Uploaded by nadhifradityo

Cerpen Lingkungan

advertisement
i
ii
KATA PENGANTAR
“Aksara Semesta” adalah sebuah karya kumpulan
cerpen siswa kelas IX.5. Kumpulan cerpen ini
bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas dan
mengasah bakat siswa.
Bersyukur kepada Allah S.W.T. atas terselesainya
karya ini, dan terima kasih kepada Dra. Mutmainah
Amini M. Pd. selaku Kepala SMP Negeri 3 Malang.
Juga kepada siswa-siswi kelas IX.5 yang telah
membaktikan dirinya untuk menulis karya ini.
Tentu saja karya ini masih jauh dari kata
sempurna.
Kritik
dan
saran
masih
sangat
diharapkan dari pembaca.
Malang, 4 November 2019
Pembimbing
iii
TIM REDAKSI
1. Penanggung Jawab Naskah
Dra. Hj. Zaenaf Nurlailie
2. Penanggung Jawab Cetak
1) Anyndino Ahmad Kurniawan
2) Yemmima Dwi Azzahra
3. Editor
1) Navysha Luthfiandari Maharani
2) Nadhif Radityo Nugroho
3) Muhammad Rakha Rahadian Setiaji
4. Illustrator
1) Adinda Maulidya Faradiba
2) Fadhilah Putri Ramadhani
3) Keisha Pramudhita Bernadi
5. Bendahara
1) Aniisah
2) Regytha Putri Ayuningtyas
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................. ii
Kata Pengantar ........................................................... iii
Tim Redaksi ................................................................. iv
Daftar Isi ..................................................................... v
Lebih Baik Mendengar
Karya Farah Putri Salsabila ...................................... 1
Alam Tak Butuh Balas Budi
Karya Farica Vashti Noverta D.S .......................... 11
Kembalikan Desaku yang Dulu
Karya Fitriana Herawati .......................................... 14
Mesin Pendeteksi Suara
Karya Irfan Sidiq Permana .................................... 35
Besarnya Cintaku Pada Lingkungan
Karya Izzata Sabbahana Falikulisbah ................. 70
Wira Sang Penjaga Hutan
Karya Jasmine Firdhousy Muslich ......................... 81
Bukan Hanya Lingkunganmu
v
Karya Karenina Ananta Adi .................................... 87
Ketika Semua Tidak Peduli
Karya Keisha Pramudhita Bernadi ...................... 104
Saint Helena
Karya Malika Syaharani ......................................... 113
Jojo si Sahabat Lingkungan
Karya Muhammad Farros Fauzi........................... 123
Hutan Pelindung Kehidupan
Karya Muhammad Habibi ...................................... 132
vi
Lebih Baik Mendengar
Farah Putri Salsabila / 12 / IX.5
Aku
termenung
melihat
sampah
itu
berserakan di sekitar sungai dan jembatan. Sudah
berkali – kali kuingatkan masyarakat Jembatan
Berantas Muharto untuk berhenti membuah
sampah di bawah kolong jembatan, tetapi mereka
selalu mengulang untuk membuang sampah dibawah
kolong jembatan itu. Mereka tidak pernah jera
pada perbuatan yang mereka lakukan. Padahal
setiap hujan, Sungai Berantas selalu meluap,
walaupun tidak sampai membanjiri pemukiman
tempat mereka tinggal.
1
Aku
sangat
sedih
mengetahui
bahwa
himbauan – himbauan yang telah kuberikan pada
warga
tidak
diindahkan
sama
sekali.
Sejak
pertama kali aku datang ke daerah ini, aku telah
melihat banyak tumpukan sampah lengkap dengan
sejuta lalat yang menghinggapinya. Sudah berkali
– kali aku datang untuk mengingatkan pada
masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan dan
berhenti untuk membuang sampah di bawah
jembatan ini. Aku juga selalu mengingatkan pada
masyarakat dampak membuang sampah di kolong
jembatan. Namun, nasehat – nasehatku tidak
pernah didengarkan oleh mereka. Mereka selalu
berfikir
bahwa
ceritaku
tentang
dampak
menumpuk sampah di bawah jembatan itu hanyalah
bualan, mereka meremehkanku.
Saat ini aku berdiri di depan sebuah
pengungsian korban banjir. Mereka yang dulu
2
selalu kuingatkan untuk menjaga kebersihan dan
berhenti untuk membuang sampah di bawah kolong
jembatan. Selain banyak yang terluka karena
bencana banjir, masyarakat juga mengalami diare
yang sangat parah akibat banyak lalat yang
menghinggapi makanan mereka. Menurut sang
tenaga medis, lalat – lalat itu kemungkinan besar
berasal dari tumpukan sampah yang mereka
timbun di bawah jembatan. Lalat itu sudah sejak
lama
menghinggapi
makanan
mereka,
namun
bakteri yang dibawa lalat itu berkembang biak
dalam tubuh masyarakat bawah kolong jembatan
ini dan menjadi sarang penyakit yang mereka alami
saat ini. Aku mengelus dada mengetahui semua
bencana yang menimpa mereka, aku sangat
prihatin, tapi aku juga kesal dengan mereka yang
meremehkanmu saat aku menasihati mereka.
3
Perlahan
aku
memasuki
kawasan
pengungsian ini, melihat banyak masyarakat yang
mengeluh perut mereka sakit. Perlahan aku
mendekati mereka, menanyakan kabar mereka,
hanya berbasa – basi. Kurasa itu perlu, mereka
butuh hiburan dan orang – orang yang menanyakan
bagaimana kabar mereka, aku hanya berharap apa
yang aku lakukan bisa berdampak baik bagi
mereka.
“Assalamualaikum Ibu ,” sapaku hangat pada
sekelompok ibu – ibu yang sedang berbincang –
bincang. “Waalaikumssalam, eh…. nak Wawan. Mari
duduk!” bu Marni menyambutku dengan senyum.
“Bagaimana kabarnya Ibu?” tanyaku membuka
obrolan. “Ya begini, mau dibilang baik – baik saja
tidak bisa. Mau dibilang tidak baik – baik saja juga
tidak bisa. Kami hanya terombang – ambing disini,
tidak tau bagaimana kedepannya ,” bu Marni
4
menjawab sendu. “Semua harta benda kami
terbawa arus, beruntung nyawa kami tidak ikut
hanyut. Kami kehilangan seluruh harta benda. Yang
bisa kami lakukan sekarang hanya menunggu
bantuan dari orang – orang baik diluar sana,” bu
Ina meneteskan air mata. “Yang sabar bu, semua
ini pasti ada hikmahnya. Semuanya akan kembali
normal seperti biasanya, hanya butuh waktu untuk
memperbaiki semua ini,” balasku menenangkan.
“Iya nak, terimakasih,” bu Marni tersenyum. “Saya
pamit dulu ya bu, saya ada urusan mendadak,”
kataku sambil memberi sebuah bingkisan yang
kuharap bisa memperbaiki keadaan mereka..
“Terimakasih nak, sukses selalu untukmu,” bu Ina
tersenyum malu padaku.
Aku
terburu
–
buru
meninggalkan
pengungsian itu untuk menyelesaikan urusanku,
namun lagi – lagi aku terdiam melihat banyak warga
5
terbaring
di
atas
ranjang.
Mereka
semua
mengeluh kesakitan, tapi tenaga medis hanya bisa
menenangkan para pasien. Saat aku teringat
urusanku, aku terburu – buru meninggalkan
pengungsian
dengan
hati
teriris
–
iris.
Kutinggalkan mereka dengan harapan mereka akan
lebih baik kedepannya.
Pagi ini aku bangun ditemani mata panda
yang ada pada mataku. Mata itu kudapat dari
begadang tadi malam. Setelah aku pulang dari
kampus, aku tidak bisa tidur memikirkan banyak
hal yang kualami hari ini. Mungkin salah satunya
tentang masyarakat Jembatan Berantas Muharto
yang tadi kukunjungi. Di tengah lamunanku, iba
tiba kudengar ada suara ketukan dari luar.
‘Tok…tok…tok… Assalamualaikum,” suara itu
menyusul
suara
itu
ketukan
pintu
itu.
“Waalaikumssalam,” aku berlari dari dalam rumah
6
untuk membukakan pintu. Betapa terkejutnya aku
saat melihat banyak warga bawah Jembatan
Berantas Muharto. Aku berusaha memikirkan, apa
alasan mereka datang ke rumahku, atau mungkin
lebih kepada darimana mereka tahu rumahku.
Sapaan mereka menyadarkanku dari pemikiranku.
“Assalamualaikum nak Wawan. Selamat pagi,” sapa
Pak Burhan. “Waalaikumssalam pak, mari masuk,”
balasku menggaruk tengkuk. “Oiya nak,” Kata Pak
Burhan sambil memasuki rumahku. “Ada apa ya
pak? Saya penasaran bagaimana bapak – bapak ini
mengetahui
rumah
saya,”
kataku
memecah
keheningan. “Saya mencari infromasi dari warga
sekitar nak,” Pak Burhan menjawab. “Kami ingin
silaturahmi saja, sekaligus ingin meminta maaf
pada nak Wawan,” Pak Adi menambahi.
“Setelah beberapa minggu yang lalu nak
Wawan tidak kembali ke kawasan kamung kami,
7
perilaku warga semakin manjadi – jadi. Kami selalu
menunggu kedatangan nak Wawan untuk kembali
mengingatkan kami, tapi kami memang keterlaluan.
Kami tidak pernah menghiraukan apa yang nak
Wawan beritahukan pada kami. Dan akhirnya
musibah itu terjadi, kami sangat kesusahan.
Berbagai macam musibah mendatangi kami, dimulai
dari banjir hingga diare parah yang menimpa
kami,” kata Pak Udin sendu. “Kami minta maaf nak,
kami
tidak
pernah
mengindahkan
nasihatmu
kemarin – kemarin. Kemarin malam, Ucup anak saya
meninggal. Kata dokter, diare yang diderita ucup
terlalu parah. Saya tidak habis pikir, dampak dari
membuang sampah sembarangan akan sampai
seperti ini. Saya kehilangan putra kesayangan
saya,” kata Pak Adi sambil menundukkan kepala.
“Saya turut berduka cita atas musibah yang
menimpa warga Kampung Muharto, saya hanya
8
berhara kejadian seperti ini tidak akan terjadi di
daerah lain. Lingkungan harus selalu dijaga
kelestariannya. Hidup kita akan terus sejahtera
apabila alam sejahtera. Sampah yang ada harus
dimanfaatkan dengan baik, apabila memang sudah
tidak
bermanfaat,
sebaiknya
dibuang
pada
tempatnya, bukan ditimbun. Dampaknya sangat
buruk bagi lingkungan,” kataku menjelaskan.
“Iya nak Wawan, kami minta maaf,” sesal
Pak
Udin.
“Seharusnya
dari
dulu
kami
mendengarkan apa katamu, mungkin ini semua
tidak akan terjadi,” pak Burhan menambahi.
“Sudahlan pak, yang sudah terjadi biarlah berlalu.
Mungkin ada hikmat yang bisa kita ambil dari
kejadian ini,” jawabku. “Yasudah kalau begitu, kami
pamit dulu. Maaf mengganggu pagimu nak,” pamit
Pak Adi. “Terimakasih nak,” kata mereka serentak
9
sambil meninggalkan rumahku. “Iya pak, saya juga
terimakasih,” kataku melepas mereka.
Aku senang sekaligus sedih. Aku sangat
sedih mengetahui bahwa anak Pak Udin, Ucup
meninggal karena musibah ini. Tetapi aku juga
sedih mengetahui bahwa warga Kampung Muharto
sadar akan kesalahan mereka. Memang sudah
sepatutnya sampah dibuang di tempatnya, bukan
malah dibuang di bawah jembatan. Hal itu bisa
menyebabkan
banjir
yang
akan
menerjang
pemukiman disekitarnya. Belum lagi kawanan lalat
yang akan menghinggapi makanan warga.
10
Alam Tak Butuh Balas Budi
Farica Vashti Noverta Dias Susila / 13 / IX.5
Suasana siang kota Malang seperti hari –
hari biasanya. Padat dengan bisingnya kendaraan
bermotor
dan
banyak
polusi.
Tak
jarang
menemukan para pengendara yang memiliki hati
batu dengan menerobos lampu merah. Tak pelak
itu roda empat maupun roda dua, sama – sama
melanggar. Para pedagang kaki lima pun tak peduli
dengan larangan berdagang di trotoar yang
merupakan hak bagi pejalan kaki.
Sampah
pun banyak berserakan di mana – mana, pertanda
11
kurangnya perhatian dari masyarakat. Bak orang
buta dengan apa yang dilihatnya, pada tempat
sampah yang bertuliskan, “Buanglah sampah pada
tempatnya!”. Mungkin itu hanya hiasan yang
ditempel di sepanjang jalan saja. Tukang bersih
jalanan tersebar di setiap penjuru yang ada.
Dulunya, tugas mereka hanya menyapu daun – daun
yang berguguran. Sekarang perbedaanya sangat
kentara sekali, kini mereka membersihkan jalanan
dari sampah – sampah plastik. Malah daun – daun
yang berguguran jarang sekali karena banyaknya
penebangan pohon. Banyak lahan hijau, pohon –
pohon ditebang. Hanya untuk membuat perumahan,
apartemen, dan gedung – gedung pencakar langit
lainnya. Seorang direktur, CEO, dan arsitek
mungkin lupa dengan pelajaran yang ada di
sekolahnya dahulu yang mewajibkan pelestarian
lingkungan.
Sebenarnya
12
ini
bukan
hanya
masyarakat kota Malang saja yang merutuki panas
di bumi ini. Padahal cuaca panas ini juga karena
ulah mereka. Siapa yang suruh menebang pohon?
Tap!
Tap!
Suara
langkah
kaki
itu
mendominasi hening di sebuah rumah. Seorang
wanita berpakaian santai keluar dari kamarnya
dengan membawa gelas kosong. Langkah kakinya
tertuju ke salah satu ruangan lain di rumah itu
untuk mengambil air minum. Kerongkongannya
terasa seperti kebakar karena panasnya cuaca
hari ini. Padahal semalam baru saja turun hujan
yang cukup deras. Sangat berbeda sekali kemarin
dan hari ini. “Kamu sedang apa, Ros?” yang
dipanggil menoleh. Meletakkan gelas yang sedari
tadi berada di dalam genggamannya ke meja.
“Haus, Kak. Hari ini sangat panas sekali, padahal
kipas angin di kamarku sudah nyala. Hujannya
kapan berhentinya, Kak?” tanya wanita yang tadi
13
dipanggil dengan naman “Ros” itu. “Subuh baru
berhenti. Kipas angin di kamarmu nyala dari
semalam?” wanita bernama lengkap Rose Sheila itu
mengangguk. Tangannya sibuk mencari bahan
makan di almari yang sepertinya telah habis.
“Mie instannya habis, Kak San?” tanya Ros
kepada kakaknya yang bernama lengkap Sandra
Inara itu dengan kening yang berkerut. Sandra
pun menjawab dengan ketus, “Coba tanya Bi Tri,”
Ia langsung berlalu menuju sofa yang tidak jauh
keberadaanya dari dapur. Ros yang merasa
diabaikan hanya berdecih kesal. Air yang baru saja
dituangkannya langsung ditenggak habis dalam
sekali tegukan. Ros pun bergegas menuju Bi Tri.
14
“Bi Tri, mie instannya habis ya?” tanya Ros.
“Iya Non, belum saya belikan lagi,” tutur Bi Tri
dengan sopan. Ros pun menyusul sang kakak yang
sudah nyaman duduk di sofa. “Makan mie instan
terus tidak baik untuk kesehatanmu, Ros. Kamu
sudah besar, harusnya bisa jaga diri kamu.
Walaupun kakak ini dokter, kakak kan juga sibuk.
Tidak akan bisa terus jaga kamu,” tutur Sandra
saat Ros sudah mengambil tempat duduk di
sampingnya. Rose bungkam. Matanya menatap
lurus ke arah televisi yang sedang menyiarkan
berita bencana banjir yang menyapa Ibukota.
15
“Tidak sering sebenarnya, Kak. Seminggu
mungkin hanya 2 kali saja,” jawab Ros. Lalu ada
seseorang turun dari lantai atas yang mendengar
keributan mereka berdua. Seseorang ini adalah
Ibu mereka yang mereka biasa panggil Bunda. “Ada
apa ini ribut – ribut saja?” tanya Bunda. “Itu si Ros
setiap hari makannya mie instan terus,” jawab
Sandra dengan singkat. “Tidak setiap hari juga
Bun, kan tadi aku sudah bilang ke kakak kalau 2 kali
dalam
seminggu,”
kata
Rose
menyangkal
pernyataan kakaknya. “Sudah sudah, Kak Sandra
benar jangan sering makan mie instan,” bela Bunda
kepada Sandra, dan langsung pergi menuju dapur.
Ros heran karena menurutnya itu tidak
sering, lagipula mie instan adalah makanan yang
sangat enak untuk di makan. Tetapi, Sandra
sekarang lebih fokus terhadap berita banjir yang
ada di televisi, dan sudah tidak menghiraukan
16
adiknya itu. Lalu Sandra bergumam sendiri, “Hujan
jarang tapi tetap saja banjir terus kenapa ya,
heran,” Gumaman Sandra membuat Ros menjadi
memperhatikan berita. “Sungai Ciliwung itu ya?
