā Hā (20): 115. LA, vol. 6, hlm.11, kol.1. 121 Al-Ahzāb (33): 72. 122 Al-Balad (90): 8-10; Al-Ahqāf (46): 26; Al-Nahl (16): 78; Al-Sajdah (32): 9; Al-Mulk (67): 23; Al-Mu’minūn (23): 78. 123 Lihat Pengenalan di atas, hlm. 33-34. 124 Al-Ghazāli, Mishkāt al-Anwār, Kairo, 1964, hlm. 47. 125 Al-An’ām (6): 74-82. 126 Al-Baqarah (2): 30. 127 Al-Ahzāb (33): 72. 128 Ihyā’, vol. 3, hlm. 3; Ma’ārij, hlm. 15 fol. 119 120 112 Prolegomena binatang terendah.129 Terhadap aspek non-bermanfaat dari kekuatan hewani inilah Nabi Suci meminta kita ketika dia menyebut perjuangan terbesar (jihād) dari manusia, karena mereka merupakan musuh yang ada di dalam.130 Makna kedua menunjuk pada realitas manusia dan esensinya. Makna ini menunjuk pada tradisi Kenabian yang cukup dikenal: “Siapapun yang mengenali dirinya mengenali Rabbnya.” Esensi sejati manusia berasal dari dunia kekuasaan (al-malakūt) dan perintah (al-amr).131 Ketika hal tersebut menghendaki dirinya sendiri menuju arah yang benar, maka kedamaian ilahiyah (al-sakīnah) akan turun kepadanya,132 dan pancaran (effusion) ilahiyah akan kerelaan hati secara bergantian akan dimasukkan di dalamnya hingga ia mencapai ketenangan dalam pengingatan Tuhan dan hidup dalam pengetahuan akan keilahiyahan-Nya, dan membumbung tinggi menuju tingkatan tertinggi dari horizon malaikat. Qur’ān Suci menyebut kondisi jiwa ini, jiwa yang tenang (al-nafs al-mutma’innah).133 Fakultas atau kekuatan jiwa adalah bagaikan tentara yang disatukan dalam pertempuran terus menerus akan keberhasilan yang bergantian. Kadangkadang jiwa tersebut menarik kekuatan intelektual dan menemui yang intelijibel dengan mana kebenaran abadi mereka menyebabkannya mengakui kesetiaan kepada Tuhan; dan kadangkadang kekuatan hewaninya menarik turun pada kaki gunung terbawah dari sifat-dasar binatang. Kebimbangan dalam kondisi jiwa ini merupakan kondisi jiwa yang mencela diri sendiri (al-nafs allawwāmah);134 hal tersebut merupakan perjuangan yang sungguh-sungguh dengan kekuatan hewaninya. Dengan pengetahuan, moral yang baik, dan kerja yang baik mungkinlah bagi manusia untuk mencapai sifat-dasar malaikat, dan ketika dia telah sampai, dia tidak lagi memiliki kesamaan dengan sesamanya dalam sifat-dasar hewani di dalam dirinya kecuali pada bentuk keluar (outward) dan kebiasaan. Tetapi jika dia jatuh ke dalam kedalaman menurun dari sifat-dasar binatang dan tetap ditawan dalam kondisi tersebut, maka dia terpisah dari sifat-dasar yang umum pada kemanusiaan dan muncul sebagai manusia hanya dalam bentuk dan konstruksi. Kondisi ini merupakan kondisi jiwa yang menghasut kepada kejahatan (al-nafs al-ammārah bi ‘lsū’).135 Dalam pengertian yang spesifik, dan ketika menunjuk pada hati, makna pertama tersebut menunjukkan gumpalan bentuk-kerucut otot daging yang terletak di sisi kiri dada. Hal itu merupakan sirkulator darah kepada setiap bagian tubuh dan sumber-kepala dari uap subtil yang merupakan wahana jiwa fisik hewani. Melalui wahana ini jiwa hewani muncul dari sumberkepalanya dalam jantung (heart) ke otak melalui urat nadi ke seluruh bagian tubuh. Jiwa ini merupakan pengandung kehidupan hewani dan umum bagi semua hewan. Ketika hal tersebut hilang maka menyebabkan kematian indera eksternal yang melibatkan tubuh sebagai keseluruhan. Dalam hal intelek, makna pertama tersebut menunjukkan abstraksi objek dunia eksternal dan perenungan realitas hal-hal, dan fungsinya ditempatkan di pelbagai wilayah otak. Jiwa atau diri kadang-kadang menunjuk eksistensi konkret dan individual dari suatu hal atau seseorang.136 Dengan referensi pada makna dari empat istilah yang digunakan dalam hubungan dengan jiwa ketika mereka menyentuh jiwa manusia, mereka semua menunjukkan entitas tak terbagi dan Al-Tīn (95): 4-5. Bayhaqi, Zuhd, dari Jābir. Ibn Hajar mengatakan hadits ini cukup dikenal. Kashf al-Khafā’, vol. 1, hlm. 511, no. 1362. 131 Yā Sīn (36): 83; Al-Mu’minūn (23): 88. 132 Al-Baqarah (2): 248; Al-Tawbah (9): 26;40; Al-Fath (48): 4. 133 Al-Fajr (89): 27. 134 Al-Qiyāmah (75): 2. 135 Yūsuf (12): 53. 136 Ma’ārij, hlm. 15-18. 129 130 113 Prolegomena identik, yakni sebuah substansi spiritual yang merupakan realitas atau inti esensi manusia. Dalam pengertian ini mereka menunjuk pada prinsip pemersatu yang ditunjuk sebagai kamāl atau kesempurnaan makhluk, pada modus eksistensi yang mengubah sesuatu yang potensial menjadi aktual.137 Entitas ini, yang merupakan kehalusan spiritual (al-latīfah al-rūhāniyyah), merupakan suatu hal yang diciptakan, tetapi tidak binasa; entitas tersebut tidak diukur dalam pengertian keluasan ruang dan waktu, atau kuantitas; entitas tersebut sadar dirinya sendiri dan merupakan lokus dari pengertian; dan cara mengetahuinya hanya melalui intelek dan dengan observasi terhadap aktifitas-aktifitas yang berasal di dalamnya. Entitas tersebut memiliki banyak nama sebab modus dan kondisi aksidentalnya (ahwāl). Jadi ketika entitas tersebut terlibat dalam inteleksi dan pengertian entitas itu disebut ‘intelek’; ketika mengatur tubuh entitas itu disebut ‘jiwa’; ketika bertaut dalam menerima iluminasi intuitif entitas itu disebut hati; dan ketika kembali pada dunianya sendiri dari entitas abstrak entitas itu disebut ‘ruh’. Tentu saja, entitas tesebut pada kenyataannya selalu bertaut mewujudkan dirinya sendiri dalam semua kondisinya. Jiwa memiliki fakultas-fakultas atau kekuatan-kekuatan (quwā) yang menjadi termanifestasi dalam hubungannya dengan tubuh. Pada tumbuhan mereka itu merupakan kekuatan nutrisi (al-ghādhiyyah), pertumbuhan (al-nāmiyyah), dan keturunan atau reproduksi (almuwallidah). Kekuatan tersebut, dalam pengertian umum dan bukan pengertian spesifik, terdapat juga pada binatang; dan pada manusia, dimana tubuhnya berada pada spesies hewan, terdapat kekuatan kemauan atau tindakan seketika (al-muharrikah), dan persepsi (al-mudrikah) dalam tambahan pada nutrisi, pertumbuhan, dan reproduksi. Semua kekuatan tersebut milik jiwa, dan dalam pandangan akan keumuman kesatuan mereka secara umum dalam tubuh yang berbeda maupun keterpisahan kesatuan secara spesifik berdasarkan sifat-dasar dari spesies yang berbeda, jiwa tersebut sedikit banyak seperti sebuah genus yang dibagi menjadi tiga jiwa yang berbeda secara berturut-turut: jiwa vegetatif (al-nabātiyyah), hewani (al-hayawāniyyah), dan insan (alinsāniyyah) atau rasional (al-nātiqah). Kekuatan yang khas pada jiwa hewani adalah penggerak (motive) dan perseptif, dimana masing-masing memiliki dua jenis. Kekuatan penggerak beroperasi sebagai pembangkit (arouser) tindakan (al-bā’ithah ‘alā ‘l-fi’l) pada satu sisi, dan sebagai dirinya sendiri pengaktif (fā’ilah) atau aktuator di pihak lain. Sebagai pembangkit tindakan, hal tersebut mengarahkan gerakan yang ditarik oleh apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Ketika tertarik dengan apa yang dibayangkan sebagai sesuatu yang bermanfaat, hasratnya terhadap hal itu membangkitkan kekuatan aktif untuk mencapainya. Ketika ditarik oleh apa yang dianggap berbahaya, keengganan terhadapnya itu membangkitkan kekuatan aktif untuk menghindari atau menanggulanginya. Daya tersebut adalah keinginan yang kuat (appetitive/nuzū’iyyah), dan aktifitasnya diarahkan oleh dua sub-fakultas: fakultas hasrat (al-shahwāniyyah), dan fakultas amarah (al-ghadabiyyah). Sebagai aktuator, daya tersebut memulai dan mengomunikasikan awal pergerakan yang memulai operasi dari saraf, otot, tendon, dan ligamen menuju pemenuhan tujuannya berdasarkan dengan apa yang dihasrati atau dilawannya.138 Dalam hal daya perseptif, hal ini terdiri atas panca indera eksternal (al-hawāss) dalam tatanan pengembangan akan sentuhan, bau, rasa, penglihatan, dan pendengaran secara berturutturut. Hal tersebut menampilkan fungsi persepsi terhadap hal-hal partikular dalam dunia eksternal. Dalam tambahan pada hal tersebut itu terdapat panca indera internal yang menerima secara internal citra inderawi dan makna mereka, mengombinasikan atau memisahkan mereka, 137 138 Ma’ārij, hlm. 21-22; Shifa, hlm. 9-10; Najāt, hlm. 197. Ma’ārij, hlm. 37 fol.; Shifā’, hlm. 33; Najāt, hlm. 197-198. 114 Prolegomena menerima gagasan akan mereka, memelihara konsepsi yang sedemikian diterima, dan menampilkan inteleksi terhadap mereka.139 Kekuatan perseptif dari indera-indera internal dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis: beberapa menerima tetapi tidak menyimpan objek mereka; beberapa menyimpan objek tetapi tidak bertindak terhadap mereka; beberapa menerima objek dan bertindak terhadap mereka. Persepsi itu merupakan baik akan bentuk atau makna (cth. maksud atau penunjuk) dari objekobjek inderawi; dan indera-indera yang menyimpan objek mereka baik menyimpan bentuk atau makna mereka; dan indera-indera yang bertindak terhadap objek-objek mereka bertindak pada bentuk atau makna mereka. Penerima kadang-kadang menerima secara langsung dan kadangkadang secara tidak langsung melalui kekuatan perseptif yang lain. Perbedaan antara bentuk dan makna adalah bahwa bentuk merupakan apa yang pertama kali diterima dengan indera eksternal, dan kemudian oleh indera internal; makna merupakan apa yang indera internal terima dari objek inderawi tanpa sebelumnya menerima dengan indera eksternal. Dalam tindakan persepsi, penerima menerima bentuk dari objek eksternal, yakni, sebuah citra atau representasi dari realitas eksternal, dan bukan realitas itu sendiri. Maka apa yang diterima indera bukanlah realitas eksternal, tetapi sebagai representasi dalam indera-indera. Realitas eksternal adalah yang darinya indera mengabstraksi bentuknya. Secara serupa, dalam hal makna, bentuk intelijibel merupakan representasi realitas yang tercetak kepada jiwa, karena intelek sudah mengabstraksi mereka dari tambahan aksidental yang asing terhadap sifat-dasar mereka, seperti kuantitas, kualitas, ruang, dan posisi.140 Eksistensi indera-indera internal ditetapkan dengan jalan intuisi (al-wijdān).141 Yang pertama dari indera-indera internal tersebut menerima informasi yang dibawa indera-indera eksternal, mengombinasi, dan memisahkan citra internal atau representasi dari objek inderawi eksternal. Indera tersebut adalah indera umum (al-hiss al-mushtarak),142 yang juga disebut fantasi (fantāsiā). Indera umum secara langsung menerima data dari panca indera eksternal. Hal yang serta merta adalah bahwa objek-objek inderawi eksternal pertama kali ditampilkan pada indera eksternal sebelum mereka dapat diterima oleh indera umum. Indera umum hanya menerima sensasi individual yang partikular, dan bukan pengertian universal, dan indera tersebut mampu merasakan nikmat dan sakit, baik diterima dalam imajinasi maupun dalam objek inderawi eksternal. Indera umum mengumpulkan bersama bentuk inderawi, mengombinasikan dan memisahkan bentuk-bentuk yang sama dan yang berbeda sehingga memungkinkan persepsi. Persepsi terhadap bentuk ini, yang merupakan citra atau representasi internal dari objek inderawi, disebut fantasi, dan perekamnya adalah indera imajinasi (al-khayāl) atau fakultas representatif (alkhayāliyyah). Indera umum, dapat lebih lanjut dicatatkan, hanya menerima data yang disediakan indera eksternal, yang mengumpulkan bersama yang sama dan yang berbeda, tetapi tidak menyimpan apa yang diterima. Fungsi perekaman dan penyimpanan citra atau bentuk objek eksternal yang diterima indera umum berada pada indera internal kedua yang disebut fakultas representatif yang baru saja disebutkan. Fakultas ini menyimpan citra-citra yang merepresentasikan objek eksternal ketika Ma’ārij, hlm. 41; Shif’a, hlm. 33-34; Najāt, hlm. 198. Ma’ārij, hlm. 44-45; Najāt, hlm. 200-201 141 Istilah wijdān digunakan oleh al-Ghazāli dalam Ma’ārij (hlm. 45). Di sini itu dipahami dalam pengertian umum sebagai intuisi berdasarkan introspeksi. 142 Cth. sebuah indera internal yang umum bagi semua panca indera eksternal. Indera tersebut menyatukan sensasi dari semua indera dalam sensasi atau persepsi secara umum. Untuk al-hiss al-mushtarak, lihat AlShifā’, hlm. 145 fol. Terjemahan istilah Latinnya adalah communis sensus, dari mana istilah ‘indera umum (common sense) diturunkan. Maka, di sini indera umum digunakan sebagai istilah teknis, dan bukan dalam penggunaan umum setiap hari sebagai sesuatu yang cukup bukti atau jelas. 139 140 115 Prolegomena objek tersebut tidak lagi hadir pada indera eksternal, dan dengan demikian merekam informasi yang diterima oleh indera umum dari indera-indera eksternal dan memelihara citra-citra mereka, makna individual dan kolektif mereka, dan representasi itu sudah ada di tempat tersebut untuk kehadiran indera internal yang ketiga, yakni fakultas estimatif (al-wahmiyyah). Fakultas ini menerima hal-hal inderawi partikular terhadap makna non-inderawi mereka, seperti kebencian dan cinta, dan menampilkan fungsi putusan terhadap yang benar dan salah dan yang baik dan buruk menyentuh pada objeknya seolah-olah mereka itu objek inderawi dunia eksternal. Fakultas estimasi adalah dimana putusan dan pendapat dibentuk, dan kecuali diperintah oleh intelek, kekuatan estimatif dan kekuatan imajinatif yang terhubung dengannya merupakan sumber kesalahan terhadap putusan.143 Dengan fakultas ini, contoh, jiwa menolak substansi intelektual yang tidak terikat maupun dilokasikan; dengannya jiwa mengakui eksistensi kehampaan yang meliputi alam semesta; dan dengannya juga jiwa dibuat menerima keabsahan silogisme berdasarkan premis rumit dan untuk membedakan dalam kedatangan kepada kesimpulan. Fakultas estimatif mengarahkan putusan bukan dalam jalan analitik yang mengarakteristikkan putusan intelektual, tetapi dengan jalan imajinatif yang ditentukan oleh citra-citra memori melalui proses asosiasi dari pengalaman masa lalu, atau bukan dengan citracitra memori, tetapi dengan sebuah interpretasi naluriah akan citra yang diterima oleh jiwa tanpa melalui proses asosiasi dari pengalaman masa lalu.144 Seperti fakultas representatif yang memelihara bentuk yang diterima dari indera umum, indera internal keempat, yang disebut fakultas retentif dan rekolektif (al-hāfizah dan al-dhākirah), menyimpan makna dan memelihara mereka untuk fakultas estimatif yang menerima makna tersebut. Fakultas retentif itu menyimpan makna partikular dan mengingat mereka untuk pemeriksaan yang dekat dan penilaian oleh penerima selama apapun sejauh mereka tetap di dalamnya. Ketika mereka menjadi absen dari retensi dan penerima ini memohon untuk memanggil mereka kembali, maka hal tersebut disebut fakultas rekolektif. Hubungan fakultas retentif dengan makna sama seperti hubungan fakultas representatif dengan hal-hal inderawi yang citranya dibentuk dalam indera umum. Indera internal kelima adalah fakultas imajinatif (al-mutakhayyilah). Fakultas imajinatif menerima bentuk, kemudian mengombinasikan dan memisahkan mereka dalam tindakan klasifikasi; menambahkan kepada mereka dan mengambil dari mereka sehingga jiwa dapat menerima makna objek dan menghubungkan mereka dengan bentuk atau citranya. Kecondongan alamiah fakultas inilah untuk menampilkan fungsi penilaian dalam bentuk teratur atau nonteratur, sehingga dengan cara demikian jiwa dapat menggunakannya untuk merumuskan tatanan apapun sekehendaknya. Jiwa menggunakan fakultas ini untuk tujuan klasifikasi dengan mengombinasikan dan memisahkan objek-objeknya, dimana kadang-kadang melalui rasio praktis dan kadang-kadang melalui rasio teoritis. Sifat-dasarnya yang esensial adalah menampilkan fungsi mengombinasikan dan memisahkan, dan bukan persepsi. Ketika jiwa menggunakannya sebagai instrumen intelektual fakultas tersebut bersifat kogitatif; dan ketika digunakan berdasarkan kecondongan alamiahnya fakultas tersebut bersifat imajinatif. Jiwa menerima apa yang fakultas ini kombinasikan dan pisahkan terhadap bentuk-bentuk melalui perantara indera umum maupun melalui perantara fakultas estimatif. Dalam bentuk yang lebih berkembang fakultas ini menangkap gagasan melampaui lingkungan inderawi dan citra inderawi. Fakultas tersebut secara khusus merupakan fakultas manusia yang tidak ditemukan dalam hewan yang lebih rendah. Dengan fakultas ini dibangun prinsip keniscayaan dan aplikasi universal. 143 144 Mishkāt, hlm. 47. Ma’ārij, hlm. 46. 116 Prolegomena Maka, indera internal yang kelima, memiliki fungsi ganda yang berhubungan dengan jiwa hewani dan manusia secara berturut-turut. Dalam pengertian ini, fakultas ini memiliki dua aspek: sebagai aspek pada indera, dan sebuah aspek pada intelek. Dalam kasus sebelumnya indera internal tersebut menerima bentuk inderawi sebagaimana indera menerimanya, yakni baik sebagai realitas atau sebagai sesuatu yang metaforis. Sebagai sebuah realitas indera tersebut menghadirkan bentuk sebagaimana hal tersebut adanya dalam dirinya sendiri; sebagai sebuah metafora indera tersebut menghadirkan bentuk bukan sebagaimana hal tersebut adanya dalam dirinya sendiri, tetapi sebagai bentuk yang dilihat dengannya sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri, contoh, sebuah fatamorgana. Dalam kasus yang kemudian indera tersebut menerima bentuk-bentuk intelijibel sebagai fakultas kogitatif yang menangkapnya, yakni, sebagai benar atau palsu. Sebagai sesuatu yang benar hal tersebut merupakan bentuk tersebut sebagaimana ia sungguh-sungguh ada; sebagai sesuatu yang salah hal tersebut merupakan bentuk yang bukan sebagaimana ia sungguh-sungguh ada, tetapi sebagai bentuk yang diterima olehnya seperti ia sesungguhnya ada, contoh, sulap atau sihir, atau putusan salah yang lain terhadap fakta.145 Dalam hubungan dengan jiwa hewani fakultas tersebut merupakan fakultas imajinasi inderawi (almutakhayyal) yang menghasilkan kemampuan teknik dan artistik; dalam hubungan dengan jiwa manusia fakultas tersebut merupakan fakultas imajinasi rasional (al-mufakkirah). Dalam hubungan dengan jiwa rasional manusia fakultas ini bersifat kogitatif. Fungsinya itu sebagai pengatur data dari rasio teoritis, mengombinasikan dan mengatur mereka sebagai premis-premis yang darinya ia mendeduksikan pengetahuan diinformasikan. Kemudian dari pengetahuan ini fakultas tersebut menurunkan kesimpulan, dan dari dua jenis kesimpulan sedemikian fakultas tersebut menurunkan yang lain dan mengombinasikan mereka namun mendapatkan lagi kesimpulan yang baru dan seterusnya.146 Maka, hal-hal tersebut merupakan panca indera internal yang dijelaskan secara ringkas dan umum. Dengan referensi pada klasifikasi mereka ke dalam tiga jenis kini kita dapat mengidentifikasi mereka: penerima bentuk adalah indera umum, dan pemeliharanya adalah fakultas imajinatif atau representatif. Penerima makna adalah fakultas estimasi, dan pemeliharanya adalah fakultas retentif dan rekolektif. Yang menerima dan bertindak terhadap objeknya adalah fakultas imajinatif, sementara yang hanya menerima dan tidak bertindak terhadap objeknya adalah fakultas estimasi dan indera umum. Indera-indera internal tersebut tidak memiliki organ spesifik sebagai instrumen perantara yang menampilkan fungsi spesifik seperti yang ada pada indera eksternal, tetapi mereka merupakan suatu kualitas imajinal dan intelektual dan memiliki hubungan dengan perantara fisik, dan pelbagai fungsi mereka dilokalisasi dalam bagian depan, belakang, dan tengah dari otak.147 Fakultas-fakultas jiwa bukan entitas terpisah yang masing-masing bertindak secara berbeda terlepas dari jiwa itu sendiri. Mereka terlihat demikian dan menampilkan fungsi yang berbeda beberapa dari mereka lebih dahulu dalam waktu dari yang lain bukan karena mereka secara esensial berbeda satu sama lain, tetapi karena lokalisasi fungsi melalui organ yang berbeda, dan yang fungsinya teraktualisasi pada waktu yang berbeda, dan berkaitan dengan kondisi yang berbeda di mana jiwa tersebut terlibat. Dalam hal ini, fakultas-fakultas jiwa pada kenyataannya merupakan jiwa itu sendiri yang mewujudkan dirinya berdasarkan pelbagai modusnya. Jiwa manusia yang rasional juga memiliki dua kekuatan yang keduanya merupakan aspek dari intelek yang sama. Salah satu dari aspek tersebut adalah aktif (‘āmilah), dan yang lain kognitif (‘ālimah). Sejauh fungsinya sebagai intelek aktif jiwa tersebut merupakan prinsip pergerakan dari Ma’ārij, hlm. 77. Ibid, hlm. 45-47. 147 Ma’ārij, hlm. 47-48; Shifā’, hlm. 145-150. 145 146 117 Prolegomena tubuh manusia. Jiwa tersebut merupakan rasio praktis, yang mengarahkan tindakan individu dalam kesepakatan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif. Dalam hubungan dengan kekuatan penggerak dari jiwa hewani, yang bertanggungjawab dalam penggunaan keinginan supaya hasrat atau kemauan akan muncul dalam tindakan, jiwa tersebut menghasilkan emosi manusia. Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan representasi, fakultas estimatif, dan imajinatifnya jiwa tersebut mengatur objek fisik dan menghasilkan kemampuan dan seni manusia; dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi rasional jiwa tersebut memunculkan premis-premis dan kesimpulan. Sejauh jiwa tersebut memerintah dan mengatur tubuh manusia ia mempengaruhi perilaku etis dalam manusia yang melibatkan pengenalan keburukan dan kebajikan.148 Jiwa dapat dipertimbangkan sebagai memiliki dua aspek dalam hubungan penerima dan pemberian-efek: sebuah aspek menuju apa yang lebih rendah dalam derajat dari dirinya sendiri, seperti tubuh; dan sebuah aspek menuju apa yang lebih tinggi derajatnya daripada dirinya sendiri, seperti dunia ruh darimana dirinya berasal. Dalam hubungan dengan apa yang diterima dari apa yang ada di atasnya untuk kemanfaatan dan tindakannya, jiwa adalah penerima efek; dan dalam hubungan dengan apa yang di bawahnya, jiwa tidak dapat menjadi seorang penerima, tetapi pemberi efek.149 Dari aspek jiwa ini yang menghendaki menuju apa yang lebih rendah muncul persoalan prinsip etis dan gagasan terhadap keburukan dan kebajikan bagi petunjuk tubuh; dan dari aspek yang melihat pada apa yang lebih tinggi jiwa menerima pengetahuan. Sebagai seorang penerima kekuatan kreatif dari pengetahuan melalui inteleksi dan intuisi jiwa merupakan intelek kognitif. Kekuatan intelek kognitif bersifat spekulatif (nazariyyah). Hal tersebut memengaruhi kepada pengaturan bentuk universal yang secara absolut terpisah dari materi; tujuannya adalah abstraksi akan intelijibel dari materi, ruang, dan posisi; intelek kognitif bertindak pada konsep dari konsep seperti intelijibel sekunder (al-ma’qūlat al-thāniyah).150 Jika bentuk-bentuk universal tidak sepenuhnya terpisah dari materi, tetapi terpisah hanya dalam pelbagai derajat pemisahan yang tetap memiliki hubungan material, seperti konsep objek dari dunia eksternal atau intelijibel primer (al-ma’qūlāt al-ūlā),151 maka hal tersebut akan memengaruhi pemisahan absolut mereka dengan abstraksi. Jika bentuk-bentuk universal dalam dirinya itu abstrak, maka intelek kognitif mengambil mereka sebagaimana adanya mereka. Proses abstraksi dari inderawi ke intelijibel, yang pada kenyataannya merupakan sebuah proses epistemologis menuju kehadiran kepada makna, mengalami pelbagai tahapan pemenuhan yang memimpin kepada kesempurnaan. Proses tersebut sudah dimulai pada tindakan awal persepsi oleh indera; kemudian mencapai pada derajat tipis yang lebih tinggi akan pemenuhan dengan imajinasi, dan lebih lanjut diperbaiki fakultas estimasi bahkan sebelum mencapai abstraksi penuh dan sempurna oleh intelek.152 Bentuk-bentuk inderawi dan partikular yang sudah dicetak dalam fakultas estimasi, imajinasi, dan sensasi sebelum kehadiran bentuk intelijibel dan universal dalam intelek, hal tersebut tertinggal dalam entitas-entitas fisik yang menampilkan kekuatan perseptif dan fakultas-fakultas yang fungsinya dilokalisasi dalam tubuh. Ketika bentukbentuk tersebut hadir dalam fakultas-fakultas tersebut dan disimpan oleh pemelihara mereka, mereka bertugas sebagai bentuk-bentuk intelektual, atau bentuk-bentuk yang mengalami abstraksi penuhnya yang membutuhkan penggunaan kekuatan intelek. Dalam hal hubungan Ma’ārij, hlm. 49-50; Shifā’, hlm. 185; Najāt, hlm. 202-203. Cth. Akibat yang baik atau yang buruk. Lihat tiga derajat jiwa yang disebutkan dalam hlm. 146-147 di atas. 150 Cth. Seperti konsep ‘hewan rasional’ sebagaimana diturunkan dari konsep lain dari ‘manusia’. 151 Cth. Seperti konsep ‘manusia’ sebagaimana berhubungan pada sebuah maujud manusia yang partikular. 152 Lihat Ma’ārij, hlm. 61-62; Shifā’, hlm. 50-51 fol; Najāt, hlm. 207-210. 148 149 118 Prolegomena intelek dengan imajinasi rasional, isi dari imajinasi yang melayani intelek sebagai intelijibel potensial, lalu menjadi intelijibel aktual ketika intelek menilai mereka; bukan dalam pengertian berubah menjadi bentuk lain dari kondisi potensialitas mereka dalam imajinasi, atau dipindahkan dari hal yang sudah disebutkan, karena mereka tetap sebagaimana adanya mereka dalam imajinasi dan mempertahankan karakter mereka sebagai citra. Hanya ketika intelek menilai citra, mereka menghasilkan sebuah akibat seperti akibat yang muncul ketika sinar jatuh kepada hal-hal inderawi yang dibungkus dalam kegelapan yang membuat mereka terlihat. Dengan demikian intelijibel aktual merupakan sesuatu yang lain daripada bentuk dari imajinasi, yang hanya bertugas menciptakan bentuk-bentuk lain dalam intelek ketika intelek menilai mereka, yakni, mempertimbangkan, membandingkan dan menganalisis mereka, dan kemudian mengabstraksi mereka dari tambahan material dan tiba pada makna universal mereka. Pertama kali intelek memisahkan sifat-dasar esensial mereka dari tambahan aksidental, karakteristik yang sama dan berbeda, lalu dari banyak makna yang sama intelek dapat tiba pada makna universal tunggal mereka; dan dari makna yang sama dalam masing-masing dari yang berbeda intelek mampu tiba pada makna mereka yang majemuk. Maka, intelek memiliki kekuatan menurunkan banyak makna dari yang tunggal, dan makna tunggal dari yang banyak. Aktifitas intelek ini menjadi termanifestai dalam rumusan kita dalam pembagian logis akan genus, spesies, dan diferensia; rumusan akan silogisme kita yang memampukan kita untuk tiba pada kesimpulan; rumusan definisi-definisi.153 Dalam hal keberadaan intelek sebagai seorang penerima akan akibat dari apa yang ada di atasnya, kekuatan spekulatif dari intelek kognitif memiliki banyak hubungan dan operasi. Kekuatan tersebut bukan hanya penerima pasif, karena yang merupakan penerima terhadap sesuatu yang lain adalah penerima dalam pengertian kekuatan dan tindakan.154 Kekuatan itu bermakna tiga cara dalam pengertian prioritas dan posterioritas: sebagai potensi absolut (al-isti’dād al-mutlaq); sebagai yang mungkin (mumkinah) atau posesif (malakah); dan kesempurnaan (kamāl). Potensi absolut adalah kondisi being yang hanya merupakan potensialitas yang mampu menerima akibat; potensi absolut merupakan kekuatan murni tanpa tindakan, seperti kekuatan pada anak kecil untuk menulis. Seperti anak kecil yang tumbuh dan berkembang menjadi pemuda, kekuatan dalam potensialitas terhadap menerima akibat secara bertahap teraktualisasi dengan instrumen aktualisasi pada tingkat tersebut yang mungkin baginya untuk menerima pada tahap ini tanpa membutuhkan perantara instrumen fisik apapun.155 Dia kini tahu bagaimana menggunakan tinta, dan pena; dan memahami huruf-huruf sederhana dan dengan demikian memiliki kapasitas untuk menuliskannya. Kemudian ketika dia menjadi dewasa, kekuatannya menjadi teraktualisasikan sepenuhnya dengan instrumen aktualisasi, sehingga dia dapat bertindak kapanpun dia menginginkannya tanpa membutuhkan kemahiran, tetapi yang cukup baginya hanya dengan menginginkan tindakan lalu dia bertindak, seperti kekuatan pada penulis yang telah mencapai kesempurnaan dalam kemampuan dan pengetahuannya ketika dia tidak menulis. Tentu saja, inteleklah yang merupakan agen atau instrumen aktualisasi dari kekuatan yang terbentang dalam potensialitas dalam pelbagai tahapan perkembangan manusia dari anak-anak kepada dewasa.156 Hubungan dan operasi kekuatan spekulatif intelek kognitif melibatkan empat aspek intelek yang mengatur tahap perkembangan intelektual manusia dari hanya potensi menuju Shifā’, hlm. 208-211; Ma’ārij, hlm. 126. Ma’ārij, hlm. 51; Shifā’, hlm 39; Najāt, hlm. 204. 155 Tanpa membutuhkan perantara instrumen fisik apapun, sebab instrumen sejati dari aktualisasi adalah intelek, sebagaimana baru kita nyatakan. 156 Ma’ārij, hlm 91; Shifā’, hlm. 39-40; Najāt, hlm. 204 153 154 119 Prolegomena aktualisasi sempurna. Aspek pertama itu disebut intelek material (al-’aql al-hayūlanī). Hal itu disebut demikian dengan jalan analogi dengan konsep Yunani tentang materi dasar (al-hayūlā: bahasaYunani hylê), yang merupakan materi murni tanpa bentuk, tetapi mampu menerima semua bentuk. Namun, terdapat perbedaan antara konsepsi Yunani tentang materi dasar dan intelek material yang kita bicarakan di sini; dan hal itu adalah bahwa sementara materi dasar mampu menerima semua bentuk, intelek material hanya menerima bentuk yang potensialitas atau kekuatan partikularnya mampu menerima dan kapasitas laten ini tidaklah sama bagi setiap individu.157 Aspek kedua adalah intelek mungkin (al-’aql al-mumkin) atau intelek posesif (al-’aql bi’l-malakah), yang mampu, dengan kekuatan yang telah diaktifkan di dalamnya, untuk menerima dari intelijibel primer prinsip pertama yang dibangun oleh premis-premis di atas sandaran kebenaran swa-bukti, yakni, yang diperoleh bukan dengan deduksi maupun verifikasi, tetapi secara serta merta — seperti penangkapan terhadap kebenaran dalam pernyataan bahwa keseluruhan sesuatu adalah lebih besar daripada bagiannya, atau bahwa hal-hal yang sepadan dengan yang lain dan hal yang sama itu adalah sepadan satu sama lainnya. Berkenaan dengan intelek material, intelek ini (intelek mungkin, pen.) aktif, karena sementara yang terdahulu hanya memiliki kekuatan tanpa tindakan sedemikian sehingga tidak ada yang dapat mengeluarkan darinya, maupun memiliki instrumen aktualisasi yang dapat dicapai dengannya, intelek yang kemudian inilah yang merupakan agen untuk membawa apa yang potensial pada yang terdahulu berdasarkan kekuatan untuk menghasilkan yang mungkin dalam dirinya sendiri pada tahap ini. Berhubungan dengan intelek posesif, intelek yang dalam aksi ini memungkinkan bagi yang sebelumnya menangkap bentuk spekulatif dari intelijibel primer, yang darinya menjadi mungkinlah bagi yang terdahulu untuk tiba pada intelijibel sekunder. Intelek posesif tidak menilai bentuk-bentuk tersebut atau memberi pandangan-mendalam ke dalam sifat-dasar sejati mereka, tetapi hanya bertindak sebagai tempat penyimpanan mereka. Dalam hal ini intelek tersebut itu posesif karena mampu memiliki dan memelihara bentuk-bentuk untuk tindakan lebih lanjut oleh apa yang datang setelahnya. Pada tingkatan ini, intelek-dalam-aksi lagilah yang menilai bentuk-bentuk spekulatif dengan tindakannya; intelek tersebut menampilkan inteleksi terhadap mereka, dan menerima yang ditampilkan oleh inteleksi. Intelek tersebut disebut intelekdalam-aksi (al’aql bi’l-fi’l) karena merupakan agen untuk membawa keluar dengan tindakan, dan menampilkan inteleksi kapanpun ia inginkan tanpa membutuhkan usaha kemahiran. Dalam hubungan dengan apa yang datang setelahnya, intelek-dalam-aksi dapat disebut intelek potensial (al’aql bi’l-quwwah); karena sifat-dasar aktif dari intelek ini, dalam hubungan dengan kapasitasnya untuk bertindak secara absolut lalu menilai lebih lanjut bentuk-bentuk yang dihadirkan di dalamnya dengan tindakan, dan dengan cara yang sama intelek tersebut menampilkan inteleksi terhadap mereka dan lebih lanjut menampilkan inteleksi terhadap inteleksinya. Pada tahap aktualisasinya ini intelek itu disebut intelek perolehan (al’aql al-mustafād). Intelek tersebut disebut perolehan sebab ia menerima secara jelas bahwa ketika intelek potensial menjadi aktualitas absolut, hal tersebut demikian dengan sebab intelek yang selalu dalam aksi, dan bahwa ketika intelek yang selalu dalam aksi ini membuat sebuah hubungan spesifik dengan intelek potensial, intelek perolehan mencetak ke dalam yang kemudian sebuah bentuk spesifik, sehingga intelek tersebut memperoleh bentuk tersebut dari luar dirinya sendiri.158 Dari halaman depan menjadi jelas bahwa terdapat tiga tahap yang dengan melaluinya intelek manusia melewati perkembangan intelektualnya dari potensialitas murni kepada aktualitas. Tahap pertama adalah intelek material, yang bukan apa-apa kecuali sebuah potensi murni penerimaan bentuk-bentuk intelijibel. Ketika kondisi tidak aktifnya diaktifasikan kesan157 158 Lihat di bawah, hlm. 163 dan catatan 160. Ma’ārij, hlm. 52; Shifā’, hlm. 39-40; Najāt, hlm. 205. 120 Prolegomena kesan intelijibel yang datang dari intelek-dalam-aksi, menjadi mungkin baginya memiliki bentukbentuk intelijibel tanpa sungguh-sungguh berpikir tentang mereka. Pada tahap ini telah dicetakkan kepada intelek material bentuk-bentuk intelijibel dan menjadi pemelihara mereka. Intelek tersebut tidak lagi dalam kondisi potensialitas absolut; intelek tersebut kini merupakan intelek mungkin yang memiliki prinsip-prinsip pengetahuan. Hal ini merupakan tahap kedua. Kemudian ketika pada tahap ini intelek mungkin, kembali diaktifasikan oleh intelek-dalam-aksi, intelek mungkin menilai bentuk-bentuk intelijibel yang tercetak padanya. Ketika intelek mungkin itu memiliki semua bentuk spekulatif dan penerimaan pun berhenti, intelek mungkin melewati menjadi kondisi mapan yang cenderung untuk berpikir pada mereka. Kondisi terdahulunya dari potensialitas relatif kini telah menjadi potensialitas yang disempurnakan. Pada tahap ini intelek mungkin sebagai intelek-dalam-aksi menjadi mampu melakukan tindakan berpikir oleh dirinya sendiri, dan kecenderungan untuk melakukan itu menjadi kebiasaan baginya. Tahap ini merupakan tahap ketiga dimana intelek mungkin menjadi intelek posesif. Tahap perkembangan tersebut adalah umum bagi semua manusia, tetapi dalam beberapa kasus terdapat tahap keempat. Ketika intelek posesif sungguh-sungguh merefleksikan atas isinya sendiri, yakni, ketika ia berpikir, dan berpikir terhadap pemikiran yang sedang dipikirkan, intelek tersebut telah mencapai tahap aktualitas absolut dan menjadi intelek perolehan. Karena intelek potensial tidak dapat dengan dirinya sendiri menjadi aktual, aktualisasi intelek manusia dari potensialitas absolut kepada aktualitas absolut mengandaikan eksistensi sebuah kecerdasan eksternal yang selalu dalam tindakan dan mengubah intelek manusia dari kondisi murni laten kepada aktualitas yang sempurna. Kecerdasan eksternal ini adalah Kecerdasan Aktif (al-’aql al-fa’āl) yang diidentifikasikan sebagai Ruh Suci (al-rūh al-qudus)159, dan secara mendasar sebagai Tuhan. Dalam hubungan dengan intelek manusia, Kecerdasan Aktif merupakan intelek-dalam-aksi yang mengangkat intelek material potensial dari kondisi tidak aktifnya dengan mengaktifasikan di dalamnya pemikiran bentuk-bentuk universal dan kebenaran abadi yang dengan demikian mengubahnya menjadi intelek mungkin. Kemudian, menjadi lebih dan lebih diaktualisasi (cth. sebagai intelek posesif) dengan iluminasi yang diterima dari intelekdalam-aksi, intelek manusia menjadi mampu akan swa-inteleksi (cth. tahap dari intelek perolehan) dan menyerupai Kecerdasan Aktif. Dalam hubungan dengan Kecerdasan Aktif, intelek perolehan itu seperti intelek material potensial, yang diubah menjadi bentuk yang lebih tinggi ketika menerima iluminasi dari yang sebelumnya. Dengan demikian intelek manusia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: absolut potensial (dalam aksi) mungkin Intelek manusia (dalam aksi) Kecerdasan Aktif Posesif Sempurna (dalam aksi) Perolehan Bentuk lebih tinggi Ma’ārij, hlm. 124. Al-Ghazāli mengemukakannya sebagai bukti dari identitas Kecerdasan Aktif dari Teks Suci: Al-Najm (53): 5-6; Al-Shūrā (42): 51; dan Al-Takwīr (81): 19-20; Ma’ārij, hlm. 123. 159 121 Prolegomena Maka, hal tersebut merupakan pelbagai derajat kekuatan dalam hubungan dan operasi sifat-dasar spekulatif dari intelek kognitif. Di sini kita lihat kesempurnaan genus hewan dan spesies manusia itu diselesaikan dalam intelek perolehan. Kini intelek perolehan ini mencapai bentuk-bentuk yang lebih tinggi dari intelek yang bertingkat dalam pelbagai derajat keunggulan. Dalam hubungan dengan tataran ekisstensi yang lebih tinggi, intelek perolehan tidak lain dari intelek suci (al-’aql al-qudsī), yang mengarakteristikkan intelek para nabi, orang suci, dan pembelajar yang dibangun dalam pengetahuan, dimana masing-masing berdasarkan dengan pelbagai derajat mereka dalam keunggulan. Meskipun jiwa manusia itu umum pada manusia tetapi berbeda dalam potensi,160 dan hal tersebut berbeda pada individu berkaitan dengan perbedaan dalam aksiden yang membangun setiap personalitas; dan kekuatan potensial dalam intelek material oleh karena itu tidak sama kapasitasnya bagi setiap orang. Potensi dalam intelek diatur berdasarkan kemuliaan jiwa, dan yang tertingginya yakni Nabi Suci.161 Intelek secara esensial merupakan sebuah substansi spiritual; intelek bersifat non-material dan terpisah dari materi dan hanya tindakannya yang terhubung dengan materi. Sebuah entitas fisik atau material seperti tubuh tidak dapat menerima maupun mengandung pengertian; maupun pengertian dapat tertinggal dalam tubuh sebab entitas fisik dapat dibagi, dan apapun yang tertinggal di dalamnya juga terbagi. Karena pengertian itu bentuk universal dan tunggal hal tersebut tidak terbagi, dan mustahil untuknya tertinggal dalam entitas jasmani.162 Bentuk-bentuk intelijibel, dan bahkan bentuk-bentuk imajinasi kognitif, tidaklah memiliki penyimpanan fisik. Indera internal dalam tubuh menerima hanya bentuk inderawi partikular yang citra dan maknanya disimpan dalam fakultas representatif dan retentif atau kolektif yang melayani kekuatan imajinatif. Jika jiwa, yang tidak memelihara bentuk seperti itu, ingin memandang ulang konsep rasional yang menyentuh pada mereka membutuhkan pertimbangan ulang terhadap bentuk-bentuk tersebut melalui perantara fakultas tersebut, hal tersebut hanya harus memanggil mereka sebagaimana mereka ada dalam penyimpanannya. Namun, jika mereka tidak lagi ada dalam penyimpanan mereka maka penilaian terhadap mereka oleh jiwa rasional membutuhkan proses perolehan ulang. Dalam hal bentuk intelijibel, intelek menggunakan makna mereka setelah mereka telah tercetak di dalamnya. Intelek tidak memiliki realitas intelijibel aktual dalam diri mereka sendiri, maupun mereka tidak dikandung baik dalam tubuh maupun entitas fisik apapun seperti telah kita nyatakan, maupun dalam jiwa sebab jika mereka itu ada maka jiwa akan sadar terhadap mereka; dan kesadaran terhadap mereka secara sederhana bermakna tindakan inteleksi oleh jiwa rasional atau intelek, dan ini menunjuk pada bentuk dan makna mereka sebagaimana tercetak di dalamnya, bukan pada realitas-realitas intelijibel itu sendiri. Karena realitas intelijibel tersebut bukan dalam tubuh maupun dalam jiwa, mereka pasti ada secara eksternal bagi mereka. Eksistensi terpisah mereka yang eksternal bagi mereka bermakna baik sebagai entitas yang swaberada, atau entitas yang inheren dalam sebuah substansi dimana mereka berasal dan yang kecenderungannya adalah menjejakkan bentuk intelijibel dalam jiwa manusia. Tidaklah mungkin bagi mereka untuk swa-berada, karena realitas intelijibel inheren dalam sebuah substansi; dan dengan demikian maka penyimpanan mereka dan sumber asalnya merupakan substansi itu yang kita sebut Kecerdasan Aktif.163 Hubungan Kecerdasan Aktif dengan jiwa adalah seperti matahari dengan mata.164 Tanpa sinar yang datang dari matahari, mata yang dalam kegelapan tetap sebagai organ potensial dari Al-Baqarah (2): 286; Al-A’rāf (7): 42; Al-Mu’minūn (23): 62. Ma’ārij, hlm. 53; Shifā’, hlm. 212-220. 162 Ma’ārij, hlm. 123; Shifā’, hlm. 213-216. 163 Ma’ārij, hlm. 124. 164 Ma’ārij, hlm. 125; Shifā’, hlm. 208; Najāt, hlm. 231. Lihat juga di atas, hlm. 157-158. 160 161 122 Prolegomena penglihatan; dan objek penglihatan tetap secara potensial untuk terlihat. Hanya ketika matahari memancarkan sinarnya mata menjadi melihat secara aktual, dan objek mereka menjadi terlihat secara aktual. Sehingga dalam cara serupa demikian juga intelek potensial menjadi intelek aktual, dan intelijibel potensial menjadi intelijibel aktual dengan sinar yang dipancarkan oleh Kecerdasan Aktif kepada jiwa. Ketika kekuatan intelektif dari jiwa — yakni, intelek potensial — menilai halhal partikular dalam imajinasi, tindakan penilaian ini meletakkannya dalam sebuah kondisi kesiapan untuk menerima bentuk intelijibel universal dari Kecerdasan Aktif dengan jalan iluminasi. Tibanya kepada makna pada citra-citra partikular yang semua tambahan materialnya telah diabstraksi oleh iluminasi Kecerdasan Aktif adalah berkaitan dengan penangkapan langsung dalam jiwa atau intelek yang disebabkan iluminasi yang datang secara langsung dari Kecerdasan Aktif. Maka unsur-unsur makna yang ada dalam citra-citra tersebut bukanlah penyebab akan produksi kembaran mereka dalam intelek. Tindakan Kecerdasan Aktif kepada intelek potensial, menyebabkan penangkapan langsung yang kemudian mengubahnya menjadi sebuah intelek aktual, adalah sangat seperti penangkapan langsung yang tiba oleh intelek dari hubungan serta merta antara premis-premis dan kesimpulannya dalam silogisme. Maka aktifitas jiwa dalam penilaian terhadap hal-hal partikular hanyalah untuk membawa dirinya kepada sebuah kondisi kesiapan untuk menerima intelijibel dari Kecerdasan Aktif.165 Dalam hubungan dengan jiwa, intelek merupakan sebuah fakultas atau kekuatan jiwa yang menjadi termanifestasi dalam manusia sebagai jiwa rasional. Kekuatan intelektif ini merupakan sesuatu yang berbeda dari jiwa rasional, karena agen aktifnya adalah jiwa, dan intelek dalam hal ini merupakan instrumennya, seperti pisau dan tindakan pemotongan. Tapi pada kenyataannya intelek, jiwa, dan pikiran, menunjuk kepada entitas yang sama, yang disebut intelek sebab entitas tersebut adalah perseptif; disebut jiwa sebab entitas tersebut memerintah tubuh; disebut pikiran sebab entitas tersebut cenderung pada penangkapan terhadap realitasrealitas. Jiwa manusia, meski independen dari tubuh, namun membutuhkan tubuh dalam dunia fisik ini dengan maksud memperoleh prinsip-prinsip akan gagasan-gagasan dan kepercayaankepercayaan. Dengan hubungannya dengan tubuh, jiwa rasional menggunakan kekuatan hewani untuk memperoleh, diantara data yang diberikan padanya oleh indera-indera, hal partikular. Melalui hal partikular tersebut jiwa rasional memperoleh, diantara hal-hal lain, empat informasi persoalan: (1) Isolasi makna universal tunggal dari yang partikular dengan jalan abstraksi terhadap makna-makna mereka dari materi dan hubungan material dan hubungan penyambung; dan pertimbangan terhadap faktor-faktor umum yang membedakan dalam eksistensi esensial dan aksidental mereka. Melalui proses ini jiwa memperoleh prinsip-prinsip gagasan dengan menggunakan fakultas imajinasi dan estimasi, seperti genus dan diferensia, aksiden umum dan partikular.166 Ma’ārij, hlm. 125; Shifā’, hlm. 208. Sebuah genus adalah kelas objek pengetahuan yang lebih luas dari spesies; contoh, ‘hewan’. Diferensia adalah bagian yang membedakan sebuah spesies dari spesies lain dari genus yang sama; contoh, ‘rasional’ dari genus ‘hewan’. Aksiden adalah penampakan, kejadian, peristiwa, bagian esensial dari substansi yang secara berkelanjutan digantikan oleh yang serupa. Sebuah aksiden partikular adalah sebuah aksiden yang tak terpisahkan dari kelas objek, seperti ‘kehitaman’ dari gagak. Sebuah aksiden umum adalah aksiden yang terpisah yang mengizinkan beberapa anggota dari kelas untuk dibedakan dari anggota lain dari kelas yang sama, seperti kuda ‘putih’ atau ‘gemuk’ dari kuda ‘hitam’ atau ‘kurus’; hal tersebut secara sepadan mengizinkan sesuatu untuk dibedakan dari dirinya sendiri pada waktu yang berbeda, sebagaimana terjadi dalam semua kasus pertumbuhan dan pembusukan. 165 166 123 Prolegomena (2) Pembangunan hubungan komparatif dan perbandingan antara bentuk universal tunggal dengan cara negasi dan afirmasi. (3) Perolehan premis-premis empiris, yang didapat dengan indera-indera melalui pengalaman inderawi, dan dengan proses penalaran dari kasus yang paralel, atau analogi, melalui observasi yang berulang. (4) Berita yang secara bergantian disampaikan dimana disandarkan kepercayaan-lemah yang benar.167 Kita telah demikian jauh menjelaskan secara ringkas dan umum aktifitas intelektif jiwa dalam jalur keterlibatan kognitifnya di wilayah eksistensi material dan intelijibel, dunia materi kasar dan dunia gagasan murni. Kita mengangkat bahwa aktifitas ini terdiri dalam abstraksi materi dan tambahannya dengan indera-indera eksternal dan internal dan intelek. Karena kita katakan bahwa jiwa merupakan substansi spiritual yang independen dari tubuh, dan karena penjelasan terhadap aktifitas intelektif jiwa dan keterlibatan kognitif ini menyentuh dunia materi dan intelek, tubuh dan pikiran, dapat salah ditafsirkan bahwa ketika tubuh tidak lagi hidup kemudian jiwa kembali kepada dunia intelektual yang murni akan abstraksi penuh.168 Tetapi kesadaran jiwa terhadap dirinya sendiri bukan hanya sesuatu yang intelektual dalam alam, kesadaran tersebut juga sesuatu yang imajinal; dan ini berarti bukan hanya kekuatan intelektif jiwa yang selamat dari kematian fisik, tetapi juga kekuatan imajinatif. Imajinasi merupakan kekuatan kognitif dari jiwa. Kita di sini tidak menunjuk kepada aspek imajinasi yang disebut fantasi, tetapi pada imajinasi ‘kreatif’ spiritual atau intelejensial yang merefleksikan dunia nyata akan citra (‘ālam al-mithāl) yang secara ontologis ada secara independen diantara dunia kasar dan dunia gagasan murni. Dunia perantara ini merefleksikan realitas-realitas dalam dunia murni intelijibel yang pada gilirannya diproyeksikan olehnya dalam bentuk refleksi tidak sempurna dalam dunia indera dan pengalaman inderawi.169 Hal-hal dalam dunia citra, yang ada dalam realitas, sifat-dasar mereka sebagai citra tidak menjadi baik intelijibel murni maupun secara kasar material. Citra, sebagaimana yang ada dalam kondisi mimpi, memiliki bentuk dan keluasan dan kuantitas, namun mereka bukan material; mereka mengambil kedua aspek realitas, yang material dan intelijibel, tetapi dalam sifat-dasarnya bukan salah satu yang tersebut maupun yang lain. Mereka dengan demikian tidak seperti Idea Plato yang merupakan abstraksi murni dari intelek.170 Ma’ārij, hlm. 101-102; Shifā’, hlm. 197; Najāt, hlm. 220-221. Psikologi jiwa manusia yang digoreskan dalam halaman depan, yang telah kita parafrasekan dari Ma’ārij karya al-Ghazāli, secara besar diturunkan al-Ghazāli dari Shifā’ dan Najāt dari ibn Sinā sebagaimana ditunjukkan dalam catatan referensi. Bagaimanapun, al-Ghazāli telah menambahkan modifikasi penting miliknya sendiri. Dia kenyataannya juga memberikan ringkasan teori dari filsuf tentang kekuatan hewani dan rasional dari jiwa dalam karyanya Tahāfut (Kairo, 1321H., hlm. 70-71), mengatakan bahwa apa yang mereka afirmasi tidak berlawanan dengan agama — sebaliknya, agama meminjam dukungan dari teori mereka dalam hal ini. Hanya saja klaim mereka dengan hal keutamaan intelek sebagai petunjuk satusatunya untuk pengetahuan sifat-dasar mendasar realitas kemudian dibantah (Tahāfut, hlm. 71). Agama, terlepas dari menekankan peran kognitif dari intelek (‘aql) menekankan tidak kurang peran hati (al-qalb) sebagai organ spiritual dari kognisi. Hati, juga disebut fu’ād, adalah organ persepsi spiritual (lihat untuk contohnya dalam Qur’ān Suci, Al-Najm (53): 11). Persepsi spiritual ini, yang merupakan sifat-dasar dari pengalaman perseptif dan rasa, terhubung dengan fakultas imajinatif dari jiwa. Lihat skema jiwa pada hlm. 176 di bawah. 169 Dunia Citra atau ‘ālam al-mithāl berhubungan dalam istilah teologis pada barzakh, yakni, sebuah dunia perantara yang di dalamnya orang yang telah meninggal memasuki dan tinggal untuk sebuah periode dari waktu kematian hingga kebangkitan. 