PENYAKIT ANTHRAX A. Sinonim dan Etiologi Sinonim : Malignant carbuncle, wolsorters’ disease, radang kura, dan radang limfa Anthrax adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas. Anthrax bermakna "batubara" dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam. Penyakit ini bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia, namun tidak dapat ditularkan antar sesama manusia. Penyakit Anthrax merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, sesuai dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501 tahun 2010. Spora Bacillus anthrax tahan pada suhu panas di atas 43 derajat Celcius. Di dalam tanah, diketahui spora mampu bertahan sampai dengan 40 tahun. Apabila lingkungan memungkinkan, yaitu panas dan lembab maka spora dapat menjadi bentuk bakteri biasa (vegetatif) yang mampu berkembang biak (membelah diri) dengan sangat cepat. Penyakit Anthrax merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang tinggi di Benua Asia, dengan sifat serangan sporadik. Kawasan endemik anthrax di Indonesia meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu yang diserang pada umumnya pekerja peternakan, petani, pekerja tempat pemotongan hewan, dokter hewan, pekerja pabrik yang menangani produk-produk hewan yang terkontaminasi oleh spora anthrax, misalnya pabrik tekstil, makanan ternak, pupuk, dan sebagainya. Etiologi : Bacillus anthracis Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri berbentuk batang, berukuran 1-1,5 mikron kali 3-8 mikron, bersifat aerobik, nonmotil, dan bersifat Gram positif. Apabila spesimen diambil dari hewan sakit, bakteri ini berbentuk rantai pendek yang dikelilingi oleh kapsul yang terlihat jelas. Organisme ini ditemukan dalam bentuk vegetatif pada manusia dan hewan. Jika terpapar oleh oksigen, bentuk sporanya akan memiliki ketahanan yang tinggi terhadap agen fisik dan kimia. Oleh karena itu setiap hewan yang mati dengan dugaan anthrax tidak boleh dilakukan autopsi. Tindakan ini dilakukan untuk meminimalisasi Bacillus anthracis mengubah bentuk menjadi spora. Spora anthrax dapat tahan sampai 60 tahun di dalam tanah kering. Spora juga tahan dalam waktu yang lama pada debu, kapas, bulu, kulit, serbuk tulang, pakaian, dan sebagainya. Faktor predisposisi kejadian penyakit seperti musim panas, kekurangan makanan, dan keletihan mempermudah timbulnya penyakit pada hewan yang mengandung spora yang bersifat laten (Soeharsono, 2002). Lebih lanjut dalam Dharmojono (2001) dinyatakan bahwa penyakit anthrax sering dikenal sebagai soil born disease karena penyakit ini pada suatu saat seakan muncul dari tanah akibat daya tahan spora anthrax yang lama di dalam lingkungan luar. Dalam kondisi tanah yang bersifat netral atau basa (alkali) atau berkapur, spora anthrax dapat hidup subur. Kondisi seperti itu merupakan tempat pengeraman bagi spora anthrax yang kemudian dapat berubah bentuk menjadi bentuk vegetatif dan memperbanyak diri sampai ke tingkat yang mampu untuk menginfeksi calon korban lainnya. Kerentanan hewan terhadap kuman Anthrax dapat dibagi dalam beberapa kelompok, antara lain : a. Hewan-hewan pemamak biak (terutama pada sapi dan domba) kemudian disusul dengan kuda, rusa, kerbau, marmut dan mencit. b. Babi tidak begitu rentan, kejadain penyakit Anthrax pada hewan bersifat kronis. c. Anjing, kucing dan bangsa burung relatif tidak rentan tetapi masih dapat terinfeksi secara alamiah. d. Hewan-hewan berdarah dingin sama sekali tidak rentan (Anon.,1989). B. Distribusi Geografis Tersebar luas diseluruh dunia, kejadiannya dibeberapa daerah bersifat enzootik dan sporadik. Di Indonesia Anthrax pertama kali diberitakan oleh Javasche Courant terjadi pada kerbau di telukbitung (sumatera) pada tahun 1884. Berikutnya, koran kolonial verslag memberitakan Anthrax terjadi di buleleng (Bali), rawas (palembang), dan lampung pada tahun 1885. Selama lebih dari 100 tahun, Penyakit Anthrax tidak