i ii KATA PENGANTAR “Aksara Semesta” adalah sebuah karya kumpulan cerpen siswa kelas IX.5. Kumpulan cerpen ini bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas dan mengasah bakat siswa. Bersyukur kepada Allah S.W.T. atas terselesainya karya ini, dan terima kasih kepada Dra. Mutmainah Amini M. Pd. selaku Kepala SMP Negeri 3 Malang. Juga kepada siswa-siswi kelas IX.5 yang telah membaktikan dirinya untuk menulis karya ini. Tentu saja karya ini masih jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran masih sangat diharapkan dari pembaca. Malang, 4 November 2019 Pembimbing iii TIM REDAKSI 1. Penanggung Jawab Naskah Dra. Hj. Zaenaf Nurlailie 2. Penanggung Jawab Cetak 1) Anyndino Ahmad Kurniawan 2) Yemmima Dwi Azzahra 3. Editor 1) Navysha Luthfiandari Maharani 2) Nadhif Radityo Nugroho 3) Muhammad Rakha Rahadian Setiaji 4. Illustrator 1) Adinda Maulidya Faradiba 2) Fadhilah Putri Ramadhani 3) Keisha Pramudhita Bernadi 5. Bendahara 1) Aniisah 2) Regytha Putri Ayuningtyas iv DAFTAR ISI Halaman Judul.............................................................. ii Kata Pengantar ........................................................... iii Tim Redaksi ................................................................. iv Daftar Isi ..................................................................... v Lebih Baik Mendengar Karya Farah Putri Salsabila ...................................... 1 Alam Tak Butuh Balas Budi Karya Farica Vashti Noverta D.S .......................... 11 Kembalikan Desaku yang Dulu Karya Fitriana Herawati .......................................... 14 Mesin Pendeteksi Suara Karya Irfan Sidiq Permana .................................... 35 Besarnya Cintaku Pada Lingkungan Karya Izzata Sabbahana Falikulisbah ................. 70 Wira Sang Penjaga Hutan Karya Jasmine Firdhousy Muslich ......................... 81 Bukan Hanya Lingkunganmu v Karya Karenina Ananta Adi .................................... 87 Ketika Semua Tidak Peduli Karya Keisha Pramudhita Bernadi ...................... 104 Saint Helena Karya Malika Syaharani ......................................... 113 Jojo si Sahabat Lingkungan Karya Muhammad Farros Fauzi........................... 123 Hutan Pelindung Kehidupan Karya Muhammad Habibi ...................................... 132 vi Lebih Baik Mendengar Farah Putri Salsabila / 12 / IX.5 Aku termenung melihat sampah itu berserakan di sekitar sungai dan jembatan. Sudah berkali – kali kuingatkan masyarakat Jembatan Berantas Muharto untuk berhenti membuah sampah di bawah kolong jembatan, tetapi mereka selalu mengulang untuk membuang sampah dibawah kolong jembatan itu. Mereka tidak pernah jera pada perbuatan yang mereka lakukan. Padahal setiap hujan, Sungai Berantas selalu meluap, walaupun tidak sampai membanjiri pemukiman tempat mereka tinggal. 1 Aku sangat sedih mengetahui bahwa himbauan – himbauan yang telah kuberikan pada warga tidak diindahkan sama sekali. Sejak pertama kali aku datang ke daerah ini, aku telah melihat banyak tumpukan sampah lengkap dengan sejuta lalat yang menghinggapinya. Sudah berkali – kali aku datang untuk mengingatkan pada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan dan berhenti untuk membuang sampah di bawah jembatan ini. Aku juga selalu mengingatkan pada masyarakat dampak membuang sampah di kolong jembatan. Namun, nasehat – nasehatku tidak pernah didengarkan oleh mereka. Mereka selalu berfikir bahwa ceritaku tentang dampak menumpuk sampah di bawah jembatan itu hanyalah bualan, mereka meremehkanku. Saat ini aku berdiri di depan sebuah pengungsian korban banjir. Mereka yang dulu 2 selalu kuingatkan untuk menjaga kebersihan dan berhenti untuk membuang sampah di bawah kolong jembatan. Selain banyak yang terluka karena bencana banjir, masyarakat juga mengalami diare yang sangat parah akibat banyak lalat yang menghinggapi makanan mereka. Menurut sang tenaga medis, lalat – lalat itu kemungkinan besar berasal dari tumpukan sampah yang mereka timbun di bawah jembatan. Lalat itu sudah sejak lama menghinggapi makanan mereka, namun bakteri yang dibawa lalat itu berkembang biak dalam tubuh masyarakat bawah kolong jembatan ini dan menjadi sarang penyakit yang mereka alami saat ini. Aku mengelus dada mengetahui semua bencana yang menimpa mereka, aku sangat prihatin, tapi aku juga kesal dengan mereka yang meremehkanmu saat aku menasihati mereka. 3 Perlahan aku memasuki kawasan pengungsian ini, melihat banyak masyarakat yang mengeluh perut mereka sakit. Perlahan aku mendekati mereka, menanyakan kabar mereka, hanya berbasa – basi. Kurasa itu perlu, mereka butuh hiburan dan orang – orang yang menanyakan bagaimana kabar mereka, aku hanya berharap apa yang aku lakukan bisa berdampak baik bagi mereka. “Assalamualaikum Ibu ,” sapaku hangat pada sekelompok ibu – ibu yang sedang berbincang – bincang. “Waalaikumssalam, eh…. nak Wawan. Mari duduk!” bu Marni menyambutku dengan senyum. “Bagaimana kabarnya Ibu?” tanyaku membuka obrolan. “Ya begini, mau dibilang baik – baik saja tidak bisa. Mau dibilang tidak baik – baik saja juga tidak bisa. Kami hanya terombang – ambing disini, tidak tau bagaimana kedepannya ,” bu Marni 4 menjawab sendu. “Semua harta benda kami terbawa arus, beruntung nyawa kami tidak ikut hanyut. Kami kehilangan seluruh harta benda. Yang bisa kami lakukan sekarang hanya menunggu bantuan dari orang – orang baik diluar sana,” bu Ina meneteskan air mata. “Yang sabar bu, semua ini pasti ada hikmahnya. Semuanya akan kembali normal seperti biasanya, hanya butuh waktu untuk memperbaiki semua ini,” balasku menenangkan. “Iya nak, terimakasih,” bu Marni tersenyum. “Saya pamit dulu ya bu, saya ada urusan mendadak,” kataku sambil memberi sebuah bingkisan yang kuharap bisa memperbaiki keadaan mereka.. “Terimakasih nak, sukses selalu untukmu,” bu Ina tersenyum malu padaku. Aku terburu – buru meninggalkan pengungsian itu untuk menyelesaikan urusanku, namun lagi – lagi aku terdiam melihat banyak warga 5 terbaring di atas ranjang. Mereka semua mengeluh kesakitan, tapi tenaga medis hanya bisa menenangkan para pasien. Saat aku teringat urusanku, aku terburu – buru meninggalkan pengungsian dengan hati teriris – iris. Kutinggalkan mereka dengan harapan mereka akan lebih baik kedepannya. Pagi ini aku bangun ditemani mata panda yang ada pada mataku. Mata itu kudapat dari begadang tadi malam. Setelah aku pulang dari kampus, aku tidak bisa tidur memikirkan banyak hal yang kualami hari ini. Mungkin salah satunya tentang masyarakat Jembatan Berantas Muharto yang tadi kukunjungi. Di tengah lamunanku, iba tiba kudengar ada suara ketukan dari luar. ‘Tok…tok…tok… Assalamualaikum,” suara itu menyusul suara itu ketukan pintu itu. “Waalaikumssalam,” aku berlari dari dalam rumah 6 untuk membukakan pintu. Betapa terkejutnya aku saat melihat banyak warga bawah Jembatan Berantas Muharto. Aku berusaha memikirkan, apa alasan mereka datang ke rumahku, atau mungkin lebih kepada darimana mereka tahu rumahku. Sapaan mereka menyadarkanku dari pemikiranku. “Assalamualaikum nak Wawan. Selamat pagi,” sapa Pak Burhan. “Waalaikumssalam pak, mari masuk,” balasku menggaruk tengkuk. “Oiya nak,” Kata Pak Burhan sambil memasuki rumahku. “Ada apa ya pak? Saya penasaran bagaimana bapak – bapak ini mengetahui rumah saya,” kataku memecah keheningan. “Saya mencari infromasi dari warga sekitar nak,” Pak Burhan menjawab. “Kami ingin silaturahmi saja, sekaligus ingin meminta maaf pada nak Wawan,” Pak Adi menambahi. “Setelah beberapa minggu yang lalu nak Wawan tidak kembali ke kawasan kamung kami, 7 perilaku warga semakin manjadi – jadi. Kami selalu menunggu kedatangan nak Wawan untuk kembali mengingatkan kami, tapi kami memang keterlaluan. Kami tidak pernah menghiraukan apa yang nak Wawan beritahukan pada kami. Dan akhirnya musibah itu terjadi, kami sangat kesusahan. Berbagai macam musibah mendatangi kami, dimulai dari banjir hingga diare parah yang menimpa kami,” kata Pak Udin sendu. “Kami minta maaf nak, kami tidak pernah mengindahkan nasihatmu kemarin – kemarin. Kemarin malam, Ucup anak saya meninggal. Kata dokter, diare yang diderita ucup terlalu parah. Saya tidak habis pikir, dampak dari membuang sampah sembarangan akan sampai seperti ini. Saya kehilangan putra kesayangan saya,” kata Pak Adi sambil menundukkan kepala. “Saya turut berduka cita atas musibah yang menimpa warga Kampung Muharto, saya hanya 8 berhara kejadian seperti ini tidak akan terjadi di daerah lain. Lingkungan harus selalu dijaga kelestariannya. Hidup kita akan terus sejahtera apabila alam sejahtera. Sampah yang ada harus dimanfaatkan dengan baik, apabila memang sudah tidak bermanfaat, sebaiknya dibuang pada tempatnya, bukan ditimbun. Dampaknya sangat buruk bagi lingkungan,” kataku menjelaskan. “Iya nak Wawan, kami minta maaf,” sesal Pak Udin. “Seharusnya dari dulu kami mendengarkan apa katamu, mungkin ini semua tidak akan terjadi,” pak Burhan menambahi. “Sudahlan pak, yang sudah terjadi biarlah berlalu. Mungkin ada hikmat yang bisa kita ambil dari kejadian ini,” jawabku. “Yasudah kalau begitu, kami pamit dulu. Maaf mengganggu pagimu nak,” pamit Pak Adi. “Terimakasih nak,” kata mereka serentak 9 sambil meninggalkan rumahku. “Iya pak, saya juga terimakasih,” kataku melepas mereka. Aku senang sekaligus sedih. Aku sangat sedih mengetahui bahwa anak Pak Udin, Ucup meninggal karena musibah ini. Tetapi aku juga sedih mengetahui bahwa warga Kampung Muharto sadar akan kesalahan mereka. Memang sudah sepatutnya sampah dibuang di tempatnya, bukan malah dibuang di bawah jembatan. Hal itu bisa menyebabkan banjir yang akan menerjang pemukiman disekitarnya. Belum lagi kawanan lalat yang akan menghinggapi makanan warga. 10 Alam Tak Butuh Balas Budi Farica Vashti Noverta Dias Susila / 13 / IX.5 Suasana siang kota Malang seperti hari – hari biasanya. Padat dengan bisingnya kendaraan bermotor dan banyak polusi. Tak jarang menemukan para pengendara yang memiliki hati batu dengan menerobos lampu merah. Tak pelak itu roda empat maupun roda dua, sama – sama melanggar. Para pedagang kaki lima pun tak peduli dengan larangan berdagang di trotoar yang merupakan hak bagi pejalan kaki. Sampah pun banyak berserakan di mana – mana, pertanda 11 kurangnya perhatian dari masyarakat. Bak orang buta dengan apa yang dilihatnya, pada tempat sampah yang bertuliskan, “Buanglah sampah pada tempatnya!”. Mungkin itu hanya hiasan yang ditempel di sepanjang jalan saja. Tukang bersih jalanan tersebar di setiap penjuru yang ada. Dulunya, tugas mereka hanya menyapu daun – daun yang berguguran. Sekarang perbedaanya sangat kentara sekali, kini mereka membersihkan jalanan dari sampah – sampah plastik. Malah daun – daun yang berguguran jarang sekali karena banyaknya penebangan pohon. Banyak lahan hijau, pohon – pohon ditebang. Hanya untuk membuat perumahan, apartemen, dan gedung – gedung pencakar langit lainnya. Seorang direktur, CEO, dan arsitek mungkin lupa dengan pelajaran yang ada di sekolahnya dahulu yang mewajibkan pelestarian lingkungan. Sebenarnya 12 ini bukan hanya masyarakat kota Malang saja yang merutuki panas di bumi ini. Padahal cuaca panas ini juga karena ulah mereka. Siapa yang suruh menebang pohon? Tap! Tap! Suara langkah kaki itu mendominasi hening di sebuah rumah. Seorang wanita berpakaian santai keluar dari kamarnya dengan membawa gelas kosong. Langkah kakinya tertuju ke salah satu ruangan lain di rumah itu untuk mengambil air minum. Kerongkongannya terasa seperti kebakar karena panasnya cuaca hari ini. Padahal semalam baru saja turun hujan yang cukup deras. Sangat berbeda sekali kemarin dan hari ini. “Kamu sedang apa, Ros?” yang dipanggil menoleh. Meletakkan gelas yang sedari tadi berada di dalam genggamannya ke meja. “Haus, Kak. Hari ini sangat panas sekali, padahal kipas angin di kamarku sudah nyala. Hujannya kapan berhentinya, Kak?” tanya wanita yang tadi 13 dipanggil dengan naman “Ros” itu. “Subuh baru berhenti. Kipas angin di kamarmu nyala dari semalam?” wanita bernama lengkap Rose Sheila itu mengangguk. Tangannya sibuk mencari bahan makan di almari yang sepertinya telah habis. “Mie instannya habis, Kak San?” tanya Ros kepada kakaknya yang bernama lengkap Sandra Inara itu dengan kening yang berkerut. Sandra pun menjawab dengan ketus, “Coba tanya Bi Tri,” Ia langsung berlalu menuju sofa yang tidak jauh keberadaanya dari dapur. Ros yang merasa diabaikan hanya berdecih kesal. Air yang baru saja dituangkannya langsung ditenggak habis dalam sekali tegukan. Ros pun bergegas menuju Bi Tri. 14 “Bi Tri, mie instannya habis ya?” tanya Ros. “Iya Non, belum saya belikan lagi,” tutur Bi Tri dengan sopan. Ros pun menyusul sang kakak yang sudah nyaman duduk di sofa. “Makan mie instan terus tidak baik untuk kesehatanmu, Ros. Kamu sudah besar, harusnya bisa jaga diri kamu. Walaupun kakak ini dokter, kakak kan juga sibuk. Tidak akan bisa terus jaga kamu,” tutur Sandra saat Ros sudah mengambil tempat duduk di sampingnya. Rose bungkam. Matanya menatap lurus ke arah televisi yang sedang menyiarkan berita bencana banjir yang menyapa Ibukota. 