170 Gagasan dunia nyata akan citra (‘ālam al-mithāl) dan sains simbolisme menyentuh pada interpretasi akan refleksi dunia itu dalam dunia kita akan indera dan pengalaman inderawi, yang memiliki akar mereka pada 167 168 124 Prolegomena Dengan demikian ketika kita berbicara abstraksi intelek terhadap materi dan tambahan aksidentalnya, hal tersebut seharusnya tidak dipahami dengan demikian berarti bahwa jiwa mengakibatkan penggundulan utuh terhadap bentuk-bentuk dalam pengertian; materialitas dalam materilah yang diabstraksi intelek dan bukan pula imajinalitas, karena citra bukanlah materi dan materialitas tidak menyentuh mereka. Imajinasi yang kita maksud, yang merupakan sebuah fakultas kognitif atau kekuatan jiwa, seperti intelek, adalah immaterial, dan oleh karena itu tidak ‘mengandung’ citra. Ketika kita berbicara bentuk-bentuk intelijibel yang ada ‘dalam’ pikiran, atau citra yang ada ‘dalam’ imajinasi kognitif, kita tidak bermaksud bahwa bentuk atau citra tersebut itu ‘terkandung’ di dalam mereka; melainkan bahwa mereka merupakan konstruksi intelek atau jiwa selama inteleksi terhadap mereka sedemikian sehingga mereka ‘hadir’ pada intelek, dan karenanya ditunjuk sebagai terdapat ‘dalam’ pikiran; dan produksi imajinasi kognitif sebagaimana melibatkan dirinya sendiri dalam memproyeksikan dunia inderawi. Dalam kondisi sekarang, ketidakmampuan intelek memahami atau menerima entitasentitas abstrak tidak berkaitan dengan sifat-dasar esensialnya, maupun berkaitan dengan sifatdasar entitas-entitas abstrak, melainkan berkaitan pada keasyikannya sendiri dengan tubuh yang dibutuhkan intelek seperti telah kita sebutkan. Kondisi ketertarikan dengan tubuh ini mencegah intelek menerima realitas-realitas abstrak dalam sifat-dasar asli mereka sebab tubuh bertindak sebagai halangan. Namun, ketika kesadaran terhadap tubuh dan diri atau ego subjektif ditundukkan, intelek akan mampu membuat hubungan dengan Kecerdasan Aktif dan akan mampu menerima realitas abstrak seperti apa adanya mereka.171 Tidak seperti intelek, yang mengalami perubahan dari kondisi potensialitas kepada aktualitas, imajinasi sejak awalnya bersifat aktif. Aspek imajinasi tersebut yang kekuatannya diarahkan menuju dunia indera dan pengalaman inderawi merupakan imajinasi sensitif atau fantasi. Imajinasi tersebut melayani intelek praktis dengan menyediakan bentuk atau citra dan makna partikular objek pengetahuan. Imajinasi tersebut juga sumber penghasil khayalan. Dalam pertentangan dengan imajinasi sensitif, aspek imajinasi yang kekuatannya diarahkan menuju alam intelek dan realitas spiritual adalah imajinasi kognitif, yang mampu merefleksikan bentukbentuk dunia nyata dari citra. Akan tetapi, karena posisi-antara dunia citra, dan berkaitan dengan fungsi ganda imajinasi yang diluruskan padanya, hal tersebut menjadi terlibat dalam operasi terhadap kekuatannya baik dengan alam inderawi dan intelijibel, imajinasi tersebut tidak dapat asyik pada dirinya sendiri dengan dunianya akan citra nyata tanpa pengalihan.172 Kita katakan dalam catatan bahwa hati (qalb) merupakan organ subtil dari kognisi yang terhubung dengan fakultas imajinatif dari jiwa. Hati itu seperti cermin yang selalu-bolak-balik dalam arah yang berbeda. Ketika bentuk muncul di depannya citra mereka terefleksikan di tempat itu. Bentuk mereka sendiri tetap selalu di tempat mereka di luar cermin, sehingga mereka tidak dipindahkan ke dalamnya pada perluasan bahwa cermin dapat mengandung mereka. Hanya citra mereka yang direfleksikan dalam cermin. Dalam cara yang sama, hanya ketika cermin hati berbalik menuju arah yang benar tanpa teralihkan menuju yang lain, dan jika hal tersebut tidak kurang dalam kekuatan refleksinya dan telah mencapai kualitas yang sangat jelas jiwa al-Ghazāli dan mungkin juga dalam ibn Sinā. Dalam Ma’ārij, al-Ghazāli telah memberi elaborasi meski singkat akan kekuatan imajinasi (hlm. 135-145; lihat juga hlm. 125-134). Hal ini telah dikembangkan dalam pemikiran metafisis muslim khususnya oleh ibn ‘Arabī, yang menurunkan banyak interpretasinya pada sifat-dasar realitas dari tulisan-tulisan al-Ghazāli. Lihat lebih lanjut Mishkāt dari al-Ghazāli, yang merupakan komentar yang dalam pada Ayat Cahaya dalam teks Suci, dan kesimpulan pada pengenalan umum ‘Afīfī pada Mishkāt, hlm. 34-35. Lihat juga ibn ‘Arabī, Fusus, Kairo, 1964, hlm. 99-104; dan karya ‘Afīfī Ta’līqāt pada Fusūs, hlm. 74-76; 105-118. 171 Ma’ārij, hlm. 127; lihat juga Najāt, hlm. 219-220. 172 Ma’ārij, hlm. 137. 125 Prolegomena manusia akan mampu menerima secara jelas bentuk-bentuk sejati dan benar dari alam intelejensial dan spiritual.173 Bayangkan dirimu sendiri di dalam sebuah objek bulat yang tak tembus cahaya. Objek bulat ini ada di dalam objek bulat lain yang serupa, dan yang lain itu di dalam yang lain lagi, semuanya masing-masing memiliki lubang tunggal. Kini semua objek bulat tersebut terbalik, berputar dalam arah yang berbeda. Hanya ketika kamu memiliki kekuatan membuat objek bulat tersebut berputar dan memutar sedemikian rupa sehingga lubang mereka akan datang dalam sebuah garis hubung satu sama lain barulah sinar dari luar bersinar melewatinya, memampukanmu melihat baik apa yang di dalam dan yang di luar. Kekuatan imajinasi tidaklah sama pada manusia dan berbeda sesuai dengan derajat keunggulan intelektual mereka dan kemuliaan jiwa. Beberapa lebih kuat dari yang lain, sehingga mampu melihat penglihatan yang benar dari dunia perantara tersebut dan yang lain mungkin tidak bisa. Kita yang mengafirmasi kenabian tidak dapat menolak kemungkinan bahwa bentukbentuk dunia citra yang direfleksikan dalam imajinasi kognitif dapat tercetak dalam imajinasi sensitif atau fantasi pada tingkatan bahwa penerima bentuk tersebut dapat sungguh-sungguh melihat mereka dalam tampilan inderawi mereka. Tentu saja, dalam kasus Nabi Suci, untuk contoh, imajinasi kognitifnya begitu kuat sehingga dia mampu menerima realitas intelijibel dalam bentuk inderawinya (contoh malaikat dalam bentuk manusia); dan realitas inderawi dalam bentuk intelijibel (contoh yang mati sebagai hidup di dunia lain).174 Maka fungsi imajinasi adalah menciptakan hal-hal yang inderawi, atau lebih jiwa sendirilah yang menciptakan hal-hal inderawi dan bentuk yang dapat dipersepsi dari dalam dirinya sendiri maupun citra objek yang tidak dapat diterima. Maka entitas yang berpikir dan merasa yang padanya persepsi, apakah sensitif, imajinatif, dan intelektif, yang dihubungkan pada kenyataannya bukanlah indera-indera internal dan internal, tetapi jiwa itu sendiri yang menggunakan kekuatan kognitif dari kecerdasan dan imajinasi. Oleh karena itu jiwa bukanlah sesuatu yang pasif; jiwa itu kreatif, dan melalui persepsi, imajinasi dan kecerdasan jiwa berpartisipasi dalam ‘penciptaan’ dan interpretasi dunia indera dan pengalaman inderawi, terhadap citra-citra, dan bentuk-bentuk intelijibel atau gagasan. Jiwa, menurut tradisi Nabi Suci, diciptakan sebelum tubuh,175 berarti jiwa ada jauh sebelum tubuh. Beberapa komentator berpikir bahwa kata ‘tubuh’ (tung. jasad) yang digunakan dalam tradisi, lebih menunjuk kepada tubuh langit atau fisik. Dalam hal kata ‘ruh’ (tung. rūh) yang muncul dalam tradisi yang sama dan yang dipahami menunjuk kepada jiwa, mereka katakan bahwa hal itu menunjuk kepada entitas-entitas malaikat. Pandangan mereka dalam hal ini merefleksikan posisi mereka yang sama saja dengan menolak pra-eksistensi jiwa, dan nampaknya berasal dari posisi yang diambil ibn Sinā, yang berargumentasi berdasarkan prinsip fisika, bahwa mustahil bagi jiwa berada sebelum tubuh. Pra-eksistensinya menurut prinsip tersebut menyertakan beingnya baik sebagai kesatuan sederhana atau pluralitas, yang keduanya itu mustahil. Lebih lanjut, argumen ibn Sinā terhadap pra-eksistensi jiwa diarahkan terhadap doktrin metempsychosis (al-tanasukh).176 Beberapa pemikir Muslim dan para penulis nampaknya mengambil argumen demikian sebagai sesuatu yang meyakinkan dan menolak pra-eksistensi Ma’ārij, hlm. 93. Ma’ārij, hlm. 78. 175 Ini adalah hadits yang cukup dikenal juga disampaikan dalam Ma’ārij, hlm. 111. Namun, Al-Ghazāli, memberikan interpretasi terhadapnya yang diluruskan dengan posisi para filsuf yang, mengikuti Aristoteles, mempertahankan bahwa setiap jiwa diciptakan untuk menempati tubuh partikular, yang dengan demikian menolak pra-eksistensi jiwa. Tapi posisi ini, seperti kita akan nyatakan segera, nampaknya tidak memiliki daya meyakinkan yang nyata dan jika dipandang demikian sebagai tidak dapat dipertahankan. 176 Shifā’, hlm. 198-201; 202 fol; Najāt, hlm. 222-230. lihat juga Ma’ārij, hlm. 105-115. 173 174 126 Prolegomena jiwa. Dalam hal bagian dalam Qur’ān Suci yang menunjuk pada penciptaan manusia dimana Tuhan berkata bahwa setelah membentuknya (cth. membentuknya sebagai tubuh), Dia menghembuskan ruh-Nya padanya,177 hal ini tidak menunjukkan secara meyakinkan bahwa eksistensi tubuh itu lebih dahulu dari jiwa. Hal tersebut juga dapat diinterpretasikan bahwa ruh yang dihembuskan ke dalam tubuh sudah menyiratkan tentang pra-eksistensi jiwa. Lebih lanjut, dalam ayat lain dalam Qur’ān Suci Tuhan berkata: ‘Kamilah Yang menciptakanmu (cth. ruh atau jiwa) dan kemudian Kami membentukmu (cth. tubuh).178 Dengan hal pada interpretasi ini istilah jasad yang dimaksud, dalam tradisi yang ditunjuk di atas, bukan menunjuk kepada tubuh manusia atau organik, tetapi tubuh fisik atau langit, kesaksian penggunaan linguistik mendemonstrasikan bahwa jasad sinonim dengan badan, yang secara berbeda menunjuk kepada tubuh organik dan tubuh manusia; sedangkan sebuah tubuh fisik atau langit itu biasa ditunjuk dengan istilah jisim, meskipun jisim juga digunakan secara sinonim dengan jasad. Perbedaan biasa antara jisim dan jasad itu, bagaimanapun, bahwa yang terdahulu menunjuk kepada tubuh dalam genus kuantitas, sedangkan yang kemudian menunjuk kepada tubuh dalam genus hewan.179 Tapi kita tidak sepakat dengan posisi mereka akan jiwa. Kesetiaan mereka pada prinsip fisika dalam menolak pra-eksistensi jiwa merefleksikan posisi esensialis atau mereka yang mengafirmasi keunggulan kuiditas daripada eksistensi. Kita mempertahankan bahwa posisi mereka terhadap jiwa itu membingungkan, dan memang ibn Sinā sendiri nampaknya telah mengontradiksikan posisinya sendiri tentang pra-eksistensi jiwa dalam psikologi dan filsafat timurnya, dimana keberadaan kedahuluan jiwa sudah tersirat.180 Kita tidak mengakui bahwa prinsip fisika harus serta merta dibawa begitu tegas sebagai sifat-dasar jiwa yang diperhatikan. Lebih lanjut, kita tidak mengakui bahwa afirmasi kita terhadap pra-eksistensi jiwa berhubungan dengan doktrin metempsychosis, sejauh menyentuh pada dunia — yang juga kita tolak.181 Maupun kita mengakui, dalam mengafirmasi pra-eksistensi jiwa dalam hubungan dengan tubuh, bahwa kita percaya jiwa itu serta merta abadi (azali), karena kita mengafirmasi bahwa jiwa itu diciptakan. Lebih lanjut, sejalan dengan mereka yang mengakui keunggulan eksistensi dari kuiditas, posisi kita tentang pra-eksistensi jiwa tidak dapat disamakan dengan Platonisme atau Neoplatonisme. Kita katakan, dengan al-Junayd dan yang lain,182 bahwa pra-eksistensi jiwa menunjuk kepada kondisi yang tidak seperti eksistensi yang kita kenali, tetapi sebuah eksistensi dalam kondisi interior Being, dalam kesadaran Tuhan. Pada kondisi eksistensi ini ditunjuk oleh kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci ketika Dia memanggil pada jiwa: “Bukankah Aku Rabbmu?” dan mereka menjawab: “Ya tentu saja!”183 dengan sebab kekuatan yang Tuhan berikan kepada mereka untuk menanggapi panggilan-Nya, kita menyimpulkan bahwa jiwa mengetahui Tuhan sebagai Rabbnya; jiwa mengetahui dirinya sebagai ciptaan-Nya; jiwa mengetahui jiwa lain yang berbeda dari dirinya sendiri; dan jiwa memiliki kekuatan menangkap apa yang dikomunikasikan pengetahuan. Untuk alasan ini — yakni, kepemilikan jiwa akan kekuatan kognitif membuatnya mampu mengidentifikasi Rabb dan Pencipta-nya, dirinya, dan yang lain yang seperti dirinya, dan membuat pembedaan maupun merumuskan dan mengomunikasikan tanda yang bermakna Al-Hijr (15): 29. Al-A’rāf, (7): 11. Lebih khusus, Al-’A’lā (87): 2. 179 Lihat karya saya Commentary on the Hujjat al-Siddīq, Ministry of Culture Malaysia, Kuala Lumpur, 1986, hlm. 330, catatan 463, Chlm. Lisān al ‘Arab, vol. 3, hlm 120, kol. 1 dan 2; vol. 12, hlm. 99, kol. 1. 180 Contohnya al-Najāt, hlm. 223; dan Komentar Fazlur Rahman dalam Avicenna’s Psychology, London, 1952, hlm. 107, dengan referensi pada bab. XII, hlm. 57. Lihat juga puisi ibn Sinā pada jiwa disebut Al-Qasīdatu ‘I-’ayniyyah, tr, oleh A.J. Arberry dalam Avicenna’s Theology, London, 1951 hlm. 77-78. 181 Lihat Tahafut, hlm. 86-87. 182 Junayd, Kitab al-Mithaq, hlm. 40-43; al-Kalabadhi, Kitab al-Ta’aruf; Bayrut, 1400/1980, hlm. 68. 183 Al-A’rāf (7): 172. 177 178 127 Prolegomena dengan kekuatan bawaan akan berbicara (cth. nutq dengan referensi pada istilah qawl) – jiwa disebut jiwa ‘rasional’.184 Hal ini juga berarti bahwa jiwa sudah memiliki beberapa bentuk pengetahuan dari alam spiritual sebelum tambahannya kepada tubuh. Tubuh manusia dan dunia indera dan pengalaman inderawi mengandaikan jiwa tersebut dengan sekolah untuk pelatihan untuk mengetahui Tuhan juga, pada saat ini melalui tabir ciptaan-Nya. Cth. al-nafs al-natiqah. Natiq menandakan kekuatan penalaran, fakultas rasional, dan berhubungan pada istiah Yunani logos dan Latin ratio. Itu menunjuk pada fakultas dalam yang menangkap realitas dan merumuskan makna melibatkan keputusan, pembedaan dan klarifikasi. Itu diturunkan dari akar bahasa Arab yang sama yang mengandung makna dasar dari ‘bicara’, menandakan kekuatan tertentu dan kapasitas untuk mengartikulasikan kata atau bentuk simbolik dalam pola bermakna. Mantiq, bahasa Arab untuk logika, adalah diturunkan dari akar yang sama dan termasuk di dalamnya struktur semantik yang dikandung oleh ma’qul, yang merupakan karakter intelijibel dari sesuatu seperti dipegang pikiran. Dalam pengertian ini, ratio dapat dipahami sebagai sinonoim denga ma’qul, yang dalam bahasa Latin adalah intentio. Menurut al-Ghazali, entitas ini yang kita sebut ‘jiwa rasional’ dan yang kita identifikasi dengannya yang ditunjuk dalam ayat Qur’ān yang disebutkan di atas, menandakan aspek kedua dari hati (qalb) menunjuk pada halaman 5 di atas. Entitas ini juga diidentifikasi olehnya sebagai ruh manusia (ruh) yang membawa kepercayaan (amanah) yang dijamin Tuhan, dan yang dengan sifat-dasar diciptakan dengan kekuatan dan kapasitas untuk hidup berpusat akan pengetahuan. Atu adalah, dengan perkataannya “Ya tentu saja!” (bala), yang mengakui keesaan Ilahi. Itu juga akar asli (asl) dari manusia, yang mana kondisi pokok dari eksistensi akan kembali pada dunia yang akan datang. Lihat Ma’ārij, hlm. 17. 184 128 Prolegomena Jiwa Manusia atau Rasional Intelek Aktif Rasio Praktis Prinsip dari pergerakan tubuh manusia. mengarahkan tindakan individu setelah secara hatihati dalam berdasarkan dengan apa yang disetujui rasio atau fakultas teoritis. Memerintah subfakultas dari tubuh dan persoalan etis melalui imajinasi rasional. Emosi. Seni. Keputusan. Sifat Buruk dan Kebajikan. Kehidupan Etis. Intelek Kognitif Rasio Teoritis. Intelek; Material; Mungkin; Posesif; Perolehan. Persepsi akan sifat-dasar sejati dari intelijibel yang diabstraksi dari materi, ruang, posisi. Terhubung dengan bentuk yang lebih tinggi dari tatanan eksistensi yang lebih tinggi. Imajinasi. Hewan Motif Penggerak pergerakan Penggiat Appetitive Bangkitkan Mengarah- kan kemuncu- lan pergerakan pergerakan didorong oleh melalui sarafsub-fakultas saraf, otot, dari Hasrat dan urat, dan Amarah. ligamen. Perseptif Indera-indera eksternal Indera-indera internal Peraba Penciuman Pengecap Penglihatan Pendengaran Indera umum Representasi Estimasi RetensiRekoleksi Imajinasi Penerima Sensitif dari bentuk-bentuk inderawi Penerima Rasional dari bentuk-bentuk intelijibel Vegetatif Nutrisi 129 Pertumbuhan Reproduksi Prolegomena V INTUISI AKAN EKSISTENSI Penglihatan metafisis terhadap dunia dan realitas mendasar yang digambarkan dalam Islām berbeda dari yang diproyeksikan oleh pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains modern.185 Kita mempertahankan bahwa semua pengetahuan tentang realitas dan kebenaran, dan proyeksi penglihatan yang benar akan sifat-dasar mendasar dari hal-hal itu secara asli diturunkan melalui perantara intuisi.186 Intuisi yang kita maksud tidak dapat secara sederhana direduksi kepada yang hanya beroperasi di tingkatan fisik dari rasio diskursif berdasarkan pada pengalaman indera, karena kita mengafirmasi pada manusia akan kepemilikan kekuatan dan fakultas fisik maupun kekuatan kecerdasan atau spiritual yang menunjuk kembali kepada entitas spiritual, yang kadang-kadang disebut intelek, atau hati, atau jiwa, atau diri, maka eksistensi rasional, imajinal dan empiris manusia harus terlibat baik di tingkatan fisik dan spiritual.187 Dalam pandangan terhadap manusia pada tingkatan fisik, atau keseharian, di tingkatan biasa dari rasio dan pengalaman inderawi, dunia ini nampak baginya terdiri atas banyak bentuk anekaragam dan anekawarna, yang masing-masing dipisahkan dari yang lain karena bentuk individu, ukuran, warna, karakter, batasnya sendiri dan determinasi sedemikian, sehingga masing-masing nampak bagi manusia sebagai sebuah objek independen dan swa-berada, atau entitas yang memiliki realitas atau esensi individual. Dalam pandangan terhadap realitas pada tingkatan pengalaman ini, dunia fenomena, dimana juga termasuk manusia, menghadirkan dirinya sendiri sebagai dunia akan keanekaragaman dan multiplisitas, dimana semua proses kognitif dan keinginan muncul dalam kerangka-kerja yang memerlukan dikotomi subjek-objek. Pengalaman yang beroperasi pada tingkatan ini pasti melibatkan keterpisahan dimana-mana dan pada semua hal; dan untuk alasan ini manusia dengan pengalaman spiritual dan penglihatan spiritual menyebut kondisi ini sebagai ‘perpisahan’ (farq) — pastinya, sebagai ‘perpisahan pertama’ (al-farq al-awwal). Menyebut kondisi keterpisahan ini pada tingkatan pengalaman ini sebagai ‘perpisahan pertama’ berarti terdapat sebuah kemungkinan bagi manusia — tergantung kepada perkembangan intelektualnya, kondisi urusan keagamaan dan spiritualnya, dan kemurahhatian Tuhan — untuk melampaui dan kembali padanya, sehingga baginya pengalaman akan dunia fenomena setelah dia kembali padanya akan menjadi kondisi ‘perpisahan kedua’ (al-farq al-thānī). Tentu saja, untuk orang seperti itu, dan meskipun dunia yang sama akan multiplisitas dalam kondisi keterpisahan menghadang dia lagi, tetapi dunia tidak lagi terlihat sama seperti yang dia tahu sebelumnya, yakni pada tahap ‘perpisahan pertama’ yang umum bagi semua orang; karena selama pelampauannya itu dia mengalami verifikasi tentang sifat-dasar sejatinya, dia telah meraih pengetahuan tertentu tentang sifat-dasar sejatinya sedemikian rupa sehingga kini, pada tahap ‘perpisahan kedua’, lalu melihatnya secara keseluruhan dalam sinar yang berbeda. Kondisi pelampauan ‘perpisahan pertama’ ini melibatkan perubahan dalam manusia, yang tanpanya dia akan terus terikat pada tingkatan rasio dan pengalaman biasa dalam keberadaannya. ‘Perpisahan’ yang kita diskusikan pada kenyataannya mengandung dua konotasi. Konotasi pertama menunjuk pada ‘perpisahan’ Tuhan atau Yang Absolut dari dunia ciptaan dalam cara sebagaimana dipahami manusia. Kita katakan ‘dalam cara sebagaimana dipahami manusia’ sebab pada kenyataannya tidak ada ‘perpisahan’ semacam itu. Dengan demikian 185 Lihat di atas, bab III. Bahkan pengetahuan akan kebenaran intelijibel secara mendasar diturunkan dari prinsip intuitif. Lihat karya ibn Sinā, Kitāb al-Najāt, (op. Cit.), hlm. 206. 187 Lihat di atas, bab IV. 186 130 Prolegomena kondisi ‘perpisahan’ merupakan kondisi yang dibuat perlu oleh rasio dan pengalaman manusia pada tingkatan biasa, dimana kondisi fakultas kognisi dan kemauannya menampilkan fungsi normal mereka. Fakta bahwa kondisi ini disebut ‘perpisahan pertama’ — terlepas dari menyiratkan kemungkinan kondisi lebih lanjut yang diketahui sebagai ‘perpisahan kedua’ seperti telah kita angkat — juga menyiratkan kondisi yang terdahulu darinya, dimana tidak ada perpisahan tersebut. Istilah ‘pertama’ dan ‘kedua’ dilekatkan pada ‘perpisahan’ menunjuk kepada kondisi manusia pada tingkatan pengalaman yang berbeda. Dengan cara yang sama, istilah ‘terdahulu’ dilekatkan kepada ‘perpisahan’ juga menunjuk pada manusia meski tidak, pastinya, pada kondisi manusia. Hal tersebut menunjuk kepada manusia dalam kondisi spiritual, yakni pada praeksistensi jiwa sebelum dia menjadi manusia sebagai makhluk hidup. Kondisi ‘pra-perpisahan’ disebut dalam Qur’ān Suci: ‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Adam — dari kesiapan mereka – keturunan mereka, dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” — mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”188 Al-Junayd, dalam penjelasan terhadap bagian ini, mengatakan: Dalam ayat ini Tuhan memberitahukanmu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada waktu mereka tidak ada, kecuali sejauh mereka ada bagi-Nya. Eksistensi ini tidak dalam jenis eksistensi yang sama yang biasanya dilekatkan kepada ciptaan Tuhan, hal itu merupakan jenis eksistensi dimana hanya Tuhan yang tahu dan hanya Dia yang sadar akan mereka. Tuhan mengetahui eksistensi mereka, merangkul, mereka pada awal ketika mereka merupakan non-maujud dan tak sadar terhadap eksistensi masa depan mereka di dunia ini...189 Dalam eksistensi mereka yang nir-waktu di hadapan-Nya dan dalam kondisi kesatuan dengan-Nya Dialah yang menanggung keberadaan mereka. Ketika Dia memanggil mereka dan mereka menjawab dengan cepat, jawaban mereka merupakan pemberian yang ramah dan murah hati dari-Nya... Dia memberi mereka pengetahuan akan-Nya ketika mereka hanya konsep yang Dia telah pahami....190 Di sini jiwa manusia dibuat ‘bersaksi’ (ashhada) kepada diri mereka sendiri aktualitas akan Ke-Rabb-an Tuhan dalam pengertian bahwa mereka sungguh tahu dengan pengalaman dan penglihatan langsung (shuhūd) terhadap Realitas dan Kebenaran yang diungkapkan kepada mereka. Dengan demikian dan dengan pengakuan mereka sendiri mereka telah menyegel Perjanjian dengan Tuhan untuk mengenali dan mengakui-Nya sebagai Rabb (rabb) mereka, yakni, Empunya Absolut, Pemilik, Pencipta, Pengatur, Pemerintah, Tuan, Pengasih, Pemelihara. Pengenalan dan pengakuan sedemikian, yang merupakan basis mendasar agama dalam Islām,191 menyertakan kesadaran keterpilahan antara Rabb dan diri mereka sendiri. Namun, kesadaran pemilahan antara Rabb dan pelayan (‘abd), muncul di dalam konteks spiritual akan ‘penyatuan’, dan bukan konteks manusia akan ‘perpisahan’. Kita akan kembali nanti untuk mengelaborasikan hal ini dalam pembahasan yang berkaitan. Konotasi kedua menunjuk kepada ‘perpisahan’ dalam kesadaran dan pengalaman keterpisahan dimanapun dan pada semua hal yang menyusun dunia fenomena, seperti telah kita jelaskan. 188 Al-A’rāf (7): 172. Kitāb al-Fanā’, dalam karya Ali Hassan Abdel-Kader The Life, Personality, and Writings of al-Junayd, London, 1976, hlm. 32 dari teks bahasa Arab Rasa’il. Terjemahan bahasa Inggris dalam hlm. 153. 190 Ibid, Kitāb al-Mithāq, hlm. 40-41/160-161. 191 Lihat di atas, bab I. 189 131 Prolegomena Pandangan manusia pada tingkatan fisik, atau keseharian, pada tingkatan rasio dan pengalaman inderawi biasa, dimana hal-hal yang menyusun dunia multiplisitas mengambil bentuk dan identitas konkret dan terpisah, merupakan pandangan umum (‘awāmm) orang-orang. Mereka hanya melihat realitas multiplisitas di hadapan mereka, dan tidak di balik itu. Namun, di antara pergumulan orang-orang dengan pandangan umum terhadap realitas ini terdapat juga mereka yang mencapai derajat lebih tinggi dari persepsi terhadap kebenaran. Mereka mengenali bahwa apa yang nampak di hadapan mereka bukan realitas satu-satunya, dan bahwa terdapat realitas yang lain, yang berbeda sepenuhnya di baliknya, yang mereka pahami secara teologis sebagai Tuhan, Yang terpisah dari dunia dan hubungan-Nya padanya merupakan Pencipta tanpa ada ‘hubungan dalaman (inner)’ antara Dia dan ciptaan-Nya. Perluasan lebih lanjut dari pandangan dualistik terhadap realitas ini adalah pandangan di antara para filsuf, teolog dan saintis bahwa hal-hal eksternal dari dunia yang menyusun dunia bersama dengan semua bagiannya memiliki inti swa-berada, realitas-realitas atau kuiditas-kuiditas substansial yang menjadi subjek atau pengetahuan kita karena mereka dikualifikasikan oleh bagian yang inheren pada mereka dari eksistensi. Eksistensi sebuah objek dilihat sebagai kualitas atau bagian dari kuiditasnya, seolah-olah kuiditasnya dapat berada dengan dirinya sendiri lebih dahulu dari eksistensinya. Dalam pandangan ini, perbedaan nyata telah dibuat antara kuiditas, yang mereka tunjuk sebagai ‘esensi’, dan eksistensi; yang terdahulu diterima secara ontologis sebagai substansi sejati, yang kemudian hanya sebagai aksiden dari substansi sejati. Kontoversi filosofis yang menyentuh pada problem esensi dan eksistensi, yang telah dibawa di hadapan Barat dalam masa kontemporer oleh pendiri esensialisme dan eksistensialisme berturut-turut, menurunkan asalnya dari pandangan umum mendasar ini terhadap sifat-dasar realitas. Pandangan realitas berdasarkan pada tingkatan rasio dan pengalaman inderawi biasa, dan perkembangan filosofis dan saintifik yang berkembang darinya, tanpa ragu telah mengarah kepada spekulasi filosofis dan saintifik pada keasyikan dengan hal-hal dan ‘esensi-esensi’ mereka dengan mengorbankan eksistensi itu sendiri. Dilihat dari perspektif metafisika dan filsafat Islāmi sebagaimana berdasarkan kebijaksanaan Qur’ān atau hikmah, posisi kita adalah bahwa kita tidak membuat perbedaan nyata antara esensi dan eksistensi, ini untuk mengatakan, bahwa kita mempostulasikan posisi tersebut hanya dalam pikiran, dan bukan dalam realitas ekstra-mental itu sendiri. Dalam realitas ekstra-mental itu sendiri, apa yang dilihat sebagai kualifikasi dari begitu banyak anekaragam dan warna ‘esensi-esensi’ dengan eksistensi dalam pandangan kita merupakan determinasi dan pembatasan multiplisitas menjadi bentuk partikular dari yang memeluk-semua dan meliputi yaitu Eksistensi Itu sendiri, sehingga yang dengannya hal-hal adalah apa mereka sesungguhnya, atau diri dan realitas hal-hal yang merupakan inti eksistensi mereka, tidak lain merupakan realitas Eksistensi yang meliputi-semua yang mengaktualisasikan modus multiplisitas dan keanekaragamanNya dalam tindakan ekspansi dan kontraksi yang berkelanjutan dalam gradasi dari tingkatan keabsolutan-Nya kepada determinasi majemuk hingga mencapai alam indera dan hal-hal inderawi. ‘Suatu hal’ pada dirinya sendiri — yakni, dianggap secara independen dari Realitas yang dengannya hal tersebut adalah hal itu adanya — bukanlah sesuatu yang dalam kondisi be-ing, sebagaimana hal tersebut merupakan suatu hal yang binasa; apa yang menjadi ‘ada’ (be) adalah aktualisasi dari salah satu modus Realitas dalam samaran hal tersebut, seperti yang kita pegang dan anggap sebagai hal tersebut merupakan modus tersebut yang sedang diaktualisasikan. Dengan demikian berdasarkan perspektif kita Eksistensilah (wujūd) yang merupakan ‘esensi-esensi’ sejati dari hal-hal; dan apa yang secara mental atau konseptual dipostulatkan sebagai ‘esensi-esensi’ atau kuiditas-kuiditas (māhiyyat) pada kenyataannya merupakan aksiden-aksiden (a’rād) dari eksistensi.192 192 Penjelasan yang lebih elaboratif dari hal ini diberikan dalam bab VI di bawah. 132 Prolegomena Sebagaimana didemonstrasikan oleh pengalaman tertinggi Nabi Suci dan dengan apa yang dia bawa, semua pengetahuan itu datang dari Tuhan, dan diinterpretasikan jiwa melalui fakultas-fakultas fisik dan spiritual. Kita telah katakan di lain tempat bahwa pengetahuan secara epistemologis, dengan referensi pada Tuhan sebagai sumber asalnya, adalah tibanya dalam jiwa akan makna suatu hal atau sebuah objek pengetahuan; dan dengan referensi pada jiwa sebagai penafsirnya, pengetahuan adalah tibanya jiwa pada makna suatu hal atau sebuah objek pengetahuan. Dengan demikian, pada tingkatan rasional dan empiris dari pengalaman biasa, dimana dikotomi subjek-objek menutup dan mengesankan kondisinya terhadap kognisi dan kemauan; dimana kesadaran-ego subjek serta merta berhadapan dengan multiplisitas objek eksternal dari rasio dan pengalaman inderawi, pengetahuan menunjuk kepada intussuspection jiwa akan makna objek tersebut dan bukan objek itu sendiri, melihat bahwa objek-objek tersebut aksidental dalam sifat-dasar mereka dan, oleh karena itu tidak bertahan selama dua durasi. Terdapat, seperti telah kita katakan, tingkatan lain dari pengalaman; dan bahkan pada tingkatan spiritual yang lebih tinggi ini, rasio dan pengalaman tetap sebagai saluran absah yang dengannya pengetahuan dicapai, hanya mereka ada dalam tatanan transendental. Pada tingkatan ini yang rasional bergabung dengan yang intelektual, dan yang empiris dengan apa yang menyentuh pada pengalaman spiritual yang otentik seperti ‘kesaksian dalaman’ (shuhūd), ‘merasakan’ (dhawq), ‘kehadiran’ (hudūr) dan kondisi saling-terhubung dari kesadaran trans-empiris (ahwāl). Pada tingkatan ini pengetahuan berarti ‘penyatuan’ (tawhīd) jiwa dengan inti Kebenaran yang mendasari semua makna. Di sini jiwa tidak hanya mengerti, tetapi mengetahui realitas dan kebenaran dengan pengalaman nyata dan langsung. Pengalaman nyata dan langsung yang terkandung dalam ‘penyatuan’ dari yang mengetahui dan yang diketahui.193 Kita telah mengangkat dalam kasus seseorang yang melampaui tahap ‘perpisahan pertama’, bahwa seseorang itu pasti pertama kali mengalami perubahan. Perubahan tersebut menyentuh pada kesadaran-ego subjek. Pengetahuan sebagai ‘penyatuan’ yang mengetahui dan yang diketahui hanya dapat terjadi ketika kesadaran-ego yang mengetahui, atau kesadaran subjektif, telah ‘hilang’ (fanā’). Harus dicatat bahwa bahkan pada tingkatan fenomenal eksistensi empiris seseorang mengetahui bahwa ketika seseorang mengikatkan dirinya dalam meditasi atau perenungan mendalam dalam beberapa urusan yang menuntut perhatian penuh seseorang, seseorang itu pada saat yang bersamaan tidak sadar dengan bagian tubuhnya. Dalam pengertian terbatas kesadaran subjektif seseorang, selama kehilangan kesadaran terhadap bagian tubuhnya yang merupakan unsur utama dari diri subjektif, dilunakkan sebab jiwa mengarahkan konsentrasinya di tempat lain. Dengan demikian bahkan ketika pada tingkatan eksistensi dalam dunia indera dan pengalaman inderawi kita dapat mengakui pengalaman tersebut mengungkapkan beberapa penglihatan-mendalam ke dalam sifat-dasar kekuatan jiwa dan aktifitasnya dalam kehadirannya pada makna, maka tidak ada alasan untuk menduga bahwa 193 Pada tingkatan rasio dan pengalaman biasa, ‘yang diketahui’ menunjuk kepada makna hal-hal, dan bukan hal-hal itu sendiri; dan ‘penyatuan’ — jika kita menggunakan istilah itu pada tingkatan tersebut tidak berarti penyatuan dengan objek material dari persepsi inderawi, tetapi dengan bentuk-bentuk intelijibel mereka yang telah diabstraksikan oleh intelek dari semua karakter materialitas mereka. Unsur-unsur makna yang diturunkan intelek dari objek persepsi inderawi tidak ditemukan dalam objek itu sendiri, tetapi merupakan konstruksi intelek atau jiwa sebagaimana diterima dari iluminasi Kecerdasan Aktif. Objek material dalam dunia indera dan pengalaman inderawi pada diri mereka sendiri merupakan hal partikular yang diubah intelek menjadi universal; dan pada diri mereka sendiri mereka hanya menyediakan pijakan untuk penampakan khusus yang memunculkan pada proyeksi jiwa akan bentuk-bentuk inderawi dalam dirinya sendiri. Pada tingkatan yang lebih tinggi, ‘kesatuan’ yang mengetahui dan yang diketahui berarti identitas akan pemikiran dan being atau eksistensi. Eksistensi memiliki derajat-derajat yang berbeda, dan Eksistensi atau Kebenaran Absolut memiliki sebuah derajat unik pada diri-Nya sendiri, dan sebuah derajat dalam hubungan dengan yang lain selain diri-Nya. ‘Kesatuan’ menunjuk pada aspek yang kemudian dari Kebenaran. Oleh karena itu ‘kesatuan’ dengan Kebenaran berarti kesatuan bukan dengan Kebenaran sebagaimana Dia ada dalam diri-Nya sendiri, tetapi sebagaimana Dia mewujudkan diri-Nya dalam bentuk salah satu Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya. 133 Prolegomena kekuatan dan aktifitas tersebut berakhir di sini dan tidak dapat melampaui tingkatan ini untuk beroperasi pada tingkatan eksistensi yang lebih tinggi dan congener yang kita diskusikan. Karena bentuk yang banyak sekali dan beranekawarna, yang secara jelas didefinisikan sebagai banyaknya objek independen yang menyusun dunia multiplisitas, dilihat sedemikian rupa oleh subjek yang mengetahui, yang ‘kehilangan’, terhadap kesadaran subjektifnya serta merta juga melibatkan ‘kehilangan’ bentuk-bentuk yang mendefinisikan multiplisitas fenomena menjadi objek terpisah dari kognisi dan kemauan. Tapi pada waktu yang bersamaan, kehilangan terhadap bentuk-bentuk itu secara keseluruhan bukan sebuah perkara subjektif; karena multiplisitas maujud yang ditampilkan banyak sekali bentuk pada diri mereka sendiri itu tidak sinambung dalam keberadaan mereka, sehingga bentuk-bentuknya binasa secara berkelanjutan. Dengan demikian fanā’, ketika muncul, muncul baik secara subjektif dan objektif; fanā’ melibatkan baik kondisi psikologis dan ontologis dari eksistensi; fanā’ merupakan kebetulan antara kehilangan kesadaran subjektif yang juga menyertakan kehilangan objek dari kesadaran tersebut, dan ketidaknampakan aktual dari objek itu sendiri. ‘Kehilangan’ kesadaran subjektif tidak secara serta merta menyertakan — setidaknya pada tahap awal — pembatalan kesadaran dalam subjek akan keterpilahan antara dirinya sebagai pelihat (seer) dan objek sebagaimana dilihat; subjek di sini tetap sadar terhadap dirinya dalam kemampuan membedakan subjek yang melihat dan objek yang dilihat.194 Sehingga hubungan subjek-objek tetap bertahan pada tahap awal fanā’ ini, meskipun perubahan yang dia alami, baik dalam dirinya sendiri dan dalam multipisitas objek, akan secara niscaya memandangnya tidak sebagai kondisi yang cukup sama akan dikotomi subjek-objek pada tahap ‘perpisahan-pertama’, dimana di dalamnya semua hal terlibat dalam kondisi pengaruh pada tingkatan pengalaman sehari-hari. Jika kesadaran subjek tidak berlanjut terhadap dirinya pada tahap awal fanā’ ini, maka pengalaman tersebut tidak akan menghasilkan pencapaian pengetahuan tertentu (ma’rifah) akan sifat-dasar sejati hal-hal sebagaimana direfleksikannya dan direnungkan atasnya kemudian, ketika dia kembali pada ketenangan hati dari kesadaran normal dan fenomenalnya. Maka pada tahap awal ‘kehilangan’ akan kesadaran subjektifnya, yang mengetahui mampu ‘menyaksikan’ ‘kehilangan’ bentuk-bentuk yang mendefinisikan multiplisitas dari fenomena menjadi objek-objek yang terpisah. Apa yang mengetahui (knower) lihat sebagai pelihat adalah ‘pengumpulan bersama’ (jam’) bentuk yang banyak sekali dari dunia fenomena menjadi Realitas tunggal yang disatukan. ‘Penyaksian dalaman’ ini adalah melihat dan mengalami Multiplisitas (kathrah) yang dikumpulkan bersama ke dalam Kesatuan (wahdah). Guncangan dalaman yang terjadi menemani penglihatan yang menaklukan ini pada waktu yang bersamaan dipertinggi oleh pengungkapan Tuhan akan sebuah aspek dari diri-Nya (tajallī) kepada diri yang mengetahui dengan salah satu Nama-Nama (asmā’) atau Sifat-Sifat-Nya (sifāt). Tuhan dalam aspek-Nya sebagai Being Absolut dalam semua bentuk-bentuk manifestasinya adalah ‘Kebenaran’ (al-haqq). Hal itu kenyataannya merupakan swa-pengungkapan Tuhan kepada manusia dalam aspek partikular tersebut yang membawa kondisi fanā’, yang membuat dia tidak ada dan menghilangkan kesadaran eksistensi individualnya. Secara mendasar, ketika sinar manusia akan ruh makhluk hilang, tidak akan ada jejak kesadaran yang tertinggal dalam ego dari kehilangannya. Manusia tersebut pada tahap ini telah ‘kehilangan akan kehilangan’ (fanā’ al-fanā’). Sebagai ganti dari apa yang Tuhan telah hilangkan darinya, Tuhan meletakkan dalam diri manusia, tanpa inkarnasi (hulūl), substansi spiritual (latīfah) yang merupakan Esensi-Nya (dhāt) dan tidak terpisah dari-Nya maupun bergabung dengan manusia. Pengungkapan Tuhan akan sebuah aspek diri-Nya adalah dibuat pada substansi spiritual tersebut, yang dinamakan Ruh Suci 194 Bandingkan. Ibn ‘Arabī, Fusūs al-Hikam, (op. cit), hlm. 91. 134 Prolegomena (al-rūh al-qudus),195 karena Dia tidak pernah mengungkapkan kecuali pada diri-Nya sendiri. Kita menyebut substansi tersebut ‘seorang manusia’ sebab hal tersebut merupakan pertukaran untuk apa yang telah Tuhan hilangkan dari manusia, lalu mengambil tempat manusia tersebut daripada akan manusia. Pada tahap ini dikotomi subjek-objek tidak lagi ada.196 Jika pengalaman fanā’ berhenti pada tahap ini karena kapasitas dan persiapan spiritual manusia tidak bertahan, dan ketika nanti manusia tersebut, memperoleh kesadaran fenomenalnya, lalu kembali pada tingkatan kondisi manusia dimana dunia multiplisitas menghadangnya kembali dalam bentuknya yang banyak, refleksi dan perenungannya terhadap pengalaman yang telah dialami, dalam absensi petunjuk dan bantuan Tuhan, dapat membawanya kepada kepercayaan-kuat (conviction) yang salah bahwa dunia bersama dengan semua bagiannya tidak lain hanya ilusi belaka. Berkaitan dengan kondisi spiritualnya yang kurang sempurna, dan kepada pengalamannya yang tidak lengkap akan ‘penyibakan’ (kashf), dia kemudian dapat percaya bahwa perpisahan dan hal-hal majemuk hanya khayalan dari imajinasi; bahwa hal-hal partikular-fakta tersebut dalam eksistensi sesungguhnya apa yang disulap pikiran, dan bahwa dalam realitas tidak ada partikularisasi dalam eksistensi. Dia akan percaya bahwa segala hal ada dalam realitas Tuhan dalam pengertian panteistik atau bahkan pengertian monistik. Dia berpikir bahwa Tuhan adalah dunia dan dunia adalah Tuhan, dan dirinya adalah Tuhan dan Tuhan adalah dirinya sendiri. Diguncang oleh penglihatan subjektifnya sendiri, dia menjadi salah seorang yang, sepertinya, terpeleset dari Jalan Benar dan jatuh ke dalam jurang kesalahan dan bid’ah. Di antara orang-orang demikian ada juga mereka yang tidak memiliki pengalaman sejati, tetapi yang menurunkan kemiripan tentang pengetahuan seperti itu dari rasio diskursif, dan kemudian menyalahpahami persoalan itu dalam imajinasi mereka sendiri, tanpa pengalaman sejati apapun dari fanā’ atau kashf. Tapi tidak semua yang secara sejati mengalami ‘penyibakan’ tidak lengkap menjadi terlibat dalam kesalahan dan bid’ah. Mereka yang dibimbing dan dibantu Tuhan dalam menempuh jalan benar (cth. penerima tawfīq) sadar akan ketidaklengkapan penglihatan mereka terhadap Realitas dan Kebenaran yang mereka saksikan selama kondisi ‘penyibakan’ ini; dan mereka juga sadar bahwa ‘penyibakan’ itu sendiri hanya sebuah awal yang tidak lengkap. Walaupun mereka mudah didorong untuk mengafirmasi hanya aspek kesatuan dari realitas, dalam harmoni dengan realitas dari pengalaman mereka akan kesatuan, meskipun demikian mereka mengonfirmasikan kebenaran agama yang dibawa Nabi Suci, dan menerima pengalaman Yang Benar sebagai pembenar dan memiliki derajat yang lebih tinggi akan pencapaian spiritual dan penglihatan spiritual daripada yang dimiliki mereka. Mereka juga mengonfirmasikan dalam tindakan mereka sunnah Nabi Suci, dan mereka mengakui dalam diri mereka pemilahan keagamaan antara ‘Rabb’ (rabb) dan ‘pelayan’ (‘abd), antara Pencipta dan ciptaan, dan bertindak berdasarkan dengan keperluan yang niscaya. Dalam klasifikasi kita tentang persepsi manusia terhadap kebenaran dan realitas, mereka itu harus dibedakan dari yang kebanyakan, yang kondisi karakteristiknya telah kita gambarkan di atas, yang berada pada derajat yang lebih tinggi. Dalam hierarki spiritual manusia, mereka diketahui sebagai ‘yang terpilih’ (al-khawāss) di antara pelayanpelayan Tuhan dan di antara mereka yang patuh secara terus menerus dimana Tuhan telah mendekatkan mereka pada kediri-Nya sendiri, orang-orang suci sejati (awliyā’) atau ‘sahabatsahabat’ Tuhan. Dalam kondisi spiritual mereka, mereka telah menyadari dalam diri mereka pengalaman sejati dari apa yang disebut ‘kemiskinan’ (faqr), atau ‘kebutuhan yang cemas’ atau kondisi dalam 195 Ruh Suci dalam istilah filosofis diidentifikasi sebagai Kecerdasan Aktif yang mengiluminasi jiwa manusia dengan pengetahuan dari realitas ketika jiwa telah mencapai bentuk yang lebih tinggi dari intelek perolehan (lihat lebih lanjut bab IV di atas). 196 Bandingkan. ‘Abd al-Karim al-Jīlī, Al-Insān al-Kamīl, 2x., Kairo, 1956, vol. 1. hlm. 62. 135 Prolegomena ‘keinginan sepenuhnya’ yang mengobarkan agitasi intens dan kecemasan terhadap pengaruh yang penting, yang lahir dari pengalaman fanā’ yang diikuti fanā’ al-fanā’. Dalam kondisi ‘kehilangan’ mereka ‘menyaksikan’ pembatalan utuh semua fenomena sedemikian rupa sehingga hanya Aspek Tuhan yang tinggal;197 dan dalam ‘kehilangan dari kehilangan’ mereka mengalami pembatalan utuh mereka sendiri; sehingga ketika mereka memperoleh eksistensi individual dan kesadaran fenomenal mereka, perwujudan kebenaran bahwa hanya Aspek Tuhan yang tetap membawa kepada mereka sebuah kesadaran kekaguman yang menawan akan ketergantungan yang penuh akan eksistensi dan kesadaran pada Tuhan. Mereka mengetahui, dengan apa yang termanifestasi bagi mereka, ketiadaan segala hal yang dipahami sebagai sesuatu-pada-diri-merekasendiri, dan mereka juga kini mengetahui dengan apa yang termanifestasi bagi mereka, ketiadaan diri subjektif mereka sebagai diri mereka yang independen, sehingga apa yang mereka kini tahu adalah bahwa ‘selain’ (ghayr) daripada Tuhan, semua ‘yang-lain-dari-Tuhan’ (mā siwā Allāh), hanya muncul untuk berada dengan ‘pinjaman’ eksistensi. Seperti penghutang, meminjam pinjaman secara besar tak terbatas dan hidup dengannya, dan karena hidup tersebut tergantung satu-satunya kepada kreditornya, kemudian menyadari kebutuhan yang menakutkan dan kecemasan untuk pemeliharaan pinjaman berkelanjutan dari kreditor tersebut; bahkan lebih lanjut — secara tidak terhitung adalah lebih penting dalam kekaguman totalitasnya — ketika dalam kasus ini hutang tersebut adalah tentang eksistensi itu sendiri; eksistensi yang bukan hanya di dunia fenomenal ini, tetapi juga dalam dunia spiritual, yang padanya semua pasti pada akhirnya kembali. Eksistensi itu memang pemberian Tuhan, tetapi hal tersebut pada kenyataannya merupakan sebuah pemberian yang hanya milik Tuhan Yang, sebagaimana dikatakan, ‘meminjamkan’nya sebagai keinginan ‘personal’. Karenanya penerima yang dibimbing secara benar itu sadar bahwa dia ada dalam kondisi berhutang kepada Tuhan untuk eksistensinya, karena dia tahu bahwa semua itu tergantung pada eksistensi Tuhan, dan menyadari bahwa hal tersebut seperti ‘meminjam’ dari-Nya. Mereka yang tahu kondisi being ini yang direduksi kepada kondisi kebutuhan yang menakutkan pada Tuhan dan berbicara kecemasan akan ‘kemiskinan’ seperti itu sebagai “sebuah wajah yang hitam di kedua dunia” (cth. “al-faqr sawād al-wajh fil aldārayn”). Sehingga kesadaran swa-pembinasaan dalam ‘kemiskinan’ sejati itu disadari ketika seseorang mengetahui dengan pengalaman langsung bahwa hanya Aspek Tuhan yang tetap, seperti perkataan: “idhā tamma al-faqr fa huwa Allāh” — “ketika kemiskinan itu utuh hal tersebut adalah Tuhan.” Tingkatan tertinggi dalam hierarki manusia berdasarkan derajat-derajat spiritual terhadap persepsi kebenaran terdiri dari ‘orang-orang terpilih super’ (al-khawāss al-khawāss). Pengalaman fanā’, dalam kasus mereka, tidak berhenti pada tahap fanā’ al-fanā’, seperti pada kasus ‘orangorang terpilih (al-khawass). Manusia yang kondisi sipirtualnya sempurna dan matang, dan dia yang di bawah bimbingan Tuhan, sebagai penerima bantuan-Nya (tawfīq), akan disadarkan, sementara tetap dalam kondisi itu, bahkan sebelum dia memperoleh kondisi normal akan kesadaran fenomenalnya, dari kelupaan penuh terhadap fanā’ al-fanā’. Apa yang sungguh-sungguh dialami dalam kondisi tersebut adalah realitas dan kebenaran yang mendasari makna dari kata-kata Nabi Suci: “Kāna Allāhu wa lā shay’ a ma’ahu” — “Tuhan telah ada, dan tidak ada apapun bersamaNya.”198 Perkataan ini tidak hanya menunjuk pada periode pra-penciptaan ketika hanya Tuhan yang ‘ada’; hal tersebut juga berarti bahwa Tuhan telah, sedang, dan akan terus ada (be) sendiri, seperti sediakala-Nya (Huwa al-āna kamā kāna). Semua fenomena itu pada diri mereka sendiri sebagaimana ditafsirkan imajinasi sungguh bukan apa-apa; mereka dalam kondisi kebinasaan 197 Sebuah pengujian dari ayat Qur’ān Suci, Al-Rahmān (55): 26-27. Sebuah hadith yang cukup dikenal disebutkan dalam sahih al-Bukhari dalam bab Keesaan Ilahi (al-tawhīd) dan awal penciptaan. Juga dalam Musnad karya ibn Hanbal, vol. 2, hlm. 134. 198 136 Prolegomena (fān)199 terus-menerus, yang binasa dalam dua waktu instant sebagai ukuran proses kebinasaan mereka, sebagaimana kebinasaan mereka juga bukan sebuah ‘proses’ yang terjadi pada fenomena yang sama. Sebagai satu rangkaian dari fenomena yang dibuat tidak ada, sesuatu yang menyerupainya mengambil gilirannya, dan seterusnya, sehingga dalam realitas ‘hanya Aspek Tuhan yang tetap’. Hal ini adalah tatanan Being yang abadi, dan karenanya Dia selalu seperti sebelumnya, dengan tidak ada apapun yang ada di sisi-Nya. Cara ‘ketetapan’ dari Aspek Tuhan tidaklah statis; Dia selamanya dalam beberapa ‘operasi’ (shā’n):200 menghasilkan, meniadakan yang dihasilkan, dan reproduksi. Sehingga Dia itu, dalam Aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, sebagaimana dikatakan, adalah ‘lapisan-dasar’ yang memungkinkan penampakan dan ketidaknampakan dan penampakan ulang semua fenomena dalam rangkaian yang berkesinambungan. Telah disadarkan dari kondisi ‘kehilangan dari kehilangan’ tanpa memperoleh kesadaran fenomenalnya, apa yang dia ‘saksikan’ selanjutnya adalah ‘penyibakan’ terakhir. Kita telah katakan bahwa dalam ‘penyibakan’ awal dia ‘menyaksikan’ ‘pengumpulan kembali’ (jam’) semua bentuk dunia fenomena menjadi Realitas tunggal yang disatukan. Dia melihat dengan penglihatan spiritual seolah dengan penglihatan matanya semua Multiplisitas dikumpulkan bersama menjadi Kesatuan. Dengan kata lain, dia melihat ‘kebinasaan’ semua fenomena dan ‘ketetapan’ Realitas yang mendasari mereka. Kini pada ‘penyibakan’ akhir, dia ‘menyaksikan’ Realitas tunggal yang disatukan kembali mengambil bentuk yang banyak dari dunia fenomenal tanpa diri-Nya menjadi banyak. Dia melihat dengan penglihatan spiritual dimana Kesatuan mengindividuasi diri-Nya menjadi Multiplisitas tanpa mengurangi asal Kesatuan-Nya, dan masih ‘berhubungan’ atau ‘terkait’ Multiplisitas dengan diri-Nya sendiri sedemikian rupa sehingga, meskipun Kesatuan mengambil bentuk Multiplisitas, Kesatuan tetap membedakan diri-Nya dari yang kemudian dan tetap selalu dalam sifat-dasar asli-Nya. Dengan kata lain, dia melihat artikulasi dalaman dari Kesatuan, dimana Kesatuan tidak bergabung maupun terpisah dari Multiplisitas, dan yang berlangsung dalam operasi yang sinambung. Operasi yang sinambung dari Kesatuan ini mengartikulasikan diri-Nya ke dalam Multiplisitas dan kembali lagi menjadi Kesatuan sebagaimana disaksikan oleh seorang ahli spiritual yang disebut ‘pengumpulan akan pengumpulan’ (jam’ al-jam’).201 Dalam kondisi ini, yang tidak lagi merupakan kondisi yang sama seperti sebelumnya dialami dalam pengalaman fanā’ tetapi adalah tahap akhir darinya, manusia tersebut menyadari kedirian sejatinya dan ‘berada’ dalam Tuhan (baqā).202 Pengalamannya akan fanā’ al-fanā’ adalah apa yang disebut guru pengalaman dan penglihatan spiritual sebagai ‘absorpsi’ (istighrāq). Dalam pengalamannya terhadap ‘pengumpulan’ dan kemudian, setelah kelupaan penuh (istighrāq), ‘pengumpulan akan pengumpulan’, Tuhan, dari ridho dan balasanNya telah mengungkapkan kepadanya, sebagaimana dikatakan, sebuah penglihatan fragmentaris tentang operasi sinambung swa-manifestasi dan determinasi dan partikularisasi yang nampak sebagai bentuk-bentuk dunia inderawi. Kita katakan bahwa penglihatannya terhadap Multiplisitas dalam Kesatuan dan Kesatuan dalam Multiplisitas ini bersifat ‘fragmentaris’ karena ketika Tuhan memberikan kembali kesadaran subjektifnya dan dia memperoleh eksistensi individual dan kesadarannya akan fenomena, dia mengetahui bahwa apa yang dia ‘saksikan’ itu sebuah ‘fragmen’, untuk berbicara, dari rangkaian sinambung swa-determinasi dan partikularisasi 199 Al-Rahmān (55): 26. Al-Rahmān (55): 29. 201 Artkulasi dalaman dari Kesatuan berhubungan dengan aktifitas penciptaan yang dinamis dari realitas eksistensi, atau Eksistensi Absolut, dalam pengertian ekspansi (cth. eksistensiasi) dan kontraksi (cth. penghilangan) dalam rangkaian yang sinambung. 