pernah terjadi lagi di Bali sehingga Bali dinyatakan sebagai daerah bebas Anthrax sampai saat ini. Saat ini daerah endemis Anthrax di indonesia tercatat ada 11 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, NTT, NTB, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Papua (DEPKES RI, 2004). Menurut Pudjiatmoko (2017) data 10 tahun terakhir periode 2008-2017 wilayah distribusi kasus Anthrax mencakup tujuh provinsi (Gambar 3), yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo dan DI Yogyakarta. Dari Gambar 3 tersebut terlihat bahwa beberapa provinsi seperti Sumatera Barat, Jambi, Papua, Jawa Barat dan DKI Jakarta sudah menjadi area terkendali Anthrax. C. Gejala pada Hewan dan Manusia Gejala Penyakit pada Manusia Anthrax pada manusia dibedakan menjadi tipe kulit, tipe pencernaan, tipe pulmonal, dan tipe meningitis. a) Anthrax Kulit (Cutaneus Anthrax) Kejadian antraks kulit mencapai 90% dari keseluruhan kejadian antraks di Indonesia. Masa inkubasi antara 1-5 hari ditandai dengan adanya papula pada inokulasi, rasa gatal tanpa disertai rasa sakit, yang dalam waktu 2-3 hari membesar menjadi vesikel berisi cairan kemerahan, kemudian haemoragik dan menjadi jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi kerak berwarna hitam, kering yang disebut Eschar (patognomonik). Selain itu ditandai juga dengan demam, sakit kepala dan dapat terjadi pembengkakan lunak pada kelenjar limfe regional. Apabila tidak mendapat pengobatan, angka kematian berkisar 5-20%. b) Anthrax Saluran Pencernaan (Gastrointestinal Anthax) Masa inkubasi 2-5 hari. Penularan melalui makanan yang tercemar kuman atau spora misalnya daging, jerohan dari hewan, sayur-sayuran dan sebagainya, yang tidak dimasak dengan sempurna atau pekerja peternakan makan dengan tengan yang kurang bersih yang tercemar kuman atau spora antraks. Penyakit ini dapat berkembang menjadi tingkat yang berat dan berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 2 hari. Angka kematian tipe ini berkisar 25-75%. Gejala antraks saluran pencernaan adalah timbulnya rasa sakit perut hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan, demam, konstipasi, gastroenteritis akut yang kadang-kadang disertai darah, hematemesis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran kelenjar limfe daerah inguinal (lipat paha), perut membesar dan keras, kemudian berkembang menjadi ascites dan oedem scrotum serta sering dijumpai pendarahan gastrointestinal. c) Anthrax Paru-paru (Pulmonary Anthrax) Masa inkubasi 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Gejala klinis antraks paru-paru sesuai dengan tanda-tanda bronchitis. Dalam waktu 2-4 hari gejala semakin berkembang dengan gangguan respirasi berat, demam, sianosis, dispneu, stridor, keringat berlebihan, detak jantung meningkat, nadi lemah dan cepat. Kematian biasanya terjadi 2-3 hari setelah gejala klinis timbul. d) Anthrax Meningitis (Meningitis Anthrax) Terjadi karena komplikasi bentuk antraks yang lain, dimulai dengan adanya lesi primer yang berkembang menjadi meningitis hemoragik dan kematian dapat terjadi antara 1-6 hari. Gambaran klinisnya mirip dengan meningitis purulenta akut yaitu demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang umum, penurunan kesadaran dan kaku kuduk. Gejala Penyakit pada Hewan Hewan dapat tertular Anthrax melalui pakan (rumput) atau minum yang terkontaminasi spora. Spora yang masuk ke dalam tubuh melalui oral dan akan mengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe dan limpa, menghasilkan toksin sehingga menyebabkan kematian (OIE,2000). Anthrax pada hewan dapat ditemukan dalam bentuk perakut, akut, subakut sampai dengan kronis. Untuk ruminansia biasanya berbentuk perakut dan akut; kuda biasanya berbentuk akut; sedangkan anjing, kucing, dan babi biasanya berbentuk subakut sampai dengan kronis. Gejala penyakit pada bentuk perakut berupa demam tinggi, gemetar, susah