Tapi itu juga salah sendiri membuat rumah di
bantaran
sungai,”
timpal
Ros.
Sandra
pun
mengangguk membenarkan ucapan adik semata
wayangnya itu. “Oh ya, tugas referensi yang kamu
buat itu sudah selesai? Pakai tema apa?” tanya
Sandra
mengalihkan
topik
pembicaraan.
“Pemanasan global, Kak,” kata Ros. Dewi lantas
membekap mulutnya dan tertawa tertahan, Rose
mengernyit
bingung
tak
paham
apa
yang
seharusnya bisa ditertawakan. “Kenapa, Kak?”
tanya Ros dengan raut wajah penuh tanda tanya.
Sandra
menghela
napas,
“Kamu
pakai
tema
pemanasan global tapi sering makan mie instan.
Kan lucu,”
17
Rose kembali berpikir, masih tak mengerti
apa hubungan antar mie instan dengan pemanasan
global, karena selama ini Ros bersekolah tidak ada
pembelajaran yang mengaitkan antara mie instan
dengan
pemanasan
global.
“Memang
ada
hubungannya Kak antara global warming dan mie
instan?” tanya Ros penasaran. Sandra mengangguk
antusias. “Jelas ada, bungkus mie instan itu kan
terbuat dari plastik dan kamu tahu sendiri jangka
waktu yang dibutuhkan sampai plastik itu terurai
bukan?”
tanya
mengangguk
Sandra
tanda
pada
Ros,
mengerti.
dan
Ros
“Plastik
membutuhkan waktu bahkan hingga beratus –
ratus tahun untuk terurai. Saat tertimbun di
dalam tanah pun, plastik juga akan menimbulkan
pencemaran tanah yang hasilnya tanah tidak akan
subur kembali dan banyak tumbuhan mati. Saat
tumbuhan mati kayu akan menjadi langka,” jelas
18
Sandra panjang lebar. Tetapi tetap saja raut
wajah Rose menjelaskan jika wanita itu sedang
memutar otaknya. “Lalu bungkus mie instan bisa
menimbulkan pemanasan global bagaimana caranya
memang, Kak?” tanya Ros sangat penasaran. “Jika
tumbuhan mati akhirnya manusia beralih dari kayu
untuk membuat rumah. Lantas apa yang dilakukan
manusia?”
jawab
Sandra
dengan
sengaja
menyelipkan pertanyaan.
“Rumah kaca,” Rose sudah mulai paham
dengan apa yang dbicarakan oleh kakaknya itu.
“Padahal rumah kaca itu efeknya sangat besar
untuk kehidupan kita yaitu pemanasan global,”
jelas Sandra lagi. “Ros, setelah hari ini sadarkan
dirimu sendiri. Lingkungan penting untuk kita.
Kenyataannya kita lah yang lebih membutuhkan
mereka,” Sandra mengakhiri penjelasannya. Rose
tertegun. Sejujurnya ia tak tahu jika hal sekecil
19
ini pun yang dilakukannya akan berefek sebesar ini
pada kehidupan di bumi.
Rose diam seribu bahasa. Bahkan sampai
Sandra telah beranjak dari hadapannya, ia masih
tak membuat pergerakan yang berarti. Setelah
mendengar
penuturan
menyadari
betapa
sang
kakak,
pentingnya
ia
baru
alam
bagi
kelangsungan hidup manusia. Penjelasan itu sukses
mencungkil perasaannya. Mungkin setelah hari ini
akan ada yang berbeda dalam hidupnya. Mungkin
cara pandang dan sikapnya pada alam. Alam tak
butuh balas budi, ia hanya butuh dikasihi.
20
Kembalikan Desaku yang Dulu
Fitriana Herawati / 14 / IX.5
Langit cerah menghiasi bumi seisinya.
Birunya langit menandakan adanya kedamaian.
Pohon bergoyang ke kanan kiri, melambaikan
tangan dengan riangnya. Hijau pohon menyejukkan
segala pandangan. Seorang petani yang tinggal di
pinggir hutan sedang bergembira menyambut hari
cerah di pagi ini. Petani itu hanya tinggal bersama
seorang anaknya, karena istrinya sudah meninggal
4 tahun lalu. Di sebelah rumah petani itu terdapat
sebuah desa yang bernama Desa Asri.
21
Ketika petani sedang duduk di teras sambil
melihat keadaan desa, anaknya yang bernama Dewi
menghampirinya sambil membawa secangkir teh
hangat. “Diminum dulu tehnya, Yah,” kata Dewi
sambil menaruh secangkir teh hangat di meja.
“Iya, Nak,” jawab si petani. Kemudian ia meminum
secangkir teh hangat yang dibuat oleh Dewi.
“Kalau kamu tau, Wi, lingkungan desa kita sekarang
jauh berbeda dengan dulu,” kata si petani.
“Maksud Ayah?” tanya Dewi penasaran.
“Dulu, setiap warga di sini sangat antusias
untuk menanam berbagai jenis tumbuhan di depan
rumahnya, dengan demikian, desa kita menjadi
sejuk dan rindang. Akan tetapi, sekarang banyak
warga yang sudah tidak peduli dengan lingkungan.
Hal itu menyebabkan desa kita menjadi panas dan
tidak sejuk seperti dulu lagi,” kata si petani
menceritakan keadaan desa yang dulu.
22
Kemudian ia menambahkan, “Hutan desa
yang dulunya menjadi habitat banyak rusa,
sekarang menjadi habitat tumbuhan saja. Dulu
ayah sering bermain dengan rusa-rusa itu, tetapi
sekarang rusa-rusa itu sudah tidak ada lagi. Selain
itu,
dulu
semua
warga
sangat
menyadari
pentingnya menjaga lingkungan alam. Akan tetapi,
seiring dengan kemajuan teknologi, warga justru
berbuat seenaknya pada lingkungan alam. Ayah
berpesan kepada Dewi, supaya Dewi terus menjaga
dan merawat lingkungan,” jelas si petani kepada
Dewi. “Insyaallah, Yah, Dewi akan berusaha
menjaga lingkungan ini dengan sebaik-baiknya,”
ucap Dewi dengan penuh semangat.
Pada suatu hari yang tenang dan damai, di
mana burung berkicau dengan suka cita. Pepohonan
sedang bermain dengan angin dan menari-nari ke
sana kemari, hingga menghasilkan gerakan yang
23
sangat indah. Akan tetapi, ketenangan itu kini
terusik oleh kedatangan orang-orang berseragam
proyek dengan berbagai alat berat. Seketika Dewi
kaget melihatnya, semua warga tampak antusias
dan senang atas kedatangan mereka. Hal itu yang
membuat
Dewi
merasa
bingung
dan
heran.
“Mengapa warga malah senang dengan kedatangan
mereka?” ucap Dewi dalam hati. Tanpa berpikir
panjang, Dewi segera menemui ayahnya di sawah.
“Permisi, Yah,” sapa Dewi buru-buru. Petani
itu langsung menghentikan kegiatannya di sawah.
“Iya, Nak, ada apa?” tanya si petani. “Ada hal yang
sangat penting, Yah!” jawab Dewi cemas. “Penting?
memangnya ada apa, Nak?” tanya si petani
penasaran. “Ada sekelompok orang berseragam
proyek datang ke desa. Mereka menuju ke hutan,
kelihatannya mereka ingin menebangi pohon, ayah
harus segera ke hutan!” jelas Dewi.
24
Sesampainya di hutan ternyata hutan
tersebut sangat ramai warga. Para warga melihat
pekerja yang sedang menghitung jumlah pohon dan
menyusun rencana untuk melaksanakan proyek
mereka. Bahkan ada juga warga yang berjualan di
sekitarnya demi mendapatkan uang. Hal itu
terjadi, karena ada proyek besar di desa. Si petani
langsung menemui Bapak Kepala Desa yang sedang
berbincang-bincang dengan ajudannya. “Apa yang
bapak lakukan dengan semua ini?” tanya si petani
dengan
lantang,
sampai-sampai
para
warga
memperhatikannya.
“Lho, Anda kok tiba-tiba marah? saya tidak
mengerti maksud anda,” jawab Bapak Kepala Desa
yang terlihat tenang. “Bapak menyetujui proyek
yang akan merugikan warga dalam jangka waktu
yang panjang, apakah Bapak tidak berpikir bahaya
apa saja yang akan ditimbulkan?” ucap si petani
25
kecewa. Bapak Kepala Desa langsung membalas
perkataan si petani, “Saya kepala desa di sini, saya
mengerti kebutuhan warga saya, anda tidak bisa
menentang kebijakan saya,” jawab Bapak Kepala
Desa. “Baiklah, saya tidak akan berbicara panjang
lebar, saya peringatkan, proyek ini tidak akan bisa
berjalan lama. Bapak yang menghancurkan, dan
Bapak juga yang menanggung akibatnya. Bapak
akan menyesal suatu saat nanti” jelas si petani
dengan tegas. Bapak Kepala Desa tersenyum sinis
“Lihat! warga mendukung kebijakan saya dengan
hadir di proyek ini,” jawab Bapak Kepala Desa
dengan angkuhnya dan si petani langsung pergi,
tanpa menghiraukannya.
Pada siang hari ketika seorang petani dan
anaknya sedang tidur, tiba-tiba terdengar suara
mesin yang memilukan hati. Selain itu, terdengar
juga suara gemuruh dari pepohonan yang tumbang.
26
Dengan segera, si petani bangun dari tempat
tidurnya dan menuju ke sumber suara tersebut.
“Hei kalian, hentikan perbuatan itu!” teriak petani
kepada gerombolan penebang kayu.
Akan tetapi, para penebang kayu di dalam hutan
itu tidak mendengarkan sedikitpun perkataan si
petani. Setelah berusaha dengan sekuat tenaga, si
petani berhasil mendekat ke arah penebang kayu.
Ia menghentikan penebangan tersebut dengan
berdiri di dekat gergaji mesin. “Apa yang kau
lakukan? Apa kamu mau cari mati?” teriak salah
seorang di antara penebang kayu. “Aku tidak akan
membiarkan kalian terus menebang pepohonan di
hutan ini. Apakah kalian tidak mengetahui bahwa
banyak
sekali
makhluk
hidup
yang
sangat
bergantung dengan mereka. Apakah kau juga tidak
mengetahui akibat yang akan terjadi jika semua
pohon di sini habis kau tebangi?” teriak petani itu.
27
Para penebang pohon merasa terganggu dengan
kehadiran si petani. Mereka juga merasa kesal,
bahkan mereka membawa si petani dengan paksa
untuk menjauh dari lokasi tersebut.
Si petani itu tidak tinggal diam. Ia segera
pergi untuk menemui Bapak Kepala Desa. Ia
mengadukan semua kejadian itu, tetapi apa daya,
usaha yang dilakukan oleh si petani itu gagal.
Ternyata alasan Bapak Kepala Desa menyetujui
adanya proyek itu adalah ia ingin mensejahterakan
rakyat melalui proyek besar yang ada di desa.
Petani itu menyerah pada keadaan ini. Ia langsung
memutuskan
untuk
kembali
ke
rumah.
Sesampainya di rumah, petani itu langsung duduk
di teras. “Mengapa? karena alasan ingin sejahtera.
Apakah mereka tidak sadar bahwa lingkungannya
akan hancur dan pasti mereka akan menjadi
korbannya. Alam akan menjadi musuh jika kita
28
tidak memeliharanya dan alam akan bersahabat
jika kita memeliharanya,” kata si petani hampir
meneteskan air mata kesedihan karena usahanya
gagal.
Dewi,
sebagai
anaknya
langsung
menenangkan si petani.
“Ayah, Dewi mohon. Ayah jangan bersedih.
Mungkin kita tidak dapat menghentikan, tetapi
kita bisa
mendoakan supaya mereka diberi
kesadaran, Yah,” jawab Dewi sambil menghapus air
mata si petani. “Terima kasih Nak, ternyata anak
ayah sudah mulai tumbuh menjadi dewasa, dan
bijak,”
kata
petani
itu
sambil
tersenyum.
Mendengar kata-kata si petani, Dewi tersenyum
malu, “Ah, ayah bisa saja,”
Setelah 1 bulan, proyek itu selesai. Para
pekerja pada proyek itu sudah menghabiskan
semua kayu yang ada di hutan, dan tidak ada yang
tersisa sedikitpun. Kini hutan itu menjadi gersang.
29
Si petani langsung datang ke rumah Bapak Kepala
Desa dan membicarakan hal tersebut. “Desa kita
sekarang menjadi gersang, Pak. Jika kita tidak
segera
menanam
pohon,
maka
akan terjadi
bencana yang tidak kita inginkan. Bagaimana jika
besok kita adakan kerja bakti dan penanaman
pohon di hutan. Apakah Bapak setuju?” kata si
petani kepada Bapak Kepala Desa. “Untuk apa
menanam pohon? pohon itu tidak ada pengaruhnya
untuk kita. Lagi pula desa kita ini sudah sejahtera
dengan
adanya
proyek
penebangan
pohon
kemarin,” jawab Bapak Kepala Desa dengan tegas.
“Apakah
bapak
tidak
merasakan
dampak
penebangan pohon yang telah terjadi di desa ini?
desa kita sekarang menjadi panas, karena sudah
tidak ada pohon yang dapat menghasilkan udara
segar, Pak,” kata si petani dengan penuh amarah.
30
Kemudian ia menambahkan, “Untuk itu,
maka kita harus mengadakan penanaman pohon
supaya desa kita tidak panas dan tidak terjadi
kekeringan, Pak,” Kata si petani dengan tegas.
Bapak Kepala Desa berpikir sejenak, “Baiklah,
terima kasih kamu telah mengingatkan saya. Saya
setuju dengan pendapat kamu. Nanti akan saya
umumkan kepada semua warga desa bahwa besok
pagi akan diadakan kerja bakti dan penanaman
pohon di hutan,” kata Bapak Kepala Desa. “Samasama, Pak. Mari kita perbaiki desa ini bersamasama. Kalau begitu saya pamit dulu ya, Pak,” kata
si petani.
Matahari mulai muncul dari ufuk timur.
Kini saatnya kerja bakti dan penanaman pohon
dimulai. Si petani dan anaknya sangatbersemangat
dengan diadakannya kegiatan ini. Tidak hanya si
petani dan anaknya yang bersemangat, tetapi para
31
warga juga bersemangat dengan diadakannya
kegiatan ini. Alasannya adalah, karena mereka
sadar bahwa mereka tidak boleh merusak dan
sembarang menebang pohon-pohon yang ada di
hutan. Hutan adalah sumber kehidupan yang harus
dijaga kelestariannya. Bapak Kepala Desa dan para
warga sudah berkumpul di hutan. Mereka sudah
siap untuk menanam pohon.
“Baiklah, sekarang kita mulai kerja bakti
dan penanaman pohonnya. Akan tetapi, sebelum
memulai kegiatan pada pagi hari ini, marilah kita
berdoa menurut keyakinan kita masing-masing,”
kata Bapak Kepala Desa. Selesai berdoa, mereka
langsung bekerja bakti untuk membersihkan
hutan. Sementara itu, si petani dan anaknya
menyiapkan tanaman yang akan ditanam di hutan.
“Yah, tanamannya sudah saya hitung, semua ini
jumlahnya ada 385 pohon,” kata Dewi kepada si
32
petani. “Baiklah, Nak, pupuknya juga sudah ayah
siapkan, sekarang kita membatu membersihkan
hutan terlebih dahulu,” kata si petani kepada
anaknya.
Selesai menyiapkan pohon-pohon yang akan
ditanam,
mereka
langsung
ikut
membantu
membersihkan hutan dengan alat yang mereka
bawa. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB.
“Mohon perhatiannya untuk semua warga. Hutan
sudah menjadi bersih, kini saatnya penanaman
pohon dimulai. Silakan setiap warga mengambil
satu pohon untuk ditanam di hutan dan mengambil
pupuk secukupnya,” kata Bapak Kepala Desa. “Baik,
Pak,” jawab seluruh warga dengan kompak.
Para warga langsung mengambil pohon dan
menanamnya. Selesai menanam pohon mereka
langsung memberi pupuk secukupnya. Beberapa
tahun kemudian pekerjaan mereka mulai ada
33
hasilnya. “Hutan kita mulai hijau kembali, Yah.
Desa kita sudah tidakpanas lagi,” kata Dewi
kepada si petani. “Iya, Nak, ini berkat keja sama
kita semua,” jawab si petani. Akhirnya para warga
hidup dengan gembira, karena sekarang hutan
menjadi hijau kembali. Para warga pun menyadari,
bahwa hutan itu perlu untuk menjaga harus
dipelihara dengan sungguh-sungguh tidak ada lagi
penebangan pohon.
