TESIS SS09 2304 PROSEDUR GENERALIZED SPATIAL TWO STAGE LEAST SQUARES UNTUK MENGESTIMASI MODEL SPATIAL AUTOREGRESSIVE WITH AUTOREGRESSIVE DISTURBANCES Studi Kasus Pemodelan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur MASLIM RAJAB SYAFRIZAL NRP. 1310 201 706 DOSEN PEMBIMBING Dr. Ir. Setiawan, M.Si Dr. Sutikno, M.Si PROGRAM MAGISTER JURUSAN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2012 THESIS SS09 2304 A GENERALIZED SPATIAL TWO STAGE LEAST SQUARES PROCEDURE FOR ESTIMATING A SPATIAL AUTOREGRESSIVE MODEL WITH AUTOREGRESSIVE DISTURBANCES Case Study Economic Growth Modeling in East Java Province MASLIM RAJAB SYAFRIZAL NRP. 1310 201 706 SUPERVISOR Dr. Ir. Setiawan, M.Si Dr. Sutikno, M.Si PROGRAM OF MAGISTER DEPARTMENT OF STATISTICS FACULTY OF MATHEMATICS AND NATURAL SCIENCES INSTITUT OF TECHNOLOGY SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2012 PROSEDUR GENERALIZED SPATIAL TWO STAGE LEAST SQUARES UNTUK MENGESTIMASI MODEL SPATIAL AUTOREGRESSIVE WITH AUTOREGRESSIVE DISTURBANCES Studi Kasus Pemodelan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur Nama mahasiswa : Maslim Rajab Syafrizal NRP : 1310201706 Pembimbing : Dr. Ir. Setiawan, M.Si Co Pembimbing : Dr. Sutikno, M.Si ABSTRAK Pada model spatial autoregressive with autoregressive disturbances variabel respon yang mengandung spasial lag saling berhubungan dengan residualnya. Hal ini berakibat OLS menghasilkan penduga yang tidak konsisten. Prosedur generalized spatial two stage least squares (GS2SLS) dapat digunakan untuk menduga parameter model spatial autoregressive with autoregressive disturbances. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model spasial pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan menerapkan prosedur GS2SLS untuk menduga parameter model. Matriks penimbang spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah rook contiguity, queen contiguity dan customized yang didasarkan pada kabupaten/kota yang dijadikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Rook dan queen contiguity menghasilkan matriks yang sama. Hasil uji Lagrange Multiplier menunjukkan bahwa model spasial autoregressive (SAR) adalah model yang sesuai untuk memodelkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Model SAR dengan penimbang customized memodelkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dengan koefisien determinasi sebesar 91,82% dengan variabel yang signifikan meliputi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Sedangkan model SAR dengan penimbang rook/queen contiguity menghasilkan R2 sebesar 76,17% dengan variabel yang signifikan meliputi Dana Alokasi Umum (DAU) dan belanja modal pemerintah. Kata kunci : GS2SLS, pertumbuhan ekonomi, rook contiguity, SAR A GENERALIZED SPATIAL TWO STAGE LEAST SQUARES PROCEDURE FOR ESTIMATING A SPATIAL AUTOREGRESSIVE MODEL WITH AUTOREGRESSIVE DISTURBANCES Case Study Economic Growth Modeling in East Java Province By Student Identity Number Supervisor Co Supervisor : : : : Maslim Rajab Syafrizal 1310201706 Dr. Ir. Setiawan, M.Si Dr. Sutikno, M.Si ABSTRACT In spatial autoregressive model with autoregressive disturbances, the spatially lagged dependent variable is typically correlated with the disturbances term. The ordinary least squares estimator is not consistent in such situations. Generalized spatial two stage least squares procedure can be used to estimate spatial autoregressive model with autoregressive disturbances. The purpose of this research is to create a spatial model of economic growth in East Java and implement GS2SLS for estimating the parameters. Spatial weights matrix used is rook contiguity, queen contiguity and customized based on country as a center of economic growth. Rook and queen contiguity produces the same matrix. Lagrange Multiplier test results show that spatially autoregressive model (SAR) is an appropriate model for modeling the economic growth of East Java. SAR model with customized weight produces R2=91.82% with significant variables are labor force participation (TPAK), unemployment rate (TPT) and the general fund (DAU). While the SAR model with rook/queen contiguity produces R2=76.17% with significant variables are general allocation fund (DAU) and capital government expenditure. Keywords: economic growth, GS2SLS, rook contiguity, SAR KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Rabb sekalian alam, berkat limpahan rahmat, hidayah, dan pertolongan-Nya yang tidak terukur besarnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam tak lupa dihaturkan kepada junjungan Rasulullah SAW sebagai satusatunya panutan dalam kehidupan ini. Syukur Alhamdulillah, dengan izin dan kuasa serta ridha-Nya maka tesis ini dengan judul “PROSEDUR GENERALIZED SPATIAL TWO STAGE LEAST SQUARES UNTUK MENGESTIMASI MODEL SPATIAL AUTOREGRESSIVE WITH AUTOREGRESSIVE DISTURBANCES (Studi Kasus Pemodelan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur)” dapat diselesaikan dengan baik. Dalam penyusunan tesis ini, penulis telah melewati cukup banyak cobaan dan kesulitan, doa yang dipanjatkan dan dukungan dari ibunda tercinta membuat tugas ini dapat terselesaikan. Terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Setiawan, M.Si dan Dr. Sutikno, M.Si selaku pembimbing yang dengan sabar dan ikhlas telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan petunjuknya atas penelitian penulis, semoga Allah SWT membalasnya sebagai amal jariyah. Disamping itu, tidak lupa pula penulis haturkan terima kasih kepada: 1. Pusdiklat Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama mengikuti studi di program studi Magister/ Pascasarjana Jurusan Statistika, FMIPA, ITS Surabaya. 2. Kepala BPS Provinsi Papua, Bapak Ir. J.A Djarot Soetanto, MM yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh studi S2 di ITS. 3. Ketua Jurusan Statistika ITS, Bapak Dr. Muhammad Mashuri, M.T, dan Ketua Program Studi Pascasarjana Statistika ITS, Bapak Prof. Dr. Drs. I Nyoman Budiantara, M.S. yang telah memberikan arahan, dan fasilitas selama proses perkuliahan. 4. Para Dosen pengajar serta seluruh Staf Administrasi Akademik, Perpustakaan dan Laboratorium Komputasi Jurusan Statistika yang telah berkenan memberikan bantuannya. 