15 “Tidak sering sebenarnya, Kak. Seminggu mungkin hanya 2 kali saja,” jawab Ros. Lalu ada seseorang turun dari lantai atas yang mendengar keributan mereka berdua. Seseorang ini adalah Ibu mereka yang mereka biasa panggil Bunda. “Ada apa ini ribut – ribut saja?” tanya Bunda. “Itu si Ros setiap hari makannya mie instan terus,” jawab Sandra dengan singkat. “Tidak setiap hari juga Bun, kan tadi aku sudah bilang ke kakak kalau 2 kali dalam seminggu,” kata Rose menyangkal pernyataan kakaknya. “Sudah sudah, Kak Sandra benar jangan sering makan mie instan,” bela Bunda kepada Sandra, dan langsung pergi menuju dapur. Ros heran karena menurutnya itu tidak sering, lagipula mie instan adalah makanan yang sangat enak untuk di makan. Tetapi, Sandra sekarang lebih fokus terhadap berita banjir yang ada di televisi, dan sudah tidak menghiraukan 16 adiknya itu. Lalu Sandra bergumam sendiri, “Hujan jarang tapi tetap saja banjir terus kenapa ya, heran,” Gumaman Sandra membuat Ros menjadi memperhatikan berita. “Sungai Ciliwung itu ya? Tapi itu juga salah sendiri membuat rumah di bantaran sungai,” timpal Ros. Sandra pun mengangguk membenarkan ucapan adik semata wayangnya itu. “Oh ya, tugas referensi yang kamu buat itu sudah selesai? Pakai tema apa?” tanya Sandra mengalihkan topik pembicaraan. “Pemanasan global, Kak,” kata Ros. Dewi lantas membekap mulutnya dan tertawa tertahan, Rose mengernyit bingung tak paham apa yang seharusnya bisa ditertawakan. “Kenapa, Kak?” tanya Ros dengan raut wajah penuh tanda tanya. Sandra menghela napas, “Kamu pakai tema pemanasan global tapi sering makan mie instan. Kan lucu,” 17 Rose kembali berpikir, masih tak mengerti apa hubungan antar mie instan dengan pemanasan global, karena selama ini Ros bersekolah tidak ada pembelajaran yang mengaitkan antara mie instan dengan pemanasan global. “Memang ada hubungannya Kak antara global warming dan mie instan?” tanya Ros penasaran. Sandra mengangguk antusias. “Jelas ada, bungkus mie instan itu kan terbuat dari plastik dan kamu tahu sendiri jangka waktu yang dibutuhkan sampai plastik itu terurai bukan?” tanya mengangguk Sandra tanda pada Ros, mengerti. dan Ros “Plastik membutuhkan waktu bahkan hingga beratus – ratus tahun untuk terurai. Saat tertimbun di dalam tanah pun, plastik juga akan menimbulkan pencemaran tanah yang hasilnya tanah tidak akan subur kembali dan banyak tumbuhan mati. Saat tumbuhan mati kayu akan menjadi langka,” jelas 18 Sandra panjang lebar. Tetapi tetap saja raut wajah Rose menjelaskan jika wanita itu sedang memutar otaknya. “Lalu bungkus mie instan bisa menimbulkan pemanasan global bagaimana caranya memang, Kak?” tanya Ros sangat penasaran. “Jika tumbuhan mati akhirnya manusia beralih dari kayu untuk membuat rumah. Lantas apa yang dilakukan manusia?” jawab Sandra dengan sengaja menyelipkan pertanyaan. “Rumah kaca,” Rose sudah mulai paham dengan apa yang dbicarakan oleh kakaknya itu. “Padahal rumah kaca itu efeknya sangat besar untuk kehidupan kita yaitu pemanasan global,” jelas Sandra lagi. “Ros, setelah hari ini sadarkan dirimu sendiri. Lingkungan penting untuk kita. Kenyataannya kita lah yang lebih membutuhkan mereka,” Sandra mengakhiri penjelasannya. Rose tertegun. Sejujurnya ia tak tahu jika hal sekecil 19 ini pun yang dilakukannya akan berefek sebesar ini pada kehidupan di bumi. Rose diam seribu bahasa. Bahkan sampai Sandra telah beranjak dari hadapannya, ia masih tak membuat pergerakan yang berarti. Setelah mendengar penuturan menyadari betapa sang kakak, pentingnya ia baru alam bagi kelangsungan hidup manusia. Penjelasan itu sukses mencungkil perasaannya. Mungkin setelah hari ini akan ada yang berbeda dalam hidupnya. Mungkin cara pandang dan sikapnya pada alam. Alam tak butuh balas budi, ia hanya butuh dikasihi. 20 Kembalikan Desaku yang Dulu Fitriana Herawati / 14 / IX.5 Langit cerah menghiasi bumi seisinya. Birunya langit menandakan adanya kedamaian. Pohon bergoyang ke kanan kiri, melambaikan tangan dengan riangnya. Hijau pohon menyejukkan segala pandangan. Seorang petani yang tinggal di pinggir hutan sedang bergembira menyambut hari cerah di pagi ini. Petani itu hanya tinggal bersama seorang anaknya, karena istrinya sudah meninggal 4 tahun lalu. Di sebelah rumah petani itu terdapat sebuah desa yang bernama Desa Asri. 21 Ketika petani sedang duduk di teras sambil melihat keadaan desa, anaknya yang bernama Dewi menghampirinya sambil membawa secangkir teh hangat. “Diminum dulu tehnya, Yah,” kata Dewi sambil menaruh secangkir teh hangat di meja. “Iya, Nak,” jawab si petani. Kemudian ia meminum secangkir teh hangat yang dibuat oleh Dewi. “Kalau kamu tau, Wi, lingkungan desa kita sekarang jauh berbeda dengan dulu,” kata si petani. “Maksud Ayah?” tanya Dewi penasaran. “Dulu, setiap warga di sini sangat antusias untuk menanam berbagai jenis tumbuhan di depan rumahnya, dengan demikian, desa kita menjadi sejuk dan rindang. Akan tetapi, sekarang banyak warga yang sudah tidak peduli dengan lingkungan. Hal itu menyebabkan desa kita menjadi panas dan tidak sejuk seperti dulu lagi,” kata si petani menceritakan keadaan desa yang dulu. 22 Kemudian ia menambahkan, “Hutan desa yang dulunya menjadi habitat banyak rusa, sekarang menjadi habitat tumbuhan saja. Dulu ayah sering bermain dengan rusa-rusa itu, tetapi sekarang rusa-rusa itu sudah tidak ada lagi. Selain itu, dulu semua warga sangat menyadari pentingnya menjaga lingkungan alam. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan teknologi, warga justru berbuat seenaknya pada lingkungan alam. Ayah berpesan kepada Dewi, supaya Dewi terus menjaga dan merawat lingkungan,” jelas si petani kepada Dewi. “Insyaallah, Yah, Dewi akan berusaha menjaga lingkungan ini dengan sebaik-baiknya,” ucap Dewi dengan penuh semangat. Pada suatu hari yang tenang dan damai, di mana burung berkicau dengan suka cita. Pepohonan sedang bermain dengan angin dan menari-nari ke sana kemari, hingga menghasilkan gerakan yang 23 sangat indah. Akan tetapi, ketenangan itu kini terusik oleh kedatangan orang-orang berseragam proyek dengan berbagai alat berat. Seketika Dewi kaget melihatnya, semua warga tampak antusias dan senang atas kedatangan mereka. Hal itu yang membuat Dewi merasa bingung dan heran. “Mengapa warga malah senang dengan kedatangan mereka?” ucap Dewi dalam hati. Tanpa berpikir panjang, Dewi segera menemui ayahnya di sawah. “Permisi, Yah,” sapa Dewi buru-buru. Petani itu langsung menghentikan kegiatannya di sawah. “Iya, Nak, ada apa?” tanya si petani. “Ada hal yang sangat penting, Yah!” jawab Dewi cemas. “Penting? memangnya ada apa, Nak?” tanya si petani penasaran. “Ada sekelompok orang berseragam proyek datang ke desa. Mereka menuju ke hutan, kelihatannya mereka ingin menebangi pohon, ayah harus segera ke hutan!” jelas Dewi. 24 Sesampainya di hutan ternyata hutan tersebut sangat ramai warga. Para warga melihat pekerja yang sedang menghitung jumlah pohon dan menyusun rencana untuk melaksanakan proyek mereka. Bahkan ada juga warga yang berjualan di sekitarnya demi mendapatkan uang. Hal itu terjadi, karena ada proyek besar di desa. Si petani langsung menemui Bapak Kepala Desa yang sedang berbincang-bincang dengan ajudannya. “Apa yang bapak lakukan dengan semua ini?” tanya si petani dengan lantang, sampai-sampai para warga memperhatikannya. “Lho, Anda kok tiba-tiba marah? saya tidak mengerti maksud anda,” jawab Bapak Kepala Desa yang terlihat tenang. “Bapak menyetujui proyek yang akan merugikan warga dalam jangka waktu yang panjang, apakah Bapak tidak berpikir bahaya apa saja yang akan ditimbulkan?” ucap si petani 25 kecewa. Bapak Kepala Desa langsung membalas perkataan si petani, “Saya kepala desa di sini, saya mengerti kebutuhan warga saya, anda tidak bisa menentang kebijakan saya,” jawab Bapak Kepala Desa. “Baiklah, saya tidak akan berbicara panjang lebar, saya peringatkan, proyek ini tidak akan bisa berjalan lama. Bapak yang menghancurkan, dan Bapak juga yang menanggung akibatnya. Bapak akan menyesal suatu saat nanti” jelas si petani dengan tegas. Bapak Kepala Desa tersenyum sinis “Lihat! warga mendukung kebijakan saya dengan hadir di proyek ini,” jawab Bapak Kepala Desa dengan angkuhnya dan si petani langsung pergi, tanpa menghiraukannya. Pada siang hari ketika seorang petani dan anaknya sedang tidur, tiba-tiba terdengar suara mesin yang memilukan hati. Selain itu, terdengar juga suara gemuruh dari pepohonan yang tumbang. 26 Dengan segera, si petani bangun dari tempat tidurnya dan menuju ke sumber suara tersebut. “Hei kalian, hentikan perbuatan itu!” teriak petani kepada gerombolan penebang kayu. Akan tetapi, para penebang kayu di dalam hutan itu tidak mendengarkan sedikitpun perkataan si petani. Setelah berusaha dengan sekuat tenaga, si petani berhasil mendekat ke arah penebang kayu. Ia menghentikan penebangan tersebut dengan berdiri di dekat gergaji mesin. “Apa yang kau lakukan? Apa kamu mau cari mati?” teriak salah seorang di antara penebang kayu. “Aku tidak akan membiarkan kalian terus menebang pepohonan di hutan ini. Apakah kalian tidak mengetahui bahwa banyak sekali makhluk hidup yang sangat bergantung dengan mereka. Apakah kau juga tidak mengetahui akibat yang akan terjadi jika semua pohon di sini habis kau tebangi?” teriak petani itu. 27 Para penebang pohon merasa terganggu dengan kehadiran si petani. Mereka juga merasa kesal, bahkan mereka membawa si petani dengan paksa untuk menjauh dari lokasi tersebut. Si petani itu tidak tinggal diam. Ia segera pergi untuk menemui Bapak Kepala Desa. Ia mengadukan semua kejadian itu, tetapi apa daya, usaha yang dilakukan oleh si petani itu gagal. Ternyata alasan Bapak Kepala Desa menyetujui adanya proyek itu adalah ia ingin mensejahterakan rakyat melalui proyek besar yang ada di desa. Petani itu menyerah pada keadaan ini. Ia langsung memutuskan untuk kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, petani itu langsung duduk di teras. “Mengapa? karena alasan ingin sejahtera. Apakah mereka tidak sadar bahwa lingkungannya akan hancur dan pasti mereka akan menjadi korbannya. Alam akan menjadi musuh jika kita 28 tidak memeliharanya dan alam akan bersahabat jika kita memeliharanya,” kata si petani hampir meneteskan air mata kesedihan karena usahanya gagal. Dewi, sebagai anaknya langsung menenangkan si petani. “Ayah, Dewi mohon. Ayah jangan bersedih. Mungkin kita tidak dapat menghentikan, tetapi kita bisa mendoakan supaya mereka diberi kesadaran, Yah,” jawab Dewi sambil menghapus air mata si petani. “Terima kasih Nak, ternyata anak ayah sudah mulai tumbuh menjadi dewasa, dan bijak,” kata petani itu sambil tersenyum. Mendengar kata-kata si petani, Dewi tersenyum malu, “Ah, ayah bisa saja,” Setelah 1 bulan, proyek itu selesai. Para pekerja pada proyek itu sudah menghabiskan semua kayu yang ada di hutan, dan tidak ada yang tersisa sedikitpun. Kini hutan itu menjadi gersang. 29 Si petani langsung datang ke rumah Bapak Kepala Desa dan membicarakan hal tersebut. “Desa kita sekarang menjadi gersang, Pak. Jika kita tidak segera menanam pohon, maka akan terjadi bencana yang tidak kita inginkan. Bagaimana jika besok kita adakan kerja bakti dan penanaman pohon di hutan. Apakah Bapak setuju?” kata si petani kepada Bapak Kepala Desa. “Untuk apa menanam pohon? pohon itu tidak ada pengaruhnya untuk kita. Lagi pula desa kita ini sudah sejahtera dengan adanya proyek penebangan pohon kemarin,” jawab Bapak Kepala Desa dengan tegas. “Apakah bapak tidak merasakan dampak penebangan pohon yang telah terjadi di desa ini? desa kita sekarang menjadi panas, karena sudah tidak ada pohon yang dapat menghasilkan udara segar, Pak,” kata si petani dengan penuh amarah. 30 Kemudian ia menambahkan, “Untuk itu, maka kita harus mengadakan penanaman pohon supaya desa kita tidak panas dan tidak terjadi kekeringan, Pak,” Kata si petani dengan tegas. Bapak Kepala Desa berpikir sejenak, “Baiklah, terima kasih kamu telah mengingatkan saya. Saya setuju dengan pendapat kamu. Nanti akan saya umumkan kepada semua warga desa bahwa besok pagi akan diadakan kerja bakti dan penanaman pohon di hutan,” kata Bapak Kepala Desa. “Samasama, Pak. Mari kita perbaiki desa ini bersamasama. Kalau begitu saya pamit dulu ya, Pak,” kata si petani. Matahari mulai muncul dari ufuk timur. Kini saatnya kerja bakti dan penanaman pohon dimulai. Si petani dan anaknya sangatbersemangat dengan diadakannya kegiatan ini. Tidak hanya si petani dan anaknya yang bersemangat, tetapi para 31 warga juga bersemangat dengan diadakannya kegiatan ini. Alasannya adalah, karena mereka sadar bahwa mereka tidak boleh merusak dan sembarang menebang pohon-pohon yang ada di hutan. Hutan adalah sumber kehidupan yang harus dijaga kelestariannya. Bapak Kepala Desa dan para warga sudah berkumpul di hutan. Mereka sudah siap untuk menanam pohon. “Baiklah, sekarang kita mulai kerja bakti dan penanaman pohonnya. Akan tetapi, sebelum memulai kegiatan pada pagi hari ini, marilah kita berdoa menurut keyakinan kita masing-masing,” kata Bapak Kepala Desa. Selesai berdoa, mereka langsung bekerja bakti untuk membersihkan hutan. Sementara itu, si petani dan anaknya menyiapkan tanaman yang akan ditanam di hutan. “Yah, tanamannya sudah saya hitung, semua ini jumlahnya ada 385 pohon,” kata Dewi kepada si 32 petani. “Baiklah, Nak, pupuknya juga sudah ayah siapkan, sekarang kita membatu membersihkan hutan terlebih dahulu,” kata si petani kepada anaknya. Selesai menyiapkan pohon-pohon yang akan ditanam, mereka langsung ikut membantu membersihkan hutan dengan alat yang mereka bawa. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. “Mohon perhatiannya untuk semua warga. Hutan sudah menjadi bersih, kini saatnya penanaman pohon dimulai. Silakan setiap warga mengambil satu pohon untuk ditanam di hutan dan mengambil pupuk secukupnya,” kata Bapak Kepala Desa. “Baik, Pak,” jawab seluruh warga dengan kompak. Para warga langsung mengambil pohon dan menanamnya. Selesai menanam pohon mereka langsung memberi pupuk secukupnya. Beberapa tahun kemudian pekerjaan mereka mulai ada 33 hasilnya. “Hutan kita mulai hijau kembali, Yah. Desa kita sudah tidakpanas lagi,” kata Dewi kepada si petani. “Iya, Nak, ini berkat keja sama kita semua,” jawab si petani. Akhirnya para warga hidup dengan gembira, karena sekarang hutan menjadi hijau kembali. Para warga pun menyadari, bahwa hutan itu perlu untuk menjaga harus dipelihara dengan sungguh-sungguh tidak ada lagi penebangan pohon. 