bernapas, kongesti mukosa, konvulsi, kolaps dan mati. Bentuk akut biasanya menunjukkan gejala depresi, anoreksia, demam, napas cepat, peningkatan denyut nadi, kongesti membran mukosa. Pada kuda terjadi enteritis, kolik, demam tinggi, depresi dan kematian terjadi dalam waktu 48-96 jam. Sedangkan pada bentuk subakut sampai dengan kronis, terlihat adanya pembengkakan pada lymphoglandula biasanya perakut, yaitu demam tinggi, gemetar, kejang-kejang, konvulsi, kolaps, dan mati. D. Kejadian dan Penyakit pada Manusia dan Hewan Kejadian Pada Manusia Terjadinya infeksi pada manusia terkait erat dengan munculnya kejadian penyakit pada hewan peliharaan. Di negara-negara dengan tingkat perkembangan ekonominya yang maju, dimana kejadian anthrax pada hewan telah dapat dikontrol maka kejadian anthrax pada manusia sangat jarang dijumpai. Munculnya kasus-kasus dinegara ini biasanya berasal dari adanya produk hewan yang terkontaminasi. Anthrax pada manusia umumnya terjadi di daeraah enzootik diantara negara-negara berkembang yang berhubungan dengan peternakan, memakan makanan yang kurang cukup dimasak dari hewan terinfeksi atau bekerja pada perusahaan wol, kulit kambing, dan bulunya di simpan dan di proses. Kejadian penyakit pada manusia di negara berkembang tidak diketahui secara pasti karena gejala penyakit tidak selalu diketahui oleh dokter atau dokter tidak selalu melaporkan kejadian kasus, di samping juga karena diagnosis hanya didasarkan atas penampakan gejala-gejala klinis saja. Di daerah enzootik, wabah penyakit pada manusia biasanya bersifat endomosporadic dan epidemik. Wabah biasanya terjadi akibat dari memakan daging yang sudah mati karena terserang anthrax atau hewan yang terinfeksi oleh penyakit anthrax (Sirisanthana et al., 1984 dalam Acha and Szyfres, 1987). Beberapa kejadian anthrax di Indonesia seperti yang dilaporkan oleh Soeharsono et al. (1981) yakni terjadi di kecamatan Ngadu Ngala kabupaten Sumba Timur (NTT) pada tahun 1980. Antara tahun 1980-1995 anthrax dilaporkan di Irian, Boyolali, dan Lombok. Pada awal tahun 2000 terjadi wabah anthrax pada peternakan burung unta di Purwakarta dan menimbulkan anthrax kulit pada beberapa orang yang menangani burung unta (Soeharsono, 2002). Penelitian Kurniawati et al. tahun 2004 menemukan adanya hubungan yang bermakna antara beberapa faktor terhadap kejadian Anthrax. Faktor terkait yang dominan terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia diantaranya sebagai berikut : a) Jarak kandang dengan rumah (OR = 0,6) b) Saluran pembuangan air limbah (OR = 3,3) c) Kebersihan kandang (OR = 0,5), vaksinasi (OR = 1,1) d) Riwayat makan daging (OR = 8,3) Kejadian pada Hewan Anthrax pada hewan umumnya terjadi di daerah enzootik yang belum di tunjang oleh adanya program kontrol yang memadai. Hampir semua hewan berdarah panas peka terhadap penyakit anthrax. Di indonesia penyakit anthrax sering terjadi pada sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, dan babi. Babi dapat tertular lewat pemberian makanan tercemar spora anthrax, misalnya bone meal dan sisa-sisa jaringan hasil pemotongan hewan. Penyakit pada Manusia Masa inkubasi pada manusia berkisar antara 2-5 hari. Bentuk klinis penyakit anthrax terbagi menjadi 3 bentuk yaitu : bentuk kutaneus, pulmonary atau respiratory, dan bentuk gastrointestinal. Bentuk kutaneus merupakan bentuk yang paling umum terjadi yang dikaitkan dengan adanya kontak dengan hewan terinfeksi (biasanya karkas) atau adanya kontak dengan wol, kulit dan bulu binatang dari hewan terinfeksi. Pada manusia, cutaneous anthrax bermula dari infeksi oleh endo spora bakteri ini melalui lesi kulit. Dalam waktu 12-36 jam setelah infeksi akan timbul papula yang akan berubah segera menjadi vesicular yang berisi cairan berwarna biru gelap. Ruptur dari vesicular akan meninggalkan bekas berupa eschar kehitaman pada bagian pusat lesi dan dikelilingi oleh daerah