5. Bapak Dr. Suhartono, M.Sc, Dr. Sony Sunaryo, M.Si dan Dr. Mohammad Dokhi, S.Si., M.Sc selaku penguji atas masukan, kritikan dan sarannya untuk perbaikan tesis ini. 6. Rekan-rekan seperjuangan di Blok U (Farid, Mas Ju dan Aa), rekanrekan di Gang Makam (Agung, Adi, Andi, Aang, Ucik, Dewi, Yuni) “Pak Lurah” pemegang jabatan abadi yang sangat peduli kepada Batch 5 ITS, anggota “badminton mania” (Ari, Adit, Pak Rudy, mas Agus), Eno, Sam, mbak Nur dan mbak Yenita, yang selalu bersama dalam segala hal dan setia menemani dalam suka maupun duka. 7. Temen-temen di Atlas Sports Club dan semua personil Helionz Fight Club Surabaya yang telah menemani penulis selama menempuh pendidikan di Surabaya untuk tetap hidup sehat. 8. Semua pihak yang telah memberikan semangat dan bantuannya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran membangun akan sangat diharapkan. Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang maksimal dan berguna kepada segenap pihak. Surabaya, Januari 2012 Penulis. iv DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................. iii ABSTRACT ............................................................................................ v KATA PENGANTAR .......................................................................... vii DAFTAR ISI ......................................................................................... ix DAFTAR TABEL .................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xiv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 4 1.5 Batasan Masalah .................................................................. 4 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Model Regresi Linier ........................................................... 5 2.2 Model Regresi Spasial ......................................................... 5 2.3 Uji Lagrange Multiplier ....................................................... 6 2.4 Estimasi Parameter dengan Generalized Spatial Two Stage Least Squares ........................................................... 12 2.5 Matriks Penimbang Spasial ................................................ 16 2.6 Keterkaitan antar variabel .............................................. 18 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data ...................................................................... 21 3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ..................... 21 3.2.1 Variabel Penelitian .................................................... 21 3.2.2 Definisi Operasional.................................................. 22 3.2.3 Peta Jawa Timur ........................................................ 23 3.3 Konstruksi Model ............................................................... 24 3.4 Metode Analisis ...................................................................25 BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Algoritma Pemrograman dan Desain Tampilan Antarmuka Pengguna ......................................................... 29 4.1.1 Algoritma Statistik Uji Lagrange Multiplier dan Estimasi Parameter dengan GS2SLS ........................ 29 4.1.2 Desain Tampilan Antarmuka Pengguna .................... 33 4.2 Pemodelan Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur ................. 33 4.2.1 Deskripsi Pertumbuhan ekonomi dan Variabel yang mempengaruhi ................................. 33 4.2.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan variabel yang mempengaruhi ................................................35 4.2.3 Matriks Penimbang Spasial .....................................43 4.2.4 Identifikasi Efek Spasial ..........................................44 4.2.5 Model Regresi Spasial .............................................46 4.2.6 Interpretasi Model .................................................. 49 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ........................................................................ 51 5.2 Saran.................................................................................. 51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 53 LAMPIRAN ......................................................................................... 57 BIODATA PENULIS ........................................................................... 85 iv DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Statistik Deskriptif PDRB dan Variabel yang Mempengaruhi ...34 Tabel 4.2 Koefisien Korelasi dan P-value antar Variabel Penelitian .......... 42 Tabel 4.3 Hasil uji Lagrange Multiplier untuk model SAR rook/queen contiguity dan SAR customized ………………………………..45 Tabel 4.4 Estimasi Parameter model SAR yang signifikan ( = 0,05) berdasarkan matrik penimbang rook/queen contiguity dan customized ......................................................................... .46 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Ilustrasi contiguity ............................................................... 17 Gambar 3.1 Peta Jawa Timur .................................................................. 24 Gambar 4.1 Desain tampilan antar muka pengguna (graphical user interface) program aplikasi estimasi parameter model regresi spasial dengan prosedur GS2SLS ............................. 33 Gambar 4.2 Diagram pencar antara PDRB dan kepadatan penduduk ...... 36 Gambar 4.3 Diagram pencar antara PDRB dan TPAK............................ 37 Gambar 4.4 Diagram pencar antara PDRB dan TPT ............................... 38 Gambar 4.5 Diagram pencar antara PDRB dan ABH ............................. 39 Gambar 4.6 Diagram pencar antara PDRB dan PAD .............................. 40 Gambar 4.7 Diagram pencar antara PDRB dan DAU ............................. 41 Gambar 4.8 Diagram pencar antara PDRB dan belanja modal ............... 42 Gambar 4.9 Peta Kabupaten Jawa Timur................................................ 43 Gambar 4.10 Peta Kabupaten/Kota dengan matriks penimbang customized .......................................................................... 