MODUL PERKULIAHAN PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Abstract Kompetensi Pancasila dalam kajian sejarah perjuangan bangsa Indonesia: a. Era Pra kemerdekaan b. Era kemerdekaan c. Era Orde Lama d. Era Orde Baru e. Era reformasi Mahasiswa dapat menjelaskan tatanan nilai Pancasila telah hidup, sebelum era sekarang dan menjadi tatanan filosofis yang melingkupi masyarakat Indonesia. Pembahasan A. Latar Belakang Sejarah Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia yang diresmikan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dalam sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi Negara Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara terancang kali pertama pada sidang BPUPKI atas hasil pemikiran Muh. Yamin dan Ir. Soekarno, pada rancangan Ir. Soekarno muncullah istilah Pancasila yang sebelumnya istilah ini telah muncul pada Kitab Sutasoma karya Empu Tantular. Setelah mengalami berbagai perubahan dan pertimbangan, maka Pancasila ditetapkan sebagai Dasar Negara Indonesia. Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern baru dirintis oleh para pejuang bangsa yang dimulai dari pergerakan nasional yaitu kebnagkitan nasional pada tahun 1908 (lahirnya Boedi Oetomo)dan diikrakan sumpah pemuda pad tanggal 28 oktober 1928 dan akhirnya bangsa indonesia mewujudkan pada tanggal 17 agustus 1945 bahwa bangsa Indonesia merdeka dan tanggal 18 agustus 1945 resmi menjadi negara, baik secara defacto (factual) maupun dejure (yuridis). Proses terjadinya bangsa pun terjadi sejak jaman kerjaaan telah nampak-nampak di Indonesia. Pancasila yang lahir pada 1 Juli 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan dasar filsafat Negara Republik Indonesia, menurut M. Yamin bahwa berdirinya Negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan yang ada, seperti kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, sampai pada datangnya bangsa-bangsa lain ke Indonesia untuk menjajah dan menguasai berates-ratus tahun. B. Perspektif Pancasila Sebelum Era Kemerdekaaan Kira-kira abad VII-XII, bangsa Indonesia telah mendirikan kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIII-XVI didirikan pula kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kedua jaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia masa itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa yang mempunyai negara. Kedua kerajaan itu telah merupakan negara-negara berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara ini, kedua jaman kerajaan itu telah mengalami kehidupan masyarakat yang sejahtera. Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: Pertama, jaman Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400). Kedua, negara kebangsaan jaman Majapahit (1293-1525). Kedua tahap negara kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga, negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. 1. Masa Sriwijaya Pada jaman Sriwijaya telah didirikan Universitas Agama Budha yang sudah dikenal di Asia. Pelajar dari universitas ini dapat melanjutkan ke India, banyak guru-guru tamu yang mengajar di sini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya sebagai tersebut dalam perkataan “marvuat vannua Criwijaya Siddhayatra Subhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur).(1999:27). Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu:KeTuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan Keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara kongkrit. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur (Dardji Darmodihardjo.1974:22-23). Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan nilai-nilai Pancasila, yaitu: (1) Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha. (2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif. (3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara. (4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu. (5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur. 2) Masa Kerajaan Majapahit Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke VII), Sanjaya (abad ke VIII), sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah dibangunnya Candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX) dan Candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X). Di Jawa Timur muncul pula kerajaankerajaan, yaituIsana (abad ke IX), Dharmawangsa (abad ke X),Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa telah hidup berdampingan secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam kerajaan ini, terbukti menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Sebagai nilai-nilai sila keempat telah terwujud yaitu dengan diangkatnya Airlangga sebagai raja melalui musyawarah antara pengikut Airlangga dengan rakyat dan kaum Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada saat Raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian rakyat. Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Jaman Keemasan Majapahit pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari Semenanjung Melayu sampai ke Irian Jaya. Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma di mana dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”,artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama saat itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh Kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian Kerajaan Majapahit yang telah memeluk agama Islam. Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan Raja Hayam Wuruk dengan baik dengan Kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Juga mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “ Mitreka Satata”. Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada Sidang Ratu dan Menteri-menteri yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh Nusantara Raya yang berbunyi : “Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan” (Muh. Yamin. 1960: 60). Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistim pemerintahan Kerajaan Majapahit. Menurut Prasasti Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan Kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaanseperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama. Sedangkan perwujudan sila Keadilan Sosial adalah sebagai wujud dari berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami bahwa jaman Sriwijaya dan Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama rempah-rempah yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara di luar Indonesia, menyebabkan bangsa Asing masuk ke Indonesia. Bangsa Barat yang membutuhkan rempah-rempah itu mulai memasuki Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Kemasukan bangsa Barat seiring dengan keruntuhan Majapahit sebagai akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti nilai-nilai nasionalisme sudah ditinggalkan, walaupun abad ke XVI agama Islam berkembang dengan pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai dan Demak, nampaknya tidak mampu membendung tekanan Barat memasuki Indonesia. 3. Zaman Penjajahan Pada awalnya bangsa asing (Portugis dan Belanda) datang di Indonesia hanya untuk berdagang yang kemudian berubah meningkat menjadi praktek penjajahan. Untuk menghindari persaingan di kalangan mereka sendiri (Belanda), maka didirikanlah kongsiatau perkumpulan dagang yang bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) atau Kongsi Dagang Belanda, di kalangan rakyat terkenal dengan sebutan Kompeni. Praktek-praktek VOC sudah mulai dengan paksaan-paksaan, tindakannya bukan lagi sebagai pedagang, tetapi sudah menampakkan jati dirinya sebagai penjajah (imperialisme). Belanda menjajah Indonesia selama tiga setengah abad yang menjadikan rakyat sengsara. Di mana-mana banyak terjadi perlawanan dan pemberontakan dari seluruh penjuru nusantara, dengan tujuan mengusir penjajah dari bumi nusantara. Untuk melanggengkan kekuatan dan kekuasaanya, Belanda menggunakan taktik/strategi, antara lain dengan devide et empera (politik adu domba), monopoli (pembeli tunggal), benteng stelsel (penyempitan gerak) dan kultur stelsel (tanam paksa). 4. Kebangkitan Nasional Gerakan nasional ditanah air dilator belakangi adanya pergolakankebangkitan di dunia timur, yaitu munculnya kesadaran akan kekuatannya sendiri, antara lain : 1. Filipina (1898) dipimpin oleh Jose Rizal 2. Jepang (1905) kemenangan atas Rusia di Tunisia 3. China (1911) dipimpin oleh Sun Yat Zen, china melawan jepang 4. India yang dipelopori oleh Nehru dan mahatma Gandhi melawan inggris 5. Indonesia 2 Mei 1908 dipelopori oleh Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Soediro Hoesodo (Boedi Oetomo), pergerakan bangsa nasional yang merupakan kebangkitan akan kesadaran kebangsaan (nasional). Mulanya pergerakan-pergerakan yang didirikan berasakan kooperatif, namun perkembangan jaman berubah menjadi non kooperatif dan awalnya bertujuan untuk perdangan, sosial, agama, dan pendidikan namun meningkat menjadi sebuah tuntutan politik yaitu Indonesia merdeka. Tujuan merdeka kata-katanya dipelopori oleh kaum muda dari seluruh nusantara mulai dari Jawa jong Javake Sulawesi Jong Celebes kemudian ke Ambon Jong Ambon Sumatra Jong Sumatra Sedangkan untuk tokoh-tokoh pemudanya antaralain Moh.Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro, Probopranoto. Kongres ke II pada tanggal 28 Oktober 1928, ikrar tersebut diwujudkan dalam sumpah pemuda “ berbangsa satu, bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, dan bertanah air satu tanah air Indoneisa “ bersamaan dikumandangkan lagu Indoneisa Raya ciptaan W.R. Supratman. 5. Pra Kemerdekaan . Dr. Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang; hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011: 4). Begitu lamanya penjajahan menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam menentukan dasar negaranya. Atas permintaan Dr. Radjiman inilah, figur-figur negarawan bangsa Indonesia berpikir keras untuk menemukan kembali jati diri bangsanya. Pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan dari tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, tampil berturut-turut untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan dasar Negara Indonesiasebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan dan 5) Kesejahteraan Rakyat. Kemudian Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori Negara, yaitu: 1) Teori negara perseorangan (individualis), 2) Paham negara kelas dan 3) Paham negara integralistik. Selanjutnya oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari: 1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia), 2) Internasionalisme (perikemanusiaan), 3) Mufakat (demokrasi), 4) Kesejahteraan sosial, dan 5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Berkebudayaan) (Kaelan, 2000: 37-40). Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno mengatakan, “Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:“Philosofische grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grond-slag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi”(Bahar, 1995: 63). Demikian hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan koheren, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila. Beliau mengatakan, “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala” (Soekarno dalam Latif, 2011: 21). C. Pancasila dalam Perspektif Orde Lama Setelah Indonesia merdeka, yang menjadi tantangan berikutnya adalah ideologi yang memang sejak awal telah disinyalir oleh Soekarno sebagai kekuatan yang cukup besar dalam pidatonya, yaitu Islamisme. Bahkan antara tahun 1957 hingga 1959 ada pemikiran yang berkembang di Dewan Konstituante untuk merumuskan kembali dasar negara. Pilihannya ada tiga: Pancasila, Islam, atau Sosio-Demokrasi. Namun Indonesia tetap menjunjung Pancasila sebagai dasar negara. Ini mengingatkan apa yang telah disampaikan Soekarno dalam pidatonya, "Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, mau pun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat ... kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'." D. Pancasila dalam Perspektif Orde Baru Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto. Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila oleh rezim orde baru kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin komprehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang berkuasa. dalam diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya upaya indroktinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4. Upaya pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna memperoleh kontrol sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde baru menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusi berada di tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga tercermin dari penetapan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas kegagalan G 30 S/PKI dalam upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis. Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang sangat plural kemudian diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai pucaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif. Pada era Orde Baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila, pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat. Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi tanggung jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4, ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila hanya digunakan sebagai slogan yang menunjukkan kesetiaan semu terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Ketika Orde Baru ditumbangkan oleh mahasiswa, bangsa Indonesia mencari-cari lagi ideologi yang pas di era Reformasi. Buku-buku "haluan kiri" -- yang sebagian di antaranya memuat wacana filosofis dan ideologis yang liberal -- yang di masa Orde Baru dianggap mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara, diterbitkan di mana-mana, laris-manis seperti kacang goreng. Liberalisme, yang makin marak mewabah akibat arus globalisasi -- bahkan gaungnya terasa hingga kini -- membuat kita mulai berpikir ulang: apakah Pancasila tetap (dan akan terus) menjadi dasar negara? Namun, Pancasila tetap menjadi ideologi bangsa dan dasar negara, walau kita mungkin masih samar bagaimana kedudukannya yang amat tinggi itu bisa mewujudnyata dalam keseharian berbangsa dan bernegara. Presiden SBY, dalam pidatonya tiga tahun silam menghimbau agar kita hendaknya "... meletakkan Pancasila sebagai rujukan, sumber inspirasi dan jendela solusi untuk menjawab tantangan nasional.... Sebab Pancasila adalah falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka." Hal ini amat sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Roeslan Abdulgani, bahwa Pancasila yang kita miliki bukan sekadar berisikan nilai-nilai statis, tetapi juga jiwa dinamis. Daftar Pustaka Bakry, Noor M.S. (1994). Orientasi Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Liberty Bertens (1989). Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Ismaun. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara Indonesia. Kaelan (1996). Filsafat Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma --------- (1998). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma ----------(1999). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigm Pangeran, Alhaj (1998). BMP Pendidikan Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika Wibisono, Koento (1999). Refleksi Kritis Terhadap Reformasi: Suatu Tinjauan Filsafat dalam jurnal Pancasila No 3 Tahun III Juni 1999. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM Mubarak, Zaky, 2008, Mata kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Buku Ajar II, Manusia Ahklak, Budi Pekerti Dan masyarakat, Depok, Lembaga Penerbit FE UI Syarbaini, Syarial (2014) Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi, Ghalia, Jakarta Media Online http://indridjanarko. ac.id/files/2011/05/Modul-Pancasila-2-Pancasila-Dalam-KonteksPerjuangan-Bangsa.pdf http://septianludy.blogspot.com/2014/07/pancasila-dalam-kajian-sejarah.html