menonjol yang merupakan reaksi keradangan. Ulcus necrotic inilah yang sering disebut sebagai malignant pustule yang sering terjadi di kulit tangan,lengan, atau kulit kepala dan tidak terasa sakit. Pada cutaneous anthrax, umumnya penderita mengeluh demam subfebris dan sakit kepala. Pada pemeriksaan, umumnya di daerah terbuka seperti muka, leher, lengan dan tangan ditemukan kelainan berupa papula, vesicular yang berisi cairan dan jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi oleh kerak berwarna hitam, kering yang disebut eschar (pathognomonik) disekitar ulkus, sering didapatkan eritema dan edema. Pada perabaan edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk (non pitting) bila ditekan, disebut juga malignant pustule. Bentuk Pulmonary dikaitkan dengan adanya inhalasi spora dari B. Anthrachis. Gejala penyakit ini di awali dengan gejala penyakit ringan seperti gejala infeksi saluran pernapasan atas biasa. Sekitar 3-5 hari berikutnya berkembang menjadi akut disertai dengan demam, shock dan berakhir dengan kematian. Bentuk Gastrointestinal dikaitakan dengan adanya ingesti daging yang berasal dari hewan terinfeksi, yang ditandai dengan terjadinya gejala gastrointestinal yang hebat disertai oleh muntah dan berak berdarah. Gambar Carbuncle Anthrax pada kulit dibelakang dagu seorang ibu dan ibu jari tangan kiri suaminya. (Dok: Sudana/Soeharsono). Penyakit pada Hewan Penyakit Anthrax pada hewan terdapat 3 bentuk yaitu : bentuk perakut/apoplectic, bentuk akut dan subakut, dan bentuk kronis. Bentuk perakut biasanya terlihat pada hewan sapi, kambing dan domba. Kejadian ini biasanya terlihat pada awal dari munculnya suatu wabah. Serangannya bersifat tiba-tiba yang diikuti dengan kematian. Hewan terinfeksi menunjukan tanda-tanda yang berhubungan dengan cerebral disusul dengan kematian secara mendadak. Bentuk akut dan sub-akut, umumnya terlihat pada kuda, sapi, dan domba. Gejalanya meliputi demam, penghentian pengunyahan, depresi, kesulitan bernapas, inkoordinasi, konvulasi, dan kematian. Keluarnya darah dari dari lubang-lubang kumlah kadang-kadang terlihat. Anthrax bentuk kronis dapat terlihat pada sebagian besar spesies yang peka seperti babi, tetapi dapat juga terlihat pada sapi, kuda, dan anjing. Selama wabah dalam suatu kelompok babi, hanya beberapa hewan menderita bentuk akut, selebihnya sebagaian besar dari kelompok tersebut menderita bentuk kronis. Gejala utama anthrax dalam bentuk ini yaitu terjadinya edema pada daerah pharyngeal dan lingual dan sering terlihat adanya cairan berbusa yang keluar dari mulut hewan penderita. Kematian hewan diakibatkan karena terjadinya asphyxial / kesulitan bernapas. Anthrax pada Hewan E. Sumber Infeksi Pada manusia infeksi biasanya berawal dari hewan yang terinfeksi, produk hewan yang terkontaminasi, atau dari lingkungan yang terkontaminasi oleh spora anthrax. Anthrax bentuk kulit dikaitkan dengan inokulasi bakteri pada saat pengulitan atau pemotongan hewan atau akibat adanya kontak dengan kulit atau wol. Adanya kerusakan dari kulit akan mempercepat terjadinya penularan. Adanya produk yang berasal dari bulu yang terkontaminasi misalnya sikat, tepung tulang, mungkin merupakan sumber penularan selama bertahun-tahun. F. Cara Penularan Penularan dari hewan ke manusia dapat pula akibat dari gigitan insekta yang bertindak sebagai vektor mekanik, namun kasus sejenis ini belum banyak dilaporkan. Infeksi juga dapat terjadi melalui saluran pencernaan, yaitu karena makan daging dari ternak yang terserang anthrax atau tumbuhan yang tercemar oleh spora anthrax. Infeksi saluran pernapasan juga sering terjadi, demikian pula dengan penularan secara kontak melalui kulit dan luka. Hewan menjadi terinfeksi terutama akibat memakan rumput atau air yang terkontaminasi oleh spora B. anthracis, khususnya pada daerah yang dekat dengan karkas dari hewan yang terinfeksi anthrax. Hewan yang mati akibat