44 Rencana proposal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota, serta bagian-bagian daerah yang lebih kecil pembangunannya tidak dapat dipisahkan antara pembangunan nasional dengan pembangunan daerah. Pembangunan daerah merupakan penjabaran dari pembangunan nasional dalam upaya mencapai sasaran pembangunan sesuai dengan potensi, aspirasi, serta permasalahan pembangunan di daerah. Pembangunan daerah mencakup seluruh kegiatan pembangunan sektoral yang berlangsung di daerah yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat (Nugroho & Dahuri, 2004). Pada umumnya, pembangunan nasional maupun daerah lebih ditekankan pada pembangunan di bidang ekonomi yang pada pada hakekatnya dilaksanakan untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat. Pemahaman yang spesifik mengenai karakteristik dan potensi daerah menjadi sangat penting dalam mengimplementasikan pembangunan ekonomi baik pada tingkat nasional maupun daerah. Karakteristik dan potensi yang berbeda-beda antar daerah menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Setiap daerah dituntut harus mampu mengidentifikasi karakteristik dan potensi yang ada secara cermat agar tujuan pembangunan ekonomi dapat tercapai dan tepat sasaran. Jawa Timur merupakan salah satu barometer pembangunan nasional setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada triwulan IV tahun 2009 dibandingkan dengan triwulan III (2009) mengalami kontraksi sebesar 0,89%, dan apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya (2008) mengalami pertumbuhan sebesar 5,16%. Secara kumulatif sampai dengan triwulan IV atau selama Januari – Desember 2009, ekonomi Jawa Timur tumbuh sebesar 5,01%. Sumber pertumbuhan tertinggi diberikan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran 1,79%, diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi 0,72%, sektor industri pengolahan 0,68%, sektor pertanian 0,65% dan sektor jasa-jasa 0,54%. 1 Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur diikuti dengan keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Pada tahun 2008 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Timur sebesar 6,4% turun menjadi 5,08% pada tahun 2009. Sementara itu Pada tahun 2007 persentase penduduk miskin Jawa Timur sebesar 19,98%, tahun 2008 menjadi sebesar 18,51% dan tahun 2009 menjadi 17,68%. (BPS,2010). Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, pertumbuhan yang tinggi merupakan sasaran utama bagi setiap daerah. Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan ketimpangan pendapatan antar penduduk. Penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya oleh Sitompul (2007), Rustiono (2008), dan Yunan (2009). Sitompul menggunakan analisis regresi OLS untuk melihat pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja dan kondisi perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi terhadap PDRB Sumatera Utara. Rustiono menganalisa pengaruh angkatan kerja, investasi, realisasi PMDN dan belanja pemerintah terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah 1985 – 2006 dengan menggunakan analisis regresi linier. Dengan metode analisis yang sama, Yunan meneliti kaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja di Indonesia periode 1988 – 2007. Sementara itu, Ranis dan Stewart (2001) melakukan analisis pertumbuhan ekonomi pada 76 negara berkembang di Amerika Latin periode 1960 - 1992 dengan menggunakan unsur-unsur pembentuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM), distribusi pendapatan dan tingkat investasi domestik. Model yang melibatkan beberapa persamaan yang saling terkait dapat dibangun dengan ekonometrika. Model ini bertujuan untuk menguji kebenaran teorema-teorema ekonomi berupa hubungan antarvariabel ekonomi secara kuantitatif. Penelitian ekonometrika terdahulu seringkali tidak menyertakan pengaruh kewilayahan dalam modelnya. Padahal keterkaitan antar wilayah dalam fenomena ekonomi merupakan hal yang sudah lazim terjadi. Model ekonometrika yang melibatkan pengaruh keterkaitan wilayah dinamakan ekonometrika spasial. Menurut Anselin (1988), ekonometrika spasial digunakan untuk menganalisis keberadaan spatial effect yang meliputi spatial dependence dan spatial heterogeneity yang sebenarnya merupakan fenomena yang terjadi pada data spasial. Fenomena ini 2 tidak dapat digambarkan oleh metode ekonometrika lainnya. Interaksi variabelvariabel penjelas dan variabel respon di suatu daerah dan variabel-variabel penjelas dan variabel respon di daerah lain akan diuji pada analisis spasial. Spatial dependence terjadi akibat adanya dependensi dalam data cross-section. Sedangkan spatial heterogeneity terjadi akibat adanya perbedaan antara satu region dengan region lainnya (efek region random). Menguji keberadaan efek region random dalam model regresi sangat penting karena mengabaikan kedua hal tersebut akan menyebabkan estimasi menjadi tidak efisien dan kesimpulan yang diperoleh menjadi tidak tepat. Salah satu ciri khas yang terdapat pada model regresi spasial adalah adanya saling ketergantungan antar wilayah yang menyebabkan estimasi model menjadi lebih kompleks. Jika unit observasi pada variabel respon saling berhubungan antar lokasi maka dikatakan terdapat spasial lag pada model. Suatu model regresi spasial yang mengandung spatial lag biasa disebut juga dengan model spasial autoregressive (SAR) atau model spasial lag. Jika error antar lokasi saling berhubungan satu sama lain, maka model regresi spasial yang terbentuk disebut model spasial error (SEM). Pada model regresi spasial gabungan (model campuran antara SAR dan SEM) Atau model spatial autoregressive with autoregressive disturbance, variabel respon yang mengandung spatial lag saling berhubungan dengan error-nya. Kondisi ini mengakibatkan estimasi parameter menggunakan ordinary least squares (OLS) menghasilkan penduga yang tidak konsisten. Estimasi parameter dengan menggunakan prosedur generalized spatial two stage least squares (GS2SLS) dapat digunakan untuk menduga model regresi spasial yang mengandung spasial lag sekaligus spasial error. Estimasi dengan prosedur ini akan menghasilkan estimator yang konsisten (Kelejian & Prucha, 1998). 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana menyusun program aplikasi untuk mengestimasi parameter model campuran atau model spatial autoregressive with autoregressive disturbances menggunakan prosedur generalized spatial two stage least squares (GS2SLS)? 