34
Mesin Pendeteksi Suara
Irfan Sidiq Permana / 15 / IX.5
Saat itu adalah malam musim panas yang
hangat. Klausner berjalan cepat melalui gerbang
depan dan di sekitar sisi rumahnya untuk ke taman
di belakang. Ia pergi menyusuri taman sampai dia
tiba di sebuah gudang kayu. Ia membuka kunci
pintu, masuk ke dalam, dan menutup pintu di
belakangnya. Bagian dalam gudang tersebut adalah
ruangan tua yang tidak dicat. Bersandar di
dinding, di sebelah kiri, terlihat meja kerja kayu
yang panjang, dan di atasnya, di antara serasah
kabel, baterai, dan alat-alat kecil yang tajam,
35
berdiri sebuah kotak hitam sekitar tiga meter
panjangnya, berbentuk seperti peti mati anakanak, dan sebuah benda yang terlihat seperti
radio usang di samping kotak.
Klausner
bergerak
melintasi
ruangan
menuju kotak tersebut. Bagian atas kotak itu
terbuka. Dia membungkuk serta mulai menyodok
dan mengintip di dalamnya di antara banyak kabel
dan
tabung
perak
yang
berbeda-beda.
Ia
mengambil selembar kertas yang tergeletak di
samping kotak, mempelajarinya dengan hati-hati,
meletakkannya, mengintip ke dalam kotak dan
mulai menjalankan jari-jarinya di sepanjang kabel,
menariknya dengan lembut untuk menguji koneksi,
melirik kembali ke kertas, kemudian ke dalam
kotak, lalu di kertas lagi memeriksa setiap kawat.
Raut
wajahnya
nampak
sangat
serius.
Ia
mempelajari dan memahami setiap detail dari
36
semua informasi dan instruksi dalam kertas,
sambil melihat ke dalam kotak. Setelah hampir
satu jam, ia akhirnya menaruh tangannya di depan
kotak, dimana disana terdapat tiga tombol.
Ia mulai menekan tombol-tombol itu, dan
pada saat yang bersamaan mengawasi gerakan
mekanisme di dalam kotak. Ia berbicara dengan
lembut kepada dirinya sendiri, menganggukkan
kepalanya, kadang-kadang tersenyum. Tangannya
selalu bergerak, jari-jarinya bergerak dengan
cepat dan cekatan di dalam kotak, dan alisnya
terangkat
ketika
ada
sesuatu
yang
mengejutkannya. Ia bergumam, “Ya… benar… dan
sekarang yang satu ini… tapi apakah ini benar?
Apakah ini- tunggu, dimana diagramku? Oh iya…
tentu… dan sekarang… ya… bagus, bagus… ya, ya,
ya…” Dia berkonsentrasi dengan sungguh-sungguh,
pergerakannya cepat, terasa keseriusan dan
37
kehati-hatiannya dari cara ia bekerja. Ia menahan
napasnya, juga kegembiraannya yang ia tahan
dengan kuat, tak sabar dengan hasilnya.
Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki
diluar. Dia kemudian berdiri tegak dan berbalik ke
belakang, saat seorang pria tinggi masuk ke dalam
garasinya. Ia adalah Scott. Itu hanyalah Scott,
sang dokter.
“Ya,
ya,
ya…
Jadi
disinilah
Anda
menyembunyikan diri pada saat sore sampai
malam,” kata sang dokter. “Hai, Scott. Apa yang
sedang kau lakukan disini?” kata Klausner. "Saya
kebetulan lewat," kata Dokter kepadanya, "jadi
saya mampir untuk melihat keadaan Anda. Tidak
ada orang di rumah, jadi saya datang ke sini.
Bagaimana keadaan tenggorokanmu selama ini?”
jawab Dokter. “Tidak ada masalah. Aku baik-baik
saja,” jawab Klausner. “Mumpung saya disini, tidak
38
ada salahnya saya sekalian memeriksa Anda,”
sahut Dokter. “Tidak usah repot-repot. Aku sudah
sembuh. Aku baik-baik saja,”
Sang dokter mulai merasakan suasana
ketegangan di ruangan itu. Dia melihat kotak hitam
di bangku, lalu ganti memandang pria itu.. Dokter
mendekat dan membungkuk untuk melihat ke
dalam kotak. "Apa ini?" katanya. "Membuat
radio?" "Tidak, hanya bermain-main,” "Dalamnya
sepertinya agak rumit. Apa yang ingin Anda buat?"
tanya Dokter. "Benda ini terlihat menakutkan,”
"Itu hanya sebuah ideku saja. Ini ada hubungannya
dengan suara, itu saja,”
Dokter pergi ke pintu, berbalik, dan
berkata, "Yah, aku tidak akan mengganggumu.
Senang tenggorokanmu sudah sembuh,” tapi dia
terus berdiri di sana memandangi kotak itu,
tertarik dengan kerumitan luar biasa di dalamnya,
39
ingin tahu apa yang dilakukan pasien anehnya ini.
"Untuk apa ini sebenarnya?" tanyanya. "Kamu
membuatku penasaran,”
Klausner menatap kotak itu, lalu ke Dokter.
Ia mengulurkan tangannya dan mulai menggaruk
cuping telinga kanannya. Ia berhenti sejenak.
Dokter
berdiri
di
dekat
pintu,
menunggu,
tersenyum. "Baiklah, aku akan memberitahumu,
jika kau tertarik,” katanya. Ia berhenti lagi, dan
sang dokter bisa melihat bahwa Klausner kesulitan
harus bagaimana untuk memulainya. "Yah, begini...
teorinya sangat sederhana kok. Telinga manusia ...
kita tahu bahwa itu tidak dapat mendengar
semuanya. Ada suara yang sangat rendah atau
sangat
tinggi
sehingga
manusia
tidak
bisa
mendengarnya,”
"Ya," kata Dokter. "Itu benar.” "Yah,
kasarnya, setiap nada yang begitu tinggi sehingga
40
memiliki lebih dari lima belas ribu getaran per
detik, dengan kata lain, suara ultrasonik, kita
tidak bisa mendengarnya. Anjing memiliki telinga
yang lebih baik daripada kita. Kau tahu, kau bisa
membeli peluit yang notnya sangat tinggi sehingga
kau tidak bisa mendengarnya sama sekali. Tapi
seekor anjing bisa mendengarnya,”
"Ya, saya pernah melihatnya," kata Dokter.
Dokter menunggunya untuk melanjutkan. Klausner
menghela
napas
dan
menggenggam
kedua
tangannya erat-erat. “Aku percaya,” katanya,
berbicara lebih lambat sekarang, “bahwa ada
dunia yang penuh dengan suara tentang kita
sepanjang waktu yang tidak dapat kita dengar.
Ada kemungkinan bahwa di atas sana di daerahdaerah yang tidak dapat didengar dengan nada
tinggi itu ada musik baru yang mengasyikkan,
dengan harmoni yang halus dan perpaduan yang
41
tajam, musik yang begitu kuat sehingga akan
membuat kita marah jika hanya telinga kita saja
yang disetel untuk tidak bisa mendengar suara itu.
Mungkin ada sesuatu... untuk semua yang kita tahu
mungkin- "
"Ya," kata Dokter. "Tapi itu terdengar tidak
meyakinkan,” "Kenapa tidak?” Klausner menunjuk
ke lalat yang duduk di gulungan kecil kawat
tembaga di meja kerja. “Kau lihat lalat itu?
Kebisingan macam apa yang dihasilkan lalat itu
sekarang? Tidak ada - yang bisa didengar orang.
Tetapi kita tidak tahu, makhluk itu mungkin
bersiul seperti orang gila dengan nada yang sangat
tinggi, atau menggonggong atau bernyanyi atau
menyanyikan lagu. Ia punya mulut, bukan? Punya
tenggorokan?" Dokter melihat lalat tersebut, dan
dia tersenyum. Dia masih berdiri di dekat pintu
42
dengan kedua tangannya di atas gagang pintu.
"Yah," katanya. "Jadi, kamu akan memeriksanya?"
"Beberapa waktu yang lalu," kata Klausner,
"aku
membuat
instrumen
sederhana
yang
membuktikan kepadaku adanya banyak suara aneh
yang tak terdengar. Seringkali aku duduk dan
menyaksikan jarum alatku merekam keberadaan
getaran suara di udara ketika saya sendiri tidak
dapat mendengar apa pun. Itulah suara yang ingin
kudengar. Aku ingin tahu dari mana suara itu
berasal dan siapa atau apa yang menimbulkannya. "
"Dan mesin di atas meja itu," kata Dokter,
"apakah itu akan membuat Anda mendengar suarasuara ini?" "Mungkin. Siapa tahu? Sejauh ini, aku
tidak beruntung. Tetapi aku telah membuat
beberapa perubahan di dalamnya dan malam ini
saya siap untuk percobaan lain. Mesin ini,” katanya,
sambil
menyentuhnya
43
dengan
tangannya,
“dirancang untuk mengambil getaran suara yang
terlalu tinggi untuk diterima oleh telinga manusia,
dan mengubahnya menjadi skala nada yang dapat
didengar. Aku menyetelnya, hampir seperti radio,”
“Apa yang kamu maksud? Ini tidak rumit.
Misalnya saja saya ingin mendengarkan derit
kelelawar. Itu suara yang bernada cukup tinggi sekitar tiga puluh ribu getaran per detik. Ratarata telinga manusia tidak bisa mendengarnya.
Sekarang, jika ada kelelawar terbang di sekitar
ruangan ini dan aku menyetel ke tiga puluh ribu di
mesinku, aku akan mendengar derit kelelawar itu
dengan sangat jelas. Aku bahkan akan mendengar
nada yang benar – F#, atau Bb, atau apa pun itu tetapi hanya pada nada yang jauh lebih rendah.
Apakah kau masih tidak mengerti?" Sang dokter
memandangi kotak peti mati yang panjang dan
berwarna hitam itu. "Dan kamu akan mencobanya
44
malam ini? Yah, semoga kamu beruntung,” Dia
melirik arlojinya. “Ya ampun!” katanya, “saya harus
pergi.
Selamat
tinggal.
Terima
kasih
telah
memberitahu saya. Saya akan menelepon lagi
kapan-kapan dan mencari tahu apa yang terjadi,”
Dokter keluar dan menutup pintu di belakangnya.
Untuk
beberapa
saat
lagi,
Klausner
megotak-atik kabel-kabel di kotak hitam, lalu dia
menegakkan tubuh dan dengan bisikan lembut
berbisik berkata, "Sekarang kita akan mencoba
lagi... Kita akan membawanya, ke taman kali ini...
dan kemudian mungkin... mungkin kali ini... resepsi
akan lebih baik. Angkat sekarang... dengan hatihati... Ya Tuhan, berat!" Dia membawa kotak itu
beserta radio tua di sampingnya dengan susah
payah ke kebun. Dia meletakkan kotak itu dengan
hati-hati di atas meja kayu kecil yang berdiri di
halaman, kembali ke gudang dan mengambil
45
sepasang earphone. Ia menyambungkan kotak
tersebut dengan radio usang, Dan memasang
earphone ke radio tersebut. Gerakan tangannya
cepat dan tepat. Dia terus berbicara kepada
dirinya
sendiri
dengan
sedikit
kata-kata
penghiburan dan dorongan semangat, seolah-olah
dia takut - takut bahwa mesin itu tidak akan
bekerja dan takut juga dengan apa yang akan
terjadi nanti jika mesin itu bekerja.
Dari tempat ia berdiri, dia bisa melihat
pagar rendah ke taman berikutnya, dan ada
seorang wanita berjalan menyusuri taman dengan
keranjang
bunga
di
lengannya.
Dia
memperhatikannya sebentar tanpa memikirkannya
sama sekali. Lalu dia berbalik ke kotak di atas
meja dan menekan tombol di bagian depannya. Dia
meletakkan tangan kirinya di pengontrol volume
dan tangan kanannya di kenop yang menggerakkan
46
jarum melintasi dial pusat yang besar, seperti dial
gelombang panjang radio. Dial ditandai dengan
banyak angka, dalam serangkaian band, mulai dari
15.000 dan berlanjut hingga 1.000.000. Jarum
kecil itu merayap perlahan di atas dial, dan tibatiba dia mendengar jeritan, jeritan menusuk yang
menakutkan. Dia melompat dan menjatuhkan
tangannya, menengok sekitar, mengecek apakah
ada orang yang telah menjerit. Tidak ada seorang
pun yang terlihat kecuali wanita di taman sebelah,
dan tentu saja bukan dia. Wanita itu membungkuk,
memotong mawar kuning dan menaruhnya di
keranjangnya.
Sekali lagi datang - jeritan tidak manusiawi,
tidak manusiawi, tajam dan pendek, sangat jernih
dan dingin.
Klausner memandang sekitarnya,
secara naluriah mencari sumber suara. Wanita di
sebelah adalah satu-satunya makhluk hidup yang
47
terlihat. Dia melihatnya mencapai ke bawah,
mengambil batang mawar di jari-jari satu tangan
dan gunting batang dengan gunting. Lagi-lagi dia
mendengar teriakan itu, pada saat yang tepat
ketika
batang
menegakkan
mawar
tubuh,
dipotong.
Wanita
itu
meletakkan
gunting
di
keranjang dengan mawar dan berbalik untuk pergi.
"Nyonya Saunders!" Teriak Klausner, suaranya
melengking karena kegembiraan. "Oh, Nyonya
Saunders!" Dan ketika memandang sekeliling,
wanita
itu
melihat
tetangganya
berdiri
di
halamannya - orang kecil yang fantastis, yang
melambaikan tangan dengan sepasang earphone di
kepalanya - memanggilnya dengan suara yang
begitu tinggi dan keras sehingga dia menjadi
khawatir. “Potong satu lagi! Tolong potong satu lagi
dengan cepat!” kata Klausner.
48
Nyonya Saunders selalu percaya bahwa
tetangganya adalah orang yang agak aneh, dan
sekarang sepertinya dia sudah benar-benar gila.
Dia bertanya-tanya apakah dia harus lari ke rumah
dan menjemput suaminya. Tidak, ia tidak terlihat
berbahaya, pikirnya. "Tentu saja, Tuan Klausner,
jika
Anda
suka,"
katanya.
Dia
mengambil
guntingnya dari keranjang dan mengambil mawar
lainnya. Lagi-lagi Klausner mendengar pekikan
menakutkan di earphone, lagi-lagi itu datang pada
saat yang tepat batang mawar dipotong. Dia
melepas earphone dan berlari ke pagar yang
memisahkan kedua taman. "Baiklah," katanya,
"Sudah cukup. Tidak lagi. Tolong jangan lagi,”
Klausner
berhenti
memberitahumu
sejenak.
sesuatu,
Nyonya
"Aku
akan
Saunders,"
katanya, "sesuatu yang tidak akan Anda percayai,”
Dia meletakkan tangannya di atas pagar dan
49
mengintipnya dengan cermat melalui kacamatanya
yang tebal. “Malam ini, Anda telah memotong
sekeranjang penuh bunga mawar. Anda memiliki
gunting tajam memotong batang makhluk hidup,
dan setiap mawar yang Anda potong menjerit
dengan cara yang paling mengerikan. Apakah Anda
tahu itu, Nyonya Saunders?”
"Tidak, aku tentu tidak tahu itu,” katanya.
"Aku mendengar mereka menjerit. Setiap kali
Anda memotong satu, saya mendengar tangisan
kesakitan. Suara bernada sangat tinggi, kira-kira
seratus tiga puluh dua ribu getaran per detik.
Anda mungkin tidak bisa mendengarnya sendiri.
Tapi
saya
mendengarnya,"
Klausner
memberitahunya. "Apakah Anda serius, Tuan
Klausner?" Dia memutuskan akan berlari ke rumah
dalam waktu sekitar lima detik. “Anda mungkin
berkata,” dia melanjutkan, “bahwa semak mawar
50
tidak memiliki sistem saraf untuk merasakan,
tidak ada tenggorokan untuk menangis. Anda
benar. Belum. Tidak seperti milik kita. Tapi
bagaimana
Anda
tahu,
Nyonya
Saunders,
bagaimana Anda tahu bahwa semak mawar tidak
merasakan banyak rasa sakit ketika seseorang
memotong batangnya menjadi dua seperti Anda
akan
merasa
jika
seseorang
memotong
pergelangan tangan Anda dengan gunting kebun?
Bagaimana Anda tahu? Itu hidup, bukan?” Klausner
mencoba meyakinkannya. "Ya, Tuan Klausner. Oh,
ya- dan selamat malam,” Dengan cepat dia berbalik
dan berlari menaiki taman ke rumahnya. Klausner
kembali ke meja. Dia memakai earphone dan
berdiri sebentar mendengarkan. Dia masih bisa
mendengar suara derak samar dan suara dengung
mesin, tapi tidak lebih. Dia membungkuk dan
memegang bunga aster putih kecil yang tumbuh di
51
halaman. Dia mengambilnya di antara ibu jari dan
jari telunjuk dan perlahan menariknya ke atas dan
ke samping sampai batangnya patah.
Dari saat dia mulai menarik ke saat
batangnya patah, dia mendengar - dia dengan jelas
mendengar di earphone - tangisan bernada rendah
yang samar, anehnya mati. Dia mengambil bunga
aster lain dan melakukannya lagi. Sekali lagi dia
mendengar tangisan, tetapi dia tidak yakin
sekarang bahwa itu menunjukkan rasa sakit. Tidak,
itu tidak menyakitkan, itu mengejutkan. Atau
apakah
itu?