34 Mesin Pendeteksi Suara Irfan Sidiq Permana / 15 / IX.5 Saat itu adalah malam musim panas yang hangat. Klausner berjalan cepat melalui gerbang depan dan di sekitar sisi rumahnya untuk ke taman di belakang. Ia pergi menyusuri taman sampai dia tiba di sebuah gudang kayu. Ia membuka kunci pintu, masuk ke dalam, dan menutup pintu di belakangnya. Bagian dalam gudang tersebut adalah ruangan tua yang tidak dicat. Bersandar di dinding, di sebelah kiri, terlihat meja kerja kayu yang panjang, dan di atasnya, di antara serasah kabel, baterai, dan alat-alat kecil yang tajam, 35 berdiri sebuah kotak hitam sekitar tiga meter panjangnya, berbentuk seperti peti mati anakanak, dan sebuah benda yang terlihat seperti radio usang di samping kotak. Klausner bergerak melintasi ruangan menuju kotak tersebut. Bagian atas kotak itu terbuka. Dia membungkuk serta mulai menyodok dan mengintip di dalamnya di antara banyak kabel dan tabung perak yang berbeda-beda. Ia mengambil selembar kertas yang tergeletak di samping kotak, mempelajarinya dengan hati-hati, meletakkannya, mengintip ke dalam kotak dan mulai menjalankan jari-jarinya di sepanjang kabel, menariknya dengan lembut untuk menguji koneksi, melirik kembali ke kertas, kemudian ke dalam kotak, lalu di kertas lagi memeriksa setiap kawat. Raut wajahnya nampak sangat serius. Ia mempelajari dan memahami setiap detail dari 36 semua informasi dan instruksi dalam kertas, sambil melihat ke dalam kotak. Setelah hampir satu jam, ia akhirnya menaruh tangannya di depan kotak, dimana disana terdapat tiga tombol. Ia mulai menekan tombol-tombol itu, dan pada saat yang bersamaan mengawasi gerakan mekanisme di dalam kotak. Ia berbicara dengan lembut kepada dirinya sendiri, menganggukkan kepalanya, kadang-kadang tersenyum. Tangannya selalu bergerak, jari-jarinya bergerak dengan cepat dan cekatan di dalam kotak, dan alisnya terangkat ketika ada sesuatu yang mengejutkannya. Ia bergumam, “Ya… benar… dan sekarang yang satu ini… tapi apakah ini benar? Apakah ini- tunggu, dimana diagramku? Oh iya… tentu… dan sekarang… ya… bagus, bagus… ya, ya, ya…” Dia berkonsentrasi dengan sungguh-sungguh, pergerakannya cepat, terasa keseriusan dan 37 kehati-hatiannya dari cara ia bekerja. Ia menahan napasnya, juga kegembiraannya yang ia tahan dengan kuat, tak sabar dengan hasilnya. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki diluar. Dia kemudian berdiri tegak dan berbalik ke belakang, saat seorang pria tinggi masuk ke dalam garasinya. Ia adalah Scott. Itu hanyalah Scott, sang dokter. “Ya, ya, ya… Jadi disinilah Anda menyembunyikan diri pada saat sore sampai malam,” kata sang dokter. “Hai, Scott. Apa yang sedang kau lakukan disini?” kata Klausner. "Saya kebetulan lewat," kata Dokter kepadanya, "jadi saya mampir untuk melihat keadaan Anda. Tidak ada orang di rumah, jadi saya datang ke sini. Bagaimana keadaan tenggorokanmu selama ini?” jawab Dokter. “Tidak ada masalah. Aku baik-baik saja,” jawab Klausner. “Mumpung saya disini, tidak 38 ada salahnya saya sekalian memeriksa Anda,” sahut Dokter. “Tidak usah repot-repot. Aku sudah sembuh. Aku baik-baik saja,” Sang dokter mulai merasakan suasana ketegangan di ruangan itu. Dia melihat kotak hitam di bangku, lalu ganti memandang pria itu.. Dokter mendekat dan membungkuk untuk melihat ke dalam kotak. "Apa ini?" katanya. "Membuat radio?" "Tidak, hanya bermain-main,” "Dalamnya sepertinya agak rumit. Apa yang ingin Anda buat?" tanya Dokter. "Benda ini terlihat menakutkan,” "Itu hanya sebuah ideku saja. Ini ada hubungannya dengan suara, itu saja,” Dokter pergi ke pintu, berbalik, dan berkata, "Yah, aku tidak akan mengganggumu. Senang tenggorokanmu sudah sembuh,” tapi dia terus berdiri di sana memandangi kotak itu, tertarik dengan kerumitan luar biasa di dalamnya, 39 ingin tahu apa yang dilakukan pasien anehnya ini. "Untuk apa ini sebenarnya?" tanyanya. "Kamu membuatku penasaran,” Klausner menatap kotak itu, lalu ke Dokter. Ia mengulurkan tangannya dan mulai menggaruk cuping telinga kanannya. Ia berhenti sejenak. Dokter berdiri di dekat pintu, menunggu, tersenyum. "Baiklah, aku akan memberitahumu, jika kau tertarik,” katanya. Ia berhenti lagi, dan sang dokter bisa melihat bahwa Klausner kesulitan harus bagaimana untuk memulainya. "Yah, begini... teorinya sangat sederhana kok. Telinga manusia ... kita tahu bahwa itu tidak dapat mendengar semuanya. Ada suara yang sangat rendah atau sangat tinggi sehingga manusia tidak bisa mendengarnya,” "Ya," kata Dokter. "Itu benar.” "Yah, kasarnya, setiap nada yang begitu tinggi sehingga 40 memiliki lebih dari lima belas ribu getaran per detik, dengan kata lain, suara ultrasonik, kita tidak bisa mendengarnya. Anjing memiliki telinga yang lebih baik daripada kita. Kau tahu, kau bisa membeli peluit yang notnya sangat tinggi sehingga kau tidak bisa mendengarnya sama sekali. Tapi seekor anjing bisa mendengarnya,” "Ya, saya pernah melihatnya," kata Dokter. Dokter menunggunya untuk melanjutkan. Klausner menghela napas dan menggenggam kedua tangannya erat-erat. “Aku percaya,” katanya, berbicara lebih lambat sekarang, “bahwa ada dunia yang penuh dengan suara tentang kita sepanjang waktu yang tidak dapat kita dengar. Ada kemungkinan bahwa di atas sana di daerahdaerah yang tidak dapat didengar dengan nada tinggi itu ada musik baru yang mengasyikkan, dengan harmoni yang halus dan perpaduan yang 41 tajam, musik yang begitu kuat sehingga akan membuat kita marah jika hanya telinga kita saja yang disetel untuk tidak bisa mendengar suara itu. Mungkin ada sesuatu... untuk semua yang kita tahu mungkin- " "Ya," kata Dokter. "Tapi itu terdengar tidak meyakinkan,” "Kenapa tidak?” Klausner menunjuk ke lalat yang duduk di gulungan kecil kawat tembaga di meja kerja. “Kau lihat lalat itu? Kebisingan macam apa yang dihasilkan lalat itu sekarang? Tidak ada - yang bisa didengar orang. Tetapi kita tidak tahu, makhluk itu mungkin bersiul seperti orang gila dengan nada yang sangat tinggi, atau menggonggong atau bernyanyi atau menyanyikan lagu. Ia punya mulut, bukan? Punya tenggorokan?" Dokter melihat lalat tersebut, dan dia tersenyum. Dia masih berdiri di dekat pintu 42 dengan kedua tangannya di atas gagang pintu. "Yah," katanya. "Jadi, kamu akan memeriksanya?" "Beberapa waktu yang lalu," kata Klausner, "aku membuat instrumen sederhana yang membuktikan kepadaku adanya banyak suara aneh yang tak terdengar. Seringkali aku duduk dan menyaksikan jarum alatku merekam keberadaan getaran suara di udara ketika saya sendiri tidak dapat mendengar apa pun. Itulah suara yang ingin kudengar. Aku ingin tahu dari mana suara itu berasal dan siapa atau apa yang menimbulkannya. " "Dan mesin di atas meja itu," kata Dokter, "apakah itu akan membuat Anda mendengar suarasuara ini?" "Mungkin. Siapa tahu? Sejauh ini, aku tidak beruntung. Tetapi aku telah membuat beberapa perubahan di dalamnya dan malam ini saya siap untuk percobaan lain. Mesin ini,” katanya, sambil menyentuhnya 43 dengan tangannya, “dirancang untuk mengambil getaran suara yang terlalu tinggi untuk diterima oleh telinga manusia, dan mengubahnya menjadi skala nada yang dapat didengar. Aku menyetelnya, hampir seperti radio,” “Apa yang kamu maksud? Ini tidak rumit. Misalnya saja saya ingin mendengarkan derit kelelawar. Itu suara yang bernada cukup tinggi sekitar tiga puluh ribu getaran per detik. Ratarata telinga manusia tidak bisa mendengarnya. Sekarang, jika ada kelelawar terbang di sekitar ruangan ini dan aku menyetel ke tiga puluh ribu di mesinku, aku akan mendengar derit kelelawar itu dengan sangat jelas. Aku bahkan akan mendengar nada yang benar – F#, atau Bb, atau apa pun itu tetapi hanya pada nada yang jauh lebih rendah. Apakah kau masih tidak mengerti?" Sang dokter memandangi kotak peti mati yang panjang dan berwarna hitam itu. "Dan kamu akan mencobanya 44 malam ini? Yah, semoga kamu beruntung,” Dia melirik arlojinya. “Ya ampun!” katanya, “saya harus pergi. Selamat tinggal. Terima kasih telah memberitahu saya. Saya akan menelepon lagi kapan-kapan dan mencari tahu apa yang terjadi,” Dokter keluar dan menutup pintu di belakangnya. Untuk beberapa saat lagi, Klausner megotak-atik kabel-kabel di kotak hitam, lalu dia menegakkan tubuh dan dengan bisikan lembut berbisik berkata, "Sekarang kita akan mencoba lagi... Kita akan membawanya, ke taman kali ini... dan kemudian mungkin... mungkin kali ini... resepsi akan lebih baik. Angkat sekarang... dengan hatihati... Ya Tuhan, berat!" Dia membawa kotak itu beserta radio tua di sampingnya dengan susah payah ke kebun. Dia meletakkan kotak itu dengan hati-hati di atas meja kayu kecil yang berdiri di halaman, kembali ke gudang dan mengambil 45 sepasang earphone. Ia menyambungkan kotak tersebut dengan radio usang, Dan memasang earphone ke radio tersebut. Gerakan tangannya cepat dan tepat. Dia terus berbicara kepada dirinya sendiri dengan sedikit kata-kata penghiburan dan dorongan semangat, seolah-olah dia takut - takut bahwa mesin itu tidak akan bekerja dan takut juga dengan apa yang akan terjadi nanti jika mesin itu bekerja. Dari tempat ia berdiri, dia bisa melihat pagar rendah ke taman berikutnya, dan ada seorang wanita berjalan menyusuri taman dengan keranjang bunga di lengannya. Dia memperhatikannya sebentar tanpa memikirkannya sama sekali. Lalu dia berbalik ke kotak di atas meja dan menekan tombol di bagian depannya. Dia meletakkan tangan kirinya di pengontrol volume dan tangan kanannya di kenop yang menggerakkan 46 jarum melintasi dial pusat yang besar, seperti dial gelombang panjang radio. Dial ditandai dengan banyak angka, dalam serangkaian band, mulai dari 15.000 dan berlanjut hingga 1.000.000. Jarum kecil itu merayap perlahan di atas dial, dan tibatiba dia mendengar jeritan, jeritan menusuk yang menakutkan. Dia melompat dan menjatuhkan tangannya, menengok sekitar, mengecek apakah ada orang yang telah menjerit. Tidak ada seorang pun yang terlihat kecuali wanita di taman sebelah, dan tentu saja bukan dia. Wanita itu membungkuk, memotong mawar kuning dan menaruhnya di keranjangnya. Sekali lagi datang - jeritan tidak manusiawi, tidak manusiawi, tajam dan pendek, sangat jernih dan dingin. Klausner memandang sekitarnya, secara naluriah mencari sumber suara. Wanita di sebelah adalah satu-satunya makhluk hidup yang 47 terlihat. Dia melihatnya mencapai ke bawah, mengambil batang mawar di jari-jari satu tangan dan gunting batang dengan gunting. Lagi-lagi dia mendengar teriakan itu, pada saat yang tepat ketika batang menegakkan mawar tubuh, dipotong. Wanita itu meletakkan gunting di keranjang dengan mawar dan berbalik untuk pergi. "Nyonya Saunders!" Teriak Klausner, suaranya melengking karena kegembiraan. "Oh, Nyonya Saunders!" Dan ketika memandang sekeliling, wanita itu melihat tetangganya berdiri di halamannya - orang kecil yang fantastis, yang melambaikan tangan dengan sepasang earphone di kepalanya - memanggilnya dengan suara yang begitu tinggi dan keras sehingga dia menjadi khawatir. “Potong satu lagi! Tolong potong satu lagi dengan cepat!” kata Klausner. 48 Nyonya Saunders selalu percaya bahwa tetangganya adalah orang yang agak aneh, dan sekarang sepertinya dia sudah benar-benar gila. Dia bertanya-tanya apakah dia harus lari ke rumah dan menjemput suaminya. Tidak, ia tidak terlihat berbahaya, pikirnya. "Tentu saja, Tuan Klausner, jika Anda suka," katanya. Dia mengambil guntingnya dari keranjang dan mengambil mawar lainnya. Lagi-lagi Klausner mendengar pekikan menakutkan di earphone, lagi-lagi itu datang pada saat yang tepat batang mawar dipotong. Dia melepas earphone dan berlari ke pagar yang memisahkan kedua taman. "Baiklah," katanya, "Sudah cukup. Tidak lagi. Tolong jangan lagi,” Klausner berhenti memberitahumu sejenak. sesuatu, Nyonya "Aku akan Saunders," katanya, "sesuatu yang tidak akan Anda percayai,” Dia meletakkan tangannya di atas pagar dan 49 mengintipnya dengan cermat melalui kacamatanya yang tebal. “Malam ini, Anda telah memotong sekeranjang penuh bunga mawar. Anda memiliki gunting tajam memotong batang makhluk hidup, dan setiap mawar yang Anda potong menjerit dengan cara yang paling mengerikan. Apakah Anda tahu itu, Nyonya Saunders?” "Tidak, aku tentu tidak tahu itu,” katanya. "Aku mendengar mereka menjerit. Setiap kali Anda memotong satu, saya mendengar tangisan kesakitan. Suara bernada sangat tinggi, kira-kira seratus tiga puluh dua ribu getaran per detik. Anda mungkin tidak bisa mendengarnya sendiri. Tapi saya mendengarnya," Klausner memberitahunya. "Apakah Anda serius, Tuan Klausner?" Dia memutuskan akan berlari ke rumah dalam waktu sekitar lima detik. “Anda mungkin berkata,” dia melanjutkan, “bahwa semak mawar 50 tidak memiliki sistem saraf untuk merasakan, tidak ada tenggorokan untuk menangis. Anda benar. Belum. Tidak seperti milik kita. Tapi bagaimana Anda tahu, Nyonya Saunders, bagaimana Anda tahu bahwa semak mawar tidak merasakan banyak rasa sakit ketika seseorang memotong batangnya menjadi dua seperti Anda akan merasa jika seseorang memotong pergelangan tangan Anda dengan gunting kebun? Bagaimana Anda tahu? Itu hidup, bukan?” Klausner mencoba meyakinkannya. "Ya, Tuan Klausner. Oh, ya- dan selamat malam,” Dengan cepat dia berbalik dan berlari menaiki taman ke rumahnya. Klausner kembali ke meja. Dia memakai earphone dan berdiri sebentar mendengarkan. Dia masih bisa mendengar suara derak samar dan suara dengung mesin, tapi tidak lebih. Dia membungkuk dan memegang bunga aster putih kecil yang tumbuh di 51 halaman. Dia mengambilnya di antara ibu jari dan jari telunjuk dan perlahan menariknya ke atas dan ke samping sampai batangnya patah. Dari saat dia mulai menarik ke saat batangnya patah, dia mendengar - dia dengan jelas mendengar di earphone - tangisan bernada rendah yang samar, anehnya mati. Dia mengambil bunga aster lain dan melakukannya lagi. Sekali lagi dia mendengar tangisan, tetapi dia tidak yakin sekarang bahwa itu menunjukkan rasa sakit. Tidak, itu tidak menyakitkan, itu mengejutkan. Atau apakah itu? Itu tidak benar-benar mengekspresikan perasaan atau emosi apa pun yang diketahui manusia. Itu hanya seruan, seruan netral, berbatu, satu nada tanpa emosi, tidak mengungkapkan apa pun. Itu sama dengan mawar. Dia salah dalam menyebutnya tangisan kesakitan. Seekor bunga mungkin tidak merasakan sakit. 