3 2. Bagaimana membuat model pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur dengan pendekatan model regresi spasial? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menyusun program aplikasi untuk menduga parameter model spatial autoregressive with autoregressive disturbances menggunakan prosedur generalized spatial two stage least squares (GS2SLS). 2. Membuat model regresi spasial pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Mengembangkan wawasan keilmuan dan pengetahuan mengenai estimasi model spasial dengan menggunakan metode generalized spatial two stage least squares (GS2SLS). 2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur. 1.5 Batasan Permasalahan Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengkajian mengenai estimasi model spasial autoregressive with autoregressive disturbances menggunakan prosedur GS2SLS. Penentuan bobot spasial (W) ditetapkan dengan pendekatan contiguity (ketetanggaan), yaitu dengan menggunakan queen contiguity, rook contiguity dan customized. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan PDRB atas dasar harga konstan tahun dasar 2000. Ruang lingkup penelitian adalah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur periode 2009. 4 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Model Regresi Linier Analisis regresi merupakan analisis untuk mendapatkan hubungan dan model matematis antara variabel respon (y) dan satu atau lebih variabel penjelas (X). Secara umum hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut (Draper & Smith, 1998): = + dimana , ,…, asumsi ~ (0, +⋯+ + i = 1, 2, 3,…, n merupakan parameter regresi, dan (2.1) adalah error regresi dengan ). Persamaan (2.1) dapat disajikan dalam notasi matriks sebagai berikut : = + (2.2) dimana y adalah vektor berukuran vektor berukuran ( + 1) × 1, dan ditaksir dengan =( ) × 1, X matriks berukuran vektor berukuran × ( + 1) , × 1. Nilai parameter regresi . Ada beberapa asumsi pada model regresi yang harus dipenuhi, yaitu : 1. (ε ) = 0 2. (ε ) = 3. ε ,ε 2.2 = 0, untuk ≠ Model Regresi Spasial Istilah Ekonometrika Spasial pertama kali diperkenalkan oleh Jean Paelinck dan Klassen melalui bukunya Spatial Econometrics sekitar tahun 1970-an yang membahas mengenai estimasi dan pengujian yang dihadapi dalam pelaksanaan model ekonomi multiregional. Sejak istilah ini dikeluarkan, ekonometrika spasial telah diterima secara luas sebagai suatu model dan metode analisis (Anselin, 1988). Anselin (1988) mengembangkan model spasial dengan menggunakan data cross section. Spesifikasi model regresi spasial umum yang dikembangkan oleh Anselin adalah sebagai berikut : = dimana + + = + (2.3) 5 dengan ~ ( , ) Pada model ini, dan merupakan vektor variabel respon yang berukuran adalah matriks variabel penjelas yang berukuran matriks parameter yang berukuran ( + 1) × 1, autoregressive, × ( + 1), adalah koefisien merupakan koefisien spasial error. Sedangkan matriks penimbang berukuran × dan ×1 adalah spasial adalah yang menunjukkan keterkaitan variabel respon dan error antar wilayah. Beberapa model yang dapat dibentuk dari model regresi spasial umum (2.3) adalah : 1. jika = 0 dan = = 0, maka persamaan (2.3) menjadi : + , yang merupakan model regresi linier klasik tanpa ada pengaruh spasial. 2. jika ≠ 0 dan = + = 0, maka persamaan (2.3) menjadi : + , yang biasa disebut juga dengan model spasial error (SEM) 3. jika = 0 dan = + ≠ 0, maka persamaan (2.3) menjadi : + yang disebut juga dengan model spasial autoregressive (SAR) atau biasa disebut juga dengan Spatial Lag Model (SLM). 4. jika ≠ 0 dan = + ≠ 0, maka persamaan (2.3) menjadi : + + yang disebut dengan model gabungan antara SAR dan SEM atau biasa juga disebut dengan model Spatial autoregressive moving average (SARMA) atau model Spatial autoregressive with autoregressive disturbances. 2.3 Uji Lagrange Multiplier Keterkaitan antar wilayah merupakan pembeda antara model regresi umum dan model regresi spasial. Jika unit observasi pada variabel respon saling berhubungan, atau error antar lokasi saling berhubungan, maka model regresi spasial dapat dibentuk. (Kelejian & Prucha, 1998) Menguji keberadaan efek region random untuk membangun model regresi spasial sangat penting. Jika diabaikan maka akan mengakibatkan penduga parameter yang diperoleh menjadi tidak efisien sehingga kesimpulan yang dihasilkan menjadi tidak tepat (Anselin, 2005). 6 Uji Lagrange Multiplier (LM) merupakan uji berdasarkan estimasi di bawah hipotesis nol. Suatu distribusi dengan = ( ,…, parameter yang tidak diketahui, yaitu ) mempunyai fungsi likelihood ( ) dan fungsi ln likelihood-ln ( ). Misalkan suatu uji hipotesis akan dilakukan untuk : ℎ ( ) = 0, parameter dimana < , yaitu: = 1,2, … , maka akan diperoleh suatu fungsi lagrangian sebagai berikut: = ( )−∑ ℎ( ) Turunan pertama dari fungsi lagrangian tersebut terhadap parameter dan adalah: = − =ℎ dimana =0 =0 merupakan vektor berukuran × 1 yang elemen-elemen ke- -nya merupakan turunan pertama dari fungsi ln ( ) terhadap = | | ( = 1,2, … , ,), yaitu merupakan turunan pertama dari fungsi ℎ ( ) terhadap . . Dan merupakan vektor lagrange multiplier yang berukuran , yaitu × 1. Statistik LM test didefinisikan (Breusch dan Pagan, 1980) sebagai berikut: = ѱ (2.4) dimana ѱ merupakan matriks informasi berukuran × yang elemen-elemennya berisi turunan kedua terhadap masing-masing parameter yang diestimasi. ѱ= ( ) − | (2.5) Statistik uji LM di atas akan mengikuti distribusi ( ). Model regresi umum dari persamaan (2.3) dapat ditulis ulang sebagai berikut: =( − ( − ) ) = =( − +( − ) + (2.6) ) (2.7) Substitusikan persamaan (2.7) ke persamaan (2.6), sehingga diperoleh: ( − ) = ( − ) +( − =( − ) ) − Kemudian kalikan semua ruas dengan ( − =( − )[( − ) − ] ) , maka akan diperoleh: (2.8) 7 Jacobian untuk persamaan (2.8) adalah: =| − = || − | (2.9) dengan fungsi Gaussian diperoleh fungsi likelihood untuk residual adalah: / , ) = ( )| | L( dimana − (2.10) merupakan matriks variance-covariance dari | |= | |, sedangkan L( = , ) = ( )( Fungsi likelihood . Nilai . Sehingga akan diperoleh: / ) = , − (2.11) dapat diperoleh dengan mensubstitusikan pada persamaan (2.8) ke