202 Cth. dia telah kembali pada kondisi dimana dia sebelumnya dikualifikasikan dengan eksistensi eksternal, yang berhubungan dengan tataran ontologis dari kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi. 200 137 Prolegomena akan Kesatuan absolut. Pengingatan, refleksi, dan perenungannya terhadap penglihatan itu pada tahap ini membentuk Pengetahuan itu dalam dirinya yang realitas dan kebenarannya dibangun oleh kepastian dari pengalaman langsung (haqq al-yaqīn). Pengalamannya terhadap baqā atau ‘berada’ dalam Tuhan secara niscaya tidak hilang, karena hal tersebut tidak akan sebagai sebuah ‘berada’ jika hanya sementara. Kita berbicara tentang penglihatan tersebut sebagai ‘fragmentaris’, sehingga ‘penyaksian’ akannyalah (cth. akan ‘pengumpulan akan pengumpulan’) yang sementara; tetapi pengetahuan setelah hal tersebut adalah permanen. Kembalinya dia pada eksistensi individual dan kesadaran fenomenal itu ditemani kondisi pemulihan dari kondisi kemabukan (sukr), atau tidak-mengindera; sebuah kondisi kewaspadaan, kebangunan, dan kejelasan. “Semua manusia itu tidur”, ucap Nabi Suci, “hanya ketika mereka mati mereka bangun” (Al-nāsu niyāmun fa idhā mātū īntabahū).203 Kita harus menginterpretasikan kata ‘ketika mereka mati’, dalam kasus ini memiliki makna ganda: pertama pada kematian fisik dan makna lain ketika mereka ‘mati’ pada diri dan kesadaran subjektif diri, dan bukan kematian fisik; karena Nabi Suci juga mengatakan, dengan referensi kepada kematian pada diri seperti kita maksud di sini: “Mati sebelum kamu mati” (Mūtū qabal an tamūtū), yakni ‘mati pada diri sendiri sebelum kau sungguh-sungguh mati secara fisik’.204 Jadi, dalam kasus ini, kondisi manusia akan kewaspadaan dan kejelasan, kebangunan, pada kondisi kembali dari pengalaman dari ‘pengumpulan akan pengumpulan’ (yang sebelumnya pada faktanya dia telah ‘mati’ pada dirinya), disebut shaw: ‘ketenangan hati’. Meskipun dari sudut pandang eksistensi individualnya dia merupakan orang yang sama, namun dia tidak lagi pada faktanya orang yang sama. Sehingga diri yang terdahulu telah ‘mati’, dia telah ‘mati’ sebelum dia sungguh-sungguh mati, dan dia telah memperoleh, dalam kematian tersebut, kediriannya yang lebih tinggi dan berada dalam Tuhan. Dia telah kembali, dalam pengumpulan, pada kondisi kewaspadaan ketika diri sejatinya, jiwanya, telah melihat Tuhan dalam kejelasan, dan telah mengatakan: “Ya!” pada perkataan Tuhan “Bukankah Aku Rabbmu?”205 sehingga kini dia ‘berada dalam Tuhan’, mengonfirmasi dan mengafirmasi siapa dia sebagai dirinya yang sejati yang telah bersaksi pada dirinya pada Hari Alastu. Meskipun dia kini melihat dunia inderawi dari multiplisitas menghadangnya lagi, meskipun ‘perpisahan’ kembali datang menjadi kekuatan, namun hal tersebut tidak lagi merupakan dunia yang sama baginya sebagaimana yang dia tahu sebelumnya; karena dia kini tahu bahwa bentuk yang banyak yang menyusun Multiplisitas pada kenyataannya merupakan aspek-aspek yang berbeda dari ‘Kebenaran’ (al-haqq) Yang ‘mengenakan’ diri-Nya dalam samaran mereka; hal tersebut merupakan begitu banyak manifestasi dan determinasi dan partikularisasi dari Being Absolut Yang, sebagai Realitas yang mendasari dunia inderawi, disebut ‘Kebenaran’. Dia juga mengetahui bahwa hal-hal terpisah yang dianggap independen bukan apa-apa dalam diri mereka, dan kepastian terhadap kebenaran ini lahir dari pengalamannya akan ‘pengumpulan’ dan ‘kelupaan penuh’. Tapi dipertimbangkan sebagai determinasi yang begitu banyak determinasi partikular dan swa-pengungkapan dari ‘Kebenaran’, hal-hal terpisah dari dunia inderawi bukan hanya ilusi; mereka ada dan memiliki status ontologis. Mereka adalah ’panggung-panggung manifestasi (tung. mazhar), bentuk-bentuk-manifestasi yang menentukan bentuk partikular pengungkapan 203 Hadith ini juga cukup dikenal. Beberapa mempertahankan bahwa hal itu merupakan perkataan ‘Alī ibn Abī Thālib. Tapi tidak dapat ditolak bahwa ‘Alī, jika mengatakan ini tentu dia, mendapatkan gagasan tersebut dari Nabi Suci. Bandingkan. Fusūs al-Hikām, hlm. 159. Lihat juga Futūhāt. IV, hlm. 45-637. III, hlm 285 (250); hlm. 285 (251); hlm. 286 (251. 204 Shabistari mengatakan bahwa kematian muncul pada manusia dalam tiga jenis: jenis pertama yang nampak padanya setiap saat; kematian kesadaran ego; kematian yang harus padanya. Lāhiji, mengomentari hal ini, mengatakan bahwa yang pertama adalah penciptaan yang baru (yang akan kita jelaskan dalam jalur yang berkaitan); kedua adalah kematian pada dunia, sebagaimana berdasarkan pada tradisi: “mati sebelum kamu mati”; ketiga adalah perpisahan jiwa dan tubuh. Lihat Gulshan-i Raz, Lahore, 1978, hlm. 65, kuplet 664-665. 205 Al-A’rāf (7): 172. 138 Prolegomena diri dari Kebenaran. Dengan demikian tahap kembali pada kondisi ‘perpisahan’ adalah disebut ‘perpisahan kedua’ (al-farq al-thānī), dan hal terssebut kadang-kadang juga disebut ‘perpisahan setelah pengumpulan’ atau ‘perpisahan setelah kesatuan’ (al-farq ba’d al-jam’). Hal ini mungkin makna terdalam dari penglihatan Nabi Musa di Gunung (Al-A’rāf (7): 143). Dia telah meminta Tuhan menunjukkan diri-Nya kepadanya sehingga dia dapat melihat Tuhannya. Tuhannya telah mengalamatkan padanya dengan berkata bahwa dia tidak dapat melihat-Nya dengan mata telanjang dalam kondisi yang sekarang, tetapi memberitahunya untuk menatap gunung untuk melihat bahwa jika gunung itu tetap berdiri maka dapat dia dapat melihat-Nya. Ketika Tuhannya menunjukkan diri-Nya (tajallā) pada Gunung tersebut, lalu gunung tersebut hancur seperti ditekan ke bawah atau dilumatkan ke tingkatan terdalam (dakkan). Nabi, yang menyaksikan penampakan yang mempesona ini, lalu jatuh ke tanah menarik napas dan menjadi tidak sadar (kharra sa’iqan). Kemudian ketika kesadarannya dikembalikan padanya seolah-olah dipulihkan dari pingsan atau kelupaan (afāqa), dia menyadari makna pengalamannya dan kembali kepada Tuhan dalam penyesalan, mengagungkan-Nya dan mengakui kepercayaanlemahnya dengan intensitas yang besar. Mungkinlah referensi melihat gunung untuk melihat apakah itu tetap berdiri tegak menyebut pada penampakan kembalinya setelah kehilangannya bagi penglihatan seseorang yang terlibat dalam pengalaman fanā’-baqā. Melihat gunung tetap berdiri tegak akan menjadi penglihatan manusia akan ‘perpisahan kedua’, yang melihat baik gunung yang menghilang dalam Realitas, dan Realitas yang memperbaharui gunung tersebut dalam tindakan penciptaan yang terus-menerus. Berbicara pengalaman yang sama seperti yang telah kita ungkapkan di sini, al-Ghazāli, menyebut orang-orang dari ‘perpisahan kedua’, yakni yang terpilih dan yang super terpilih, berkata: ...Yang Mengetahui (al-’ārifūn) muncul dari tataran metafora (majāz, cth dari tingkatan halhal fenomenal, yang status ontologisnya hanya sebuah ‘eksistensi metaforis’, yakni, dimana eksistensi tidak secara literal digunakan, atau dimana eksistensi tidak dapat sungguh-sungguh dilekatkan) pada realitas puncak (haqīqah); dan mereka melengkapi pendakian dan penerimaan mereka melalui penglihatan mata langsung (al-mushāhadah al-‘iyāniyyah) bahwa tidak ada dalam eksistensi kecuali Tuhan Yang Maha Agung, dan bahwa segala hal binasa kecuali Aspek-Nya (wajh: lit. Wajah),206 bukan karena hal-hal tersebut itu binasa pada satu waktu partikular, melainkan karena hal-hal tersebut itu binasa secara abadi dan terus berlangsung, karena hal itu tidak dapat diterima sebaliknya. Karena segala sesuatu selain Dia, ketika dipertimbangkan pada dirinya sendiri, adalah murni non-eksistensi (‘adam mahd); dan ketika dipertimbangkan dari sudut pandang eksistensi tersebut yang menerima dari Kebenaran Pertama (al-awwal al-haqq), ia dilihat sebagai maujud — bukan pada dirinya sendiri, tetapi secara tunggal dari sudut pandang dari Asal eksistensinya — sehingga maujud satu-satunya tersebut merupakan Aspek dari Tuhan Yang Maha Agung. Segala hal dengan demikian memiliki aspek ganda: sebuah aspek menuju dirinya sendiri, dan sebuah aspek menuju Tuhannya; dalam hal dirinya sendiri hal tersebut adalah non-eksistensi (‘adam), dalam hal dari Tuhannya hal tersebut adalah maujud (mawjūd). Oleh karena itu, tidak ada maujud yang tetap daripada Tuhan Yang Maha Agung dan Aspek-Nya, dan karenanya ‘segala hal hancur kecuali Aspek-Nya’, secara abadi dan terus berlangsung. Para yang Mengetahui tersebut tidak perlu menunggu kemunculan Hari Kebangkitan untuk mendengar panggilan Pencipta: “Siapa yang memiliki kedaulatan pada Hari ini? — pada Tuhan, Yang Esa, Yang Sangat Menarik!”, 206 Al-Qur’ān: Al-Qasas (28): 88: Kullu shay’īn hālikun illā wajhahu. 139 Prolegomena karena panggilan ini hadir tanpa akhir dalam telinga mereka. Maupun mereka mengerti dengan perkataan mereka ‘Tuhan Maha Besar (Allāhu akbar) bahwa Dia ‘lebih besar’ dari yang lain. Tuhan melarang! Karena ‘bersama’ Dia tidak ada yang lain dalam eksistensi karena Dia lebih besar dari itu. Tidak ada yang memiliki ranking ‘kebersamaan’ (alma’iyyah) dengan-Nya, tetapi hanya akan ‘keakibatan’ (al-taba’iyyah); tentu saja, tidak ada yang memiliki eksistensi yang terselamatkan melalui aspek yang disertakan dari-Nya, sehingga apa yang ada hanya Aspek-Nya. Kini adalah absurd bahwa Dia harus lebih ‘besar’ dari Aspek-Nya sendiri. Maknanya adalah lebih bahwa Dia lebih Besar dari disebut ‘lebih besar’ dengan cara relasi dan perbandingan — sungguh terlalu Besar bagi siapapun, baik dia nabi atau malaikat, untuk memahami sifat-dasar sejati akan Kebesaran-Nya. Tidak ada yang mengetahui Tuhan dengan pengetahuan sejati akan-Nya kecuali Tuhan, karena setiap yang diketahui ada dalam pengaruh hati-hati dari yang mengetahui, dan hal ini merupakan inti negasi terhadap Kemuliaan dan Kebesaran...207 Yang Mengetahui (pada kondisi kembali mereka) setelah pendakian mereka pada kerajaan realitas mengakui dalam kesepakatan yang diselenggarakan dalam tujuan bersama bahwa mereka melihat nihil dalam eksistensi kecuali Kebenaran Tunggal. Namun, di antara mereka, terdapat yang mencapai kondisi ini melalui pengetahuan iluminatif (‘irfān ‘ilmi), dan yang lain melalui pengalaman langsung atau perasaan langsung (dhawq). (Bentuk-bentuk) Multiplisitas tersebut hilang dari mereka (cth. penglihatan mereka) dalam totalitasnya. Mereka tenggelam dalam Kesatuan absolut, dan kecerdasan mereka terhapus di dalamnya, mereka di dalamnya menjadi seperti mereka yang dibingungkan secara penuh. Tidak ada kapasitas yang tertinggal pada mereka; tidak pula untuk memanggil selain dari Tuhan, maupun untuk memanggil bahkan diri mereka sendiri, sehingga tidak ada yang bersama mereka kecuali Tuhan. Mereka menjadi lupa dengan sebuah kelupaan yang membuat kecerdasan mereka hilang... kemudian ketika kelupaan mereka mereda, dan mereka kembali pada pengaruh kecerdasan, yang merupakan keseimbangan-skala milik Tuhan pada bumi, mereka mengetahui bahwa (pengalaman absorpsi dalam Kesatuan absolut) tidak pernah ada persatuan sesungguhnya (ittihād), tetapi hanya sesuatu yang menyerupai persatuan... Kini kondisi ini, ketika hal tersebut tersibak, disebut dalam hubungan padanya yang mengalaminya, yakni ‘pembinasaan’ (fanā’), bahkan ‘pembinasaan dari pembinasaan’ (fanā’ al-fanā’), karena dia telah musnah pada dirinya sendiri dan musnah pada kemusnahan dirinya sendiri; karena dia menjadi tidak sadar terhadap dirinya dalam kondisi ini dan tidak sadar terhadap ketidaksadaran dirinya sendiri, karena jika dia sadar terhadap ketidaksadarannya sendiri dia akan sadar terhadap dirinya sendiri. Dalam hubungan dengan seseorang yang membenamkan di dalamnya, kondisi ini disebut dalam bahasa metafora ‘persatuan’ (ittihād), atau dalam bahasa realitas ‘unifikasi’ (tawhīd).208 Kita katakan sebelumnya bahwa kondisi ‘perpisahan pertama’ tidak hanya melibatkan kemungkinan kondisi ‘perpisahan kedua’, tetapi juga sebuah kondisi yang mendahuluinya akan sebuah ‘pra-perpisahan’. Kita katakan lebih lanjut bahwa kondisi ‘pra-perpisahan’ ini nampak dalam konteks spiritual akan ‘persatuan’, ketika jiwa manusia mengonfimasi dan mengafirmasi Perjanjian (mīthāq) individual dan kolektif mereka dengan Tuhan, mengenali dan mengakui-Nya sebagai Rabb mereka. Pengenalan dan pengakuan mereka terhadap kebenaran tertinggi ini tentu saja melibatkan suatu jenis ‘perpisahan’ — yakni, suatu kesadaran perbedaan antara Rabb dan pelayan, antara Pencipta dan ciptaan. Hal ini berarti bahwa bahkan dalam konteks spiritual suatu 207 208 Mishkāt al-Anwār, (op.cit.), hlm. 55-56. Terjemahan saya. Ibid, hlm. 57. Terjemahan saya. 140 Prolegomena bentuk hubungan subjek-objek tetap bertahan yang membentuk pembatasan pada kognisi manusia. Tuhan tidak dapat diketahui manusia dalam Esensi-Nya sebab, Dia melampaui semua determinasi ke dalam entitas-entitas partikular (cth. lā ta’ayyun). Dengan demikian Dia dapat diketahui hanya dalam jalan terbatas ketika Dia memanifestasikan diri-Nya kepada manusia sempurna melalui beberapa Nama atau Sifat yang terbatas. Dan ketika Dia mewujudkan diri-Nya dengan jalan ini, Dia selalu mengungkapkan diri-Nya sebagai Rabb (al-rabb); dan mengetahui-Nya sebagai ‘Rabb’ merupakan jenis tertinggi dalam mengetahui Tuhan yang mungkin bagi manusia. Benarlah bahwa manusia sempurna mengetahui tentang Tuhan dengan jalan mencari yang meliputi misteri terdalam dari Being dan Eksistensi-Nya, sebagaimana yang dapat disimpulkannya secara intuitif dari refleksi dan perenungan atas apa yang telah diberikan padanya dalam pengalaman spiritualnya, darimana penglihatan metafisis terhadap Realitas dirumuskan dan dibentuk dalam Islām. Tapi semua pengetahuan tersebut secara mendasar memiliki sumber dan basisnya pada pengetahuan tentang diri dan Rabb. Nabi Suci berkata: “Dia yang mengenali dirinya mengenali Tuhannya”, dan dia memaksudkan dengan ‘diri’ sebagai diri sejati (dengan perwujudan dalam tahap terakhir dari fanā’, yakni, tahap baqā) yang mengenali Rabbnya (melalui diri, yang sudah mengetahui Tuhan sebagai Rabb ketika diri tersebut menyegel Perjanjian dengan Tuhan yang mengenali dan mengakui Ke-Rabb-an-Nya).” Dengan demikian istilah ‘perpisahan’, dalam tiga pengertiannya yang dimaksud dalam penjelasan ini, selalu melibatkan hubungan subjek-objek. Tapi derajat-derajat keterpisahan tersebut dalam hubungan tersebut tidak berarti sama dengan ‘pra-perpisahan’, ‘perpisahan pertama’ dan ‘perpisahan kedua’. Ketika kita berbicara ‘pra-perpisahan’, kita tidak memaksudkannya bahwa secara absolut tidak ada ‘perpisahan’ dalam kondisi spiritual tersebut, karena kapasitas jiwa pada pengenalan dan pengakuan Rabb mereka serta merta melibatkan penglihatan keterpilahan pada bagian jiwa antara Rabb mereka dan diri mereka sendiri, dan antara diri mereka di antara mereka sendiri, keterpilahan yang terlihat menyiratkan persistensi ‘perpisahan’ dalam kondisi mereka. Namun, ‘perpisahan’ yang terlibat di sini dilihat dalam konteks ‘persatuan’, yang tidak lain dari ‘berada’ dalam Tuan (baqā). Dari sudut pandang tersebut dari tahap ‘perpisahan pertama’, ‘perpisahan’ yang kita baru gambarkan antara diri dan Rabb bukanlah sebuah ‘perpisahan’; hal itu merupakan ’persatuan’, dan karenanya dalam pengertian hal tersebut menggambarkan kondisi atau tahap ‘pra-perpisahan’. Dalam kasus ‘perpisahan kedua’ ‘perpisahan’ yang dilibatkan tidak sama seperti dalam kekuatan dari ‘perpisahan pertama’. Kondisi ‘perpisahan kedua’ ketika dilihat dari sudut pandang ‘perpisahan pertama’, melibatkan baik ‘persatuan’ dan ‘perpisahan’. Hal tersebut merupakan ‘persatuan’ dalam satu pengertian dan ‘perpisahan’ dalam pengertian lain, karena di satu sisi itu juga melibatkan kondisi spiritual manusia yang telah melampaukan dirinya dalam perwujudan diri, dan di pihak lain juga melibatkan kondisi fisik manusia tersebut yang telah kembali pada kesadaran fenomenal. Manusia tersebut melihat pada satu sisi Multiplisitas dalam Kesatuan dan di lain pihak Kesatuan dalam Multiplisitas. Inilah mengapa guru-guru pengalaman dan penglihatan spiritual menyebut manusia sedemikian sebagai ‘pemilik dua mata’ (dhū al-’aynayn).209 Hal tersebut seolah-olah manusia tersebut, telah melampaui diri fenomenalnya dengan telah dipindahkan kepada kondisi lain dalam kondisi perwujudan diri, dan di sana melihat apa yang telah selalu dia lihat sebagai diri tersebut; dan kini pada kondisi kembali pada kesadaran normalnya, melihat hal-hal 209 Pembagian rangkap tiga dari persepsi manusia akan kebenaran seperti telah kita jelaskan dalam halaman depan dipegang oleh semua Sūfī sejati. Lihat, untuk contoh Jāmī dalam karyanya Naqd al-Nusūs fi sharh Naqsh al-Fusūs, yang diedit dengan catatan dan pengenalan dalam bahasa Persia dan bahasa Inggris oleh W.C. Chittick, pengantar bahasa Persia oleh Sayyid Jalāl al-Dīn Āshtīyānī, Tehran, 1977; hlm. 142. Lihat juga Sayyid Haydar Āmulī. Jāmi’ alAsrar wa Manba’ al-Anwār yang diikat bersama dengan karyanya Risālah Naqd al-Nuqūd fi Ma’rifah al-Wujūd, eds. H. Corbin dan Osman Yahia, Tehran. 1969/1347, hlm. 112-112; hlm. 220. 141 Prolegomena sebagaimana mereka ada sebelumnya, dia masih terus melihat mereka sebagaimana mereka sesungguhnya,210 yakni, sebagaimana mereka ada dalam realitas yang dilihat oleh diri sejatinya. Dengan demikian, meskipun kedua tahap ‘pra-perpisahan’ dan ‘perpisahan pertama’ merupakan suatu yang umum bagi semua manusia, bahkan jika yang terdahulu menunjuk pada kondisi spiritual dan yang kemudian pada yang fisik, tahap dari ‘perpisahan kedua’, yang hanya secara relatif dicapai beberapa di antara manusia, adalah pada faktanya lebih terhubung dengan ‘praperpisahan’. Dengan cara yang sama bahwa, dalam kondisi ‘pra-perpisahan’, manusia sebagai dirinya yang sejati itu berada dalam Tuhan, sehingga bahkan dalam kondisi fisiknya, manusia pada tahap ‘perpisahan kedua’ telah menyadari diri sejatinya dan secara spiritual berada dalam Tuhan sebagaimana dia sebelumnya sebelum memperoleh eksistensi eksternal. Dan dalam eksistensi fenomenalnya, dia secara sinambung mengonfirmasikan dan mengafirmasi realitas dan kebenaran akan Rabbnya, sebagaimana dalam Perjanjian asalinya, dalam ketundukan sejati sebagaimana ditetapkan dalam Islām.211 Tasdīq-nya, atau verifikasi terhadap Kebenaran atau ‘pembenaran’, adalah dari derajat tertinggi iman yang mengarakteristikkan tingkatan ‘unggul’ (ihsān) yang sifatdasarnya ditunjukkan oleh Nabi Suci dalam hadīth yang terhubung dengan ‘Umar ibn al-Khattāb dan disampaikan oleh Muslim dan Abū Hurayrah, ketika dia berkata akan ihsān: “bahwa kamu seharusnya menyembah Tuhan seolah kamu melihat-Nya...” (an ta’buda Allāha ka annaka tarāhu...). Tentu saja, manusia tersebut yang pada tahap ‘perpisahan kedua’, yang merupakan baqā, melihat Tuhan dimana-mana dalam penglihatan spiritualnya, sehingga baginya disadari makna utuh dari teks: “Dimanapun kamu berpaling terdapat Aspek Tuhan’ (fa aynamā tuwallū fa thamma wajh Allāh).212 Maka, intuisi akan eksistensi, datang melalui perantara ‘kesaksian spiritual’ (shuhūd), yang dapat mengambil bentuk pengertian yang kursinya adalah intelek murni;213 atau melalui perantara ‘perasaan’ atau ‘pengecapan’ (dhawq) dalam pengalaman iluminatif langsung dimana hati lalu mengetahui secara langsung dan membenarkan apa yang diketahui; atau melalui perantara bentuk-bentuk pengertian (seperti perkataan al-Ghazāli dalam kutipan pada hlm. 195 di atas). Baik shuhūd dan dhawq muncul ketika hijab dari objek yang terpisah dan bentuk-bentuk fenomena dihilangkan dari penglihatan kognitif seseorang yang terlibat dalam pengalaman fanā’baqā. Penghilangan hijab ini disebut kashf. Al-kashf itu terhubung dengan penglihatan mata.214 Hal tersebut merupakan menyibak sesuatu yang tertutup. ‘Tertutup’ di sini menyentuh pada apa yang tertutup bagi kondisi being atau perasaan (hāl) seseorang, atau kognisi seseorang (‘ilm atau ‘irfān), atau pada pandangan atau penglihatan seseorang (‘ayn). Perpindahan inilah, dengan Kemurahhatian Tuhan, dari penutupan kondisi being seseorang, atau kognisi, atau penglihatan yang membuat seseorang merasakan, mengetahui atau melihat realitas-kebenaran.215 Hal tersebut 210 Saya menyebut di sini pada doa Nabi Suci: “Allāhumma arinā’ l-ashyā’a kamā hiya.” “Wahai Tuhan! Tunjukkan kami hal-hal sebagaimana mereka ada sesungguhnya.” Mungkin pada berita dari hadith inilah, dalam perkiraan saya, filsuf Muslim awal membuat istilah māhiyyah (dari mā, cth. ‘apa’; dan hiya, cth. ‘itu’). Hadīth tersebut dikutip oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam karyanya Tafsīr al-Kabīr, bol. 21 hlm. 37. 211 Bandingkan. Bab I, hlm. 7; 11-12; 18-20. 212 Al-Baqarah (2): 115. Lihat juga Rasā’il al-Junayd, (op.cit) Risālah no. 10. 213 Kita mengidentifikasi intelek murni, yang merupakan intelek yang di asbtraksi dari tambahan fisik dan hubungan jasmani, dengan bentuk yang lebih tinggi dari intelek perolehan. Lihat bab IV, hlm. 162. 214 Al-Sarraj, Kitāb al-Luma’, ed. R.A. Nicholson, London, 1963, hlm. 346. 215 Kita telah merumuskan definisi akan kashf berdasarkan pada ungkapan Qur’āni. Lihat untuk contoh, dengan referensi pada penghilangan apa yang tertutup pada kondisi being atau perasaan seseorang, Al-An’ām (6): 41; 17, yang menunjuk pada perpindahan dari keadaan sukar dan kemalangan; juga serupa An-Nahl (16): 54; Al-Anbiyā’ (21): 84; Al-Zumar (39): 38; Banī Isrā’īl (17): 56; Yūnūs (10): 12;107; An-Naml (27): 62; perpindahan hukuman, Al-A’rāf (7): 134-135; Yūnūs (10): 98; Al-Dukhān (44): 12; 15, Al-Zukhruf (43): 50; dengan referensi pada pengetahuan, tempat yang terbuka dari beberapa rahasia mendalam atau misteri, Al-Najm (53): 58; Nūn al-Qalam (68): 42; dengan referensi pada 142 Prolegomena merupakan pengetahuan tertentu berdasarkan pada verifikasi sejati, penangkapan langsung, dan penglihatan yang jelas, tak terganggu pengalih apapun. Penutupan yang dimaksud dan yang disebabkan, dengan Kemurahhatian Tuhan, diangkat dalam pengalaman kashf, merupakan penutup hati, yang merupakan sebagai mata pada intelek murni, dan yang merupakan organ spiritual dari kognisi pada tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi.216 Pengangkatan penutup mata dari intelek murni, sedemikian seseorang yang darinya sesuatu penutupan itu diangkat melihat seperti dalam penglihatan mata terhadap Kebenaran atau Realitas, menyentuh pada seseorang yang telah kita gambarkan sebagai manusia dari ‘perpisahan kedua’. Orang sedemikian tidak hanya ‘melihat’ dengan penglihatan langsung, tetapi ‘membuktikan’ dengan pengalaman langsung Realitas Eksistensi yang mengembang meliputi semua dan setiap hal-hal yang ada, yang mengartikulasikan individuasinya yang banyak dan beragam sementara tetap memperoleh kesatuan-Nya.217 Intuisi akan eksistensi tidak lain dari ‘kebetulan’ manusia dalam tindakan Eksistensi itu sendiri, dan karenanya itu juga disebut wujūd. Kondisi intuisi eksistensial tersebut didahului kondisi agitasi dalaman atau ekstase yang disebut wajd. Apa yang terjadi kemudian adalah kehilangan diri individual atau kesadaran subjektif (fanā’), dan jika orang tersebut tabah dalam kondisi spiritualnya dia mencapai kondisi kedirian sejatinya dan berada (baqā) dalam Tuhan. Hanya dalam kondisi yang kemudian dari berada inilah dia ‘menemukan’ (wajada) Tuhan. ‘Penemuan’ ini adalah wijdān. Dalam pengertian ini wujūd adalah penemuan Kebenaran dalam eksistensi, dan ini hanya mungkin setelah penghilangan kondisi manusia — yakni kehilangan kesadaran diri subjektif atau ego.218 Dalam hal al-dhawq, makna dasarnya adalah ‘rasa’ dalam pengertian yang digunakan baik untuk kenikmatan dan sakit.219 Hal tersebut menunjuk, dalam konteks epistemologis yang digambarkan di sini, kepada sebuah jenis pengetahuan intuitif yang dibawa dengan persepsi spiritual yang menemani pengalaman verifikasi langsung. Penglihatan transendental yang menyertainya menunjuk pada intelek murni (‘aql mujarrad); dan derajat spiritual seseorang dalam kondisi intelek tersebut merupakan realitas-realitas arketipal, dimana derajat verifikasi yang mengetahui dan kognisi terhadap Realitas dan Kebenaran transenden secara sejati disebut dhawq. Kita lihat di sini hubungan dekat antara dhawq dan kashf; dan memang juga antara hal tersebut dan wajd. Dhawq datang sebelum wajd, dan kondisi yang kemudian tiba dengan kesetiaan murni kepada Tuhan dan percakapan intim dengan-Nya hingga Dia mengalamatkan kepada hati seseorang yang begitu asyik dalam perenungan akan-Nya hingga pengecualian yang lain sehingga kemudian hati ‘melihat’ dari apa yang dibebaskan, dan di sana muncul agitasi yang disebut wajd, karena hati telah menemukan apa yang hilang. Penemuan ini, kita katakan sebelumnya, disebut wajd, atau wijdān, yang telah kita gambarkan sebagai intuisi akan eksistensi. penglihatan, An-Naml (27): 44; Qāf (50): 22. 216 Pada penglihatan dari hatilah yang disebut Nabi Suci ketika dia, padanya kedamaian, berkata: “Sembahlah Tuhan seperti kamua melihat-Nya...” pada saat yang lain dia juga berbicara melihat Tuhan dengan hati kita (lihat Kashf alMahjūb, London, 1911, hlm. 329). Bahwa hati merupakan organ spiritual akan penglihatan diturunkan dari Qur’ān Suci. Di sana Tuhan berbicara akan penutupan dan penyegelan-Nya terhadap hati, dan mengatakan bahwa mereka yang buta (a’mā) di dunia ini akan buta di akhirat, dan lebih lanjut tersesat dari jalan (Banī Isrā’īl (17): 72. Bukan bahwa mata mereka akan buta, karena penglihatan (basar) mereka akan tetap tajam (Qāf: (50): 22), tetapi bahwa kendati demikian hati mereka akan buta. Lihat lebih lanjut Al-Hajj (22): 46, dan Qāshāni, Sharh Fusūs, hlm. 155. 217 Pemandangan dengan mata (al-mu’āyanah) melibatkan menghadapkan dengan apa yang dipandang dan tidak ragu dengan apa yang dilihat mata. Dengan demikian hal itu menunjuk pada kehadiran (hudūr) kepada Tuhan dari hati manusia dalam kondisi perenungan yang tidak terganggu, seperti orang yang menjadi absen pada dirinya dan mengalami intuisi akan eksistensi. 218 Lihat al-Qushayrī, al-Risālah, Beirut, 1957, hlm. 34. 219 Ini adalah bukti dari Qur’ān Suci, contohnya Hūd (11): 9, 10; Al-Sajdah (41): 50; Al-Dukhān (44): 49; Al-Qamar (54): 48. 143 Prolegomena Ketika seseorang pulih dari penglihatan tersebut dia kehilangan apa yang ditemukan, tetapi pengetahuan tentangnya tetap dengannya. Dengan referensi pada intuisi akan eksistensi, penglihatan transempiris tersebut disebut shuhūd atau ‘penyaksian’. Penglihatan terhadap Realitas atau Kebenaran yang dilihat di sini secara mendasar menunjuk pada jiwa manusia dalam kondisi primordialnya ketika Tuhan membuatnya bersaksi kepada dirinya sendiri realitas dan kebenaran dari Ke-Rabb-an Tuhan dalam panggilanNya kepada jiwa: “Bukankah Aku Tuhanmu?” Respon manusia dalam pengenalan realitas dan kebenaran tersebut adalah pengakuan yang tidak dikondisikan, yang dikonfirmasikan di dalam dirinya sendiri dalam perkataannya: “Ya, tentu saja!”; dan pengakuan ini dikonfirmasikan dengan verifikasi pengalaman langsung dari apa yang ‘dilihat’ (q.v. shahida). Hal ini menunjuk pada kesaksian (shuhūd) asli, pada kondisi dimana orang tersebut dari ‘perpisahan kedua’ kembali. Tidak akan ada penyibakan sifat-dasar sejati dari bentuk fenomena dalam anekawarna dan multiplisitas dan eksistensi terpisah kecuali manusia melampaui dirinya sendiri, yakni, kondisi manusianya, dimana dia diikat pada tahap ‘perpisahan pertama’; dan hal ini serta merta melibatkan perubahan padanya, yang tanpanya selamanya dia akan diikat pada tingkatan kognisi dan kemauan yang biasa. Perubahannya dihasilkan ketika dia mencapai stasiun spiritual dan intelektual yang lebih tinggi secara bergantian, yang mengangkatnya pada tahap dimana dia mampu, dengan keagungan Tuhan, untuk melampaui dirinya dan memperoleh dirinya yang lebih tinggi. Perubahan tersebut menyertakan — seperti perkataan al-Ghazāli menyebut pada ayat Qur’ān Suci — yaitu “bumi ini baginya berubah menjadi bukan bumi, dan demikian juga langit”.220 Mereka yang telah mengalami ‘perpisahan kedua’, ketika mereka merenungkan Kebenaran, lalu kembali (dalam rekoleksi dari apa yang telah mereka alami tentang kehilangan fakultas persepsi rasional mereka dan dari ego individual mereka yang juga menyertakan kehilangan pada bentuk fenomena) kepada kondisi mereka sebelumnya, ketika Tuhan membuat mereka absen pada diri mereka sendiri dan kepada dunia dan hadir dengan-Nya; dan kemudian setelah Tuhan memberi mereka kesadaran individual dan membuat mereka terpisah dari-Nya dan hadir kembali kepada dunia, mereka mengetahui dengan verifikasi personal bahwa segala sesuatu itu — diri fenomenal mereka secara psikologis dan semua hal ciptaan secara ontologis — binasa kecuali Modus dan Aspek-Nya, dalam samaran yang tidak pernah berulang untuk dua durasi yang bertalian. Mereka telah melihat Kesatuan akan Wujud (Existence) Absolut yang telah menjadi Multiplisitas, dan yang Multiplisitas kembali pada Kesatuan asalinya tanpa Kesatuan itu dikurangi oleh perubahan apapun dalam keesaannya dan kesempurnaannya. Pada kondisi ini kata-kata al-Junayd ditujukan: “... mereka terpesona oleh penglihatan terhadap pancaran dariNya...”221 Mereka menyadari bahwa semua maujud dalam sifat-dasar mereka merupakan modusmodus dan aspek-aspek-Nya, sedangkan bentuk-bentuk fenomena dalam samaran tersebut yang nampak secara sementara pada diri mereka sendiri merupakan non-eksistensi murni. Sebagaimana mereka dalam diri mereka sendiri mereka adalah yang lain dari Tuhan (mā siwā Allāh); mereka itu, ketika ‘terhubung’ pada-Nya, atau ketika dipertimbangkan dalam asosiasi dengan-Nya, “tertinggal tanpa jejak”; ketika matahari kemuliaan-Nya menampakkan sinarnya maka bintang-bintang hilang, mereka tidak dapat ‘ada-bersama’ Yang Absolut, seperti Ibn ‘Atā’ Allāh al-Iskandarī berkata: Menurut Orang-orang Kesatuan dan Pengetahuan Iluminatif (ahl al-tawhīd wa al-ma’rifah) bukan ‘eksistensi’ maupun ’kehilangan-eksistensi’ (faqd) dapat dipredikatkan kepada yang 220 221 Mishkāt al-Anwār, hlm. 50; Ibrahīm (14): 48. Kitāb al-Mithāq, op.cit., hlm. 41/161-2. 144 Prolegomena lain selain Tuhan Yang Maha Agung, karena selain Tuhan tidak dapat ‘ada-bersama’ Tuhan sebab Tuhan Unik; maupun ‘kehilangan-eksistensi’ dapat dipredikatkan pada yang lain dari Tuhan sebab hanya yang telah ada saja yang dapat dikualifikasi dengan kehilangan eksistensi...dll.222 Sebuah bagian dalam Kitāb al-Luma’ dari al-Sarraj menjelaskan makna ‘kehilanganeksistensi’ (faqd) yang kini kita pertimbangkan: ‘Maujud’ (al-mawjūd) dan ‘kehilangan-eksistensi’ (al-mafqūd) adalah dua istilah yang menandakan lawan. ‘Maujud’ adalah apa yang telah muncul dari wilayah ‘non-eksistensi’ (al-’adam) kepada wilayah ‘eksistensi’ (al-wujūd); dimana ‘kehilangan-eksistensi’ adalah apa yang menyimpang dari wilayah ‘eksistensi’ kepada wilayah ‘non-eksistensi’. Dhū alNūn — Rahmat Tuhan atasnya! — berkata: “Bersedih hatilah bukan untuk ‘kehilanganeksistensi’ karena hal tersebut merupakan sebuah rekoleksi (akan ‘eksistensi’) pada sebuah budak yang maujud.” Non-eksistensi (al-ma’dūm) adalah yang ‘bukan’, dan yang ‘penemuannya’ adalah tidak mungkin, tetapi jika seseorang ‘tidak menemukan’ sesuatu namun sementara ‘penemuannya’ itu mungkin, maka hal tersebut disebut ‘kehilanganeksistensi’, dan hal tersebut tidak disebut ‘non-maujud’.223 Kini al-faqd ditandakan, menurut al-Baydāwī, ‘kondisi hal tersebut yang absen dari wilayah persepsi indera sehingga tempatnya tidak diketahui’. Al-Baydāwī disini menunjuk pada bagian Qur’ān Suci: Qālū wa aqlbalū ‘alayhim mādhā tafqidūna (12: 71),224 yakni: ‘Mereka berkata, kembali pada mereka: “Apa yang kamu hilangkan?” apa yang telah hilang di sini adalah ‘gelas kebesaran Raja’ (suwā’a al-maliki) dimana Nabi Yusuf telah menyembunyikannya dalam tas saudaranya (Benyamin).225 Karena cangkir minum itu disembunyikan dalam tas maka mereka (orang Mesir) kehilangannya (nafqidu) — yakni, mereka tidak melihatnya dimanapun dan mereka tidak tahu tempat persembunyiannya. Dalam kasus ini ‘absen dari wilayah persepsi indera’ berarti ‘kehilangan penglihatan’. Tapi hal tersebut juga berarti, bagaimanapun, bahwa gelas tersebut tidak hilang bagi memori — gelas tersebut masih ada dalam memori orang Mesir, karena jika tidak mereka tidak akan mampu kehilangannya. Jadi kendati kehilangan gelas tersebut fakta bahwa hal tersebut diingat bermakna bahwa gelas tersebut masih sesuatu yang maujud hanya tempatnya saja yang tidak diketahui. Makna yang nampak dari perkataan Dhū Nūn, yang dikutip oleh alSarrāj, dapat diinterpretasikan dalam cara yang sama. Ketika menunjuk pada diri individual dalam tahap pengalaman spiritual tersebut yang mengikuti wajd, kata wujūd, sebagaimana kita telah tunjukkan, tidak berarti ‘eksistensi’ dalam pengertian biasa. Pada wajd kondisi spiritual merupakan tahap awal fanā’ atau ‘swa-kebinasaan’, dimana seseorang yang mengalami wajd (wājid) kehilangan kesadaran individual tentang diri tersebut. Mengikuti pernyataan ini, dan jika dia tetap tabah dalam kondisinya, maka dia ‘menemukan’ (wajada) Tuhan.226 Dalam penjelasan ini faqada merupakan lawan dari wajada, dan fāqid lawan dari wājid, dan faqd lawan dari wajd. Faqd 222 Dikutip dalam karya Nūr al-Dīn al-Rānīrī Hujjat al-Siddīq, hlm. 20. Lihat karya saya Commentary kepada Hujjat, hlm. 98. 223 Op.cit; hlm. 339 dari teks bahasa Arab. Terjemahan saya. Jelaslah dari sini bahwa ‘non-maujud’ adalah apa yang tidak dapat secara esensial ada sebagai eksistensi eksternal, tetapi meskipun demikian hal tersebut merupakan apa yang dapat ada dalam kondisi interior Being. 224 Lihat karyanya Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, 2 vol. Kairo, 1939. 225 Yūsūf (12): 71-72. 226 Lihat komentar ‘Afīfī pada Fusūs, op. cit., hlm. 310. Lihat juga karya al-Qushayrī Risālah, hlm. 34 dimana makna akan wujūd diberikan. 145 Prolegomena merupakan deskripsi tahap akhir fanā’, ketika manusia tersebut kembali pada swa-kesadaran tanpa mencapai kondisi baqā. Dalam kutipan dari al-Sarrāj, al-mafqūd berarti ‘kehilangan-eksistensi’ dan didefinisikan sebagai sesuatu yang menyimpang dari wilayah eksistensi kepada non-eksistensi. Faqd itu didefinisikan sebagai kehilangan akan eksistensi, bukan sebagai eksistensi yang hilang — kehilanganlah yang merupakan konotasi dominan dalam faqd, bukan eksistensi. Dengan demikian, seperti dikatakan al-Iskandarī, bahwa hal tersebut hanya dapat dikatakan dari “yang telah ada”. Karena telah menjadi jelas dari apa yang telah dieksplikasi bahwa yang lain dari Tuhan itu tidak dalam kondisi eksistensi (wujūd) maupun dalam kehilangan eksistensi (faqd), ini berarti bahwa hal tersebut juga bukan dalam kondisi sedang-maujud (mawjūd), maupun akan hilang ke eksistensi (mafqūd). Untuk mengatakan bahwa yang lain dari Tuhan, atau dunia, adalah non-eksistensi absolut (‘adam mutlaq) adalah sama dengan kesalahan, seperti dunia yang, entah bagaimana, ‘ada’. Jika dunia tidak dalam kondisi eksistensi maupun dalam kondisi non-eksistensi, lalu apa kondisinya? ‘dunia bersama dengan semua bagiannya adalah tidak lain dari rangkaian aksiden (a’rād), dan yang darinya mereka menjadi aksiden (al-ma’rūd cth. lapisan-dasar) adalah Tuhan.227 “Dunia tidak lain dari swa-perwujudan-Nya (cth. tajallī).228 Untuk mengatakan bahwa dunia ‘ada’, hanya berarti bahwa dunia merupakan ‘datang-menjadi-being’ antara dua durasi, dan bahkan kemudian dunia merupakan subjek bagi pembinasaan karena aksidennya tidak bertahan dua durasi — dan yang lain seperti mereka juga secara sinambung diciptakan untuk menggantikan mereka. Dunia ‘eksistensi’ diikat pada kedua sisinya oleh non-eksistensi. Dunia qua dunia tidak dapat digambarkan sebagai sesuatu yang telah kehilangan eksistensinya, sebagaimana hal tersebut dapat menyiratkan bahwa dunia telah ada, dan hal ini ditolak karena dunia tidak pernah ‘ada’ sebagai suatu hal yang nyata pada masing-masing momen dari dirinya sendiri; dunia tidak dapat digambarkan sebagai telah kehilangan eksistensinya karena dunia pada faktanya tidak pernah menjadi eksistensi dalam perluasan bahwa pembinasaan dapat digambarkan sebagai sebuah ‘kehilangan’. Eksistensi dalam keabsolutannya dan bukan dalam pengertian relatif hanya merupakan prerogatif Tuhan. Kita telah katakan bahwa dunia qua dunia tidak pernah ‘ada’ sebagai suatu hal yang nyata pada masing-masing momen akan dirinya sendiri karena pada kenyataannya dunia selalu binasa. Tapi dunia qua swa-manifestasi dari Tuhan dalam Aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut selalu tetap ada. Maka selain dari Tuhan, atau dunia ciptaan sebagai keseluruhan, memiliki aspek ganda: sebagai sesuatu yang nampak terpisah dan berada sendiri di luar Realitas yang merupakan Eksistensi Absolut; dan sebagai sesuatu yang memanifestasikan individuasi dari Eksistensi Absolut yang menampakkan pelbagai tahapan-Nya dan berdasarkan dengan pembatasan dari modus-modus dan aspek-aspek-Nya yang secara sinambung digantikan oleh yang serupa dalam ciptaan yang baru. Tahapan dan aspek-Nya yang secara sinambung digantikan oleh yang serupa dalam penciptaan yang baru. Dunia dalam aspeknya yang pertama adalah ‘ciptaan’ dari imajinasi sensitif (mutawahham), sesuatu yang oleh fakultas estimatif dari jiwa dianggap memiliki independensi ontologis yang tidak dimiliki pada kenyataannya. Tapi dunia dalam aspeknya yang kedua, dalam multiplisitas dan anekaragamnya, adalah seperti begitu banyak cermin yang masing-masing merefleksikan sesuatu yang nyata. Refleksinya tentang sesuatu yang nyata membuat refleksi tersebut menipu pelihat yang menganggapnya sebagai objek yang nyata. Apa yang lain dari Tuhan menyentuh pada dunia dalam kedua aspeknya: dalam aspek pertama dunia itu bukan maujud maupun subjek bagi kehilangan eksistensi; namun, dalam aspek kedua, dunia itu sesuatu yang telah maujud dan kini kehilangan eksistensi. Dalam aspek pertamanya dunia itu 227 228 Fusūs, hlm. 125-126. Ibid., hlm. 81. 146 Prolegomena dipahami sebagai sesuatu yang memiliki kesinambungan dalam eksistensi, berada secara independen, dan tersusun dari kuiditas-kuiditas yang padanya eksistensi secara konseptual ditambahkan sebagaimana terlihat dari sudut pandang esensialistik metafisika substansi dan aksiden. Aspek dunia ini muncul sebagai hasil dari operasi normal tingkatan persepsi dan konsepsi biasa, dan perkembangan filosofis dan saintifik darinya ke dalam sebuah interpretasi tentang sifat-dasar realitas yang tidak lain sebuah elaborasi rumit dari tingkatan biasa rasio dan pengalaman. Dunia dalam aspek ini secara esensial bukan apa-apa; bukan hanya karena kuiditaskuiditas yang dibuat menyusunnya hanya bersifat mental dalam alam, tetapi juga karena kuidtaskuiditas itu selalu-binasa, dan hanya pembaharuan yang sinambung akannya dengan yang serupa yang menciptakan pada pikiran gagasan kesinambungan dalam eksistensi seolah-olah dunia itu sebuah realitas swa-berada dan independen yang memiliki being. Dalam aspek keduanya dunia itu sesuatu yang datang menjadi eksistensi pada setiap momen dirinya sendiri yang independen dari pikiran. Setiap momen dirinya sendiri adalah tidak sinambung, sebuah momen yang merupakan ‘menjadi-maujud’nya: hal tersebut demikian hanya dalam durasi atomis, yang digantikan oleh selain yang serupa dengannya, dan yang lain tersebut masih oleh yang lain secara terus-menerus. Segala hal yang terlibat dalam rangkaian pembaharuan penciptaannya ini memelihara kesatuan dan identitasnya sehingga hal partikular tersebut berhutang kepada realitas atau arketipnya, ke luar dan ke dalam bentuk Eksistensi yang mengembang dari tingkatan keabsolutan-Nya kepada tingkatan determinasi dan individuasi-Nya dalam bentuk-bentuk yang lebih konkret. Arketip itu sendiri — meskipun juga mengalami proses pembaharuan — memelihara identitas asalinya dan selalu tetap dalam kondisi interior Being. Aspek yang kedua dari dunia ini adalah nyata, dan memiliki dua aspek: (1) sebagai Eksistensi Itu sendiri, di dalam kasus bahwa Eksistensi Absolutlah sebagaimana ia melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan dinamis; (2) sebagai modus-modus Eksistensi, di dalam kasus bahwa individuasinya dari Eksistensi Absolutlah yang telah diturunkan pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi. Tuhan dalam Aspek-Nya sebagai Kebenaran atau Realitas, yakni, Eksistensi Absolut, maka tidak identik dengan hal-hal yang kita lihat dan pegang — sebagaimana Dia tidak identik dengan Nama dan Sifat-Nya ketika mereka menampilkan kualifikasi diri-Nya dalam bentuk mereka; karena dikualifikasi sedemikian Dia itu bukan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri. Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri itu berada di atas dikualifikasikan bahkan oleh keabsolutan, sebagaimana juga Dia pada derajat tersebut itu tidak dikondisikan oleh kondisi apapun, dan oleh karena itu tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali bagi diri-Nya sendiri. Dari penjelasan di depan sudah jelas pada mereka yang memiliki pemahaman bahwa Tuhan tidak dapat diserupakan kepada hal-hal yang diciptakan; bahwa Dia bukan substansi, maupun jasad, maupun aksiden; bahwa Dia bukan dalam sebuah tempat maupun waktu; bahwa Dia bukan penerima terhadap aksiden, maupun Dia itu lokus bagi hal-hal yang diasalkan — meskipun Dia kadang-kadang nampak seolah-olah Dia adalah sebuah ‘substansi atau ‘lapisan-dasar’ yang unik dimana terdapat semua aksiden, dan pada waktu yang lain seolah-olah Dia adalah ‘aksiden-aksiden’ yang inheren dalam ‘lapisan-dasar’ tersebut. Kita telah berbicara, dengan referensi pada struktur fanā’ baqā dalam intuisi akan eksistensi, tentang apa yang dibuktikan oleh orang-orang penglihatan spiritual sebagai aspek objektif, metafisis, dan ontologis dari dunia hal-hal ciptaan dalam hubungannya dengan Tuhan. Dalam segala hal yang telah kita katakan, aspek ganda realitas dari tingkatan eksistensi tertinggi hingga yang terendah telah berulang-kali ditunjukkan. Kini, secara berhubungan, pada aspek subjektif dan psikologis dari persoalan tersebut berkaitan dengan manusia, aspek ganda yang sama disatukan dalam pengalaman akan kejadian kebetulan dari perlawanan. Terminologi yang mendefinisikan durasi ketika fanā’ muncul adalah waqt atau ‘waktu’, yang berarti pemotongan 147 Prolegomena rangkaian waktu dari kesadaran individual seseorang sedemikian yang datang dalam waktu tanpa masa lalu dan masa depan; sebuah waktu yang merupakan sesuatu dari alam keabadian dan dimana seseorang dibenamkan dalam kebetulan perlawanan (coincidentia oppositorum). Terdapat dua ‘waktu’ (awqāt) selama fanā’ muncul; yang satu menunjuk pada kondisi wajd — agitasi spiritual yang mendahului ‘penemuan’ Kebenaran (wijdān), yang tidak lain dari intuisi akan Eksistensi (wujūd); yang lain menunjuk pada kondisi faqd —‘kehilangan’ (fiqdān) apa yang ditemukan yang mendahului kembalinya pada kesadaran individual. Apa yang telah hilang adalah diri sejati yang telah menyaksikan dan membuktikan Kebenaran, atau Aspek Tuhan sebagai Eksistensi Absolut; apa yang hilang adalah kondisi dimana dia sebelumnya sebelum dia ada sebagai eksistensi eksternal.229 Dalam pengertian ini juga, apa yang telah hilang adalah penglihatannya terhadap Kebenaran, karena dia telah dalam kondisi ‘persatuan’ dan ‘kehadiran’, dan kini dalam kondisi ‘perpisahan’ dan ‘absensi’. Mungkinlah sesorang yang terbenam dalam ‘waktu’ dengan pengertian yang digambarkan di atas dapat, tanpa kondisi (hāl) penglihatan sesungguhnya (cth. al-mushāhadah al-’iyāniyyah) yang Tuhan sebabkan diturunkan padanya, menjadi sukar dengan perpisahan, karena dia telah merasakan tetapi tidak sepenuhnya melihat, dan perasaa kembali kepada ketakutan sejati pada apa yang hilang dan menurunkan perasaan lain yang hanya menekankan kondisi kesadaran individual terhadap eksistensi fenomenal. Pada seseorang sedemikian juga tentunya menunjuk pada perkataan Dhū al-Nūn yang dikutip sebelumnya dari al-Sarrāj. Tapi pemilik waqt yang bergandengan dengan hāl yang membuat penglihatan sesungguhnya mungkin tidaklah diserang oleh perasaan ketakutan terhadap perpisahan, karena apa yang telah dia rasakan dan lihat dalam kondisi tersebut, dari Multiplisitas menjadi Kesatuan dan Kesatuan kembali menjadi Multiplisitas hanya untuk kembali pada Kesatuan asalinya, memberinya pengetahuan tertentu tentang realitas esensial dalam Tuhan. Hal Ini merupakan makna mendalam dalam pengertian dari perkataan Dhū al-Nūn, bahwa tidak perlu takut terhadap kehilangan eksistensi, karena menjadi-hilang akan eksistensi pada faktanya sebuah pengingatan bahwa seseorang itu maujud, jika tidak tidak akan ada kehilangan eksistensi — sehingga seseorang memiliki realitas esensial untuk mengambil bagian dari eksistensi, dan pada pengetahuan tersebut dia diberikan keberadaan (baqā) dalam Tuhan. Kondisinya dikarakteristikkan dengan ‘ketabahan’ (tamkīn), yang merupakan tahap kesempurnaan spiritual yang tertinggi; tidak ada tahap selanjutnya, tidak ada perubahan, tidak ada ragu maupun kebimbangan dalam kondisinya, dan meskipun dia telah kembali pada tahap ‘perpisahan kedua’, Tuhan telah menghapus dari kesadarannya semua pemikiran dari apa yang selain-Nya sehingga dia melihat dimanapun Tuhan dan modus dan aspek-Nya dalam verifikasi dari apa yang dikatakan dalam Qur’ān Suci: “Dimanapun kamu berpaling terdapat Aspek Tuhan”.230 Mereka yang telah mengalami intuisi akan eksistensi ada dua jenis. Yang pertama adalah mereka yang telah mengalami intuisi eksistensi parsial, dimana mereka secara langsung menangkap hanya yang pertama dari kedua aspek akan realitas dunia sebagaimana telah kita nyatakan di atas. Karena pengalaman mereka telah meninggalkan mereka penangkapan hanya terhadap Eksistensi Absolut, dimana eksistensi partikular dan individual, termasuk diri mereka, kesadaran subjektif, semuanya binasa, mereka menjadi lupa, ketika mereka memperoleh kesadaran individual mereka, kepada penolakan eksistensi realitas partikular dan individual dan afirmasi hanya terhadap keesaan Eksistensi Absolut. Tapi kendati akan ini, bagaimanapun, mereka mengetahui bahwa intuisi mereka akan eksistensi hanya sebuah yang parsial dan oleh karena itu tidak lengkap, dan penolakan mereka terhadap eksistensi partikular dan individual itu hanya bersifat personal bagi mereka, dan tidak dimaksudkan untuk dipahami berhubungan kepada 229 230 Lihat Kashf al-Mahjūb, hlm. 368. Al-Baqarah (2): 115. 148 Prolegomena sifat-dasar sesungguhnya dari realitas. Jenis yang kedua adalah mereka yang telah mengalami intuisi akan eksistensi yang lengkap, dimana mereka secara langsung menangkap baik kedua aspek dari aspek kedua realitas dunia. Dalam durasi pengalaman intuitif mereka, mereka telah diberikan sebuah penglihatan penuh tentang Realitas. Kesaksian mereka terhadap Eksistensi Absolut dalam proses akan pergerakan dinamis-Nya, dimana artikulasi dalaman-Nya diungkapkan kepada mereka. Artikulasi tersebut merupakan penampakan dan ketidaknampakan dan penampakan ulang modus-modus dan aspek-aspek dari Eksistensi Absolut keluar dari kedalaman dalaman keesaan-Nya tanpa keesaan tersebut dengan cara apapun dipengaruhi perubahan apapun dalam sifat-dasar atau kesatuannya. Mereka melihat dengan mati hati seolaholah dengan penglihatan mata, dimana Yang Esa mengindividuasi diri-Nya sendiri ke dalam Yang Banyak namun tetap menjadi Esa; dan penghilangan Yang Banyak dibuat ditampakkan ulang, beberapa dalam bentuk-bentuk asali mereka dan yang lain dalam bentuk yang serupa. Mereka yang mengalami penglihatan ini telah kehilangan kondisi manusia dan subjektifnya dan telah memperoleh kedirian yang lebih tinggi: mereka ada pada tingkatan akan realitas-realitas mereka di alam arketip. Dari pengalaman jenis yang kedua akan intuisilah, yang termasuk dan merupakan tahap yang melampaui jenis yang pertama, sehingga sifat-dasar realitas sebagai sebuah ‘sistem’ integratif dirumuskan oleh mereka yang telah mengalaminya. Mereka mengakui eksistensi dan realitas baik Eksistensi Absolut (Tuhan) dan modus-modus dan aspek-aspek-Nya (dunia), dan membedakan yang satu dari yang lain. Jenis kedua intuisi akan eksistensi mengungkapkan bahwa sifat-dasar realitas bersifat ganda, dikarakteristikkan oleh perlawanan yang saling melengkapi yang terlibat dalam pergerakan dinamis dan eksistensial. Dalam pengertian metafisis, pergerakan dinamis Eksistensilah, yang digambarkan dalam pengertian ekspansi dan kontraksi atau ‘turunan’ dan ‘pendakian’, yang melibatkan Yang Esa dan Yang Banyak; Yang Absolut dan Yang mendeterminasi; Yang Abadi dan Yang non-abadi. Di antara dua perlawanan yang melengkapi tersebut terdapat kategori ketiga antara being dan non-being yang tidak Abadi maupun Non-abadi, dan ini merupakan alam Realitas Arketipal. Dalam hubungan dengan pergerakan dinamis dan eksistensial dari penurunan dan pendakian, atau ekspansi dan kontraksi, yang memunculkan bagi penciptaan yang selalu-baru dan asal dari rangkaian waktu, sifat-dasar rangkaian waktu juga merupakan suatu yang subjektif; dan kita katakan di atas bahwa manusia yang mengalami intuisi akan eksistensi ada pada tingkatan realitas-realitas arketipal. Kini kehilangan kondisi subjektif dan manusia tersebut dalam pengalaman intuitif harus juga melibatkan kehilangan rangkaian waktu; dan penemuan kedirian yang lebih tinggi dalam jenis kedua dari pengalaman intuitif melibatkan dalam sebuah waktu tanpa masa lalu dan masa depan, sebuah waktu yang kita katakan merupakan alam keabadian. Pada hal ini ditunjuk definisi tentang intuisi dari jenis ini ketika Abū Sa’īd al-Kharrāz, yang mengalaminya, berkata: “hal tersebut merupakan sebuah kebetulan antara dua perlawanan” (al-jam’ bayn al-diddayn). Ketika mereka mengatakan bahwa Kebenaran, yang merupakan salah satu Nama-Nama Tuhan, merupakan realitas eksistensi, mereka berbicara dalam pengertian metafisis menunjuk pada Yang Absolut sebagaimana Ia mewujudkan diri-Nya sendiri dalam semua tataran eksistensi. Dengan demikian mereka tidak menyiratkan bahwa Tuhan tidak memiliki individualitas, atau bahwa Dia adalah sebuah Being yang luas, samar, meliputi dan dinamis, yang berlawanan dengan teologi Tuhan dari agama. Sebaliknya, mereka mengakui individualitas Tuhan; karena tidaklah tidak konsisten bagi Yang Absolut untuk memiliki individuasi sebagai Tuhan dalam cara bahwa Dia telah menggambarkan diri-Nya berdasarkan Nama-Nama Indah dan Sifat-Sifat Mulia-Nya. 149 Prolegomena Individuasi ini ada pada tataran Keesaan Ilahiyah (al-wāhidiyyah), dimana aspek swapengungkapan dikarakteristikkan nama-nama dan sifat-sifat keilahiyahan (al-ilāhiyyah). Ringkasan di depan dari corak paling penting dari intuisi akan eksistensi, yang padanya didasarkan posisi dari manusia penglihatan spiritual kepada sifat-dasar realitas, dapat dilacak kembali dalam bentuk sederhananya dari ekspresi pada mazhab al-Junayd. Mazhab ini menampilkan penglihatan realitas sebagaimana mereka pertimbangkan berdasarkan pada jenis kedua dari intuisi akan eksistensi. Mereka mengafirmasi kesatuan transenden eksistensi (wahdat al-wujūd). Di antara perwakilan pencatat terdahulu dari sekolah ini setelah al-Junayd adalah Abū Nasr al-Sarrāj, ‘Alī al-Hujwīrī, Abū al-Qāsim al-Qushayrī dan ‘Abd Allāh al-Ansārī. Pada mazhab ini juga terdapat al-Ghazāli. Tapi pendukung terbesar mereka adalah ibn ‘Arabī, yang pertama kali merumuskan apa yang secara asli diberikan dalam intuisi akan eksistensi ke dalam sebuah metafisika integratif yang diungkapkan dalam pengertian rasional dan intelektual. Di antara komentator terpelajarnya adalah Sadr al-Dīn al-Qunyāwi, ‘Abd al-Razzāq al-Qāshanī, Dāwud alQasyarī, ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī; dan doktrinnya tentang Manusia Sempurna (al-Insān al-Kamīl) telah dibangun oleh ‘Abd al-Karīm al-Jīlī. Ungkapan filosofis dari kesatuan transenden akan eksistensi dirumuskan oleh Sadr al-Dīn al-Shīrāzī, yang disebut Mullā Sadrā, yang membawa jejak pemikiran metafisis pemikiran ibn Sinā, al-Ghazāli, ibn ’Arabī, dan al-Suhrawardī. 