Itu
tidak
benar-benar
mengekspresikan perasaan atau emosi apa pun
yang diketahui manusia. Itu hanya seruan, seruan
netral, berbatu, satu nada tanpa emosi, tidak
mengungkapkan apa pun. Itu sama dengan mawar.
Dia salah dalam menyebutnya tangisan kesakitan.
Seekor bunga mungkin tidak merasakan sakit.
52
Rasanya sesuatu yang lain yang tidak kita ketahui.
Dia berdiri dan melepas earphone. Hari sudah
mulai gelap dan dia bisa melihat tusukan cahaya
bersinar di jendela-jendela rumah di sekelilingnya.
Dengan hati-hati dia mengambil kotak hitam dari
meja,
membawanya
ke
dalam
gudang
dan
meletakkannya di meja kerja. Kemudian dia keluar,
mengunci pintu di belakangnya dan berjalan ke
rumah. Keesokan paginya Klausner bangun segera
setelah hari terang. Dia berpakaian dan langsung
pergi ke gudang. Dia mengambil mesin dan
membawanya keluar, menggenggamnya ke dadanya
dengan kedua tangan, berjalan dengan goyah di
bawah beratnya. Dia melewati rumah, keluar
melalui gerbang depan, dan menyeberang jalan
menuju taman. Di sana dia berhenti dan melihat
sekelilingnya, kemudian dia melanjutkan sampai
dia tiba di pohon besar, pohon beech, dan dia
53
meletakkan mesin itu di tanah dekat dengan
batang pohon. Dengan cepat dia kembali ke rumah
dan mengambil kapak dari gudang batu bara dan
membawanya di seberang jalan ke taman. Dia
meletakkan kapak di tanah di samping pohon.
Kemudian dia melihat sekelilingnya lagi, mengintip
dengan gugup melalui kacamata tebal ke segala
arah. Tidak ada orang di sana. Saat itu pukul
setengah enam pagi.
Dia meletakkan earphone di kepalanya dan
menyalakan
mesin.
Dia
mendengarkan
bunyi
dengung samar yang familiar, kemudian dia
54
mengambil kapak, mengambil kuda-kuda dengan
kedua kakinya terpisah lebar dan mengayunkan
kapak sekuat yang dia bisa di pangkal batang
pohon. Kapak tersebut memotong jauh ke dalam
kayu dan menempel di sana, dan pada saat
tumbukan ia mendengar suara paling luar biasa di
earphone. Itu adalah suara baru, tidak seperti
yang pernah ia dengar sebelumnya. Suara yang
keras, suara yang sangat besar, suara menggeram,
bernada rendah, menjerit, tidak cepat dan singkat
seperti suara mawar, tetapi ditarik keluar seperti
isak tangis untuk satu menit penuh, paling keras
pada saat kapak menghantam, secara bertahap
memudar semakin samar sampai hilang.
Klausner menatap ngeri ke tempat pisau
kapak telah tenggelam ke dalam kayu pohon,
kemudian dengan lembut dia mengambil pegangan
kapak, mencabutnya dari pohon dan melemparkan
55
benda itu ke tanah. Dengan jari-jarinya ia
menyentuh luka yang dibuat kapak di kayu,
menyentuh tepi luka, dan ia terus berkata,
"Pohon ... oh, pohon ... aku minta maaf ... sungguh
maaf ... tapi itu akan sembuh ... itu akan sembuh ...”
Untuk sesaat dia berdiri di sana dengan
tangan di atas batang pohon besar, kemudian tibatiba dia berbalik dan bergegas keluar dari taman,
di seberang jalan, melalui gerbang depan dan
kembali ke rumahnya. Dia pergi ke telepon,
memutar nomor telepon dan menunggu. Dia
memegang gagang telepon dengan erat di tangan
kirinya dan mengetuk meja dengan tidak sabar
dengan tangan kanannya. Dia mendengar telepon
berdengung di ujung sana, dan kemudian klik
penerima yang terangkat dan suara pria, suara
mengantuk, berkata: "Halo. Iya,”
56
"Dokter Scott?" katanya. "Iya. Dengan saya
disini. " jawab Dokter. "Dokter Scott. kau harus
datang sekarang - cepat, tolong. " suara Klausner
terdengar
histeris.
"Siapa
ini?"
Dokter
memastikan. "Klausner di sini, dan kamu ingat apa
yang kukatakan tadi malam tentang pengalamanku
dengan suara, dan bagaimana aku berharap aku
bisa—" Klausner mencoba mengingatkan. "Ya, ya,
tentu saja, tapi ada apa? Apakah kamu sakit?"
tanya Dokter. "Tidak, aku tidak sakit, tapi -"
jawab Klausner. "Sekarang jam setengah enam
pagi," kata Dokter, "dan kamu memanggilku tetapi
kamu tidak sakit,” Dokter terdengar sedikit
marah. "Silakan datang. Cepat datang. Aku ingin
seseorang mendengarnya. Itu membuatku gila!
Aku tidak percaya ... " kata Klausner. Dokter
mendengar nada panik dan nyaris histeris dalam
suara pria itu. “Kamu benar-benar ingin aku keluar
57
dari tempat tidur dan datang sekarang?” Dokter
berkata perlahan. "Ya sekarang. Tolong, segera. "
jawab Klausner. "Baiklah, kalau begitu - aku akan
datang,”
Klausner duduk di samping telepon dan
menunggu. Dia mencoba mengingat seperti apa
suara pekikan pohon itu, tetapi dia tidak bisa. Dia
hanya bisa mengingat bahwa itu sangat besar dan
menakutkan, membuatnya merasa mual karena
ketakutan. Dia mencoba membayangkan suara
macam apa yang akan dibuat manusia jika dia harus
berdiri berlabuh di tanah sementara seseorang
dengan sengaja mengayunkan benda tajam kecil di
kakinya sehingga bilahnya memotong dalam dan
menyelipkan dirinya dalam potongan itu. Jenis
kebisingan yang sama mungkin? Tidak. Cukup
berbeda. Suara pohon itu lebih buruk daripada
suara manusia yang dikenal karena kualitas yang
58
menakutkan, tanpa nada, tanpa tenggorokan. Dia
mulai bertanya-tanya tentang makhluk hidup
lainnya, dan dia segera memikirkan ladang gandum
yang berdiri tegak dan kuning dan hidup, dengan
mesin pemotong rumput melewatinya, memotong
batang, lima ratus batang per detik, setiap detik.
Ya Tuhan, seperti apa suara itu? Lima ratus
tanaman gandum menjerit-jerit bersama dan
setiap detik lima ratus lainnya ditebang dan
menjerit dan - tidak, pikirnya, ia tidak ingin pergi
ke ladang gandum dengan mesin miliknya. Ia
mungkin tidak akan pernah makan roti setelah itu.
Tetapi bagaimana dengan kentang dan kol, wortel,
dan bawang? Dan bagaimana dengan apel? Ah
tidak. Apel baik-baik saja. Mereka jatuh secara
alami ketika mereka matang. Apel baik-baik saja
jika
kita
membiarkannya
jatuh
alih-alih
merobeknya dari cabang pohon. Tapi bukan
59
sayuran. Bukan kentang misalnya. Kentang pasti
akan menjerit; begitu pula wortel, bawang, dan
kol…
Dia mendengar bunyi klik pada gerendel
gerbang depan, dan melihat Dokter jangkung
turun dari tambalan, tas hitam kecil di tangannya.
"Yah," kata Dokter. "Nah, apa masalahnya?" "Ikut
denganku, Dokter, aku ingin kau mendengarnya.
Aku memanggilmu karena hanya kaulah yang saya
beri tahu. Letaknya di taman. Maukah kau datang
sekarang? "
Dokter menatapnya. Dia tampak lebih
tenang sekarang. Tidak ada tanda-tanda kegilaan
atau histeria, dia hanya terlihat gelisah dan
bersemangat. Mereka menyeberang jalan ke
taman dan Klausner memimpin jalan ke pohon
beech besar, yang dibawahnya berdiri mesinnya
kemarin - dan kapak.
60
"Mengapa Anda membawanya ke sini?"
Dokter bertanya. “Aku ingin sebatang pohon.
Tidak ada pohon besar di taman.” "Dan mengapa
kapak?" "Kau akan lihat sebentar lagi. Tapi
sekarang tolong pakai earphone ini dan dengarkan.
Dengarkan
baik-baik
dan
katakan
padaku
sesudahnya tepat apa yang kau dengar. Aku ingin
memastikan..." Dokter tersenyum dan mengambil
earphone dan meletakkannya di telinganya.
Klausner membungkuk dan menekan sakelar
pada panel mesin, kemudian dia mengambil kapak
dan mengambil kuda-kuda dengan kedua kakinya
terpisah, siap untuk diayunkan. Sejenak dia
berhenti. "Bisakah kau mendengar sesuatu?"
katanya kepada Dokter. "Bisakah aku apa?"
"Bisakah kau mendengar sesuatu?" "Hanya suara
dengungan,”
61
Klausner berdiri di sana dengan kapak di
tangannya
mencoba
untuk
membuat
dirinya
berayun, tetapi memikirkan suara yang akan
membuat pohon itu membuatnya berhenti.
"Apa yang kau tunggu?" Dokter bertanya.
"Tidak ada," jawab Klausner. Ia mengangkat kapak
dan mengayunkannya ke pohon, dan saat ia
mengayunkannya, ia merasakan sedikit pergeseran
bumi di bawah kakinya seolah-olah akar-akar
pohon itu bergerak di bawah tanah. Tetapi sudah
terlambat untuk memeriksanya, dan bilah kapak
menabrak pohon dan menyelipkan jauh ke dalam
kayu. Pada saat itu, di atas kepala, terdengar
suara serpihan kayu pecah dan suara desiran daun
menyapu
daun-daun
lainnya.
Mereka
berdua
mendongak dan Dokter berseru, “Awas! Lari,
Klausner! Cepat lari!”
62
Dokter telah mencabut earphone-nya dan
melarikan diri dengan cepat, tetapi Klausner
berdiri terpesona, menatap cabang besar yang
membungkuk perlahan ke bawah, patah dan jatuh
dengan cepat. Untungnya Klausner melompat ke
samping tepat pada waktunya. Batang itu jatuh
diatas mesin dan menghancurkannya menjadi
beberapa bagian.
"Astaga!" Teriak Dokter ketika dia berlari
kembali. “Itu hampir saja! Saya pikir itu benarbenar akan mengenai Anda!” Klausner menatap
pohon itu. Kepalanya yang besar condong ke satu
sisi dan di atas wajahnya yang putih mulus ada
ekspresi
tegang
dan
ngeri.
"Apakah
kau
mendengarnya?" katanya, menoleh ke Dokter.
Suaranya nyaris tak terdengar.
Dokter masih kehabisan napas karena
berlari dan kegembiraan. "Dengar apa?" “Di dalam
63
earphone. Apakah kau mendengar sesuatu ketika
kapak
itu
mengenai
pohon?”
Dokter
mulai
menggosok bagian belakang lehernya. "Yah,"
katanya,
"sebenarnya…”
mengerutkan
kening
dia
dan
berhenti
menggigit
dan
bibir
bawahnya. “Tidak, saya tidak yakin. Saya langsung
melepaskannya saat cabang besar itu tumbang,”
"Ya, ya, tapi apa yang kau dengar?" "Aku
tidak tahu," kata Dokter. "Saya tidak tahu apa
yang saya dengar. Mungkin suara cabang itu
pecah,” Ia berbicara dengan cepat, agak kesal.
"Seperti
apa
suaranya?"
Klausner
sedikit
mencondongkan tubuh ke depan, menatap tajam ke
arah Dokter. "Seperti apa suara itu?" "Oh, sial!"
Dokter berkata, "Aku benar-benar tidak tahu.
Ayo kita pulang saja. " "Dokter Scott, seperti apa
suaranya?"
64
"Demi Tuhan, bagaimana aku bisa tahu, saat
ada cabang besar yang jatuh kearahku dan harus
berlari menyelamatkan hidupku?" Dokter itu jelas
tampak mengatakan yang sebenarnya. Klausner
berdiri diam, menatap sang Dokter dan selama
setengah menit dia tidak berbicara. Dokter
menggerakkan kakinya, mengangkat bahu, dan
setengah berbalik untuk pergi. "Yah," katanya,
"kita sebaiknya kembali,”
"Sekarang,"
kata
pria
kecil
itu,
dan
sekarang wajahnya yang putih mulus tiba-tiba
dipenuhi warna. “Jahit ini,” Dia menunjuk ke luka
terakhir yang dibuat kapak di cabang pohon yang
patah. "Kau jahit ini dengan cepat. Satukan batang
yang patah tadi kembali ke asalnya,” kata Klausner.
"Jangan bercanda,” jawab Dokter. “Lakukan apa
yang
aku
katakan.
Jahit
itu,”
Klausner
mencengkeram pegangan kapak dan dia berbicara
65
dengan lembut, dengan nada ingin tahu, hampir
mengancam. "Jangan konyol, aku tidak bisa
menjahit kayu. Ayolah. Ayo kembali, " kata Dokter.
"Jadi kau tidak bisa menjahit kayu?" tanya
Klausner. "Tidak, tentu saja tidak,” jawab Dokter.
"Apakah kamu punya yodium di tasmu?" Klausner
kembali bertanya. "Bagaimana kalau aku punya?"
Dokter memasang wajah ragu-ragu. "Kalau begitu
basahi
luka
itu
dengan
yodium.
Itu
akan
menyengat, tetapi itu akan membantu pohon itu
tumbuh,” kata Klausner. “Ayolah, jangan konyol.
Ayo kembali ke rumah dan kemudian..." kata
Dokter, dan sekali lagi dia berbalik seolah pergi.
"Basahi-cabang-yang terpotong-dengan-yodium,”
perintah Klausner.
Dokter itu ragu-ragu. Dia melihat tangan
Klausner menegang pada pegangan kapak. Dia
memutuskan bahwa satu-satunya alternatif adalah
66
melarikan diri dengan cepat, dan dia tentu tidak
akan melakukan itu. "Baiklah," katanya. "Aku akan
mengolesinya dengan yodium,”
Dia
mengambil
tas
hitamnya
yang
tergeletak di rumput sekitar sepuluh meter
jauhnya, membukanya dan mengeluarkan sebotol
yodium dan wol kapas. Dia naik ke batang pohon,
membuka botol, menaruh beberapa yodium ke wol
kapas, membungkuk dan mulai mengoleskannya ke
dalam potongan. Dia terus mengawasi Klausner
yang berdiri tak bergerak dengan kapak di
tangannya,
mengawasinya.
"Pastikan
kamu
melakukannya dengan benar,” kata Klausner. "Ya,"
jawab
Dokter.
diperintahkan.
Dokter
"Itu
melakukan
dia,"
katanya.
apa
yang
"Selesai,”
Dokter meletakkan kapasnya yang berisi yodium.
Dia
menegakkan
tubuh
67
dan
mengamati
pekerjaannya
dengan
sangat
serius.
"Itu
seharusnya akan bekerja dengan baik,”
Klausner mendekat dan dengan serius
memeriksa
kedua
luka
itu.
"Ya,"
katanya,
menganggukkan kepalanya yang besar perlahanlahan ke atas dan ke bawah. "Ya, itu akan baik-baik
saja,” Dia melangkah mundur. "Kau akan datang
dan melihat pohon ini lagi besok?" tanya Klausner.
"Oh, ya, Tentu saja,” Jawab Dokter. "Dan beri
yodium lagi?" Klausner kembali bertanya. "Jika
perlu, ya,” Kata Dokter. "Terima kasih, Dokter,"
kata Klausner, dan dia menganggukkan kepalanya
lagi. Ia menjatuhkan kapak dan tiba-tiba dia
tersenyum, senyum liar, bersemangat, dan cepatcepat Dokter mendekatinya dan dengan lembut dia
menggandeng lengannya. dan dia berkata, "Ayo,
kita harus pergi sekarang," Mereka berjalan pergi,
mereka berdua, berjalan diam-diam, agak buru68
buru melintasi taman, melewati jalan, kembali ke
rumah.
69
Besarnya Cintaku Pada Lingkungan
Izzata Sabbahana Falikulisbah / 16 / IX.5
Namaku Valerie Thomas. Aku lahir di kota
kecil di Singapura. Tahun ini, ayahku sedang
dipindahtugaskan di Indonesia sebagai perwakilan
kantornya. Aku senang sekali, karena Indonesia
adalah negara yang terkenal akan pulaunya serta
lautnya
yang
indah.
Mungkin
di
Indonesia,
keluargaku akan tinggal lebih lama. Di sana, aku
akan tinggal di salah satu kota, Kota Malang
namanya. Nama itu agak asing bagiku, karena yang
ku tahu hanya Jakarta, Bali, dan Papua. Aku pun
segera
menjelajah
internet
70
untuk
mencari
berbagai informasi tentang Malang. Aku kaget
sekali karena Malang adalah salah satu kota di
Jawa Timur yang terkenal akan pendidikannya dan
wisatanya. Aku jadi semakin tidak sabar untuk
pergi ke sana.
Kata ayah, aku akan disekolahkan di SMP Bina
Taruna. Sekolah itu sama seperti Junior High
School di kotaku. Ayah bilang, sekolah ini adalah
sekolah terbaik di Malang dengan murid-murid
terpintar dan guru-guru yang super disiplin.
