Kerajaan Mataram Islam Disusun oleh : Kelompok 2 Aulia Garnish M. (7) Daniela Widya P. (8) M. Rizki Nugroho (24) Rafi Yusuf A. (32) Revata Tri A. (33) Thoriq Abdansyakuro (35) X MIPA 6 Letak Geografis Kerajaan Mataram Islam Kerajaan mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini letaknya di erletak di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di Kota Gede yaitu di sekitar Kota Yogyakarta sekarang. Menurut berita-berita kuno mengenai Mataram, letak geografis Kerajaan Mataram Islam berada di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan. Wilayahnya membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak di batas selatan, antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, Kraton dalam pikiran masyarakat Jawa, diartikan sebagai pusat dunia yang digambarkan sebagai pusat jagad raya. Latar Belakang Pada mulanya, Mataram adalah wilayah yang dihadiahkan oleh Sultan Adiwijaya kepada Ki Gede Pemanahan. Sultan Adiwijaya menghadiahkannya karena Ki Gede Pemanahan telah berhasil membantu Sultan Adiwijaya dalam membunuh Arya Penangsang di Jipang Panolan. Ki Pamenahan, disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh kepada sultan Pajang. Ia mulai naik tahta di Istananya di Kotagede pada tahun 1577 M. Di tangan Ki Gede Pemanahan, Mataram mulai menunjukkan kemajuan. Pada tahun 1584 Ki Gede Pemanahan meninggal, maka usaha memajukan Mataram dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya. Sutawijaya atau dikenal dengan nama Panembahan Senapati. Sepeninggal ayahnya, ia dilantik sebagai penguasa penting di Mataram menggantikan Ayahnya. Ia seorang yang gagah berani, mahir dalam hal berperang. Sehingga sejak ia masih sebagai pemimpin pasukan pengawal raja Pajang ia telah diberi galar oleh Sultan Adiwijaya, Senapati ing Alaga (panglima perang). Senapati memiliki cita-cita hendak mengangkat kerajaan Mataram sebagai penguasa tertinggi di Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Senapati mengambil dua langkah penting, pertama memerdekakan diri dari pajang dan kedua untuk memperluas wilayah kerajaan Mataram keseluruh jawa. Konflik antara raja Pajang dengan Sutawijaya menghasilkan kemenangan dipihak Sutawijaya. Setelahnya, keturunan Adiwijaya, yaitu pangeran Benawa yang seharusnya menjadi ahli waris kesultanan pajang, menyerahkan tahta kekuasaan kerajaan Pajang kepada Senapati. Sejak saat itu Senapati mengambil gelar Panembahan tahun 1586. Sutawijaya berhasil membangun Mataram pada tahun 1586. Wilayah yang dikuasai Kesultanan Mataram adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap merdeka. Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang, Pati, Demak, Pekalongan mengakui kekuasaan Mataram. Setelah Sutawijaya meninggal, posisinya sebagai Sultan digantikan oleh putranya yaitu Raden Mas Jolang. Ia diberi gelar Sultan Hanyakrawati. Ia memerintah pada tahun 1601-1613. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi perlawanan dari wilayah pesisir, yang merupakan salah satu penyebab mengapa RM Jolang tidak mampu memperluas wilayah Kesultanan Mataram. Dalam menjalankan roda pemerintahan, ia cenderung mengadakan pembangunan dibanding ekspansi. Menjelang wafatnya, RM Jolang menunjuk Raden Mas Rangsang sebagai penggantinya. Setelah dilantik, RM Rangsang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahaman. Ia memerintah dari tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Mataram mengalami kejayaan. Raja-Raja Kerajaan Mataram Islam Ki Ageng Pamanahan Ki Ageng Pamanahan merupakan pendiri desa Mataram tahun 1556, desa inilah yang kemudian hari berkembang menjadi Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh anaknya. Tanah Mataram sendiri merupakan hadiah yang diberikan oleh Hadiwijaya karena Ki Pamanahan berhasil membunuh Arya Penangsang. Awalnya tanah hadiah ini merupakan hutan lebat yang oleh masyarakat sekitar diberi nama Alas Mentaok, kemudian oleh Ki Ageng Pamanahan dijadikan desa Mataram. Ki Ageng Pamanahan menikah dengan Nyai Sabinah (putri Ki Ageng Saba), dari pernikahan ini beliau memiliki putra-putri 26 orang. Salah satu putra Ki Ageng Pamanahan yang menjadi perintis Kesultanan Mataram. Pada tahun 1584 Ki Ageng Pamanahan wafat dan dimakamkan di kota Gede. Panembahan Senapati Setelah Ki Ageng Pamanahan meninggal kekuasaan Mataram berikan Sutawijaya, beliau ini adalah menantu dari Raja Pajang. Atas anjuran Sultan Pajang Senapati Sutawijaya menjadi Raja Kerajaan Mataram. Pada saat Sutawijaya berkuasa bisa dibilang ini adalah masa awal kebangkitan Kerajaan Mataram Islam di Jawa. Di bawah kepemimpinan Panembahan Senapati, Kerajaan Mataram memperluas kekuasaannya mulai dari Pajang, Demak serta menguasai daerah-daerah penting lainnya seperti Tuban, Madiun, Pasuruan dan sebagian besar wilayah Surabaya. Panembahan Senapati meninggal pada tahun 1523 atau 1610 M yang kemudian posisinya digantikan oleh Raden Mas Jolang. Raden Mas Jolang Raden Mas Jolang atau Panembahan Anyakrawati merupakan pewaris kedua Kerajaan Mataram Islam. Beliau memerintah sebagai raja sekitar 12 tahun (1606-1613). Pada masa pemerintahan banyak daerah-daerah yang memberontak sehingga banyak terjadi peperangan. Selain perang untuk mempertahankan kekuasaan juga perang menambah daerah kekuasaan. Tidak banyak sumber sejarah yang mencatat tentang Raden Mas Jolang ini sampai beliau wafat pada tahun 1613 di desa Krapyak. Raja ini terkenal dengan gelarnya Panembahan Sedo Ing Karapyak dan dimakamkan di makam Pasar Gede, di bawah makam ayahnya. Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) Setelah Raden Mas Jolang wafat kekuasaan Kesultanan Mataram digantikan oleh anaknya yaitu Raden Mas Rangsang. Bisa dibilang bahwa Raden Mas Rangsang merupakan raja ketiga Kerajaan Mataram Islam. Di masa pemerintahan beliau menjadi puncak dari kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Raden Mas Rangsang mendapatkan gelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Ngabdurchman. Masa pemerintahannya sekitar 1613-1645. Pada masa pemerintahan Sultan Agung bisa menguasai hampir seluruh Tanah Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian daerah di Jawa Barat. Selain berperang dengan raja di Jawa, Sultan Agung juga melakukan peperangan melawan VOC yang ingin merebut Jawa dan Batavia. Dibawah pemerintahan Sultan Agung ini juga Kerajaan Mataram Islam berkembang menjadi negara Agraris. Sultan Ageng wafat pada tahun 1645 dan di makamkan di Imogiri. Hanya Sultan Agung yang dimakamkan di Imogiri. Amangkurat I Setalah Sultan Agung meninggal, kekuasaan Mataram digantikan oleh anaknya yang bernama Amangkurat. Pada masa kekuasaanya Amangkurat I memindahkan pusat Kerajinan dari Kota Gedhe ke Kraton Plered. Pemindahan tersebut dilakukan pada tahun 1569 tahun Jawa atau 1647. Amangkurat I berkuasa sekitar tahun 1638 sampai 1677. Sifat Amangkurat I sangat bertolak belakang dengan ayahnya, dimana dia menjadi teman VOC. Sifat inilah yang menimbulkan perpecahan pada Kerajaan Mataram Islam. Amangkurat I meninggal pada tanggal 10 Juli 1677 dan dimakamkan di daerah tegal Tepatnya di Telagawangi. Dan sempat mengangkat Sunan Mataram atau Amangkurat II sebagai Penggantinya. Raden Mas Rahmat Raden Mas Rahmat atau Amangkurat II merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kasunanan Kartasura sebagai lanjutan dari Kerajaan Mataram Islam. Raja ini memerintah tahun 1677 sampai 1703. Beliau adalah raja Jawa pertama yang menggunakan pakaian dinas ala Eropa, sehingga rakyat memberikan julukan Sunan Amral, yaitu ejaan Jawa untuk Admiral. A. Kehidupan Politik Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1586-1601) dengan ibukota kerajaan di Kota Gede. Tindakan-tindakan penting yang dilakukan adalah meletakkan dasar-dasar Kerajaan Mataram dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke timur, Surabaya, Madiun dan Ponorogo, dan ke barat menundukkan Cirebon dan Galuh. Pengganti Panembahan Senopati adalah Mas Jolang. Ia gugur di daerah Krapyak dalam upaya memperluas wilayah, sehingga disebut Panembahan Seda Krapyak. Raja terbesar Kerajaan Mataram ialah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Sultan bercita-cita: (1) mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan (2) mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. Masa pemerintahan Sultan Agung selama 32 tahun dibedakan atas dua periode, yaitu masa penyatuan negara dan masa pembangunan. Masa penyatuan negara (1613-1629) merupakan masa peperangan untuk mewujudkan cita-cita menyatukan seluruh Jawa. Sultan Agung menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan dan Tuban, selanjutnya Lasem, Pamekasan, dan Sumenep. Dengan demikian seluruh Jawa telah tunduk di bawah Mataram, dan luar Jawa kekuasaan meluas sampai Palembang, Sukadana (Kalimantan), dan Goa. Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk menyerang Batavia. Serangan pertama dilancarkan pada bulan Agustus 1628 di bawah pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Dipati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari darat dan laut selama 2 bulan, namun tidak mau menyerah bahkan sebaliknya akhirnya tentara Mataram terpukul mundur. Dipersiapkan serangan yang kedua dan dipersiapkan lebih matang dengan membuat pusat-pusat perbekalan makanan di Tegal, Cirebon dan Krawang serta dipersiapkan angkatan laut. Serangan kedua dilancarkan bulan September 1629 di bawah pimpinan Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. Namun nampaknya VOC telah mengetahui lebih dahulu rencana tersebut, sehingga VOC membakar dan memusnahkan gudanggudang perbekalan. Serangan ke Batavia mengalami kegagalan, karena kurangnya perbekalan makanan, kalah persenjataan, jarak Mataram– Jakarta sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit Setelah Sultan Agung meninggal, penetrasi politik VOC di Mataram makin kuat. Akibat campur tangan VOC dan adanya perang saudara dalam memperebutkan takhta pemerintahan menjadikan kerajaan Mataram lemah dan akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil. Perseturuan antara Paku Buwono II yang dibantu Kompeni dengan Pangeran Mangkubumi dapat diakhiri dengan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 yang isinya Mataram dipecah menjadi dua, yakni: 1. Mataram Barat yakni KesultananYogakarta, diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. 