150 Prolegomena VI KUIDITAS DAN ESENSI Dalam epistemologi Islam kita mengafirmasi kemungkinan pengetahuan dan realitas halhal, dan menegaskan persepsi dan observasi inderawi, rasio, berita yang benar berdasarkan otoritas, dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan.231 Pada hal dengan problem yang berhubungan dengan sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan realitas sebagaimana diketahui dengan analisis rasional dan demonstrasi, kita mempertahankan bahwa, menurut tingkatan pengetahuan berdasarkan persepsi inderawi dan rasio — yang kita pertimbangkan sebagai kriteria absah untuk verifikasi kebenaran, dan yang kita digunakan dalam investigasi kita — eksistensi merupakan sebuah konsep tunggal, umum, dan abstrak yang umum bagi semua eksistensi. Konsep tunggal, umum, dan abstrak ini yang umum bagi semua eksistensi menjadi majemuk, kita katakan,232 berkaitan dengan pembagian rasional menjadi ‘bagian-bagian’ yang berhubungan dengan hal-hal dalam jalur kondisinya yang dilekatkan kepada kuiditas-kuiditas. Makna ‘realitas’, dalam pengertian bahwa terdapat being di dunia eksternal dimana sesuatu yang aktual yang berhubungan dengannya, hanya menyentuh baik kepada eksistensi atau kuiditas dari suatu hal,233 salah satu dari mereka sebagai intelijibel sekunder, yakni, sebuah entitas konseptual murni yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal. Eksistensi dalam pengertian ini, dan hanya dalam pengertian ini, merupakan entitas mental yang tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal.234 Tapi kita juga mengafirmasi, dalam tambahan kepada eksistensi yang dipahami dalam pengertian di atas, dan sebagaimana berdasarkan pada berita yang benar dan institusi yang dibangun atas otoritas dari Qur’ān Suci dan Tradisi sebagaimana juga di atas rasio dan pengalaman, bahwa terdapat entitas lain yang berhubungan dengan gagasan murni konseptual tentang eksistensi yang bukan bersifat mental tetapi nyata. Entitas yang lain ini adalah realitas eksistensi, yang menghasilkan dalam pikiran gagasan tentang eksistensi sebagai konsep murni, sebagaimana gagasan ‘hal-hal’ dan ‘kuiditas-kuiditas’ mereka dimana bagian eksistensi sebagai entitas konseptual secara berhubungan dilekatkan. Kita telah memberi inti sari hal ini, 235 dan mengidentifikasi realitas eksistensi ini, yang juga merupakan Eksistensi Absolut, dengan Aspek Tuhan yang ditunjuk dalam Qur’ān Suci Yang meliputi segala hal secara menyeluruh dan yang tertinggal setelah kebinasaan hal-hal ciptaan. Gagasan kita tentang suatu hal sebagaimana secara segera diterima — dalam kasus ini seorang manusia, untuk contoh — secara sederhana merupakan maujud (mawjūd) yang nyata dan konkret yang memiliki individualitas partikular yang padanya sebuah kata — contoh, ‘manusia’ — digunakan untuk menunjuknya, dan kata yang ketika disebutkan akan membawa kepada pikiran objek yang ditunjuknya. Hal ini, secara ringkas menggambarkan gagasan utama kita tentang suatu hal, sebuah objek fisik dari indera. Pikiran, ketika merenungkan hal tersebut yang menuntut definisinya, dan dalam jawaban terhadap pertanyaan dalamannya tentang hal tersebut: “Apa itu?”, memproses untuk menganalisanya; untuk memutuskan, mendiskriminasi, mengualifikasi dan menglasifikasinya hingga tiba pada sebuah definisi hal tersebut, yakni, ‘hewan 231 Lihat komentar al-Taftāzānī pada karya al-Nasafī ‘Aqā’id, Kairo, 1335A.H., hlm. 24, fol. al-Nasafīlah yang menulis pernyataan pertama dalam bentuk yang singkat dan frase yang dirajut-baik dari kredo Islām yang muncul di antara muslim. 232 Lihat Bab III, di atas, hlm. 126-127. 233 Alasan untuk kondisi baik ini /atau ini (either/or) dijelaskan di bawah, hlm. 232-233. 234 Hal ini disetujui oleh filsuf muslim, teolog, dan metafisikawan Sūfī yang menampilkan tradisi intelektual dan keagamaan Islāmi. 235 Dalam bab II hlm. 126-127. 151 Prolegomena rasional’ dalam kasus ‘manusia’. Dalam proses pembentukan-konsep ini pikiran tersebut mampu mengabstraksi ‘ke-apa-an’ (whatness) hal tersebut dari eksistensinya, dimana eksistensi di sini dianggap sebagai sesuatu yang dilekatkan kepada hal itu sendiri, seolah-olah eksistensi merupakan sebuah bagian dari hal tersebut yang ditambahkan kepadanya. ‘Ke-apa-an’ ini adalah kuiditas (māhiyyah).236 Dengan jalan ini pembagian dan pemilahan mental dibuat antara kuiditas dan eksistensi, dimana kuiditas dianggap sebagai realitas suatu hal sedangkan eksistensi adalah apa yang mengualifikasikannya. Dari sini kita membedakan dua tahap pemahaman. Tahap pemahaman primer menunjuk kepada objek fisik, kepada hal-hal konkret, sebagaimana ditunjukkan dengan kata ‘hewan’ dalam hal ‘manusia’, yang padanya diberlakukan sepuluh kategori Aristotelian tentang substansi, atau bahan dari mana hal fisik terbuat, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, postur, kepemilikan, aksi, dan pasifitas atau penindaklanjutan.237 Hal-hal sedemikian merupakan bahan asali dari mana diturunkan gagasan primer yang ditangkap oleh intelek yang disebut intelijibel primer (alma’qūlat al-ūlā). Mereka (hal-hal tersebut) merupakan objek maujud konkret dari dunia eksternal yang berhubungan dengan konsep tersebut yang diturunkan dari mereka yang kita sebut intelijibel primer. Namun, tahap pemahaman sekunder, menunjuk bukan pada objek fisik, tetapi lebih kepada logika. Hal tersebut menyentuh pada proses mental abstrak yang tinggi; sebuah elaborasi rasional terhadap konsep yang tiba dan dibangun berdasarkan aturan logika dan pembagian logis akan genus spesies, dan diferensia. Dengan demikian pada tahap ini pikiran merefleksikan dirinya sendiri, pada isinya sendiri, sebagaimana dikatakan, dan caranya memahami gagasan yang dirumuskannya. Gagasan atau konsep tersebut tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal, karena mereka bukanlah konsep yang diturunkan dari objek konkret, tetapi merupakan konsep dari konsep seperti konsep ‘hewan rasional’ sebagaimana diturunkan dari konsep lain dari ‘manusia’. Konsep sedemikian disebut intelijibel sekunder (alma’qūlāt al-thānīyah). Sudah jelas dari penjelasan di depan bahwa realitas suatu hal, sebagaimana dipahami berdasarkan aturan logika dan pembagian logis akan genus, spesies, dan diferensia, menunjuk pada kuiditas sebagaimana dilawankan dengan eksistensi, dalam pengertian bahwa kuiditas dipandang sebagai realitas yang berbeda dari, dan dikualifikasikan secara konseptual dengan eksistensi; hubungan antara kuiditas dan eksistensi secara berturut-turut seperti subjek dan predikat. Perspektif ini melibatkan pemahaman terhadap sifat-dasar eksistensi sebagai intelijibel sekunder yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal. Tapi terdapat pengertian lain dimana kuiditas dipahami. Berbeda dengan kuiditas sebagaimana dipahami secara logis sebagai apa yang didefinisikan dalam jawaban kepada pertanyaan: “apa itu?” – yakni, ‘hewan rasional’ dengan referensi pada ‘manusia’, kuiditas dapat 236 Istilah Latin quidditas menunjuk pada sifat-dasar yang terpilah atau khas dari suatu hal. Hal tersebut merupakan sebuah terjemahan langsung bahasa Latin dari teks bahasa Arab: māhiyyah’, yang dalam bahasa Arab itu diturunkan dari kombinasi dua kata: mā huwa atau mā hiya, berarti ‘apa itu?’ Māhiyyah adalah yang menjawab pertanyaan ‘mā hiya?’ Sama halnya dalam bahasa Latin quidditas dibentuk dari pertanyaan ‘quid est?’ Dalam hal istilah bahasa Arab māhiyyah’, para filsuf muslim awallah yang telah membuatnya. Dalam pandangan saya, hal tersebut mungkin diinsipirasikan oleh sebuah hadīth Nabi Suci: Allāhumma arinā al-ashyā’ ka mā hiya: “Wahai Tuhan! Tunjukkan saya hal-hal sebagaimana mereka ada dalam dirinya sendiri”, cth. sebagai hal-hal yang ada dalam ‘ke-apa-an’ individualnya. Hadīth ini dilaporkan dalam komentar Fakhr al-Dīn al-Rāzī pada Qur’ān Suci (lihat catatan 250 di bawah), vol. 21, hlm. 37; 39-40. Pada istilah bahasa Latin quidditas sebagai terjemahan langsung dari bahasa Arab, lihat lebih lanjut A.M. Goichon: La Philosophie D’Avicenne et son Influence en Europe Médiévale, Paris, 1951, hlm. 101. 237 Referensi di sini kepada Sepuluh Kategori (al-ma’qūlat al-‘asharah): substansi (ousīa: jawhar); kuantitas (posōn: kammiyah); kualitas (poiōn: kayfiyyah); relasi (prosti: idāfah); tempat (pou: ayna); waktu (pote: matā); postur (keīsthai: wad’); kepemilikan (ēchein: milk); aksi (poiēn: an yaf’al, fi’il); hasrat/penindaklanjutan (paschein: an yanfā’il, infi’al), lihat karya Jurjānī, Ta’rīfāt, hlm. 243; karya Tahānāwi, Kashshāf. V, 1211. Lihat lebih lanjut, karya Soheil Muhsin Afnan, Wāzhah Nāmah Falsafī (Qāmūs Falsafī Fārisī-‘Arabī): A Philosophical Lexicon in Persian dan Arabic, Bayrut, Dār al-Mashriq, 1969, hlm. 246, kol 1&2. 152 Prolegomena juga dipahami secara ontologis sebagai ‘yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ (by which a thing is what it is). Permilahan antara dua makna kuiditas tersebut adalah bahwa dalam kasus terdahulu kuiditas hanya menunjuk pada genus dalam hubungan dengan spesies, karena ‘hewan rasional’ merupakan genus dimana spesies ‘manusia’ didefinisikan; sedangkan dalam kasus kemudian kuiditas menunjuk selalu pada maujud partikular, seperti pada hal individual yang padanya berlaku sepuluh kategori, seperti kepada manusia partikular. Ketika kita pertimbangkan kuiditas dari suatu hal, kita memahaminya baik dalam hal itu sendiri sebagaimana ada dalam dunia eksternal, atau sebagaimana ada dalam pikiran. Sifat-dasar kuiditas sebagaimana dipahami intelek memiliki tiga aspek:238 1. sebagai abstraksi murni (mujarradah), yang tidak berhubungan dengan apapun atau dengan pikiran manapun.239 Kuiditas dalam aspek ini sepenuhnya independen dalam dirinya sendiri dan tidak dapat dihubungkan dengan konsep manapun. Konsep ‘hewan’ sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, contoh, tidak lain hanya merupakan ‘hewan’ murni dan tidak dapat dipredikasikan terhadap konsep ‘manusia’ sebab ‘manusia’ menandakan sesuatu yang lebih dari ‘hewan’ murni. Dalam kondisi sedemikian dari abstraksi murni, tidak ada konsep lain yang dapat dikombinasikan dengannya untuk membentuk kesatuan yang bermakna. Jika konsep ‘rasional’ ditambahkan kepada ‘hewan’ dalam kasus ini, hal tersebut tidak akan menghasilkan sebuah kombinasi koheren, karena ‘hewan’ sebagai ‘hewan’ murni tidak dapat dikualifikasi dengan rasionalitas. 2. sebagai indeterminasi absolut (mutlaqah), tidak dibatasi oleh ketidakberhubungan dengan apapun dan bebas untuk menautkan dirinya kepada hal-hal individual. Konsep ‘hewan’, dalam kasus kuditas dalam aspek ini, tidak lagi dibatasi pada dirinya sendiri sebagai ‘hewan’ murni, tetapi tidak ditentukan dan memiliki potensialitas untuk dipredikasikan dengan konsep-konsep lain dalam sebuah kombinasi koheren. Ketika konsep ‘rasional’ dipredikasikan akan ‘hewan’ di sini, hal tersebut menghasilkan campuran dalam bentuk konsep ‘manusia’. ‘Hewan’ dalam kasus ini dapat dipredikasikan ‘manusia’, karena animalitas (hewan) dan rasionalitas merupakan unsur bagian-bagian penyusun manusia; 3. sama seperti pada (2) di atas, dan hadir dalam pikiran240 dimana hal tersebut menerima pelbagai aksiden seperti predikasi, universalitas, partikularitas, dan yang semisal dimana aspek kuiditas di sini itu dicampur (makhlūtah), seperti ketika konsep ‘hewan’ menunjuk pada apa yang sudah teraktualisasikan dalam dunia eksternal sebagai sesuatu yang dispesifikasikan sebagai ‘rasional’. Dengan demikian ‘hewan’ dispesifikasikan menunjuk pada sebuah objek dunia eksternal, kepada seorang manusia partikular. Kuiditas yang sama sebagaimana dipertimbangkan intelek di bawah samaran dari tiga aspek itu disebut, dalam kasus pertama, ‘dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun’ (bi shart lā shay’); dalam kasus kedua, ‘tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun’ (lā bi shart shay’); dan dalam kasus ketiga, ‘dikondisikan oleh sesuatu’ (bi shart shay’).241 238 Sifat-dasar kuiditas sebagaimana dipahami rasio pertama kali secara sistematis dianalisa dan dirumuskan ibn Sinā. Lihat karyanya al-Shifā, al-Mantiq, al-Madhkal, eds. G. Qanawati, Mahmud al-Khudayri, dan Fu’ad al-Ahwani, Cairo, 1953, hlm. 15, 34; juga hlm. 65-72. Sebuah elaborasi hubungan antara kuiditas dan unsur-unsur penyusunnya sebagaimana dibuat ibn Sinā, yang menerimanya sebagai memiliki tiga aspek, di sini diberikan dalam garis besar. Lihat juga karya Sabzawārī Sharh Ghurar al-Farā’id, eds. M. Mohaghegh dan T. Izutsu, Teheran, 1969, hlm. 131 fol.; dan The Metaphysics of Sabzawari, trs M. Mohaghegh dan T. Izutsu, New Tork, 1977, XXXI, hlm. 144-146. 239 ‘Tidak berhubungan pada pikiran manapun’ di sini berarti bahwa tidak ada objek khusus dalam pikiran — pikiran di sini tidak memperhatikan kepada objek partikular manapun. 240 ‘Hadir dalam pikiran’ berarti bahwa pikiran di sini secara aktual memperhatikan sebuah objek partikular. 241 Lihat karya ibn Sinā Al-Ishārat wa al-Tanbihāt dengan komentar oleh Nasīr al-Dīn al-Tūsī (ed. Oleh Sulayman Dunya, 2nd ed., Dār al-Ma’ārif bi Misr, Cairo, 1971, 4V.), vol. I, hlm. 184-185. lihat juga Al-Mawāqif fi ‘ilm al-Kalām dari ‘Adud al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Ibn Ahmad al-Ijī (dipublikasikan oleh ‘Ālam al-Kutub, Bayrut [n.d.]; 153 Prolegomena Yang pertama ditunjuk pada kuiditas dalam hubungan dengan materi dasar (māddah); yang kedua pada genus (jins); dan yang ketiga pada spesies (naw’).242 Kombinasi dua pengertian dari makna kuiditas tersebut (cth. yang logis dan ontologis) dalam kuiditas khusus (al-māhiyyah’ al-naw’iyyah)243 adalah tidak lain inti hal itu sendiri (nafs alshay’).244 Kombinasi makna dari dua pengertian tentang māhiyyah’ inilah yang dimaksud ketika dikatakan bahwa realitas suatu hal adalah hal itu sendiri. Kita pada faktanya setuju dengan alTaftāzānī ketika dia mengatakan bahwa: Realitas suatu hal (haqīqat al-shay’) dan kuiditasnya (māhiyyah’) adalah yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya (ma bihi al-shay’ huwa huwa), seperti ‘hewan rasional’ dalam referensi kepada ‘manusia’ dalam pertentangan dengan ‘hewan yang tertawa’ dan ‘hewan yang menulis’, dan karena mungkinlah memahami ‘manusia’ tanpa referensi kepada mereka (cth. tertawa dan menulis) sejauh mereka ada di antara (kategori) aksiden-aksiden (al-’awārid). Dan dapat dikatakan lebih lanjut bahwa, yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya, ketika dipertimbangkan (bi i’tibar) diwujudkan secara eksternal (tahaqqaqa), merupakan sebuah realitas (haqīqah); sebagai yang telah diinvidividualisasikan (tashakhkhus), adalah sebuah kediaan/ipseity (huwiyyah); dan ketika dipertimbangkan secara independen tanpa mempertimbangkan mereka (cth. sebagaimana diwujudkan dan diindividualisasikan), hal tersebut adalah kuiditas. Suatu ‘hal’ (al-shay’) menurut kita, adalah maujud (al-mawjūd); dan berada (al-thubūt); perwujudan (al-tahaqquq); eksistensi (al-wujūd); dan datang-menjadi-being (al-kawn) merupakan istilah-istilah yang sinonim, dan makna mereka itu membuktikannya sendiri.245 Pada bagian di atas nampak pada awal komentar terhadap karya al-Nasafī ‘Aqā’id, alTaftāzānī mengombinasikan realitas (haqīqah) dan kuiditas (māhiyyah’) bersama menyusun yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya. Karena kuiditas dalam pengertian partikular dan logis hanya sebuah entitas mental yang berada pada kelas intelijibel sekunder yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal; sedangkan para teolog memperhatikan secara primer bukan dengan entitas-entitas mental, tetapi dengan realitas ekstramental sedemikian secara segera diterima sebagai pada tahap gagasan dasar dari suatu hal. Dengan demikian mereka mendefinisikan realitas (haqīqah) sebagai sesuatu yang diwujudkan secara eksternal (tahaqqaqa), dan kombinasi realitas dan kuiditas dalam pengertian logis dan partikular menjadi padanan dari kuiditas dalam pengertian umum dan ontologis yang menunjuk pada esensi sejati sebagaimana yang memiliki referensi atau hubungan dengan sebuah objek konkret dan eksternal, sebuah didistribusikan oleh Maktabah al-Mutanabbi, Cairo, dan Maktabah Sa’d al-Dīn, Damascus) al-marsad al-thānī mengandung dua belas maqāsid, hlm. 59-68. Pada kuiditas sebagaimana memiliki tiga aspek seperti diuraikan di atas, lihat al-maqsid al-thānī, hlm. 60. Informasi yang sama tentang subjek tersebut sebagaimana ditemukan dalam Mawāqif juga ditemukan dalam Kashshāf, V, hlm. 1314. 242 Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, vol. I, hlm. 184. Istilah māddah menunjuk pada materi dasar maupun ditandakan oleh istilah lain: hayūlā dari bahasa Yunani: hylê. Tapi māddah cenderung lebih menunjuk pada materi mendasar yang menerima penciptaan dan pembinasaan. 243 Seperti dalam kasus aspek ketiga kuiditas yang dijelaskan di atas, yang dikombinasikan dengan aspek yang kedua; karenanya hal tersebut itu ‘dicampur’ (makhlūtah). 244 Dalam māhiyyah’ dari logikawan, hal tersebut menunjuk pada māhiyyah’ dalam pengertian partikular dan logis, dan sama seperti kuiditas yang dipostulasikan secara mental (al-māhiyyah’ al-i’tibariyyah). Kuiditas spesifik tersebut memiliki bentuk tunggal yang sepadan, padanya apa yang niscaya untuk sebuah bentuk tunggal adalah sama seperti yang niscaya bagi yang lain; seperti ‘manusia, contoh, meniscayakan kepada Zayd apa yang niscaya pada ‘Amr, dalam pertentangan dengan kuiditas umum (al-māhiyyah’ al-jinsiyyah) yang bentuk tunggalnya tidak sepadan, karena ‘hewan’ sebagaimana niscaya dalam manusia diasosiasikan dengan ‘rasional’ dan tidak niscaya dalam cara ini pada hewan yang lain. Lihat al-Ta’rīfāt, hlm. 205-206; Kashshāf; V, hlm. 1313. 245 Sharh al-’Aqāid, hlm. 16-17. Terjemahan saya. 154 Prolegomena maujud (mawjūd), suatu hal (shay’). Oleh karena itu maksud mereka dengan kombinasi ini, untuk menunjukkan sebuah konsep yang secara langsung menunjuk sebuah realitas ekstramental, dan yang berada pada kelas intelijibel primer. Pada aspek ketiga kuiditas menurut skema ibn Sinālah yang ditunjuk al-Taftāzānī dalam komentarnya kepada pernyataan al-Nasafī bahwa realitas hal-hal itu dibangun, yakni, secara berada (haqā’iq al-ashya’ thābiţhah).246 Apa yang dimaksudnya ketika dia katakan bahwa realitas suatu hal dan kuiditasnya adalah ’yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ menunjuk, dalam konteks logika, pada yang dengannya suatu hal dilokalisasikan dalam genus atau spesiesnya. ‘Hewan’ sendiri bukan ‘manusia’; itu adalah, melainkan, sifat-dasar sebuah makhluk tanpa determinasi dari bentuk khususnya.247 Sama halnya, ‘rasional’ sendiri bukan ‘manusia’; hal tersebut demikian, ketika dipredikasikan akan ‘hewan’, bentuk khususnya yang merupakan prinsip perbedaan yang dengannya spesies ‘manusia’ didefinisikan. Kombinasi ‘rasional’ ditambah ‘hewan’ mendefinisikan ‘manusia’, tetapi ‘manusia’ dalam kuiditasnya bukan kombinasi itu. Manusia adalah manusia.248 Kemanusiaan atau menjadi-manusia (insāniyyah) ketika dipertimbangkan dalam dirinya bukan jenis entitas yang umum bagi, dan dapat diterima oleh, penerima eksistensi seperti manusia. Menjadi-manusia dalam dirinya sendiri adalah sesuatu yang negatif ( atau sesuatu yang dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun: bi shart lā shay’); hanya ketika hal tersebut ditunjuk sebagai sesuatu dari Zayd, dalam cara yang sama hal itu dapat ditunjuk pada sesuatu dari ‘Amr, yang menunjuk pada maujud tunggal, konkret dan individual. Dalam dirinya sendiri, menjadi-manusia atau kemanusiaan bukanlah apa yang ada pada Zayd, maupun apa yang tidak di dalamnya, karena kemanusiaan pada Zayd dan yang tidak ada dalam Zayd adalah dipostulasikan secara mental, yang menentukan entitas-entitas yang ditambahkan kepada Zayd di satu pihak, dan tidak ditambahkan kepadanya di pihak lain, hanya setelah Zayd dihubungkan kepada hal tersebut dalam kedua kasus lain.249 Dalam konteks realitas, yakni, dari sudut pandang apa yang sudah teraktualisasi, dimana hal-hal tanpa terkecuali yang partikular dan individual, kuiditas manusia adalah yang dengannya manusia tersebut adalah manusia partikular tersebut, dengan demikian menunjukkan realitas sebuah entitas yang, ketika dipertimbangkan bersama dengan manusia tersebut, adalah yang dengannya manusia tersebut menjadi menjadi manusia itu. Kini, tidak ada yang membangun identitas seorang manusia — tidak bagiannya (al-juz’), seperti ‘rasional’, sebagai contoh, maupun apa yang merupakan aksiden (‘ārid) baginya, seperti ‘tertawa’, contoh — kecuali inti dirinya sendiri (nafs). Entitas ini ketika dipertimbangkan bersama dengan manusia darimana hal tersebut adalah identitas manusia itu atau inti dirinya, adalah yang lain dari manusia tersebut. Ketika kita katakan, contoh, bahwa manusia terdiri dari jiwa (nafs) dan tubuh (badan) kita mengatakan bahwa manusia bukan jiwa maupun tubuh, tetapi yang dihasilkan dari keduanya itu disusun entitas ketiga. Untuk ini menunjuk pada interpretasi dari Fakhr al-Dīn al-Rāzī ketika dia berkaitan bahwa pengetahuan primer (al’ilm al-darūrī) itu hadir karena eksistensi sesuatu yang ditunjukkan setiap manusia ketika dia mengatakan ‘Aku’. Sesuatu ini adalah tubuh (jism), atau sebuah aksiden (‘arad), atau kombinasi keduanya, atau sesuatu yang berbeda dari keduanya; atau itu adalah sebuah campuran (murakkab) yang dibentuk dari mereka sebagai dua hal darimana disusun entitas ketiga.250 Jelaslah 246 ‘Aqā’id, hlm. 16. Cth. sebagaimana dalam kasus dari aspek kedua dimana sebuah kuiditas dapat diterima: tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (lā bi shart shay’). 248 Lihat superkomentar al-Isfarā’inī pada komentar al-Taftāzānī pada ‘Aqā’id, hlm. 16-17. Ini juga diturunkan dari ibn Sinā. 249 Lihat Mawāqif; 2nd, marsad, 1st maqsid, hlm. 59-60. 250 Lihat komentarnya tentang Surah Banī Isrā’īl (17), ayat, 85, dalam komentar besarnya tentang Qur’ān Suci, Tafsīr al-Kabīr, Cairo, 1934, 32V., vol. 21, hlm. 39-40. Pernyataan al-Rāzī tentang identitas manusia secara pokok diturunkan dari ibn Sinā. Lihat karya ibn Sinā Ahwāl al-Nafs, ed. F. al-Ahwani, Cairo, 1952, bab. I. Sebuah penjelasan terhadap 247 155 Prolegomena dari sini bahwa kuiditas sebuah campuran bukanlah campuran itu sendiri, meskipun kuiditas itu sendiri adalah sebuah campuran, seperti diilustrasikan dengan diagram dibawah.251 Ilustrasi di atas hanya dimaksudkan untuk memudahkan secara visual apa yang kita maksud. Jika lingkaran 1 menampilkan genus (jins) ‘hewan’ dan lingkaran 2 menampilkan diferensia (fasl) ‘rasional’, maka 3 akan menampilkan spesies (naw’) ‘manusia’. Sama halnya, jika lingkaran 1 menampilkan materi (māddah) lapisan-dasar dan lingkaran 2 menampilkan bentuk (sūrah) substansial, maka 3 akan menampilkan substansi ‘tubuh’ (jism). Kemudian lagi, dan sebagaimana berhubungan dengan manusia — baik secara logis sebagaimana dalam kasus terdahulu, dan secara ontologis sebagaimana dalam kasus kemudian — jika lingkaran 1 menampilkan tubuh (jism) campuran yang diindividuasikan dalam bentuk (badan) manusia,252 dan lingkaran 2 menampilkan jiwa (nafs) sensitif dan rasional, maka 3 akan menampilkan makhluk manusia. Realitas makhluk manusia adalah inti dirinya sendiri, bukan tubuh maupun jiwa; maupun materi maupun bentuk; maupun hewan maupun rasional. Kini dalam definisi terhadap realitas sebagai ‘yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ (mā bihi al-shay’ huwa huwa), yang juga dapat dirumuskan sebagai mā bihi huwa huwa: ‘ yang dengannya hal itu adalah hal itu’, apa yang ditandakan oleh huruf bā’ dari bihi (cth. kata dengan dalam definisi tersebut) adalah kausalitas (sababiyah), yang bagi suatu hal tersebut mendasarkan being terdalamnya. Makna ini menunjuk pada sesuatu sebagai sebab (sabab atau ‘illah) yang dengannya suatu hal adalah suatu hal tersebut, seperti sebab efisien (al’illah alfā’iliyyah) dan agennya (al-fā’il). Tapi dalam keberatan kepada pandangan ini, dapat dikatakan bahwa agen tersebut itu pada kenyataannya yang dengannya suatu hal adalah maujud, bukan yang dengannya hal tersebut adalah hal tersebut; karena yang dengannya hal tersebut adalah hal partikular itu adalah apa yang membuat hal itu menjadi berbeda dari yang lainnya, bukan apa yang membuatnya menjadi maujud, yang umum bagi segala sesuatu.253 Dengan demikian karena sifatdasar yang ambigu dari realitas itu sendiri, penyebab suatu hal (‘illah al-shay’), dengan maksud agar dia menjadi realitas suatu hal (haqīqah al-shay’), harus termasuk baik penyebab akan eksistensi (‘illah al-wujūd) dan penyebab akan kuiditas (‘illah al-māhiyyah); dan hal ini menjadi istilah jism, dan murakkab dalam konteks interpretasi kita yang ditunjukkan di atas ditemukan dalam Kashshāf, I, hlm. 75-78, di bawah judul al-insān. Pada entitas ketiga ini sebagai kuiditas suatu hal, lihat lebih lanjut Al-Mawāqif; hlm. 13. 251 Dalam ilustrasi yang disederhanakan ini, lingkaran 1 dan 2 menampilkan bagian campuran tersebut; 3, yang dirinya sendiri merupakan campuran yang dibentuk dari 1 dan 2, bukanlah campuran 1 dan 2 tetapi sebuah entitas terpisah. Bahkan jika dua lingkaran tersebut digambarkan beririsan satu sama lain, hal tersebut tidak akan memengaruhi penyusunan entitas ketiga yang bukan merupakan campuran dari dua lingkaran, tetapi adalah sebuah campuran terpisah dalam dirinya sendiri. Hal ini merupakan kesimpulan ibn Sinā. 252 Pemilahan antara jism dan badan adalah bahwa dalam kasus terdahulu, jism adalah substansi material yang memiliki sifat-dasar tiga dimensi yang mampu dibagi tanpa kehilangan identitasnya sebagai tubuh; dan dalam kasus kemudian, yang juga ditunjuk sebagai jasad, hal tersebut merupakan tubuh yang memiliki anggota lengkap yang tidak mampu dibagi tanpa kehilangan identitasnya sebagai sebuah keseluruhan. Yang terdahulu menunjuk pada genus kuantitas, sedangkan yang kemudian menunjuk pada tubuh dalam genus hewan. 253 Lihat lebih lanjut, Kashshāf, II, art. Al-haqīqah, hlm. 331-332. 156 Prolegomena nampak dari dua kata ganti personal (damīrān): huwa huwa (hal itu adalah hal itu), yang masingmasing dari keduanya menunjukkan penyebab akan eksistensi dan penyebab akan kuiditas, yang keduanya menyusun penyebab akan suatu hal. Baik eksistensi dan kuiditas menunjuk kepada suatu maujud yang satu dan sama, kepada keberadaannya yang aktual dan kepada sifat-dasarnya yang esensial. Penyebab akan suatu hal adalah yang padanya suatu hal itu tergantung dari menjadi-suatu-hal. Hal ini merupakan dua pembagian logis: (1) yang dengannya kuiditas itu, sebagaimana dari sebuah kombinasi bagianbagiannya, disusun, dan hal ini merupakan penyebab dari kuiditas; (2) yang padanya kuiditas itu, yang disusun dengan bagian-bagiannya, tergantung untuk kualifikasinya oleh eksistensi eksternal, dan ini adalah penyebab akan eksistensi.254 Sejauh eksistensi mental yang diperhatikan, penyebab kuiditas adalah genus (jins) dan perbedaan spesifik (fasl), dan sejauh eksistensi eksternal yang diperhatikan, penyebab kuiditas adalah materi (māddah) dan bentuk (sūrah), darimana diturunkan penyebab material (al-‘illay al-māddiyah) dan penyebab formal (al-‘illah al-sūrriyah). Pada penyebab eksistensi, mereka adalah agen aktif (al-fā’il), tujuan final (al-ghāyah), dan lapisandasar (al-mawdū’); yang pertama dari dua menunjuk pada penyebab efisien (al-‘illah al-fā’iliyyah) dan penyebab final (al-‘illah al-ghā’iyyah) berturut-turut.255 Penyebab akan suatu hal sebagaimana diuraikan pada halaman 227 dapat diilustrasikan sebagai berikut: 254 Lihat Al-Tā’rifat, hlm. 160, di bawah judul al-shay’. Lihat Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, vol. I, hlm. 154-155; juga Metaphysica, tr. P. Morewedge, New York, 1973, bab 15, hlm. 41-44; juga bab 20, hlm. 50-53. materi (māddah) adalah lapisan-dasar atau wadah yang eksistensinya diaktualisasikan dengan menerima sebuah substansi seperti bentuk (sūrah). Yang kemudian merupakan aspek substansial dari sebuah entitas dan esensinya. Penyebab material merupakan unsur penyusun (contohnya kayu) dari sebuah entitas (contohnya bangku) yang memiliki potensialitas untuk menerima bentuk (contohnya bentuk) entitas tersebut. Penyebab formal merupakan apa yang mewujudkan substansi dan membuatnya lengkap, sebagaimana diilustrasikan dengan bentuk kursi yang diatribusikan kepada kayu (Metaphysisca, hlm. 41). Penyebab efisien merupakan inisiator tindakan yang memimpin pada perwujudan sebuah entitas, sebagaimana diilustrasikan dengan pembangun yang membangun sebuah rumah. Jika bentuk atau tujuan final dari rumah tidak diimpikan oleh pembangun, dia tidak dapat menjadi pembangun rumah, bentuk rumah tidak akan terwujud, dan rumah tidak akan dibuat dari pelbagai unsurnya (Metaphysica, hlm. 42). Lihat lebih lanjut Mawāqif (2nd mawqif; 5th marsad dan 1st maqsid), hlm. 85; untuk seluruh bagian tentang sebab dan akibat, lihat hlm. 85-85; Kashshāf, IV, hlm. 1039-1040. penyebab dari suatu hal sebagaimana diuraikan di atas menunjuk pada penyebab yang langsung atau yang terdekat (qarībah), bukan penyebab yang tidak langsung atau tidak pokok (ba’īdah). Untuk sebuah diskusi dan penjelasan problem akan dua kata benda personal, lihat superkomentar pada karya al-Taftāzānī Sharh al-’Aqā’id oleh Ibrahim alIsfarā’inī dan al-Khayāli, ibid. Hlm. 16-17. data yang dipoles oleh al-Isfarā’inī dan al-Khayali pada wacana ini juga digunakan oleh al-Tahānawī adalah karyanya Kashshāf, II, hlm. 331-333 di bawa judul al-haqīqah. 255 157 Prolegomena Agen Aktif Tujuan akhir Lapisan-Dasar Eksistensi Materi Bentuk Kuiditas Genus Diferensia Mental hal A = Agen Aktif P = Tujuan Final Q = Quiddity (Kuiditas) M = Materi F = Form (Bentuk) Uraian di atas menampilkan struktur konseptual dari hal yang aktual pada tingkatan inteleksi (al-ta’aqqul). Pada tingkatan ini, penyebab akan suatu hal, sebagaimana ditunjukkan dengan bā’ dari sebab, meniscayakan sebuah dualitas (ithnayniyyah) kuiditas dan eksistensi. Namun, pada tingkatan eksistensi aktual, terdapat hanya satu hal konkret dan identik, yang menjadi campuran kuiditas dan eksistensi ketika dualitas pada tingkatan konseptual diproyeksikan kepadanya. Dalam definisi: mā bihi al-shay’ huwa huwa: ‘yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’, atau ‘yang dengannya hal itu adalah hal itu’, dua kataganti personal (huwa huwa: hal itu adalah hal itu) menunjuk, pada kasus pertama, pada sebuah entitas yang karenanya hal tersebut adalah hal itu (al-amr al-ladhī bi sababihi al-shay’ dhālika al-shay’), dan dalam kasus kedua, pada sebuah entitas yang karenanya hal tersebut adalah entitas itu (al-amr alladhī bi sababihi al-shay’ huwa dhālika al-amr);256 pada wujudnya sendiri pada kasus pertama, dan pada wujudnya yang diaktualisasikan pada kasus kedua. Beingnya yang diaktualisasikan menunjuk kepada eksistensinya, yang umum bagi semua maujud lain; beingnya sendiri menunjuk pada kuiditasnya, yang membedakannya dari maujud lain. Menurut al-Khayāli, salah satu kataganti menunjuk kembali pada kataganti relatif (al-mawsūl),257 dan al-Tahānawī mengidentifikasi kataganti itu sebagai salah satu dalam kasus kedua di atas, 258 yang menunjuk kepada eksistensi dan yang, karena kataganti tersebut menunjuk sesuatu yang sama (al-shay’), 256 Kashshāf, II, hlm. 331. Yakni, pada apa yang ditandai dengan kata mā (yang), pada huruf hā dari bihi (yang tersebut dari yang dengannya) adalah diikat dalam makna Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16. 258 Kashshāf, II, hlm. 332. 257 158 Prolegomena dipertimbangkan sebagai tambahan (zā’id)259 pada apa yang didefinisikan, sehingga hal itu akan cukup untuk menguraikan definisi tanpa, seperti mā bihi al-shay’ huwa,260 berarti mā bihi al-shay’ huwa al-shay’;261 ‘yang dengannya hal tersebut adalah hal itu’. Terlihat berdasarkan perspektif ini dualitas kuiditas dan eksistensi itu terselesaikan, dalam hal itu hal tersebut tidak sungguhsungguh benar; hal itu hanya nampaknya demikian atas anggapan pikiran. Tapi permasalahannya tidak semudah sebagaimana diselesaikan dengan hanya berdalih dengan kata-kata. Jika itu hanya masalah logika, maka mungkin solusi kepada problem dualitas dalam rumusan definisi di atas itu absah sejauh menyentuh pada sebuah perbaikan terhadap definisi tersebut yang sejalan dengan posisi yang diambil — posisi yang diambil bahwa kuiditas merupakan realitas yang dikualifikasi oleh sebuah entitas konseptual yang disebut eksistensi. Eksistensi dan kuiditas adalah dua entitas berbeda, apakah dipertimbangkan secara logis atau ontologis,262 namun mereka menunjuk pada suatu maujud tunggal dan aktual pada waktu yang bersamaan. Fakta bahwa kedua hal tersebut, sebagai predikat, dapat disifatkan pada hal yang satu dan sama merupakan bukti yang cukup jelas bahwa hal itu sendiri memiliki dua aspek yang berhubungan kepada mereka, hanya satu darinya berlaku makna ‘realitas’. Karena tidaklah mungkin bahwa mereka berdua nyata pada waktu yang sama, karena jika mereka demikian maka hal tersebut akan kehilangan kesatuan dan identitasnya sebagai hal yang tunggal dan akan menjadi dua hal yang berbeda; maupun mungkin bahwa mereka berdua tidak nyata pada waktu sama, karena jika hal itu kasusnya hal itu akan kehilangan realitasnya secara keseluruhan. Apakah salah satu dari mereka, eksistensi atau kuiditas, merupakan hal itu sendiri; dan kondisi demikian, apakah salah satu dari mereka harus menjadi tambahan (zā’id) bagi yang lain, yakni, apakah salah satu dari mereka menjadi sesuatu yang ditambahkan sebagaimana ditafsirkan pikiran, yang tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal; sebuah intelijibel sekunder. Sedangkan sesuatu dimana berlaku makna ‘realitas’ akan menjadi sesuatu yang memiliki realitas yang berhubungan, atau objek aktual, di dunia eksternal, seperti apa yang diistilahkan sebagai intelijibel primer. Kini untuk segala hal terdapat sebuah realitas yang dengannya hal tersebut adalah hal tersebut apa adanya, dan realitas ini membangun bagi hal tersebut menjadi-sesuatunya dan pada waktu yang bersamaan perbedaan esensialnya yang membedakannya dari apa yang bukan itu. Realitas dalam pengertian ini identik dengan esensi. Ketika kita berbicara tentang ‘esensi’ suatu hal, kita tidak hanya bermaksud menunjuk pada kuiditasnya sebab kuiditas itu sendiri adalah, seperti telah kita tunjukkan, ambigu yang dapat berarti menunjuk baik pada entitas logis atau ontologis. Lebih lanjut, ambiguitas ini telah mengarahkan kepada problem umum kebingungan dalam pemahaman makna esensi dan hubungannya dengan eksistensi, karena kuiditas logis secara umum telah dibingungkan dengan yang ontologis. Akhirnya, kuiditas, dengan inti sifatdasarnya, hanya dapat menjadi prinsip perbedaan pada hal-hal, sedangkan realitas yang kita tandai sebagai esensi, kendati beingnya juga prinsip perbedaan dalam hal-hal pada waktu yang bersamaan sebagai prinsip identitas dalam ke-hal-an (thingness) dari hal-hal. Karena esensi, dengan maksud menunjuk suatu hal yang nyata dan bukan hanya mental yang tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal, harus menunjuk apa yang membuat suatu hal sebagai entitas individual yang memiliki identitasnya sendiri yang berbeda dari hal-hal lain yang 259 Lihat baik al-Isfarā’inī dan al-Khayaīi dalam Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16. Kashsaf; II, hlm. 333; dan V, hlm. 1313. 261 Ibid., V, hlm. 1313; Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16. 262 Hal ini sependapat dengan posisi yang diambil teolog, Sūfī dan filsuf, dengan pengecualian Ash’ariyyah, yang memegang bahwa kuiditas dan eksistensi itu tidak terbedakan, dan bahwa dualitas kuiditas dan eksistensi hanya urusan mental. Lihat karya saya Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Dīn al-Rānīrī, Kuala Lumpur, 1986, hlm. 303-305, 340-341. 260 159 Prolegomena serupa, sebagaimana juga sebagai apa yang menyusun inti substansi entitas itu, hal itu pasti hanya menyentuh pada kuiditas dalam pengertian ontologis. Hal itu pasti dilahirkan dalam pikiran bahwa pembagian kuiditas dan eksistensi adalah sebuah perkara mental; bahwa dalam dunia eksteramental tidak muncul pembagian semacam itu karena terdapat kuiditas dan eksistensi yang bersama menunjuk realitas yang satu dan sama. Dalam hal ini kita tidak pada faktanya mengatakan bahwa kuiditas dan eksistensi adalah sungguh identik, dan bahwa hanya pikiranlah yang menganggap mereka sebagai dua entitas berbeda. Kita mempertahankan bahwa kuiditas dan eksistensi, apakah dalam pikiran atau secara eksternal, adalah sungguh dua entitas berbeda, tetapi kuiditas ontologis itu, tidak seperti kuiditas logis, tidak dilawankan dengan eksistensi sebab inti substansinya adalah eksistensi, dan bukan hal mental yang tidak memiliki realitas yang berhubungan dalam dunia eksternal. Eksistensi adalah umum bagi semua dalam pengertian umum dalam cara yang tidak berlaku pada kuiditas. Karena kuiditas itu umum hanya dalam pengertian bahwa segala hal memiliki kuiditas yang tidaklah umum pada setiap hal lain. Dengan demikian kuiditas itu umum bagi segala hal dalam pengertian partikular. Hal ini berlaku baik kuiditas logis dan ontologis. Karena, bagaimanapun, kuiditas ontologis itu secara esensial dari sifat-dasar eksistensi dalam hal tertentu, keumumannya bagi segala hal mengandung pengertian umum juga dalam cara yang dimana tidak demikian bagi kuiditas logis. Kuiditas dalam pengertian umum ini adalah apa yang kita maksud dengan esensi. Posisi kita bahwa eksistensilah, dan bukan kuiditas, yang merupakan realitas yang dikualifikasikan oleh entitas konseptual yang disebut kuiditas.263 Problem dasar yang menghadang mereka yang percaya kepada realitas mendasar dari kuiditas sebagaimana dilawankan kepada eksistensi adalah bahwa jika kuiditas itu nyata secara mendasar dan eksistensi hanya bagiannya yang disulap pikiran, sebagaimana dikatakan, maka ini berarti bahwa kuiditas entah bagaimana ada sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi — yang sedikit banyak merupakan kesimpulan yang absurd. Namun, mereka mungkin keberatan dengan hal ini dengan mengatakan bahwa jika kualifikasi dengan eksistensi adalah sesuatu yang terjadi dalam pikiran, maka berarti multiplisitas maujud itu juga hanya dalam pikiran, tetapi being-dalam-eksistensi dari maujud partikular tidaklah dalam pikiran. Dalam pengertian ini kuiditas tidak sungguh dikualifikasikan oleh eksistensi. Dalam argumen ini, apa yang mereka tegaskan itu bahwa eksistensi tidak ada dalam realitas. Kepada hal ini kita menjawab bahwa kesimpulan demikian tidak menyelesaikan problem tentang kuiditas yang ada sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi ketika kita memaksudkan dengan eksistensi bukan hanya sesuatu yang konseptual dalam alam, tetapi juga sesuatu yang ada sebagai entitas nyata dan independen dari pikiran. Karenanya kita katakan bahwa eksistensi pasti ada dalam realitas, karena jika eksistensi tidak ada dalam realitas maka tidak akan ada apapun sama sekali. Dalam silogisme ini telah didemonstrasikan bahwa karena konsekuensinya (bahwa tidak ada apapun sama sekali) itu salah, berarti yang mendahuluinya (bahwa eksistensi tidak ada dalam realitas) itu juga salah. Lebih lanjut, posisi mereka dalam argumen itu tidak menyelesaikan problem sifat-dasar esensial dari kuiditas, jika kuiditas merupakan sesuatu yang lain dari eksistensi — dalam hal tertentu. Di sisi lain, karena posisi kita itu bahwa eksistensi merupakan realitas mendasar dan bahwa kuiditas-kuiditas sejati pada kenyataannya merupakan modus-modus eksistensi, maka problem kuiditas yang ada sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi tidak muncul, karena kuiditas-kuiditas sebagai modusmodus eksistensi dapat ada dalam kondisi interior dari Being sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi eksternal. Bahwa eksistensi dan kuiditas itu terpilah satu sama lain dalam pikiran sudah cukup jelas, tetapi pada tingkatan realitas eksternal pertama kali akan nampak seolah-olah kita 263 Yakni, kuiditas dalam pengertian partikular dan logis. 160 Prolegomena mengidentifikasi eksistensi dengan kuiditas karena kita mengatakan bahwa kuiditas dalam pengertian logis dan partikular itu dalam dirinya sendiri sungguh bukan apapun selain sebuah entitas konseptual, dan dalam pengertian umum dan ontologis kuiditas itu hanya sebuah pembatasan terhadap eksistensi. Oleh karena itu, kuiditas pada kenyataannya merupakan eksistensi sebagaimana menentukan dirinya sendiri menjadi sebuah modus partikular, yang batasannya diinterpretasikan pikiran sebagai kuiditas. Tapi kenampakan identifikasi eksistensi dengan kuiditas bukanlah kasus yang sesungguhnya, karena meskipun apa yang pikiran ‘ontologisasi’ sebagai kuiditas pada kenyataannya hanya sebuah modus, sebuah eksistensi yang ditentukan atau terbatas, tidak berarti eksistensi yang ditentukan atau dibatasi ini identik dengan eksistensi sebagaimana dalam aspek yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi. Dengan demikian apa diterima pikiran sebagai kuiditas pada kenyataannya itu sebuah penentuan batas dan sebuah prinsip diferensisasi dari eksistensi sebagaimana eksistensi membentangkan dirinya sendiri dalam pergerakan eksistensial; menciptakan penentuan batas sedemikian terhadap realitas-realitas yang majemuk dan anekaragam dari dunia eksternal. Menurut perspektif ini, sama halnya pada tingkatan konseptual demikian juga pada tingkatan realitas eksternal eksistensi dan kuiditas tidaklah identik.264 Esensi (dhāt) suatu hal adalah sebagai-maujud (mawjūd) dari entitas (‘ayn) yang merupakan individualitasnya (huwiyyah), kuiditasnya (māhiyyah’), atau inti diri (nafs) suatu hal; dan istilah tersebut dalam kombinasi makna mereka secara keseluruhan menyusun realitas (haqīqah) suatu hal. Definisi kita tentang esensi sebagaimana dirumuskan di atas mengandung dua unsur yang berbeda: yang satu menunjuk pada bahan primer dari mana hal-hal dibuat, sebagaimana ditunjukkan dengan referensi kita kepada ‘sebagai-maujud’ dan bahan dasar ini adalah eksistensi (wujūd); yang lain menunjuk kepada yang membuat hal-hal menjadi berbeda satu sama lain, atau kepada diferensia mereka,265 yakni kuiditas. Dengan demikian, pemahaman kita terhadap makna esensi berdasarkan definisi ini bahwa esensi itu lebih umum dalam pertentangan dengan kuiditas. Hal tersebut termasuk bukan hanya perbedaan, tetapi substansi suatu hal; sedangkan kuiditas menunjuk hanya perbedaan tersebut. Maka esensi adalah eksistensi ditambah kuiditas. Sebab dari unsur eksistensi yang hadir dalam definisi kita tentang esensi, esensi termasuk aspek permanen dari being yang bertentangan terhadap aspek yang berubah, binasa, fenomenal yang tidak termasuk permanensi. Sebagai-maujud (mawjūd) akan hal-hal dapat dipahami dalam dua pengertian yang berbeda: 1. sebagai eksterior (zāhir), yakni, yang bersifat ekstrinsik kepada eksistensi, dalam kasus dimana hal tersebut menunjuk kepada hal-hal dunia eksternal dari indera dan pengalaman inderawi, dunia hal-hal empiris. Meski demikian, pengertian dimana sebagai-maujud dimaksud di sini bukanlah hanya eksistensi konkret dasar, fisik, dan statis, tetapi juga sudah menyebut kepada suatu yang relasional, metafisis, dan dinamis dari pergerakan eksistensial (mawjūdiyyah) yang mendasarinya, yang menciptakan dari dirinya sendiri halhal yang menyusun dunia pembinasaan dan pembaharuan yang sinambung; sebuah dunia yang ketika dilihat pada dirinya sendiri sebagai dunia adalah sesuatu yang imajiner, karena sebagai dirinya sendiri dunia tersebut binasa secara sinambung dan oleh karena itu tidak ada kecuali dalam imajinasi sensitif; dan namun ketika dipandang sebagai sesuatu yang 264 Lihat lebih lanjut, The Metaphysics of Sabzawārī, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mehdi Mohaghegh dan Toshihiko Izutsu, New York, 1977. Mullā Hādī Sabzawārī merupakan komentator besar akan Mullā Sadrā. Mungkin tulisan terbaik dan paling analitis dari metafisika Islām yang muncul dalam bahasa Inggris dalam perkiraan kita adalah tulisan mendalam dari Professor. T. Izutsu, secara khusus karya The Concept and Realitas in Existence, Tokyo, 1971. Lihat juga karya saya Commentary pada Hujjah, hlm. 336 fol. Dan referensi dalam catatan 479-485, hlm. 336-338. 265 Dengan ‘diferensia’ kita memaksudkan bukan diferensia logis, tetapi prinsip ontologis perbedaan pada hal-hal. 161 Prolegomena tergantung pada Sumber Metafisis yang mendasarinya, yang dimanifestasikan dengannya dan yang secara sinambung memperbaharuinya, dunia tersebut nyata. Dengan demikian sebagai-maujud menunjuk bukan hanya kepada hal-hal maujud yang membuat kemajemukan dan keanekaragaman dunia indera dan pengalaman inderawi, tetapi juga kepada pembaharuan sinambung terhadap mereka oleh aliran penciptaan dinamis dan yang mendasari dari Eksistensi yang menghasilkan maujud hal tersebut; 2. sebagai interior (bātin) yakni, yang bersifat intrinsik kepada eksistensi, dalam kasus dimana hal tersebut menunjuk kepada prinsip permanen, transenden, dan dinamis yang mendasari (1) di atas, yang dirinya sendiri memiliki dua aspek: (i), sebagai tindakan dan (ii), sebagai modus; dan hal ini menunjuk kepada Sumber metafisis yang telah kita identifikasi sebagai Realitas-Kebenaran (al-haqq). Kita telah secara berulang menunjuk bahwa Realitas-Kebenaran adalah Aspek (wajh) Tuhan yang tetap (yabqa, cth. baqā’) setelah kebinasaan (fanā’) hal-hal ciptaan. Realitas-Kebenaran juga merupakan Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlaq). Istilah ‘absolut’ (mutlaq), dalam maksud kita, menunjuk kepada kondisi indeterminasi murni. Hal tersebut tidak menunjuk kepada sebuah konsep, tetapi kepada sebuah realitas. Sebuah derajat yang lebih tinggi dari kondisi indeterminasi murni ini adalah Tuhan, yang bukan dalam samaran partikular dari Aspek-Nya, tetapi sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri yang merupakan Esensi-Nya; dan derajat ini menunjuk kepada kondisi being yang pada kenyataannya itu transenden bahkan dari dikualifikasikan dengan keabsolutan (itlāq), karena kualifikasi sedemikian itu pada faktanya sudah kondisi yang membatasi eksistensi pada determinasi partikular sebagai sebuah entitas (cth. ta’ayyun), dan merupakan sebuah keterbatasan (taqyīd) di antara kondisi pembatasan yang dipostulatkan (i’tibārī) secara mental dalam pelbagai derajat eksistensi intelijibel dan inderawi. Dengan kata lain, aspek dari Tuhan sebagai Eksistensi Absolut adalah seperti aspek pertama kuiditas yang disebutkan sebelumnya (bi shart lā shay’), kadang-kadang juga disebut oleh ibn Sinā sebuah ‘alam universal’ (al-kullī al-tabī’ī),266 hanya hal itu bukan sesuatu yang bersifat mental tetapi nyata, bukan sesuatu yang statis tetapi dinamis. Indeterminasi absolut yang kita maksud tidak dapat dipahami sebagai kondisi being yang statis — tentu saja, tidak ada kondisi statis dari being — karena sifatdasar Tuhan, Yang esensi dan eksistensi-Nya itu identik, adalah dinamis; Dia “selalu dalam tindakan” (Al-Rahmān (55): 29), “tidak tersentuh oleh kelelahan maupun tidur” (Al-Baqarah (2): 255). Aktifitas dinamis ini digambarkan dengan analogi, seperti ‘bernapas ke luar’ dan ‘bernapas ke dalam’ yang menunjuk kepada artikulasi kata penciptaan dari Tuhan, dalam pengertian ekspansi (bast) dan kontraksi (qabd); ekspansi tersebut mengungkapkan tindakan membawa 266 Alam universal didefinisikan sebagai sebuah pengertian dalam abstraksi murninya, tidak dikondisikan dengan dihubungkan sama sekali dengan apapun. Oleh karena itu tidak dipahami sebagai maujud maupun nonmaujud, maupun universal maupun partikular, sebagaimana hal tersebut menyiratkan beberapa jenis hubungan. Kuiditaslah sebagaimana pada dirinya sendiri (min hayt hiya hiya), yakni, qua sifat-dasar (tabī’ah) dan dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’). Lihat karya al-Jurjānī, Al-Tā’rifat, Cairo, 1357 A.H., hlm. 205, di bawah judul māhiyyah’ al-shay’. Gagasan sifat-dasar universal pertama kali dirumuskan oleh ibn Sinā yang menunjuk kepada satu dari tiga aspek dari kuiditas (lihat di atas, hlm. 219-220). Metafisikawan dan komentator dari ibn ‘Arabī, seperti Sadr al-Dīn al-Qūnyawi, Dāwūd al-Qaysarī, ‘Abd al-Razzāq al-Kāshānī dan Nūr al-Dīn al-Jāmī menggunakan konsepsi ibn Sinā tentang tiga aspek kuiditas, tetapi lebih diaplikasikan kepada eksistensi daripada kuiditas. Namun, mereka lebih lanjut mengafirmasi bahwa sejauh eksistensi yang diperhatikan terdapat aspek lain yang lebih dahulu terhadap aspek pertama kuiditas yang tidak dikondisikan oleh kondisi apapun (cth. lā bi shart) dan aspek ini dari eksistensi menyentuh kepada Being Wajib yang esensinya sekaligus identik dengan eksistensi-Nya (lihat karya al-Kashani, Sharh al-Fusūs, hlm. 4). Dengan demikian bagi metafisikawan Sūfī terdapat empat aspek dari eksistensi, yang pertama tidak dikondisikan dengan kondisi apapun, yang mereka identifikasi sebagai Esensi Ilahiyyah dalam aspek swapenyembunyian-Nya. Aspek ini akibatnya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-Nya sendiri. Lihat di bawah, hlm. 260, skema penurunan ontologis dari Being Absolut, dan catatan 287. 