Sebenarnya,
aku
agak
berat
meninggalkan
sekolahku karena banyak teman yang membujukku
agar tidak pergi. Tapi mau bagaimana lagi, ini
sudah menjadi keputusan ayah.
Akhirnya hari ini pun tiba. Hari dimana aku
menjalani kehidupan baru di kota baru dan sekolah
baru. Aku mengelilingi semua sudut rumahku untuk
mengucapkan perpisahan. Setelah itu, kami pun
71
segera
berangkat
ke
Bandara
Internasional
Changi karena pesawat kami akan berangkat 1 jam
lagi.
Hari ini sangat cerah entah kenapa. Seakan
langit
sangat
mendukung
kepergianku
ke
Indonesia. Semilir angin menembus tubuhku.
Helai-helai rambutku menari-nari terbawa angin,
menikmati suasana yang membuatku terhipnotis.
Kuhirup lagi udara segar dengan maksimal dan
mengembuskannya.
Tiba-tiba
seseorang
mengejutkanku.
"Val, ayo pesawat kita akan berangkat,
jangan melamun saja," kata mama. "Iya ma,” Aku
pun segera mengikuti mereka untuk masuk ke
dalam pesawat menuju Indonesia. Kulihat keluar
jendela, burung-burung terbang kesana kemari
seperti mengikuti pesawat kami. Mendung pun
malu menampakkan awannya, karena kalah akan
72
sinar mentari yang begitu cerah. Perjalanan kami
akan ditempuh kira-kira 2 jam lebih lamanya.
Mataku
mulai
mengantuk,
mungkin
karena
mempersiapkan koper kemarin. Aku pun tertidur
lelap.
"Val, ayo bangun kita sudah sampai," Suara
parau ayah membangunkanku. "Kita sudah sampai
yah?" Kataku merasa perjalanan ini sangat singkat.
"Sudah, ayo," kata ayah lagi. Sesampai disana,
ayah langsung memanggil taksi untuk mengantar
kami ke rumah yang sudah dipersiapkan. Aku
melihat daerah sekitar sini masih tampak begitu
asri,
bahkan
jarang
terlihat
gedung-gedung
pencakar langit. Memang, bandaranya sedikit jauh
dari kota.
Setelah 30 menit perjalanan, kami sampai di
suatu daerah bernama Karaja. Disinilah tempat
tinggal baruku. Aku pun segera membantu ayah
73
mengeluarkan koper dan barang dari bagasi mobil,
dan meletakkanya di ruang depan rumah. Mama
membuatkan makanan untuk aku dan ayah sebagai
pengganjal rasa lapar. "Valerie, besok kamu sudah
bisa berangkat ke sekolah barumu, ayah akan
mengantarmu," kata ayah. "Baik ayah," kataku
singkat.
Hari esok pun tiba. Pagi-pagi sekali mama
sudah bangun untuk menyiapkan sarapan. Disini
berbeda sekali, masuk sekolah harus kurang dari
jam setengah tujuh. Pagi sekali, bahkan aku tidak
sempat menonton acara tv kesukaanku. Sesampai
di sekolah aku sangat kagum karena ini hari
diadakannya Green School Festival di sekolah
baruku. Semua murid berkumpul di lapangan dan
menyambut juri dengan yel-yel yang sudah
dipersiapkan. Mereka semua sangat kompak dan
74
bersemangat. Betapa bangganya aku menjadi
murid di sekolah ini.
Namun, disaat jam istirahat tidak sedikit
siswa yang
membuang
sampah sembarangan.
Betapa terkejutnya aku. Bagaimana bisa hal ini
terjadi? Di Singapura tentunya sudah didenda
orang
yang
membuang
sampah
tidak
pada
tempatnya. Aku hanya bisa diam karena belum
mengenal satu pun siswa disini. Mungkin bagi
mereka aku terlihat asing karena rambutku tidak
hitam, melainkan coklat tua.
"Anak-anak kita kedatangan murid baru,
perkenalkan dirimu Valerie," Kata salah satu guru.
"Hai semua, namaku Valerie Thomas, kalian bisa
memanggilku Valerie. Aku pindahan dari Singapura
karena ayahku ada tugas disini. Salam kenal,"
Kataku. "Oke Valerie, silahkan duduk di sebelah
Safa," kata guru itu lagi
75
Aku tidak tahu yang mana Safa, aku hanya
melihat bangku kosong di sebelah anak perempuan
berjilbab. Segera setelah kutahu itu Safa, aku pun
duduk. "Hai, kamu Safa ya? Salam kenal," kataku
ramah. "Iya, salam kenal juga," katanya.
Kringg... Bel pulang sekolah pun berbunyi. Aku
melihat Safa akan meninggalkan tempat duduknya.
"Eh Safa, kamu mau pergi kemana?" tanyaku
heran. "Aku mau ekskul pecinta alam, apakah kamu
mau ikut bersamaku?" Pecinta alam? namanya saja
sudah membuatku tertarik. "Boleh deh," kataku
setuju. Sesampai di tempat ekskul itu, Safa
berbicara kepada seseorang. Mungkin itu adalah
guru yang membina. Safa mendaftarkanku untuk
ikut ekskul ini.
"Selamat sore anak-anak," kata pembina.
"Soree," kata mereka bersamaan. "Tugas kalian
kali ini adalah mewawancarai siswa populer di SMP
76
Bina Taruna. Tanyakan pendapat mereka mengenai
lingkungan
sekitar.
Silahkan
kalian
kerjakan
secara berpasangan," kata pembina, "kalian akan
mengambil undian yang berisi nama siswa populer
yang akan kalian wawancara,"
Aku pun segera berpasangan dengan Safa,
karena hanya dia yang aku kenal. Aku pun langsung
maju ke depan mengambil undian. Semoga siswa
yang kuwawancarai ramah dan mau membantu
dengan senang hati. Setelah aku mengambil
undian, langsung kubuka kertas tersebut, dan
muncullah nama Arka.
"Astaga, kita harus mewawancarai Arka? Ini
tidak mungkin bisa dilakukan. Arka adalah siswa
es. Dia itu kalau diajak berbicara seperti ngomong
sama dinding," kata Safa panik.
Bagaimana
kalau
kita
coba
"Sungguh?
dulu?"
tanyaku
meyakinkan. "Baiklah," jawab Safa pasrah.
77
Esoknya, aku dan Safa membuat janji dengan
Arka untuk bertemu di kantin sepulang sekolah.
"Ka, kita ingin wawancara tentang lingkungan
sekitar, pendapat kamu bagaimana?" tanyaku.
"Jujur, ini pertama kalinya aku mau bertemu
dengan
orang
asing.
Aku
sangat
tertarik
membahas tentang lingkungan, entah kenapa.
Kalau kalian ingin tahu pendapatku, bagaimana jika
ujung minggu nanti kalian aku ajak ke perbukitan,"
ajak Arka. "Eh, mau ngapain memangnya?" tanya
Safa heran. "Udah ikut saja," lanjut Arka.
Akhirnya hari yang dinantikan telah tiba. Aku
menghirup segarnya udara pagi hari yang mungkin
jarang aku rasakan dulu. Berjalan menyusuri
trotoar sambil berbolak-balik menunggu Safa.
Selang beberapa menit kemudian, Safa akhirnya
datang.
78
Aku dan Safa berangkat bersama menuju
Bukit Plaras, bukit yang cukup terkenal disini.
Tempatnya tidak begitu jauh, hanya berjarak 5 km
dari tempat tinggalku. Kami pun sampai dan
melihat Arka sudah ada disana. Aku sungguh
merasa
bersalah
kepadanya,
karena
kami
terlambat selama hampir setengah jam. Tapi Arka
dengan gaya khasnya langsung meninggalkan kami
tanpa membalas permintaan maafku.
"Kenapa kalian malah melamun? Ayo!" kata
Arka. Kami langsung mengikuti Arka menyusuri
Bukit tersebut. Betapa terkejutnya aku melihat
kondisi bukit ini. Tanahnya sangat tandus, pohon
yang tumbuh hanya bisa terhitung jari. Bahkan
bukit ini terlihat seperti padang pasir yang
menggunung. Kulihat Arka mengeluarkan beberapa
pohon kecil dari plastik yang digenggamnya dari
tadi. Ini sangat membingungkan, untuk apa dia
79
membawa
itu
dan apa
hubungannya
dengan
pendapat yang aku minta kemarin lusa?
"Kalian tunggu apa lagi? Cepat ambil pohon ini
dan tanam menyebar!" sahut Arka. Aku dan Safa
segera mengikuti perintah Arka tanpa basa-basi.
Aku salut kepada sifat Arka yang sangat peduli
tentang lingkungan. Ternyata Arka bukan anak
yang dipikir orang-orang. Selama ini kukira Arka
anak yang sombong karena tidak pernah keluar
dari habitat kelasnya. Tapi ternyata Arka anak
yang perhatian dan berjiwa besar.
Sejak saat itu, aku jadi semakin peduli
dengan lingkungan sekitarku. Bukan hanya tentang
sampah saja, melainkan dengan menanam banyak
tanaman, serta mengurangi penggunaan kendaraan
bermotor. Aku berharap banyak orang yang selalu
perhatian kepada lingkungan, dimulai dari diriku
sendiri. Ku selalu berdoa untukmu, bumiku.
80
Wira Sang Penjaga Hutan
Jasmine Firdhousy Muslich / 17 / IX.5
Pada suatu sore yang dingin karena hujan
begitu derasnya, ada seorang anak yang berlari
menyusuri jalan setapak dengan paniknya. Anak itu
panik
karena
segerombolan
orang
dewasa
mengejarnya sambil berteriak, “Hei, anak sialan
berhentilah!
Kau
takkan
lepas
dari
kami,”
“Berhenti kau! Dasar penghancur kecil!” maki
sebagian mereka. Namun, anak tersebut tidak
menghiraukan makian yang ditujukan padanya. Ia
terus berlari hingga sampai di sebuah gubuk kecil,
di pinggir hutan yang gundul, bekas dilalap api.
81
Segerombolan
orang
dewasa
yang
mengejarnya tadi sudah tak nampak lagi, Mereka
kehilangan jejak. Dengan terengah-engah, anak itu
perlahan menyandarkan punggungnya pada pintu
gubuk, menatap langit yang basah karena curah
hujan yang mulai reda. Tubuh kurusnya yang basah
karena keringat dan air hujan tampak sangat
rapuh. Anak itu, Wira teringat peristiwa tadi yang
menyebabkan dirinya diburu oleh gerombolan
orang dewasa tersebut.
“Nak, kamu sedang apa?” Tanya sebuah
suara asing dari belakang Wira. Ah gawat, ia
memergokiku menyulut api, batin Wira. “Nak, kau
tidak apa-apa?” Pria itu bertanya lagi saat Wira
melamun. Tanpa banyak bicara, Wira langsung
berlari pergi meninggalkan pria tersebut. Pria itu
terkejut lalu menyadari bahwa api merambati
rumah majikannya. “Cepat kejar anak itu, dia
82
pelakunya!” perintah pria itu pada bawahannya.
Rumah megah itu mendadak ramai, banyak orang
membantu memadamkan api. Namun, ada juga yang
malah menyalahkan pemilik rumah tersebut, karma
katanya, karena pemilik rumah itu terkenal
serakah.
“Nak Wira, mari masuk,” ucap sebuah suara
parau dari dalam gubuk yang membuat Wira
tersadar dari lamunannya. Wira segera bangkit
dan masuk dalam gubuk kayu reyot tersebut. “Nak,
kamu jangan terlalu nekat,” Kata nenek. “Jadilah
orang baik, bahkan setelah Nenek tiada nanti,
jangan menaruh dendam pada mereka,” Lanjutnya
dengan suara parau. “Tidak Nek! mereka sudah
terlalu banyak menyakiti orang lain,” bantah Wira.
“Mereka juga ‘kan yang membuat Nenek seperti
ini?” Lanjutnya dengan suara menahan tangis.
Nenek Wira memiliki penyakit asma sejak kecil.
83
Pembakaran hutan yang dilakukan oleh oknum tak
bertanggung
jawab
semakin
memperparah
keadaannya. Untuk sejenak pikiran Wira melayang,
teringat peristiwa pembakaran tersebut.
“Whurrr,” suara api menyambut Wira
ketika ia baru saja melangkah keluar. Terkejut
bukan
kepalang
ia
saat
melihat
hutan
kesayangannya, hutan yang menemaninya sejak
kecil hingga ia berumur 15 tahun. Wira heran,
kenapa
tiada
memadamkannya,
orang
semua
yang
orang
berusaha
tidak
peduli.
Dengan bercucur air mata, Wira berlari ke tak
tentu arah sambil berteriak, “Tolooong, kebakaran
hutan,” Karena dirasa tak seorang pun peduli, ia
pergi berniat memadamkan api sendiri. Namun
terlambat,
kesayangan
api
sudah
Wira.
melalap
Disamping
habis
itu,
ia
hutan
juga
menemukan Neneknya terbatuk-batuk akibat asap
84
dari kebakaran. Neneknya terlihat pucat, hingga
tak lama kemudian pingsan. Wira jatuh terduduk,
wajahnya memerah karena luapan amarah, ia
berteriak, “Takkan kumaafkan orang yang biadab
seperti ini!”
Wira menghela napas. Mungkin memang
sudah nasibnya begini, maafkan aku Nek, maafkan
aku tak dapat menjagamu dan hutan nyawa kita.
Batin Wira. Dalam hatinya bergejolak berbagai
rasa sedih, amarah, serta keputusasaan. Memori
mengenai masa-masa kecilnya yang dilalui di hutan
terputar kembali dalam ingatannya. “Sungguh
bodoh mereka, Nek,” ujarnya tiba-tiba. “Mereka
hanya peduli akan dirinya sendiri, mereka hidup
karena
alam,
dan
mereka
pula
yang
menghancurkannya” Lanjutnya kemudian dengan
suara yang sarat keputusasaan.
85
Saat Wira sedang asyik bermonolog, suara
bising di luar gubuk mengalihkan perhatian Wira
dan Neneknya. Wira keluar untuk melihat keadaan.
Tak terasa hari sudah pagi. Setelah sejenak
menyesuaikan pandangan, betapa senangnya ia
melihat para relawan dari berbagai penjuru datang
untuk merestorasi dan mereboisasi hutan pasca
kebakaran hutan. Mereka berbondong-bondong
datang
dan
memperbaiki
bekerja
demi
lingkungan.
makhluk
“Belum
bumi,
saatnya
menyerah, aku masih bisa memperbaiki alam ini,”
kata Wira bersemangat sambil berlari untuk ikut
membantu para relawan di lapangan. Nenek yang
mengamati
Wira
dari
jendela
tersenyum
kecil
sembari
gubuk
bergumam,
cucuku, kau sudah besar sekarang Nak,”
86
hanya
“Wira,
Bukan Hanya Lingkunganmu
Karenina Ananta Adi / 18 / IX.5
Pada suatu hari di pagi yang cerah di
kamarku aku sedang melihat keluar jendela dan
menangkap sesuatu yang berkelap-kelip. Itu
seperti cermin sesuai dengan penglihatanku, aku
pun memutuskan untuk pergi melihat apakah yang
ada di luar jendela. Itu terlihat di bawah pohon
namun ketika aku berjalan ke sana aku tidak dapat
menemukan
apapun.
Aku
pun
bingung
dan
kembalilah aku ke rumah. Aku bermain bersama
kucingku sebelum ada seseorang yang mengetuk
87
pintu rumahku. Pada saat itu aku sedang sendirian
dirumah, maka akulah yang harus membuka
pintunya.
Aku takut untuk melihat Siapakah yang
ada di luar. Aku memutuskan untuk mengintip dari
jendela Siapakah yang mengetuk pintu. Terlihat
seorang mengenakan
jubah
berwarna
merah
dengan jubah yang panjang menjuntai. dibalik
tudung nya terlihat sosok yang sangat cantik,
tinggi semampai seperti orang barat aku takut
karena aku tidak pernah melihatnya di sekitar
rumahku.
Namun aku mencoba memberanikan diri
untuk membuka Pintunya dia mengatakan “Hai nak
Apakah kamu reli” aku pun menjawab “iya saya reli.
Ada apa ya? apa anda mencari orang tua atau
kakak saya ya?”. Dia menjawab lagi “kau telah
terpilih nak, ikut lah saya temui saya di depan
88
Taman rumahmu jam 8 malam nanti. Percayalah
Saya
tidak
akan
menyakitimu
saya
akan
menunjukkan sesuatu yang baru,”
Aku bingung akan perkataannya namun
sebelum selesai saya menanyakan maksudnya ia
sudah kembali berbalik dan hilang di pertigaan
rumahku. Aku segera menutup dan mengunci
rumahku pada saat itu aku merasa takut, namun
tidak lagi saat kedua orang tuaku sudah sampai ke
rumah, aku tidak menceritakan apa yang terjadi
barusan dan akupun dengan cepat melupakannya.
Tibalah pada jam 7.00 kakiku serasa ingin berjalan
ke tempat yang telah disuruh oleh wanita
misterius tadi namun Aku berpikir untuk tidak ke
sana, aku takut terjadi apa-apa, namun aku terlalu
penasaran untuk tidak melihat apa yang akan
terjadi apabila aku mengikuti perkataan wanita itu
89
tadi. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan dan
melihat saja Apakah wanita itu ada di sana.