52 Rasanya sesuatu yang lain yang tidak kita ketahui. Dia berdiri dan melepas earphone. Hari sudah mulai gelap dan dia bisa melihat tusukan cahaya bersinar di jendela-jendela rumah di sekelilingnya. Dengan hati-hati dia mengambil kotak hitam dari meja, membawanya ke dalam gudang dan meletakkannya di meja kerja. Kemudian dia keluar, mengunci pintu di belakangnya dan berjalan ke rumah. Keesokan paginya Klausner bangun segera setelah hari terang. Dia berpakaian dan langsung pergi ke gudang. Dia mengambil mesin dan membawanya keluar, menggenggamnya ke dadanya dengan kedua tangan, berjalan dengan goyah di bawah beratnya. Dia melewati rumah, keluar melalui gerbang depan, dan menyeberang jalan menuju taman. Di sana dia berhenti dan melihat sekelilingnya, kemudian dia melanjutkan sampai dia tiba di pohon besar, pohon beech, dan dia 53 meletakkan mesin itu di tanah dekat dengan batang pohon. Dengan cepat dia kembali ke rumah dan mengambil kapak dari gudang batu bara dan membawanya di seberang jalan ke taman. Dia meletakkan kapak di tanah di samping pohon. Kemudian dia melihat sekelilingnya lagi, mengintip dengan gugup melalui kacamata tebal ke segala arah. Tidak ada orang di sana. Saat itu pukul setengah enam pagi. Dia meletakkan earphone di kepalanya dan menyalakan mesin. Dia mendengarkan bunyi dengung samar yang familiar, kemudian dia 54 mengambil kapak, mengambil kuda-kuda dengan kedua kakinya terpisah lebar dan mengayunkan kapak sekuat yang dia bisa di pangkal batang pohon. Kapak tersebut memotong jauh ke dalam kayu dan menempel di sana, dan pada saat tumbukan ia mendengar suara paling luar biasa di earphone. Itu adalah suara baru, tidak seperti yang pernah ia dengar sebelumnya. Suara yang keras, suara yang sangat besar, suara menggeram, bernada rendah, menjerit, tidak cepat dan singkat seperti suara mawar, tetapi ditarik keluar seperti isak tangis untuk satu menit penuh, paling keras pada saat kapak menghantam, secara bertahap memudar semakin samar sampai hilang. Klausner menatap ngeri ke tempat pisau kapak telah tenggelam ke dalam kayu pohon, kemudian dengan lembut dia mengambil pegangan kapak, mencabutnya dari pohon dan melemparkan 55 benda itu ke tanah. Dengan jari-jarinya ia menyentuh luka yang dibuat kapak di kayu, menyentuh tepi luka, dan ia terus berkata, "Pohon ... oh, pohon ... aku minta maaf ... sungguh maaf ... tapi itu akan sembuh ... itu akan sembuh ...” Untuk sesaat dia berdiri di sana dengan tangan di atas batang pohon besar, kemudian tibatiba dia berbalik dan bergegas keluar dari taman, di seberang jalan, melalui gerbang depan dan kembali ke rumahnya. Dia pergi ke telepon, memutar nomor telepon dan menunggu. Dia memegang gagang telepon dengan erat di tangan kirinya dan mengetuk meja dengan tidak sabar dengan tangan kanannya. Dia mendengar telepon berdengung di ujung sana, dan kemudian klik penerima yang terangkat dan suara pria, suara mengantuk, berkata: "Halo. Iya,” 56 "Dokter Scott?" katanya. "Iya. Dengan saya disini. " jawab Dokter. "Dokter Scott. kau harus datang sekarang - cepat, tolong. " suara Klausner terdengar histeris. "Siapa ini?" Dokter memastikan. "Klausner di sini, dan kamu ingat apa yang kukatakan tadi malam tentang pengalamanku dengan suara, dan bagaimana aku berharap aku bisa—" Klausner mencoba mengingatkan. "Ya, ya, tentu saja, tapi ada apa? Apakah kamu sakit?" tanya Dokter. "Tidak, aku tidak sakit, tapi -" jawab Klausner. "Sekarang jam setengah enam pagi," kata Dokter, "dan kamu memanggilku tetapi kamu tidak sakit,” Dokter terdengar sedikit marah. "Silakan datang. Cepat datang. Aku ingin seseorang mendengarnya. Itu membuatku gila! Aku tidak percaya ... " kata Klausner. Dokter mendengar nada panik dan nyaris histeris dalam suara pria itu. “Kamu benar-benar ingin aku keluar 57 dari tempat tidur dan datang sekarang?” Dokter berkata perlahan. "Ya sekarang. Tolong, segera. " jawab Klausner. "Baiklah, kalau begitu - aku akan datang,” Klausner duduk di samping telepon dan menunggu. Dia mencoba mengingat seperti apa suara pekikan pohon itu, tetapi dia tidak bisa. Dia hanya bisa mengingat bahwa itu sangat besar dan menakutkan, membuatnya merasa mual karena ketakutan. Dia mencoba membayangkan suara macam apa yang akan dibuat manusia jika dia harus berdiri berlabuh di tanah sementara seseorang dengan sengaja mengayunkan benda tajam kecil di kakinya sehingga bilahnya memotong dalam dan menyelipkan dirinya dalam potongan itu. Jenis kebisingan yang sama mungkin? Tidak. Cukup berbeda. Suara pohon itu lebih buruk daripada suara manusia yang dikenal karena kualitas yang 58 menakutkan, tanpa nada, tanpa tenggorokan. Dia mulai bertanya-tanya tentang makhluk hidup lainnya, dan dia segera memikirkan ladang gandum yang berdiri tegak dan kuning dan hidup, dengan mesin pemotong rumput melewatinya, memotong batang, lima ratus batang per detik, setiap detik. Ya Tuhan, seperti apa suara itu? Lima ratus tanaman gandum menjerit-jerit bersama dan setiap detik lima ratus lainnya ditebang dan menjerit dan - tidak, pikirnya, ia tidak ingin pergi ke ladang gandum dengan mesin miliknya. Ia mungkin tidak akan pernah makan roti setelah itu. Tetapi bagaimana dengan kentang dan kol, wortel, dan bawang? Dan bagaimana dengan apel? Ah tidak. Apel baik-baik saja. Mereka jatuh secara alami ketika mereka matang. Apel baik-baik saja jika kita membiarkannya jatuh alih-alih merobeknya dari cabang pohon. Tapi bukan 59 sayuran. Bukan kentang misalnya. Kentang pasti akan menjerit; begitu pula wortel, bawang, dan kol… Dia mendengar bunyi klik pada gerendel gerbang depan, dan melihat Dokter jangkung turun dari tambalan, tas hitam kecil di tangannya. "Yah," kata Dokter. "Nah, apa masalahnya?" "Ikut denganku, Dokter, aku ingin kau mendengarnya. Aku memanggilmu karena hanya kaulah yang saya beri tahu. Letaknya di taman. Maukah kau datang sekarang? " Dokter menatapnya. Dia tampak lebih tenang sekarang. Tidak ada tanda-tanda kegilaan atau histeria, dia hanya terlihat gelisah dan bersemangat. Mereka menyeberang jalan ke taman dan Klausner memimpin jalan ke pohon beech besar, yang dibawahnya berdiri mesinnya kemarin - dan kapak. 60 "Mengapa Anda membawanya ke sini?" Dokter bertanya. “Aku ingin sebatang pohon. Tidak ada pohon besar di taman.” "Dan mengapa kapak?" "Kau akan lihat sebentar lagi. Tapi sekarang tolong pakai earphone ini dan dengarkan. Dengarkan baik-baik dan katakan padaku sesudahnya tepat apa yang kau dengar. Aku ingin memastikan..." Dokter tersenyum dan mengambil earphone dan meletakkannya di telinganya. Klausner membungkuk dan menekan sakelar pada panel mesin, kemudian dia mengambil kapak dan mengambil kuda-kuda dengan kedua kakinya terpisah, siap untuk diayunkan. Sejenak dia berhenti. "Bisakah kau mendengar sesuatu?" katanya kepada Dokter. "Bisakah aku apa?" "Bisakah kau mendengar sesuatu?" "Hanya suara dengungan,” 61 Klausner berdiri di sana dengan kapak di tangannya mencoba untuk membuat dirinya berayun, tetapi memikirkan suara yang akan membuat pohon itu membuatnya berhenti. "Apa yang kau tunggu?" Dokter bertanya. "Tidak ada," jawab Klausner. Ia mengangkat kapak dan mengayunkannya ke pohon, dan saat ia mengayunkannya, ia merasakan sedikit pergeseran bumi di bawah kakinya seolah-olah akar-akar pohon itu bergerak di bawah tanah. Tetapi sudah terlambat untuk memeriksanya, dan bilah kapak menabrak pohon dan menyelipkan jauh ke dalam kayu. Pada saat itu, di atas kepala, terdengar suara serpihan kayu pecah dan suara desiran daun menyapu daun-daun lainnya. Mereka berdua mendongak dan Dokter berseru, “Awas! Lari, Klausner! Cepat lari!” 62 Dokter telah mencabut earphone-nya dan melarikan diri dengan cepat, tetapi Klausner berdiri terpesona, menatap cabang besar yang membungkuk perlahan ke bawah, patah dan jatuh dengan cepat. Untungnya Klausner melompat ke samping tepat pada waktunya. Batang itu jatuh diatas mesin dan menghancurkannya menjadi beberapa bagian. "Astaga!" Teriak Dokter ketika dia berlari kembali. “Itu hampir saja! Saya pikir itu benarbenar akan mengenai Anda!” Klausner menatap pohon itu. Kepalanya yang besar condong ke satu sisi dan di atas wajahnya yang putih mulus ada ekspresi tegang dan ngeri. "Apakah kau mendengarnya?" katanya, menoleh ke Dokter. Suaranya nyaris tak terdengar. Dokter masih kehabisan napas karena berlari dan kegembiraan. "Dengar apa?" “Di dalam 63 earphone. Apakah kau mendengar sesuatu ketika kapak itu mengenai pohon?” Dokter mulai menggosok bagian belakang lehernya. "Yah," katanya, "sebenarnya…” mengerutkan kening dia dan berhenti menggigit dan bibir bawahnya. “Tidak, saya tidak yakin. Saya langsung melepaskannya saat cabang besar itu tumbang,” "Ya, ya, tapi apa yang kau dengar?" "Aku tidak tahu," kata Dokter. "Saya tidak tahu apa yang saya dengar. Mungkin suara cabang itu pecah,” Ia berbicara dengan cepat, agak kesal. "Seperti apa suaranya?" Klausner sedikit mencondongkan tubuh ke depan, menatap tajam ke arah Dokter. "Seperti apa suara itu?" "Oh, sial!" Dokter berkata, "Aku benar-benar tidak tahu. Ayo kita pulang saja. " "Dokter Scott, seperti apa suaranya?" 64 "Demi Tuhan, bagaimana aku bisa tahu, saat ada cabang besar yang jatuh kearahku dan harus berlari menyelamatkan hidupku?" Dokter itu jelas tampak mengatakan yang sebenarnya. Klausner berdiri diam, menatap sang Dokter dan selama setengah menit dia tidak berbicara. Dokter menggerakkan kakinya, mengangkat bahu, dan setengah berbalik untuk pergi. "Yah," katanya, "kita sebaiknya kembali,” "Sekarang," kata pria kecil itu, dan sekarang wajahnya yang putih mulus tiba-tiba dipenuhi warna. “Jahit ini,” Dia menunjuk ke luka terakhir yang dibuat kapak di cabang pohon yang patah. "Kau jahit ini dengan cepat. Satukan batang yang patah tadi kembali ke asalnya,” kata Klausner. "Jangan bercanda,” jawab Dokter. “Lakukan apa yang aku katakan. Jahit itu,” Klausner mencengkeram pegangan kapak dan dia berbicara 65 dengan lembut, dengan nada ingin tahu, hampir mengancam. "Jangan konyol, aku tidak bisa menjahit kayu. Ayolah. Ayo kembali, " kata Dokter. "Jadi kau tidak bisa menjahit kayu?" tanya Klausner. "Tidak, tentu saja tidak,” jawab Dokter. "Apakah kamu punya yodium di tasmu?" Klausner kembali bertanya. "Bagaimana kalau aku punya?" Dokter memasang wajah ragu-ragu. "Kalau begitu basahi luka itu dengan yodium. Itu akan menyengat, tetapi itu akan membantu pohon itu tumbuh,” kata Klausner. “Ayolah, jangan konyol. Ayo kembali ke rumah dan kemudian..." kata Dokter, dan sekali lagi dia berbalik seolah pergi. "Basahi-cabang-yang terpotong-dengan-yodium,” perintah Klausner. Dokter itu ragu-ragu. Dia melihat tangan Klausner menegang pada pegangan kapak. Dia memutuskan bahwa satu-satunya alternatif adalah 66 melarikan diri dengan cepat, dan dia tentu tidak akan melakukan itu. "Baiklah," katanya. "Aku akan mengolesinya dengan yodium,” Dia mengambil tas hitamnya yang tergeletak di rumput sekitar sepuluh meter jauhnya, membukanya dan mengeluarkan sebotol yodium dan wol kapas. Dia naik ke batang pohon, membuka botol, menaruh beberapa yodium ke wol kapas, membungkuk dan mulai mengoleskannya ke dalam potongan. Dia terus mengawasi Klausner yang berdiri tak bergerak dengan kapak di tangannya, mengawasinya. "Pastikan kamu melakukannya dengan benar,” kata Klausner. "Ya," jawab Dokter. diperintahkan. Dokter "Itu melakukan dia," katanya. apa yang "Selesai,” Dokter meletakkan kapasnya yang berisi yodium. Dia menegakkan tubuh 67 dan mengamati pekerjaannya dengan sangat serius. "Itu seharusnya akan bekerja dengan baik,” Klausner mendekat dan dengan serius memeriksa kedua luka itu. "Ya," katanya, menganggukkan kepalanya yang besar perlahanlahan ke atas dan ke bawah. "Ya, itu akan baik-baik saja,” Dia melangkah mundur. "Kau akan datang dan melihat pohon ini lagi besok?" tanya Klausner. "Oh, ya, Tentu saja,” Jawab Dokter. "Dan beri yodium lagi?" Klausner kembali bertanya. "Jika perlu, ya,” Kata Dokter. "Terima kasih, Dokter," kata Klausner, dan dia menganggukkan kepalanya lagi. Ia menjatuhkan kapak dan tiba-tiba dia tersenyum, senyum liar, bersemangat, dan cepatcepat Dokter mendekatinya dan dengan lembut dia menggandeng lengannya. dan dia berkata, "Ayo, kita harus pergi sekarang," Mereka berjalan pergi, mereka berdua, berjalan diam-diam, agak buru68 buru melintasi taman, melewati jalan, kembali ke rumah. 69 Besarnya Cintaku Pada Lingkungan Izzata Sabbahana Falikulisbah / 16 / IX.5 Namaku Valerie Thomas. Aku lahir di kota kecil di Singapura. Tahun ini, ayahku sedang dipindahtugaskan di Indonesia sebagai perwakilan kantornya. Aku senang sekali, karena Indonesia adalah negara yang terkenal akan pulaunya serta lautnya yang indah. Mungkin di Indonesia, keluargaku akan tinggal lebih lama. Di sana, aku akan tinggal di salah satu kota, Kota Malang namanya. Nama itu agak asing bagiku, karena yang ku tahu hanya Jakarta, Bali, dan Papua. Aku pun segera menjelajah internet 70 untuk mencari berbagai informasi tentang Malang. Aku kaget sekali karena Malang adalah salah satu kota di Jawa Timur yang terkenal akan pendidikannya dan wisatanya. Aku jadi semakin tidak sabar untuk pergi ke sana. Kata ayah, aku akan disekolahkan di SMP Bina Taruna. Sekolah itu sama seperti Junior High School di kotaku. Ayah bilang, sekolah ini adalah sekolah terbaik di Malang dengan murid-murid terpintar dan guru-guru yang super disiplin. Sebenarnya, aku agak berat meninggalkan sekolahku karena banyak teman yang membujukku agar tidak pergi. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi keputusan ayah. Akhirnya hari ini pun tiba. Hari dimana aku menjalani kehidupan baru di kota baru dan sekolah baru. Aku mengelilingi semua sudut rumahku untuk mengucapkan perpisahan. Setelah itu, kami pun 71 segera berangkat ke Bandara Internasional Changi karena pesawat kami akan berangkat 1 jam lagi. Hari ini sangat cerah entah kenapa. Seakan langit sangat mendukung kepergianku ke Indonesia. Semilir angin menembus tubuhku. Helai-helai rambutku menari-nari terbawa angin, menikmati suasana yang membuatku terhipnotis. Kuhirup lagi udara segar dengan maksimal dan mengembuskannya. Tiba-tiba seseorang mengejutkanku. "Val, ayo pesawat kita akan berangkat, jangan melamun saja," kata mama. "Iya ma,” Aku pun segera mengikuti mereka untuk masuk ke dalam pesawat menuju Indonesia. Kulihat keluar jendela, burung-burung terbang kesana kemari seperti mengikuti pesawat kami. Mendung pun malu menampakkan awannya, karena kalah akan 72 sinar mentari yang begitu cerah. Perjalanan kami akan ditempuh kira-kira 2 jam lebih lamanya. Mataku mulai mengantuk, mungkin karena mempersiapkan koper kemarin. Aku pun tertidur lelap. "Val, ayo bangun kita sudah sampai," Suara parau ayah membangunkanku. "Kita sudah sampai yah?" Kataku merasa perjalanan ini sangat singkat. "Sudah, ayo," kata ayah lagi. Sesampai disana, ayah langsung memanggil taksi untuk mengantar kami ke rumah yang sudah dipersiapkan. Aku melihat daerah sekitar sini masih tampak begitu asri, bahkan jarang terlihat gedung-gedung pencakar langit. Memang, bandaranya sedikit jauh dari kota. Setelah 30 menit perjalanan, kami sampai di suatu daerah bernama Karaja. Disinilah tempat tinggal baruku. Aku pun segera membantu ayah 73 mengeluarkan koper dan barang dari bagasi mobil, dan meletakkanya di ruang depan rumah. Mama membuatkan makanan untuk aku dan ayah sebagai pengganjal rasa lapar. "Valerie, besok kamu sudah bisa berangkat ke sekolah barumu, ayah akan mengantarmu," kata ayah. "Baik ayah," kataku singkat. Hari esok pun tiba. Pagi-pagi sekali mama sudah bangun untuk menyiapkan sarapan. Disini berbeda sekali, masuk sekolah harus kurang dari jam setengah tujuh. Pagi sekali, bahkan aku tidak sempat menonton acara tv kesukaanku. Sesampai di sekolah aku sangat kagum karena ini hari diadakannya Green School Festival di sekolah baruku. Semua murid berkumpul di lapangan dan menyambut juri dengan yel-yel yang sudah dipersiapkan. Mereka semua sangat kompak dan 74 bersemangat. Betapa bangganya aku menjadi murid di sekolah ini. Namun, disaat jam istirahat tidak sedikit siswa yang membuang sampah sembarangan. Betapa terkejutnya aku. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Di Singapura tentunya sudah didenda orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Aku hanya bisa diam karena belum mengenal satu pun siswa disini. Mungkin bagi mereka aku terlihat asing karena rambutku tidak hitam, melainkan coklat tua. "Anak-anak kita kedatangan murid baru, perkenalkan dirimu Valerie," Kata salah satu guru. "Hai semua, namaku Valerie Thomas, kalian bisa memanggilku Valerie. Aku pindahan dari Singapura karena ayahku ada tugas disini. Salam kenal," Kataku. "Oke Valerie, silahkan duduk di sebelah Safa," kata guru itu lagi 75 Aku tidak tahu yang mana Safa, aku hanya melihat bangku kosong di sebelah anak perempuan berjilbab. Segera setelah kutahu itu Safa, aku pun duduk. "Hai, kamu Safa ya? Salam kenal," kataku ramah. "Iya, salam kenal juga," katanya. Kringg... Bel pulang sekolah pun berbunyi. Aku melihat Safa akan meninggalkan tempat duduknya. "Eh Safa, kamu mau pergi kemana?" tanyaku heran. "Aku mau ekskul pecinta alam, apakah kamu mau ikut bersamaku?" Pecinta alam? namanya saja sudah membuatku tertarik. "Boleh deh," kataku setuju. Sesampai di tempat ekskul itu, Safa berbicara kepada seseorang. Mungkin itu adalah guru yang membina. Safa mendaftarkanku untuk ikut ekskul ini. "Selamat sore anak-anak," kata pembina. "Soree," kata mereka bersamaan. "Tugas kalian kali ini adalah mewawancarai siswa populer di SMP 76 Bina Taruna. Tanyakan pendapat mereka mengenai lingkungan sekitar. Silahkan kalian kerjakan secara berpasangan," kata pembina, "kalian akan mengambil undian yang berisi nama siswa populer yang akan kalian wawancara," Aku pun segera berpasangan dengan Safa, karena hanya dia yang aku kenal. Aku pun langsung maju ke depan mengambil undian. Semoga siswa yang kuwawancarai ramah dan mau membantu dengan senang hati. Setelah aku mengambil undian, langsung kubuka kertas tersebut, dan muncullah nama Arka. "Astaga, kita harus mewawancarai Arka? Ini tidak mungkin bisa dilakukan. Arka adalah siswa es. Dia itu kalau diajak berbicara seperti ngomong sama dinding," kata Safa panik. Bagaimana kalau kita coba "Sungguh? dulu?" tanyaku meyakinkan. "Baiklah," jawab Safa pasrah. 77 Esoknya, aku dan Safa membuat janji dengan Arka untuk bertemu di kantin sepulang sekolah. "Ka, kita ingin wawancara tentang lingkungan sekitar, pendapat kamu bagaimana?" tanyaku. "Jujur, ini pertama kalinya aku mau bertemu dengan orang asing. Aku sangat tertarik membahas tentang lingkungan, entah kenapa. Kalau kalian ingin tahu pendapatku, bagaimana jika ujung minggu nanti kalian aku ajak ke perbukitan," ajak Arka. "Eh, mau ngapain memangnya?" tanya Safa heran. "Udah ikut saja," lanjut Arka. Akhirnya hari yang dinantikan telah tiba. Aku menghirup segarnya udara pagi hari yang mungkin jarang aku rasakan dulu. Berjalan menyusuri trotoar sambil berbolak-balik menunggu Safa. Selang beberapa menit kemudian, Safa akhirnya datang. 78 Aku dan Safa berangkat bersama menuju Bukit Plaras, bukit yang cukup terkenal disini. Tempatnya tidak begitu jauh, hanya berjarak 5 km dari tempat tinggalku. Kami pun sampai dan melihat Arka sudah ada disana. Aku sungguh merasa bersalah kepadanya, karena kami terlambat selama hampir setengah jam. Tapi Arka dengan gaya khasnya langsung meninggalkan kami tanpa membalas permintaan maafku. "Kenapa kalian malah melamun? Ayo!" kata Arka. Kami langsung mengikuti Arka menyusuri Bukit tersebut. Betapa terkejutnya aku melihat kondisi bukit ini. Tanahnya sangat tandus, pohon yang tumbuh hanya bisa terhitung jari. Bahkan bukit ini terlihat seperti padang pasir yang menggunung. Kulihat Arka mengeluarkan beberapa pohon kecil dari plastik yang digenggamnya dari tadi. Ini sangat membingungkan, untuk apa dia 79 membawa itu dan apa hubungannya dengan pendapat yang aku minta kemarin lusa? "Kalian tunggu apa lagi? Cepat ambil pohon ini dan tanam menyebar!" sahut Arka. Aku dan Safa segera mengikuti perintah Arka tanpa basa-basi. Aku salut kepada sifat Arka yang sangat peduli tentang lingkungan. Ternyata Arka bukan anak yang dipikir orang-orang. Selama ini kukira Arka anak yang sombong karena tidak pernah keluar dari habitat kelasnya. Tapi ternyata Arka anak yang perhatian dan berjiwa besar. Sejak saat itu, aku jadi semakin peduli dengan lingkungan sekitarku. Bukan hanya tentang sampah saja, melainkan dengan menanam banyak tanaman, serta mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Aku berharap banyak orang yang selalu perhatian kepada lingkungan, dimulai dari diriku sendiri. Ku selalu berdoa untukmu, bumiku. 80 Wira Sang Penjaga Hutan Jasmine Firdhousy Muslich / 17 / IX.5 Pada suatu sore yang dingin karena hujan begitu derasnya, ada seorang anak yang berlari menyusuri jalan setapak dengan paniknya. Anak itu panik karena segerombolan orang dewasa mengejarnya sambil berteriak, “Hei, anak sialan berhentilah! Kau takkan lepas dari kami,” “Berhenti kau! Dasar penghancur kecil!” maki sebagian mereka. Namun, anak tersebut tidak menghiraukan makian yang ditujukan padanya. Ia terus berlari hingga sampai di sebuah gubuk kecil, di pinggir hutan yang gundul, bekas dilalap api. 81 Segerombolan orang dewasa yang mengejarnya tadi sudah tak nampak lagi, Mereka kehilangan jejak. Dengan terengah-engah, anak itu perlahan menyandarkan punggungnya pada pintu gubuk, menatap langit yang basah karena curah hujan yang mulai reda. Tubuh kurusnya yang basah karena keringat dan air hujan tampak sangat rapuh. Anak itu, Wira teringat peristiwa tadi yang menyebabkan dirinya diburu oleh gerombolan orang dewasa tersebut. “Nak, kamu sedang apa?” Tanya sebuah suara asing dari belakang Wira. Ah gawat, ia memergokiku menyulut api, batin Wira. “Nak, kau tidak apa-apa?” Pria itu bertanya lagi saat Wira melamun. Tanpa banyak bicara, Wira langsung berlari pergi meninggalkan pria tersebut. Pria itu terkejut lalu menyadari bahwa api merambati rumah majikannya. “Cepat kejar anak itu, dia 82 pelakunya!” perintah pria itu pada bawahannya. Rumah megah itu mendadak ramai, banyak orang membantu memadamkan api. Namun, ada juga yang malah menyalahkan pemilik rumah tersebut, karma katanya, karena pemilik rumah itu terkenal serakah. “Nak Wira, mari masuk,” ucap sebuah suara parau dari dalam gubuk yang membuat Wira tersadar dari lamunannya. Wira segera bangkit dan masuk dalam gubuk kayu reyot tersebut. “Nak, kamu jangan terlalu nekat,” Kata nenek. “Jadilah orang baik, bahkan setelah Nenek tiada nanti, jangan menaruh dendam pada mereka,” Lanjutnya dengan suara parau. “Tidak Nek! mereka sudah terlalu banyak menyakiti orang lain,” bantah Wira. “Mereka juga ‘kan yang membuat Nenek seperti ini?” Lanjutnya dengan suara menahan tangis. Nenek Wira memiliki penyakit asma sejak kecil. 83 Pembakaran hutan yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab semakin memperparah keadaannya. Untuk sejenak pikiran Wira melayang, teringat peristiwa pembakaran tersebut. “Whurrr,” suara api menyambut Wira ketika ia baru saja melangkah keluar. Terkejut bukan kepalang ia saat melihat hutan kesayangannya, hutan yang menemaninya sejak kecil hingga ia berumur 15 tahun. Wira heran, kenapa tiada memadamkannya, orang semua yang orang berusaha tidak peduli. Dengan bercucur air mata, Wira berlari ke tak tentu arah sambil berteriak, “Tolooong, kebakaran hutan,” Karena dirasa tak seorang pun peduli, ia pergi berniat memadamkan api sendiri. Namun terlambat, kesayangan api sudah Wira. melalap Disamping habis itu, ia hutan juga menemukan Neneknya terbatuk-batuk akibat asap 84 dari kebakaran. Neneknya terlihat pucat, hingga tak lama kemudian pingsan. Wira jatuh terduduk, wajahnya memerah karena luapan amarah, ia berteriak, “Takkan kumaafkan orang yang biadab seperti ini!” Wira menghela napas. Mungkin memang sudah nasibnya begini, maafkan aku Nek, maafkan aku tak dapat menjagamu dan hutan nyawa kita. Batin Wira. Dalam hatinya bergejolak berbagai rasa sedih, amarah, serta keputusasaan. Memori mengenai masa-masa kecilnya yang dilalui di hutan terputar kembali dalam ingatannya. “Sungguh bodoh mereka, Nek,” ujarnya tiba-tiba. “Mereka hanya peduli akan dirinya sendiri, mereka hidup karena alam, dan mereka pula yang menghancurkannya” Lanjutnya kemudian dengan suara yang sarat keputusasaan. 85 Saat Wira sedang asyik bermonolog, suara bising di luar gubuk mengalihkan perhatian Wira dan Neneknya. Wira keluar untuk melihat keadaan. Tak terasa hari sudah pagi. Setelah sejenak menyesuaikan pandangan, betapa senangnya ia melihat para relawan dari berbagai penjuru datang untuk merestorasi dan mereboisasi hutan pasca kebakaran hutan. Mereka berbondong-bondong datang dan memperbaiki bekerja demi lingkungan. makhluk “Belum bumi, saatnya menyerah, aku masih bisa memperbaiki alam ini,” kata Wira bersemangat sambil berlari untuk ikut membantu para relawan di lapangan. Nenek yang mengamati Wira dari jendela tersenyum kecil sembari gubuk bergumam, cucuku, kau sudah besar sekarang Nak,” 86 hanya “Wira, Bukan Hanya Lingkunganmu Karenina Ananta Adi / 18 / IX.5 Pada suatu hari di pagi yang cerah di kamarku aku sedang melihat keluar jendela dan menangkap sesuatu yang berkelap-kelip. Itu seperti cermin sesuai dengan penglihatanku, aku pun memutuskan untuk pergi melihat apakah yang ada di luar jendela. Itu terlihat di bawah pohon namun ketika aku berjalan ke sana aku tidak dapat menemukan apapun. Aku pun bingung dan kembalilah aku ke rumah. Aku bermain bersama kucingku sebelum ada seseorang yang mengetuk 87 pintu rumahku. Pada saat itu aku sedang sendirian dirumah, maka akulah yang harus membuka pintunya. Aku takut untuk melihat Siapakah yang ada di luar. Aku memutuskan untuk mengintip dari jendela Siapakah yang mengetuk pintu. Terlihat seorang mengenakan jubah berwarna merah dengan jubah yang panjang menjuntai. dibalik tudung nya terlihat sosok yang sangat cantik, tinggi semampai seperti orang barat aku takut karena aku tidak pernah melihatnya di sekitar rumahku. Namun aku mencoba memberanikan diri untuk membuka Pintunya dia mengatakan “Hai nak Apakah kamu reli” aku pun menjawab “iya saya reli. Ada apa ya? apa anda mencari orang tua atau kakak saya ya?”. Dia menjawab lagi “kau telah terpilih nak, ikut lah saya temui saya di depan 88 Taman rumahmu jam 8 malam nanti. Percayalah Saya tidak akan menyakitimu saya akan menunjukkan sesuatu yang baru,” Aku bingung akan perkataannya namun sebelum selesai saya menanyakan maksudnya ia sudah kembali berbalik dan hilang di pertigaan rumahku. Aku segera menutup dan mengunci rumahku pada saat itu aku merasa takut, namun tidak lagi saat kedua orang tuaku sudah sampai ke rumah, aku tidak menceritakan apa yang terjadi barusan dan akupun dengan cepat melupakannya. Tibalah pada jam 7.00 kakiku serasa ingin berjalan ke tempat yang telah disuruh oleh wanita misterius tadi namun Aku berpikir untuk tidak ke sana, aku takut terjadi apa-apa, namun aku terlalu penasaran untuk tidak melihat apa yang akan terjadi apabila aku mengikuti perkataan wanita itu 89 tadi. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan dan melihat saja Apakah wanita itu ada di sana. Aku melihat Ternyata wanita itu memang ada di sana ia sadar bahwa aku ada di sana akhirnya aku mendekatinya dengan ragu, ia tiba tiba memegang tanganku. Secara tidak sadar aku tidak tahu aku dimana Aku serasa ada Dunia Lain namun ini indah sekali seperti ada di cerita dongeng ada peri peri, binatang yang kecil dan lucu. Aku ingin menanyakan tempat apa ini namun tidak ada seorangpun di sebelahku. Kemana perginya wanita itu? Tanyaku dalam hati. Aku berjalan menyusuri sungai yang ada di sebelahku. Aku berjalan dan menemukan asap. Mungkin ada pemukiman atau rumah di sana akhirnya aku menuju ke sana untuk menanyakan dimana aku sebenarnya. 90 Ia mengenakan kebaya berwarna merah, cantik sekali mirip dengan wanita yang mengetuk pintuku tadi pagi. Sejenak aku terpana akan dirinya. Apa sebaiknya aku menanyakan. Aku sedang dimana ya, pikirku akhirnya aku pun menanyakan kepada si dia. Permisi apakah anda bisa membantu saya. Namun dia melihatku dengan tatapan yang ragu. Dia sepertinya takut akan sesuatu. Ia segera mengajakku masuk ketika aku mendengar suara peluit. Aku pun bingung aku tidak menanyakan ada apa. Dia mengatakan “Tidak ada waktu, cepat ikuti aku agar kau bisa selamat,” tiba di dalam rumah aku bingung di luar rumah ini terlihat seperti gubuk namun saat masuk aku hanya menemukan sebuah pintu yang tergantung di atas lampu yang sangat indah. Ia dengan mudah loncat dan masuk kedalam pintu itu. Sedangkan 91 aku hanya kebingungan melihat. Bagaimana bisa aku naik ke sana, namun saat aku berjalan di bawahnya ternyata ada sesuatu yang mirip seperti trampolin dan akhirnya aku bisa loncat dan memasuki pintu. Semua disini keren pikirku namun Ia hanya menyuruhku untuk fokus berjalan dengan cepat. Ini seperti lorong dengan hutan di sampingnya. Seperti ada kaca pembatas di antara jalan yang aku tapaki dengan hutan di sebelahnya. Terlihat sebuah gerbang raksasa di di ujung lorong ini. Ternyata Ini adalah sebuah Pemukiman warga yang sangat indah namun aku bingung ini terlihat seperti peta lapangan yang sangat simetris dengan kedua Sisi apabila dilipat maka akan membentuk kotak dengan 1 kastil yang sangat besar di puncak bukit nya. 92 “Kamu sepertinya orang yang telah terpilih itu,” kata si wanita yang barusan aku temui. “Apa maksudmu?” aku pun bingung karenanya. “Ikuti aku, aku akan segera memperkenalkan mu kepada orang yang bisa menjelaskan ini semua kepadamu,” balasnya. Ternyata ia mengajakku ke kastil kecil yang ada di puncak bukit itu, dia yang terpilih kata wanita kepada penjaga kastil tersebut. Aku pun dipersilakan masuk, ketika berjalan karena Kastil itu sangatlah besar mungkin membutuhkan waktu 10 menit untuk mencapai tujuan yang dimaksud oleh si wanita itu. Wanita itu memperkenalkan diri “Namaku Akri, Aku adalah penjaga perbatasan sekaligus tugas tambahan ku adalah menemukan siapa yang telah terpilih. Dan ternyata kamu lah yang terpilih,”. “Terpilih untuk apa?” tanyaku. “Sudahlah ikuti saja aku, kamu akan menemui 93 Paduka raja untuk menjawab semua Pertanyaan mu,” jawabnya. Setelah sampai ke ruangan yang dimaksud oleh Akri aku melihat seorang raja yang sedang duduk di Tahta nya. Wajahnya begitu murung dan tidak terlihat sedikitpun kebahagiaan di wajahnya. Namun setelah melihatku wajahnya berubah 100%. Ia terlihat sangat semangat seperti melihat harapan baru. “Oh, kamu telah datang wahai,” kata si Paduka raja. Aku pun bingung aku harus menjawab apa karena aku tidak mengetahui apakah yang sedang terjadi. “Kamu mungkin sedang bingung,” Kata si Paduka Raja. “Iya benar aku sedang bingung. Di manakah aku? kenapa aku bisa ada di sini? dan apa kata semua orang? apa maksudnya orang yang terpilih aku tidak merasa melakukan apapun tersesat disini?” 94 kenapa aku bisa “Begini wahai, namamu?” tanya si Paduka Raja “aku rally,” kataku. “Sebenarnya aku akan menceritakan semuanya dari awal,” jawab paduka raja. setelah ia mengatakan itu tiba-tiba ruangan Tahta menjadi sangat indah seperti ada hologram yang berputar di semua penjuru ruangan ini. Ini adalah dunia kami. daerah-daerah di dunia terbagi menjadi beberapa distrik. Setiap distrik memiliki tugas masing-masing. Jadi kami bertugas untuk memperbaiki segalanya yang rusak. Mulai dari sistem, alat, lingkungan, maupun semuanya di sini. Kami memiliki sebuah alat untuk mengamati apa yang terjadi di dunia sebelum tahun ini. Namun pada saat pagi tadi pada saat kamu melihat ke jendela dan melihat suatu hal yang berkilauan tadi pagi semua berubah. Menjadi sesuatu yang mengerikan. Kami yakin kamu akan bisa merubahnya. Sadarkah kamu nak Di duniamu 95 sekarang terjadi berbagai kerusakan. di bumi tidak akan dapat bertahan lagi apabila hal tersebut tetap terjadi. Semua memang telah ditakdirkan, namun kami percaya bahwa kami bisa mengubah hal yang buruk menjadi lebih baik. Aku tetap tidak mengerti, “kenapa aku yang terpilih?” tanya ku dengan sedikit rasa cemas. “Kami juga tak tau nak. Ada yang telah mengatur semua in,” jawab paduka raja yang membuatku semakin cemas. “Baiklah aku akan mencoba melakukan apapun untuk menyelamatkan tempat tinggalku karena di sanalah aku menulis semua kenangan hidupku,” “ Apa yang sebenarnya terjadi? bukannya kerusakan memang sudah lama terjadi, namun Kenapa baru sekarang aku menjadi yang terpilih” tambahku. “kita berjalan secara paralel wahai. Kami bisa mengawasi mu namun tidak bangsamu. Kerusakan mu telah menjalar hingga ke 96 dunia kami. Dunia kami lebih maju dan canggih daripada kalian. Namun lingkungan ekosistem dan segalanya yang tentang lingkungan di bangsa kami lebih terjaga. masih terdapat banyak danau-danau dan hutan purba masih sering ditemukan. Banyak juga terdapat berbagai flora dan fauna yang terjaga kelestariannya hingga mereka bisa berevolusi menjadi makhluk yang lebih indah dari yang biasa kamu lihat. Namun keseimbangan ekosistem kami mulai terganggu sejak duniamu melakukan berbagai kerusakan yang sudah tidak bisa terbendung lagi kebakaran hutan, banjir bandang, dan berbagai kerusakan yang lainnya. Kami membutuhkanmu untuk setidaknya sadar akan hal tersebut. Ada lagi yang paling membuat cemas adalah bahan buangan limbah duniamu telah mengalir hingga ke bangsa kami. kami tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi namun itu sudah 97 terjadi. Limbah tersebut menginfeksi semua makhluk yang ada di di dunia kami sehingga makhluk tersebut ber evolusi menjadi lebih ganas dan menyeramkan, panen warga dan pemukiman menjadi korban keganasan mereka. Apakah kamu bisa membantu, mulai dari membunuh si alpha nya.?” Jelas si raja “Si alpha? Seperti apa bentuknya?” tanya ku. Muncullah di hologram itu makhluk seperti banteng namun ia memiliki sesuatu seperti tanduk di bagian tulang belakangnya, mengerikan melihatnya apalagi ketika ia marah. “Apakah kamu memiliki suatu makhluk itu?” keahlian tanya raja untuk mengalahkan dengan khawatir. Disekolahku memang aku cukup lihai menggunakan panah. Namun aku tetap khawatir apakah bisa mengalahkan makhluk sebesar itu, tingginya bahkan hampir 3 kaki. Akhirnya aku memutuskan 98 untuk bilang bahwa aku bisa menggunakan panah “Aku cukup bisa menggunakan panah,” kataku. Baiklah tepat sekali, kami memiliki semua pandai besi terbaik di tanah ini. Tentunya aku membutuhkan persiapan untuk melawan makhluk yang bahkan belum aku kenal sedikitpun. Aku tidak hanya belajar keahlian memanah ku namun juga mempelajari sifat dan bagaimana kelakuan musuh itu si Alfa banteng ini. “Apa kelemahan yang dimiliki oleh banteng ini?” namun tidak ada yang bisa menjawab itu karena tidak seorangpun dapat selamat dari serangan Alfa ini aku pun semakin merasa tidak yakin akan hal tersebut. Pada malam hari aku memimpikan Sesuatu yang membuatku tenang. Aku melihat Ibu ku berjalan mendekatiku aku pun juga duduk bersamanya Ia menceritakan bagaimana kebaikan, kesabaran, dan keikhlasan dapat mengalahkan 99 segalanya. Paginya aku mulai berlatih keahlian memanah ku. Aku merasa aku mulai mengalami perubahan seperti yang awalnya aku tidak yakin dengan diriku sendiri aku bisa sedikit yakin akan kemampuanku, aku tidak perlu bergantung pada siapapun. Tibalah di saat di mana aku bersama pasukan yang telah disiapkan untuk menyerang Alfa. Pada hari sebelumnya busur dan panah ku telah jadi kulihat betapa cantiknya panah tersebut. Hitam legam dengan pegangan yang sangat kokoh dan busur panah yang sangat mematikan terlihat sangat indah di terpa mata sinar matahari berkilauan padahal warnanya hitam legam. Perjalanan ke hutan terasa sangat lama karena kita akan menemukan makhluk yang sangat ditakuti oleh seluruh penjuru Negeri paralel ini. Pada saat perjalanan kami mendengar sesuatu. 100 Karena katanya si Alfa memang suka berjalan sendirian tanpa ditemani oleh kawanan nya. Ternyata benar itu adalah si Alfa kami mulai panik dan berteriak namun aku hanya diam mencoba memahami apa yang terjadi. Ternyata ini sedang terjadi, aku mulai berusaha melawannya dengan memanaskan busurku semua pasukan mulai berguguran satu persatu hanya tinggal aku dan Akri yang berdiri bersebelahan saling menyakinkan untuk dapat mengalahkan Alfa. kami takut namun kami memiliki tekad yang lebih besar untuk mengalahkan dan segera menyelesaikan ini semua. Aku memanahkan busurku segala arah untuk mengalahkannya namun dia dengan mudah dan gesit menghindar dari panah ku. Aku mencoba untuk fokus dan menemukan kelemahannya. Terlihat kulit yang lebih tipis dari kulit lainnya 101 yaitu di bagian bawah mulut atau di sekitar leher nya. Aku mencoba untuk fokus dan menembakkan panah aku ke bagian rawan tersebut. Ternyata benar itu merupakan salah satu titik lemahnya aku memberitahu Akri untuk fokus menyerang ke bagian leher Alfa tersebut ternyata benar aku berhasil mengalahkan Alfa banteng itu. Lega akhirnya aku Akri dan pasukannya masih tersisa kembali ke istana dengan wajah yang bahagia semuanya telah selesai. Masalah di dunia paralel ini telah selesai namun aku memikirkan lagi Bagaimana nasib dunia ku yang selama ini masih terjadi berbagai kerusakan. Setelah mengalami berbagai pengalaman tersebut kembali ke rumah dengan jalan yang sama persis yang ditunjukkan Akri. Akri dan seluruh bangsa paralel ini berterima kasih kepadaku dan memberikan aku sebuah hadiah 102 berupa cermin cermin tersebut bukan cermin biasa namun aku dapat melihat berbagai kerusakan yang terjadi di bumi dan ini bertujuan agar aku dapat lebih memperhatikan lingkungan dan semuanya agar tetap seimbang. Manusia tidak salah saat memanfaatkan sumber daya alam namun itu menjadi berbalik ketika pengeksploitasian dilakukan secara berlebihan. Hal itu akan merusak berbagai tatanan ekosistem dan makhluk hidup yang ada di dalam ekosistem tersebut. Tiba-tiba pada saat semua selesai aku terbangun dari tempat tidurku aku menyimpulkan bahwa itu hanyalah mimpi. Namun semua itu berubah ketika aku melihat ada suatu cermin di meja belajar ku aku mencoba menggunakan cermin itu seperti yang diajarkan oleh Paduka Raja kepadaku ternyata benar ini bukan mimpi. 103 Ketika Semua Tidak Peduli Keisha Pramudhita Bernardi / 19 / IX.5 Hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya. Udara sesak, bernapas tidak bisa lancar. Sebagai seekor ikan Nila di sungai ini, Aku selalu ingin tahu mengapa tempat tinggalku seperti ini. Seiring berjalannya hari, semakin banyak nyawa yang terambil di sungai ini. Semakin sedikit cahaya yang masuk ke sungai ini karena eceng gondok dan alga yang tumbuh semakin tak terkendali. Hidup kami semakin susah di sini. 104 Kakek pernah bercerita bahwa sungai tempat tinggal kami saat ini bukanlah sungai yang sama seperti dulu. Kakek bilang sungai ini dulu bukanlah sungai di mana para ikan sesak bernapas. Sungai ini bukanlah sungai yang gelap seperti sekarang. Sungai ini dulu arus airnya lancar. Sungai ini dulu tempat bermain anak-anak sepulang sekolah. Aku pernah bertanya pada Kakek alasan sungai ini menjadi seperti ini. Kakek berkata bahwa daerah sungai ini yang awalnya adalah desa sepi, sekarang telah menjadi kota yang ramai. Aku tidak paham mengapa hal itu bisa memengaruhi keadaan sungai ini. Hal yang paling sering Aku lihat di sungai ini adalah busa-busa berbau wangi. Aku tidak tahu apa itu. Namun semakin banyak busa-busa itu, semakin banyak pula eceng gondok yang tumbuh. Tidak jarang aku melihat ikan-ikan di sungai ini 105 menangis, merintih kesakitan. Aku sendiri merasa hal ini sangat menyiksa. Dan setiap hari manusia yang bertambah rasa sesak itu. Setiap hari selalu ada membuang sesuatu ke sungai ini. Benda-benda itu tidak bisa hilang. Selalu ada di sana tidak terurai. Tidak hanya sekali terjadi kasus seekor ikan terjerat benda-benda itu. Aku sangat ingin merasakan apa yang dulu Kakek rasakan. Aku ingin tinggal di sungai yang dulu. Betapa indahnya apa yang Kakek gambarkan saat bercerita tentang sungai ini dulu. Terkadang Aku berpikir kalau mungkin Kakek melebih-lebihkan cerita itu. Aku tidak bisa membayangkan sungai yang Kakek ceritakan adalah sungai yang sama dengan tempat tinggalku sekarang. Dengan keadaan yang buruk ini, Aku senang ada seorang anak yang selalu datang ke sini setiap 106 pulang sekolah. Dia membersihkan sebagian eceng gondok yang ada si sungai ini. Aku sangat berterima kasih akan hal itu. Anak itu sudah membersihkan eceng gondok sejak sebulan yang lalu. Namun, semakin hari aku mulai merasa bahwa usaha anak itu sia-sia. Hari ini anak itu membersihkan sebagian eceng gondok, besok akan tumbuh lebih banyak lagi dari sebelumnya. Enam minggu sejak anak itu mulai membersihkan sungai mungkin adalah saat yang paling menyakitkan dalam hidupku. Hari itu banyak sekali ikan yang mati. Melihat dengan mata kepalaku sendiri adalah hal yang sangat mengerikan. Aku pun sudah tidak kuat dengan keadaan sungai