BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hubungan industrial merupakan suatu system hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsure pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintag yang didasari nilai-nilai pancasila dan UUD Negara RI. Dalam pelaksanaan hubungan industrial, pemerintag, pekerja/buruh atau serikat pekerja buruh serta penngusaha atau organisasi pengusaha mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang sudah digariskan dalam UUD. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial prinsip-prinsip industrial. Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu perusaaan, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar karyawan dan pengusaha sehingga perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu juga latar belakang penulismakalah ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan oleh dosen yang kemudian akan digabungkan dengan berbagai materi. BAB II PEMBAHASAN A. Tahapan dalam Hubungan Industrial 1. Pengertian Hubungan Industrial Hubungan industrial sebenarnya merupakan kelanjutan dari istilah Hubungan Industrial Pancasila. Berdasarkan literatur istilah Hubungan Industrial Pancasila (HIP) merupakan terjemahan labour relation atau hubungan perburuhan.Istilah ini pada awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan antara kerja/buruh dan pengusaha. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Hubugan Industrial Pancasila (HIP) departemen Tenaga kerja (Anonim, 1987:9) pengertian HIP ialah suatu sistem yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, yang tumbuh dan berkembang di atas keperibadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu sebagai wujud pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah harus sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, artinya segala bentuk perilaku semua subjek yang terkait dalam proses harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh. Dalam pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengertian istilah hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para perilaku dalam proses produksi barang dan jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2. Landasan Hubungan Industrial Landasan hubungan industrial terdiri atas; a. Landasan idil ialah pancasila b. Landasan konsitusional ialah undang-undang dasar 1945 c. Landasan opersainal GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah 3. Tujuan Hubungan Industrial Berdasarkan hasil seminar HIP tahun 1974 (Shamad, 1995: 12) tujuan hubungan industrial adalah mengemban cita-cita proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui penciptaan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produksi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai derajat manusia. Sedemikian berat dan mulianya tujuan tersebut, maka semua pihak yang terkait dalam hubungan industrial harus meahami untuk terwujudnya pelaksanaan hubungan industrial dengan baik. 4. Ciri-ciri Hubungan Industrial a) Mengakui dan menyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah saja, melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. b) Menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya. c) Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan perusahaan. d) Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus disesuaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan. e) Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak, atas dasar rasa keadilan dan kepatutan. 5. Sarana Hubungan Hubungan Industrial a. Serikat pekrja/serikat buruh b. Organisasi pengusaha c. Lembaga kerja sama bipartit d. Lembaga kerja sama Tripartit e. Peraturan Perusahaan f. Perjanian kerja bersama g. Peraturan perundangan-undangan ketenagakerjaan dan h. Lebaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial B. Kesepakatan Kerja Bersama Menurut pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengertian peraturan perusahaan (PP) adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang membuat syarat-syarat kerja dan tata cara perusahaan. Sedangkan perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perbandingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syaratkerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 13). Pengertian dan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) Menurut Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1996/1997: 2) ialah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja atau serikat-serikat pekerja yang terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja dengan pengusahapengusaha, perkumpulan perusahaan berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja. Dalam praktik selama ini banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebut perjanjian kerja bersama (PKB), seperti: a. Perjanjian Perburuhan Kolektif (PKK) atau collecteve Arbeids Ovreenkomst (CAO); b. Persetujuan Perburuhan Kolektif (PPK) atau Coolective Labour Agreement (CLA); c. Persetujuan Perburuhan Bersama (PPB); dan d. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Semua istilah tersebut di atas pada hakikatnya sama karena yang dimaksud adalah perjanjian perburuhan sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 1954 (di mana undang-undang ini sudah tidakberlaku sejak memberlakukan undang-undang Nomor 13 tahun 2003). C. Hubungan Bipartit dan Tripartit Yaitu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan, yang anggotanya terdiri atas pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekera/buruh (periksa Kaputusan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Nomor Kep-255/Men/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lemaga Kera Sama Bipartit). Sedangkan Tripartit yaitu forum komunikasi, lonsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan, yang anggotanya terdiri atas unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah (periksa Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2005 tentang Tata kerja dan Susunan Organisasi Lembaga kerja sama Tripartit). Pengertian bipartit dalam hal ini sebagai mekanisme adalah tata cara atau proses perundingan yang dilakukan antara dua pihak, ayitu pihak pengusaha dengan pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, antara lain, apabila terjadi perselisihan antara pengusaha dengan pekera/buruh diperusahaan (surat edaran Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Nomor SE-01/D.PHI/XI/2004. perundingan bipartit pada hakikatnya merupakan upaya musyawrah untuk mufakat antara pihak pengusaha dan pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. D. Tata Cara Menyusun Kesepakatan Kerja Bersama Dalam Organisasi Seperti lajimnya perjanjian, pembuatan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja sama juga ada ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan dimaksud adalah: 1. Pembuatan peraturan perusahaan a. wajib bagi perusahaan yang memperkerjakan minimal sepuluh orang pekerja/buruh. b. kewajiban butir (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang sudah memiliki perjanjian kerja sama. c. memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh, atau serikat pekerja/buruh. Disamping iru dapat juga berkonsultasi kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. d. materi yang diatur adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang- undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. e. sekurang-kurangnya memuat: hak dan kewajiban pengusaha; hak dan kewajiban pekera/buruh; syarat pekerja; tata tertib perusahaan ; dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. f. pembuatnya dilarang: menggantikan perjanjian kerja bersama yang sudah ada sebelumnya; bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang berlaku. g. Pembuatan peraturan perusahaan tidak dapat diperselisihkan karena merupakan kewajiban dan menjadi tanggung jawab pengusaha. h. wajib mengjajukan pengesahan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk (yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. i. wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. BAB III STUDY KASUS Contoh Kasus Penyelesaian Hubungan Industrial & Analisanya A. KASUS PHK Sepihak SIS Terhadap Mantan Gurunya Setelah Jakarta International School, kini giliran Singapore International School (SIS) Pantai Indah Kapuk digugat oleh mantan gurunya. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dianggap semena-mena menjadi sebab sang guru meradang. Guru tersebut di PHK karena melanggar kontrak berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. PHKnya dilakukan secara sepihak tanpa adanya surat peringatan terlebih dahulu. Francois Xavier Fortis, warga negara Kanada, dipecat SIS karena telah dianggap telah melanggar peraturan perusahaan. Dalam anjuran Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Sudinakertrans) Jakarta Utara tertanggal 4 Januari 2007 dijelaskan Francois telah melanggar kontrak dengan berulang kali. Pelanggaran yang dilakukan dalam masa percobaan Francois itu berupa perbuatan dan ucapan tidak pantas kepada staf SIS lainnya. Atas perbuatannya itu, Francois juga sempat diperingati secara lisan. Lewat kantor hukum Adams & Co, Francois menggugat SIS. Dalam surat gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Francois menjelaskan ia dipekerjakan oleh SIS sejak 1 Juli 2006 hingga 31 Mei 2008, alias 23 bulan. Pada 30 Nopember 2006 Francois di PHK karena gagal dalam masa percobaan. Merasa dirugikan, Francois meminta ganti rugi sebesar Rp. 394 juta. Rinciannya, ialah sisa gaji