162 Prolegomena menjadi eksistensi, kontraksi mengungkapkan tindakan pengembalian kepada non-eksistensi. Aktifitas penciptaan ini merupakan sebuah proses abadi, meskipun isi dari proses tersebut itu non-abadi. Ketika kita mempertimbangkan isi dari proses tersebut pada tingkatan inteleksi, perkembangan mereka dari non-eksistensi ke eksistensi (dan kembali pada non-eksistensi) digambarkan dalam istilah ‘penurunan’ (tanazzul) yang Absolut dari derajat non-determinasi kepada determinasi, partikularisasi, dan individuasi. Sebagaimana hal itu ‘turun’ dari keabsolutannya kepada alam kontingen, eksistensi itu menentukan, memodifikasi dan mempartikularisasi dirinya sendiri menjadi entitas terpisah yang menampilkan tontonan bentuk-bentuk yang sangat banyak dan terbagi yang menyusun dunia bersama semua bagiannya, dan merupakan, seperti, sebuah penghalang (hijāb) kepada dirinya sendiri. Hal Itu merupakan sebuah penghalang kepada dirinya sendiri tepatnya karena hal itu menampilkan kepada kognisi dan kemauan kita dalam samaran pembatasan majemuk dan terbagi akan dirinya sendiri, yang secara alamiah kita terima dan pahami sebagai objek swaberada yang terpisah, dan yang pikiran kita ‘mengontologisasi’nya sebagai kuiditas. Kuiditaskuiditas, pada sifat-dasar nyata mereka yang independen dari pikiran, pada faktanya merupakan pembatasan dan modus intrinsik dari inti tindakan eksistensi; dan karena kognisi dan kemauan kita dalam alam hanya beroperasi kepada pembatasan dan modus tindakan eksistensi, eksistensi itu sendiri qua eksistensi, menjadi utuh dihalangi oleh mereka, yang selamanya berkelit dari pegangan rasional dan intelektual kita. Determinasi, modifikasi, partikularisasi dan individuasi eksistensi menggambarkan sebuah pergerakan yang tidak sinambung dalam keberadaannya, meskipun pergerakan eksistensi itu sendiri adalah sinambung. Karena eksistensi selalu dalam tindakan, yang mengeksistensiasi batas dan modus intrinsiknya, lalu membinasakan dan menggantikan mereka dengan yang baru namun dalam bentuk serupa yang tidak pernah nampak untuk dua durasi yang bertalian dalam samaran yang sama, tetapi secara sinambung mengaktualisiasi potensialitas eksistensial yang inheren di dalamnya berdasarkan bentuk yang dibentangkan dari kondisi masa depan mereka. Kuiditas-kuiditas dalam sifat-dasar sejati mereka yang independen dari pikiran, yang merupakan batasan intrinsik dan modus-modus dari tindakan eksistensi yang nampak pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi, oleh karena itu tidak sinambung dalam eksistensi mereka, karena mereka tidak bertahan dalam dua durasi. Maka kuiditas-kuiditas pada kenyataannya, dan dalam istilah Categories, merupakan ‘aksiden’ yang mengualifikasi eksistensi; dan karena mereka tidak, sebagai aksiden, bertahan dua saat dari waktu, maka hal-hal dunia empiris yang mereka susun itu ada dalam kondisi kebinasaan ontologis (fana’) yang abadi. Pada saat ketika dunia bersama seluruh bagiannya dibinasakan, dunia lain yang serupa dengannya mengambil tempatnya; dan dunia tersebut menderita nasib yang sama, dan begitu terus secara berulang dengan cara ini secara terus menerus. Hal ini merupakan penciptaan yang abadi. Dari waktu ke waktu sebuah dunia baru, sebuah ciptaan baru (khalq jadīd) muncul; dan karena proses sinambung yang terlibat tersebut, dan ketidakmampuan kita untuk menembus keindahan penghalang di hadapan kita, lalu kita dibimbing imajinasi dan estimasi untuk percaya kepada dunia hal-hal yang satu dan sama yang terpisah, individual dan partikular dalam multiplisitas dan keanekaragaman mereka yang bertahan dalam eksistensi. Dengan demikian apa yang sungguh nampak kepada penglihatan kita bukan dunia sebagai saatdari-dirinya-sendiri (moments-of-itself), sebagaimana berkelit dalam penglihatan kita, meskipun merupakan rangkaian dunia yang serupa diikuti secara cepat satu sama lain yang memberi kepada persepsi dan imajinasi kita sebuah penglihatan akan dunia yang mengambil sebuah kesamaan akan ketunggalan dan kesamaan dan kesinambungan dalam eksistensi. 163 Prolegomena Tapi terdapat aspek lain dari dunia yang mengambil bagian dari realitas, dan ini merupakan aspek dunia qua modus eksistensi, yang pada masing-masing saat-pada-dirinya memiliki eksistensi nyata sebab inti substansinya adalah eksistensi. Eksistensi Absolut itu, seperti kita telah gambarkan sebelumnya, secara abadi terlibat dalam pergerakan eksistensial yang dinamis, dari ekspansi; sebuah pengungkapan yang meliputi melingkup semuanya akan perkembangan ontologis dari yang kurang ditentukan kepada yang lebih ditentukan, yang membatasi diri-Nya tanpa mengurangi keesaan esensial-Nya, dalam bentuk artikulasi dalaman-Nya sendiri yang nampak sebagai partikularisasi dan individuasi majemuk dan aneka ragam pada tingkatan eksistensi partikular. Penampakan mereka dengan being itu simultan dengan ketidaknampakan mereka dengan non-being, dan ketidaknampakan mereka itu simultan dengan penampakan baru yang lain seperti dia. Penampakan dan ketidaknampakan mereka dan pergantian simultan mereka oleh yang lain dan baru seperti mereka menggambarkan proses perkembangan penciptaan eksistensial yang sinambung dan abadi dari Eksistensi Absolut yang disebut ‘ekspansi eksistensi’ (inbisāt al-wujūd), dimana dari perspektif lain tidak lain merupakan proses abadi akan penciptaan baru (al-khalq al-jadīd).267 Maka, pada tingkatan eksistensi partikular, realitas adalah ‘yang dengannya hal tersebut adalah hal tersebut apa adanya (mā bihi al-shay’ huwa huwa). Kini suatu ‘hal’ pada tingkatan ini, dan berdasarkan pada perspektif penciptaan baru, hanya nampak sebagai hal yang satu dan sama sepanjang waktu keberadaannya, tetapi pada kenyataannya ‘hal’ tersebut merupakan setiap saatitu-sendiri bukan hal yang satu dan sama dengan ‘hal’ yang nampak mengambil tempatnya pada waktu selanjutnya dari eksistensi. Dari waktu ke waktu tidak ada hal yang satu dan sama yang nampak dan tidak nampak dan nampak lagi; dari waktu ke waktu terdapat dua hal yang berbeda, tetapi karena penampakan mereka yang bertalian dan cepat dalam bentuk serupa, dan ketidaksadaran kita tentang situasi yang sebenarnya, mereka diimajinasikan dan dipikirkan sebagai hal yang satu dan sama. Namun, kendati suatu hal pada kenyataannya sebagai banyak hal yang berbeda, hal tersebut terus mempertahankan dan memelihara dari kehilangan akan kesatuan dan identitas asalinya. Kebenarannya adalah bahwa kesinambungan suatu hal dalam kesatuan dan identitas asalinya itu berkaitan bukan pada dirinya sendiri — melihat bahwa pada dirinya sendiri sedemikian secara tidak terbatas yang tidak berlangsung sebentar namun, itu hal yang binasa! — tetapi adalah berkaitan dengan esensi yang tetap atau arketip permanennya (‘ayn thābiţ).268 Kini meskipun esensi tersebut juga mengalami proses penampakan dan ketidaknampakan dan penampakan ulang yang simultan dalam dunia intelijibel dari arketip sedemikian yang terlibat dalam ketidaksinambungan dalam eksistensinya, yang, namun, muncul lagi selalu dalam bentuk dan identitas asalinya, sehingga selalu memperoleh kesinambungan dalam eksistensinya (baqā’); dan bentuk dan identitas asali ini terkandung di dalam dirinya semua kondisi masa depannya, sehingga pada setiap saat dari rehabilitasinya, sebuah bentuk potensial yang inheren di dalamnya 267 Meskipun pada saat sangat awal teolog As’ariyyah telah merumuskan metafisika mereka tentang atom dan aksiden untuk menjelaskan sifat-dasar alam semesta, teori mereka lebih menyentuh kepada pembaharuan aksiden, dan bukan pada substansi. Ibn ‘Arabīlah yang merumuskan teori proses abadi penciptaan baru yang berdasarkan sumber Qur’ān (lihat contohnya Fusūs, hlm. 125-126). Ungkapan Qur’ān khalq jadīd, cth. ‘penciptaan baru’, ditemukan dalam sūrah Qāf (50): 15. 268 Kata ‘ayn memiliki banyak makna. Beberapa leksikografer mengatakan lebih dari seratus. Qur’ān Suci menyebutkan tujuh belas. Dalam konteks yang kita diskusikan, ‘ayn itu berarti ‘sumber asli’, ‘individuasi’ akan suatu hal, ‘corak yang membedakan’ dari sebuah ‘entitas’, ‘inti esensi’, ‘diri’, dan ‘sifat-dasar terdalam’ dari suatu hal. Thābiţ menunjuk pada sesuatu ‘yang tetap secara teguh, ‘tidak dapat digerakkan’, atau ‘dapat dipindahkan’ dari posisinya, ‘mapan’, ‘diamankan secara permanen’. Dalam pengertian yang kita memaksudkan ‘ayn thābiţ mengandung makna serupa kepada ‘esensi yang tetap’, atau ‘arketip permanen’. Pada ‘arketip’ (dari bahasa Yunani archē + typon), hal tersebut menunjuk pada filsuf Yunani awal pada ‘yang merupakan ada pada permulaan’, pada ‘prinsip pertama’; selanjutnya hal itu menjadi menunjuk pada ‘substansi’ atau pada ‘unsur dasar’; dan pada Aristoteles dalam ‘prinsip penaktualisasi’ atau ‘sebab’. Dalam pengertian umum hal itu berarti model asali dari mana hal-hal itu dibuat. 164 Prolegomena itu, dan akibat pada bentuk yang mendahuluinya, diaktualisasikan. Dengan demikian, apapun yang mungkin dimiliki potensialitas inheren (isti’dādāt) yang diaktualisasikan dalam dunia indera dan pengalaman inderawi dalam samaran banyak hal-hal yang berbeda, hal tersebut selalu memelihara kesatuan dan menjaga identitasnya sebagai hal yang satu dan sama. Inilah mengapa esensi dalam kondisi arketip merupakan sebuah entitas teguh dan permanen, sesuatu yang tetap dalam identitas asalinya. ‘Yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ hanya dapat menunjuk pada sesuatu yang asli dalam identitasnya, sesuatu yang permanen di tengah-tengah perubahan dan, hal ini yakni, yang merupakan realitas suatu hal, atau kuiditas (māhiyyah) sejatinya dan benar, adalah arketip permanennya. Dalam perkataan sebelumnya bahwa esensi adalah kuiditas ditambah eksistensi, maka kita memaksudkan bahwa kuiditas ini pada kenyataannya adalah eksistensi-dalam-tindakan yang membatasi dirinya sendiri ke dalam bentuk spesifik. Kini tindakan swa-pembatasan ke dalam bentuk khusus yang dieksistensiasikan oleh eksistensi ini tidaklah sinambung dalam keberadaannya, tetapi secara sinambung digantikan oleh yang serupa. Yang serupa adalah akibat yang cocok yang muncul dari potensialitas yang inheren dalam realitas arketip yang diaktualisasikan dalam tatanan prioritas yang sistematis, seperti dimana mereka berulang kali diaktualisasikan dimana mereka menggambarkan pembentangan bertahap dari kondisi masa depan mereka. Dari penjelasan yang telah kit buat sedemikian jauh, dua hal menjadi nampak yang menyentuh kepada sifat-dasar esensi. Pada tingkatan hal-hal empiris, esensi yang kita sebut kuiditas, meskipun itu nyata namun penampakan durasionalnya, tidak bertahan dua durasi dan oleh karena itu bersifat aksidental dalam alam. Tapi pada tingkatan-realitas asali dalam alam arketip, meskipun juga terdapat kuiditas yang kita sebut esensi tetap merupakan sifat-dasar aksiden dalam hubungan dengan Eksistensi Absolut, namun hal itu secara sinambung diperbaharui dalam bentuk dan identitas asalinya. Dengan demikian esensi, atau kuiditas ontologis, memiliki dua aspek yang berhubungan dengan struktur fanā’-baqā’: hal itu di satu pihak sesuatu yang sementara, dan di pihak lain sesuatu yang permanen. Aspek yang terdahulu termanifestasikan dan dimanifestasikan oleh yang kemudian. Apa yang menjadi nampak sebagai perubahan itu muncul dalam durasi antara proses fana’ dan baqā’ dimana realitas tersebut terlibat. Tentu saja, struktur eksistensial fana’-baqā’ ini meliputi seluruh wilayah realitas dan berhutang terhadap asal-usulnya pada sifat ganda dari Nama-Nama Ilahiyah.269 Sementara kita mengatakan bahwa eksistensi adalah realitas mendasar yang umum bagi segala hal, kita mengakui bahwa terdapat aspek perbedaan antara suatu hal dan realitasnya, dan antara realitas hal-hal di antara mereka sendiri, dan kita juga mengakui bahwa antara mereka dan seluruh mereka juga terdapat sebuah aspek identitas; karena realitas eksistensi adalah yang halhal berbeda dari satu sama lain, dan pada waktu yang bersamaan realitas eksistensi adalah yang dengannya mereka disatukan dalam identitas. Eksistensi sebagai realitas, dan bukan sebagai konsep, seperti telah kita katakan tidaklah statis, tetapi terlibat dalam proses swa-pembentangan yang dinamis dan abadi. Ketika kita memandang pembentangan eksistensi dalam modusnya yang banyak dari swa-diversifikasi, eksistensi menghadirkan dirinya dalam tahapan analogis dengan sebab ekspansinya dari derajat non-manifestasi dan non-determinasi kepada pelbagai derajat-derajat manifestasi dan determinasi hingga mencapai derajat indera dan pengalaman inderawi, yakni, dunia hal-hal empiris. Karena segala hal dalam pelbagai derajat manifestasi dan determinasi dari eksistensi itu bersifat aksidental kepadanya, segala hal itu selamanya ‘hilang’ ke eksistensi. Melainkan, bahwa yang hilang ke eksistensi kehilangan dirinya sendiri dalam ‘napas’ eksistensi yang bergantian, yang 269 Fusūs, hlm. 104; 79. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 251 fol. 165 Prolegomena menyusun ulang dirinya sendiri menjadi yang lain dan serupa namun tidak identik, yang tidak lain, merupakan modus eksistensi yang serupa. Pengecualian proses rehabilitasi yang abadi dari yang serupa itu adalah esensi yang tetap atau arketip permanen, yang identitas asalinya secara abadi disusun ulang; sehingga sementara mereka tidak abadi dalam pengertian bahwa eksistensi mereka itu tidak sinambung, tetapi karena identitas asali mereka itu selalu diperbaharui mereka masih secara abadi memperoleh keberadaan, karena sebagai Gagasan dalam pikiran Ilahi mereka tidak dapat menjadi subjek bagi perubahan. Karena pelbagai derajat manifestasi dan determinasi yang melaluinya eksistensi mengembang, dan yang tahapan perantara majemuk dari pengungkapan ontologis yang dialaminya, manifestasinya dalam satu derajat dan pada masingmasing modus dalam derajat tersebut itu lebih kuat dalam derajat sebelumnya dan lebih lemah pada yang selanjutnya; hal tersebut itu lebih sempurna dalam derajat sebelumnya dan kurang sempurna pada yang berikutnya; hal tersebut itu lebih dahulu dalam derajat sebelumnya dan terbelakang dalam yang berikutnya,270 dan begitu seterusnya dalam tatanan yang menurun. Multiplisitas maujud yang dihasilkan tidak dalam satu realitas eksistensi, tetapi dalam aspek majemuk dari penerima eksistensi dalam pelbagai derajat, dimana masing-masing berdasarkan pada kekuatan atau kelemahannya, kesempurnaan atau ketidaksempurnaannya, dan prioritas dan posterioritasnya. Dengan demikian multiplisitas maujud tidak mengurangi kesatuan eksistensi, karena masing-masing maujud adalah sebuah modus eksistensi dan tidak memiliki status ontologis yang terpisah. Dalam menampilkan dirinya sendiri dalam tahapan analogis dalam cara yang telah kita usahakan dikandung, maka eksistensi itu juga secara sistematis adalah ambigu. Gradasi analogis dan ambiguitas yang sistematis ini disebut tashkik.271 Tashkik secara dasar berarti penyebab keraguan atau kebingungan oleh seseorang atau sesuatu. Dalam kasus tentang eksistensi di sini, penyebab kebingungan itu berkaitan dengan ambiguitasnya yang meliputi segala sesuatu secara sistematis; karena eksistensi, dalam aspek majemuknya sebagai modus yang sangat banyak dari dirinya sendiri, adalah yang dengannya semua hal berbeda dari satu sama lain; pada waktu yang bersamaan eksistensi, dalam keabsolutannya, adalah juga yang dengannya semua hal disatukan. Eksistensi merupakan prinsip baik kesatuan dan keanekaragaman, akan identitas dan perbedaan. Dengan demikian kita lihat di sini, dan dalam konteks tashkīk, bahwa pemilahan antara konsep dan realitas eksistensi bukan hanya tentang sifatdasar statis dari realitas eksistensi sebagaimana dibandingkan dengan sifat-dasar dinamis dari realitas eksistensi. Terdapat pula perbedaan yang jelas antara eksistensi absolut dan eksistensi partikular dan ditentukan dalam pengertian kekuatan, kelemahan, dan prioritas dan posterioritas, yang tidak dapat dibangun dalam kasus eksistensi sebagai sebuah konsep. Lebih lanjut dalam kasus secara umum eksistensi yang dipahami sebagai konsep, hanya dapat dipahami sebagai prinsip kesatuan pada hal-hal dan bukan prinsip keanekaragaman. Pemilahan antara konsep dan realitas eksistensi dapat diskematisasikan dalam diagram berikut: 270 Yang ‘prior’ dan ‘posterior’ dalam sebuah pengertian non-temporal, contoh seperti tangan dan cincin pada jari. Lihat Ta’rīfāt, hlm. 60-61, dimana al-Jurjānī memberi definisi dari tashkīk dalam pengertian prioritas kekuatan, kesempurnaan dengan referensi pada ambiguitas sistematis dari eksistensi. Akar metafisika eksistensi telah dilacak kembali pada Qur’ān Suci dan Hadīth. Bentuk dasar dari ungkapan yang berada pada sekolah al-Junayd dari Baghdad. Mereka menampilkan penglihatan terhadap sifat-dasar realitas sebagaimana mereka pertimbangkan berdasarkan intuisi akan eksistensi, dari mana teosofi transenden mereka secara bertahap dibangun. Di antara anggota yang tercatat terdahulu dari Mazhab ini setelah al-Junayd adalah Abū Nasr al-Sarrāj, ‘Alī al-Hujwīrī, ‘Abū al-Qāsim al-Qushayrī, dan ‘Abd Allāh al-Ansārī. Pada mazhab ini juga berada al-Ghazāli. Tapi pendukung besar mereka adalah ibn ‘Arabī, yang pertama kali merumuskan apa yang secara asli diberikan dalam intuisi iluminatif ke dalam metafisika integratif yang diungkapkan dalam pengertian rasional dan intelektual. Diantara para komentator terpelajar adalah metafisikawan Sūfī seperti Sadr al-Dīn al-Qunyawī, Dāwūd al-Qaysarī, ‘Abd al-Razzāq al-Kāshānī, dan ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī. Ungkapan filosofis dari teosofi transenden ini dan perkembangan lebih lanjut sebagai sebuah metafisika Islām yang sejati dirumuskan oleh Sadr al-Dīn Shirāzī, disebut Mullā Sadrā yang mengombinasikan gagasan aslinya dengan pengaruh dari ibn Sinā, al-Ghazali, ibn ‘Arabī, dan Suhrawadī. Lihat juga, catatan 266 di atas. 271 166 Prolegomena Eksistensi Konsep (Statis) Umum Realitas (Dinamis) Bagian* Kuiditas Absolut Partikular Modus * Tentang ‘bagian’, lihat halaman 217, di atas. Eksistensi, sebagaimana dirinya membentangkan dan mengembangkan dan membatasi dirinya sendiri menjadi determinasi majemuk dan anekaragam tanpa mempengaruhi keesaan asalinya, dan berdasarkan kebutuhan dari potensialitas dalaman yang inheren di dalamnya, adalah yang dimana semua hal (cth. aktualisasi akan kecocokan (lawāzim) dalam potensialitas) disatukan dalam identitas; pada saat yang sama eksistensi, sebagaimana diindividuasikan menjadi modus partikular dalam samaran esensi-esensi atau kuiditas-kuiditas sejati dari hal-hal sebagaimana diaktualisasikan (cth. kecocokan dan akibat (āthār) mereka dalam kondisi aktualisasi), adalah yang dimana hal-hal berbeda satu sama lain. Jadi menurut perspektif kita, realitas suatu hal adalah determinasi Eksistensi Absolut yang diindividuasikan ke dalam modus partikular, sebagaimana dibutuhkan oleh arketip, oleh yang dengannya hal tersebut adalah hal tersebut apa adanya. Kata ada, dalam ungkapan ‘hal tersebut apa adanya’, menunjuk pada hal yang dalam kondisi aktualisasi; tindakan yang dengannya hal tersebut itu diaktualisasikan merupakan dalam tindakan eksistensi. Dua aspek eksistensi tersebut bersama-sama (cth. tindakan dan modus) menyusun apa yang telah kita sebut kuiditas sejati (māhiyyah’) atau esensi (‘ayn atau dhāt), yang merupakan realitas suatu hal dan yang menunjuk tidak lain dari arketipnya, yang sifat-dasarnya dibangun dalam kondisi interior (butūn) Being. Kita mengatakan hal itu menunjuk kepada arkteip tersebut, seolah-olah being hal tersebut dalam kondisi aktualisasi, dan tindakan eksistensi yang dengannya hal itu diaktualisasikan, merupakan sesuatu yang lain dari arketip itu sendiri. Tentu saja, aktualisasi hal tersebut, dan tindakan yang dengannya hal itu diaktualisasikan, tidaklah sama seperti arketip itu sendiri, melihat bahwa arketip tersebut tidak pernah meninggalkan kondisi interiornya, yakni ‘tidak pernah mencium aroma eksistensi eksternal”.272 Apa yang diaktualisasikan atau dieksternalisasikan adalah kekuatan atau kemampuan kontrol yang menyesuaikan dengan sifatdasar arketip (ahkām), kecocokan dan pengaruhnya (lawāzim dan āthār) yang inheren dalam potensialitas (isti’dādāt) pada arketip. Realitas-Kebenaran, atau Eksistensi Absolut, memanifetasikan diri-Nya sesuai kebutuhan sifat-dasar arketip,273 dan karena potensialitas yang inheren dalam arketip itu banyak dan anekaragam, manifestasi-Nya dalam bentuk mereka tidak pernah berulang dalam samaran yang sama, tetapi selalu nampak dalam harmoni dengan multiplisitas dan keanekaragaman bentuk. Meskpun demikian, bentuk majemuk dan anekaragam bentuk dimana Dia dimanifestasikan itu ditentukan arketip yang abadi secara permanen, sehingga kendati akan multiplisitas dan keanekaragamannya itu, mereka selalu memperoleh kesatuan dan identitas asali mereka. Dalam pengertian ini, dan berbicara dalam pengertian 272 273 Ungkapan ibn ‘Arabī: mā shammat rā’ihatan min al-wujūd. Fusūs, hlm. 76. Lihat Fusūs, hlm. 103. 167 Prolegomena metafisika substansi dan aksiden, arketip tersebut adalah realitas (matbū’) substansial dan utama, sementara akibatnya yang nampak sebagai suatu hal dalam dunia eksternal adalah realitas (tabi’) aksidental dan konsekuen. Maka, realitas suatu hal, adalah arketipnya. Kita telah katakan bahwa istilah ‘kuiditas’ itu dipahami mengandung dua pengertian yang berhubungan dengan māhiyyah’ sebagai terjemahannya. Pada māhiyyah’, dua pengertian dimana istilahnya dimaksud adalah (1), dalam pengertian partikular sebagai sebuah maujud (mawjūd) individual, yang menunjuk kepada ‘kuiditas’ logis yang diturunkan dari jawaban atas pertanyaan: “apa itu?”; dan (2), dalam pengertian umum kepada ‘kuiditas’ ontologis sebagaimana yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya (mā bihi al-shay’ huwa huwa), yang menyentuh pada ‘esensi sejati’ (‘ayn) atau ‘realitas’ (haqīqah) suatu hal.274 Dalam pengertian kedua ini māhiyyah’ itu diidentifikasi sebagai ‘eksistensi’ (wujūd). ‘Eksistensi’ di sini juga dipahami menampilkan dirinya dalam aspek ganda: (1), sebagai inti tindakan eksistensi itu sendiri yang dengannya kuiditas tersebut teraktualisasi; (2), sebagai kuiditas dalam kondisi aktualisasi (mawjūd).275 Aspek pertama menunjuk pada prinsip dinamis dimana artikulasi intrinsiknya mengaktualisasikan hal-hal terpisah yang menyusun dunia; aspek kedua menunjuk kepada halhal terpisah sebagaimana mereka ada (mawjūd).276 Diagram di bawah mengilustrasikan pengertian umum (māhiyyah’ I) dan yang partikular (māhiyyah’ II) dimana konsep māhiyyah’ dipahami. 274 Lihat Kashshāf, V, Hlm. 1313 artikel al-māhiyyah’; dan Ta’rīfāt, di bawah judul yang sama (hlm. 205. Lihat di atas, hlm. 242-245. Penafsir eksistensialis Barat modern terhadap metafisika Thomas Aquinas tidak ragu lagi sepakat dengan kita bahwa aspek pertama eksistensi yang dijelaskan di atas itu sepadan dengan bahasa Latin esse dalam pemikiran Aquinas, dan aspek kedua pada ens-nya. Lihat pengenalan Maurer pada karya Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. A. Maurer (On Being and Essence), second revised edition, the Pontifical Institue of Mediaeval Studeis, Toronto, 1968, hlm. 13-19. Esse secara umum berarti ‘sebagai’, cth, ‘men-jadi’ atau makhluk aktual, dan ini sepadan dengan ‘esensi’ dalam pengertian kuiditas. Ketika esse itu diterima dalam pikiran hal itu merupakan esse intentionale, sebagaimana hal itu ada secara eksternal hal itu adalah esse in re atau in actu. Ens atau entia secara umum berarti ‘entitas’, yang merupakan makhluk yang nyata, apakah dalam tindakan atau sebagai sebuah objek pemikiran yang predikasinya dapat dibuat. Hal itu merupakan sesuatu yang maujud (mawjūd). Thomas Aquinas telah memberikan istilah tersebut tentang makna teknis dan khusus dalam metafisikanya melalui pengaruh yang digunakan dalam pikirannya oleh metafisikawan muslim. 276 Hal ini menunjuk kembali pada apa yang telah kita nyatakan di atas pada halaman 237, (1) dan (2); aspek pertama di sini menunjuk kepada (2) dan yang kedua kepada (1). 275 168 Prolegomena Esensi-esensi yang tetap atau arketip permanen. Ini adalah realitas yang berada sebagai Intelijibel dalam Pikiran Tuhan: Bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah MĀHIYYAH (I) Kuiditas sebagai esensi sejati (dhāt atau ‘ayn) atau Sebagai realitas (haqīqah). Ini diidentifikasi sebagai Realitas eksistensi (wujūd) Tindakan wujūd (eksistensi ) Realitas Modus mawjūd (sebagai-maujud) MĀHIYYAH (II) Kuiditas sebagaimana dipostulasikan secara mental, Atau ketika hal-hal maujud (mawjūdāt) Menjadi objek dari pikiran. Konsep Dengan demikian ketika kita menunjuk kepada kuiditas-kuiditas sebagai being pada kenyataannya adalah pembatasan intinsik dari tindakan eksistensi tersebut, yang kita maksud dengan instrinsik tepatnya apa yang menyebut kepada aktualisasi potensialitas dalam bentuk akibat dan pengaruh niscaya mereka (cth. pada tindakan dan pada modus), dan bukan pada arketip itu sendiri. Pada sifat-dasar arketip permanen, mereka itu realitas hal-hal (haqā’iq al-ashyā’) dalam kehadiran intelejibel atau kognitif (al-hadrah al-‘ilmiyyah). Istilah hadrah, yang bermakna ‘kehadiran’, menunjuk kepada kondisi ontologis dalam dunia intelijibel. Hal tersebut itu bersifat subjektif bagi Tuhan, atau hadir pada-Nya dalam pengetahuan-Nya sebagai ‘realitas ideal’ (ma’ānī). Realitas hal-hal dalam konteks tersebut bukan ‘maujud’ (mawjūd), tetapi tetap dalam kondisi ‘non-maujud’ (ma’dūmah) dalam kesadaran dan pengetahuan dari Kebenaran. Referensi pada kondisi bukan ‘maujud’ berarti keberadaan mereka tidak ‘disebabkan muncul’ (i.q...abraza) pada sebuah kondisi manifestasi eksterior (zāhir) dalam bentuk eksistensi konkret dan individual (al-wujūd al-’aynī); akan tetapi, meskipun demikian mereka memiliki realitas ontologis dan berada (bāqiyyah) dalam kondisi interior (butūn) Being. Mereka adalah ‘peristiwa’, atau ‘kondisi aktifitas’, atau ‘kecenderungan’ (shu’ūn) yang inheren dalam Kesatuan Ilahiyah (al-wahdah), dan berada dalam kondisi interior merupakan kondisi esensial mereka. Hal yang berkembang dari mereka, yang menjadi termanifestasi ke luar sebagai ‘esensi-esensi eksterior’ (al-a’yān al-kharijiyyah), merupakan ‘kekuatan kontrol’ mereka sesuai dengan sifat-dasar mereka (ahkām), dan ‘akibat’ (āthār), dan ‘pengaruh niscaya’ atau ‘kecocokan’ (lawāzim) yang dihasilkan dari penyebab yang memiliki Sumbernya pada Inti Being Kebenaran, karena tidak ada maujud selain Kebenaran. Dengan sebab akan keberadaan mereka dalam kondisi non-maujud, dan dari peran potensial mereka dalam perkembangan ontologis yang menyertainya, realitas hal-hal juga disebut ‘hal-hal yang mungkin’ (mumkināt). Yang diketahui (the known) dalam pengetahuan Tuhan, yang ada dalam kondisi noneksistensi (‘adam) — yakni, mereka tidak memiliki eksistensi eksternal dan konkret, tetapi hanya 169 Prolegomena ada sebagai pengertian dalam kesadaran Tuhan — lalu menerima ‘aliran’ (fayd) atau ‘pancaran’ dari Kebenaran277 sebagaimana Dia memanifestasikan diri-Nya dengan apa yang ada dalam tahap berikutnya hanya diketahui sebagai Sifat (sifāt), yang ada secara inheren dalam aspek interior Keesaan Absolut yang tetap selamanya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada Esensi. Segala hal sedemikian, yang merupakan wajah partikular dari diri-Nya sendiri, dan yang menampilkan diri-Nya dalam modus atau individuasi partikular, sesudah itu menjadi diketahui sebagai sebuah Sifat — satu di antara jumlah yang tidak terbatas — disebut menurut ungkapan Qur’āni ‘sebuah peristiwa’, ‘sebuah modus ‘being’, ‘kecenderungan’ (sha’n, pl. akan mult: shu’ūn)278 Esensi; dan masing-masing berbeda dari satu sama lain yang dengannya Being Absolut memanifestasikan diri-Nya namun lagi dalam bentuk yang berbeda. Bentuk yang dimanifestasikan oleh permukaan partikular ini dan modus partikular, yang menggambarkanNya dalam samaran tersebut, adalah sebuah Sifat, dan hal tersebut terpilah dari Being Tuhan. Karena hal tersebut ‘terpilah’ dari Being Tuhan tidaklah bermakna sesuatu yang memiliki being yang independen atau realitas yang terlepas dari Tuhan. Itu berarti lebih bahwa baik itu tidak sama seperti maupun berbeda dari Being Tuhan. Hal itu lebih bermakna bahwa hal tersebut tidak sama sebagai maupun berbeda dari Being Tuhan. Hal tersebut adalah sesuatu yang memiliki struktur ganda yang ketika dipandang dalam hubungan dengan Tuhan adalah identik dengan Tuhan, dan ketika dipandang dalam hubungan dengan dirinya, struktur intrinsiknya adalah tidak identik dengan Tuhan, maupun dengan masing-masing jumlah tak terbatas dari Sifat. Dipandang dalam cara kedua ini, hal tersebut memiliki kekhasannya sendiri; coraknya yang berbeda sendiri; bagian esensialnya yang membuatnya berbeda dari satu sama lain dan dari Being Tuhan. Penjelasan untuk ini terbentang dalam sifat-dasar ganda dari Nama-Nama Ilahiyah (al-asmā’). Semua Nama-Nama Ilahiyah, sekalipun fakta bahwa ada beberapa yang berlawanan dengan yang lain, adalah identik dengan Inti Esensinya (al-dhāt) Itu sendiri ketika mereka menunjuk pada Esensi. Tapi karena masing-masing dari Nama-Nama Ilahiyah itu pada kenyataannya menamakan sebuah aspek khusus atau bentuk partikular dari Esensi dalam anekaragam dan multiplisitas dari manifestasinya pada tingkatan dari aspek swa-pengungkapanNya, masing-masing ketika menunjuk pada makna intrinsik dirinya sendiri hanya menggambarkan aspek khusus atau bentuk partikular itu, dan bukan Esensi sebagaimana Dia ada dalam diri-Nya sendiri, dan maka tidak identik dengan-Nya, dan masing-masing tidak identik dengan sisa jumlah tak terbatas dari Nama-Nama Ilahiyah. Dengan demikian setiap nama-Nama Ilahiyah itu, sementara di satu pihak identik dengan Tuhan dan begitu juga dengan Nama-Nama Ilahiyah lainnya, di pihak lain, sebuah makna independen dalam dirinya sendiri.279 Ketika dipertimbangkan dengan dirinya sendiri secara independen dari Esensi, dalam cara yang digambarkan dalam kasus kemudian, sebuah Nama Ilahiyah dipandang sebagai sebuah Sifat. Ketika dinyatakan bahwa Esensi, atau Being Absolut dalam aspek swa-pengungkapan-Nya yang luaran, memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk-bentuk yang berbeda, dan bentuknya yang termanifestasikan adalah permukaan partikular dan modus-Nya yang menggambarkan-Nya, sebagai Sifat dari Esensi, dimana masing-masing berbeda dari satu sama lain dan dari Being-Nya, oleh karena itu yang kita maksud dengan ‘terpilah’, adalah perbedaan yang muncul dari aspek masing-masing Sifat. Dalam cara ini dan oleh masing-masing swa-manifestasi, dan dengan sebab bagian esensial keterpilahan yang inheren dalam masing-masing Sifat, sebuah realitas yang dari antara realitas Nama-Nama Ilahiyah menjadi termanifestasi (zāhir) dan ada dalam pengetahuan Ilahiyah. Inilah mengapa kita katakan di tempat lain bahwa sifat-dasar pokok realitas adalah 277 Ini menunjuk pada ekspansi eksistensi seperti kita telah secara ringkas digambarkan di atas, hlm. 237-241. Al-Rahmān (55): 29. 279 Fusūs, hlm. 79-80, 104. 278 170 Prolegomena perbedaan.280 Bentuk masing-masing realitas disebut ‘kuiditas’ (māhiyyah’),281 atau sebuah ‘entitas atau esensi tetap dan permanen’ (‘ayn thābiţ). Maka, sebuah realitas, adalah sebuah bentuk dari sebuah Nama Ilahiyah yang menamakan sebuah aspek khusus dari Esensi, yang bentuknya dimanifestasikan dalam kesadaran Ilahiyah. Pancaran yang ditunjuk di atas, yang kita identifikasi sebagai ekspansi eksistensi, disebut ‘pancaran paling suci’ (al-fayd al-aqdas). Cinta (hubb) merupakan prinsip pergerakan ontologis yang memiliki sumber pada Esensi; cinta merupakan perantara yang dengannya diaktifasikan pancaran pertama dan paling suci ini.282 Isi pancaran diketahui sebagai ‘potensialitas primordial’ (isti’dādāt asliyyah), yang menyusun bagian inheren dan esensial dari esensi-esensi atau arketip tetap dan permanen yang tinggal dalam pengetahuan Ilahiyah. Istilah isti’dādāt, yang telah kita terjemahkan sebagai ‘potensialitas’, bermakna tepatnya sebagai ‘kesiapan’ (preparedness); karena mereka menunjuk kepada bagian terpilah yang esensial menyentuh kepada kondisi masa depannya, yakni kondisi-kondisi yang menentukan sifat-dasar pokok dan nasib dari realitas atau hal dimana mereka terdapat, sehingga realitas atau hal tersebut akan teraktualisasi dalam diri sendiri, sebagaimana hal tersebut terbentang dari non-eksistensi kepada eksistensi, atas apa yang menentukan bagian esensial yang telah dipersiapkan baginya untuk aktualisasi. Kesiapan primordial, dipancarkan ke dalam masing-masing arketip atau esensi yang tetap, yang menentukan sifat-dasar pokok dan nasib dari arketip sedemikian rupa sehingga hal tersebut akan teraktualisasikan, dalam tahap perkembangan ontologis yang selanjutnya, dari apa yang telah dipersiapkan baginya untuk aktualisasi. Dilihat dari sudut pandang realitas itu sendiri, dan dalam hubungan apa yang mendahului mereka, yakni, pada ‘pancaran paling suci’ dari Being Absolut, arketip permenan adalah begitu banyak penerima pasif (tung. qābil) dari sifat-dasar dan nasib mereka yang ditentukan; dan karena peristiwa menentukan ini muncul dalam kondisi interior non-eksistensi sebagaimana telah kita jelaskan, dan aktualisasi dari sifat-dasar dan nasib pokok mereka dalam kondisi eksterior eksistensi masih belum merupakan peristiwa yang termanifestasi, kita lihat aspek arketip permanen ini sebagai begitu banyak hal yang tidak terbatas dari potensialitas dan kemungkinan dari being dan eksistensi eksterior. Namun, ketika dilihat dari sudut pandang apa yang merupakan akibat bagi mereka, yakni, perkembangan mereka yang terpisah sebagai arketip-arketip atau esensi-esensi eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah) yang membentangkan diri mereka dalam tahap lanjutan penurunan ontologis ke dalam bentuk yang lebih dan lebih konkret — yakni, ketika dilihat dari sudut pandang dari sifat-dasar dan nasib yang teraktualisasi — arketip-arketip permanen atau esensi-esensi tetap itu tentu saja adalah begitu banyak penentu aktif (tung. fā’il) dari sifat-dasar dan nasib masing-masing dan segala hal dalam eksistensi. Mereka tidak lagi dilihat sebagai potensialitas dan kemungkinan, tetapi adalah aktualitas dan keniscayaan akan being dan eksistensi. Dari sudut pandang ini, dilihat dari ‘bawah’, sebagaimana dikatakan, dalam aspek mereka yang aktif, aktual dan niscaya, arketip permanen memroyeksikan sebuah pancaran lanjutan dari Being Absolut yang disebut ‘pancaran suci’ (al-fayd al-muqaddas), yang isinya, berhubungan dengan permintaan dari kesiapan atau potensialitas primordial yang terkandung dalam pancaran yang lebih tinggi, ‘pancaran paling suci’, merupakan akibat tak terpisahkan dan niscaya, kecocokan atau akibat (lawāzim) dan pengaruh yang menyertai (tawābi’) yang berlanjut dari kesiapan primordial yang inheren dalam masing-masing arketip.283 Arketip-arketip tersebut sebagaimana telah kita kemukakan, tidak pernah meninggalkan kondisi mereka dari being interior; mereka tinggal dalam tataran Tak Terlihat (al-ghayb) maupun 280 Lihat bab III, hlm. 131. Hal ini merupakan kuiditas sejati, bukan kuiditas yang dipostulasikan secara mental. 282 Tradisi Suci: “Aku adalah sebuah harta tersembunyi dan Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan Makhluk sehingga Aku mungkin diketahui.” Lihat juga karya Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 42; Ta’rīfāt hlm. 176-177. 283 Untuk definisi dari fayd al-aqdas dan fayd al-muqaddas lihat Ta’rīfāt, hlm. 176-177. 281 171 Prolegomena intelejibel ada secara abadi a parte ante (qadīm) dalam kesadaran Ilahiyah.284 Sebagai kuiditaskuiditas sejati mereka merupakan bentuk-bentuk universal dari Nama-Nama Ilahiyah, dan melalui mereka ‘pancaran paling suci’ pertama kali diakibatkan sebagai swa-manifestasi (tajallī) pertama dari Being Absolut. Oleh karena itu mereka juga ‘loci’ atau ‘panggung manifestasi-diri’ (tung. mazhar) yang menerima pancaran pertama, dan yang diakibatkan Being Absolut melalui Nama-Nama, al-awwal, ‘Yang Maha Pertama’, dan al-bātin, ‘Yang Maha Tersembunyi ke Dalam’. Secara berhubungan, dan dalam tahap yang lebih rendah dari penurunan ontologis Being Absolut menuju determinasi dan individuasi ke dalam bentuk yang lebih konkret, arketip eksterior (ala’yān al-khārijiyyah) menjadi loci atau panggung swa-manifestasi, yang menerima ‘pancaran suci’ (al-fayd al-muqaddas) yang kedua, yang diakibatkan oleh Being melalui Nama-Nama al-ākhir ‘Yang Maha Terakhir’, dan al-zāhir, ‘Yang Termanifestasi ke Luar’. Dengan demikian Nama-Nama ‘Awal’ dan ‘Tersembunyi ke Dalam’ berada pada dunia interior dari eksistensi intelijibel; dan Nama-Nama ‘Terakhir dan ‘Terwujud ke Luar’ berada pada dunia eksterior dari eksistensi konkret dan individiual. Dari penjelasan singkat ini, kita menurunkan kesimpulan bahwa terdapat dua jenis swamanifestasi dari Being Absolut — dua jenis ekspansi eksistensi; jenis interior dan eksterior. Jenis interior merupakan ‘pancaran paling suci’ yang merupakan swa-manifestasi Esensi kepada aspek dalaman-Nya kepada dunia yang Tak Terlihat; jenis eksterior merupakan ‘pancaran suci’ yang merupakan swa-manifestasi Esensi kepada aspek luar-Nya dalam bentuk-bentuk arketip permanen, yang pada gilirannya diproyeksikan melalui arketip eksterior dalam bentuk-bentuk dari dunia yang terlihat.285 Nama-Nama Ilahiyah adalah sebagai penyebab yang akibatnya itu adalah eksistensi dalam dunia intelijibel dan eksternal. Berkaitan dengan aspek ganda mereka, mereka dibagi menjadi dua kategori yang berlawanan satu sama lain, yang satu memberi kesan atau menghasilkan akibat (ta’thīr), yang mengandaikan bagian akan agen aktif (fā’il); yang lain menerima kesan yang diberikan dan akibat yang dihasilkan, memainkan peran penerima pasif (qābil). Karena arketip tersebut merupakan bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah (suwar al-asmā’), mereka juga merefleksikan aspek ganda being yang di satu sisi mereka itu aktif, dan di sisi lain mereka merupakan prinsip pasif dari eksistensi. Dipertimbangkan secara murni sebagai arketip (a’yān), arketip permanen memainkan bagian dari prinsip aktif dalam hubungan dengan tahap lanjutan ‘penurunan’ ontologis dari Being Absolut, yakni, pada apa yang ‘di bawah’ mereka, atau lebih pada aspek eksterior mereka, arketip eksterior, yang mengandaikan peranan dari prinsip pasif. Dipertimbangkan sebagai realitas-realitas (haqā’iq), arketip permanen sebagai realitas hal-hal (haqā’iq al-ashyā’) merupakan prinsip aktif dalam hubungan dengan realitas arketip eksterior (haqā’iq al-a’yān al-khārijiyah) yang merupakan penerima dari prinsip eksistensial, yakni, ‘pancaran suci’ (al-fayd al-muqaddas) dari Being Absolut, yang muncul ke hadapan melalui mereka. Arketiparketip permanen sebagai esensi hal-hal yang mungkin (a’yān al-mumkināt) atau sebagai hal-hal yang mungkin (al-mumkināt), di sini menunjuk pada realitas hal-hal. Kata-kata ‘hal-hal yang mungkin’ menunjuk kepada salah satu dari tiga modalitas being atau eksistensi yang pertama kali dirumuskan ibn Sinā.286 Modus pertama eksistensi adalah ‘niscaya’ (wujūb), dan ini menunjuk kepada dua kategori ontologis: (i), kepada being yang 284 Kita telah menunjuk pada mereka sebagai ‘realitas ideal’ (ma’āni) dalam halaman 250 di atas. Mereka secara analogis entah apa seperti realitas intelijibel yang inheren dalam Kecerdasan Aktif yang bentuknya diproyeksikan dengan iluminasi pada jiwa manusia, tetapi realitasnya selalu tinggal dalam Kecerdasan Aktif. Dengan analogi yang lain mereka itu seperti citra dalam imajinasi yang melayani intelek sebagai intelijibel potensial, dan yang menjadi intelijibel aktual tanpa menjadi berubah atau dipindahkan dari lokus mereka dalam imajinasi. Lihat bab IV, hlm. 157. 285 Fusūs, hlm. 120. 286 Lihat Ishārāt, vol. III, hlm. 19; Metaphysica, hlm. 47-48; 316. Al-Ghazāli menyokong tiga modalitas being (Tahāfut, hlm. 19) dan teolog sebelumnya (al-Juwaynī) dan setelah dia menerima mereka. 172 Prolegomena eksistensinya niscaya oleh dirinya sendiri. Hal ini adalah Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlaq), yang juga ditunjuk sebagai Eksistensi Niscaya (al-wājib al-wujūd); (ii), kepada being yang eksistensinya itu niscaya oleh selain dirinya, dan hal ini merupakan eksistensi konkret dari dunia hal-hal empiris yang eksistensinya diniscayakan oleh eksistensi dari yang Absolut. Modus kedua eksistensi adalah ‘kemustahilan’ (imtinā’), dan hal ini menyentuh kepada non-eksistensi absolut yang murni. Hal itu menunjuk kepada kategori logis seperti sebuah konsep yang dapat memiliki makna sintaktis dan dapat dirumuskan dengan ungkapan linguistik yang tepat, tetapi yang tidak dapat ada sebaliknya dalam aktualitas dan bahkan dalam kenyataan, seperti dua hal yang muncul secara simultan yang berlawanan satu sama lain dalam tempat yang satu dan sama (cth. sebuah ‘lingkaran persegi’) atau sebuah penyamaan, lawan, atau rekan, dari Tuhan (cth. sharīk). Inti sifatdasarnya membutuhkan non-eksistensi sebagai sesuatu yang secara eksistensial mustahil. Modus ketiga eksistensi adalah ‘kemungkinan’ (imkān), dan ini menunjuk pada entitas-entitas dalam kondisi being non-maujud secara eksternal, tetapi meskipun demikian eksistensinya dalam kondisi interior diakui. Hal itu menunjuk kepada realitas-realitas yang ada dalam kondisi interior, dan yang esensi-esensinya tidak dapat teraktualisasi dalam eksistensi eksternal. Hal ini entah apa seperti gagasan filsuf tentang kemungkinan objektif, kecuali dalam kasus filsuf, di mana mereka meluruskan teori mereka tentang kemungkinan objektif dengan teori mereka tentang keabadian dunia dan teori-teori persekutuan. ‘Hal-hal yang mungkin’, ketika menjadi teraktualisasikan sebagai eksistensi eksternal, ada di bawah kategori being yang eksistensinya niscaya oleh selain dirinya, seperti pada (ii) di atas. Lebih lanjut, tidak seperti filsuf yang percaya bahwa Tuhan merupakan agen niscaya, hal-hal yang mungkin dalam kasus ini teraktualisasi bukan akan keniscayaan; Kehendak Ilahiyahlah yang menentukan aktualisasi mereka sebagai eksistensi eksternal. Semua modus being atau eksistensi tersebut pada faktanya merupakan putusan intelektual; meskipun jika tidak ada intelek untuk memutuskan mereka sedemikian, objek putusan tersebut tidak serta merta berhenti berada, karena dalam beberapa kasus mereka akan tetap tinggal dalam eksistensi. Dalam kategori kemustahilan (mumtani’āt), contohnya, rekan, atau asosiasi, atau lawan dari Tuhan (sharīk) adalah kemustahilan yang murni, karena itu hanya ada dalam intelek; jika tidak ada intelek untuk menerima dan memutuskannya sedemikian, eksistensinya itu tidak lagi mungkin. Hal tersebut secara alamiah adalah konseptual, yang ada hanya dalam kesadaran dan ungkapan. Karenanya kemustahilannya adalah absolut. Tapi terdapat kelas lain kemustahilan yang tidak hanya konseptual dalam alam, dan kelas kemustahilan ini yang tidak hanya konseptual dalam alam, menunjuk kepada realitas, yang masing-masingnya teguh (thābiţ) dalam dirinya sendiri (fi nafs al-amr), seperti bentuk-bentuk tersebut dari Nama-Nama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip, Yang Tersembunyi ke Dalam (al-bātin), yang tetap abadi dalam Yang Tak Terlihat (al-ghayb), yang selamanya disembunyikan dari eksistensi luar dalam kondisi interior (bātinah). Mereka merupakan lawan dari bentuk-bentuk Nama-Nama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip, Yang Terwujud ke Luar (al-zāhir), yang berkembang ke dalam sisi eksterior atau manifestasi dalam eksistensi. Sebagai kebalikan dari bentuk eksterior, tidaklah mungkin bagi bentuk-bentuk interior untuk menerima pancaran — yakni, dalam kasus ini, ‘pancaran paling suci’ — yang akan mengembangkan mereka ke dalam manifestasi eksterior. Pemilahan antara kelas kemustahilan ini dan kelas yang modus akan being atau eksistensinya ditujukan sebagai non-eksistensi murni, atau ‘adam mahd, adalah bahwa yang kemudian, sebagai bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh (haytah) hati-hati dari Nama Prinsip, Yang Terwujud ke Luar, yang dapat menerima ‘pancaran paling suci’ yang akan mengembangkan mereka ke dalam manifestasi eksterior; sedangkan bentuk-bentuk dari yang terdahulu, yang secara alamiah tersembunyi ke 173 Prolegomena dalam, tidak dapat menerima pancaran yang dapat mengembangkan mereka kepada manifestasi ke luar. Hanya yang mungkin (mumkināt), yang merupakan bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh dari Nama prinsip, Yang Terwujud ke Luar, yang menerima pancaran, baik ‘yang paling suci’ dan yang ‘suci’, yang mengembangkan mereka pada manifestasi ke luar dan eksistensi eksternal. Ekspansi eksistensi dalam pelbagai derajat being sebagaimana telah kita jelaskan dari halaman 253 di atas hingga halaman ini dapat diskematisasi dalam diagram yang ditunjukkan pada halaman selanjutnya.287 Pada esensi-esensi hal-hal yang mungkin (al-a’yān al-mumkināt), mereka dibagi menjadi dua kategori; yang substansial (jawhariyyah), dan yang aksidental (‘aradiyyah). Kita catatkan sebelumnya bahwa arketip-arketip permanen atau esensi-esensi yang tetap merefleksikan dalam sifat-dasar mereka aspek ganda dari Nama-Nama Ilahiyah sebagai agen aktif (fā’il) dan penerima pasif (qābil) dari eksistensi.288 Dipertimbangkan sebagai esensiesensi hal-hal yang mungkin, arketip permanen menunjuk pada isi mereka, yang dibagi secara kategoris ke dalam substansi (jawhar), dan aksiden (‘arad). 287 Dalam skema ini, Esensi tersebut ada pada tingkatan eksistensi yang secara absolut tidak dikondisikan (cth. lā bi shart). Eksistensi I, II dan II menunjuk secara berturut-turut kepada tingkatan eksistensi yang merupakan, I: dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’); II: tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (lā bi shart shay’); dan II: dikondisikan oleh sesuatu (bi shart shay’). Lihat catatan 266 di atas. 288 Lihat hlm. 253-254 di atas. 174 Prolegomena Skema Penurunan Ontologis dari Wujud Absolut Esensi Interior Wujud Absolut Eksterior Non-Manifestasi Eksistensi I Interior Keesaan Ilahiyah Eksterior I Pancaran Paling Suci Interior Kesatuan Ilahiyah Determinasi ke-1 Eksterior Nama-Nama & Sifat Interior Determinasi ke-2 Eksterior Eksistensi II Interior Arketip-Arketip Permanen Determinasi ke-3 Eksterior II Pancaran Suci Interior Arketip-arketip Eksterior Determinasi ke-4 Eksterior Eksistensi III Interior Dunia BendaBenda Empiris Determinasi ke-5 Eksterior 175 Prolegomena Substansi, dengan sebab swa-keberadaan mereka yang independen dalam hubungan dengan aksiden itu, ditujukan sebagai realitas yang mendahului (matbū’); sedangkan aksiden itu, dengan sebab ketergantungan mereka kepada substansi, secara berhubungan ditujukan sebagai realitas (tābi’) yang diakibatkan. Ketika substansi ada sebagai intelejibilia dalam modus eksistensi intelijibel (wujūd ‘ilmī), mereka mengambil bentuk kecerdasan (‘uqūl) murni, dan jiwa (nufūs) murni — yakni, kecerdasan dan jiwa dari mana semua bentuk material dan relasi ragawi adalah substracted ( tung. mujarrad). Ketika mereka ada sebagai sensibilia dalam modus eksistensi konkret dan individiual (wujūd ‘aynī), mereka mengambil bentuk tubuh yang sederhana (ajsām basīt). Ketika substansi dan aksiden ada bersama dalam bentuk campuran (murakkab), mereka menyusun Tiga Kerajaan Alam (mawālīd al-thalāthah); dunia hewan, tumbuhan, dan mineral. Setiap substansi dan aksiden tersebut disebarkan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan mereka semua ada di bawah klasifikasi dalam tiga tingkatan genus (ajnās: tung. Jins): yang tertinggi (‘āliyah); pertengahan (mutawassitah); dan yang terendah (sāfilah). Setiap genus itu lebih lanjut diklasifikasikan menjadi pelbagai tingkatan, dimana masing-masing berdasarkan pada kapasitas dan kebutuhannya sebagai sebuah ‘panggung’ manifestasi (mazhar: cth dari Being Absolut), yang menerima pancaran yang akan mengembangkannya kepada aktualisasi berdasarkan kepada kapasitas yang inheren dan kebutuhannya, dan untuk mengguncang — yakni, kekuatan memanifestasi yang membawanya ke dalam eksistensi konkret dan eksternal — dari Nama Ilahiyah yang menunjukkan kehati-hatian atasnya. Nama-Nama Ilahiyah itu hal ini diri mereka sendiri diklasifikasikan berdasarkan derajat yang berbeda dari tingkatan yang berhubungan dengan perbedaan dalam kapasitas dan kebutuhan akan substansi dan aksiden yang menyusun pelbagai hal-hal yang banyak dari dunia empiris.289 Dengan demikian genus tertinggi yang digolongkan sebagai ‘yang tertinggi’ datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip ‘Yang Maha Pertama’ (al-awwal); ‘Yang Maha Tersembunyi ke Dalam’ (al-bātin); ‘Yang Terwujud di Luar’ (al-zāhir); dan ‘Yang Maha Terakhir’ (al-ākhir); genus yang digolongkan sebagai ‘pertengahan’ tersebut datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama-Nama yang lebih rendah dalam derajat tingkatan dari yang prinsip di atasnya; dan genus yang terendah yang digolongkan sebagai ‘yang terendah’ datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama-Nama yang bahkan lebih rendah dalam derajat tingkatan daripada yang ada di atas mereka. Dalam cara ini Nama-Nama Ilahiyah menggunakan pengaruh hati-hati mereka, yang berdasarkan tempat mereka yang terhormat dari tingkatan, menjangkau pelbagai genus dari realitas; dari golongan tertinggi menurun pada pelbagai spesies di golongan yang paling rendah, namun sementara dipengaruhi juga oleh hubungan kapasitas dan kebutuhan dari realitas mereka sendiri, masingmasing itu berdasarkan pada potensialitas atau kesiapan yang inherennya sendiri. Tatanan ontologis dari tiga genus yang berhubungan secara berturut-turut pada: (1) Dunia Arketip Permanen (‘ālam al-a’yān al-thābiţah), atau Dunia Gagasan Ilahiyah, dimana swa-manifestasi dari Yang Absolut kepada diri-Nya sendiri memunculkan bentuk-bentuk dari semua maujud yang mungkin membuat penampakan mereka in potentia dalam kesadaran dari Yang Absolut; (2) Dunia Ruh (‘ālam al-arwāh); dan (3) Dunia Indera dan Pengalaman Inderawi (‘ālam sl-shahādah).290 Ketika panggung-pangggung manifestasi berada pada spesies dari tubuh sederhana, contohnya, Nama-Nama Ilahiyah yang menunjukkan kekuatan pengaktualisasian terhadap 289 Fusūs, hlm. 79; 152. Harus dicatat bahwa istilah logis umum seperti ‘genus’, ‘spesies’, diferensia’ dan yang semisalnya seperti ‘universal’ sebagaimana kita gunakan di sini tidak untuk dimengerti berdasarkan makna kontekstual mereka dalam tradisi filsuf Yunani. Kita memahami mereka bukan hanya sebagai nama-nama atau konsep-konsep, tetapi sebagai realitas atau entitas sejati (ma’ānī). Yang ‘universal’ adalah entitas sejati, sehingga sedemikian — bahkan jika mereka mengandaikan karakter dari universal dalam beberapa hal — mereka tidak cukup sama sebagai Universal Platonis, karena mereka tanpa kecuali merupakan esensi partikular atau individual (a’yān). 