Aku melihat Ternyata wanita itu memang
ada di sana ia sadar bahwa aku ada di sana
akhirnya aku mendekatinya dengan ragu, ia tiba
tiba memegang tanganku. Secara tidak sadar aku
tidak tahu aku dimana Aku serasa ada Dunia Lain
namun ini indah sekali seperti ada di cerita
dongeng ada peri peri, binatang yang kecil dan
lucu. Aku ingin menanyakan tempat apa ini namun
tidak ada seorangpun di sebelahku. Kemana
perginya wanita itu? Tanyaku dalam hati. Aku
berjalan menyusuri sungai yang ada di sebelahku.
Aku berjalan dan menemukan asap. Mungkin ada
pemukiman atau rumah di sana akhirnya aku
menuju ke sana untuk menanyakan dimana aku
sebenarnya.
90
Ia mengenakan kebaya berwarna merah,
cantik sekali mirip dengan wanita yang mengetuk
pintuku tadi pagi. Sejenak aku terpana akan
dirinya. Apa sebaiknya aku menanyakan. Aku
sedang dimana ya, pikirku akhirnya aku pun
menanyakan kepada si dia. Permisi apakah anda
bisa membantu saya. Namun dia melihatku dengan
tatapan yang ragu. Dia sepertinya takut akan
sesuatu.
Ia segera mengajakku masuk ketika aku
mendengar suara peluit. Aku pun bingung aku tidak
menanyakan ada apa. Dia mengatakan “Tidak ada
waktu, cepat ikuti aku agar kau bisa selamat,” tiba
di dalam rumah aku bingung di luar rumah ini
terlihat seperti gubuk namun saat masuk aku
hanya menemukan sebuah pintu yang tergantung di
atas lampu yang sangat indah. Ia dengan mudah
loncat dan masuk kedalam pintu itu. Sedangkan
91
aku hanya kebingungan melihat. Bagaimana bisa
aku naik ke sana, namun saat aku berjalan di
bawahnya ternyata ada sesuatu yang mirip seperti
trampolin dan akhirnya aku bisa loncat dan
memasuki pintu.
Semua disini keren pikirku namun Ia hanya
menyuruhku untuk fokus berjalan dengan cepat.
Ini seperti lorong dengan hutan di sampingnya.
Seperti ada kaca pembatas di antara jalan yang
aku tapaki dengan hutan di sebelahnya. Terlihat
sebuah gerbang raksasa di di ujung lorong ini.
Ternyata Ini adalah sebuah Pemukiman warga yang
sangat indah namun aku bingung ini terlihat
seperti peta lapangan yang sangat simetris dengan
kedua Sisi apabila dilipat maka akan membentuk
kotak dengan 1 kastil yang sangat besar di puncak
bukit nya.
92
“Kamu sepertinya orang yang telah terpilih
itu,” kata si wanita yang barusan aku temui. “Apa
maksudmu?” aku pun bingung karenanya. “Ikuti
aku, aku akan segera memperkenalkan mu kepada
orang yang bisa menjelaskan ini semua kepadamu,”
balasnya. Ternyata ia mengajakku ke kastil kecil
yang ada di puncak bukit itu, dia yang terpilih kata
wanita kepada penjaga kastil tersebut. Aku pun
dipersilakan masuk, ketika berjalan karena Kastil
itu sangatlah besar mungkin membutuhkan waktu
10 menit untuk mencapai tujuan yang dimaksud
oleh si wanita itu. Wanita itu memperkenalkan diri
“Namaku Akri, Aku adalah penjaga perbatasan
sekaligus tugas tambahan ku adalah menemukan
siapa yang telah terpilih. Dan ternyata kamu lah
yang terpilih,”. “Terpilih untuk apa?”
tanyaku.
“Sudahlah ikuti saja aku, kamu akan menemui
93
Paduka raja untuk menjawab semua Pertanyaan
mu,” jawabnya.
Setelah
sampai
ke
ruangan
yang
dimaksud oleh Akri aku melihat seorang raja yang
sedang duduk di Tahta nya. Wajahnya begitu
murung dan tidak terlihat sedikitpun kebahagiaan
di wajahnya. Namun setelah melihatku wajahnya
berubah 100%.
Ia terlihat sangat semangat
seperti melihat harapan baru. “Oh, kamu telah
datang wahai,” kata si Paduka raja. Aku pun
bingung aku harus menjawab apa karena aku tidak
mengetahui apakah yang sedang terjadi. “Kamu
mungkin sedang bingung,” Kata si Paduka Raja. “Iya
benar aku sedang bingung. Di manakah aku? kenapa
aku bisa ada di sini? dan apa kata semua orang?
apa maksudnya orang yang terpilih aku tidak
merasa
melakukan
apapun
tersesat disini?”
94
kenapa
aku
bisa
“Begini wahai, namamu?” tanya si Paduka
Raja “aku rally,” kataku. “Sebenarnya aku akan
menceritakan semuanya dari awal,” jawab paduka
raja. setelah ia mengatakan itu tiba-tiba ruangan
Tahta menjadi sangat indah seperti ada hologram
yang berputar di semua penjuru ruangan ini. Ini
adalah dunia kami. daerah-daerah di dunia terbagi
menjadi beberapa distrik. Setiap distrik memiliki
tugas masing-masing. Jadi kami bertugas untuk
memperbaiki segalanya yang rusak. Mulai dari
sistem, alat, lingkungan, maupun semuanya di sini.
Kami memiliki sebuah alat untuk mengamati apa
yang terjadi di dunia sebelum tahun ini. Namun
pada saat pagi tadi pada saat kamu melihat ke
jendela dan melihat suatu hal yang berkilauan tadi
pagi semua berubah. Menjadi sesuatu yang
mengerikan.
Kami
yakin
kamu
akan
bisa
merubahnya. Sadarkah kamu nak Di duniamu
95
sekarang terjadi berbagai kerusakan. di bumi
tidak akan dapat bertahan lagi apabila hal
tersebut tetap terjadi. Semua memang telah
ditakdirkan, namun kami percaya bahwa kami bisa
mengubah hal yang buruk menjadi lebih baik.
Aku tetap tidak mengerti, “kenapa aku
yang terpilih?” tanya ku dengan sedikit rasa
cemas. “Kami juga tak tau nak. Ada yang telah
mengatur semua in,” jawab paduka raja yang
membuatku semakin cemas. “Baiklah aku akan
mencoba melakukan apapun untuk menyelamatkan
tempat tinggalku karena di sanalah aku menulis
semua kenangan hidupku,” “ Apa yang sebenarnya
terjadi? bukannya kerusakan memang sudah lama
terjadi, namun Kenapa baru sekarang aku menjadi
yang terpilih” tambahku. “kita berjalan secara
paralel wahai. Kami bisa mengawasi mu namun tidak
bangsamu. Kerusakan mu telah menjalar hingga ke
96
dunia kami. Dunia kami lebih maju dan canggih
daripada kalian. Namun lingkungan ekosistem dan
segalanya yang tentang lingkungan di bangsa kami
lebih terjaga. masih terdapat banyak danau-danau
dan hutan purba masih sering ditemukan. Banyak
juga terdapat berbagai flora dan fauna yang
terjaga
kelestariannya
hingga
mereka
bisa
berevolusi menjadi makhluk yang lebih indah dari
yang biasa kamu lihat. Namun keseimbangan
ekosistem kami mulai terganggu sejak duniamu
melakukan berbagai kerusakan yang sudah tidak
bisa terbendung lagi kebakaran hutan, banjir
bandang, dan berbagai kerusakan yang lainnya.
Kami membutuhkanmu untuk setidaknya sadar
akan hal tersebut. Ada lagi yang paling membuat
cemas adalah bahan buangan limbah duniamu telah
mengalir hingga ke bangsa kami. kami tidak tahu
bagaimana itu bisa terjadi namun itu sudah
97
terjadi. Limbah tersebut menginfeksi semua
makhluk yang ada di di dunia kami sehingga
makhluk tersebut ber evolusi menjadi lebih ganas
dan menyeramkan, panen warga dan pemukiman
menjadi korban keganasan mereka. Apakah kamu
bisa membantu, mulai dari membunuh si alpha
nya.?” Jelas si raja
“Si alpha? Seperti apa bentuknya?” tanya
ku. Muncullah di hologram itu makhluk seperti
banteng namun ia memiliki sesuatu seperti tanduk
di
bagian
tulang
belakangnya,
mengerikan
melihatnya apalagi ketika ia marah. “Apakah kamu
memiliki
suatu
makhluk
itu?”
keahlian
tanya
raja
untuk
mengalahkan
dengan
khawatir.
Disekolahku memang aku cukup lihai menggunakan
panah. Namun aku tetap khawatir apakah bisa
mengalahkan
makhluk
sebesar
itu,
tingginya
bahkan hampir 3 kaki. Akhirnya aku memutuskan
98
untuk bilang bahwa aku bisa menggunakan panah
“Aku cukup bisa menggunakan panah,” kataku.
Baiklah tepat sekali, kami memiliki semua
pandai besi terbaik di tanah ini. Tentunya aku
membutuhkan persiapan untuk melawan makhluk
yang bahkan belum aku kenal sedikitpun.
Aku
tidak hanya belajar keahlian memanah ku namun
juga mempelajari sifat dan bagaimana kelakuan
musuh itu si Alfa banteng ini. “Apa kelemahan yang
dimiliki oleh banteng ini?” namun tidak ada yang
bisa menjawab itu karena tidak seorangpun dapat
selamat dari serangan Alfa ini aku pun semakin
merasa tidak yakin akan hal tersebut.
Pada malam hari aku memimpikan Sesuatu
yang membuatku tenang. Aku melihat Ibu ku
berjalan
mendekatiku
aku
pun
juga
duduk
bersamanya Ia menceritakan bagaimana kebaikan,
kesabaran, dan keikhlasan dapat mengalahkan
99
segalanya. Paginya aku mulai berlatih keahlian
memanah ku. Aku merasa aku mulai mengalami
perubahan seperti yang awalnya aku tidak yakin
dengan diriku sendiri aku bisa sedikit yakin akan
kemampuanku, aku tidak perlu bergantung pada
siapapun. Tibalah di saat di mana aku bersama
pasukan yang telah disiapkan untuk menyerang
Alfa. Pada hari sebelumnya busur dan panah ku
telah
jadi
kulihat
betapa
cantiknya
panah
tersebut. Hitam legam dengan pegangan yang
sangat kokoh dan busur panah yang sangat
mematikan terlihat sangat indah di terpa mata
sinar matahari berkilauan padahal warnanya hitam
legam.
Perjalanan ke hutan terasa sangat lama
karena kita akan menemukan makhluk yang sangat
ditakuti oleh seluruh penjuru Negeri paralel ini.
Pada saat perjalanan kami mendengar sesuatu.
100
Karena katanya si Alfa memang suka berjalan
sendirian tanpa ditemani oleh kawanan nya.
Ternyata benar itu adalah si Alfa kami mulai panik
dan berteriak namun aku hanya diam mencoba
memahami apa yang terjadi. Ternyata ini sedang
terjadi, aku mulai berusaha melawannya dengan
memanaskan
busurku
semua
pasukan
mulai
berguguran satu persatu hanya tinggal aku dan
Akri
yang
berdiri
bersebelahan
saling
menyakinkan untuk dapat mengalahkan Alfa. kami
takut namun kami memiliki tekad yang lebih besar
untuk mengalahkan dan segera menyelesaikan ini
semua.
Aku memanahkan busurku segala arah
untuk mengalahkannya namun dia dengan mudah
dan gesit menghindar dari panah ku. Aku mencoba
untuk
fokus
dan
menemukan
kelemahannya.
Terlihat kulit yang lebih tipis dari kulit lainnya
101
yaitu di bagian bawah mulut atau di sekitar leher
nya. Aku mencoba untuk fokus dan menembakkan
panah aku ke bagian rawan tersebut. Ternyata
benar itu merupakan salah satu titik lemahnya aku
memberitahu Akri untuk fokus menyerang ke
bagian leher Alfa tersebut ternyata benar aku
berhasil mengalahkan Alfa banteng itu. Lega
akhirnya aku Akri dan pasukannya masih tersisa
kembali ke istana dengan wajah yang bahagia
semuanya telah selesai.
Masalah di dunia paralel ini telah selesai
namun aku memikirkan lagi Bagaimana nasib dunia
ku yang selama ini masih terjadi berbagai
kerusakan.
Setelah
mengalami
berbagai
pengalaman tersebut kembali ke rumah dengan
jalan yang sama persis yang ditunjukkan Akri. Akri
dan seluruh bangsa paralel ini berterima kasih
kepadaku dan memberikan aku sebuah hadiah
102
berupa cermin cermin tersebut bukan cermin
biasa namun aku dapat melihat berbagai kerusakan
yang terjadi di bumi dan ini bertujuan agar aku
dapat
lebih
memperhatikan
lingkungan
dan
semuanya agar tetap seimbang.
Manusia tidak salah saat memanfaatkan
sumber daya alam namun itu menjadi berbalik
ketika
pengeksploitasian
dilakukan
secara
berlebihan. Hal itu akan merusak berbagai tatanan
ekosistem dan makhluk hidup yang ada di dalam
ekosistem tersebut. Tiba-tiba pada saat semua
selesai aku terbangun dari tempat tidurku aku
menyimpulkan bahwa itu hanyalah mimpi. Namun
semua itu berubah ketika aku melihat ada suatu
cermin
di
meja
belajar
ku
aku
mencoba
menggunakan cermin itu seperti yang diajarkan
oleh Paduka Raja kepadaku ternyata benar ini
bukan mimpi.
103
Ketika Semua Tidak Peduli
Keisha Pramudhita Bernardi / 19 / IX.5
Hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Udara sesak, bernapas tidak bisa lancar. Sebagai
seekor ikan Nila di sungai ini, Aku selalu ingin tahu
mengapa tempat tinggalku seperti ini. Seiring
berjalannya hari, semakin banyak nyawa yang
terambil di sungai ini. Semakin sedikit cahaya yang
masuk ke sungai ini karena eceng gondok dan alga
yang tumbuh semakin tak terkendali. Hidup kami
semakin susah di sini.
104
Kakek pernah bercerita bahwa sungai
tempat tinggal kami saat ini bukanlah sungai yang
sama seperti dulu. Kakek bilang sungai ini dulu
bukanlah sungai di mana para ikan sesak bernapas.
Sungai ini bukanlah sungai yang gelap seperti
sekarang. Sungai ini dulu arus airnya lancar. Sungai
ini dulu tempat bermain anak-anak sepulang
sekolah. Aku pernah bertanya pada Kakek alasan
sungai ini menjadi seperti ini. Kakek berkata
bahwa daerah sungai ini yang awalnya adalah desa
sepi, sekarang telah menjadi kota yang ramai. Aku
tidak paham mengapa hal itu bisa memengaruhi
keadaan sungai ini.
Hal yang paling sering Aku lihat di sungai ini
adalah busa-busa berbau wangi. Aku tidak tahu
apa itu. Namun semakin banyak busa-busa itu,
semakin banyak pula eceng gondok yang tumbuh.
Tidak jarang aku melihat ikan-ikan di sungai ini
105
menangis, merintih kesakitan. Aku sendiri merasa
hal
ini
sangat
menyiksa.
Dan
setiap
hari
manusia
yang
bertambah rasa sesak itu.
Setiap
hari
selalu
ada
membuang sesuatu ke sungai ini. Benda-benda itu
tidak bisa hilang. Selalu ada di sana tidak terurai.
Tidak hanya sekali terjadi kasus seekor ikan
terjerat benda-benda itu. Aku sangat ingin
merasakan apa yang dulu Kakek rasakan. Aku ingin
tinggal di sungai yang dulu. Betapa indahnya apa
yang Kakek gambarkan saat bercerita tentang
sungai ini dulu. Terkadang Aku berpikir kalau
mungkin Kakek melebih-lebihkan cerita itu. Aku
tidak bisa membayangkan sungai yang Kakek
ceritakan adalah sungai yang sama dengan tempat
tinggalku sekarang.
Dengan keadaan yang buruk ini, Aku senang
ada seorang anak yang selalu datang ke sini setiap
106
pulang sekolah. Dia membersihkan sebagian eceng
gondok yang ada si sungai ini. Aku sangat
berterima kasih akan hal itu. Anak itu sudah
membersihkan eceng gondok sejak sebulan yang
lalu. Namun, semakin hari aku mulai merasa bahwa
usaha
anak
itu
sia-sia.
Hari
ini
anak
itu
membersihkan sebagian eceng gondok, besok akan
tumbuh lebih banyak lagi dari sebelumnya.
Enam
minggu
sejak
anak
itu
mulai
membersihkan sungai mungkin adalah saat yang
paling menyakitkan dalam hidupku. Hari itu banyak
sekali ikan yang mati. Melihat dengan mata
kepalaku
sendiri
adalah
hal
yang
sangat
mengerikan. Aku pun sudah tidak kuat dengan
keadaan sungai ini. Hampir tidak ada cahaya masuk
ke sungai ini. Eceng gondok hari itu sangatlah
banyak. Kami para ikan berebut oksigen dengan
eceng gondok yang tiba-tiba muncul di sungai ini.