anthrax akan menghasilkan sejumlah besar B. anthracis di dalam jaringannya dan jika karkas dari hewan tersebut terbuka Bacilli akan bersporulasi, selanjutnya akan mengontaminasi tanah, rerumputan, dan air. Hewan yang merumput pada daerah terkontaminasi dengan sendirinya akan menjadi terinfeksi dan selanjutnya akan berkembang menjadi sumber penularan yang baru. Hewan pemakan bangkai dan burung-burung dapat menjadi transport infeksi untuk jarak yang jauh. Wabah yang sangat serius umumnya terjadi selama musim kering setelah hujan lebat. Hujan akan membebaskan spora dan terkonsentrasi pada selokanselokan. Bentuk ini disebut sebagai “Cursed field” yang biasanya dijumpai pada daerah-daerah dengan lahan yang kaya zat kapur, mengandung cukup banyak zat-zat organik, dan memiliki pH di atas 6 (Van Ness, 1971 dalam Acha and Szyfres, 1987). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penularan dan penyebaran anthrax ada 4 yaitu penularan dari hewan ke hewan atau ke manusia, penularan melalui spora, penularan melalui hewan dan pakan ternak, dan penularan melalui konsentrat atau bahan pakan dari hewan. 1) Penularan dari hewan ke hewan atau ke manusia Anthrax tidak bisa ditularkan oleh hewan yang satu ke hewan yang lainnya atau dari manusia ke manusia secara langsung. Penularan dapat terjadi bila hewan atau manusia lewat cairan tubuh yang mengandung kuman anthrax atau oleh spora yang ada disekelilingnya. 2) Penularan melalui spora Basil anthrax berada dan berkerumun di berbagai jaringan hewan sakit, keadaan seperti ini kuman akan dikeluarkan dari tubuh melalui sekresi dan ekskresi selama sakit atau menjelang kematiannya. Spora dengan cepat akan terbentuk dan lebih lanjut mencemari tanah atau objek lain di sekitarnya. Bila terjadi hal yang demikian, maka akan menjadi sulit untuk memusnahkan spora yang sudah terlanjur terbentuk sehingga tersebar mencemari lingkungan. 3) Penularan melalui hewan dan pakan ternak Rumput yang dipangkas untuk pakan ternak sangat potensial sebagai pembawa spora dan berisiko menularkan anthrax dari satu daerah ke daerah lain. Ketika rumput untuk pakan ternak semakin kritis, pemotongan rumput biasanya cenderung semakin ke pangkal batang yang berdekatan dengan tanah. Dengan demikian, ada tanah yang terbawa pada rumput tersebut. Bila tanah tersebut mengandung spora anthrax, maka akan menjadi sumber pencemaran di daerah tempat tinggal peternak tersebut. 4) Penularan melalui konsentrat atau bahan pakan dari hewan Infeksi terjadi karena telah digunakan imbuhan pakan hewan yang terdiri atas tepung tulang mentah yang berasal dari hewan yang tertular anthrax. Sebelum pakan diberikan ke ternak harus dilakukan pemanasan terlebih dahulu. Pemanasan dilakukan pada suhu 130° C agar kuman anthrax bisa mati. G. Spesimen untuk diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium Diangnosis Kehadiran dari agen etiologi mesti dikonfirmasikan dengan pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan biakan yang berasal dari cairan vesikular (pada manusia), cairan edema (pada babi), atau darah pada hewan lainnya, di samping itu juga dapat dilakukan dengan cara pembiakan mikroorganisme dari cairan yang diambil dari malignant pustula atau dari spesimen darah dari hewan yang mati atau baru mati atau dapat juga melalui inokulasi pada hewan percobaan (marmut dan mencit). Jika material yang diperiksa terkontaminasi, diagnosis dilanjutkan dengan inokulasi pada kulit (secara scarifikasi). Penggunaan teknik fluorescent antibodi terhadap pewarnaan darah dan biakan darah dapat digunakan sebagai diagnosis awal. Test Ascoli’s dapat digunakan untuk menguji kulit dan kulit bulu. Diagnosis Banding Pada kuda adanya oedema dibawah kulit dapat dikelirukan dengan dourine yang disebabkan oleh Trypanosoma equiperdum. pengambilan dan pengiriman spesimen Pada hewan spesimen dapat berupa darah perifer dari daun telinga yang diambil