290 176 Prolegomena mereka itu beroperasi dalam bentuk-bentuk partikular (khāss) dan ditentukan (ma’ayyan). Dalam kasus campuran, masing-masing bentuk tersebut begitu tercampur menjadi sebuah panggung manifestasi dari kombinasi Nama-Nama Ilahiyah yang bertindak bersama sebagai sebuah kesatuan yang berhubungan dengan sifat-dasar partikular dari bentuk gabungan tersebut. Dalam kasus individual (ashkhās), dalam partikular yang memiliki swa-kesadaran, kelas tertinggi sebagai manusia, masing-masing merupakan panggung manifestasi (mazhar) dari sebuah kombinasi antara kombinasi Nama-Nama Ilahiyah yang beroperasi dalam bentuk campuran. Dalam kasus manusia, dan secara khusus seseorang dibimbing dalam jalur yang benar dalam agama sejati, masing-masing menjadi panggung ‘manifestasi halus’ (raqā’iq tung. raqīqah) yang menanamkan kepadanya pengetahuan misteri (asrār) Ilahiyah yang membimbing mereka dalam tahap yang bergantian dari perjalanan mereka menuju Kebenaran. Dengan cara ini, dari puncak tertinggi tataran ontologis menurun kepada tingkatan paling rendah dari being dan eksistensi, dari ‘universal’ ke partikular, Nama-Nama Ilahiyah tersebut memenuhi tujuan mereka, dalam mengaktualisasikan semua eksistensi yang mungkin yang ada in potentia dalam kesadaran Ilahiyah, dalam proses abadi dan dinamis. Penjelasan singkat ini tentang sifat-dasar esensi-esensi hal-hal yang mungkin dan perkembangan dan aktualisasi mereka sebagai dunia indera dan pengalaman inderawi dapat diuraikan dalam bentuk skema pada halaman 264. 177 Prolegomena I Esensi-Esensi dari Hal-Hal yang Mungkin Substansi Aksiden Diklasifikasikan menjadi tiga golongan genus: yang tertinggi; pertengahan; terendah; di bawah pengaruh hati-hati dari NamaNama Ilahiyah: Yang Pertama; Yang Tersembunyi di Dalam; Yang Terwujud di Luar; Yang Terakhir berturut-turut, dan Nama-Nama di bawah ini dalam derajat tingkatan; masingmasing derajat berhubungan pada masing-masing golongan dalam tatanan yang bergantian. Tiga tingkatan yang berhubungan berturut-turut: I. Dunia Arketip-Arketip II. Dunia Ruh III. Dunia Indera dan Pengalaman Inderawi. II Eksistensi Intelejibilia Intelijibel Eksistensi Konkret Sensibilia Kecerdasan Dan Jiwa Murni Tubuh Sederhana Campuran III 178 Hewan (Genus) Tumbuhan Mineral Spesies Spesies Spesies Jenis dan Individual Jenis dan Individual Jenis dan Individual Prolegomena Untuk meringkas, realitas merupakan bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah yang dipertimbangkan dalam aspek mereka akan perbedaan. Sedemikian mereka merupakan esensi-esensi yang secara permanen dibangun sebagai arketip-arketip dalam kondisi interior Being. Dalam hal pada sifat-dasar mereka di dalam kerangka-kerja ontologis tersebut, mereka merupakan kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi. Dalam kerangka-kerja dari tataran ontologis ini mereka menempati sebuah posisi pertengahan antara dua pancaran dari Being Absolut yang serupa dengan jenis interior dan eksterior dari ekspansi Eksistensi. Dalam hal pada keberadaan mereka dalam tatanan ontologis, mereka bukan hal yang abadi maupun sementara, yang secara sinambung diperbaharui dalam bentuk dan identitas asali mereka, sedemikian rupa mereka itu, dalam hal identitas mereka, yang secara permanen dibangun, dan namun, dengan hal kepada potensialitas inheren mereka, mereka berkembang dalam perubahan. Dalam hal kepada hubungan ontologis mereka dengan apa yang sesudahnya bagi mereka dan apa yang mendahului mereka, mereka itu di satu sisi aktif dan di sisi lain adalah prinsip pasif dari eksistensi konkret. Dari sudut pandang filsafat skolastik, mereka itu sebagai ‘universal’ dengan mana ‘partikular’ menjadi diindividualisasikan. Sebagai esensi-esensi hal-hal yang mungkin, dan dalam istilah Categories, mereka itu di satu sisi substansi dan di pihak lain aksiden; sebagai substansi mereka merupakan realitas yang mendahului, dan sebagai aksiden mereka merupakan realitas yang diakibatkan. Dengan memandang pada modus being mereka, mereka itu mungkin di satu pihak dan niscaya di pihak lain. Dalam istilah sebagai esensi-esensi, mereka itu kuiditaskuiditas sejati yang pengendalian kekuatannya menyesuaikan dengan sifat-dasar mereka, akibat dan kebiasaan, dan akibat yang menghasilkan dunia ruhani, citra, hal-hal inderawi, dan entitas mental (cth. imajinasi), dimana semua ada dalam tatanan menurun secara berturut-turut. Akhirnya, dalam hal kepada sifat-dasar esensial mereka mereka itu identik dengan realitas eksistensi dalam hal substansi, tapi berbeda darinya dan yang lain di antara diri mereka sendiri dalam hal individuasi. 179 Prolegomena VII DERAJAT-DERAJAT EKSISTENSI Kata ‘eksistensi’ secara umum dipahami untuk menunjuk sebuah konsep dasar dan universal yang padanya tidak ada realitas yang berhubungan yang disebut ‘eksistensi’ ditemukan di dunia eksternal. Apa yang ditemukan dalam dunia eksternal yang dikatakan ‘ada’ merupakan hal-hal yang secara pokok dapat direduksi pada ‘kuiditas’ atau ‘esensi’ individual mereka yang diterima pikiran sebagai realitas independen pada dirinya sendiri, dan padanya hal tersebut dilekatkan sebagai bagian mereka dimana entitas konseptual disebut ‘eksistensi’. Pikiran, ketika menerima hal-hal dunia eksternal, mempertimbangkan hal-hal pada dirinya sendiri seolah-olah mereka ‘sedang-disana’ (i.q. thamma) itu berkaitan dengan sifat-dasar intrinsik mereka, yakni, ‘kuiditas’ atau ‘esensi’ mereka. Pikiran mampu mengabstraksi apa yang dianggap sebagai entitas konseptual, yakni ‘eksistensi’, dari hal-hal dan bertindak terhadapnya dan menampilkan pembagian dan pembatasan mental ke dalam ikatan spesifik, yang membagi secara adil masingmasing konfigurasi dari entitas konseptual yang disebut ‘eksistensi’ ini untuk berhubungan dengan hal-hal individual dari dunia eksternal sedemikian sehingga masing-masing dan setiap mereka dapat dikatakan ‘ada’. ‘Eksistensi’ dalam pemahaman umum istilah tersebut merupakan sebuah entitas konseptual yang ‘ada’ hanya dalam pikiran’; ‘eksistensi’ merupakan konsep abstrak dan umum yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan hal-hal dan secara alamiah adalah statis atau pasif; ‘eksistensi’ merupakan sebuah intelijibel sekunder. Tetapi ‘eksistensi’ dapat juga dipahami bukan hanya menunjuk kepada sebuah entitas konseptual yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal, tetapi kepada sebuah realitas ontologis yang ada di dunia eksternal yang independen dari pikiran, dan sehingga karena hal tersebut ‘menjadi-maujud’ secara eksternal hal tersebut menciptakan pengaruh dalam pikiran yang menghasilkan konsep ‘eksistensi’ dengan mana pikiran mengualifikasikan hal-hal yang diterima di dunia eksternal. Kita menunjuk kepada pemahaman kedua terhadap istilah ‘eksistensi’ ini, yang tidak dapat dikonseptualisasikan sebab hal tersebut bukan sebuah universal, sebagai realitas eksistensi untuk membedakannya dari konsep eksistensi. Tidak seperti rekan pendamping konseptualnya, realitas eksistensi itu aktif; realitas eksistensi merupakan entitas yang sadar, dinamis, dan kreatif, yang mengartikulasikan dari dalam dirinya sendiri pengungkapan diri dengan kemungkinan yang tak terhingga dalam gradasi analogis pada tingkatan ontologis yang berbeda dalam modus partikular dan individual yang nampak sebagai hal-hal terpisah dalam dunia yang terlihat maupun dunia yang tak terlihat. Makna sejati dari kata ‘eksistensi’ sebagai sebuah realitas objektif menyentuh pada pemahaman kedua terhadapnya ini, dan berlaku kepada Tuhan hanya dalam pengertian ini.291 Dalam penjelasan kita tentang derajat-derajat eksistensi dalam halaman-halaman selanjutnya, kita akan berkonsentrasi kepada pengertian kedua dari ‘eksistensi’ ini yakni, eksistensi sebagai sebuah entitas nyata dan maujud yang pengaruhnya menjadi termanifestasi kepada rasio dan pengalaman kita. Eksistensi sebagai realitas, dan bukan sebagai konsep, merupakan inti esensi Realitas Tertinggi. Realitas tertinggi ini adalah Allāh. Dipertimbangkan dalam inti Esensi-Nya Dia diketahui hanya pada diri-Nya sendiri, karena dipertimbangkan sebagaimana Dia dalam diri-Nya sendiri Dia itu transenden secara tidak dikondisikan. Dengan ‘transenden secara tidak dikondisikan’ kita ingin mengandung makna bahwa Dia ada dalam derajat isolasi sepenuhnya 291 Lihat Nūr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Jāmī, dalam karyanya Lawā’ih, dalam Majmū’ah Mullā Jāmī, Istanbul, 1309H., hlm 14; juga Lawā’ih, diterjemahkan oleh E.H. Whinfield dan Mirza Muhammad Kazvini, Royal Asiatic Societ, v, 1928, hlm. 13: XIV. Dielaborasikan lebih lanjut dalam karyanya Al-Durrah al-Fākhirah, (dalam edisi dari N. Heer dan A. Musavi Bahbahani), Tehran, 1980, hlm. 2: 5; dan terjemahan Jāmī sendiri pada bagian itu, hlm. 54-55). 180 Prolegomena sedemikian rupa yang tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’), maupun dikondisikan dengan indeterminasi dalam pengertian tidak dibatasi oleh ketidakberhubungan dengan apapun tetapi bebas untuk menautkan dengan hal-hal individual (lā bi shart shay’).292 Kita hanya dapat mengatakan bahwa Realitas Tertinggi tersebut dipertimbangkan dalam inti Esensi-Nya tidaklah dikondisikan oleh kondisi apapun (lā bi shart).293 Hal ini berarti bahwa realitas eksistensi pada tingkatan Realitas Tertinggi bahkan tidak dapat dipertimbangkan sebagai absolut (mutlāq), karena eksistensi pada tingkatan tersebut ada di atas kualifikasi keabsolutan (ītlāq)294 dengan sebab fakta bahwa kualifikasi sedemikian sudah sebuah kondisi yang menkhususkan eksistensi pada kecenderungan tertentu, dan merupakan seperti jenis pembatasan, sebuah keterbatasan (taqyīd) di antara kondisi dibatasi yang dipostulasikan secara mental dalam pelbagai derajat dari eksistensi intelijibel dan inderawi. Dalam pandangan hal ini sifat-dasar Realitas Tertinggi sebagai tidak dikondisikan oleh kondisi apapun itu, berbicara secara ketat, tidak dikondisikan bahkan oleh transendensi, dan tidak pernah dapat dicapai oleh pengetahuan dan kognisi kita, dan tetap secara abadi tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diriNya sendiri. Kita menunjuk pada derajat pertama dan tertinggi dari eksistensi ini sebagai aspek swa-penyembunyian Realitas Tertinggi, sebagai Diri terdalam-Nya dan inti Esensi (al-dhāt) yang disebut dalam tradisi suci sebagai ‘Kabut Gelap’ (al-’amā’) dan ‘Harta Tersembunyi’ (kanz makhfiyy).295 Tapi realitas eksistensi, dengan sebab sebagai apa hal tersebut adanya, yakni, sebagai dirinya yang termanifestasi dan membawa segala hal yang lain ke dalam manifestasi, harus dipostulasikan memiliki derajat-derajat (marātib) swa-manifestasi; jika tidak demikian tidak ada yang akan terwujud sebagai diadakan dan, lebih lanjut, derajat swa-persembunyiannya juga tidak pernah akan diketahui sebagai yang tidak dapat diketahui. Dengan demikian kendati akan persembunyian penuh darinya, terdapat aspek darinya yang cenderung menuju swa-manifestasi. Ketika kita katakan, menyebut kepada tradisi suci: “Aku adalah Harta Tersembunyi dan Aku cinta dikenali, maka Aku ciptakan Makhluk sehingga Aku mungkin dikenali,” ‘Harta Tersembunyi’ menunjuk pada aspek swa-persembunyian dari Realitas Tertinggi, ‘yang cinta dikenali’ sudah menyiratkan sebuah kecenderungan yang menunjuk terhadap aspek swapengungkapan-Nya. Dalam aspek ini Dia sudah dikuasai, seperti sebelumnya, oleh cinta (hubb), yang merupakan prinsip pergerakan ontologis yang termanifestasi dalam ciptaan. Ciptaan, sebagai pengujian dari apa yang sekaligus benar dan nyata, merupakan tindakan eksistensiasi 292 Lihat bab VI; hlm. 221-224, dan referensi pada catatan kaki di dalamnya. Lihat karya ‘Abd al-Razzāq al-Qāshānī, Sharh ‘alā Fusūs al-Hikam, Cairo 1966, hlm. 4. Apa yang dimaksud dengan lā bi shart di sini adalah bahwa yang bahkan ada di atas sebagai dikondisikan oleh ketidakkondisian; hal itu adalah yang secara absolut tidak dikondisikan. Lihat juga karya ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī, Naqd al-Nusūs Tehran, 1977, hlm. 20, terjemahan 4. 294 Cth. kami maksud dengan sebagai absolut dan memiliki keabsolutan dalam pengertian sebagaimana digunakan kepada alam universal. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 272-273 dan catatan 298 dan 299. 295 Tradisi tersebut cukup dikenal. Tradisi al-‘amā’ dilaporkan oleh al-Tirmidhī menunjuk pada komentar pada sūrah 11: 1, dalam Al-Jāmī al-Sahīh, Cairo, 1938, vol. IV, 44, no: 5109; oleh ibn Majah dalam karyanya Sunan, Cairo, 1952, vol. I, Muqaddimah, 13, no: 182; oleh ibn Hanbal dalam karyanya Musnad, Cairo, 1313H., vol. IV, hlm. 11 dan 12. AlJurjānī dalam karyanya Ta’rīfāt mengatakan bahwa al-‘ama’ menunjuk pada derajat Keesaan (ahadiyyah). Referensi ini dari edisi Flugel, Beirut, 1969, hlm. 163. Al-Jili dalam karyanya Al-Insān al-Kāmil, Cairo, 1956, vol. I, hlm. 50, mengatakan bahwa ini berhubungan dengan Keesaan. Tradisi al-kanz al-makhfiyy dilaporkan oleh al-Baghawī sebagaimana disampaikan oleh Mujāhid. Hal itu berputar di sekitar komentar terhadap ayah 56 dari sūrah 51. Transmisi oleh Mujāhid dalam sebuah komentar pada Qur’ān dari Abū al-Su’ūd al-‘Imādī ditemukan dalam pinggiran dari karya al-Rāzī Tafsīr al-Kabīr, vol. VII dalam edisi Beirut dari 1342H., hlm. 777. Al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr juga menyebutkannya dalam lima pertanyaan dalam jalur komentar atas ayat yang sama (hlm. 660). Tradisi ini dilaporkan oleh hampir semua orang suci dan orang bijaksana yang terkenal. Al-Jurjānī (op.cit) mengatakan bahwa alkanz al-makhfiyy menunjuk pada Diri terdalam, ke-dalam-an absolut dan persembunyian sepenuhnya akan Tuhan dalam derajat Keesaan (hlm. 197). 293 181 Prolegomena dari aspek swa-manifestasi Realitas Tertinggi, dan dalam aspek kreatif ini Dia disebut dengan nama yang menandakan baik Kebenaran dan Nyata (al-haqq).296 Dari penjelasan singkat di atas, dan sebagaimana dikonfirmasi oleh Wahyu suci hal tersebut sebagai bukti bahwa Realitas Tertinggi memiliki dua aspek: yang ke-dalam (inward), interior, aspek swa-persembunyian (al-bātin), dimana bahkan tidak ada jejak penggerak awal dari artikulasi internal manapun yang terlihat dari sudut pandang kognisi manusia meskipun hal itu merupakan inti pijakan dari Being; dan yang bagian ke-luar (outward), eksterior, aspek swamanifestasi (al-zāhir), dimana kecenderungan menuju swa-manifestasi diawali oleh kesadaran akan hasrat atau cinta untuk dikenali. Kedua aspek tersebut adalah diharmonisasi di dalam Realitas Tertinggi, yang ke-dalam-annya (inwardness) itu identik dengan ke-luar-annya (outwardness).297 Eksistensi di sini, seperti telah kita katakan, merupakan eksistensi pada derajat pertama, yang memiliki dua aspek yang berhubungan dengan sisi interior dan swapersembunyian ‘Kabut Gelap’ dari tradisi suci, yang kadang-kadang juga ditunjuk sebagai inti Esensi itu sendiri dari Realitas Tertinggi (al-dhāt) yang dikarakteristikkan dengan sebuah Keesaan absolut sepenuhnya (ahadiyyah mutlāqah); dan sisi eksterior dan swa-manifestasi ‘Harta Tersembunyi’ dari tradisi yang sama, yang cenderung menuju swa-manifestasi dalam alam Yang Tak Terlihat (al-ghayb) dan yang, meskipun hal itu tetap dipertimbangkan sebagai dalam Keesaan abstrak dari ahadiyyah, adalah tidak cukup sama sebagai Keesaan absolut sepenuhnya yang telah disebutkan sebelumnya sebagai ahadiyyah mutlāqah. Hal ini karena pada aspek kedua inilah sudah terkandung kemungkinan tak terhingga akan determinasi dalam pelbagai bentuk tak terbatas. Kini aspek yang kemudian ini pada dirinya sendiri dikarakteristikkan dengan interioritas dan eksterioritas yang serupa dengan aspek sebelumnya. Ketika kita memandang Keesaan abstrak yang kemudian ini dalam aspek eksterior dan swa-manifestasi, hal itu disebut Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlāq). Modusnya dalam aspek eksterior ini tetaplah tidak dikondisikan oleh apapun itu (lā bi shart), dalam pengertian bahwa hal itu tidak terlibat dalam determinasi apapun, tetapi siap untuk memanifestasikan dirinya dalam determinasi. Aspek eksterior derajat pertama eksistensi ini merupakan pusat kemungkinan tak terhingga akan determinasi; hal tersebut merupakan sumber aktifitas penciptaan dan prinsip keanekaragaman. Istilah ‘absolut’, dalam pengertian yang kita maksud di sini, menunjuk kepada sebuah modus abstraksi murni, yang entah apa seperti aspek pertama kuiditas dalam skema ibn Sinā, yang kadang-kadang disebut ‘alam semesta’ (kullī tabī’ī);298 kecuali bahwa di sini kita menunjuk kepada eksistensi, bukan kuiditas, dan kepada eksistensi yang bukan hal konseptual atau mental tetapi nyata, yang tidak statis atau pasif karena dinamis atau aktif. Jadi ketika kita menyamakan derajat Eksistensi Absolut ini kepada aspek pertama kuiditas dalam skema ibn Sinā, kita tidak dengan demikian memaksudkan bahwa Eksistensi Absolut, dengan sebab keabsolutannya, adalah identik dengan alam semesta. Hal ini karena sifat-dasar alam semesta, sebagaimana dipahami teolog dan filsuf secara umum, dan apakah itu diberlakukan pada kuiditas atau eksistensi, adalah dipahami sebagai hal mental yang tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal (teolog), atau hal itu merupakan hal yang baik mental dan juga nyata dan memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal (filsuf), dalam pengertian bahwa kata ‘nyata’ dan ‘realitas’ di sini ditunjukkan secara esensial kepada kuiditas-kuiditas yang dipertimbangkan sebagai realitas yang berbeda, dan bukan kepada eksistensi.299 Kita tidak mengakui bahwa Eksistensi Absolut, dengan 296 Terdapat banyak referensi dalam Qur’ān yang menyentuh pada tindakan penciptaan oleh Tuhan dimana tindakan penciptaan diselesaikan ‘oleh kebenaran’ (bi al-haqq). Lihat untuk contoh Al-An’ām (6): 73; dan Ibrāhīm (14): 19. 297 Al-Hadīd (57): 3. 298 Lihat bab VI, hlm. 237, catatan 266. 299 Untuk argumen dari teolog terhadap filsuf dan Sūfī, lihat untuk contoh, Karya al-Taftāzānī Sharh al-Maqāsid, ‘Ālam al-Kutub, Beirut, 1989, 5 vol.; vol. I, hlm. 335-341. 182 Prolegomena sebab keabsolutannya, adalah identik dengan alam semesta dalam pengertian yang disebutkan di atas. Hal ini karena kita di sini tidak berbicara tentang eksistensi sebagai entitas konseptual, yang karakteristiknya diatur oleh pertimbangan mental yang menyentuh pada universal. Karena kita berbicara tentang eksistensi sebagai sebuah realitas objektif dan aktif yang independen dari pikiran, apa yang dimaksudkan dengan ‘keabsolutan’ Eksistensi Absolut adalah bahwa hal itu tidak memiliki determinasi (ta’ayyun) atau individuasi (tashakhkhus) yang tidak konsisten dengan determinasi atau individuasi dimana hal itu terlibat dalam samaran dari esensi-esensi yang muncul dalam pelbagai tingkatan dan derajat ontologis. Hal ini berarti bahwa hal tersebut tidak memiliki sebuah individuasi berdasarkan dengan karakteristik esensi individual manapun yang menghalanginya secara simultan juga diindividuasikan berdasarkan dengan karakteristik esensiesensi individual lain tanpa multiplisitas atau perubahan apapun muncul dalam esensinya sendiri. Keabsolutan sedemikian, yang mustahil dalam kasus alam semesta dipertimbangkan sebagai entitas mental, tidak membuat mustahil bagi Eksistensi Absolut untuk diindividuasikan dalam dirinya sendiri, dalam sebuah cara individuasi yang bebas dari gagasan universalitas, seperti individuasinya sebagai Tuhan, untuk contohnya.300 Kini Eksistensi Absolut dalam aspek eksteriornya pada gilirannya merupakan aspek interior dari tahap perkembangan ontologis yang secara segera mengikuti, yakni determinasi umum (ta’ayyun jāmi’), yang kadang-kadang juga disebut ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘āmm),301 yang terkandung di dalam dirinya sendiri semua manifestasi aktif, niscaya, dan makhlukiah. Tahap perkembangan ontologis ini diakibatkan oleh pancaran paling suci dari eksistensi (al-fayd al-aqdas), yang merupakan ekspansi tunggal eksistensi dalam cara umum yang mengandung di dalam dirinya manifestasi dari pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang mungkin dalam dunia yang tidak terlihat maupun pada dunia yang terlihat, seperti manifestasi aktif, niscaya, ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen dan maklukiah. Hal ini merupakan derajat kedua eksistensi dan merupakan manifestasi pertama dari realitas eksistensi, sehingga disebut tahap determinasi pertama dari eksistensi (ta’ayyun awwal).302 Kita dapat menskematisasi penjelasan di depan dengan diagram berikut: 300 Jawaban Jāmī pada argumen dari teolog dinyatakan pada catatan 299 di atas ditemukan, untuk contoh, dalam pernyataan pendek yang berjudul Risalāh fi al-Wujūd, yang telah diedit oleh N. Heer dalam Islāmic Philosophical Theology, ed. Parvis Morewedge, SUNY, Albany, 1979, hlm. 223-256. Untuk teks bahasa Arab, lihat hlm. 248-256. Dengan referensi pada apa yang telah kita nyatakan di atas, lihat hlm. 250 (14). Lihat juga referensi dalam catatan 291, di atas. 301 Lihat Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 35, terjemahan 27. 302 Kata ‘ayn bermakna ‘entitas’. Ta’ayyun adalah berbicara secara ketat sebuah ‘entifikasi’, karenanya itu merupakan sebuah determinasi sebagai sebuah entitas. Pasangan dari yang berlawanan tersusun dalam Nama-Nama Ilahiyah dan Sifat dalam aspek mereka tentang perbedaan dari-Nya. Mereka ada dalam operasi sinambung dan tidak mungkin berhenti dalam di antara mereka semua. Untuk makna ‘ayn, lihat lebih lanjut bab VI, hlm. 242, catatan 268. 183 Prolegomena Esensi dari Realitas Tertinggi Yang merupakan Eksistensi Aspek Interior Keesaan Absolut Al-‘amā’ Derajat ke-1 Aspek Eksterior Aspek Interior Keesaan Abstrak Kanz makhfiyy Tidak dikondisikan Non Manifestasi Aspek Eksterior Pancaran Paling Suci Dalam bahasa metafora kita katakan bahwa ketika Realitas Tertinggi berhasrat untuk melihat Keindahan gemerlapan diri-Nya (jamāl), Dia mengungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya dalam Esensi-Nya (cth. tajallī dhāti) dan melihat di dalamnya seperti dalam cermin ajaib tentang Kesempurnaan esensial-Nya (kamalāt dhātiyyah) dalam keindahan abadi dan terus berlangsung. Cermin pertama ini, dengan mana Dia memandang diri-Nya dalam perenungan yang merefleksikan Nama-Nama-Nya Yang Paling Indah (al-asmā’ al-husnā) dan Sifat-Sifat Sublim (alsifāt al-‘ulyā). Swa-manifestasi dan swa-perenungan pertama dari Realitas Tertinggi ini menunjuk kepada derajat pertama dan kedua dari Eksistensi Absolut, yang kedua darinya itu ada pada tingkatan ontologis dari determinasi pertama. Tingkatan ini, yang muncul sebagai hasil pancaran paling suci yang mengandung bentukbentuk pasangan yang berlawanan yang menyusun semua manifestasi aktif, niscaya, ilahiyah, maupun, semua manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiah, menandai ‘penurunan’ (tanazzul) Realitas Tertinggi dari derajat Keesaan (wahdah), dimana di dalamnya tidak ada yang lain yang dimanifestasikan meskipun hal itu menandakan langkah pertama menuju manifestasi, kepada derajat Kesatuan (Wahidiyyah), dimana di dalamnya artikulasi dalaman yang menyusun dalam Kesatuan tersebut itu terlihat pada-Nya sebagai bentuk-bentuk dari multiplisitas potensial. Dalam derajat Keesaan yang lebih dahulu daripada Kesatuan, bentuk-bentuk partikular yang pasti sudah tertinggal di dalamnya dalam sebuah kondisi ontologis huru hara namun dinegasikan oleh Keesaan, seperti ‘cahaya dari banyaknya bintang hilang dalam kehadiran cahaya yang dipancarkan matahari”.303 Keesaan tersebut yang tetap di sini lalu berpaling menuju aspek interiornya, yang menegasi semua manifestasi dan selalu tinggal dalam Keesaan absolut dari Esensi. Hanya ketika Keesaan tersebut berpaling menuju aspek eksterior ia membuat dirinya menjadi pasangan yang berlawanan satu sama lain, seperti aktif dan pasif, niscaya dan kontingen, ilahiyah dan makhlukiah, dengan maksud untuk disatukan kembali dalam determinasi yang membawa partikularisasi (takhassus) pada tahap lebih lanjut. Tahap lebih lanjut ini adalah Kesatuan, dan hal tersebut berhubungan dengan modus eksistensi sebagaimana dikondisikan dengan indeterminasi, dalam pengertian tidak dikondisikan oleh partikularisasi atau individuasi apapun, tetapi bebas menautkan dirinya dalam partikularisasi dan individuasi (lā bi shart shay’). Kemudian dalam perkembangan lebih lanjut-Nya pada tingkatan determinasi kedua dan ketiga lalu Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, memunculkan di dalam 303 Lihat karya ‘Abd al-Karīm al-Jīlī, Al-Insān al-Kāmil, Cairo, 1956, 2 vol; vol. 1 hlm. 51. 184 Prolegomena kesadaran-Nya manifestasi aktif, efisien dan ilahiyah yang berhubungan dengan derajat Ilahiyah (Ilāhiyyah). Hanya pada tahap inilah Eksistensi Absolut dapat dicapai kognisi manusia sebagai ‘Tuhan’ (ilāh), dan digambarkan dalam cara sebagaimana Dia telah mengungkapkan diri-Nya dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya akan keilahiyahan. ‘Penurunan’ Eksistensi Absolut pada determinasi ketiga dan keempat, yang berhubungan dengan derajat ketiga dan keempat eksistensi, menampilkan aspek ke-luar dari Realitas Tertinggi yang juga disebut Eksistensi Niscaya (al-wājib al-wujūd), karena keniscayaan adalah kondisi yang tidak berubah-ubah.304 Kemudian kembali dalam bahasa metafora kita katakan bahwa Realitas Tertinggi, setelah merenungkan diri-Nya sendiri dalam cermin pertama tersebut dimana di dalamnya direfleksikan kesempurnaan esensial-Nya, dan berhasrat untuk melihat esensi-esensi (al-a’yān) Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang tidak terhingga, yang diungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri namun kembali dalam bentuk-bentuk mereka dan melihat, seperti dalam cermin ajaib lain, realitasrealitas (haqā’iq) yang inheren dalam mereka.305 Bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut merupakan esensi-esensi yang tegak atau arketip permanen (al-a’yān al-thābiţah). Dengan demikian ketika Eksistensi Absolut, dalam swa-pemanifestasian-Nya, dari aspek eksterior Keesaan pada tingkatan ontologis dari determinasi pertama merenungkan diri-Nya sendiri, Dia itu sadar terhadap kesempurnaan diri-Nya sendiri, yang merupakan bentuk esensial dari NamaNama Ilahiyah yang dapat dilihat dalam kesadaran Ilahiyah. Mereka itu, sebagaimana dikatakan, ‘gagasan’ atau ‘intelijibel’ dalam pengetahuan Ilahiyah, dan dikualifikasikan sebagai dibangun secara permanen dan tetap (thābitah) karena mereka berada secara permanen (cth. baqā’) dalam kesadaran dan pengetahuan Ilahiyah. Mereka tetap tinggal di dalamnya dan tidak berubah dalam sifat-dasar mereka dan tidak dipindahkan dari kondisi interior dan intelijibel mereka. Lebih lanjut, karena keterpilahan mereka satu sama lain dan kesinambungan (baqā’) mereka sedemikian dalam kesadaran Ilahiyah mereka itu merupakan realitas-realitas, pastinya, realitas-realitas asali dari hal-hal yang kondisi masa depannya diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah akan tingkatan ontologis. Kini Eksistensi Absolut dalam derajat tertinggi keabsolutannya tidak membutuhkan apapun, cukup pada diri-Nya sendiri dan tidak membutuhkan yang ‘lain’ apapun itu. Tapi NamaNama dan Sifat-Sifat-Nya, yang menjadi nampak kepada-Nya pada derajat-derajat lebih rendah akan tingkatan ontologis, membutuhkan realitas-realitas mereka untuk dimanifestasikan dalam bentuk-manifestasi (manifestation-form) mereka (mazāhir, tung. mazhar), apakah bentuk-manifestasi 304 Dengan istilah ‘niscaya’ (wujūb) kita menunjuk pada salah satu dari tiga kategori eksistensi; dua yang lain adalah ‘mustahil’ (imtinā’) dan ‘kemungkinan’ (imkān). Kategori-kategori tersebut dapat dipahami dalam pengertian logis maupun ontologis. Di sini kita tidak hanya memaksudkan ‘niscaya’ dalam pengertian logis (cth. wujūb; istihālah; jawāz), seolah-olah objeknya yang ditunjuknya hanya sebuah putusan intelektual yang mungkin tidak memiliki realitas yang berhubungan dalam eksistensi di luar pikiran. Kita maksudkan dengannya juga dalam pengertian ontologis, dan niscaya dalam pengertian yang menyentuh kepada dua jenis realitas, yang satu tergantung kepada yang lain untuk eksistensinya. Dalam kasus yang pertama hal itu menyentuh pada realitas yang eksistensinya itu niscaya oleh dirinya sendiri, seperti Eksistensi Absolut yang diidentifikasi dengan ungkapan Qur’ān sebagai Kebenaran (al-haqq). Hal itu merupakan realitas yang eksistensinya tidak didahului oleh non-eksistensi; hal itu merupakan swa-berada dengan sebab esensinya sendiri (qā’im bi nafsih) dan deskripsi ini menunjuk pada Nama Ilahiyah al-qayyūm. Dalam kasus kedua hal itu menyentuh kepada realitas yang eksistensinya itu niscaya oleh selain dirinya, seperti eksistensi konkret dunia halhal empiris, yang eksistensinya didahului oleh non-eksistensi, dan dibuat niscaya oleh eksistensi dari Eksistensi Absolut. Eksistensi dalam kasus pertama tinggal dari dan pada semua keabadian, sedangkan eksistensi dalam kasus kedua adalah non-abadi. Lihat lebih lanjut karya ibn Sinā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, dengan komentar oleh Nasīr alDīn al-Tūsī, ed. Sulaymān Dunyā, 4 pts. Dalam 3V., Cairo, 1958 (2nd. Ed. 1971), vol. 3, hlm. 19; juga Dānish Nāma-i ‘Alā’ī (The Metaphysica of Avicenna), trans, dan komentar Parvis Morewedge, New York, 1973, hlm 4748; 316; bab. 24 dan 25); al-Ghazāli, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Khwājah Zādah, Cairo, 1321, hlm. 19; al-Rāzī, Lawāmi’ al-Bayyināt Sharh Asmā’ Allāh wa al-Sifāt, ed. Taha ‘Abd al-Ra’ūf Sa’d, Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyyah, Cairo, 1400/1980, hlm. 356. 305 Pada sifat-dasar dari realitas, lihat bab VI, hlm. 253-254, dan hlm. 265. 185 Prolegomena tersebut menyentuh kepada dunia tidak terlihat atau dunia terlihat, karena tanpa bentukmanifestasi mereka realitas-realitas tersebut tidak akan pernah mampu mengaktualisasikan sifatdasar positif mereka.306 Realitas Nama-Nama dan Sifat-Sifat hanya menjadi positif dengan diaktualisasikan dalam bentuk-manifestasi mereka. Aktualisasi ini diakibatkan oleh swapengungkapan (tung. tajallī), determinasi dan individuasi (tung. ta’ayyun) dari Eksistensi Absolut dalam diri mereka (cth. dalam bentuk mereka). Karena setiap realitas tersebut itu terpilah satu sama lain, dan masing-masing mereka mengandung semua kondisi masa depannya untuk dimanifestasikan dalam tatanan sekuensial, maka swa-pengungkapan-Nya pada mereka tidak pernah diulangi dalam bentuk yang sama. Manifestasi lanjutan dari Eksistensi Absolut ini dalam derajat-derajat lebih rendah akan tingkatan ontologis berlangsung dengan pancaran lain dari eksistensi-Nya yang disebut pancaran suci (al-fayd al-muqaddas). Dengan demikian kita telah jauh meringkas dalam ringkasan tentang tingkatan ontologis dari yang pertama kepada determinasi ketiga dari Eksistensi Absolut, yang berhubungan dengan derajat kedua, ketiga, dan keempat dari eksistensi. Hal tersebut adalah derajat-derajat dari Kesatuan, dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat, dan dari Arketip Permanen. Masing-masing derajat tersebut, seperti yang pertama kali mendahului mereka, adalah dikarakteristikkan dengan memiliki aspek interioritas dan eksterioritas. Pada tahap aspek eksterior dari derajat keempatlah, yakni arketip, pancaran suci tersebut berlangsung. Diagram berikut menyertai secara sekuensial dengan yang ditunjukkan pada halaman 274 di atas: Pancaran Paling Suci Interior Kesatuan Ilahiyah Derajat ke-2 Determinasi ke-1 Eksterior Interior Nama-Nama & Sifat-Sifat Derajat ke-3 Determinasi ke-2 Eksterior Interior Arketip-Arketip Permanen Derajat ke-4 Determinasi ke-3 Eksterior Pancaran Suci Isi pancaran suci dari eksistensi ini pada tahap aspek eksterior dari arketip, dan dalam hubungan dengan aspek interior, adalah penerima pasif dari semua potensialitas inheren dalam arketiparketip permanen, yang kondisi masa depannya secara bertalian diaktualisasikan melalui perantara aspek eksterior dari arketip-arketip (al-a’yān al-khārijiyyah). Karena aspek interior dari arketip-arketip permanen merupakan penentu aktif semua maujud yang mungkin dalam hubungan dengan apa yang merupakan akibat bagi mereka, aspek eksterior yang berhubungan 306 Beberapa realitas memiliki sifat-dasar negatif; mereka tidak memiliki bentuk-manifestasi yang dapat mengaktualisasikan mereka ke dalam eksistensi eksternal. Lihat bab VI, hlm. 258-259. 186 Prolegomena dari arketip-arketip, yang merupakan penerima pasif dari apa yang mendahului mereka, mengandung manifestasi pasif, kontingen, makhlukiyah dari Eksistensi Absolut. Namun, dalam hubungan dengan apa yang merupakan akibat bagi mereka, aspek eksterior dari arketip-arketip adalah pengembang aktif dari aktualisasi terhadap potensialitas inheren dalam arketip permanen berdasarkan kebutuhan semua kondisi masa depan mereka, dimana masing-masing aktualisasi menyertai yang lain dalam tatanan yang bertalian sehingga masing-masing merupakan sesuatu yang serupa, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dari yang sebelumnya. 307 Tingkatan ini menandakan determinasi keempat Eksistensi Absolut, yang berhubungan dengan determinasi kelima dari eksistensi. Derajat keenam dan yang terakhir dari eksistensi ini adalah tingkatan determinasi kelima dari Eksistensi Absolut. Hal tersebut merupakan manifestasi dalam rincian dari derajat sebelumnya dan merupakan alam dunia empiris, dunia indera dan pengalaman inderawi di mana di dalamnya kontingensi (imkān) merupakan kondisi yang tidak berubah.308 Diagram di bawah berikut menyertai secara sekuensial pada yang di halaman 279 di atas. Pancaran Suci Interior Arketip-Arketip Eksterior Derajat ke-5 Determinasi ke-4 Eksterior Interior Dunia Empiris Derajat ke-6 Determinasi ke-5 Eksterior Kita katakan sebelumnya bahwa Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah membutuhkan dalam realitas-realitas mereka untuk diwujudkan dalam bentuk-manifestasi mereka (mazāhir, tung: mazhar).309 Dari sudut pandang linguistik mazhar berarti ‘lokus manifestasi’, bukan suatu hal yang termanifestasi; mazhar seperti sebuah cermin yang merupakan lokus dari citra, bukan pemilik citra. Dengan demikian hal yang termanifestasi tidak terkandung dalam lokus manifestasi. Dari sudut pandang metafisis mazhar menunjuk pada bentuk (sūrah) sesuatu, apakah itu dalam alam intelijibel atau inderawi dari eksistensi. Yang intelijibel dan inderawi menujuk kepada alam arketip-arketip permanen dan arketip eksterior secara berturut-turut. Dalam pengertian ini, dan dengan referensi kepada bentuk dari dunia intelijibel, arketip-arketip permanen merupakan bentuk-manifestasi di mana direfleksikan kesempurnaan esensial dari Realitas Tertinggi yang sedang diproyeksikan oleh pancaran paling suci dari eksistensi dalam swa-pengungkapan-Nya yang pertama (tajallī dhātī). Kesempurnaan esensial tersebut adalah terliputi dalam Nama-Nama-Nya, yang refleksinya nampak sebagai ‘citra-citra’ dalam bentuk dari arketip-arketip permanen. Demikian juga, arketip-arketip eksterior merupakan bentukmanifestasi dari arketip-arketip interior, yang melaluinya hal tersebut lebih lanjut diproyeksikan, dengan pancaran suci dari eksistensi dalam swa-pengungkapan-Nya yang kedua (tajallī shuhūdi), seiring itu hal lain muncul dari bentuk-bentuk dari Nama-Nama-Nya. Pengaruh niscaya mereka menjadi dunia yang terlihat. Sama seperti dua jenis bentuk-manifestasi yang berhubungan dengan 307 Lihat bab VI, hlm. 254-255. Lihat juga karya Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 29-30, dan teks bahasa Persia pada hlm. 3031. pada ‘kontingensi’, lihat elaborasi terhadap maknanya dalam interpretasi kita tentang majāz, di bawah, hlm. 292-295. 309 Lihat di atas, hlm. 278-279. 308 187 Prolegomena dua bentuk manifestasi-diri-Nya,310 maka mereka juga berhubungan, dalam perkembangan eksistensial mereka, dengan akibat yang disebabkan Nama-Nama prinsip-Nya ‘Yang Interior’ (albātin) dan ‘Yang Eksterior’ (al-zāhir), ‘Yang Pertama’ (al-awwal) dan ‘Yang Terakhir’ (al-akhir).311 Pada analogi cermin, kita lihat bahwa apa yang menjadi termanifestasi dalam lokus manifestasi (mazhar) adalah bentuk, bukan esensi atau hal itu sendiri. Namun, kasus dari Eksistensi Absolut adalah berbeda dalam semua itu yang manifestasinya itu identik dengan loci dimana mereka dimanifestasikan, dan dalam semua loci tersebut, Dia dimanifestasikan dalam Esensi-Nya sendiri.312 Di sini mazhar bukanlah sebuah lokus terpisah yang nyata dalam kesatuan (ittihād), seperti dikatakan, dengan Eksistensi Absolut yang dimanifestasikan olehnya; maupun Eksistensi Absolut itu imanen (hulūl) di dalamnya, karena mazhar itu tidak pada dirinya sendiri berada secara terpisah terhadap-Nya menjadi dalam kesatuan dengannya, atau menjadi imanen dalamnya. Mazhar dalam dirinya sendiri merupakan sesuatu dalam kondisi interior Being (cth. bātin); mazhar itu secara esensial non-maujud (ma’dūm bi al-dhāt). Jadi mazhar itu pada kenyataannya merupakan kualitas dari ‘menjadi-terwujud’ (zuhūr), mazhar bukanlah sebuah ‘panggung’ atau ‘tempat’ manifestasi yang nyata dan terpisah. Kini proses menjadi termanifestasi (izhār) dari suatu hal adalah proses menjadi terpilah dari yang lain, atau menjadi diferensia. Seperti kita telah katakan sebelumnya dengan referensi kepada realitas-realitas, hal tersebut berkaitan dengan bagian esensial dari keterpilahan inheren dalam masing-masing Sifat Ilahiyah sehingga sebuah realitas dari sekian realitas tak terhingga dari Nama-Nama Ilahiyah menjadi temanifestasi. Maka mazhar itu, disusun oleh Sifat-Sifat Ilahiyah.313 Dalam cara yang sama bahwa sifat itu identik dengan Esensi dalam realitas, tetapi ditambahkan padanya dalam pikiran,314 maka mazhar itu disusun oleh Sifat-Sifat pada kenyataan juga disusun oleh Esensi dalam hal tertentu, yang biasanya menunjuk di sini sebagai Kebenaran (al-haqq), dengan cara ini Kebenaran juga, sebagai Eksistensi Absolut, yang menyusun modus-modus eksistensi-Nya, karena modus-modus yang tidak memiliki eksistensi terpisah dan independen melihat bahwa Dia merupakan eksistensi sejati mereka dan esensi-esensi sejati mereka. Kebenaran, dalam sebab dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang tak terhingga, melihat diri-Nya meskipun dalam cermin yang berbeda dan tak terhingga, dimana masing-masing merefleksikan sebuah aspek yang berbeda dari Being-Nya, dan dengan demikian menghasilkan sebuah citra multiplisitas yang sangat banyak tanpa mengurangi Keesaan absolut dari Being-Nya.315 Referensi kita kepada ‘aspeknya yang berbeda dari Being-Nya’ sebagai analog dengan banyaknya cermin dengan potensialitas mereka yang berbeda merupakan sebuah kiasan kepada esensi-esensi sejati dan individual dari dunia interior dan intelijibel dari arketip-arketip, darimana mereka diproyeksikan dan dikembangkan dalam arketip eksterior dan inderawi menjadi dunia hal-hal konkret. Kini, dalam kasus cermin, bentuklah, bukan esensi dari yang melihat, yang direfleksikan; tetapi dalam kasus akan mazhar dari Kebenaran, diri-Nya sendiri merupakan bentuk-manifestasi dengan mana dia dimanifestasikan dalam Esensi-Nya sendiri — Dia adalah diri-Nya sendiri, seperti dikatakan, sekaligus cermin dan wajah. Kebenaran nampak dalam masing-masing dan esensi invidual tersebut berdasarkan sifat-dasar esensi tersebut, 310 Cth. manifestasi dalam alam yang tak terlihat dari Esensi (tajallī dhātī); dan manifestasi dalam dunia terlihat dari entitas-entitas eksistensial konkret (tajallī shuhūdi, atau tajallī wujūdī). 311 Lihat bab VI, hlm. 259-264. 312 Lawā’ih, op.cit. hlm. 36. dengan ‘loci’ dimaksud arketip-arketip permanen. 313 Realitas atau esensi-esensi yang berada dalam pikiran Tuhan (cth. arketip yang mungkin dan permanen) itu pada kenyataannya merupakan Sifat-Sifat Tuhan (contohnya pengetahuan, kehendak, kekuasaan, dll.) dan Nama-Nama (contohnya mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll). Meskipun Sifat-Sifat bukanlah maujud dalam pengertian konkret, mereka meskipun demikian berada dalam kesadaran Ilahiyah sebagai realitas dan subjektif bagi-Nya, sementara NamaNama menjadi modus-modus eksistensi. 314 Kita tidak memaksudkan, dengan ungkapan: ‘ditambahkan padanya dalam pikiran’, apa yang filsuf mengerti dengan ungkapan yang sama yang juga mereka gunakan. Untuk penjelasan dari ini lihat di bawah, hlm. 310-312. 315 Lihat karya Jāmī, Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 10-11: 24. 188 Prolegomena sehingga sementara benarlah Dia dimanifestasikan oleh esensi tersebut, namun esensi tersebut, dengan sebab potensialitas inherennya, membatasi Kebenaran tersebut berdasarkan sifatdasarnya sendiri.316 Jadi masing-masing dan setiap bentuk-manifestasi adalah Kebenaran tersebut sebagaimana dimanifestasikan berdasarkan bentuk tersebut, bukan Kebenaran sebagaimana Dia ada dalam keabsolutan-Nya. Dengan demikian, sementara Kebenaran itu identik dengan bentukmanifestasinya yang terakhir itu tidak identik dengan-Nya, karena tidak dapat dikatakan bahwa secara absolut tidak ada perbedaan apapun dalam kondisi ontologis akan Kebenaran dan individuasi majemuk-Nya dan banyak. Terdapat, yang pertama, pemilahan dari prioritas dan posterioritas esensial antara Kebenaran dan manifestasi dan individuasi-Nya. Keberadaan-Nya sebagai Kebenaran dalam keabsolutan-Nya itu mendahului bagi keberadaan-Nya sebagai manifestasi dan individuasi-Nya, dan dengan demikian eksistensi pada kenyataannya menyentuh kepada apa yang lebih dahulu. Kedua, ada pemilahan tentang keabsolutan dan keterbatasan di antara mereka secara berturut-turut.317 Demikian juga, pemilahan antara mazhar interior dan intelijibel dan mazhar eksterior dan inderawi ada dalam pengertian yang terdahulu sebagai absolut (mutlāq) dan yang kemudian terbatas (muqayyad), dan tentu juga dalam pengertian hubungan prioritas-posterioritas sebagaimana telah kita gambarkan dalam kasus tashkīk.318 Sehingga Kebenaran itu diungkapkan dalam eksistensi yang termanifestasikan, dan bentukmanifestasi-Nya yang mengungkapkan-Nya merupakan kualitas-kualitas-Nya. Dikatakan dalam cara lain, Dia adalah ‘substansi’ Yang Satu (‘ayn wāhid), dimana bentuk-manifestasinya itu merupakan ‘aksiden’ yang aksesoris bagi-Nya. Diambil dalam hubungan dengan Sumber mereka, mereka telah merefleksikan kepada mereka cahaya dari eksistensi. Metafora cahaya membawa kepada pikiran penyertaan tentang bayangan. Bahwa yang ‘selain’ dari Tuhan dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, dengan mana yang berarti adalah dunia hal-hal ciptaan, ada dalam hubungan dengan Tuhan yang analogis dengan bayangan dalam hubungan dengan seseorang, sehingga dalam pengertian ini dunia tersebut adalah seperti dikatakan adalah bayangan Tuhan.319 Karena untuk adanya bayangan harus ada tiga hal: seseorang yang menuangkan bayangan; tempat atau lokus dimana bayangan dibuat; dan cahaya dimana bayangan tercipta. Seseorang di sini menyimbolkan Kebenaran; tempat atau lokus menyimbolkan esensi-esensi yang mungkin (al-a’yān al-mumkināt) atau arketip-arketip permanen (al-a’yān al-thābiţah); dan cahaya menyimbolkan Nama Ilahiyah ‘Yang Termanifestasi’ (al-zāhir).320 Cahaya, sebagaimana dikatakan al-Ghazāli,321 dengan dirinya sendiri terlihat dan membuat hal yang lain menjadi terlihat. Tentu saja, Tuhan merupakan Cahaya Sejati, Sumber semua tahapan cahaya yang, dalam hubungan dengan Cahaya-Nya, merupakan metaforis dalam alam.322 Nama Ilahiyah ‘Cahaya’ (al-nūr) pada kenyataannya menunjuk kepada Nama Ilahiyah ‘yang termanifestasi’, karena seperti cahaya Tuhan itu dengan diri-Nya sendiri termanifestasi dan membawa yang lain ke dalam manifestasi (al-zāhir fi nafsihi al-muzhir li ghayrihi)323. Kini ‘yang lain’ yang dibawa ke dalam manifestasi adalah esensi-esensi yang mungkin (mumkināt) yang dalam diri mereka sendiri hanya merupakan potensialitas yang tidak memiliki 316 Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 30-31: 58. Sharh Fusūs, hlm. 141. 318 Bab VI, hlm. 245-246. 319 Fusūs al-Hikam, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī, Cairo, 1365/1946, 2 bagian diikat dalam 1, pt. 1, hlm. 101. 320 Sharh Fusūs, hlm. 138. 321 Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī, Dār al-Qawmiyyah li al-Tibā’ah wa al-Nashr, Cairo, 1383/1964, hlm. 4-5. 322 Ibid, hlm. 16-18; pada pelbagai tahapan dari cahaya lihat hlm. 4-16. 323 Lihat karya al-Ghazāli, Al-Maqsad al-Asnā fi sharh ma’ānī Asmā’ Allāh al-Husnā, ed. Fadlou Shehadi, Dār alMashriq, Beirut, 1971, hlm. 157; komentarnya pada Nama Ilahiyah al-nūr (hlm. 157-158); juga komentarnya pada Nama Ilahiyah al-zāhir al-bātin, hlm. 147-150, Sharh Fusūs, hlm. 133. juga karya al-Rāzī pada Nama-Nama dalam Lawāmi’ al-Bayyināt sharh Asmā’ Allāh wa al-Shifāt, hlm. 18-26; 347. 317 189 Prolegomena eksistensi aktual, dan dimana secara esensial dalam kegelapan non-eksistensi (zulmah ‘adamiyyah), tetapi yang meskipun demikian dibangun sebagai intelijibel dalam pengetahuan Ilahiyah.324 Istilah ‘kegelapan’ (zulmah) menyebut kepada sifat-dasar bayangan, karena semua bayangan itu gelap dan tidak ada yang lebih gelap dari kegelapan non-eksistensi. Hanya seperti dalam kasus bayangan fenomenal, jika tidak ada cahaya yang menyinarinya dan tidak ada tempat untuk mencetaknya, bayangan itu akan tetap dalam non-eksistensi; bayangan akan tetap sebuah potensialitas inheren dalam being atau hal yang fenomenal dan tidak akan pernah muncul ke dalam aktualitas. Jadi dengan cara yang sama, esensi-esensi yang mungkin dalam kegelapan noneksistensi, yang dalam kasus ini juga berarti keberadaan mereka yang dibungkus dalam misteri, merupakan potensialitas yang dibangun dalam kesadaran Ilahiyah. Mereka merupakan kesempurnaan esensial (kamalāt dhātiyyah) yang menyusun Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Hanya ketika cahaya Esensi-Nya diproyeksikan kepada mereka maka bayangan yang mereka cetak menyusun arketip-arketip permanen, sehingga arketip-arketip tersebut menampilkan ‘tempat’ atau bentuk-manifestasi (mazhar) dari bayangan Esensi. Kemudian melalui arketiparketip permanen tersebut cahaya esensial lebih lanjut diproyeksikan kepada kekuatan yang inheren dalam sifat-dasar mereka (ahkām), pengaruh niscaya mereka (lāwazim) dan kecocokan (tawābi’) yang menuangkan sebagai akibat mereka (athār) terhadap bayangan kedua yang kita sebut dunia. Bayangan Esensi tersebut disebut ‘cahaya relatif’ (nūr idāfi).325 Kini esensi-esensi yang mungkin dalam diri mereka sendiri tidak bercahaya sebab mereka tidak memiliki being. Tanpa cahaya esensial, esensi-esensi yang mungkin tidak menjadi esensi-esensi.326 Ketika Esensi tersebut memanifestasikan dirinya sendiri dalam esensi-esensi yang mungkin bayangannya menjadi termanifestasi. Esensi-esensi yang mungkin adalah seperti kaca transparan, sehingga bayangan Esensi yang diproyeksikan melalui mereka mengambil sifat-dasar-cahayanya. Hanya ketika bayangan cahaya ini lebih lanjut diproyeksikan kepada arketip-arketip eksterior (al-a’yān alkhārijiyyah) untuk nampak sebagai dunia hal itu membutuhkan pewarnaannya yang gelap berkaitan dengan ‘jarak’ dari Sumber Cahaya. Cahaya itu sendiri murni dan tidak berwarna, tetapi menjadi diwarnai oleh warna dari kaca yang melaluinya bersinar.327 Inilah mengapa bayangan pertama di sebut ‘cahaya relatif’, yang merupakan nama lain dari ‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfi), karena dalam terminologi dari metafisikawan Sūfī cahaya itu identik dengan eksistensi.328 Dengan demikian dunia disebut ‘bayangan’ untuk dua alasan utama yang mendemonstrasikan sifat-dasar analogis realitas mereka, yakni: (1) bayangan tidak memiliki realitas independen; pergerakannya berkaitan dengan pemiliknya dan tidak memiliki keampuhan untuk membawa ke dalam eksistensi atau menyebabkan non-eksistensi; bayangan itu secara esensial adalah non-eksistensi, karena esensi sejatinya bukan dirinya sendiri tetapi pemiliknya; (2) realitas bayangan itu adalah kekurangan eksistensial akan cahaya; hal itu tidak memiliki eksistensi yang mendahului yang padanya seseorang dapat menunjuknya sebagai realitasnya selain kemungkinan belaka, dan hal itu datang ke dalam eksistensi berkaitan dengan cahaya yang mencetaknya. Maka, realitasnya, adalah yang lain dari dirinya sendiri. Jelaslah dari apa yang telah kita jelaskan bahwa terdapat dua aspek bayangan dari Realitas Tertinggi: yang pertama adalah bayangan esensial yang termanifestasi kepada-Nya sebagaimana 324 Fusūs, hlm. 101-102. Lihat al-Qāshānī, Sharh Fusūs, hlm. 144; Fusūs, hlm. 104. 