107
Syukurlah anak itu datang untuk menyingkirkan
eceng gondok ini.
Anak itu membawa tiga temannya untuk
membersihkan sungai. Samar aku melihat mereka
bekerja dari balik eceng gondok yang semakin.
“Miris sekali keadaan sungai ini,” kata salah satu
temannya. “Iya, bahkan hari ini keadaannya
bertambah parah,” jawab anak itu. “Aku kasihan
melihat ikan yang hidup di sini. Setiap hari mereka
harus selalu berebut oksigen dengan eceng gondok
ini dan bahkan keracunan limbah-limbah sungai,”
lanjut anak itu.
Sayangnya,
membuahkan
hasil
usaha
anak
memuaskan.
itu
tidak
Pertumbuhan
eceng gondok di sungai ini semakin menjadi-jadi.
Setidaknya berkat anak itu dan teman-temannya
kemarin, Aku dan beberapa ikan dapat berjuang
memperpanjang hidup kami. Anak itu masih rutin
108
membersihkan
sungai.
Terkadang
beberapa
temannya ikut membantu.
Seminggu setelahnya, Aku bersyukur bahwa
aku masih bertahan hidup. Akhirnya Aku bisa
merasakan apa yang Kakek ceritakan. Pagi ini
banyak anak sekolahan yang datang ke sungai.
Mereka mengenakan seragam olahraga dan mulai
membersihkan sungai ini. Aku bingung sekaligus
bahagia dengan kejadian ini. Anak yang selalu
membersihkan sungai juga ada di sini.
Setelah
selesai
membersihkan
sungai,
mereka duduk berkumpul. “Ibu sangat berterima
kasih pada Rinfan yang sudah menceritakan
kondisi sungai ini. Ibu sangat bangga karena Rinfan
bersedia membersihkan sungai ini setiap hari,”
kata seorang guru. “Terima kasih bu, saya juga
senang karena ibu dan teman-teman bersedia
untuk ikut membersihkan sungai ini,” jawab anak
109
yang selalu membersihkan sungai. Ternyata Rinfan
adalah nama anak yang selama ini membersihkan
sungai.
“Bu! Saya ingin bertanya,” sahut seorang
anak. “Silahkan,” jawab Ibu Guru. “Mengapa sungai
ini bisa begini? Mengapa banyak eceng gondok di
sungai ini?” lanjut anak tersebut. “Eceng gondok
ini bisa tumbuh sangat banyak karena penggunaan
deterjen
secara
berlebihan.
Peristiwa
pertumbuhan eceng gondok seperti ini bisa
disebut dengan Blooming Algae,” jelas Ibu Guru.
“Peristiwa ini sangat merugikan ikan di sungai
karena seperti yang kalian tahu, ikan di sungai
akan berebut oksigen dengan eceng gondok. Selain
itu ikan-ikan di sungai bisa keracunan deterjen,”
lanjut Ibu Guru. Akhirnya aku tahu penyebab dari
pencemaran sungai tempat tinggalku. Busa-busa
110
berbau wangi itu adalah deterjen yang memicu
pertumbuhan eceng gondok.
“Nah, setelah ini kita akan mengadakan
sosialisasi dengan warga sekitar untuk menjaga
kelestarian sungai ini,” kata Ibu Guru. ‘Baik bu!”
jawab anak-anak serentak. Setelah itu mereka
beranjak pergi meninggalkan sungai ini. Jika aku
bisa berbicara dengan mereka, ingin sekali aku
mengucap terima kasih yang sebanyak-banyaknya.
Sebelum benar-benar pergi, Rinfan menoleh ke
arah
sungai.
Mata
kami
bertemu.
Rinfan
tersenyum, Aku bahagia melihatnya. Aku senang
bahwa masih ada orang yang peduli dengan
sekitarnya.
Setelah pembersihan oleh Rinfan dan
teman-temannya,
sungai
ini
menjadi
tempat
tinggal yang sangat nyaman untuk kami. Warga
sekitar juga rutin membersihkan sungai ini.
111
Mungkin berkat sosialisasi dari sekolah Rinfan.
Aku sangat berterima kasih untuk semua orang
yang sudah peduli dengan sungai ini, yang sudah
menyelamatkan hidup kami.
112
Saint Helena
Malika Syaharani / 20 / IX.5
Clara adalah murid jenius di sekolahnya. Ia
memilih menjadi anak yang pendiam di kelasnya. Ia
kurang nyaman dengan teman-temannya yang
setiap saat mengobrol tentang hal yang tidak
penting. Ia menganggap lebih baik membaca buku
yang
dapat
membuka
wawasannya
daripada
membicarakan gosip yang sebentar lagi akan
terlupakan. Namun, ia paling suka mengajari
temannya yang belum mengerti pelajaran. Karena
wajahnya tanpa ekspresi saat membaca, teman-
113
temannya jadi merasa tidak enak jika bertanya
padanya.
Dari pada dengan temannya, Clara justru
lebih nyaman berteman dengan guru, terutama
guru mata pelajaran IPA. Meskipun banyak temantemannya yang tidak menyukai guru dan mata
pelajaran
IPA,
dia
tetap
sangat
menyukai
pelajaran IPA. Saat dia memiliki waktu luang
sedetikpun,
Ia
langsung
membaca
pelajaran
Biologi. Saat bel berbunyi ia siap belajar biologi
dengan mengeluarkan koleksi bukunya di atas
meja. Pak guru masuk kelas dan menjelaskan
tentang tumbuhan.
“Hai, Namaku Kevin dari kelas sebelah” sapa
seorang siswa. “Terus?” jawab Clara dengan malas.
“Aku suka alam dan suka berorganisasi. Aku sudah
memperhatikanmu
sejak
lama.
Maukah
kau”
perkataan Kevin disela oleh Clara. “Tidak. Aku
114
tidak berminat” sela Clara “Hei, dengarkan dulu.
Rumah kita dekat. Kita adalah tetangga. Aku ingin
mengajak kau untuk” perkataan kevin disela oleh
Clara lagi. “Aku kan sudah bilang aku tidak mau
membuang-buang waktuku demi kegiatan yang
hanya mempedulikan kesenangan. Maaf ya,” sela
Clara.
Setiap hari Sabtu Clara selalu melakukan
percobaan untuk mengembangbiakkan tanaman
yang langka. Taman rumah Clara lumayan luas.
Berkali-kali
ia
mencoba
mengembangbiakkan
anggrek di rumahnya dengan cepat. Namun, Ia tak
pernah
berhasil.
Ia
beranggapan
bahwa
ia
membutuhkan tempat yang steril. Ia mencari-cari
laboratorium di kotanya. Saat ia ingin menuju
Laboratorium itu, Orang tuanya yang sedang
berada di luar kota melarangnya. Ia baru diizinkan
jika ia diantar oleh tetangganya. Masalahnya, ia
115
tidak
kenal
satupun
tetangga
yang
bisa
menolongnya. Karena terpaksa, Ia menanyakan
pada orang sekitar di mana rumah Kevin. Saat
Clara mau menuju rumah Kevin, Kevin berdiri di
hadapan Clara.
“Mencariku?” tanya kevin sambil senyum.
“Haha, kok kamu tahu?” Jawab Clara sambil salah
tingkah. “Ada apa? Kamu mau ke mana?” tanya
kevin.
“Aku
mau
ke
laboratorium
demi
percobaanku. Tetapi mamaku baru mengizinkan
jika ada tetangga yang menemaniku” jawab Clara.
“Jadi? Sekarang?” tanya Kevin. “Wah, beneran?
Makasih!” jawab Clara dengan Ceria.
Seminggu kemudian, Clara mendapat kabar
dari Laboratorium bahwa kemungkinan besar
percobaannya berhasil. Ia sangat senang dan
menceritakannya
pada
neneknya.
Betapa
terkejutnya nenek saat mengetahui cucunya
116
berhasil melestarikan tanaman yang langka. Nenek
memberikan sekantung kecil berisi biji. “Apa ini
nek?” tanya Clara. “Itu biji zaitun Saint Helena.
Saat ini tanaman ini sudah tidak ada di sekitar
kita. Nenek ingin kamu bisa menumbuhkan dan
melestarikan tanaman dari biji ini,” harap nenek.
“Tapi nek, apakah aku bisa?” tanyaku. “Cucu nenek
yang pintar ini pasti bisa. Setelah mengucapkan
kalimat itu, nenek tak sadarkan diri. Clara sangat
terkejut dan panik. Clara yang masih umur 13
tahun itu hanya bisa mengolesi neneknya dengan
minyak kayu putih dan berusaha memberinya nafas
buatan. Ia berusaha membangunkan neneknya
tetapi sayangnya ilmunya kurang cukup untuk
memberikan
pertolongan
pada
neneknya.
Semenjak hari itu Clara jadi semakin aneh. Ia
sangat makin terobsesi untuk belajar, belajar, dan
belajar. Hari-harinya dipenuhi dengan mencari
117
tahu cara menumbuhkan dan mengembangbiakkan
tanaman punah yang berasal dari biji tua itu.
Sambil
berusaha
mencari
tahu,
kadang
ia
meneteskan air mata karena teringat pada
neneknya.
Setelah
3
tahun
berusaha,
Clara
menemukan jawaban dari persoalan biji itu.
Sekarang ia sudah menjadi remaja cantik nan kuat.
Ia kembali menuju Laboratorium untuk melakukan
percobaannya. Berbeda dengan 3 tahun yang lalu,
sekarang ia pergi ke laboratorium sendirian. Ia
sempat mengingat Kevin. Saat urusannya di
laboratorium selesai, Ia menjatuhkan tasnya. Saat
melihat ke depan. Ia sangat terkejut saat melihat
remaja pria di depannya yang bersandar di depan
mobil merah miliknya.
“Ke..Kevin?” ucap Clara pelan.
118
“Hai, Lama tak jumpa, masih mencoba biji
tua itu?” tanya Kevin. “Ma.. Maaf saat itu aku tak
pernah menghubungimu lagi. Tetapi apa yang kamu
lakukan
di
sini?”
kata
Clara.
“Nih”
Kevin
menunjukkan dokumen yang ada di tangannya. “Ini
foto perkembangan biji yang menjadi tanaman
kecil. Ups! Jangan bilang,” kata Clara saat
mengamati foto di dalam amplop itu. “Ya, kau
benar. Itu foto perkembangan biji tuamu,” kata
Kevin. “Bagaimana kau bisa mendapatkannya?”
“Saat itu kau tidak pernah menemuiku. Lalu aku
pergi ke rumahmu dan menemukanmu tertidur di
bawah
pohon
di
tamanmu.
Waktu
itu
kau
memegang kantung berisi biji-biji dan catatanmu.
Berdasarkan catatanmu, aku berusaha mencari
tahu cara melestarikannya,” jelas Kevin.
Clara kehabisan kata-kata. Ia bagaikan
patung. Kakinya lemas dan tak sadar ia terduduk
119
di bawah. “Coba lihat ponselmu dan cek berita
terhangat,” Kata Kevin. Clara langsung mengecek
ponselnya dan banyak artikel yang membicarakan
dirinya. Ia langsung fokus dengan artikel yang
berjudul ‘Selama 3 Tahun, Pelajar Bernama Clara
Mencari Cara Melestarikan Tanaman Punah’. Ia
semakin
sulit
berkata-kata
dan
hanya
bisa
mengucapkan banyak terimakasih pada Kevin dari
dalam hati.
“Selama ini aku dan anggota organisasi yang
peduli lingkungan selalu mengampanyekan pada
masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan dan
kelestarian lingkungan agar tidak ada makhluk
hidup yang terancam punah. 2 tahun terakhir ini
aku memperkenalkan pada masyarakat tentang
tanaman punah, khususnya tanaman zaitun Saint
Helena. Karena meskipun kita bersusah payah
untuk membuat tanaman ini tetap berkembang,
120
jika orang-orang tidak peduli pada tanaman ini,
maka tanaman ini tetap akan punah” jelas Kevin.
“Terima kasih sekali, Kevin. Aku tidak tahu
harus bagaimana berterima kasih,” kata Clara.
“Santai saja. Oh iya. Minggu ini, kita di undang
walikota untuk pemberian apresiasi atas kerja
keras kita untuk melestarikan tanaman punah. Kau
harus dating ya,” kata Kevin. “Aku pasti dating.
Terimakasih Kevin,” kata Clara.
Setelah mereka diberi apresiasi oleh wali
kota, mereka memiliki proyek yaitu menanam
tanaman langka itu di pusat kota dan di sekitar
rumah
mereka.
sosialisasi
Mereka
tentang
juga
pentingnya
mengadakan
menjanga
kelestarian lingkungan. Mereka juga di apresiasi
oleh sekolah dan diminta untuk menanam tanaman
langka tersebut di sekolah. Sejak saat itu, Clara
tidak lagi menjadi anak yang pendiam. Tetapi ia
121
mulai mengikuti kegiatan cinta lingkungan bersama
Kevin.
“Apakah kau ingat 3 tahun yang lalu saat aku
pertama kali menyapamu aku meminta suatu hal
padamu? Apakah kau tahu aku meminta hal apa
padamu?” tanya Kevin. “Ntahlah” jawab Clara. “Aku
meminta padamu agar kita bisa bersama-sama
menghijaukan dan melestarikan bumi ini. Aku ingin
kau
menggunakan
kejeniusanmu
itu
untuk
mengatasi masalah lingkungan yang ada di dunia ini,
salah satunya adalah tanaman punah. Tetapi saat
itu kau menghiraukanku dan lucunya, sekarang kau
malah
antusias
mengikuti
lingkungan,” kata Kevin.
122
kegiatan
cinta
Jojo Si Sahabat Lingkungan
Muhammad Farros Fauzi / 21 / IX.5
Selalu berusahalah menjaga lingkungan.
Itulah yang diajarkan orang tua Jojo kepadanya,
ia tinggal di Surabaya dan masih duduk di tingkat
SMP kelas 3. Jojo berasal dari keluarga yang kaya.
Papanya adalah pendiri Speedwagon Foundation.
Mamanya, adalah seorang dokter yang sangat
andal yang bekerja di Speedwagon Foundation.
Speedwagon Foundation sendiri adalah yayasan
yang bergerak di bidang kesehatan dan dalam
pelestarian lingkungan. Yayasan itu sangat peduli
dengan daerah yang terpencil yang belum ada
123
tenaga medisnya, jadi tidak jarang jika Jojo dan
mamanya pindah dari suatu daerah ke daerah yang
lain yang kemungkinan bisa di desa-desa terpencil.
Hari ini papanya memberi tahu bahwa mamanya
harus bertugas ke bandung tepatnya di Desa
Bagyo, dan hal ini tidak membuat Jojo kaget
karena dia sudah terbiasa dengan keadaan itu.
Dua hari kemudian, Jojo beserta mamaya
berangkat ke Bandung. Mereka tinggal di Desa
Bagyo, desa itu letaknya cukup jauh dari kota,
tetapi jalan untuk menuju kota bisa dilewati
sebuah mobil dan jalan itu sudah diaspal. Saat ini,
Jojo bersekolah di SMP 7 Kamboja dan dia telah
bertemu dengan seorang gadis remaja yang
memang asli dari daerah Bandung, namanya
Dadang.
Baru satu minggu Jojo tinggal di desa itu,
tetapi sudah merasa tidak betah tinggal di sana,
124
keadaan di Desa Bagyo sangatlah buruk, tidak ada
pasokan air bersih. Memang, di desa tersebut
tidak terdapat sumber air bersih. Selain itu,
hanya ada beberapa tanah yang subur dan hanya
ada beberapa pohon yang tumbuh dengan baik.
“Apakah kamu tidak resah denga penduduk
desamu?
Desa ini sangat tidak nyaman untuk
ditempati,” Tanya Jojo kepada Dadang seraya
menyeka keringat yang ada di dahinya. “Maaf kalau
penduduk desa ini telah membuatmu tidak nyaman
untuk tinggal, tapi aku bersyukur bisa mempunyai
desa yang aman,” Jawab Dadang. “Oh, bukan
penduduk desamu yang membuatku tidak nyaman
tinggal di sini, namun hanya saja keadaan di sini
sangat berbeda dengan setiap tempat yang pernah
aku
kunjungi
sebelumnya.
Maaf
aku
tidak
bermaksud menghina desa kecilmu,” Sahut Jojo
dengan perasaan tidak enak terhadap Dadang.
125
“Tidak apa-apa kok. Kamu ada benarnya juga,
sebenarnya ini semua karena ada pertambangan
batu bara illegal yang letaknya tak jauh dari desa
ini. Limbah dari pertambangan itu mencemari air
sungai yang sebenarnya jenih dan membuat pohonpohon di hutan di sebelah utara Desa Bagyo
menjadi tidak bisa tumbuh dengan baik,” Kata
Dadang menjelaskan. Sekarang Jojo pun tahu
mengapa desa ini tanahnya tidak subur dan
sedikitnya jumlah air bersih.