ini. Hampir tidak ada cahaya masuk ke sungai ini. Eceng gondok hari itu sangatlah banyak. Kami para ikan berebut oksigen dengan eceng gondok yang tiba-tiba muncul di sungai ini. 107 Syukurlah anak itu datang untuk menyingkirkan eceng gondok ini. Anak itu membawa tiga temannya untuk membersihkan sungai. Samar aku melihat mereka bekerja dari balik eceng gondok yang semakin. “Miris sekali keadaan sungai ini,” kata salah satu temannya. “Iya, bahkan hari ini keadaannya bertambah parah,” jawab anak itu. “Aku kasihan melihat ikan yang hidup di sini. Setiap hari mereka harus selalu berebut oksigen dengan eceng gondok ini dan bahkan keracunan limbah-limbah sungai,” lanjut anak itu. Sayangnya, membuahkan hasil usaha anak memuaskan. itu tidak Pertumbuhan eceng gondok di sungai ini semakin menjadi-jadi. Setidaknya berkat anak itu dan teman-temannya kemarin, Aku dan beberapa ikan dapat berjuang memperpanjang hidup kami. Anak itu masih rutin 108 membersihkan sungai. Terkadang beberapa temannya ikut membantu. Seminggu setelahnya, Aku bersyukur bahwa aku masih bertahan hidup. Akhirnya Aku bisa merasakan apa yang Kakek ceritakan. Pagi ini banyak anak sekolahan yang datang ke sungai. Mereka mengenakan seragam olahraga dan mulai membersihkan sungai ini. Aku bingung sekaligus bahagia dengan kejadian ini. Anak yang selalu membersihkan sungai juga ada di sini. Setelah selesai membersihkan sungai, mereka duduk berkumpul. “Ibu sangat berterima kasih pada Rinfan yang sudah menceritakan kondisi sungai ini. Ibu sangat bangga karena Rinfan bersedia membersihkan sungai ini setiap hari,” kata seorang guru. “Terima kasih bu, saya juga senang karena ibu dan teman-teman bersedia untuk ikut membersihkan sungai ini,” jawab anak 109 yang selalu membersihkan sungai. Ternyata Rinfan adalah nama anak yang selama ini membersihkan sungai. “Bu! Saya ingin bertanya,” sahut seorang anak. “Silahkan,” jawab Ibu Guru. “Mengapa sungai ini bisa begini? Mengapa banyak eceng gondok di sungai ini?” lanjut anak tersebut. “Eceng gondok ini bisa tumbuh sangat banyak karena penggunaan deterjen secara berlebihan. Peristiwa pertumbuhan eceng gondok seperti ini bisa disebut dengan Blooming Algae,” jelas Ibu Guru. “Peristiwa ini sangat merugikan ikan di sungai karena seperti yang kalian tahu, ikan di sungai akan berebut oksigen dengan eceng gondok. Selain itu ikan-ikan di sungai bisa keracunan deterjen,” lanjut Ibu Guru. Akhirnya aku tahu penyebab dari pencemaran sungai tempat tinggalku. Busa-busa 110 berbau wangi itu adalah deterjen yang memicu pertumbuhan eceng gondok. “Nah, setelah ini kita akan mengadakan sosialisasi dengan warga sekitar untuk menjaga kelestarian sungai ini,” kata Ibu Guru. ‘Baik bu!” jawab anak-anak serentak. Setelah itu mereka beranjak pergi meninggalkan sungai ini. Jika aku bisa berbicara dengan mereka, ingin sekali aku mengucap terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Sebelum benar-benar pergi, Rinfan menoleh ke arah sungai. Mata kami bertemu. Rinfan tersenyum, Aku bahagia melihatnya. Aku senang bahwa masih ada orang yang peduli dengan sekitarnya. Setelah pembersihan oleh Rinfan dan teman-temannya, sungai ini menjadi tempat tinggal yang sangat nyaman untuk kami. Warga sekitar juga rutin membersihkan sungai ini. 111 Mungkin berkat sosialisasi dari sekolah Rinfan. Aku sangat berterima kasih untuk semua orang yang sudah peduli dengan sungai ini, yang sudah menyelamatkan hidup kami. 112 Saint Helena Malika Syaharani / 20 / IX.5 Clara adalah murid jenius di sekolahnya. Ia memilih menjadi anak yang pendiam di kelasnya. Ia kurang nyaman dengan teman-temannya yang setiap saat mengobrol tentang hal yang tidak penting. Ia menganggap lebih baik membaca buku yang dapat membuka wawasannya daripada membicarakan gosip yang sebentar lagi akan terlupakan. Namun, ia paling suka mengajari temannya yang belum mengerti pelajaran. Karena wajahnya tanpa ekspresi saat membaca, teman- 113 temannya jadi merasa tidak enak jika bertanya padanya. Dari pada dengan temannya, Clara justru lebih nyaman berteman dengan guru, terutama guru mata pelajaran IPA. Meskipun banyak temantemannya yang tidak menyukai guru dan mata pelajaran IPA, dia tetap sangat menyukai pelajaran IPA. Saat dia memiliki waktu luang sedetikpun, Ia langsung membaca pelajaran Biologi. Saat bel berbunyi ia siap belajar biologi dengan mengeluarkan koleksi bukunya di atas meja. Pak guru masuk kelas dan menjelaskan tentang tumbuhan. “Hai, Namaku Kevin dari kelas sebelah” sapa seorang siswa. “Terus?” jawab Clara dengan malas. “Aku suka alam dan suka berorganisasi. Aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Maukah kau” perkataan Kevin disela oleh Clara. “Tidak. Aku 114 tidak berminat” sela Clara “Hei, dengarkan dulu. Rumah kita dekat. Kita adalah tetangga. Aku ingin mengajak kau untuk” perkataan kevin disela oleh Clara lagi. “Aku kan sudah bilang aku tidak mau membuang-buang waktuku demi kegiatan yang hanya mempedulikan kesenangan. Maaf ya,” sela Clara. Setiap hari Sabtu Clara selalu melakukan percobaan untuk mengembangbiakkan tanaman yang langka. Taman rumah Clara lumayan luas. Berkali-kali ia mencoba mengembangbiakkan anggrek di rumahnya dengan cepat. Namun, Ia tak pernah berhasil. Ia beranggapan bahwa ia membutuhkan tempat yang steril. Ia mencari-cari laboratorium di kotanya. Saat ia ingin menuju Laboratorium itu, Orang tuanya yang sedang berada di luar kota melarangnya. Ia baru diizinkan jika ia diantar oleh tetangganya. Masalahnya, ia 115 tidak kenal satupun tetangga yang bisa menolongnya. Karena terpaksa, Ia menanyakan pada orang sekitar di mana rumah Kevin. Saat Clara mau menuju rumah Kevin, Kevin berdiri di hadapan Clara. “Mencariku?” tanya kevin sambil senyum. “Haha, kok kamu tahu?” Jawab Clara sambil salah tingkah. “Ada apa? Kamu mau ke mana?” tanya kevin. “Aku mau ke laboratorium demi percobaanku. Tetapi mamaku baru mengizinkan jika ada tetangga yang menemaniku” jawab Clara. “Jadi? Sekarang?” tanya Kevin. “Wah, beneran? Makasih!” jawab Clara dengan Ceria. Seminggu kemudian, Clara mendapat kabar dari Laboratorium bahwa kemungkinan besar percobaannya berhasil. Ia sangat senang dan menceritakannya pada neneknya. Betapa terkejutnya nenek saat mengetahui cucunya 116 berhasil melestarikan tanaman yang langka. Nenek memberikan sekantung kecil berisi biji. “Apa ini nek?” tanya Clara. “Itu biji zaitun Saint Helena. Saat ini tanaman ini sudah tidak ada di sekitar kita. Nenek ingin kamu bisa menumbuhkan dan melestarikan tanaman dari biji ini,” harap nenek. “Tapi nek, apakah aku bisa?” tanyaku. “Cucu nenek yang pintar ini pasti bisa. Setelah mengucapkan kalimat itu, nenek tak sadarkan diri. Clara sangat terkejut dan panik. Clara yang masih umur 13 tahun itu hanya bisa mengolesi neneknya dengan minyak kayu putih dan berusaha memberinya nafas buatan. Ia berusaha membangunkan neneknya tetapi sayangnya ilmunya kurang cukup untuk memberikan pertolongan pada neneknya. Semenjak hari itu Clara jadi semakin aneh. Ia sangat makin terobsesi untuk belajar, belajar, dan belajar. Hari-harinya dipenuhi dengan mencari 117 tahu cara menumbuhkan dan mengembangbiakkan tanaman punah yang berasal dari biji tua itu. Sambil berusaha mencari tahu, kadang ia meneteskan air mata karena teringat pada neneknya. Setelah 3 tahun berusaha, Clara menemukan jawaban dari persoalan biji itu. Sekarang ia sudah menjadi remaja cantik nan kuat. Ia kembali menuju Laboratorium untuk melakukan percobaannya. Berbeda dengan 3 tahun yang lalu, sekarang ia pergi ke laboratorium sendirian. Ia sempat mengingat Kevin. Saat urusannya di laboratorium selesai, Ia menjatuhkan tasnya. Saat melihat ke depan. Ia sangat terkejut saat melihat remaja pria di depannya yang bersandar di depan mobil merah miliknya. “Ke..Kevin?” ucap Clara pelan. 118 “Hai, Lama tak jumpa, masih mencoba biji tua itu?” tanya Kevin. “Ma.. Maaf saat itu aku tak pernah menghubungimu lagi. Tetapi apa yang kamu lakukan di sini?” kata Clara. “Nih” Kevin menunjukkan dokumen yang ada di tangannya. “Ini foto perkembangan biji yang menjadi tanaman kecil. Ups! Jangan bilang,” kata Clara saat mengamati foto di dalam amplop itu. “Ya, kau benar. Itu foto perkembangan biji tuamu,” kata Kevin. “Bagaimana kau bisa mendapatkannya?” “Saat itu kau tidak pernah menemuiku. Lalu aku pergi ke rumahmu dan menemukanmu tertidur di bawah pohon di tamanmu. Waktu itu kau memegang kantung berisi biji-biji dan catatanmu. Berdasarkan catatanmu, aku berusaha mencari tahu cara melestarikannya,” jelas Kevin. Clara kehabisan kata-kata. Ia bagaikan patung. Kakinya lemas dan tak sadar ia terduduk 119 di bawah. “Coba lihat ponselmu dan cek berita terhangat,” Kata Kevin. Clara langsung mengecek ponselnya dan banyak artikel yang membicarakan dirinya. Ia langsung fokus dengan artikel yang berjudul ‘Selama 3 Tahun, Pelajar Bernama Clara Mencari Cara Melestarikan Tanaman Punah’. Ia semakin sulit berkata-kata dan hanya bisa mengucapkan banyak terimakasih pada Kevin dari dalam hati. “Selama ini aku dan anggota organisasi yang peduli lingkungan selalu mengampanyekan pada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan agar tidak ada makhluk hidup yang terancam punah. 2 tahun terakhir ini aku memperkenalkan pada masyarakat tentang tanaman punah, khususnya tanaman zaitun Saint Helena. Karena meskipun kita bersusah payah untuk membuat tanaman ini tetap berkembang, 120 jika orang-orang tidak peduli pada tanaman ini, maka tanaman ini tetap akan punah” jelas Kevin. “Terima kasih sekali, Kevin. Aku tidak tahu harus bagaimana berterima kasih,” kata Clara. “Santai saja. Oh iya. Minggu ini, kita di undang walikota untuk pemberian apresiasi atas kerja keras kita untuk melestarikan tanaman punah. Kau harus dating ya,” kata Kevin. “Aku pasti dating. Terimakasih Kevin,” kata Clara. Setelah mereka diberi apresiasi oleh wali kota, mereka memiliki proyek yaitu menanam tanaman langka itu di pusat kota dan di sekitar rumah mereka. sosialisasi Mereka tentang juga pentingnya mengadakan menjanga kelestarian lingkungan. Mereka juga di apresiasi oleh sekolah dan diminta untuk menanam tanaman langka tersebut di sekolah. Sejak saat itu, Clara tidak lagi menjadi anak yang pendiam. Tetapi ia 121 mulai mengikuti kegiatan cinta lingkungan bersama Kevin. “Apakah kau ingat 3 tahun yang lalu saat aku pertama kali menyapamu aku meminta suatu hal padamu? Apakah kau tahu aku meminta hal apa padamu?” tanya Kevin. “Ntahlah” jawab Clara. “Aku meminta padamu agar kita bisa bersama-sama menghijaukan dan melestarikan bumi ini. Aku ingin kau menggunakan kejeniusanmu itu untuk mengatasi masalah lingkungan yang ada di dunia ini, salah satunya adalah tanaman punah. Tetapi saat itu kau menghiraukanku dan lucunya, sekarang kau malah antusias mengikuti lingkungan,” kata Kevin. 122 kegiatan cinta Jojo Si Sahabat Lingkungan Muhammad Farros Fauzi / 21 / IX.5 Selalu berusahalah menjaga lingkungan. Itulah yang diajarkan orang tua Jojo kepadanya, ia tinggal di Surabaya dan masih duduk di tingkat SMP kelas 3. Jojo berasal dari keluarga yang kaya. Papanya adalah pendiri Speedwagon Foundation. Mamanya, adalah seorang dokter yang sangat andal yang bekerja di Speedwagon Foundation. Speedwagon Foundation sendiri adalah yayasan yang bergerak di bidang kesehatan dan dalam pelestarian lingkungan. Yayasan itu sangat peduli dengan daerah yang terpencil yang belum ada 123 tenaga medisnya, jadi tidak jarang jika Jojo dan mamanya pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain yang kemungkinan bisa di desa-desa terpencil. Hari ini papanya memberi tahu bahwa mamanya harus bertugas ke bandung tepatnya di Desa Bagyo, dan hal ini tidak membuat Jojo kaget karena dia sudah terbiasa dengan keadaan itu. Dua hari kemudian, Jojo beserta mamaya berangkat ke Bandung. Mereka tinggal di Desa Bagyo, desa itu letaknya cukup jauh dari kota, tetapi jalan untuk menuju kota bisa dilewati sebuah mobil dan jalan itu sudah diaspal. Saat ini, Jojo bersekolah di SMP 7 Kamboja dan dia telah bertemu dengan seorang gadis remaja yang memang asli dari daerah Bandung, namanya Dadang. Baru satu minggu Jojo tinggal di desa itu, tetapi sudah merasa tidak betah tinggal di sana, 124 keadaan di Desa Bagyo sangatlah buruk, tidak ada pasokan air bersih. Memang, di desa tersebut tidak terdapat sumber air bersih. Selain itu, hanya ada beberapa tanah yang subur dan hanya ada beberapa pohon yang tumbuh dengan baik. “Apakah kamu tidak resah denga penduduk desamu? Desa ini sangat tidak nyaman untuk ditempati,” Tanya Jojo kepada Dadang seraya menyeka keringat yang ada di dahinya. “Maaf kalau penduduk desa ini telah membuatmu tidak nyaman untuk tinggal, tapi aku bersyukur bisa mempunyai desa yang aman,” Jawab Dadang. “Oh, bukan penduduk desamu yang membuatku tidak nyaman tinggal di sini, namun hanya saja keadaan di sini sangat berbeda dengan setiap tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Maaf aku tidak bermaksud menghina desa kecilmu,” Sahut Jojo dengan perasaan tidak enak terhadap Dadang. 