326 Tolong catat bahwa hubungan intelek manusia dengan imajinasi rasional, dan Kecerdasan Aktif dengan jiwa manusia, ada dalam hal tertentu analogis dengan hal ini. Lihat lebih lanjut bab IV, hlm. 157; 164-165. 327 Fusūs, hlm. 102-103 328 Lihat Mishkāt, hlm. 55; Maqsad, hlm. 157; Fusūs, hlm. 102. Eksistensi realitas (wujūd idāfi) adalah identik dengan ‘napas Yang Maha Penyayang’ (nafas al-rahmān). Lihat juga karya Kashshāf Istilāhat al-Funūn dari al-Tahānawī, Khayyar, Beirut, 1966, 6v., 1V, hlm. 938 di bawah judul al-zill. 325 190 Prolegomena Dia mengungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri, dan ini berhubungan dengan swamanifestasi dari Realitas Tertinggi dengan Esensi-Nya sendiri (tajallī dhāti). Bayangan itu diproyeksikan kepada arketip interior (al-a’yān al-thābiţat) yang merupakan bentuk Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Proyeksi ini berhubungan dengan pancaran pertama cahaya-Nya, yang merupakan pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas). Swa-pengungkapan (tajallīyat) dan swadeterminasi (ta’ayyunāt) dari Eksistensi Absolut disini adalah dari sebuah sifat-dasar interior yang subjektif bagi-Nya, dan mereka menunjuk kepada tataran ontologis dari determinasi pertama dan kedua secara berturut-turut. Aspek dari bayangan Eksistensi Absolut ini secara beragam disebut ‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī), ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘amm), dan ‘napas Yang Maha Penyayang’ (nafas al-rahman) dalam derajat Keesaan esensial (al-wahdah) dalam tataran ontologis determinasi pertama; dan hal tersebut disebut bayangan pertama, dan arketip-arketip permanen (al-a’yān al-thābiţah) dalam derajat Kesatuan (al-wahidiyyah) dalam tataran ontologis determinasi kedua. Aspek kedua bayangan dari Eksistensi Absolut adalah apa yang disebut bayangan eksterior, yang merupakan mazhar atau bentuk-manifestasi dari determinasi kedua. Bayangan ini merupakan sebuah refleksi dari bayangan pertama sebagaimana diproyeksikan dalam bentuk dari arketip-arketip interior, dan berhubungan dengan pancaran kedua cahaya-Nya, yang merupakan pancaran suci (al-fayd al-muqaddas), dan pada swa-pengungkapan dari Eksistensi Absolut sebagaimana Dia selalu mendeterminasi diri-Nya sendiri menjadi bentuk-bentuk yang lebih konkret dalam keanekaragaman dan multiplisitas melalui arketip-arketip eksterior (al-a’yān alkhārijiyyah) hingga akhirnya hal itu mengandaikan bentuk-bentuk dari dunia yang terlihat (tajallī shuhūdī atau tajallī wujūdī). Bayangan kedua ini, sebagai bayangan yang direfleksikan oleh yang pertama, adalah secara beragam disebut Intelek Pertama (al-’aql al-awwal), Dunia Ruh (‘alām alarwāh), Manusia Sempurna (al-insān al-kāmil) dan yang ‘lain’ dari Tuhan (mā siwa Allāh). Kita telah menguraikan secara ringkas dalam halaman-halaman di depan enam derajat eksistensi dalam tatanan yang menurun dari yang tertinggi ke yang terendah. Haruslah selalu dijaga dalam pikiran, ketika kita berbicara ‘penurunan’ Realitas Tertinggi dari derajat keabsolutan murni dan persembunyian penuh kepada manifestasi tersebut dalam derajat-derajat yang lebih rendah akan tingkatan ontologis, bahwa tidak ada sekuensi temporal yang terlibat, tidak ada jarak yang dapat diukur dalam pengertian waktu antara yang tertinggi dan yang terendah sebagaimana mungkin disarankan pikiran. Waktu seperti kita ketahui hanya muncul bersama dengan dunia empiris indera dan pengalaman inderawi. Proses determinasi penciptaan secara keseluruhan yang terlibat dalam pelbagai derajat muncul sekaligus dan secara sinambung, karena aspek swamanifestasi Realitas Tertinggi secara terus menerus terlibat dalam swa-pengungkapan dan individuasi dalam samaran yang berbeda dalam derajat yang berbeda dan dalam gradasi pada tingkatan ontologis yang berbeda, sementara itu selalu tetap sebagaimana Dia sebelumnya, memelihara Keesaan absolut dan kemurnian-Nya. Dengan demikian kendati perkembangan-Nya dalam modus ontologis yang berbeda dari eksistensi-Nya, yang merupakan modus akan dikondisikan, pertama oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’); kemudian oleh indeterminasi tetapi bebas berhubungan dengan sesuatu (lā bi shart shay’); kemudian dengan sebagai sesuatu (bi shart shay’), eksistensi-Nya itu sendiri adalah bebas dari dikondisikan oleh pembagian sebagai eksistensi absolut di satu pihak dan eksistensi relatif di pihak lain, bahkan ketika Dia ada dalam inti Esensi-Nya dan sumber pembagian tersebut. Dengan cara analogi, dan meminjam perumpamaan al-Ghazāli pada pelbagai tahapan cahaya (Mishkāt, hlm. 53), perumpamaan ekspansi eksistensi dalam tahap yang ambigu dalam pelbagai tingkatan ontologis dapat ditangkap oleh seseorang yang melihat cahaya bulan yang bersinar melalui jendela sebuah rumah, jatuh pada cermin di dinding, yang merefleksikan cahaya tersebut kepada dinding lain yang berhadapan dengannya, kemudian yang pada gilirannya merefleksikan kepada lantai yang 191 Prolegomena menjadi tercerahkan oleh cahaya. Di sini kita memiliki empat tahapan cahaya dari yang terendah ke yang tertinggi: cahaya di lantai adalah akibat dari apa yang ada di dinding; cahaya pada dinding merupakan cahaya yang direfleksikan dalam cermin; cahaya dalam cermin bersinar dari pancaran bulan; cahaya yang memancar dari bulan datang dari pancaran matahari yang tersembunyi. Modus eksistensi dapat diringkas menjadi empat tahap: (I) (II) (III) (IV) 192 Tahap inti Esensi itu sendiri dari Realitas Tertinggi, yang merupakan Eksistensi sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, dibebaskan dari semua kondisi, termasuk dari ketidakkondisian, dan semua hubungan. Secara teologis, ini merupakan tahap akan Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri, yang dibungkus dalam persembunyian sepenuhnya yang tetap secara abadi tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-Nya sendiri. Tahap ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘amm), yang merupakan Eksistensi absolut yang diidentifikasi ungkapan Qur’āni sebagai Kebenaran. Tahap ini merupakan tahap dari Tuhan dalam aspek swa-pengungkapan-Nya, yang merupakan aspek eksterior dari (I) di atas. Hal itu meliputi derajat kedua eksistensi sebagaimana hal itu mengembang dan membentangkan dirinya dalam manifestasi awal melalui perantara pancaran paling suci pada determinasi pertama, yang mengandung di dalamnya dirinya manifestasi akan bentuk-bentuk yang berlawanan satu sama lain dari semua maujud yang mungkin dalam dunia yang tak terlihat maupun dunia yang terlihat. Manifestasi tersebut adalah manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiyah. Hal itu merupakan manifestasi Esensi pada dirinya sendiri (tajallī dhāti), yakni, yang subjektif bagi Tuhan, dimana kesempurnaan esensial-Nya (kamalāt dhātiyyah) dan kecenderungan (shu’ūn) menjadi termanifestasi bagi-Nya. Tahap ‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī), yang merupakan artikulasi lanjutan dari (II) di atas. Di sini Eksistensi Absolut dikondisikan oleh indeterminasi tetapi bebas untuk menghubungkan dirinya dengan sesuatu. Hal itu adalah tahap Keesaan yang sudah mengandung kemungkinan tak terhingga akan swakeanekaragaman; tahap dari Kesatuan dari Yang Banyak (wāhidiyyah), dimana di dalamnya Realitas Tertinggi dikualifikasikan dengan Nama-Nama dan SifatSifat yang bentuknya merupakan arketip-arketip permanen yang dibangun dalam kesadaran-Nya. Tahap ini meliputi tingkatan ontologis determinasi kedua dan ketiga yang berhubungan dengan derajat ketiga dan keempat dari eksistensi. Hal itu juga diidentifikasi sebagai tahap ‘eksistensi yang dibentangkan’ (wujūd munbasit) yang kadang-kadang juga disebut ‘napas Yang Maha Penyayang’ (nafas al-rahmān) dan ‘cahaya relatif’ (nūr idāfī). Metafora Cahaya (nūr), yang sering digunakan untuk menggambarkan tahap (II) di atas, di sini direfleksikan sebagai citra dalam cermin yang tak berhingga dan berbeda (cth. arketip-arketip permanen) yang pada gilirannya direfleksikan dalam cermin yang berhubungan dalam derajat-derajat lebih rendah akan tingkatan ontologis (cth. arketip-arketip eksterior). Ekspansi eksistensi dari tingkatan arketip-arketip permanen kepada arketip-arketip eksterior adalah diakibatkan melalui perantara pancaran kedua eksistensi, yakni pancaran suci. Tahap ‘eksistensi komprehensif’ (wujūd jami’), yang merupakan tahap dunia empiris, dunia indera dan pengalaman inderawi. Di sini realitas eksistensi dibagi menjadi entitas-entitas partikular dan individual, atau ke dalam modus Prolegomena majemuk beragam. Tahap ini meliputi determinasi keempat dan kelima dari Eksistensi Absolut yang berhubungan dengan derajat kelima dan keenam dari eksistensi. Status ontologis dari apa yang ‘lain’ dari Tuhan (mā siwa Allāh), yakni, baik pada dunia tak terlihat maupun yang terlihat, mengandung hubungan eksistensial yang muncul akan ‘peristiwa’ mereka dari ‘terhubung dengan’ pancaran eksistensi. Maka, eksistensi masing-masing hal sedemikian tidaklah sinambung dan sementara. Tentu saja eksistensinya adalah simultan dengan non-eksistensinya; dan pengenalan kita tentang sebagai memiliki sebuah ‘esensi’ dan sebagai ‘hal’ spesifik dan individual yang memiliki kesinambungan penampakan dalam eksistensi pada kenyataannya disifatkan pada kuiditasnya yang hanya ada dalam pikiran ketika pikiran tersebut mempertimbangkannya (cth. i’tibārī). Sifat-dasar ketidaksinambungannya berarti bahwa hal tersebut dalam masing-masing ‘saat-dari-dirinya-sendiri’ tidak memiliki eksistensi dalam pengertian sejati — yakni, dalam pengertian bahwa hal itu bertahan dalam suatu jenis durasi pada masing-masing saat-dari-dirinya-sendiri. Tapi pada faktanya bahwa hal itu tidak memiliki eksistensi sejati tidaklah bermakna bahwa hal itu merupakan sesuatu yang pura-pura. Tentu saja eksistensi yang sementara itu memiliki status ontologis, semakin demikian ketika yang serupa akan kesinambungan eksistensial dicapai oleh pembaharuan yang sinambung. Maka hal itu merupakan sesuatu yang non-abadi (muhdath), sesuatu yang baru, sesuatu yang baru, yang ada secara baru, untuk pertama kali, tidak ada sebelumnya, sesuatu yang diasalkan sekarang, sehingga hal itu ‘selalu-baru’. Pada masing-masing peristiwa pembaharuannya, hal itu tidak sama lagi dengan yang sebelumnya, tetapi merupakan sesuatu yang baru pada setiap penampakan dan ketidaknampakan dan penampakan ulangnya dalam sebuah proses yang abadi. Proses itu sendiri dapat digambarkan sebagai sama sepanjang proses itu, tetapi isi proses tersebut — yakni, dunia dimana proses terlibat dan dengan mana proses terlibat — tidaklah sama: setiap suatu hal pada masing-masing peristiwa yang bertalian dari pembaharuannya adalah serupa dengan yang lain sebelumnya, dan karena setiap manifestasi tunggal tersebut dalam prosesnya adalah baru, setiap manifestasi itu berbeda dari yang lain. Dalam cara ini, dan berkaitan dengan fakta bahwa semuanya terlibat dalam proses yang sinambung akan pembaharuan, tidak ada eksistensi sejati pada apapun selain hanya pada Tuhan. Dengan demikian hanya Aspek-Nya yang tetap.329 Proses penciptaan penghancuran dan pembaharuan melibatkan semua hal; bukan hanya semesta bersama dengan semua bagiannya, tetapi bahkan dunia ruh dan realitas arketip secara sinambung dihancurkan dan diperbaharui, secara sinambung nampak dan hilang. Tetapi ada sebuah pemilahan yang menentukan antara penghancuran dan pembaharuan, penampakan dan ketidaknampakan dari realitas-realitas (haqā’iq) dan dunia yang mereka proyeksikan. Sedangkan dalam kasus dunia tersebut mereka itu baru setiap saat, dan masing-masing dunia baru itu berbeda meskipun serupa dalam hubungan dengan yang sebelumnya sedemikian rupa sehingga dunia selalu binasa, realitas-realitas tersebut disusun ulang, dirumuskan ulang dan dibuat nampak kembali selalu dalam bentuk yang sama.330 Itulah mengapa mereka ditunjuk sebagai ‘tetap’ atau ‘permanen’ (thābiţah); hal itu hanya karena mereka dengan demikian secara permanen dibangun dalam kesadaran Ilahiyah sehingga mereka dapat menjadi intelijibel dalam pengetahuan Ilahiyah; dan hanya karena sifat-dasar permanen mereka dapat didefinisikan sebagai ‘realitas’, karena dalam hubungan dengan dunia yang mereka proyeksikan mereka itu lebih nyata daripada dunia. Dalam pengertian inilah realitas-realitas dapat dipertimbangkan sebagai ‘substansi’ dalam hubungan dengan dunia ‘aksiden’. Status 329 Qur’ān, Al-Qasas (28): 28. Ibn ‘Arabī, Fusūs al-Hikam, Cairo, 1946, vol. 1, hlm. 124. Lihat juga al-Qāshānī Sharh Fusūs, op.cit. hlm. 237; dan karya ibn ‘Arabī Futūhāt al-Makkiyah, Cairo, 1972, vol. 1, hlm. 204:290A. 330 193 Prolegomena ontologis yang ‘lain’ daripada Tuhan adalah peristiwa menjadi ‘terhubung-dengan’ Eksistensi Absolut; oleh karena itu eksistensi sejatinya itu merupakan peristiwa ‘sebagai-maujud’, peristiwa menjadi ‘terhubung-dengan’ eksistensi, berhubungan dengan tahap III di atas akan Eksistensi Absolut yang disebut ‘eksistensi relatif’, dan hal itu disebut ‘eksistensi metaforis’ (wujūd majāzi). Kini hawādith (jamak dari hādith) menunjuk ‘hal-hal yang diasalkan’; hal-hal yang baru, belum ada sebelumnya. Akar istilah ini (cth. hadatha) mengungkapkan pertentangan dari sesuatu yang lebih dahulu yang selalu ada (cth. qaduma), sehingga istilah tersebut dalam pengertian metafisis mengungkapkan pertentangan dari apa yang abadi (qaduma). Secara literal hawādith berarti ‘hal-hal yang diperbaharui’; sesuatu yang selalu-baru sedemikian dalam penampakan mereka sehingga eksistensi mereka diambil secara individual tidaklah sinambung. Eksistensi yang kita predikasikan terhadap mereka sebagai selalu-baru menunjuk kepada eksistensi temporal (zamānī) maupun eksistensi esensial mereka (dhātī); yakni, mereka memiliki permulaan dalam waktu dan esensi-esensi mereka tidak swa-berada. Jadi karena mereka itu selalu-baru secara temporal dan esensial, eksistensi individual mereka yang diambil secara kolektif sebagai sebuah rangkaian merupakan ‘peristiwa’ yang berlangsung dan berhenti untuk berlangsung. Kemudian pembaharuan mereka oleh yang serupa muncul dan diulangi secara terus menerus sehingga kita dapat melihat eksistensi mereka sebagai sebuah keseluruhan itu sinambung. Tentu saja, eksistensi pasti secara alamiah sinambung dalam keberadaannya; tetapi eksistensi dalam pengertian sejati tersebut hanya berada pada Realitas Tertinggi. Namun, dalam kasus sesuatu yang diasalkan, eksistensi mereka tidak sinambung meskipun kita menerima pertentangannya berkaitan dengan proses terus menerus akan pembaharuan yang serupa. Sehingga apa yang kita lihat pada kenyataannya adalah eksistensi ‘metaforis’ (wujūd majāzi). Sebuah analisis semantik tentang konsep majāz akan menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘metafora’ ketika digunakan kepada eksistensi sebagaimana di sini. Akar jāza menunjuk kepada sesuatu ‘yang diizinkan’, dan karenanya, dalam konteks metafisis atau teologis kepada suatu hal in potentia atau pada hal yang ‘mungkin’; dan kata benda bentuk dasar jawāz pada ‘kemungkinan’. Apa yang dimaksud dengan ‘diizinkan’ atau ‘mungkin’ di sini digambarkan dalam pikiran ketika suatu hal melewati dari satu tempat (e.g. sebuah jalan kecil, sebuah jalan) ke tempat lain (cth. sisi yang lain dari jalan kecil atau jalan) karena telah diizinkan atau mungkin bagi hal tersebut untuk mengaktualisasikan pelewatannya pada waktu yang spesifik. Kata benda partisipial aktif dari jāza: jā’iz, adalah keberlangsungan pelewatan aktual. Ketika kita memindahkan makna ini kepada konteks metafisis kita segera menerima gagasan bahwa suatu hal yang mungkin telah, berkaitan dengan hubungan penciptaan aktual oleh Tuhan yang diakibatkan oleh-Nya melalui Sifat-Sifat-Nya akan kekuasaan dan kehendak yang dikombinasikan, melewati tahap potensialitas ke tahap aktualitas: dari non-eksistensi, ke dalam eksistensi. Maka majāz menunjuk kepada penampakan kontingensi, atau keberlangsungan dari yang kontingen, yakni, dunia dari being kontingen. Aktualisasi dari apa yang sebelumnya potensial, meskipun hal itu merupakan sebuah aktualisasi, tidak berada dalam aktualisasinya; hal itu lalu lewat dari non-eksistensi ke dalam eksistensi dan kembali pada non-eksistensi. Pelewatan aktual yang berlangsung — yakni, aktualisasi — adalah apa yang diistilahkan sebagai jā’iz, sehingga ketika teolog menunjuk kepada jā’iz al-wujūd mereka memaksudkan secara tepat tentang jenis eksistensi sementara. Kini makna majāz sebagai metafora dibawa kepada pikiran ketika sesuatu melewati melampaui makna yang padanya hal itu secara asli digunakan, seperti contohnya, untuk memindahkan makna ‘singa’, yang asalnya digunakan untuk binatang buas, melampaui dari binatang kepada manusia, menyebut seseorang yang berani atau teguh hati sebagai seekor ‘singa’, karena dari analogi atau hubungan antara dua pengertian dari makna ‘singa’. Manusia pada 194 Prolegomena kenyataannya bukan singa, tetapi hanya seperti singa dalam keberanian dan keteguhan hati.331 Ketika kita memindahkan makna majāz sebagai metafora pada konteks metafisis, apa yang dimaksud dengannya adalah bahwa kita telah memindahkan makna eksistensi, yang secara asli digunakan pada sesuatu yang abadi dan swa-berada (cth. pada ‘eksistensi sejati’, wujūd haqīqī) melampaui kepada sesuatu yang non-abadi dan tergantung (cth. pada dunia hal-hal ciptaan), mempredikasikan dunia maujud sebagai ‘eksistensi’ karena analogi atau hubungan antara dua pengertian dari makna ‘eksistensi’. Dunia dalam dirinya sendiri tidak memiliki eksistensi sejati (cth. eksistensi abadi dan swa-berada), tetapi hal itu hanya nampak seolah-olah memiliki eksistensi karena penampakannya yang sinambung dalam eksistensi. Kita katakan ‘terlihat seolah-olah’ dan ‘nampak’ karena, seperti sudah dijelaskan, hubungan aktual Tuhan dengan dunia melalui Sifat-Sifat-Nya akan kekuatan dan kehendak yang dikombinasikan tidaklah sinambung, dan namun hal itu merupakan sebuah proses yang diulang secara sinambung dalam sebuah jenis yang terus berlangsung yang membolehkan pembaharuan dari yang serupa dalam hal-hal yang diciptakan, yang memberi mereka pengertian kesinambungan dalam eksistensi. Dengan demikian eksistensi dunia qua dunia adalah metaforis (wujūd majāzi), yang menciptakan dalam pikiran kita sebuah persamaan terhadap eksistensi sejati (wujūd haqīqī). Eksistensi metaforis merupakan sebuah bagian, kepemilikan, atau kondisi (milk) dari eksistensi sejati. Istilah milk dalam filsafat muslim adalah sepadan dengan salah satu dari Sepuluh Kategori Aristotelian (al-ma’qūlāt al-‘ashr),332 dimana secara khusus tentang kondisi (ēchein). Kondisi di sini menunjuk kepada sebuah kondisi eksistensi, sebuah kondisi eksistensi dalam kepemilikan akan modus tertentu dari berada. Namun, cara dimana teolog menggunakan istilah milk, adalah bahwa hal itu merupakan sebuah hubungan kepemilikan tubuh terhadap penutupnya ke seluruh bagian keluasannya, atau pada sebuah bagian darinya, seperti pakaian seseorang yang telah dipakai dan yang dibawa kemanapun dia pergi, dalam pertentangan dengan rumah yang seseorang punyai yang tidak dibawa seperti itu, dan yang tidak menutupi sepenuh waktu seperti layaknya pakaian. Dalam pengertian itu, ketika eksistensi metaforis dikatakan sebagai sebuah milk dari eksistensi sejati, maknanya adalah bahwa hal-hal kontingen yang datangmenjadi-eksistensi (kawn) merupakan sebuah bagian eksistensi sejati; dan bagian menunjuk kepada modus pelewatan akan eksistensi yang disebut mawjūdiyyah. Makna mawjūdiyyah di antara yang lain: (1) kondisi atau keadaan dari peristiwa (hālah); (2) datang-menjadi-eksistensi (kawn); (3) sebuah rangkaian dari datang-menjadi-eksistensi (akwān); (4) ke-‘ada’-an (kā’in/isness); (5) menjadimaujud (mawjūd). Hal itu juga berarti — dengan referensi kepada perspektif metafisikawan Sūfī dalam persoalan ini daripada filsuf dan teolog – determinasi, pembatasan, partikularisasi atau individuasi yang diaktualisasikan dari eksistensi sejati pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi. Kita telah mengatakan bahwa proses aktualisasi dari hal-hal yang mungkin adalah sinambung dari yang dirumuskan dalam sebuah rangkaian pembaharuan, sementara aktualisasi itu sendiri dari hal-hal tersebut itu tidak sinambung. Sehingga hal-hal yang diaktualisasikan itu — determinasi, pembatasan, partikularisasi dan individuasi dari eksistensi sejati — sepanjang waktu hilang dan digantikan secara sinambung oleh yang serupa dengan mereka memberi mereka dalam setiap bagiannya dan sebagai sebuah keseluruhan sebuah keserupaan dari eksistensi sejati. Ketika kita memandang hal-hal-pada-diri-mereka-sendiri pada peristiwa aktualisasi mereka pada waktu spesifik mereka, maka kita memandang peristiwa mereka akan ‘menjadi-maujud’, yang merupakan modus eksistensi; ketika kita memandang mereka dalam kesinambungan mereka dalam eksistensi dalam aspek pembaharuan sinambung yang serupa dengan mereka, maka kita 331 Lihat al-Fīrūzābādī, Al-Qāmūs al-Muhīt, Cairo, 1319AH. 4 vol., vol. 2, hlm. 176-177; lihat juga al-Tahānawī, Kashshāf Istilāhat al-Funūn, Beirut, 1966, 6 vol., vol. 1, hlm. 208-209; 213-217 dan di bawah al-majāz al-lughawī: isti’ārah, hlm. 214-217; al-Jurjānī dalam karyanya Ta’rīfāt, hlm. 20;214. 332 Lihat bab VI, hlm. 219, catatan 237. 195 Prolegomena memandang tindakan eksistensiasi dari eksistensi sejati, kondisi atau keadaan eksistensi sejati yang dirumuskan dalam pengertian hubungan niscaya dengan eksistensi metaforis. Hubungan niscaya ini adalah salah satu dari hubungan dan kepemilikan. Sementara hubungan niscaya dari keduanya itu saling menguntungkan, kepemilikan tersebut hanya pada sisi eksistensi sejati. Secara serupa, kendati hubungan yang saling menguntungkan dan niscaya, kebutuhan atau ketergantungan untuk eksistensi hanya ada pada sisi dari eksistensi metaforis. Dengan hal pada konsep milk eksistensi metaforis itu seperti pakaian dari eksistensi sejati. Kini dua pengertian dimana menjadi-maujud dimaksudkan itu mengungkapkan bahwa meskipun kata yang sama menandakan dua referensi, maknanya dalam masing-masing kasus tidaklah sama sebab dua referensinya tidak sama: yang satu menunjuk pada yang abadi, esensi swa-berada, yang lain pada esensi temporal, non-swa-berada. Dalam hal ini terbentang perbedaan dasar antara eksistensi sejati dan eksistensi metaforis. Tentu saja hal ini menyusun sebuah perbedaan sejati antara keduanya, dan perbedaan ini lebih lanjut ditekankan oleh kepemilikan yang digunakan pada sisi yang terdahulu dan yang memberikan eksistensi kepada yang kemudian, dan dengan ketergantungan pada sisi yang kemudian untuk eksistensi tersebut. Dengan demikian karena eksistensi itu, yang secara ekuivokal digunakan kepada Tuhan maupun kepada dunia, dipahami sebagai unsur umum dari mereka, sebuah perbedaan temporal maupun yang esensial harus digali antara eksistensi sejati dan eksistensi metaforis, yakni, antara Eksistensi Niscaya dan Eksistensi Kontingen atau antara Being Tuhan dan being dunia, jika tidak mereka akan secara niscaya identik, atau akan ada eksistensi lain yang menduplikasi eksistensi Tuhan, dimana keduanya itu mustahil. Posisi filsuf muslim (hukamā) dan teolog (mutakallimūn) dalam memandang sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan hal-hal, yakni, dengan realitas-realitas yang ada di dunia eksternal yang independen dari pikiran, adalah bahwa eksistensi merupakan konsep umum dan abstrak yang umum bagi semua eksistensi dalam pengertian yang umum dipahami sebagaimana dijelaskan pada awal bab ini.333 Berdasarkan perspektif mereka eksistensi bukanlah sesuatu yang ada secara objektif, tetapi hanya sesuatu yang dipostulasikan dalam pikiran ketika secara eksternal hal-hal maujud menjadi objek pikiran (cth. i’tibārī). Oleh karena itu eksistensi bagi mereka merupakan entitas konseptual yang padanya tidak ada apapun di dunia eksternal yang berhubungan; eksistensi merupakan sebuah intelijibel sekunder. Beberapa teolog awal di antara Ash’ariyyah dan Mu’tazilah mempertahankan bahwa eksistensi segala hal, termasuk eksistensi Tuhan, adalah identik dengan esensinya (dhāt) baik dalam pikiran dan dalam dunia eksternal yang independen dari pikiran. Mereka tidak memaksudkan dengan ‘identik’ (‘ayn) sebuah kombinasi dua entitas menjadi satu dan yang sama, sebagaimana mereka tidak mengenali pemilahan apapun antara eksistensi dan kuiditas atau esensi. Mereka memaksudkan dengan ‘identitas’ sebagai ‘ketidakterpilahan’, apakah dalam pikiran atau secara eksternal; yakni, bahwa eksistensi dan kuiditas atau esensi pada faktanya adalah hal yang satu dan sama yang dipandang kadang-kadang sebagai eksistensi dan kadangkadang sebagai kuiditas. Oleh karena itu, berdasarkan perspektif mereka, tidak ada dalam dunia eksternal sesuatu yang merupakan kuiditas, dan sesuatu yang lain berada di dalamnya yang merupakan eksistensi; melainkan, dalam dunia eksternal, dan dalam pikiran hanya ada ‘sesuatu’ yang sama yang dipandang secara berbeda pada waktu yang berbeda, kadang-kadang dinamakan dengan kata ‘eksistensi’, kadang-kadang dinamakan dengan kata ‘kuiditas’ atau ‘esensi’.334 Kita sudah mengangkat bahwa posisi yang disebutkan di atas dari teolog awal dalam memandang sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas tidaklah dapat dipertahankan.335 Namun, teolog yang kemudian, mengafirmasi sebuah pemilahan antara eksistensi dan kuiditas atau esensi 333 Lihat di atas hlm. 267. Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 2-3; par. 5 dan 6. 335 Lihat bab VI, hlm. 232 dan catatan 262. 334 196 Prolegomena dan mempertahankan bahwa eksistensi merupakan entitas konseptual yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang ditambahkan kepada objek maujud secara eksternal yang kuiditaskuiditasnya merupakan entitas sejati. Dalam ringkasan penjelasan kita kini akan posisi para teolog dalam memandang sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas, kita menunjuk di sini kepada teolog yang kemudian. Posisi para filsuf, sejauh itu pada perhatiannya terhadap eksistensi sebagai sebuah konsep tunggal, umum dan abstrak yang umum bagi semua eksistensi, adalah sama sebagaimana teolog; tetapi mereka berbeda dengan teolog berkaitan dengan eksistensi pada tingkatan realitas eksternal. Mereka mempertahankan bahwa pada tingkatan realitas eksternal eksistensi itu bukan sesuatu yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan kuiditas-kuiditas yang merupakan entitas maujud yang sejati sebagaimana dipertahankan teolog, tetapi bahwa terdapat multiplisitas yang nyata dari eksistensi, bukan melalui perbedaan spesifik, tetapi melalui diri mereka sendiri hal itu majemuk. Dengan demikian mereka eksistensi berbeda satu sama lain secara esensial, masing-masing sebagai sebuah entitas independen. Mereka itu realitas yang berbeda (haqā’iq mukhtalifah) yang ada dalam dunia eksternal yang independen dari pikiran, dan yang pikiran postulasikan sebagai bagian dari konsep umum dan abstrak dari eksistensi berkaitan dengan secara rasional dimultiplikasi dan dibagi sedemikian (cth. sebagai bagian) secara tunggal sebab pelekatan mereka yang dinyatakan kepada kuiditas-kuiditas yang merupakan lapisan-dasar mereka. Maka, pada kenyataannya, bagian dari eksistensi itu ditambahkan dalam pikiran kepada eksistensi dengan realitas yang berbeda dan oleh karena itu adalah eksternal bagi mereka.336 Eksistensi Tuhan, Eksistensi Niscaya, yang identik dengan esensi-Nya, adalah sesuatu dari realitas yang tidak sama tersebut.337 Posisi teolog dan filsuf sebagaimana diuraikan sejauh ini dapat ditampilkan dengan demikian: 1. Teolog (a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum bagi semua eksistensi; (b) Bagian dari (a) diindividuasi melalui penyifatan pada (c); (c) Kuiditas-kuiditas yang merupakan lapisan-dasar mereka. 2. Filsuf (a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum bagi semua eksistensi; (b) Bagian dari (a) diindividuasikan melalui penyifatan pada kuiditas-kuiditas (c); (d) Eksistensi parikular sebagai realitas yang tidak serupa. Dari intisari di depan tentang posisi teolog dari para filsuf dalam memandang sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas-kuiditas kita menurunkan tiga hal: (1) konsep umum dan abstrak tentang eksistensi yang umum bagi semua eksistensi; (2) bagiannya yang diindividuasikan melalui penyifatan kepada kuiditas-kuiditas; (3) eksistensi partikular yang merupakan realitas-realitas yang tidak sama. Eksistensi seperti dalam (1) di atas adalah esensial pada dan inheren dalam (2), tetapi baik (1) dan (2) adalah eksternal bagi (3). Eksistensi parikular itu identik dengan esensi dalam kasus Tuhan, Eksistensi Niscaya, tetapi ditambahkan dan eksternal dalam kasus segala hal yang lain.338 Dalam hal posisi teolog Ash’arī, mereka mempertahankan sebuah identitas utuh eksistensi dan esensi atau kuiditas pada semua tingkatan, yakni, pada tingkatan konseptual maupun pada tingkatan realitas eksternal. Pada teolog yang kemudian, mereka mempertimbangkan (a) dan (b) di atas sebagai konseptual, dan (c) sebagai 336 Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 2-4, par. 6. Lihat karya Jāmī Hawāshī pada Durrah, ibid; hlm. 54-55; par. 5 (1). 338 Al-Durrah, hlm. 3; par. 7. 337 197 Prolegomena yang nyata. Secara serupa, para filsuf mempertimbangkan (a) dan (b) sebagai konseptual, dan (c) dipertimbangkan sebagai nyata. Dengan hal posisi metafisikawan Sūfī (sūfiyyah), mereka mempertahankan bahwa sama seperti mungkinlah bagi konsep umum dan abstrak dari eksistensi (cth. (a) di atas) untuk ditambahkan dalam pikiran kepada Tuhan dan kepada semua eksistensi partikular dengan realitas-realitas yang berbeda (d), jugalah mungkin baginya untuk ditambahkan dalam pikiran kepada Realitas maujud yang tunggal dan absolut yang merupakan realitas dari Eksistensi Niscaya. Sedangkan konsep yang ditambahkan ini akan menjadi sesuatu yang ada dalam pikiran, lapisan-dasarnya dapat menjadi sebuah maujud ekstramental dan nyata yang merupakan realitas eksistensi.339 Posisi metafisikawan Sūfī dapat ditampilkan dengan demikian: (a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum bagi semua eksistensi; (b) Bagian dari (a) yang diindividuasikan melalui penyifatan pada (c) yang dipertimbangkan sebagai (d); (e) Eksistensi Absolut (wujūd mutlāq); (f) Eksistensi partikular (wujūdat khāssah) yang dipertimbangkan sebagai modus dari (e). Maka, bagi metafisikawan, eksistensi pada tingkatan dari (a), (b), (c) dan (d) adalah tidak lain dari entitas mental yang tidak memiliki hubungan eksistensi dengan tingkatan realitas eksternal. Hanya (e) dan (f) yang dipertimbangkan nyata. Dalam hal ini, sebuah terjemahan dalam karya Jāmī Naqd al-Nusūs membuat posisi mereka jelas: Eksistensi (al-wujūd), berdasarkan pada filsuf (al-hakim) dan teolog (al-mutakallim), adalah aksidental (‘arid)340 kepada kuiditas-kuiditas (al-māhiyyat) dan realitas-realitas (al-haqā’iq), dan kuiditas-kuiditas dan realitas-realitas merupakan lapisan-dasar (ma’rudat) bagi eksistensi. Tapi berdasarkan pada penguji (al-muhaqqiq)341 dan unitarian (al-muwahhid),342 eksistensi merupakan lapisan-dasar (ma’rud), sementara maujud yang ditentukan dan dibatasi (al-mawjūdāt al-muqayyadah) adalah aksidental baginya dengan sebab penyifatan (al-idāfah) dan hubungan (al-nisbah).343 Di antara mereka344 terdapat perbedaan yang besar (bawn ba’īd). Dalam pandangan tentang hal ini, teolog dan filsuf itu dipimpin kepada posisi bahwa Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlāq) tidak memiliki eksistensi eksternal (wujūd fi al-khārij), tetapi hanya memiliki eksistensi mental (wujūd dhihnī); hal itu merupakan sebuah entitas universal (amr kullī), sebuah konsep umum (‘amm) yang menjadi maujud dengan jalan ketunggalannya (afrād). Namun, yang mengetahui yang menguji (al-‘ārif al-muhaqqiq), memegang erat-erat posisi bahwa Eksistensi Absolut itu maujud (mawjūd),345 dan pada kenyataannya tidak ada eksistensi (wujūd aslān) dasar (cth. akar) lain selainnya, meskipun mungkinlah untuk mempostulasikan sedemikian hal (cth. sumber lain dari eksistensi) dalam pikiran (fil al-i’tibār). Hal yang aneh adalah bahwa filsuf dan teolog yang 339 Ibid., hlm. 3-4; par. 8. Yakni, terkandung dalam kuiditas-kuiditas dan realitas-realitas, atau nampak kepada mereka dari sisi luar. 341 Penguji tersebut merupakan seseorang yang membuktikan lewat demonstrasi. Dalam kasus ini merupakan seseorang yang menguji dengan jalan intuisi akan eksistensi melalui pengungkapan (kashf) dan pengalaman intuitif (dhawq). 342 Yakni, metafisikawan Sūfī dari mazhab kesatuan transendensi eksistensi (wahdat al-wujūd). 343 Maujud yang dibatasi atau dikondisikan adalah ‘kuiditas-kuiditas’ dan ‘realitas-realitas’ yang ada secara ekstra mental. kemenjadi-maujudan mereka itu berkaitan dengan sifat mereka dan hubungan dengan Eksistensi Absolut yang merupakan lapisan-dasar mereka, dan yang juga dikenal sebagai wujūd idāfī. 344 Teolog dan filsuf pada satu sisi, dan metafisikawan Sūfī dari sekolah wahdat al-wujūd di sisi lain. 345 Yakni, ada secara eksternal. 340 198 Prolegomena menggambarkan Eksistensi Absolut mengatakan bahwa hal tersebut merupakan lawan dari non-eksistensi absolut (‘adam mutlāq), dan bahwa hal itu adalah pembagi (al-muqassim) untuk semua maujud, dan bahwa hal itu merupakan kebaikan murni (khayr mahd), dan bahwa hal itu adalah tunggal (wāhid) tanpa lawan (didd) dan yang serupa (mathal), dan namun mereka mengatakan bahwa itu adalah non-maujud (ma’dūm) dalam dunia eksternal (fi al-khārij).346 Maka, metafisikawan Sūfī mempertahankan bahwa dalam tambahan kepada eksistensi pada tingkatan (a), (b), dan (c) yang dipertimbangkan sebagai (d), yang semuanya secara mental dipostulasikan, terdapat entitas lain yang karena asosiasinya dengan kuiditas-kuiditas ((c) dipertimbangkan sebagai (d)) dan mereka dipakaikan dengannya, eksistensi pada tingkatan (a) dan (b) datang ke dalam mereka. Entitas yang lain ini adalah realitas eksistensi.347 Hal tersebut adalah Eksistensi Absolut ((e) dalam halaman depan); dan eksistensi partikular (f), yang merupakan modus dan aspek dari Eksistensi Absolut itu, dalam kondisi aktual mereka, realitasrealitas yang berhubungan dengan (c) dan (d), atau (c) yang dipertimbangkan sebagai (d); sedangkan eksistensi sebagai intelijibel sekunder yang padanya tidak ada dalam dunia eksternal apa apa yang berhubungan adalah satu dari akibatnya. Seperti telah kita angkat sebelumnya,348 metafisikawan Sūfī mempertahankan bahwa terdapat tingkatan yang lebih tinggi dari eksistensi bahkan dari Eksistensi Absolut. Eksistensi Absolut itu, dalam skema ‘penurunan’ ontologis Realitas Tertinggi, sudah pada tingkatan determinasi pertama, sedangkan tingkatan yang lebih tinggi dari eksistensi kita menunjuk untuk menyentuh pada inti esensi dan realitas eksistensi itu sendiri pada tingkatan Esensi (al-dhāt). Tingkatan ini merupakan tingkatan eksistensi yang tidak dikondisikan oleh apapun, termasuk oleh ketidakkondisian; hal itu transenden dari dikondisikan bahkan oleh transendensi, sehingga hal itu merupakan indeterminasi murni yang absolut, dan akibatnya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kepada kognisi kita. Maka, posisi mereka sejauh sebagai realitas eksistensi yang didiskusikan, melibatkan empat hal: (1) Eksistensi sebagai non-dikondisikan secara absolut; (2) Eksistensi Absolut, yang merupakan sebuah determinasi dari (1) dan merupakan eksistensi dalam realitas; (3) determinasi dan individuasinya menjadi eksistensi partikular, yang merupakan modus dan aspeknya yang muncul dari tindakan dinamis dari Eksistensi Absolut; dan (4) sebuah konsep umum yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan kuiditas-kuiditas yang juga bersifat konseptual dalam alam. Yang terakhir ini tidak dapat diberlakukan kepada yang tiga sebelumnya. Sedangkan kebanyakan filsuf dan teolog berkutat pada posisi bahwa dunia ekstramental dari hal-hal konkret itu disusun dengan campuran esensi dan eksistensi, yang darinya dirumuskan hubungan mereka dengan metafisika substansi dan aksiden, metafisikawan tersebut, di sisi lain, mempertahankan kebalikan posisi ini: mereka memegang bahwa eksistensi itu satusatunya realitas, dan dunia hal-hal konkret bukanlah sebuah campuran esensi dan eksistensi sama sekali karena esensi pada kenyataannya adalah eksistensi sebagaimana muncul dalam bentuk yang dipartikularisasi dan diindividualisasi. Realitas suatu hal adalah inti eksistensinya sebagaimana ditentukan menjadi bentuk partikular dan individual, bukanlah ‘esensi’nya jika ‘esensi’ diterima sebagai sesuatu yang berbeda secara substansi dari eksistensi: tidak ada ‘sesuatu’ pada mana eksistensi kemudian dilekatkan; eksistensi sebagai modus partikular dan individual, adalah hal itu pada dirinya sendiri. Maka esensi adalah sebuah modus eksistensi. Realitas-realitas ekstramental dan yang berbeda yang mendasari multiplisitas hal-hal dalam faktanya merupakan swa-pembatasan dan individuasi dari eksistensi yang menciptakan dalam pikiran gagasan akan 346 Naqad al-Nusūs, hlm. 21; terjemahan 5. terjemahan saya. Al-Durrah, Hawāshī, hlm. 55; 5 (2). 348 Lihat di atas, hlm. 268-269. 347 199 Prolegomena ‘esensi’ — ‘kuiditas’ yang memiliki realitas terpisah dan ontologis. Namun, dalam diri mereka sendiri sebagaimana direnungkan pikiran, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ itu bukan entitas maujud eksternal — mereka hanya sesuatu yang ada dalam pikiran. Dengan demikian, karena eksistensi selalu dalam tindakan, substansi nyata dari setiap hal individual adalah baik sebuah individuasi dari eksistensi berdasarkan pada aspek partikular itu dari mana hal tersebut merupakan citra eksternal, atau hal itu merupakan individuasi aktual itu sendiri dari eksistensi pada waktu spesifik berdasarkan aspek yang sama. Akibatnya masing-masing hal individual adalah baik sebuah individuasi dari eksistensi, atau merupakan eksistensi itu sendiri sebagaimana diindividuasikan secara sementara dalam bentuk partikular tersebut; hal itu merupakan baik eksistensi yang dibuat termanifestasi, atau sebuah ‘aksiden’ dari eksistensi yang dengan demikian termanifestasi. ‘Aksiden’ yang termanifestasi merupakan sebuah kualitas atau modus eksistensial eksistensi yang termanifestasi, dan meskipun secara mental kualitas atau modus eksistensial dipostulasikan sebagai terpilah dari hal yang dikualifikasikan, hal itu secara ekstramental identik dengannya sejauh substansinya yang diperhatikan. Hal ini tidak serta merta berarti bahwa eksistensi mengandung multiplisitas, atau bahwa eksistensi itu terdiri dari banyak hal. Karena eksistensi tidak statis dan pasif; eksistensi itu dalam pergerakan terus menerus; sebuah proses dinamis, kreatif, dan sistematis tentang pembentangan dirinya sendiri dalam tahapan dari indeterminasi kepada semakin dideterminasi; dari lebih umum kepada lebih partikular hingga membagi dirinya menjadi lebih dan lebih konkret. Pembentangan diri dari eksistensi adalah apa yang metafisikawan sebut sebagai inbisāt al-wujūd — ekspansi dan peliputan dari eksistensi dalam modus yang beranekaragam —sebagaimana dikonseptualisasikan dalam pengertian dari metafisika mereka tentang derajat-derajat ‘penurunan’ (tanazzul) ontologis, determinasi (ta’ayyun) dan individuasi (tashakhkhus), dan swa-manifestasi (tajallī) dari Eksistensi Absolut. Ketika Eksistensi Absolut ‘turun’,349 menciptakan dari dirinya partikularisasi dan individuasi yang banyak, sepanjang waktu hanya ada satu eksistensi, dimana partikularisasi dan individuasinya hanya sebagai modusnya yang banyak. Modalitas eksistensi tersebut tidak dapat dipandang sebagai memiliki realitas ontologis terpisah sebab esensi sejati mereka adalah eksistensi. Hanya pikiran yang mempostulasikan modus eksistensi sebagai memiliki realitas ontologis terpisah yang lain dari eksistensi yang memandangnya sebagai ‘esensi’ atau ‘kuiditas’. Tetapi pada kenyataannya hanya ada satu eksistensi. Dunia qua dunia — yakni, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang menyusun dunia ketika dipertimbangkan dalam diri mereka sendiri sebagai secara mental diabstraksi dari eksistensi — pada kenyataannya bukanlah apa-apa; hal tersebut merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran. Hal itu bukan apa-apa bukanlah hanya karena hanya sebuah konstruksi mental, tetapi karena ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang menyusun dunia bersama semua bagiannya itu, ketika dipertimbangkan dalam diri mereka sendiri dalam kondisi ekstra mental, yakni, sebagai modus eksistensi, bersifat ‘aksidental’ dalam sifat-dasar mereka dan, oleh karena itu, tidak bertahan dalam dua peristiwa waktu, sedemikian rupa sehingga mereka secara terus menerus ‘hilang’ pada eksistensi. Apa yang diterima pikiran sebagai dunia yang memiliki eksistensi dan kesinambungan dalam eksistensi pada akhirnya hanya sebuah fenomena mental yang muncul dalam pikiran sebagaimana sebuah hasil pergantian yang cepat dari modus eksistensi yang serupa, namun masing-masing terpilah dari yang lain, yang terlibat dalam proses dinamis akan pembentangan eksistensi, yang modusnya diabstraksikan dalam pikiran sebagai ‘esensi-esensi’ terpisah dan individual yang memiliki kesinambungan dalam eksistensi. Namun, dalam sifat-dasar sejati mereka, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ mental merupakan akibat modus ekstramental dari eksistensi. Hal 349 ‘Penurunan’ Eksistensi Absolut itu hanya dipostulasikan secara mental (i’tibārī). Pada kenyataannya proses abadi tersebut tidak diukur dalam pengertian sekuensi waktu, sebagaimana telah kita nyatakan. 200 Prolegomena itu hanya ketika kita mempertimbangkan ‘esensi-esensi’ atau ‘kuiditas-kuiditas’ dalam diri mereka sendiri sebagai menyusun dunia bersama semua bagiannya sehingga dunia bukanlah apa-apa. Kini dengan ‘bukan apa-apa’ di sini berarti sebuah negasi utuh atau penekanan sepenuhnya dari eksistensi, dan ini ditunjuk dengan istilah ‘adam mahd, atau ‘non-eksistensi murni’. Dalam pengertian ini, dunia qua dunia sebagaimana diterima pikiran dalam pengertian disusun oleh kuiditas-kuiditas majemuk dan berbeda secara absolut bukanlah apa-apa; hal itu merupakan noneksistensi murni. Tapi kadang-kadang istilah tersebut bermakna sesuatu yang lain, dan ini hanya ketika digunakan untuk menunjuk bukan kepada dunia sebagaimana diterima oleh imajinasi, tetapi kepada arketip permanen atau esensi-esensi tetap (al-a’yān al-thābiţhah) yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang diketahui (ma’lūmāt) dalam pengetahuan atau kesadaran Ilahiyah dimana mereka berada sebagai kemungkinan (mumkināt) ontologis. Dalam pengertian tersebut ‘adam mahd tidak menunjuk kepada suatu jenis ketiadaan yang dikarakteristikkan dengan negasi absolut atau penekanan dari eksistensi, tetapi melainkan kepada sebuah modus eksistensi dalam kondisi interior (butūn) dari Being, yang ditunjuk oleh istilah ‘adam, atau ‘non-eksistensi’, dalam pengertian dari sesuatu yang tidak dalam maujud konkret tetapi yang berada dalam kondisi interior Being itu meskipun demikian telah dibangun. Kualifikasi mahd atau ‘murni’, ketika ‘adam menunjuk kepada aspek ini dari eksistensi, berarti bahwa sesuatu yang nyata ada dalam kondisi interior Being tetap secara murni dalam kondisi interior dan tidak dapat secara esensial menjadi maujud yang diaktualisasikan secara eksternal atau konkret. Apa yang dari realitas tersebut dapat menjadi realitas secara eksternal atau diaktualisasikan secara konkret adalah kekuatannya yang menyesuaikan dengan sifat-dasarnya (ahkām), kecocokannya (lāwazim) dan akibat (āthār), yang menjadi dieksternalisasikan dan berkembang ke dalam eksistensi eksterior sesuai dengan potensialitas inheren atau kesiapan (isti’dād aslī), cth. kondisi masa depan, dari realitas partikular. Dengan demikian apa yang ada dalam kondisi non-eksistensi murni, sebagaimana menyentuh kepada aspek ini dari non-eksistensi, menyentuh kepada modus kemungkinan (imkān), dan sama juga seperti eksistensi yang mungkin (wujūd mumkin).350 Hal-hal yang mungkin (al-mumkināt) ada dalam pengertian ini adalah realitas-realitas (haqā’iq) yang berada dalam kesadaran Tuhan, dimana di dalamnya mereka nampak sebagai bentuk dari NamaNama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip al-zāhir, yang termanifestasi ke-luar, dan dengan sebab dari mana hal itu dapat menerima pancaran (tung. fayd) yang mengembangkan mereka, dalam pengertian kekuatan, akibat dan kecocokan mereka, kepada manifestasi ke-luar dan eksistensi eksternal. Dengan demikian ketika kita mempertimbangkan ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang secara mental dipostulasikan dalam sifat-dasar sejati mereka — yakni, bukan sebagaimana mereka ada dalam pikiran, tetapi sebagaimana mereka ada secara ekstramental — sebagai pembentangan eksistensi terus-menerus yang menampilkan dirinya sendiri dalam anekaragam modus dan aspek yang berbeda, maka dunia yang mereka susun bukanlah apa-apa. Tentu saja, bahwa hal itu menciptakan dalam pikiran gagasan akan ‘kuiditas’ yang tiada berjumlah, terpisah, dan berbeda menunjukkan bahwa ada sesuatu tentang dunia qua dirinya sendiri, dan independen dari pikiran, yang bukan apa-apa. Sesuatu sebagaimana dipandang oleh pikiran ketika direnungkan ‘keapaan’ (māhiyyah) hal tersebut lalu menciptakan dalam pikiran gagasan ‘kuiditas’ (māhiyyah).351 ‘Kuiditas’ ini, seperti telah berulang kali dikatakan, bukan apa-apa dalam dirinya sendiri tetapi sebuah fenomena mental. Tetapi ketika sesuatu itu dipertimbangkan dalam pengertian ‘yang dengannya hal itu adalah hal itu’ (ma bihi al350 Metafisikawan, tidak seperti para teolog, memaksudkan dengan eksistensi ‘mungkin’ sebagai sebuah kemungkinan yang objektif; sesuatu yang ada dalam kondisi interior Being sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi eksternal. Meskipun ini nampaknya entah apa seperti gagasan filsuf tentang kemungkinan objektif, pada faktanya terpilah dari gagasan filsuf tersebut. Bandingkan. Bab VI, hlm. 257-258. 351 Lihat bab VI, hlm. 248(1); dan diagram pada hlm. 250, Māhiyyah II. 201 Prolegomena shay’ huwa huwa),352 maka kuiditas tidak lagi dipertimbangkan hanya sebagai sebuah fenomena mental, tetapi juga sebagai sebuah realitas maujud yang independen dari pikiran.353 Konsep yang kemudian dari māhiyyah ini menunjuk kepada penyusun penentu dari suatu hal, tetapi di sini hal itu tidak berarti ‘kuiditas’ dalam pengertian sesuatu yang secara esensial selain dari eksistensi yang padanya eksistensi kemudian ditambahkan sebagai sebuah sifat; di sini kuiditas berarti ‘esensi sejati’ (‘ayn), ‘inti diri’ (nafs) atau realitas (haqīqah) yang membuat hal tersebut apa hal tersebut adanya.354 Dalam kasus yang kemudian ini hal tersebut itu pada kenyataannya sebuah modus eksistensi. Tidak terdapat, seperti telah kita katakan, sesuatu yang secara esensial selain dari eksistensi yang padanya eksistensi disifatkan; eksistensi (cth. sebagai sebuah modus partikular) adalah inti sesuatu itu sendiri. Filsuf muslim, teolog dan metafisikawan setuju bahwa Tuhan, Eksistensi Niscaya, adalah Satu dalam esensi; tidak ada pembagian dalam Esensi-Nya, baik dalam imajinasi, aktualitas, atau dalam pengandaian yang mungkin; tidak ada pluralitas atau dualitas di dalamnya. Tidak ada multiplisitas pada-Nya; Dia bukan sebuah lokus dari kualitas, maupun sesuatu yang dibagi dan dipisahkan ke dalam bagian-bagian, maupun Dia disusun oleh unsur-unsur mendasar, 355 karena sesuatu seperti itu datang di bawah kategori tubuh yang dibatasi oleh ikatan, dan karenanya mereka diasalkan, dan bahwa adalah inkonsisten dengan keberadaan-Nya sebagai Eksistensi Niscaya. Tetapi teolog dan filsuf tidak setuju tentang sifat-dasar Keesaan; apakah hal itu secara Absolut Satu dalam semua aspek sebagaimana dipertahankan oleh filsuf, atau apakah hal itu Esa yang padanya sifat sejati ditambahkan sebagaimana diakui teolog. Pada problem ini posisi metafisikawan mendekati teolog dalam hal tertentu, dan filsuf pada hal yang lain, meskipun tidak cukup sama sebagaimana keduanya, yang melihat basis eksistensialis yang padanya metafisikawan membangun diri mereka sendiri secara berlawanan dengan basis esensialis dimana para teolog sebagaimana filsuf menegakkan posisi mereka. Teolog mengatakan bahwa Tuhan memiliki Sifat sejati dan abadi yang ditambahkan kepada Esensi-Nya, baik dalam pikiran dan secara eksternal, sehingga Tuhan mengetahui melalui pengetahuan, menginginkan melalui kehendak, dan menggunakan kekuatan melalui kekuatan, dan seterusnya dengan sifat seterusnya. Mereka menantang, terhadap pandangan Mu’tazilah dan filsuf, bahwa jika pengetahuan, kehendak, kekuatan, identik dengan Esensi, maka itu berarti bahwa pengetahuan, kehendak, kekuatan juga identik dengan satu sama lain, dan kesimpulan ini menuju kepada banyak absurditas.356 Tidak pula Sifat-Sifat diterima hanya sebagai istilah sinonim yang menggambarkan Esensi berdasarkan pada modus atau kondisinya (ahwāl); mereka itu nyata dan abadi, yang terpilah satu sama lain dan lebih demikian dari Esensi. Realitas dan keabadian mereka tidak secara niscaya menyiratkan keberadaan pluralitas keabadian akan Esensi Ilahiyah, karena Sifat-Sifat bukan esensi-esensi yang terpisah ‘dalam’ Tuhan, maupun mereka memunculkan kepada esensi-esensi ‘di luar’ dari Tuhan; mereka berada dalam Tuhan dan tidak terpisahkan dari-Nya, tetapi mereka tergantung kepada-Nya sementara Dia tidak tergantung kepada mereka. Esensi harus diterima bersama dengan Sifat-Sifatnya sebagai satu entitas, dan karena Esensi itu abadi dan tanpa penyebab efisien untuk eksistensinya, maka Sifat-Sifatnya itu abadi dan tanpa penyebab efisen apapun untuk eksistensinya. Istilah ‘Tuhan’ tidak dapat disifatkan dari sebuah esensi yang gundul dari Sifat-Sifat, sebagaimana hal itu menunjuk kepada 352 Lihat ibid, hlm. 248 (2). Lihat ibid, hlm. 241 fol,. Hlm. 250, Māhiyyah I. 354 Bandingkan. Ibid., hlm. 236; 233-234. 