dengan jarum, kemudian diisapkan pada kertas saring, kapur tulis atau kapas, apabila hewan masih hidup. Apabila hewan sudah mati, spesimen dapat diambil dari pemotongan daun telinga, cairan oedema, tulang kulit, dan bahan-bahan yang diduga tercemar seperti tanah. Spesimen harus dimasukkan ke dalam kontainer yang kuat agar tidak pecah atau tumpah dalam perjalanan. Spesimen tidak boleh dikirimkan ke laboratorium yang terletak di daerah bebas anthrax seperti BPPV Wilayah VI Denpasar (Soeharsono, 2002). H. Cara Pencegahan dan Pengobatan Pencegahan Pencegahan anthrax pada hewan perlu dilakukann secara teratur dan berkesinambungan. Ketika terjadi wabah penyakit anthrax maka Dinas Peternakan setempat akan mengeluarkan tindakan administratif dan teknis. Daerah yang pernah terjangkit anthrax, vaksinasi rutin dapat membantu mencegah terjadinya wabah. Beberapa tindakan untuk mencegah penyebaran penyakit anthrax (Ditjen PKH 2016), diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Hewan/ternak divaksin secara rutin setiap tahun sesuai rekomendasi instansi berwenang. 2) Hindarkan kontak langsung dengan hewan yang dicurigai terinfeksi anthrax. 3) Daging hendaknya dimasak hingga benar-benar matang. 4) Ketika menjumpai daging berlendir, berbau dan berwarna kusam harap dilaporkan. 5) Ketika seseorang mengalami gejala abnormal yang kuat mengarah gejala anthrax segera memeriksakan diri di fasilitas kesehatan/rumah sakit terdekat. 6) Hewan ternak yang diduga terjangkit penyakit anthrax harus dipisah dari hewan-hewan yang sehat. Apabila hewan yang diduga terjangkit anthrax sudah mati dan menjadi bangkai tidak boleh dilakukan autopsi ataupun pembedahan. Bangkai hewan harus dibakar atau dikubur yang dalam. Pengobatan Bacillus anthracis kerentanannya terhadap hampir semua antibiotika sangatlah tinggi. Pengalaman beberapa pasien menunjukkan respon yang lebih bagus ketika clindamycin 600 mg (iv)/ 8 jam atau 300 mg (po)/8 jam plus rifampicin 300 mg (po)/12 jam plus golongan quinolone (levofloksasin). Peniciline masih merupakan antibiotika yang paling ampuh, dengan cara pemberian tergantung tipe dan gejala klinisnya, yaitu: a. Anthrax Kulit 1) Procain Penicilline 2 x 1,2 juta IU, secara IM, selama 5-7 hari 2) Benzyl Penicilline 250.000 IU, secara IM, setiap 6 jam, sebelumnya harus dilakukan skin test terlebih dahulu. 3) Apabila hipersensitif terhadap penicilline dapat diganti dengan tetracycline, chloramphenicol atau erytromicine. b. Anthrax Saluran Pencernaan & Paru 1) Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambahkan dengan Streptomycine 1-2 g untuk tipe pulmonal dan tetracycline 1 g perhari untuk tipe gastrointestinal. 2) Terapi suportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma expander dan regimen vasopresor. Anthrax Intestinal menggunakan Chloramphenicol 6 gram perhari selama 5 hari, kemudian meneruskan 4 gram perhari selama 18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram perhariuntuk menghindari supresi pada sumsum tulang. DAFTAR PUSTAKA Suardana, I Wayan (2015). Buku Ajar Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: PT KANISIUS Drh. Pudjiatmoko, Ph.D Direktur Kesehatan Hewan. (2014). Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta 479 Hal Acha, P.N. and Szyfres, B. (1987). Anthrax. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and Animals. 2ndEd. Pan American Health Organization. pp 10-15. Departemen Kesehatan RI. (2004). Pedoman dan Protap Penatalaksanaan Kasus Antraks di Indonesia, Sub. Dit. Zoonosis Direktorat P2B2, DitJen PPM dan PLP, Jakarta. Dharmojono, H. (2001). Penyakit Anthrax. 15 Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Cetakan ke-1. Milenia Populer. hal. 84-98. Soeharsono. (2002). Anthrax. Zoonosis. Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. hal. 17-26 World Health Organization. (2008). Anthrax in Humans and Animals. 4th Ed. OIE. WHO. FAO.