125 “Tidak apa-apa kok. Kamu ada benarnya juga, sebenarnya ini semua karena ada pertambangan batu bara illegal yang letaknya tak jauh dari desa ini. Limbah dari pertambangan itu mencemari air sungai yang sebenarnya jenih dan membuat pohonpohon di hutan di sebelah utara Desa Bagyo menjadi tidak bisa tumbuh dengan baik,” Kata Dadang menjelaskan. Sekarang Jojo pun tahu mengapa desa ini tanahnya tidak subur dan sedikitnya jumlah air bersih. Setelah Jojo tahu asal muasal kenapa keadaan Desa Bagyo bisa seperti itu, dia membicarakan hal ini dengan mamanya. “Menurut Mama, bagaimana sih keadaan di desa ini?” Tanya Jojo ketika selesai makan malam bersama mamanya. “Mama sebenarnya prihatin dengan kondisi desa ini. Sebenarnya mama sangat ingin mengatasi masalah yang ada di desa ini, tapi kan 126 kamu tau sendiri kondisi mama, mama harus menerima pasien yang selalu datang bersama dengan rekan kerja mama,” Jawab mama Jojo yang sedang mengecek dokumen pasiennya. “Tadi siang aku di beri tahu oleh Dadang kalau penyebab ketidak suburan desa ini dan tercemarnya sungai adalah adanya limbah dari pertambangan batu bara illegal yang letaknya tidak jauh dari desa ini,” Ucap Jojo. “Oh begitu? Itu sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Kita harus segera bertindak. Mama akan mencoba mengubungi papa. ”Beneran Ma?” Tanya Jojo dengan wajah yang berseri-seri, lalu Mama Jojo memberi respon dengan menganggukkan kepala. Kemudian Mama Jojo menghubungi Papanya Jojo untuk membahas masalah yang ada di Desa Bagyo. “Papa, Mama boleh bicara sebentar nggak?” Tanya Mama Jojo setelah Papa mengangkat 127 panggilan telpon dari mama. “Tentu saja boleh, kebetulan Papa tidak sedang sibuk,” Jawab papa. Setelah itu Mama Jojo menceritakan masalah yang terjadi di Desa Bagyo dan penyebab hal itu terjadi. Mendengar masalah itu, Papa Jojo merasa prihatin dan papa akan berusaha untuk memperbaiki keadaan Desa Bagyo karena salah satu tujuan dari Speedwagon Foundation adalah untuk melestarikan lingkungan. Setelah menutup telpon, Mama Jojo menceritakan kabar gembira yang berkaitan dengan masalah yang ada di Desa Bagyo kepada Jojo, setelah Jojo mendengar kabar gembira itu, dia menceritakannya kepada Dadang dan temanteman sekelasnya. Setelah semua warga Desa Bagyo mengetahui kabar gembira itu, Jojo mempunyai ide untuk membenahi keadaan alam yang ada di sekitar desa itu. Jojo membicarakan 128 tentang idenya dengan para temanya dan juga para guru di sekolahnya, dan ide positif Jojo di sambut dengan baik oleh semua warga sekolah. 2 minggu kemudian, Bupati Kabupaten Bandung mendatangi lokasi pertambangan batu bara illegal secara mendadak bersama Speedwagon Foundation dan Kepala Desa Ngarem. Pak Bupati yang bekerja sama dengan Speedwagon foundation kemudian memutuskan untuk menutup pertambangan illegal itu dan berjanji akan memberi bantuan air bersih. Akhirnya, Jojo bersama dengan warga desa menanam kembali hutan yang hampir gundul. 6 bulan kemudian Jojo lulus SMP dan bersekolah di SMA N 3 Mawar. Hutan di sebelah utara Desa Bagyo telah subur kembali dan sungai yang mengalir di sebelah timur Desa Bagyo sudah agak bersih. Besok lusa, masa tugas Mama Jojo di Bandung akan berakhir, hal ini 129 membuat Jojo sedikit berat hati untuk meninggalkan desa ini. setelah diberi tahu bahwa Jojo diterima di salah satu sekolah di Inggris oleh papanya karena Jojo telah membuat Desa Bagyo dan beberapa desa lainnya yang terkena dampak limbah pertambangan illegal menjadi lebih baik. Akhirnya, mau tidak mau Jojo harus pergi ke Inggris untuk bersekolah. Besok lusanya, Jojo dan papanya kembali ke Surabaya. “Jojo, terimah kasih ya, kamu telah membuat kondisi Desa Bagyo dan beberapa desa lainnya yang terkena masalah menjadi lebih baik. Kami akan menyatukan Desa Bagyo dengan desa lainnya menjadi suatu kecamatan yang akan berpusat di Desa Bagyo. jika Jojo berkenan, Jojo bisa memberikan nama kecamatan yang akan kita bangun ini,” kata Kepala Desa Bagyo. “Baiklah, saya akan memberinya nama Kecamatan Lestari, dengan 130 ini saya berharap alam yang ada di Kecamatan Lestari bisa terus terjaga,” Jawab Jojo. “Hei Jojo, ini kenang-kenangan dari kita semua. Semoga kamu tetap mengingat kita,” sahut Dadang sambil memberikan album foto untuk kenang-kenangan Jojo. Sebelum masuk ke mobil, Jojo berterima kasih kepada seluruh warga Desa Bagyo atas segalanya mengunjungi dan akan Desa menyempatkan Bagyo Indonesia. 131 saat untuk kembali ke Hutan Pelindung Kehidupan Muhammad Habibi (22) Sang fajar mulai Nampak dari ufuk timur. Kicauan burung yang merdu beserta lantangnya suara ayam yang berkokok membuatku sadar akan kayanya bumiku ini. Hal itu sudah sangat sering kudengar setiap aku terbangun di pagi hari, memang setiap pagi hariku sangatlah penuh dengan kegembiraan dan senyuman. Terkadang aku merasa heran kenapa masih ada saja oknum yang merusak bumi kita yang indah ini. Setiap udara yang kita hirup, Setiap air yang kita minum, bukankah itu semua berasal dari alam? Pertanyaan 132 itulah yang terus terngiang- ngiang di kepalaku. Lalu apa para perusak alam tak berpikir tentang hal itu. Hari – hari indahku selalu dibayang-bayangi oleh pertanyaan sederhana itu. Aku hidup di desa yang cukup indah dan asri, walau bisa dibilang desaku cukup terpelosok dan tertinggal dari daerah lainnya. Bahkan, tak semua rumah tangga di desaku terjangkit oleh aliran listrik, hanya mereka yang berjabatan tinggi dan mampu yang dapat menikmati manfaat tenaga listrik. Salah satu contohnya adalah aku, aku tinggal bersama bibi dan nenekku. Ayahku wafat sejak aku masih dalam kandungan, dan ibukku meninggal sesaat setelah melahirkanku. Mungkin hidupku amatlah berat bagi sebagian orang, namun itu tak berlaku bagiku. Nenekku selalu berkata bahwa tak ada orang yang terlahir untuk menjadi 133 seorang pecundang, setiap orang lahir untuk menjadi seorang pemimpin. Perkataan nenekku itulah yang membuatku termotivasi agar kelak dapat menghidupi seluruh keluargaku dengan keringatku sendiri. Tentu saja sebagai satu – satunya pria di keluargaku saat ini, beban ku sangat berat walaupun umurku yang bisa dibilang belum saatnya untuk bekerja. Namun apalagi yang harus disesali, semua telah terjadi, justru pada momen inilah cara membuktikan apakah aku layak menjadi seorang pemimpin. Menjadi pemimpin adalah impianku sejak dini, memimpin negara ini adalah impian yang selalu ingin kucapai suatu hari nanti. Tak peduli apapun hambatan dan keadaanku sekarang. Bu guru selalu berpesan kepadaku, “jika kamu ingin menjadi seorang pemimpin, tekunlah belajar, peduli terhadap teman dan perhatikan lingkungan alam 134 sekitarmu. ”Pada saat itu aku bingung“ Mengapa seorang pemimpin harus peduli dengan lingkungannya, bukankah itu tugas polisi hutan ,” Timpalku dengan heran. Bu guru yang mendengar perkataanku hanya tersenyum dan berkata, “Kamu akan tau saat sudah cukup dewasa,” Aku pada saat itu hanya bisa bingung dan terheran dengan apa yang dikatan bu guru. Mungkin benar saat cukup dewasa nanti aku akan paham apa yang dimaksud bu guru saat itu. Puluhan tahun kemudian aku telah tumbuh menjadi pria manis dengan otak cemerlang. Aku berhasil menjadi salah satu mahasiswa di Universitas ternama di Indonesia. Aku telah pergi meninggalkan mendapat Universitas kampung halamanku sejak aku di beasiswa untuk bersekolah ternama tanpa dipungut biaya sepeserpun. Hal itu cukup sangat membantu 135 keluargaku agar kehdiupan di dapat hidup perkotaan. layak Aku seperti semangat bersemangat dalam menggapai cita – citaku menjadi orang paling penting di negara ini, aku akan terus berjuang untuk meraihnya. Namun, selagi aku mengerjakan tugas dan melihat berita televisi, sontak aku sangat kaget ketika melihat berita yang berisi bahwa kampungku akan dijadikan objek pembangunan pusat perbelanjaan dan wahana permainan. Pada awalnya aku tak percaya dengan apa yang kulihat barusan, hingga aku mencoba menelpon nenek dan bibiku yang berada di sana, lama ku menunggu namun panggilan telponku seperti tak ada yang mendengarnya, hanya dering telpon yang terus terdengar olehku. Sebenarnya, rencana pembangunan itu cukup membuatku bingung dan heran, mengingat desaku cukup terpelosok 136 dan bisa dibilang tertinggal dalam bidang teknologi dibandingkan daerah lainnya. Penggerak pembangunan tampak diwawancarai dan berkata, “Kita telah melakukan riset mendalam tentang hal ini dengan pemerintah, mengingat kita juga sudah punya cukup lahan hijau di daerah perkotaan lalu kami berinisiatif untuk membangun wahana dan perbelanjaan disini. Lahan di desa ini juga cukup luas,” tuturnya. Aku yang kecewa dan marah mendengar pernyataan yang baru saja diutarakan oleh sang penggerak pembangunan, merasa bahwa pemerintah sudah sangat keterlaluan,” Pemerintah amat keterlaluan, bukanya membangun daerah tertinggal malah merusaknya,” gumamku dalam hati. Akupun berjanji pada saat itu, jikalau suatu hari nanti akan pergi menyelamatkan dan menjaga kampung halaman yang telah membesarkan dan menemaniku sejak kecil. 137 Beberapa tahun telah berlalu, aku yang kini sedang menjalani wisuda, tampak sangat senang dengan senyum yang lebar setelah menerima Ijazah sarjananya. Bagaimana tidak, aku berhasil lulus dengan nilai terbaik di Universitas. Tak hanya itu aku juga mendapat uang tunjangan dan beasiswa yang akan digunakan sebagai biaya pergi ke kampung halaman tercintaku. Sekarang gelar sarjana telah menjadi bagian dari kebanggaanku yang akan mengantarkanku menyelamatkan aset kehidupanku. Seminggu telah berlalu aku sudah siap untuk mengemas barang- barang dan bajuku sebagai bekal saat berada di sana. Aku hanya bisa bergumam, “Bagaimanakah keadaan kampungku sekarang ya? Apakah seasri dan seindah dulu,” aku pun segera bergegas pergi ke bandara dan menaiki pesawat tujuanku. Dalam perjalanan aku terus 138 terbayang apa yang akan kulakukan disana nantinya mungkinkah rencanaku akan berhasil. Akhirnya pesawat tiba di Bandara tujuanku. Aku segera bergegas turun mengambil koperku dan memesan taksi menuju kampung halamanku. Betapa terkejutnya aku sesaat setelah melihat warga kampung beserta nenek dan bibiku berada tepat di depan mesin penghancur besar. Mereka berusaha menghalangi jalan mesin tersebut agar tak bisa menghancurkan bangunan apapun. Aku yang melihat kejadian itu langsung pergi menuju kerumunan tersebut dan berkata dengan lantang “Berhenti!” Sontak semua orang di sana kaget dan heran. Para pembangun pun membalas “Diam disitu anak muda ini perintah dari atasan,” aku tak peduli dengan himbauan itu, aku langsung memposisikan diri berada di depan para warga lainnya, ”Aku warga asli sini mau apa kalian 139 menggusur desaku?” Timpalku. Gemuruh suara warga mendukungku membuat para pembangun terdiam sejenak, lalu berkata “emm…kami ini utusan pusat jika kamu menentang maka kami tak segan segan menyingkirkan kalian,” Tambah pembangun dengan lantang. Nenekku langsung membalas dengan keras “Tidak ada tempat lain? Ini desa kami hutannya akan kami pelihara hingga kami mati,” Para pembangun merasa bingung hal apa yang harus mereka lakukan sekarang. Tanpa negosiasi, pemukiman Mereka langsung penduduk tanpa saja menggusur memperdulikan perkataan para penduduk. “ Minggir kalian semua ini perintah pusat kalian akan diberi tempat yang layak setelah ini ,” Warga pun dengan serentak menjawab, “ Ini tanah kami bukan tanah kalian, walaupun kalian beli seharga ratusan milyar pun 140 kami takkan jual,” Tak lama kemudian terdengar suara dari kejauhan yang berteriak “Hey ini bukan tanah negara, lahan ini milik kami, kami yang menanam dan merawat lahan ini hingga seindah sekarang ini,” Aku langsung kaget melihat sosok tersebut, sosok itu ialah bu guru yang dulu mengingatkanku tentang pentingnya seorang pemimpin memperhatikan lingkungan sekitarnya. Bu guru yang ku kenal dengan senyuman manisnya dan kecantikannya, kini telah menjadi seorang wanita lansia yang bahkan jumlah giginya tak selengkap dahulu kala. Bu guru tampak sangat kesal dengan para pembangun yang semena-mena dengan kampungku, ia merasa jika mereka terlalu patuh dengan perintah atasan tanpa melihat dampak yang akan terjadi pada lingkungan sekitarnya. Walau telah di hujani berbagai ucapan dari para warga, para 141 pembangun tak merasa ragu dan gentar. Mereka tetap menggusur pemukiman warga tanpa ada rasa bersalah. Mereka hanya patuh pada perintah atasan yang semena – mena terhadap lingkungan. Tujuh tahun telah berlalu aku telah mempunyai rumah tangga yang bahagia dan menjadi salah satu pimpinan daerah. Aku melupakan sejenak masalah penggusuran yang terjadi di kampungku kala itu. Aku berusaha melupakannnya namun tak semudah itu untuk dilupakan. Aku pun mencoba mengajak keluarga kecilku untuk berjalan – jalan sejenak menikmati segarnya udara dan indahnya kota saat akhir pekan tiba. Aku sangat senang dapat melihat keluarga ku menikmati perjalanan liburan kali ini, melihat keadaan kota yang indah dan terdapat taman kota pada pusat kota mengingatkanku 142 kembali pada keadaan kampungku dulu saat indah dan asri. Aku sangat rindu dengan segarnya udara dan hijaunya pemandangan hutan yang dulunya sangat rimbun. Seketika anakku tiba – tiba merengek dan meminta untuk pergi membeli mainan. Memang anakku yang kecil sangat rewel jika sudah minta sesuatu. Aku yang pada saat itu langsung berinisiatif mencari pusat perbelanjaan yang ada di sekitar ku menggunakan map digital. Setelah ku kendaraanku temukan, menuju sesegera mall 143 ku tersebut. pacu Betapa kagetnya aku melihat palang polisi berada tepat di depan gerbang mall yang ingin ku masuki. “Permisi pak, kok mall di palang polisi? Apa ada bom, tanyaku keheranan,” Polisi dengan tegas menjawab “Bukan pak ini mall sudah ditutup sejak 2 bulan lalu, karena selalu banjir ketika hujan tiba, bahkan sebulan yang lalu sempat ada korban seorang anak yang tenggelam terendam banjir,” Ditambah lagi daerah sini udaranya juga cukup panas. “Lha ini dimana sih pak? Masa mall bisa kebanjiran, tanyaku kembali. “Ini dulunya desa mas, hutannya katanya dulu dialihfungsikan rimbun, jadi mall cuman sama sekarang pemerintah, katanya hutan kota sudah cukup” Tambah pak polisi. Aku pun langsung kaget dan teringat dengan masa laluku. Desa hijau yang dulu ku cintai dirubah menjadi mall yang bahkan tak dapat digunakan untuk kepentingan publik. 144 Hal ini sangat membuatku sadar akan pentingnya menjaga lingkungan alam, dan mengingatkanku pula bahwa seorang pemimpin yang baik harunsya tak hanya mementingkan kesejahteraan rakyatnya namun juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan sekitarnya. 145 146