2. Mataram Timur yakni Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III. Selanjutnya untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said diadakan Perjanjian Salatiga, tanggal 17 Maret 1757, yang isinya Surakarta dibagi menjadi dua, yakni: 1. Surakarta Utara diberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya dinamakan Mangkunegaran. 2. Surakarta Selatan diberikan kepada Paku Buwono III kerajaannya dinamakan Kasunanan Surakarta. Pada tahun 1813 sebagian daerah Kesultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati. Dengan demikian kerajaan Mataram yang satu, kuat dan kokoh pada masa pemerintahan Sultan Agung akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yakni: 1. Kerajaan Yogyakarta 2. Kasunanan Surakarta 3. Pakualaman 4. Mangkunegaran B. Kehidupan Ekonomi Letak geografisnya yang berada di pedalaman didukung tanah yang subur, menjadikan kerajaan Mataram sebagai daerah pertanian (agraris) yang cukup berkembang, bahkan menjadi daerah pengekspor beras terbesar pada masa itu. Rakyat Mataram juga banyak melakukan aktivitas perdagangan laut. Hal ini dapat terlihat dari dikuasainya daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai Utara Jawa. Perpaduan dua unsur ekonomi, yaitu agraris dan maritim mampu menjadikan kerajaan Mataram kuat dalam percaturan politik di nusantara. C. Kehidupan Sosial-budaya Pada masa pertumbuhan dan berkaitan dengan masa pembangunan,maka Sultan Agung melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerahdaerah persawahan dan memindahkan banyak para petani ke daerah Krawang yang subur. Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa. Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra dan sebagainya. Di samping itu muncul Kebudayaan Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayan asli, Hindu, Buddha dengan Islam. Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal pada hari raya idul Fitri.; Grebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh Samsiah) dan sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh Kamariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan Tahun Jawa. Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga Kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang Kitab Sastra Gending yang berupa kitab filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana. Kejadian-Kejadian Penting Masa Awal Setelah Sutawijaya merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya ia kemudian naik tahta dengan gelar Panembahan Senopati. Pada masa itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan Kesultanan Mataram berada di daerah Mentaok, wilayah nya terletak kira-kira di selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang (timur Kota Yogyakarta). Lokasi keraton pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal kekuasaan diteruskan oleh putranya, yaitu Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati. Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena dia wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Setelah itu tahta pindah ke putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro memiliki penyakit syaraf sehingga tahta nya beralih dengan cepat ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang pada masa pemerintahan Mas Rangsang, Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaan. Terpecahnya Mataram Pada tahun 1647 Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered, tidak jauh dari Karta. Pada saat itu, ia tidak lagi memakai gelar sultan, melainkan 'sunan' (berasal dari kata 'Susuhunan' atau 'Yang Dipertuan'). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak yang tidak puas dan pemberontakan. Pernah terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat untuk berkomplot dengan VOC. Pada tahun 1677 Amangkurat I meninggal di Tegalarum ketika mengungsi sehingga ia dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat tunduk pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak suka dan pemberontakan terus terjadi. Pada tahun 1680 kraton dipindahkan lagi ke Kartasura. karena kraton yang lama dianggap telah tercemar. Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (tahun 1703-1708), Pakubuwana I (tahun 1704-1719), Amangkurat IV (tahun 1719-1726), Pakubuwana II (tahun 1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena ia tidak patuh(tunduk) kepada VOC sehingga VOC menobatkan Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua orang raja dan hal tersebut menyebabkan perpecahan internal di Kerajaan. Amangkurat III kemudian memberontak dan menjadi ia sebagai "king in exile" hingga akhirnya tertangkap di Batavia dan dibuang ke Ceylon. Kekacauan politik ini baru terselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta (Pada 13 Februari 1755). Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti. Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta merupakan 'ahli waris' dari Mataram. Peristiwa Penting Tahun 1558: Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya yang telah mengalahkan Arya Penangsang. Tahun 1577: Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede. Tahun 1584: Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru (raja) di Mataram, yang sebelumnya sebagai putra angkat Sultan Pajang bergelar "Mas Ngabehi Loring Pasar". Ia mendapat gelar "Senapati in Ngalaga" (karena masih dianggap sebagai Senapati Utama Pajang). Tahun 1587: Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. namun Sutawijaya dan pasukannya selamat. Tahun 1588: Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar 'Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama' yang artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Tahun 1601: Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu di hutan Krapyak. Tahun 1613: Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena Pangeran Aryo sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Tahun 1645: Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I. Tahun 1645 - 1677: Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC. Tahun 1677: Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I meninggal. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga. Tahun 1680: Susuhunan Amangkurat II memindahkan pusat pemerintahan (ibu kota) ke Kartasura. Tahun 1681: Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered. Tahun 1703: Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III. Tahun 1704: Atas pertolongan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III kemudian membentuk pemerintahan pengasingan. Tahun 1708: Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734. Tahun 1719: Susuhunan Paku Buwono I meninggal kemudian digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723). Tahun 1726: Susuhunan Amangkurat IV meninggal kemudian digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II. Tahun 1742: Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan. Tahun 1743: Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian yang sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama Mataran belum melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas pertolongan yang diberikan VOC. Tahun 1745: Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton. Tahun 1746: Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil. Tahun 1749: 11 Desember Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. pada 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III. Tahun 1752: Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di daerah Pesisiran (daerah pantura) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-Raden Mas Said. Tahun 1754: Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. Pada tanggal 23 September, Nota Kesepahaman Hartingh-Mangkubumi. 4 November, Paku Buwana III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama. Tahun 1755: 13 Februari menjadi Puncak perpecahan, hal ini ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar 'Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah' atau dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tahun 1757: Perpecahan kembali melanda Kerajaan Mataram. sehingga muncul Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Sultan Hamengku Buwono I, Sunan Paku Buwono III, Raden Mas Said dan VOC. Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta. Tahun 1788: wafat nya Susuhunan Paku Buwono III. Tahun 1792: wafat nya Sultan Hamengku Buwono I wafat. Tahun 1795: wafat nya KGPAA Mangku Nagara I wafat. Tahun 1799: dibubarkan nya VOC oleh benlanda Tahun 1813: Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam". Tahun 1830: Akhir perang Diponegoro. Semua daerah kekuasaan Surakarta dan Yogyakarta dirampas Belanda. Pada 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara resmi dikuasai Belanda. Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Peninggalan kerajaan mataram Islam: Pasar Kotagede Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Masjid Agung Negara Masjid ini dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. Masjid Agung Negara Kompleks Makam Pendiri Kerajaan di Imogiri Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita dapat menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari. Permakaman Imogiri pada tahun 1890 Penutup Kesimpulan Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Awal berdirinya yaitu setelah kerajaan Demak runtuh, kerajaan Pajang merupakan satu-satunya kerajaan di Jawa Tengah. Namun demikian raja Pajang masih mempunyai musuh yang kuat yang berusaha menghancurkan kerajaannya, ialah seorang yang masih keturunan keluarga kerajaan Demak yang bernama Arya Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah sayembara bahwa barang siapa mengalahkan Arya Penangsang atau dapat membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di Pati dan Mataram. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi yang merupakan abdi prajurit Pajang berniat untuk mengikuti sayembara tersebut. Di dalam peperangan akhirnya Danang Sutwijaya berhasil mengalahkan dan membunuh Arya Penangsang. Saran Sebagai generasi Muda Bangsa Indonesia, Kita harus melestarika peninggalan - peninggalan sejarah Kerajaan Mataram Islam, Sebab kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikannya, dan Kita terus memperdalam ilmu pengetahuan tentang sejarah, agar kita tau seperti apa kerajaan kerajaan yang ada di Indonesia pada masa itu.