Rp. 20 juta per bulan dan tunjangan transpor dan akomodasi sebesar Rp. 2 juta per bulan yang belum dibayar SIS sejak PHK hingga akhir masa kontraknya. Pada 22 Februari lalu mediator Sudinakertrans telah mengeluarkan anjuran yang menyarankan SIS untuk membayar sisa upah Francois dalam kontrak tersebut. Kepala Bagian Hukum SIS Haifa Segeira menyatakan Francois telah melanggar suatu pasal dari perjanjian kerja. Ada beberapa hal yang jelas-jelas sudah disetujui di kontrak, dan dasar kita PHK sudah tercantum dalam kontrak itu ujarnya. Jadi, menurutnya, selama para pihak sudah sepakat hal-hal yang tercantum dalam kontrak, perjanjian tersebut dapat dieksekusi. Iapun mengaku bingung mengapa Sudinakertrans kurang memperhatikan alasan dan buktibukti yang diajukan SIS. Yang jelas, dalam surat anjuran Sudinakertrans, SIS tercatat mengakui perjanjian kerja mencantumkan masa orientasi dan SIS menyatakan Francois tak lulus masa orientasi itu. Dan dinyatakan itu pula alasan Francois di-PHK. Dalam dokumen itu tidak dicantumkan adanya pemberian surat peringatan dari SIS pada Francois. Yang dilakukan SIS, Haifa menambahkan, tidak bertentangan dengan norma yang ada. Ia juga mengaku tak dapat memberi kejelasan apa tepatnya perbuatan Francois yang menyebabkan guru tersebut di PHK. Sumber kasus diperoleh dari: http://www.hukumonline.com/berita/baca/ho%5B16459/kotrakdiputus-upah-pun-hangus B. Analisa Kasus Pada dasarnya sebelum terjadi kasus PHK terhadap Francois , permasalahan sudah muncul terlebih dahulu pada masa pembuatan perjanjian kontrak kerja. Perjanjian kontrak kerja dibuat dalam bentuk PKWT dimana jenis dan sifat pekerjaan yang ditentukan dalam kontrak kerja tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu. Menurut pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 angka 1 dan Kepmenakertrans No. 100 tahun 2004 PKWT haya dapat dibuat untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, yang bersifat musiman, dan berhubungan dengan produk baru. Sementara pekerjaan yang dilakoni oleh Francois bersifat tetap dan tidak identik dengan pekerjaan yang dapat dibuat dengan PKWT. Menurut pasal 59 angka 7 yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, demi hukum menjadi PKWTT. Kontrak kerja tersebut juga mencantumkan masa percobaan kerja (masa orientasi). SIS menyatakan Francois tak lulus masa orientasi itu. Padahal jelas tercantum di pasal 58 angka 1 UU No.13 Tahun 2003 PWKT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Di angka 2 tegas dijelaskan apabila diisyaratkan masa percobaan kerja dalam PKWT maka masa percobaan kerja yang diisyaratkan batal demi hukum. PHK dilakukan secara sepihak tanpa adanya surat peringatan terlebih dahulu. Padahal menurut pasal 161 angka 1 pengusaha dapat melakukan PHK setelah pekerja yang bersangkutan diberikan surat pemanggilan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Dalam hal ini Francois sama sekali tidak diberi surat peringatan dan langsung di PHK. Dalam melaksanakan PHk ini Pihak SIS tidak melakukan segala upaya yang harus dilaksanakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja, selain itu maksud pemutusan hubungan kerja tersebut tidak dirundingkan terlebih dulu oleh pihak SIS dan Francois, dan pengusaha (SIS) hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industria. Kalaupun ingin melakukan PHK seharusnya pihak SIS harus melalui proses PHK yang diatur oleh undangundang sebagaimana diatur dalam pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003. Selain itu kesalahan Francois bukanlah termasuk kedalam kesalahan berat yang menyebabkan pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003. Pembuatan kontrak kerja yang dibuat secara PKWT terhadap tenaga pendidk tidak sinkron pula terhadap hak para pendidik untuk mendapat jaminan kesejahteraan social yang memadai sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 40 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dengan pembuatan kontrak kerja secara PKWT terhadap pendidik seperti tidak menghargai peran-peran tenaga pendidik dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan bagi peserta didik. Kemudian hal-hal yang diatur dalam kontrak kerja apabila ada ketidaksesuaian dengan peraturan lebih atas yang berlaku sebaiknya dibatalkan karena akan menimbulkan banyak problema seperti yang terjadi pada kasus ini. BAB IV PENUTUP KESIMPULAN Hubungan Industrial adalah keseluruhan hubungan kerja sama antara semua pihak yang tersebut dalam proses produksi disuatu perusahaan. Ada beberapa landasan dalam Hubungan Industrial Pancasila yang harus diperhatikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Dan menurut Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.Perjanjian kerja juga memiliki jenis da n asas-asas.