Setelah Jojo tahu asal muasal kenapa
keadaan
Desa
Bagyo
bisa
seperti
itu,
dia
membicarakan hal ini dengan mamanya. “Menurut
Mama, bagaimana sih keadaan di desa ini?” Tanya
Jojo
ketika
selesai
makan
malam
bersama
mamanya. “Mama sebenarnya prihatin dengan
kondisi desa ini. Sebenarnya mama sangat ingin
mengatasi masalah yang ada di desa ini, tapi kan
126
kamu tau sendiri kondisi mama, mama harus
menerima pasien yang selalu datang bersama
dengan rekan kerja mama,” Jawab mama Jojo yang
sedang mengecek dokumen pasiennya. “Tadi siang
aku di beri tahu oleh Dadang kalau penyebab
ketidak suburan desa ini dan tercemarnya sungai
adalah adanya limbah dari pertambangan batu
bara illegal yang letaknya tidak jauh dari desa ini,”
Ucap Jojo. “Oh begitu? Itu sudah tidak bisa
dibiarkan lagi. Kita harus segera bertindak. Mama
akan mencoba mengubungi papa. ”Beneran Ma?”
Tanya Jojo dengan wajah yang berseri-seri, lalu
Mama
Jojo
memberi
respon
dengan
menganggukkan kepala.
Kemudian Mama Jojo menghubungi Papanya
Jojo untuk membahas masalah yang ada di Desa
Bagyo. “Papa, Mama boleh bicara sebentar nggak?”
Tanya Mama Jojo setelah Papa mengangkat
127
panggilan telpon dari mama. “Tentu saja boleh,
kebetulan Papa tidak sedang sibuk,” Jawab papa.
Setelah itu Mama Jojo menceritakan masalah
yang terjadi di Desa Bagyo dan penyebab hal itu
terjadi. Mendengar masalah itu, Papa Jojo merasa
prihatin
dan
papa
akan
berusaha
untuk
memperbaiki keadaan Desa Bagyo karena salah
satu tujuan dari Speedwagon Foundation adalah
untuk melestarikan lingkungan.
Setelah
menutup
telpon,
Mama
Jojo
menceritakan kabar gembira yang berkaitan
dengan masalah yang ada di Desa Bagyo kepada
Jojo, setelah Jojo mendengar kabar gembira itu,
dia menceritakannya kepada Dadang dan temanteman sekelasnya. Setelah semua warga Desa
Bagyo mengetahui kabar gembira itu,
Jojo
mempunyai ide untuk membenahi keadaan alam
yang ada di sekitar desa itu. Jojo membicarakan
128
tentang idenya dengan para temanya dan juga para
guru di sekolahnya, dan ide positif Jojo di sambut
dengan baik oleh semua warga sekolah.
2 minggu kemudian, Bupati Kabupaten
Bandung mendatangi lokasi pertambangan batu
bara
illegal
secara
mendadak
bersama
Speedwagon Foundation dan Kepala Desa Ngarem.
Pak Bupati yang bekerja sama dengan Speedwagon
foundation kemudian memutuskan untuk menutup
pertambangan
illegal
itu
dan
berjanji
akan
memberi bantuan air bersih. Akhirnya, Jojo
bersama dengan warga desa menanam kembali
hutan yang hampir gundul. 6 bulan kemudian Jojo
lulus SMP dan bersekolah di SMA N 3 Mawar.
Hutan di sebelah utara Desa Bagyo telah subur
kembali dan sungai yang mengalir di sebelah timur
Desa Bagyo sudah agak bersih. Besok lusa, masa
tugas Mama Jojo di Bandung akan berakhir, hal ini
129
membuat
Jojo
sedikit
berat
hati
untuk
meninggalkan desa ini. setelah diberi tahu bahwa
Jojo diterima di salah satu sekolah di Inggris oleh
papanya karena Jojo telah membuat Desa Bagyo
dan beberapa desa lainnya yang terkena dampak
limbah pertambangan illegal menjadi lebih baik.
Akhirnya, mau tidak mau Jojo harus pergi ke
Inggris untuk bersekolah.
Besok lusanya, Jojo dan papanya kembali ke
Surabaya. “Jojo, terimah kasih ya, kamu telah
membuat kondisi Desa Bagyo dan beberapa desa
lainnya yang terkena masalah menjadi lebih baik.
Kami akan menyatukan Desa Bagyo dengan desa
lainnya menjadi suatu kecamatan yang akan
berpusat di Desa Bagyo. jika Jojo berkenan, Jojo
bisa memberikan nama kecamatan yang akan kita
bangun ini,” kata Kepala Desa Bagyo. “Baiklah, saya
akan memberinya nama Kecamatan Lestari, dengan
130
ini saya berharap alam yang ada di Kecamatan
Lestari bisa terus terjaga,” Jawab Jojo. “Hei
Jojo, ini kenang-kenangan dari kita semua. Semoga
kamu tetap mengingat kita,” sahut Dadang sambil
memberikan album foto untuk kenang-kenangan
Jojo. Sebelum masuk ke mobil, Jojo berterima
kasih kepada seluruh warga Desa Bagyo atas
segalanya
mengunjungi
dan
akan
Desa
menyempatkan
Bagyo
Indonesia.
131
saat
untuk
kembali
ke
Hutan Pelindung Kehidupan
Muhammad Habibi (22)
Sang fajar mulai Nampak dari ufuk timur.
Kicauan burung yang merdu beserta lantangnya
suara ayam yang berkokok membuatku sadar akan
kayanya bumiku ini. Hal itu sudah sangat sering
kudengar setiap aku terbangun di pagi hari,
memang setiap pagi hariku sangatlah penuh dengan
kegembiraan
dan
senyuman.
Terkadang
aku
merasa heran kenapa masih ada saja oknum yang
merusak bumi kita yang indah ini. Setiap udara
yang kita hirup, Setiap air yang kita minum,
bukankah itu semua berasal dari alam? Pertanyaan
132
itulah yang terus terngiang- ngiang di kepalaku.
Lalu apa para perusak alam tak berpikir tentang
hal itu. Hari – hari indahku selalu dibayang-bayangi
oleh pertanyaan sederhana itu.
Aku hidup di desa yang cukup indah dan asri,
walau bisa dibilang desaku cukup terpelosok dan
tertinggal dari daerah lainnya. Bahkan, tak semua
rumah tangga di desaku terjangkit oleh aliran
listrik, hanya mereka yang berjabatan tinggi dan
mampu yang dapat menikmati manfaat tenaga
listrik. Salah satu contohnya adalah aku, aku
tinggal bersama bibi dan nenekku. Ayahku wafat
sejak aku masih dalam kandungan, dan ibukku
meninggal sesaat setelah melahirkanku. Mungkin
hidupku amatlah berat bagi sebagian orang, namun
itu tak berlaku bagiku. Nenekku selalu berkata
bahwa tak ada orang yang terlahir untuk menjadi
133
seorang pecundang, setiap orang lahir untuk
menjadi seorang pemimpin.
Perkataan nenekku itulah yang membuatku
termotivasi agar kelak dapat menghidupi seluruh
keluargaku dengan keringatku sendiri. Tentu saja
sebagai satu – satunya pria di keluargaku saat ini,
beban ku sangat berat walaupun umurku yang bisa
dibilang belum saatnya untuk bekerja. Namun
apalagi yang harus disesali, semua telah terjadi,
justru pada momen inilah cara membuktikan
apakah aku layak menjadi seorang pemimpin.
Menjadi pemimpin adalah impianku sejak dini,
memimpin negara ini adalah impian yang selalu ingin
kucapai suatu hari nanti. Tak peduli apapun
hambatan dan keadaanku sekarang. Bu guru selalu
berpesan kepadaku, “jika kamu ingin menjadi
seorang
pemimpin,
tekunlah
belajar,
peduli
terhadap teman dan perhatikan lingkungan alam
134
sekitarmu. ”Pada saat itu aku bingung“ Mengapa
seorang
pemimpin
harus
peduli
dengan
lingkungannya, bukankah itu tugas polisi hutan ,”
Timpalku dengan heran. Bu guru yang mendengar
perkataanku hanya tersenyum dan berkata, “Kamu
akan tau saat sudah cukup dewasa,” Aku pada saat
itu hanya bisa bingung dan terheran dengan apa
yang dikatan bu guru. Mungkin benar saat cukup
dewasa nanti aku akan paham apa yang dimaksud
bu guru saat itu.
Puluhan tahun kemudian aku telah tumbuh
menjadi pria manis dengan otak cemerlang. Aku
berhasil
menjadi
salah
satu
mahasiswa
di
Universitas ternama di Indonesia. Aku telah pergi
meninggalkan
mendapat
Universitas
kampung
halamanku
sejak
aku
di
beasiswa
untuk
bersekolah
ternama
tanpa
dipungut
biaya
sepeserpun. Hal itu cukup sangat membantu
135
keluargaku
agar
kehdiupan
di
dapat
hidup
perkotaan.
layak
Aku
seperti
semangat
bersemangat dalam menggapai cita – citaku
menjadi orang paling penting di negara ini, aku
akan terus berjuang untuk meraihnya. Namun,
selagi aku mengerjakan tugas dan melihat berita
televisi, sontak aku sangat kaget ketika melihat
berita
yang
berisi
bahwa
kampungku
akan
dijadikan objek pembangunan pusat perbelanjaan
dan wahana permainan. Pada awalnya aku tak
percaya dengan apa yang kulihat barusan, hingga
aku mencoba menelpon nenek dan bibiku yang
berada di sana, lama ku menunggu namun panggilan
telponku seperti tak ada yang mendengarnya,
hanya dering telpon yang terus terdengar olehku.
Sebenarnya,
rencana
pembangunan
itu
cukup membuatku bingung dan heran, mengingat
desaku
cukup
terpelosok
136
dan
bisa
dibilang
tertinggal dalam bidang teknologi dibandingkan
daerah lainnya. Penggerak pembangunan tampak
diwawancarai dan berkata, “Kita telah melakukan
riset mendalam tentang hal ini dengan pemerintah,
mengingat kita juga sudah punya cukup lahan hijau
di daerah perkotaan lalu kami berinisiatif untuk
membangun wahana dan perbelanjaan disini. Lahan
di desa ini juga cukup luas,” tuturnya. Aku yang
kecewa dan marah mendengar pernyataan yang
baru
saja
diutarakan
oleh
sang
penggerak
pembangunan, merasa bahwa pemerintah sudah
sangat keterlaluan,” Pemerintah amat keterlaluan,
bukanya membangun daerah tertinggal malah
merusaknya,”
gumamku
dalam
hati.
Akupun
berjanji pada saat itu, jikalau suatu hari nanti
akan pergi menyelamatkan dan menjaga kampung
halaman yang telah membesarkan dan menemaniku
sejak kecil.
137
Beberapa tahun telah berlalu, aku yang kini
sedang menjalani wisuda, tampak sangat senang
dengan senyum yang lebar setelah menerima
Ijazah sarjananya. Bagaimana tidak, aku berhasil
lulus dengan nilai terbaik di Universitas. Tak hanya
itu aku juga mendapat uang tunjangan dan
beasiswa yang akan digunakan sebagai biaya pergi
ke kampung halaman tercintaku. Sekarang gelar
sarjana telah menjadi bagian dari kebanggaanku
yang akan mengantarkanku menyelamatkan aset
kehidupanku. Seminggu telah berlalu aku sudah
siap untuk mengemas barang- barang dan bajuku
sebagai bekal saat berada di sana. Aku hanya bisa
bergumam, “Bagaimanakah keadaan kampungku
sekarang ya? Apakah seasri dan seindah dulu,” aku
pun segera bergegas pergi ke bandara dan menaiki
pesawat tujuanku. Dalam perjalanan aku terus
138
terbayang
apa
yang
akan
kulakukan
disana
nantinya mungkinkah rencanaku akan berhasil.
Akhirnya
pesawat
tiba
di
Bandara
tujuanku. Aku segera bergegas turun mengambil
koperku dan memesan taksi menuju kampung
halamanku. Betapa terkejutnya aku sesaat setelah
melihat warga kampung beserta nenek dan bibiku
berada tepat di depan mesin penghancur besar.
Mereka
berusaha
menghalangi
jalan
mesin
tersebut agar tak bisa menghancurkan bangunan
apapun. Aku yang melihat kejadian itu langsung
pergi menuju kerumunan tersebut dan berkata
dengan lantang “Berhenti!” Sontak semua orang di
sana kaget dan heran. Para pembangun pun
membalas “Diam disitu anak muda ini perintah dari
atasan,” aku tak peduli dengan himbauan itu, aku
langsung memposisikan diri berada di depan para
warga lainnya, ”Aku warga asli sini mau apa kalian
139
menggusur desaku?” Timpalku. Gemuruh suara
warga mendukungku membuat para pembangun
terdiam sejenak, lalu berkata “emm…kami ini
utusan pusat jika kamu menentang maka kami tak
segan
segan
menyingkirkan
kalian,”
Tambah
pembangun dengan lantang. Nenekku langsung
membalas dengan keras “Tidak ada tempat lain?
Ini desa kami hutannya akan kami pelihara hingga
kami mati,”
Para pembangun merasa bingung hal apa
yang harus mereka lakukan sekarang. Tanpa
negosiasi,
pemukiman
Mereka
langsung
penduduk
tanpa
saja
menggusur
memperdulikan
perkataan para penduduk. “ Minggir kalian semua
ini perintah pusat kalian akan diberi tempat yang
layak setelah ini ,” Warga pun dengan serentak
menjawab, “ Ini tanah kami bukan tanah kalian,
walaupun kalian beli seharga ratusan milyar pun
140
kami takkan jual,” Tak lama kemudian terdengar
suara dari kejauhan yang berteriak “Hey ini bukan
tanah negara, lahan ini milik kami, kami yang
menanam dan merawat lahan ini hingga seindah
sekarang ini,” Aku langsung kaget melihat sosok
tersebut, sosok itu ialah bu guru yang dulu
mengingatkanku
tentang
pentingnya
seorang
pemimpin memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Bu guru yang ku kenal dengan senyuman manisnya
dan kecantikannya, kini telah menjadi seorang
wanita lansia yang bahkan jumlah giginya tak
selengkap dahulu kala.
Bu guru tampak sangat kesal dengan para
pembangun yang semena-mena dengan kampungku,
ia merasa jika mereka terlalu patuh dengan
perintah atasan tanpa melihat dampak yang akan
terjadi pada lingkungan sekitarnya. Walau telah
di hujani berbagai ucapan dari para warga, para
141
pembangun tak merasa ragu dan gentar. Mereka
tetap menggusur pemukiman warga tanpa ada rasa
bersalah. Mereka hanya patuh pada perintah
atasan yang semena – mena terhadap lingkungan.
Tujuh
tahun
telah
berlalu
aku
telah
mempunyai rumah tangga yang bahagia dan
menjadi
salah
satu
pimpinan
daerah.
Aku
melupakan sejenak masalah penggusuran yang
terjadi di kampungku kala itu. Aku berusaha
melupakannnya namun tak semudah itu untuk
dilupakan. Aku pun mencoba mengajak keluarga
kecilku untuk berjalan – jalan sejenak menikmati
segarnya udara dan indahnya kota saat akhir
pekan tiba. Aku sangat senang dapat melihat
keluarga ku menikmati perjalanan liburan kali ini,
melihat keadaan kota yang indah dan terdapat
taman kota pada pusat kota mengingatkanku
142
kembali pada keadaan kampungku dulu saat indah
dan asri.
Aku sangat rindu dengan segarnya udara
dan hijaunya pemandangan hutan yang dulunya
sangat rimbun. Seketika anakku tiba – tiba
merengek dan meminta untuk pergi membeli
mainan. Memang anakku yang kecil sangat rewel
jika sudah minta sesuatu. Aku yang pada saat itu
langsung berinisiatif mencari pusat perbelanjaan
yang ada di sekitar ku menggunakan map digital.
Setelah
ku
kendaraanku
temukan,
menuju
sesegera
mall
143
ku
tersebut.
pacu
Betapa
kagetnya aku melihat palang polisi berada tepat di
depan gerbang mall yang ingin ku masuki. “Permisi
pak, kok mall di palang polisi? Apa ada bom,
tanyaku keheranan,” Polisi dengan tegas menjawab
“Bukan pak ini mall sudah ditutup sejak 2 bulan
lalu, karena selalu banjir ketika hujan tiba, bahkan
sebulan yang lalu sempat ada korban seorang anak
yang tenggelam terendam banjir,” Ditambah lagi
daerah sini udaranya juga cukup panas. “Lha ini
dimana sih pak? Masa mall bisa kebanjiran,
tanyaku kembali. “Ini dulunya desa mas, hutannya
katanya
dulu
dialihfungsikan
rimbun,
jadi
mall
cuman
sama
sekarang
pemerintah,
katanya hutan kota sudah cukup” Tambah pak
polisi. Aku pun langsung kaget dan teringat dengan
masa laluku. Desa hijau yang dulu ku cintai dirubah
menjadi mall yang bahkan tak dapat digunakan
untuk
kepentingan
publik.
144
Hal
ini
sangat
membuatku
sadar
akan
pentingnya
menjaga
lingkungan alam, dan mengingatkanku pula bahwa
seorang pemimpin yang baik harunsya tak hanya
mementingkan kesejahteraan rakyatnya namun
juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan
sekitarnya.
145
146
Download