355 Sesuatu yang memiliki bagian, ketika bagiannya merupakan dalam susunan bersama, merupakan sesuatu yang disusun, ketika bagian-bagian tersebut terpisah satu sama lain, merupakan sesuatu yang dibagi atau dipisahkan. 356 Bandingkan. Al-Shahrastānī, Kitāb Nihāyat al-Iqdām fi ‘Ilm al-Kalām, ed. A. Guillaume, London, 1934, bab I, dan hlm. 238-267. 353 202 Prolegomena esensi dan sifat bersama-sama. Sifat-Sifat itu bukan Tuhan, maupun mereka lain dari Tuhan, dalam pengertian bahwa ‘yang lain’ yang menunjuk Sifat-Sifat tidak untuk diterima berarti bahwa eksistensi mereka itu mungkin dalam pengecualian akan Esensi dalam hubungan dengan mereka. Dengan demikian sementara teolog mengakui bahwa Kesatuan Ilahiyah (al-tawhīd) adalah jauh terlalu agung dari penyusunan di atas, jenis susunan yang dapat dibuktikan dengan metode rasional adalah tidak cocok dengan Eksistensi Niscaya, namun mereka mempertahankan bahwa itu bukan kesederhanaan absolut.357 Filsuf, di sisi lain, mempertahankan bahwa Kesatuan Ilahiyah adalah kesederhanaan absolut. Tidak ada dualitas atau multiplisitas di dalam-Nya. Dia bukan subjek terhadap pembagian menjadi kuantitas, prinsip, atau dalam definisi, yang terakhir ini sebab Dia tidak memiliki genus maupun pembeda spesifik. Dia mengetahui, menghendaki, dan berkuasa bukan dengan pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan, karena sifat-sifat-Nya adalah inti Esensi itu sendiri. Dengan demikian Esensi-Nya, dengan hal pada hubungannya dengan hal-hal yang diketahui, digambarkan sebagai ‘mengetahui’; dan dengan hal pada hubungannya pada sesuatu yang dikehendaki, digambarkan sebagai ‘menghendaki’; dan dengan hal pada hubungannya dengan sesuatu terhadapnya Dia memiliki kekuasaan, digambarkan sebagai ‘berkuasa’. Mereka bersikeras bahwa Esensi itu Esa dalam semua hal, sedemikian sehingga hal itu tidak dapat memiliki Sifat-Sifat yang ada di dalamnya. Hal ini, mereka berpendapat, akan melibatkan Esensi dalam sebuah dualitas atau multiplisitas. Jadi mereka menolak Sifat-sifat secara keseluruhan, mempertahankan bahwa Sifat-Sifat hanya ada dalam pikiran dan tidak dalam realitas eksternal.358 Metafisikawan setuju dengan teolog bahwa Esensi memiliki Sifat-Sifat sejati yang merupakan majemuk dan ditambahkan padanya, tetapi berbeda dari mereka bahwa Sifat-Sifat itu majemuk dan ditambahkan kepada Esensi hanya dalam inteleksi, atau dalam pikiran, dan tidak secara eksternal. Lebih lanjut, mereka mempertahankan bahwa Sifat-Sifat tersebut merupakan manifestasi dari Esensi-Nya dalam dunia eksternal yang nampak sebagai entitas eksistensial yang terpisah dan konkret. Afirmasi mereka bahwa Sifat-Sifat itu majemuk dan ditambahkan kepada Esensi hanya dalam inteleksi, dan bukan juga secara eksternal sebagaimana dipertahankan teolog, akan nampak menyiratkan bahwa metafisikawan pada faktanya setuju dengan filsuf dalam menolak realitas mereka. Karena filsuf mengatakan bahwa Sifat-Sifat itu majemuk dan ditambahkan kepada Esensi hanya dalam pikiran, dan bahwa pada kenyataannya Sifat-Sifat adalah inti Esensi itu sendiri, bukan dalam pengertian bahwa ada sebuah Esensi yang memiliki Sifat-Sifat dan bahwa keduanya disatukan sebagai satu entitas, tetapi dalam pengertian bahwa Esensi pada kenyataannya tidak ada Sifat-Sifat sama sekali, yang kemudian hanya ada dalam pikiran. Apa yang mereka maksud dengan ‘ada dalam pikiran’ adalah hanya ada sebagai sebuah konsep (mafhūm). Namun, apa yang metafisikawan maksud dengan ‘inteleksi’ (ta’aqqul), tidaklah sama. Perbedaan antara esensi dan sifat, dalam hal konsep, adalah dua konsep dari esensi dan sifat, menunjuk kepada dua hal yang berbeda, tetapi itu apa yang benar dari mereka adalah sama, yakni, inti esensi itu sendiri. Karena filsuf menerima Esensi sebagai nyata sedangkan Sifat-Sifat Esensi hanya ada dalam pikiran; sehingga apa yang benar dari konsep Esensi tentangnya pada kenyataannya adalah Esensi itu sendiri, dan apa yang benar dari konsep Sifat — karena Sifat-Sifat hanya ada dalam pikiran — adalah juga pada kenyataannya adalah Esensi yang sama. Tapi 357 Untuk rincian dan argumentasi mereka, lihat karya al-Ghazāli Al-Iqtisād fil al-I’tiqād, eds. A. Cūbūkcū & H. Atay, Nur Matbaasi, Ankara, 1962, hlm. 129-139; 139-141; 142-157; Tahāfut, hlm. 40-48; karya ‘Adud al-Dīn ‘Abd alRahmān al-Ijī, Al-Mawāqif fi ‘Ilm al-Kalām, ‘Ālam al-Kutub, didistribusikan oleh Maktabah al-Mutanabbi, Cairo, dan Maktabah Sa’d al-Dīn, Damascus [n.d.]; hlm. 279-296; karya Sa’d al-Dīn al-Taftāzānī, Sharh al-‘Aqā’id, Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubrā, Cairo, 1335, hlm. 69-77. 358 Al-Ishārāt, vol.III, hlm. 44-45; 49-50; Metaphysica, bab. 13, 21; Tahāfut, hlm. 40 fol; Sharh al-’Aqāid, hlm. 60, 69-71; al-Mawāqif hlm. 279; Kitab al-Milāl wa al-Nihāl dari al-Sharastānī, ke-2. ed. Beirut, 1395/1975, 2V., vol. II, hlm. 182. 203 Prolegomena metafisikawan memaksudkan bahwa hanya seperti konsep sifat berbeda dari esensi, demikian juga apa yang benar dari dua konsep yang berbeda tentang satu sama lain: apa yang benar dari sifat tidak sama sebagaimana apa yang benar dari esensi. Apa yang benar dari pengetahuan Tuhan adalah dengan demikian bukan Esensi itu sendiri, tetapi Esensi dalam hal tertentu. Esensi itu, seperti telah kita jelaskan sebelumnya,359 dikarakteristikkan dengan dua aspek: yang interior, aspek swa-persembunyian (al-bātin), dan yang eksterior, aspek swa-pengungkapan (al-zāhir). Aspek yang pertama adalah Keesaan absolut dan esensial (ahadiyyah mutlaqah), transenden dalam dirinya sendiri, tidak diketahui kecuali oleh diri-Nya sendiri. Aspek yang kedua adalah juga dari Keesaan, (wahdah) tetapi keesaan dimana sudah ada dibayangkan kemungkinan artikulasi laten dalam bentuk majemuk dan anekaragam. Ketika dalam aspek kedua ini Tuhan, sebagai Eksistensi Niscaya, merenungkan diri-Nya dan sadar terhadap kesempurnaan esensial-Nya (kamalāt dhātiyyah), lalu pancaran pertama eksistensi berlangsung (cth. al-fayd al-aqdas). Isi pancaran pertama dari eksistensi adalah bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah yang, dalam kemunculan mereka dalam tindakan-Nya akan eksistensi, identik dengan-Nya, dan namun juga sesuatu yang berbeda.360 Mereka berbeda dalam pengertian bahwa dalam swa-perenungan pertama ini, sudah ada dibayangkan dalam Esensi-Nya bentuk-bentuk laten dari kesempurnaanNya yang membutuhkan perwujudan dalam alam kontingensi. Kemudian dalam swaperenungan kedua, dia mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada diri-Nya sendiri dalam bentukbentuk mereka sedemikian rupa sehingga esensi-esensi mereka (al-a’yān) menjadi termanifestasi pada-Nya sebagai realitas-realitas (haqā’iq) yang terpilah. Sifat-Sifat itu muncul pada tingkatan ini akan swa-perenungan Ilahiyah. ‘Penurunan’ (tanazzul) ini, atau pancaran dari eksistensi-Nya, dari derajat keabsolutan-Nya (itlāq) pada determinasi (taqayyud), yakni, determinasi pertama, muncul dalam kondisi interior dari Being, yakni, dalam pikiran Tuhan. Dengan demikian Sifat-Sifat dan realitas-realitas mereka tidak terpisahkan dari-Nya, yakni, mereka tetap sebagai inteljibel dalamNya, dan apa yang menjadi terpisah dan kontingen merupakan kekuatan mereka, kecocokan atau akibat yang diaktualisasikan secara eksternal sebagai swa-pembentangan eksistensi yang mengembang kepada mereka dalam pancaran kedua eksistensi (cth. al-fayd al-muqaddas).361 Maka Sifat-Sifat, bukanlah Esensi itu sendiri, tetapi Esensi dalam hal tertentu; yakni, dalam aspek, hubungan, wajah tertentu dari dirinya sendiri sebagaimana hal itu mengkualifikasikan dirinya sendiri dalam bentuk-bentuk mereka. Oleh karena itu perbedaannya, ada bukan hanya dalam pikiran kita, tetapi dalam pikiran atau kesadaran Tuhan pada tingkatan dari manifestasi kognitif Tuhan tentang diri-Nya sendiri kepada diri-Nya sendiri dimana di dalamnya nampak Sifat-Sifat sebagai realitas-realitas ideal, arketip-arketip permanen atau esensi-esensi tetap.362 Maka, metafisikawan setuju dengan teolog bahwa Tuhan memiliki Sifat-Sifat sejati yang ditambahkan kepada Esensi-Nya; tetapi mereka juga setuju dengan filsuf bahwa Esensi (dan di sini metafisikawan memaksudkan Esensi pada tingkatan Keesaan absolut dimana tidak ada bahkan jejak akan multiplisitas yang dapat dilihat) itu Esa dalam semua hal; dan bahwa dari apa yang sungguh-sungguh Esa hanya dapat menghasilkan satu akibat. Teolog, seperti telah kita lihat, mengafirmasi terhadap-Nya sifat-sifat yang ditambahkan kepada Esensi-Nya baik dalam pikiran dan secara eksternal, sehingga meskipun Dia dinyatakan oleh mereka jauh telalu agung dari susunan di atas, Kesatuan-Nya itu bukan suatu kesederhanaan absolut. Karena ini merupakan 359 Lihat di atas, hlm. 271 fol. Mereka identik dalam hal eksistensi dan realitas, tetapi berbeda dalam hal determinasi dan individuasi. 361 Di sini swa-pembentangan eksistensi diidentifikasi sebagai ‘napas dari Yang Maha Penyayang’’ (nafas al-rahmān), cth. ‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī). 362 Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, 12:27; 13:2-29; Hawāshī, 62:19-20; Sharh al-Durrah, 88:28; Lawā’ih, 14(XV) 14-15. Tentu saja , mereka adalah realitas-realitas karena perbedaan mereka dalam pikiran Tuhan. Lihat juga Fusūs, hlm. 48 fol; 101-106. 360 204 Prolegomena posisi mereka, mereka tidak menemukannya mustahil bagi akibat majemuk untuk diproses dari yang Esa, sebagaimana posisi mereka tidak berada di bawah prinsip bahwa dari apa yang sungguh-sungguh Esa hanya satu yang diproses. Metafisikawan mengafirmasi posisi yang sejati dalam hal ini — cth. prinsip bahwa dari apa yang Esa secara absolut hanya satu akibat yang dapat diproses — sebagaimana filsuf, dengan mana mereka dalam kesepakatan dalam kasus ini. Tetapi mereka juga berbeda dalam hal ini dari filsuf; sedangkan filsuf mengafirmasi Keesaan absolut dalam sebuah Esensi yang diindividuasikan,363 metafisikawan menyatakan Keesaan absolut dalam sebuah Esensi Absolut364 yang menjadi diindividuasikan pada tingkatan Ilahiyah (ilāhiyyah) dimana, sebagai Tuhan, Dia sudah menanamkan dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya. Tingkatan ini, yang berhubungan dengan tingkatan Prinsip Pertama menurut teolog, tidak menampilkan Keesaan absolut, tetapi dikarakteristikkan dengan Kesatuan dalam Multiplisitas (wāhidiyyah). Namun, karena metafisikawan mengafirmasi realitas tunggal akan eksistensi, multiplisitas dan keanekaragaman itu dalam sifat-dasar sejati mereka tidak lain dari modus, partikularisasi dan individuasi dari realitas yang sama akan eksistensi, sehingga tidak ada multiplisitas dan keanekaragaman yang sungguh-sungguh di sana. Lebih lanjut, berbeda lagi dari filsuf, mereka mempertahankan bahwa multiplisitas dan keanekaragaman dalam entitas-entitas eksistensial yang konkret yang kita lihat dan pegang pada kenyataannya merupakan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya — atau melainkan kecocokan mereka, dan pengulangan akan kecocokan mereka — yang telah diturunkan dalam gradasi dari tingkatan keabsolutan mereka pada determinasi dan pembatasan. Pada filsuf, karena mereka mempertahankan keunggulan esensi terhadap eksistensi, dan mengafirmasi kesederhanaan absolut dalam sebuah Esensi yang diindividuasikan, posisi mereka pada Sifat-Sifat adalah membingungkan, dan solusi mereka seperti bagaimana akibat majemuk dapat diproses dari sesuatu yang secara absolut sederhana itu tetap menjadi subjek kontradiksi.365 Meskipun metafisikawan setuju dengan filsuf dalam prinsip bahwa dari yang Esa hanya satu akibat yang dapat diproses, namun mereka tidak setuju dengan filsuf pada apakah akibat tunggal pertama itu. Filsuf berkata akibat tunggal pertama dari yang Esa yang mereka sebut Prinsip Pertama366 adalah Kecerdasan Pertama (al-’aql al-awwal), yang menurut mereka adalah maujud konkret yang tidak memiliki maujud lain dalam tatarannya. Namun, metafisikawan, karena mereka mengafirmasi realitas tunggal eksistensi, mengatakan bahwa akibat tunggal pertama dari yang Esa yang merupakan Eksistensi Absolut adalah eksistensi umum (wujūd al-’āmm) yang, sebagai eksistensi yang dibentangkan (al-wujūd al-munbasit), mengembang sebagai hasil dari swa-perenungan Tuhan dalam derajat pertama eksistensi pada tingkatan determinasi pertama (al-ta’ayyun al-awwal).367 Kini pancaran pertama eksistensi ini, seperti kita tahu, bukanlah 363 Cth. pada tingkatan ‘Tuhan’, atau determinasi pertama dari Eksistensi Absolut. Cth. pada tingkatan Esensi dalam aspek swa-persembunyian dari Keesaan absolut. 365 Esensi berdasarkan pada filsuf adalah identik dengan eksistensi dalam Tuhan, tetapi yang lain daripada eksistensi itu kontingen, dengan sebab posisi mereka bahwa hal itu merupakan sebuah Esensi yang diindividuasikan, adalah identik dengan eksistensi yang diindividuasikan. Apa yang dimaksud filsuf dengan eksistensi, ketika mereka mengatakan bahwa Esensi itu identik dengan eksistensi dalam Tuhan, tetapi selain dari eksistensi dalam kontingen, hanyalah eksistensi sebagai konsep, bukan sebagai realitas, sejalan dengan posisi esensialis secara umum, yakni bahwa esensi merupakan realitas tunggal dibandingkan daripada eksistensi. Di antara filsuf yang kemudian, al-Tūsī berusaha untuk menunjukkan bagaimana akibat yang banyak dapat diproses dari yang secara absolut adalah Esa, tetapi argumentasi alGhazāli bahwa apa yang diproses dalam kasus seperti ini harus juga menjadi entitas sederhana nampak masih memegang kuat melawan keabsahannya – sejauh, yakni, persoalan ini dipandang dari sebuah posisi esensialis. Tapi persoalannya akan berbeda jika dipandang dari posisi metafisikawan eksistensialis. Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, 67-68, 79; Hawāshī, 98: 20; Sharh al-Durrah 127-128: 28. 366 Cth. pada tingkatan ‘Tuhan’, sama sebagai Prinsip Pertama dari teolog. 367 Terdapat kemiripan antara eksistensi umum (al-wujūd al-’āmm) dari Sūfī dan materi dasar (al-hayulā) dari filsuf; hanya bahwa sedangkan materi dasar itu hanya penerima bentuk dalam cara yang pasif, eksistensi umum dari Sūfī adalah agen yang aktif. Pada gagasan emanasi yang inheren dalam konsep ekspansi, hal itu harus dipahami bahwa tidak 364 205 Prolegomena sebuah maujud konkret, tetapi merupakan sebuah hubungan eksistensi dalam cara yang umum, dan ekspansinya terhadap esensi-esensi intelijibel dan individual yang dibangun dalam pengetahuan-Nya. Maujud intelijibel tersebut menjadi dimanifestasikan sebagai esensi-esensi tepatnya berkaitan dengan ekspansi eksistensi umum terhadap mereka.368 Dengan demikian ada maujud lain dalam tataran ini, termasuk Kecerdasan Pertama. Jelaslah dari ini bahwa Sūfī membuat Prinsip Pertama dari filsuf sebagai sepadan bukan terhadap Esensi dalam Keesaan absolutnya pada derajat transenden dari non-determinasi (ahadiyyah mutlaqah), tetapi Esensi yang telah diturunkan kepada derajat swa-manifestasi pada tingkatan determinasi atau individuasi pertama dalam tataran kesatuan dalam multiplisitas (cth. wāhidiyyah).369 Filsuf percaya bahwa akibat dari Esensi sebagai entitas-entitas terpisah itu berbeda dari Esensi. Namun, menurut metafisikawan, akibat dari Esensi, atau Tuhan sebagai Eksistensi Absolut, adalah modus atau kecenderungan (shu’ūn) inheren dan aspeknya (i’tibārāt), atau inteleksinya terhadap hal-hal yang mungkin di dalam dirinya sendiri yang menghasilkan esensi hal-hal dalam pengetahuan Ilahiyah. Pada tingkatan kesatuan esensial-Nya hal tersebut tidak terbedakan, tetapi menjadi terbedakan melalui pancaran eksistensi umum yang mengembang terhadap mereka dan berlangsung pada tingkatan determinasi pertama. Esensi pada tingkatan yang kemudian ini adalah berdasarkan pada skema metafisikawan yang sepadan dengan Prinsip Pertama dari filsuf. Multiplisitas akibat dari Esensi yang dibayangkan dalam dirinya sendiri pada tingkatan yang terdahulu menjadi diwujudkan pada tingkatan yang kemudian dalam bentuk-bentuk Sifat-Sifat dan esensi-esensi yang tetap melalui perantara pancaran pertama eksistensi. Dengan demikian apa yang pertama kali diproses dari Esensi adalah pancaran tunggal ini. Kemudian melalui perantara pancaran pertama eksistensi ini, yang mengakibatkan munculnya Sifat-Sifat dan esensi-esensi, dan juga melalui perantara dari Sifat-Sifat dan esensi-esensi tersebut seiring dengan aliran eksistensi dalam pancaran kedua sebagaimana hal tersebut terus mengembang, modus dan aspek yang lain muncul hingga akhirnya akibat-akibat mereka muncul sebagai entitas-entitas eksistensial dan kontingen, yang beberapanya diaktualisasikan pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi. Maka, dalam cara ini, metafisikawan setuju dengan teolog yang percaya bahwa mungkin bagi akibat majemuk untuk diproses dari Prinsip Pertama,370 meskipun mereka mengafirmasi filsuf tentang prinsip yang dari apa yang sungguh-sungguh Esa hanya dapat diproses satu akibat.371 Inti sari di halaman depan dari posisi filsuf, teolog, dan metafisikawan pada pemahaman mereka tentang sifat-dasar Keesaan Tuhan dan hal-hal yang dipadukan berhubungan dengan Sifat-Sifat Ilahiyah dan problem penciptaan secara jelas mengungkapkan bahwa perbedaan mendasar mereka dari mana perbedaan lain lalu menyertai, berputar di sekitar pertanyaan dasar pada apakah kuiditaslah (esensi) atau eksistensilah yang secara primer. Pada dasarnya, jika seseorang menglasifikasikan pemikiran muslim sebagai sebuah keseluruhan ke dalam mazhab yang terpilah dalam pengertian kesetiaan kepada prinsip dasar tertentu atau menyetujui dalam jenis karakteristik, maka hal itu harus yang mengafirmasi realitas mendasar akan esensi, atau yang mengafirmasi keunggulan eksistensi terhadap esensi. Filsuf dan teolog secara umum mengafirmasi yang terdahulu, dan perspektif mereka pada sifat-dasar Keesaan Tuhan, Sifat-Sifat Ilahiyah, penciptaan dan persoalan yang dipadukan oleh karena itu esensialistik. Tapi teolog Ash’ariyyah merupakan yang terdekat pada metafisikawan dalam penglihatan ontologis, sebab ada ‘emanasi’ seolah-olah akibatnya terpisah dari sumber; apa yang diistilahkan sebagai ‘emanasi’ hanya tindakan dari Sumber. 368 Eksistensi umum juga diidentifikasi secara beragam sebagai eksistensi relatif (wujūd idāfī), cahaya relatif (nūr idāfi) dan Napas dari Yang Penyayang (nafas al-rahmān). 369 Dengan teolog hal ini merupakan tingkatan Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya, yang mereka pertimbangkan sebagai Prinsip Pertama. 370 Cth. Prinsip Pertama dalam pengertian dari tingkatan wāhidiyyah dalam skema metafisikawan. 371 Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, 70/86; 87; 71/88; 89, 90, 91. Lawā’ih, hlm. 1618 (XVIII). 206 Prolegomena posisi mereka pada persoalan esensi melawan eksistensi entah apa ambivalen. Mereka berkutat pada posisi bahwa esensi dan eksistensi itu tidak terbedakan. 372 Bahkan meskipun kita telah menunjukkan bahwa keabsahan posisi ini sungguh-sungguh tidak dapat dipertahankan,373 adalah bagaimanapun penting dalam menunjukkan bahwa posisi Ash’ariyyah sebagai sebuah keseluruhan sudah menyiratkan keunggulan eksistensi dan kesatuan transenden eksistensi (wahdat al-wujūd) yang diafirmasi metafisikawan. Lebih lanjut, terlepas dari keserupaan mereka dengan posisi metafisikawan pada bagian tertentu dari metafisika mereka tentang atom dan aksiden, terdapat juga keserupaan antara Ash’ariyyah dan metafisikawan dalam pernyataan mereka akan kredo dan pasal dari kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat, dan dalam afirmasi keampuhan Tuhan yang eksklusif. Karena sebagian besar mereka menuju esensialisme, namun, Ash’ariyyah harus mengafirmasi perbedaan Tuhan dari hal-hal yang diasalkan (mukhalāfah li alhawādith). Metafisikawan, karena mereka tetap dalam eksistensialisme mereka, mempertahankan bahwa Tuhan berbeda dari hal-hal yang diasalkan dalam hal determinasi dan individuasi, tetapi tidak berbeda dari mereka dalam hal eksistensi dan realitas; karena realitas eksistensi dapat menjadi prinsip sekaligus baik dari Yang Esa dan Yang Banyak, tanpa Yang Esa menjadi Yang Banyak atau Yang Banyak menjadi Yang Esa. Lagi, posisi esensialistik dari teolog menuntut afirmasi terhadap doktrin penciptaan dari tiada, dengan demikian menolak kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi, yang merupakan alam kemungkinan, seperti realitasrealitas arketipal yang diafirmasi metafisikawan. Tapi karena teolog memindahkan kemungkinan yang tidak terbatas pada diri Tuhan sendiri mereka pada faktanya mendekati posisi metafisikawan, hanya esensialisme mereka mencegah mereka untuk tiba pada kebenaran yang sama. Lebih lanjut, problem determinisme dalam nasib manusia hanya dapat menemukan penjelasannya dalam sifat-dasar realitas-realitas arketipal. Pada Kesatuan Ilahiyah Ash’ariyyah mengafirmasi Sifat-Sifat sejati-Nya yang ditambahkan kepada Esensi baik dalam pikiran dan secara eksternal. Dengan demikian, sementara mereka menolak susunan apapun dalam Esensi, meskipun demikian mereka menolak kesederhanaan absolut di dalamnya, seperti yang diakui oleh para filsuf. Metafisikawan juga mengafirmasi Sifat-Sifat sejati-Nya yang ditambahkan kepada Esensi, tetapi tidak secara eksternal, namun hanya dalam pikiran. Kita telah menunjukkan ini dalam penjelasan kita tentang sifat-dasar ganda dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah; dan juga telah menunjuk bahwa bagi metafisikawan Sifat-Sifat merupakan manifestasi dari Esensi dalam dunia eksternal yang nampak sebagai entitas-entitas eksistensial terpisah dan konkret. 374 Lebih lanjut, dalam pengertian derajat-derajat ‘penurunan’ Yang Absolut dalam gradasi analogis sebagaimana dirumuskan oleh metafisikawan, Kesatuan Ilahiyah sebagaimana dipahami teolog berhubungan dalam skema metafisikawan pada tingkatan wahidiyyah dalam tataran determinasi dan individuasi pertama dan kedua, dimana Yang Absolut sebagai Tuhan sudah ditanamkan dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat dari keilahiyahan. Oleh karena itu metafisikawan mengafirmasi sebuah tingkatan yang tidak termanifestasi dan lebih tinggi dan karenanya tidak diketahui pada tingkatan Kesatuan Ilahiyah, dimana Esensi diketahui hanya pada dirinya sendiri. Dari pernyataan ringkas ini dari nilai penting keserupaan dan ketidakserupaan dalam posisi metafisikawan dan teolog kepada sifat-dasar realitas dan Tuhan, alasannya mengapa kebanyakan atau semua metafisikawan Sunni dari mazhab ini juga menyokong teologi dan metafisika Ash’ariyyah seharusnya sudah jelas. Hal itu karena metafisikawan mempertimbangkan interpretasi Ash’ariyyah, sejauh hal tersebut menyentuh pada tingkatan rasio dan indera dan pengalaman inderawi yang biasa, sekalipun rumit, sebagai sesuatu yang kebetulan terdekat dengan kebenaran. Metafisikawan mempertimbangkan bahwa interpretasi Ash’ariyyah itu benar pada tingkatan ini, 372 Lihat di atas, hlm. 298-299: 300. Lihat bab VI, hlm. 232-233; 234 fol. 374 Ibid., hlm. 251-253; dan di atas, hlm. 310-313. 373 207 Prolegomena yang merupakan tingkatan umum manusia, dimana setiap orang itu merupakan seorang esensialis dalam persepsinya terhadap kebenaran berdasarkan kecenderungan alamiah dari pikiran. 208 Prolegomena EPILOG Penjelasan ringkas kita tentang Enam Derajat Eksistensi dapat disajikan sebagai sebuah interpretasi yang mungkin terhadap bagian sulit tertentu dalam Qur’ān Suci menyentuh pada Penciptaan dalam Enam Hari. Di sana dinyatakan bahwa Allāh, Realitas Tertinggi, “telah menciptakan Langit dan Bumi dalam Enam Hari, dan bersemayam secara teguh di atas Singgasana” (Al-A’rāf (7): 54; Yūnus (1): 3); dan “telah menciptakan Langit dan Bumi, dan semua di antara mereka, dalam Enam Hari, dan bersemayam secara teguh di atas Singgasana” (Al-Sajdah (32): 4); “tanpa tersentuh keletihan” (Qāf (50): 38). Kita menginterpretasikan ini bermakna bahwa Dia telah menciptakan seluruh semesta — yakni, dunia yang terlihat maupun yang tidak terlihat bersama semua bagiannya (al-‘ālamīn): Dia menyatakan diri-Nya dalam bagian penciptaan sebagai ‘Pemilik semua dunia’ (rabb al-‘ālamīn, Fuşşilat (41): 9) — dalam Enam Tahap, karena Hari Ilahiyah dalam perhitungan kita akan sepanjang, kita telah diberitahu, “seperti seribu tahun” (Al-Hajj (22): 47), atau “seukuran lima puluh ribu tahun” (Al-Ma’ārij (70): 4). Kita juga diberitahu bahwa bagi Tuhan tindakan penciptaan merupakan “tindakan tunggal” (amr wāhidah) yang diselesaikan dalam “kedipan mata” (ka lamhin bi al-başar): Al-Qamar (54): 50). Dalam hal ini kita lihat, dari sudut pandang kognisi manusia, dan ketika kita pertimbangkan tindakan penciptaan dan proses penciptaan yang termasuk dalam pengertian ‘penurunan’ Realitas Tertinggi dari derajat keabsolutan murni dan persembunyian penuh kepada manifestasi dan determinasi dalam derajatderajat yang lebih rendah akan level ontologis, kognisi manusialah yang mempostulasikan (cth. i’tibār) sebuah sekuensi temporal, sebuah jarak yang dapat diukur dalam pengertian waktu, dari derajat yang tertinggi kepada yang terendah; sedangkan pada kenyataannya tindakan penciptaan dan seluruh proses penciptaan terlibat dalam pelbagai derajat muncul sekaligus — “dalam kedipan mata”. Kemudian dalam kedipan mata tersebut Being-Nya sementara itu “bersemayam secara teguh di atas Singgasana” bermakna bahwa kendati keterlibatan-Nya dalam proses penciptaan Dia selalu tetap sebagaimana sebelumnya, dalam pengendalian absolut, mempertahankan Keesaan absolut-Nya. Tindakan penciptaan dan proses penciptaan itu diulangi (Yūnus (10): 4; Al-Naml (27): 64; Al-‘Ankabūt (29): 19-20), dalam sebuah ciptaan baru (Qāf (50): 15; juga Al-Ra’d (13): 5; Ibrāhīm (14): 48; Banī Isrā’īl (17): 49, 98; Al-Anbiyā’ (21): 104; dan Fāţir (35): 16). Enam Hari tersebut dapat dibagi ke dalam fase-fase terpilah di antara Empat Hari dan Dua Hari (Fuşşilat (41): 10; dan 9; 12). Dalam bagian tersebut kita lebih lanjut diinformasikan bahwa Dia menjadikan being (ja’ala) rawāsiya — dimana para komentator biasanya menginterpretasikan dengan makna ‘gunung-gunung’ — meletakkan mereka tinggi di atas Bumi. Makna dasar dari kata rawāsiya, yang merupakan bentuk jamak dari akar rasā, mengandung gagasan tentang entitasentitas yang rampung, kokoh, dan secara teguh dibangun dengan jenis cara permanen yang tidak dapat digerakkan atau dipindahkan ke tempat yang lain. Oleh karena itu interpretasi terhadapnya sebagai ‘gunung-gunung’ adalah masuk akal; karena gunung-gunung dikarakteristikkan dengan suatu jenis kerampungan yang digambarkan dengan rawāsiya, dan mereka tinggi di atas tingkatan tanah. Dia juga memberkahi Bumi, dan mengukurnya dalam proporsi (qaddara) semua hal di dalamnya, dan memberi mereka makanan (aqwātaha) mereka “berdasarkan kebutuhan dari yang meminta” (sawā’an li al-sā’ilīn). Fase penciptaan ini diselesaikan dalam Empat Hari. Kini interpretasi para komentator terhadap bagian di atas tentang penciptaan dan proses penciptaan adalah berdasarkan kepada makna lahir yang dikandung mereka, dan dijelaskan sejauh penciptaan Langit dan Bumi dalam tahap materi dasar yang tidak berbentuk menjadi 209 Prolegomena bentuk fisik yang kita lihat, menyusun kerajaan alam akan mineral, tumbuhan, dan hewan dan cakrawala semesta bersama seluruh bagiannya. Dari sudut pandang kognisi manusia, interpretasi ini dibangun di atas prinsip rasio dan observasi yang didukung bukti sains yang relevan seperti fisika, astronomi, dan geologi. Tanpa mengabaikan keabsahan interpretasi tersebut, melainkan sesuai dengannya dan dari sudut pandang metafisis yang disajikan sebagai sebuah kerangkakerja yang di dalamnya dimana semua sains manusia menemukan korespondensi dan koherensi, kita mempertahankan bahwa juga mungkin menginterpretasikan bagian Penciptaan dalam Enam Hari sesuai dengan Enam Derajat Eksistensi. Kita pada faktanya sudah menyinggung interpretasi metafisis terhadap bagian tersebut bahkan pada awal Epilog ini; dan kini kita melanjutkan dengan menawarkan bahwa ungkapan ‘Langit’ (al-samāwāt) dan ‘Bumi’ (al-ard) yang disebutkan dalam bagian penciptaan dapat tidak selalu menunjuk pada Langit dan Bumi yang bersifat fisik, tetapi pada tahap-tahap tertentu dan dengan merujuk pada hubungan sebab prioritas-posterioritas dalam proses penciptaan yang dipahami dalam konteks derajat-derajat eksistensi, dimana mereka menunjuk kepada arketip-arketip mereka (al-a’yān al-thābitah). Dalam pengertian ini kita kemudian dapat menginterpretasikan rawāsiya, yang secara teguh ditegakkan “tinggi di atas” Bumi, bermakna realitas-realitas arketipal yang secara teguh dan permanen ditegakkan dalam kerampungan sedemikian sehingga mereka tidak dapat digerakkan atau dipindahkan dari wilayah mereka dalam kondisi interior Being. Kita telah katakan pada awal penjelasan kita (cf. hlm. 268-278 di atas) bahwa Realitas Tertinggi dalam Keesaan Absolut-Nya pada derajat pertama eksistensi dikarakteristikkan dengan aspek interioritas dan eksterioritas, dan being yang kemudian dari aspek swa-pengungkapan-Nya yang ditunjuk dalam tradisi suci sebagai ‘Harta Tersembunyi’. Aspek ini, yang juga dikarakteristikkan dengan interioritas dan eksterioritas, dan yang belum terlibat dalam determinasi apapun, pada aspek eksteriornya sudah mengandung kemungkinan tak terhingga akan determinasi dalam pelbagai bentuk yang tak terbatas; aspek eksteriornya merupakan pusat dan sumber dari aktifitas penciptaan, dan prinsip keanekaragaman. Dalam aspek derajat pertama eksistensi ini Realitas Tertinggi merupakan Eksistensi Absolut, dan asal semua ciptaan, yang bermula dengan pancaran pertama eksistensi, yang menyentuh kepada aspek ini dimana kesempurnaan esensial (kamālāt dhātiyyah) dan kecenderungan-Nya (shu’ūn) menjadi termanifestasi pada kesadaran-Nya (cf. Hlm. 289 (II) dan 290 di atas). Penciptaan merupakan tindakan eksistensiasi dari Realitas Tertinggi; hal tersebut juga verifikasi dari apa yang sekaligus benar (pada Perintah penciptaan) dan nyata (secara potensial sebagaimana juga secara aktual). Maka, Eksistensi Absolut di sini identik dengan istilah Qur’an tentang ‘Kebenaran’ atau ‘Kebenaran-Kenyataan’ (al-haqq). Pancaran pertama eksistensi merupakan pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas), yang merupakan sebuah ekspansi tunggal eksistensi dengan cara yang umum (cth. wujūd ‘āmm), yang mengandung manifestasi bentuk-bentuk pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang mungkin dalam dunia yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Semua hal tersebut merupakan manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiyah. Hal ini merupakan yang pertama dari semua manifestasi realitas Eksistensi dan disebut determinasi pertama (ta’ayyun awwal), yang berhubungan dengan derajat kedua eksistensi. Realitas Tertinggi, pada level ekspresi ontologis ini, tidak lagi dipandang Esa secara absolut (ahadiyyah mutlaqah), tetapi Tunggal (fard) dengan sebab telah menyebabkan muncul dalam kesadaran-Nya akan potensialitas ‘yang lain’, diri-Nya sendiri sebagai Yang Lain daripada keyanglainan (otherness) dari ‘yang lain’. Tahap ini merupakan tahap Kesatuan dari yang banyak (wāhidiyyah). 210 Prolegomena Kemudian, sebagai sebuah artikulasi lanjutan dari ekspresi ontologis dan aktifitas penciptaan Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, memunculkan dalam kesadaran-Nya manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah yang berhubungan dengan derajat Keilahiyahan (iliāhiyyah) di mana, sebagai ‘Tuhan’ (ilāh), Dia dikualifikasikan dengan Nama-Nama (cth. mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll.) dan Sifat-Sifat (cth.pengetahuan, kehendak, kekuasaan, dll.) keilahiyahan. Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut merupakan partikularisasi lanjutan dari kecenderungan dan kesempurnaan esensial-Nya yang menjadi termanifestasi kepada-Nya yang sudah terdapat dalam derajat pertama eksistensi. Tahap ini menandai ‘penurunan’-Nya pada determinasi kedua (ta’ayyun thāni) yang berhubungan dengan derajat ketiga eksistensi. Tahap ini merupakan tahap Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Kini kencederungan dan kesempurnaan esensial Realitas Tertinggi itu termanifestasi kepada-Nya sebagai bentuk-bentuk Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Bentuk-bentuk tersebut secara esensial merupakan ‘gagasan-gagasan’ atau ‘intelejibel-intelejibel’ dalam pengetahuan Ilahi. Inheren dalam masing-masing bentuk tersebut itu terdapat sebuah aspek ‘keyanglainan’, sebuah keterpilahan yang khas pada dirinya sendiri dan dengan demikian juga berbeda dari-Nya. Mereka dikualifikasikan dengan ditegakkan secara permanen sebab sebagai ‘gagasan’ dalam pikiran Ilahi mereka berada secara permanen (baqā’) dalam pengetahuan Ilahi, dan tidak berubah dalam sifat-dasar mereka dan tidak bergerak dari kondisi interior dan intelejibel mereka. Dengan sebab keterpilahan mereka satu sama lain dan dari-Nya, dan dari kesinambungan mereka sedemikian rupa dalam pengetahuan Ilahi, mereka itu realitas-realitas (haqā’iq) asli yang kondisi masa depannya itu diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Inheren dalam masing-masing realitas terdapat potensialitas yang khas bagi masing-masing; masing-masing telah menerima ukurannya dalam proporsi (cf. qaddara) yang berkaitan, sehingga masing-masing memiliki kesiapan (isti’dād) untuk diaktualisasikan berdasarkan kebutuhannya. Inteleksi-Nya terhadap bentuk-bentuk tersebut dalam aspek mereka akan ‘keyanglainan’ dari-Nya, dan swapengungkapan-Nya (tajallī) pada mereka sebagaimana pancaran eksistensi-Nya yang mengembang terhadap mereka, yang membawa sifat-dasar positif mereka sebagai realitas-realitas yang dapat diaktualisasikan sebagai eksistensi konkret dan individual dalam dunia eksternal. Oleh karena itu realitas-realitas bersifat arketipal dalam alam dan esensi dan tepat disebut ‘arketip-arketip permanen’ (a’yān thābitah), yang level ontologisnya berhubungan dengan determinasi ketiga (ta’ayyun thālith) dari Eksistensi Absolut pada derajat keempat eksistensi (cf. hlm. 277-278; 290 (III), di atas). Kita katakan (hlm. 278, di atas) bahwa Eksistensi Absolut swa-mencukupi dalam kesuburan-Nya yang abadi, yang tidak membutuhkan yang ‘lain’ apapun itu, tetapi Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang nampak kepada-Nya pada derajat-derajat yang lebih rendah dari level ontologis memiliki kebutuhan agar realitas-realitas positif mereka diaktualisasikan dalam bentukmanifestasi (mazāhir) mereka di dunia tidak terlihat maupun yang terlihat. Aktualisasi mereka menyentuh pada aktualisasi yang bertalian dari potensialitas yang inheren di setiap mereka, sedemikian supaya muncul sebagai pembentangan kondisi masa depan mereka dalam eksistensi eksternal. Aktualisasi realitas-realitas positif mereka ini diakibatkan oleh swa-pengungkapan, determinasi, individuasi Eksistensi Absolut dalam bentuk-manifestasi mereka. Karena masingmasing realitas-realitas itu terpilah dari yang lain, dan masing-masing mengandung semua kondisi masa depannya untuk diaktualisasikan dalam tatanan sekuensial, swa-pengungkapanNya pada mereka tidak pernah berulang dalam bentuk-bentuk yang sama. Manifestasi lanjutan 211 Prolegomena Eksistensi Absolut ini dalam derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis berlangsung dengan pancaran yang lain (cth. yang kedua) dari eksistensi-Nya yang disebut pancaran suci (alfayd al-muqaddas), yang membawa kita pada fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam Dua Hari. Namun, sebelum tiba pada hal itu, kita melanjutkan interpretasi kita bahwa pemberianNya kepada segala hal “ukuran akan keberadaan dalam proporsi” (qaddara aqwātaha) mereka, dan “berdasarkan kebutuhan dari mereka yang meminta” (sawā’an li-al-sā’ilīn), bermakna dalam konteks ini menunjuk kepada potensialitas yang inheren dalam realitas-realitas hal-hal, dimana masing-masing diukur dalam proporsi dan berdasarkan kebutuhan sifat-dasarnya. PemberianNya akan makanan mereka secara mendasar bermakna pemberian-Nya akan eksistensi. Kini karena realitas-realitas tersebut membangkitkan dalam diri mereka sendiri sebuah kesiapan (isti’dād) sebagai penerima eksistensi sesuai dengan apa yang inheren pada mereka, maka kondisi dalam kebutuhan aktualisasi ini merupakan permintaan dari “mereka yang meminta” (al-sā’ilīn). Penjelasan singkat di halaman depan, yang pendatangannya dapat secara tepat ditangkap hanya setelah memahami secara utuh penjelasan yang disajikan dalam buku ini, merupakan interpretasi metafisis dari fase pertama penciptaan yang diselesaikan dalam Empat Hari. Aktifitas penciptaan Realitas Tertinggi muncul, menurut interpretasi ini, pada level ontologis aspek eksterior dari Keesaan Absolut-Nya yang secara beragam disebut ‘Harta yang Tersembunyi’, ‘Kebenaran’, ‘Eksistensi Absolut’, dan kemudian memroses pada determinasi pertama, kedua, dan ketiga dari Eksistensi Absolut. Hal tersebut berhubungan dengan derajat pertama, kedua, ketiga, dan keempat dari eksistensi, yakni: derajat Keesaan (al-ahadiyyah) yang mengarakteristikkan Eksistensi Absolut; Kesatuan Ilahiyah (al-wāhidiyyah); Nama-Nama dan Sifat-Sifat (al-asmā’ wa alşifāt); dan Arketip-Arketip Permanen (al-a’yān al-thabitāh) dalam tatanan mereka. Masing-masing derajat-derajat tersebut dikarakteristikkan memiliki aspek interioritas dan eksterioritas dan hubungan sebab akan prioritas dan posterioritas. Penjelasan kita tentang empat derajat eksistensi tersebut menunjukkan bahwa mereka bersesuaian dengan fase pertama penciptaan dalam Empat Hari yang disebutkan dalam Qur’an Suci, yang memang dapat juga disebut kepada mereka pada kenyataannya. Jika demikian, maka ini berarti fase penciptaan ini muncul dalam dunia interior dari intelejibel yang subjektif bagi Realitas Tertinggi, dimana dari sudut pandang kognisi manusia itu merupakan dunia entitas-entitas spiritual. Untuk fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam Dua Hari, kita diinformasikan bahwa Tuhan, “setelah menyelesaikan penciptaan sebelumnya (cth. fase pertama), mengarahkan rancangan-Nya (cth. Rencana-Nya membuat dengan tujuan yang jelas) pada Langit” (Fuşşilat (41): 11; lihat berbagai makna istawā ilā dalam Lisān al-‘Arab, XIV hlm. 414, kol. 1&2). Langit yang dimaksudkan, kita telah diberitahu, adalah sebagai asap (dukhān), yang berarti sesuatu yang sebagian fisik dan sebagian non-fisik dalam alam. Dia kemudian memerintahkan Langit dan Bumi untuk datang bersama secara sukarela atau terpaksa; dan mereka berdua datang dalam kepatuhan sukarela. Kemudian Dia melengkapi mereka dengan tujuh cakrawala dalam Dua Hari, dan menugaskan kepada masing-masing langit tugas dan perintahnya. Langit yang lebih rendah Dia hiasi dengan cahaya dan diamankan dengan penjaga (41: 11-12). Sudah kita lihat di sini, dalam Dua Hari yang disebutkan untuk melengkapi penciptaan semesta bersama semua bagiannya, sebuah kiasan kepada dua derajat terakhir eksistensi: derajat kelima dan keenam, yang berhubungan dengan determinasi keempat dan kelima dari Eksistensi Absolut. Hal itu juga dapat bahwa pada level artikulasi ontologis pada derajat kelima eksistensi (determinasi keempat), Langit dan Bumi yang ditunjuk tetap menyimbolkan aspek spiritual dan 212 Prolegomena intelejensial dalam perkembangan mereka ke dalam bentuk yang lebih dan lebih konkret. Tingkatan ini merupakan level arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah). Arketip-arketip eksterior tersebut menerima pancaran suci eksistensi yang mengalir dari aspek eksterior arketiparketip permanen. Kini arketip-arketip permanen pada faktanya itu merupakan realitas hal-hal yang ditegakkan dalam kehadiran kognitif dari Realitas Tertinggi. Mereka itu ‘realitas-realitas ideal’ yang berada secara permanen dalam pikiran Tuhan, dan sedemikian sehingga mereka tidak dibuat untuk muncul pada kondisi manifestasi eksterior dalam alam hal-hal empiris. Mereka dalam pengertian itu bukanlah ‘maujud’ meskipun mereka memiliki realitas ontologis positif. Dalam hubungan dengan arketip-arketip eksterior mereka merupakan determinan aktif dari semua maujud yang mungkin, karena mereka, lagi pula, merupakan artikulasi kecenderungan Ilahi; mereka merupakan realitas-realitas asli dan positif yang seimbang dalam kesiapan untuk mengaktifasikan potensialitas inheren pada mereka, dan untuk membentangkan keadaan masa depan mereka dalam bentuk eksistensi individual dan konkret dalam dunia eksternal. Dalam hal ini arketip-arketip eksterior bertugas sebagai penerima pasif mereka. Isi dari pancaran suci eksistensi adalah potensialitas tersebut, yang keadaan masa depannya secara bertalian diaktualisasikan dalam dunia hal-hal empiris melalui perantara arketip-arketip eksterior sebagaimana pancaran eksistensi tersebut mengembang terhadap mereka. Maka, arketip-arketip eksterior merupakan manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiyah dari Eksistensi Absolut. Karena arketip-arketip tersebut sendiri memiliki aspek interioritas dan eksterioritas, mereka menjadi, dalam hubungan dengan dunia hal-hal empiris, pengembang aktif aktualisasi kandungan mereka melalui aspek eksterior mereka sebagaimana pancaran eksistensi tersebut berlanjut mengembang terhadap mereka pada derajat level ontologis yang terendah. Level ontologis arketip-arketip eksterior merupakan determinasi keempat dari Eksistensi Absolut yang berhubungan dengan derajat kelima eksistensi. Yang keenam dan derajat yang terakhir eksistensi adalah level determinasi kelima akan Eksistensi Absolut. Hal itu merupakan manifestasi secara rinci dari derajat yang mendahului dan merupakan alam hal-hal empiris, dunia indera dan pengalaman inderawi yang sifat-dasarnya dikarakterisitikkan dengan kontingensi. (cf. hlm. 279-280, dan 290 (III), dan 290 (VI) di atas). Kini pada bagian di mana Tuhan memanggil Langit dan Bumi untuk datang bersama “sukarela atau terpaksa” (ţaw’an aw karhan) merupakan indikasi jelas yang menunjukkan bahwa Langit dan Bumi memiliki kesadaran kepatuhan dan ketidakpatuhan kepada perintah Ilahi kendati dari realitas dimana perintah tidak dapat dikontradiksikan. Hal itu juga menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan atau kapasitas untuk menjawab kata perintah Ilahi, karena mereka menjawab: “kami datang dalam kepatuhan sukarela” (ataynā ţā’i’īn). Kita memahami dari sini bahwa proses penciptaan yang digambarkan muncul pada level ontologis dari arketip-arketip eksterior dalam derajat kelima eksistensi. Seseorang dapat menyebut bahwa arketip-arketip eksterior merupakan penerima semua manifestasi kontingen dan makhlukiyah dari Eksistensi Absolut, dan bahwa dalam hubungan pada apa yang merupakan akibat dari mereka, yakni, dunia hal-hal empiris dalam derajat keenam dari eksistensi, mereka merupakan agen aktif aktualisasi dari kandungan mereka ke dalam eksistensi eksternal pada derajat terendah akan level ontologis. Perkataan mereka “kami datang dengan kepatuhan sukarela” secara eksplisit memberi kesan sifat-dasar pasif mereka; dan “kami datang” menyiratkan kekuatan atau kapasitas laten mereka untuk mengaktifkan aktualisasi akan kandungan mereka. Kemudian Tuhan memenuhi penciptaan mereka sebagai tujuh cakrawala; menugaskan pada masing-masing langit tugasnya dan perintahnya, dan menghiasi langit dari bumi kita (samā’ 213 Prolegomena al-dunyā) dengan jasad langit yang bercahaya dan mengamankannya dengan penjaga. Menurut interpretasi kita, hanya pada tahap ini kata-kata: ‘langit’ atau ‘cakrawala’ (samāwāt), ‘langit’ (samā) dan ‘bumi’ (ard yang dalam kasus ini ditunjuk sebagai dunyā) menunjuk pada semesta fisik bersama semua bagiannya. Kata dunyā, diturunkan dari akar dana, mengandung makna sesuatu yang ‘dibawa dekat’. ‘Dibawa dekat’, menurut kita, berarti ‘dibawa dekat’ pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel manusia. Sesuatu yang dibawa dekat pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel kita itu merupakan semesta fisik bersama semua bagiannya. Seluruh semesta fisik dibawa dekat kepada kita dengan cara ini dengan sebab realitas dan kebenaran yang menyusun tanda-tanda dan simbol-simbol (āyāt) Tuhan yang ditampilkan kepada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel dengan maksud bahwa kita dapat melihat makna dan tujuan mereka. Qur’ān Suci menyatakan demikian dalam banyak bagian. Jika kita benar dalam interpretasi kita, hal itu merupakan Dua Hari terakhir yang ditunjuk sebagai penyelesaian penciptaan ke dalam tujuh cakrawala; dan seluruh semesta fisik adalah yang terakhir dari tujuh langit. Penting untuk ditekankan di sini, meskipun kita tidak secara eksplisit mengelaborasi pada persoalan ini dalam halaman-halaman di bagian depan buku ini, yakni, tindakan penciptaan dari Realitas Tertinggi dalam aspek-Nya sebagai Tuhan, yakni, tindakan penciptaan: operasi Ilahiyah yang membawa eksistensi dari sesuatu yang non-eksistensi ‘selain’ Dia, tidak diselesaikan hanya dengan operasi kekuatan dan kehendak penciptaan-Nya. Memang, operasi yang dikombinasikan dari kekuatan penciptaan (qudrah) dan kehendak-Nya (iradāh) tentulah instrumental dalam tindakan penciptaan, tetapi tanpa kata perintah-Nya untuk ‘jadi’, dan tanpa pemberian eksistensiNya kepada apa Dia telah perintahkan untuk ‘menjadi’, hal yang demikian diperintah tidak akan pernah mampu menjadi being. Pemberian eksistensi-Nya dalam pengertian swa-pengungkapan, determinasi, partikularisasi, dan individuasi-Nya dalam samaran hal tersebut merupakan apa yang telah kita elaborasikan dalam buku ini. Hal itu merupakan pancaran eksistensi-Nya dan pengembangannya (pancaran, penerj.) terhadap realitas-realitas hal-hal berdasarkan kebutuhan mereka, dan dalam gradasi ambigu yang melibatkan hubungan sebab prioritas dan posterioritas dalam pelbagai derajat level ontologis. Maka penciptaan adalah (i) pemasukan eksistensi-Nya dalam bentuk hal-hal; (ii) perintah-Nya terhadap hal-hal untuk menjadi eksistensi; (iii) kekuasaanNya membawa hal-hal menjadi eksistensi eksternal; dan (iv) kehendak-Nya yang menspesifikasi hal tersebut untuk menjadi eksistensi eksternal pada waktu yang ditentukan. Karena Dia mengungkapkan diri-Nya dalam bentuk setiap segala hal, apa yang telah ‘jadi’ merupakan eksistensi-Nya yang mengaktualisasikan satu modusnya dalam samaran hal tersebut; sehingga ciptaan tersebut melibatkan juga kapasitas atau kekuatan sesuatu untuk menjawab perintah-Nya, seperti ke-hal-an (thingness) atau keyanglainannya, pendengarannya, dan kepatuhannya dalam menjadi seperti apa yang telah diperintahkan untuk menjadi — semua bertindak bersama secara simultan membawa dirinya sendiri ke dalam eksistensi eksternal. Tindakan penciptaan, kita katakan sebelumnya, merupakan tindakan tunggal yang diselesaikan “dalam kedipan mata”; tetapi tindakan penciptaan tersebut diulangi, sehingga sesuatu yang diciptakan berkembang sebagai sebuah proses pembentangan kondisi masa depan mereka dalam ciptaan baru secara terus menerus yang mengalami tahap-tahap ontologis. Akhirnya untuk menyimpulkan, dengan hal pada Penciptaan dalam Enam Hari sebagaimana diinterpretasikan oleh para komentator berdasarkan pada makna lahir dari bagian yang relevan, penjelasan mereka terhadap enam tahap berhubungan dengan Enam Hari bertepatan hanya dengan derajat terakhir eksistensi dari interpretasi kita. Hal ini berarti mereka 214 Prolegomena telah menginterpretasikan kata ‘Langit’ dan ‘Bumi’ dan ‘apa yang terletak di antara mereka’ dalam bagian ciptaan tersebut menunjuk hanya pada semesta fisik bersama dengan semua bagiannya, yang di dalam interpretasi kita terletak pada level ontologis derajat keenam eksistensi. Hal ini sebanyak sebagaimana harapan kita untuk mengandung di sini tanpa berlanjut ke dalam rincian lebih lanjut. Kita memohon Tuhan untuk mengampuni kita dimana kita terpeleset dan salah, untuk menghargai kita dengan bantuan dan petunjuk-Nya dalam pemahaman yang benar akan kata-kata-Nya dan tanda-tanda dan simbol-simbol-Nya yang makna tertingginya Dia sendirilah yang terbaik dalam mengetahuinya. 215 Prolegomena