persamaan (2.11) dan mengalikan dengan Jacobian-nya, sehingga diperoleh fungsi likelihood: , , ) = ( )( L( , , − ) | − 1 {( − 2 || − )[( − ) − |+ ]} {( − )[( − ) − ]} (2.12) Sedangkan fungsi ln likelihood-nya adalah: ℒ( , , − , , )= ( )− 1 2 {( − ( 2 )[( − )+ ) − | − ]} {( − |+ | − )[( − |+ ) − ]} (2.13) i) Uji LM untuk Spasial Autoregressive Model spasial autoregressive (SAR) pada persamaan (2.3) dapat disajikan dalam bentuk sebagai berikut: =( − ) dimana ~ ( , =( − +( − ) ) merupakan residual dari model spasial autoregressive dengan: ) − Jacobian untuk persamaan residual di atas adalah: = =| − | sehingga diperoleh fungsi likelihood: L( , , , )= ( ) | − − {[( − | ) − 8 ] [( − ) − ]} (2.14) Sedangkan fungsi ln likelihood-nya adalah: , , )= − ℒ( , ( 2 )+ {[( − − | − |+ ) − ] [( − ) − ]} (2.15) Hipotesis yang akan diuji adalah: : = 0 lawannya : ≠0 Fungsi Lagrangian yang akan terbentuk adalah: , , ) − ℎ( ) = ℒ( , Turunan pertama dari fungsi lagrangian tersebut dengan konstrain ℎ( ) = , adalah: = = ℒ( , , , ) ℒ( , , , ) ℒ( , = − − ℎ( ) =0 =0 , , ) = −ℎ ( ) = − = 0 Sehingga diperoleh lagrange multiplier: = ℒ( , = = , , ) =− ( − ) + [( − ) − ] (2.16) Menurut Anselin (1988) matriks informasi ѱ untuk uji LM SAR adalah: ѱ=( + ) dimana = ( = ) ( { + = − ( dan = ) ′ } ) Adalah matriks penimbang spasial. Apabila = {( + sama, maka ) }. Uji hipotesis dilakukan di bawah , dimana = 0, maka akan diperoleh nilai sebagai berikut: = dan ( −0 ) + [( − 0 ) − 9 ] = 1 ( )+ [ − ] Karena matriks penimbang memiliki diagonal utama sama dengan nol, maka ( ) = 0, sedangkan ( − ) merupakan nilai vektor residual dari model regresi OLS, sehingga diperoleh: ′ = Dengan demikian diperoleh nilai statistik uji LM untuk model SAR sebagai berikut: = ѱ 1 = ′ = Statistik uji 1 ( + ) ′ ′ ( + ) mengikuti distribusi (2.17) ( ). akan ditolak jika LM > ( ), yang berarti terdapat efek spasial autoregressive. ii) Uji LM untuk Spasial Error Model spasial error (SEM) pada persamaan (2.3) dapat disajikan dalam bentuk sebagai berikut: = + =( − ) maka: = +( − =( − ~ ( , dimana ) )( − ) (2.18) ) . Dari persamaan (2.18) dapat diperoleh jacobian sebagai berikut: = =| − | sehingga diperoleh fungsi likelihood: L( , , , )= ( ) | − | L( , , , )= ( ) | − | − [( − − )( − Sedangkan fungsi ln likelihood-nya adalah: 10 )] [( − )( − )] (2.19) ℒ( , , , )= − ( 2 )+ {[( − − | − |+ )] [( − )( − )( − )]} (2.20) Hipotesis yang akan diuji adalah: : = 0 lawannya : ≠0 Fungsi Lagrangian yang akan terbentuk adalah: = ℒ( , , , ) − ℎ( ) Turunan pertama dari fungsi lagrangian tersebut dengan konstrain ℎ( ) = , adalah: = = ℒ( , , , ) ℒ( , , , ) ℒ( , = ℎ( ) − − =0 =0 , , ) = −ℎ ( ) = − = 0 Sehingga diperoleh lagrange multiplier: = = = ℒ( , , , ) =− ( − ) + ( − )′ ( − )′( − ) (2.21) Menurut Anselin (1988) matriks informasi ѱ untuk uji LM SEM adalah: ѱ= dimana = dan = { + ′ } Adalah matriks penimbang spasial. apabila = {( + dan sama, maka ) }. Uji hipotesis dilakukan di bawah , dimana = 0, maka akan diperoleh nilai sebagai berikut: = − ( − 0. = ( )+ 1 ) ( − + ) ( − )′( − 0. ( − ) 11 )′ ( − ) Karena matriks penimbang memiliki diagonal utama sama dengan nol, maka ( ) = 0, sedangkan ( − ) merupakan nilai vektor residual dari model regresi OLS, sehingga diperoleh: = 1 Dengan demikian diperoleh nilai statistik uji LM untuk model SEM sebagai berikut: = = ѱ 1 = 1 ′ ′ ′ Statistik uji (2.22) mengikuti distribusi ( ). akan ditolak jika LM > ( ), yang berarti terdapat efek spasial error. Kedua uji LM ini, perlu dilakukan untuk menentukan model regresi spasial apa yang akan terbentuk. Apabila Kedua uji spasial di atas ternyata menolak , berarti model regresi spasial yang terbentuk adalah model regresi spasial autoregressive with autoregressive disturbance atau model regresi spasial campuran. 2.4 Estimasi Parameter dengan Generalized Spatial Two-Stage Least Squares Ada 3 tahapan dalam melakukan estimasi parameter dengan generalized spatial two stage least squares (GS2SLS). Pada tahap awal, model spasial umum persamaan (2.3) diduga dengan menggunakan metode two-stage least squares (2SLS). Kemudian pada tahap kedua parameter spasial error ( ) diduga dengan generalized moment method (GMM). Pada tahap ketiga, Model regresi yang diperoleh pada tahap pertama diduga ulang dengan menggunakan 2SLS setelah model tersebut ditransformasi Cochran Orcutt untuk menghitung penduga parameter spasial autoregressive (λ) pada model akhir (Kalejian & Prucha, 1998). Persamaan model regresi spasial umum (2.3) dapat disederhanakan menjadi persamaan sebagai berikut : = + dimana dengan ( , = + (2.23) merupakan matriks gabungan antara ) dan dengan atau bisa ditulis juga = ( , ) yang merupakan vektor yang berisi penduga parameter 12 dan . Dengan menerapkan transformasi Cochrane-Orcutt maka model pada persamaan (2.7) dapat disajikan sebagai berikut : ∗ ∗ = ∗ dimana + = (2.24) − dan ∗ = − . Prosedur estimasi parameter dengan menggunakan GS2SLS adalah : i) Tahap 1 : Estimasi parameter model spasial autoregressive Pada model regresi spasial umum, elemen spasial autoregressive yaitu vektor saling berhubungan dengan error ( ) (bukti pada lampiran 8). Hal ini berakibat tidak dapat diduga secara konsisten dengan OLS karena [( ) ] ≠ 0. Sehingga diduga dengan metode 2SLS. =( ′ ) ′ (2.25) dimana = = , , = = ( ′ ) ′ Pendugaan dengan menggunakan metode 2SLS membutuhkan variabel instrumen . Pada tahap ini variabel instrumen yang digunakan berupa gabungan antara matriks dan = ( , atau taksiran spasial autoregressive : = + ). Pada tahap ini dihasilkan model . Dari model ini, dapat dihitung nilai residual tiap pengamatan yang hasilnya akan digunakan untuk memperoleh penduga parameter spasial error pada tahap kedua. ii) Tahap 2 : Estimasi Parameter Parameter akan diduga dengan menggunakan GMM. Dari model yang diperoleh pada tahap 1, akan diperoleh nilai . Selisih antara dihasilkan nilai residual yang dinotasikan dengan dengan akan . Nilai residual yang diperoleh pada tahap pertama akan digunakan sebagai vektor pengamatan untuk variabel random u pada model spasial error. Dari persamaan (2.3) diperoleh : = − = misalkan = maka : − (2.26) Jika kedua ruas pada persamaan (2.26) dikalikan dengan M 13 = = = dengan − − (2.27) dan = . Dengan melakukan manipulasi persamaan (2.26) dan (2.27) yaitu dengan mengkuadratkan persamaan (2.26) dan persamaan (2.27), kemudian mengalikan persamaan (2.26) dengan (2.27) dan membagi setiap persamaan dengan n, maka diperoleh tiga persamaan hasil manipulasi sebagai berikut : 2 ′ − ′ + ′ = ′ 2 ′ − ′ + ′ = ′ ( ′ + ′ )− ′ + ′ = ′ (2.28) Persamaan (2.28) dapat dibentuk menjadi persamaan momen sebagai berikut: 2 ( ′ )− ( )+ ( )− ( 2 E( ′ ) − ( )+ ( )− ( ′ )= 0 ( ′ + ′ )− ( )+ ( )− )= ( )= (2.29) dimana, ( )= ̅= = ( ′ )= [ = ( ′ )] [ ( ′ )] = ( ( ′ ) )=0 Sehingga persamaan (2.13) menjadi : 2 ( ′ )− ( )+ 2 E( ′ ) − ( )+ ( ( )+0− ( ′ + ′ )− ( − )= )− ( ′ )= ( )= (2.30) Persamaan (2.30) dapat disajikan dalam bentuk matrikss sebagai berikut: 2 2 ( ′ ) E( ′ ) ( ′ + ′ ) − − − ( ( ( ) ) ) 1 ( ) 0 14 − ( ) ( ′ ) = ( ) (2.31) Menurut Kalejian dan Prucha (1995) ada dua penaksir yang akan diduga yaitu dan . Penduga ini dapat diperoleh dari nilai dan . Dari matriks (2.31), maka diperoleh bahwa : 2 2 = ( ′ ) E( ′ ) ( ′ + ′ ) ( ( ( − − − ) ) ) 1 ( ) 0 = ( ) ( ′ ) ( ) = = Misalkan − (2.32) = , = dan diperoleh dari tahap pertama. Maka penaksir ′ ′ ′ + ′ = = − − − , dan merupakan parameter yang adalah G dan g yaitu: 1 ( ) 0 ′ (2.33) Sehingga diperoleh persamaan empiris untuk kondisi momen, yaitu: = − (2.34) dimana v merupakan vektor residual. Hasil penaksiran dengan Generalized Moment Method didefinisikan sebagai hasil meminimumkan jumlah kuadrat residual atau ,dengan langkah-langkah sebagai berikut: =[ − = ][ − − Hasil dari ] − + ′ ′ berupa skalar maka =( ) =( ) (2.35) simetris. Sehingga = ′ (2.36) Nilai taksiran α dapat diperoleh dengan meminimumkan nilai kuadrat residual, yaitu: ′ = −2 +2 =0 = ′ 15 Sehingga nilai taksiran =[ iii) ] adalah: ′ (2.37) Tahap 3 : Estimasi Model Akhir Tahapan terakhir pada prosedur GS2SLS adalah tahapan pendugaan model akhir. Penduga parameter spasial error ( ) yang diperoleh pada tahap kedua digunakan untuk menduga parameter tahap ketiga. Prosedur yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tahap 3, yaitu dengan menggunakan metode 2SLS. Hanya saja pada tahap ini, variabel awal di transformasi dengan menggunakan transformasi Cochran Orcutt (Kelejian &Prucha, 1998). disebut juga dengan penduga generalized spatial two stage least square atau penduga GS2SLS. yang diperoleh melalui formula : =[ ∗ ∗ ] ∗ ∗ (2.38) dimana, ∗ ∗ = = ( ′ ) ′ merupakan variabel instrument yaitu ( ∗ = = ∗ = ( )∗ ∗ − − − = ∗, ∗) atau ( ∗, ∗) − Setelah penduga diperoleh, maka model spatial autoregressive with autoregressive disturbances dapat dibentuk dengan mengembalikan variabel transformasi ke bentuk semula. 2.5 Matriks Penimbang Spasial Matriks penimbang spasial (W) biasanya ditentukan berdasarkan informasi atau kedekatan antara satu wilayah dengan wilayah lain (neighborhood). Menurut LeSage (1999) ada beberapa metode untuk mengukur kedekatan dengan menggunakan asas persinggungan (contiguity) wilayah, diantaranya adalah: 1. Linear contiguity (persinggungan tepi); mendefinisikan = 1 untuk wilayah yang berada di tepi (edge) kiri maupun kanan region yang menjadi perhatian, = 0 untuk wilayah lainnya. 16 2. Rook contiguity (persinggungan sisi); mendefinisikan = 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) dengan wilayah yang menjadi perhatian, =0 untuk wilayah lainnya. 3. Bishop contiguity (Persinggungan sudut); mendefinisikan = 1 untuk wilayah yang titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, 4. = 0 untuk wilayah lainnya. Double linear Contiguity (Persinggungan dua tepi); mendefinisikan =1 untuk dua entitas yang berada di sisi (edge) kiri dan kanan wilayah yang menjadi perhatian, 5. = 0 untuk wilayah lainnya. Double rook Contiguity (Persinggungan dua sisi); mendefinisikan =1 untuk dua entitas di kiri, kanan, utara dan selatan wilayah yang menjadi perhatian, 6. = 0 untuk wilayah lainnya. Queen contiguity (Persinggungan sisi sudut); mendefinisikan = 1 untuk dua entitas yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, = 0 untuk wilayah lainnya. Matriks penimbang spasial merupakan matriks dengan diagonal utama bernilai nol. Proses standarisasi perlu dilakukan terhadap matriks penimbang spasial agar diperoleh jumlah baris yang unity, yaitu jumlah barisnya sama dengan satu. Sebagai contoh, disajikan Gambar 2.1 yang merupakan ilustrasi dari lima region yang tampak pada suatu peta. (4) (3) (5) (2) (1) Gambar 2.1 Ilustrasi contiguity (persinggungan) Apabila digunakan metode rook contiguity maka diperoleh susunan matrikss berukuran 5 × 5 sebagai berikut : 17 1 2 3 1 0 2 ⎡1 ⎢ 3 ⎢0 4 ⎢0 5 ⎣0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 4 5 0 0 1 0 1 0 0⎤ ⎥ 1⎥ 1⎥ 0⎦ baris dan kolom menyatakan wilayah yang ada pada peta. Matriks penimbang spasial merupakan matriks simetris dengan diagonal utamanya selalu sama dengan nol. Matriks penimbang biasanya ditransformasi sedemikian rupa sehingga penjumlahan setiap unit pada baris sama dengan satu. Setelah ditransformasi, maka matrikss penimbang di atas menjadi : ⎡ ⎢ =⎢ ⎢ ⎣ 2.6 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ⎤ 0 ⎥ 0,5 0,5⎥ 0 0,5 0 0,5⎥ 0,5 0,5 0 ⎦ Keterkaitan antar Variabel Gambaran kondisi perekonomian suatu wilayah dapat diperoleh dengan mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi yang sering dikenal dengan konsep Produk Domestik Bruto (PDRB) sebagai salah satu indikator ekonomi regional. Laju pertumbuhan PDRB akan memperlihatkan proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Penekanan pada “proses”, karena itu mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu pemahaman indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya tahunan. Aspek tersebut relevan untuk dianalisa (Rustiono, 2008). Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto/Pendapatan Nasional Bruto tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999). Menurut teori pertumbuhan ekonomi klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi yang meliputi tingkat pertambahan barang modal, tingkat pertambahan tenaga kerja dan tingkat pertambahan teknologi (Sukirno, 2000). Sementara itu, menurut teori pertumbuhan Neo Klasik Tradisional, pertumbuhan ekonomi selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3 (tiga) faktor yakni kenaikan 18 kualitas dan kuantitas tenaga kerja, penambahan modal (tabungan dan investasi) dan penyempurnaan teknologi (Todaro, 2000). Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) menurut Romer (1994) memberikan penekanan pada pertumbuhan yang bersifat endogen. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari dalam sistem ekonomi. Teori ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi lebih ditentukan oleh sistem produksi, bukan berasal dari luar sistem (lihat Rustiono, 2008). Menurut Todaro (2000) pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja (AK) secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian daerah tersebut dalam menyerap dan secara produktif memanfaatkan pertambahan tenaga kerja tersebut. Omposunggu (2010) dalam penelitiannya mengenai pengaruh realisasi pendapatan dan belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara memperoleh temuan bahwa realisasi pendapatan asli daerah, realisasi pendapatan transfer, realisasi lain-lain pendapatan yang sah dan realisasi belanja daerah berpengaruh signifikan terhadap variabel respon pertumbuhan ekonomi daerah, baik secara simultan maupun secara parsial. Studi yang dilakukan oleh ekonom Arthur Okun mengindikasikan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran, semakin tinggi tingkat pengangguran, semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia, 2006). Ranis dan Stewart (2001) melalui penelitiannya mengenai pertumbuhan ekonomi di 76 negara berkembang di Amerika Latin pada periode 1960 - 1992 menunjukkan bahwa kemampuan baca tulis, angka harapan hidup, investasi dan distribusi pendapatan berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sodik (2006) melakukan studi mengenai pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data panel pada periode 1993 - 2003. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa investasi swasta tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, sedangkan pengeluaran pemerintah (pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin) berpengaruh dengan tanda negatif terhadap pertumbuhan 19 ekonomi regional. Variabel angkatan kerja berpengaruh signifikan dengan tanda negatif untuk tahun 1993 – 2003. Sementara itu, Wibisono (2001) menemukan bukti bahwa propinsi-propinsi yang memiliki modal dasar yang tinggi akan tumbuh lebih cepat. Selain itu, penelitiannya juga menunjukkan bahwa faktor letak geografis wilayah mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang dilakukan Suryanto (2011) menunjukkan bahwa angkatan kerja dan belanja pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah. Hasil serupa juga diperoleh melalui penelitian yang dilakukan oleh Rustiono (2008) di Jawa Timur periode 2008. Berdasarkan studi literatur di atas, maka penulis akan melakukan penelitian mengenai pengaruh kepadatan penduduk, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Angka Buta Huruf (ABH), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan belanja modal Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. 20 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Sumber data Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari beberapa sumber, yaitu publikasi Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, situs resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan situs resmi Bappenas. Kepadatan penduduk, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat pengangguran Terbuka (TPT), dan Angka Buta Huruf (ABH) diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik provinsi Jawa Timur. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan belanja modal pemerintah diperoleh dari situs resmi DJPK. Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) diperoleh melalui situs resmi Bappenas. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data pada tingkat kabupaten/kota tahun 2009, yang selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. 3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka variabel penelitian yang digunakan meliputi: Variabel respon: y : Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, Variabel penjelas: : Kepadatan penduduk : Tingkat Partispasi Angkatan Kerja (TPAK) : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) : Angka Buta Huruf (ABH) : Pendapatan Asli Daerah (PAD) : Dana Alokasi Umum (DAU) : Belanja modal pemerintah 21 3.2.2 Definisi Operasional Dalam penelitian ini konsep dan definisi operasional yang digunakan untuk setiap variabel penelitian adalah sebagai berikut: 1) Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah bruto yang timbul karena kegiatan proses produksi dari seluruh sektor ekonomi di suatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan merupakan nilai PDRB yang riil karena kuantum barang dan jasa dinilai berdasarkan harga berlaku pada tahun dasar 2000 (tidak termasuk perkembangan harga). Laju pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan laju perubahan PDRB riil berdasarkan harga konstan 2000. Pengukuran pertumbuhan ekonomi hanya didasarkan pada ada/tidaknya penambahan output produksi sektoral dalam satu periode tertentu.. Dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi diwakili oleh nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun dasar 2000, dengan satuan dalam juta rupiah. 2) Kepadatan Penduduk merupakan rasio antara jumlah penduduk suatu wilayah dengan luas wilayah tersebut. Kepadatan penduduk dinyatakan dalam jiwa/km2. 3) Tingkat Partispasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah rasio antara angkatan kerja dengan jumlah penduduk. Dengan kata lain yaitu besarnya jumlah penduduk yang masuk dalam pasar kerja. Badan Pusat Statistik mendefinisikan angkatan kerja sebagai penduduk usia kerja (berusia 15 tahun ke atas), dengan satuan persen. 4) Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur angka pengangguran. TPT menunjukkan jumlah penduduk yang tidak bekerja (pengangguran) terhadap jumlah angkatan kerja. Satuan yang digunakan adalah persen. 5) Angka Buta Huruf (ABH) merupakan proporsi penduduk usia tertentu yang tidak dapat membaca dan atau menulis huruf latin atau huruf lainnya terhadap penduduk usia tertentu. ABH merupakan salah satu indikator umum untuk melihat tingkat pendidikan di suatu wilayah dan diukur dalam persen. 6) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan asli yang berasal dari daerah itu sendiri berupa penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang 22 dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. PAD mencerminkan tingkat kemandirian daerah. 7) Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan komponen terbesar pembentuk anggaran pemerintah daerah. 8) Belanja modal pemerintah merupakan salah satu jenis pengeluaran pemerintah selain belanja operasional. Belanja modal adalah belanja yang memberi manfaat lebih dari 1 tahun dan nilainya material. Contoh dari belanja modal daerah adalah belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, belanja modal irigasi, dan lainnya. 3.2.3 Peta Jawa Timur Peta digital Jawa Timur digunakan sebagai panduan menentukan matriks penimbang spasial. Penelitian ini menggunakan matriks penimbang dengan pendekatan contiguity (ketetanggaan). Metode yang digunakan adalah rook contiguity, queen contiguity dan customized. Matriks penimbang customized yang digunakan merupakan matriks penimbang dengan kabupaten/kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Kabupaten/kota yang bertetangga langsung dengan kabupaten/kota pusat pertumbuhan ekonomi akan diberi kode 1. Sedangkan kabupaten/kota yang tidak bertetangga langsung akan diberi kode 0. Penentuan kabupaten/kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur didasarkan pada hasil penelitian Arifin (2008) yang telah mengidentifikasi kawasan andalan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi pada empat koridor yang meliputi : Koridor utara selatan : Kota Surabaya dan Kota Malang Koridor barat daya : Kota Kediri dan Kota Madiun Koridor timur : Kota Probolinggo dan Kabupaten Jember Koridor utara : Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Sumenep Gambar 3.1 merupakan peta Jawa Timur yang dijadikan sebagai dasar pembentukan matriks penimbang spasial. 23 Gambar 3.1 Peta Provinsi Jawa Timur Keterangan kode wilayah: 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 3.3 Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. Sampang Pamekasan Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Pobolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Konstruksi Model Persamaan Spatial autoregressive with autoregressive disturbances secara umum adalah sebagai berikut: =β +λ dimana −λ + + merupakan variabel respon pada kabupaten/kota ke-i, (3.1) merupakan variabel penjelas ke-k pada kabupaten/kota ke-i. Koefisien spasial autoregressive 24 dilambangkan dengan λ sedangkan merupakan koefisien spasial error dan merupakan matriks penimbang spasial antara kabupaten/kota ke-i dengan kabupaten/kota tetangganya (ke-j). Model pertumbuhan ekonomi yang akan dibentuk pada penelitian ini sebagai berikut: =β +λ =+ −λ + =+ + + + + + + + + + + + =+ 3.4 + + (3.2) Metode Analisis Metode dan tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini adalah : 1) Menyusun algoritma statistik uji Lagrange Multiplier untuk model SAR dan SEM serta estimasi parameter model regresi spasial dengan prosedur GS2SLS. a. Melakukan input data untuk variabel respon (y), variabel penjelas ( ) dan matriks pembobot (W). b. mencari nilai residual e dari model regresi OLS. c. Mendapatkan nilai statistik uji LM spasial autoregressive sebagai berikut: LM = (A + T) σ dimana, T = tr{( = − ( A=σ ( σ = 1 ) + } ) ) ( ) ′ 25 d. Mendapatkan nilai statistik uji LM spasial error sebagai berikut: LM = (T) σ dimana, T = tr{( σ = e. 1 ) } + ′ Membuat program aplikasi estimasi model regresi spasial dengan prosedur GS2SLS berbasis desain tampilan antarmuka (graphical user interface/GUI) dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB. 2) Melakukan pemodelan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur a. Membuat deskripsi PDRB dan variabel yang mempengaruhinya. b. Membuat diagram pencar untuk melihat hubungan antara variabel respon dengan variabel penjelas dan koefisien korelasi antar variabel penelitian. c. Menetapkan matriks penimbang spasial. Matriks Pada penelitian ini digunakan matriks penimbang (ketetanggaan). Matrik penimbang dengan dan pendekatan contiguity dalam penelitian ini adalah sama. Metode contiguity yang digunakan adalah rook contiguity dan queen contiguity. Selain itu juga akan dibentuk pula matriks penimbang customized berdasarkan konteks penelitian. d. Identifikasi awal adanya efek spasial dengan menggunakan uji Lagrange Multiplier. Hipotesis yang digunakan adalah: i) H : λ = 0 lawannya H : λ ≠ 0 (model SAR) ii) H : ρ = 0 lawannya H : ρ ≠ 0 (model SEM Langkah-langkah untuk melakukan uji LM adalah: i) Input data , , dan ii) Set nilai residual regresi OLS iii) Set σ = ′ iv) Set nilai S = − ( v) Set T = tr{( vi) Set A = σ ( + ) ′ ) } ) ( ) vii) Set output statistik LM Spasial autoregressive 26 LM = σ (A + T) Spasial error LM = σ (T) viii) Pengambilan keputusan : tolak H jika LM > ( ) Jika kedua hipotesis (i) dan (ii) gagal menolak H maka diperoleh model spatial autoregressive with autoregressive disturbances (gabungan antara model SAR dan SEM). e. Melakukan pemodelan pertumbuhan ekonomi dengan model regresi spasial sesuai dengan kesimpulan yang diperoleh dari uji LM. i) Jika hasil uji LM menunjukkan ada efek spasial autoregressive saja, maka model yang akan dibangun adalah SAR. Pendugaan parameter dilakukan dengan metode two stage least square yang merupakan bagian tahap pertama dari prosedur GS2SLS. ii) Jika hasil uji LM menunjukkan ada efek spasial error saja, maka model yang akan dibangun adalah SEM. Penduga parameter dilakukan dengan metode general moment procedure yang merupakan bagian tahapan kedua dari prosedur GS2SLS iii) Jika hasil uji LM menunjukkan ada kedua efek spasial, yaitu autoregressive dan error, maka model yang akan dibangun adalah model spatial autoregressive with autoregressive disturbances. Penduga parameter dilakukan dengan prosedur GS2SLS. f. Membuat model spatial autoregressive with autoregressive disturbances untuk memodelkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. g. Interpretasi model regresi spasial secara umum dan membandingkan model regresi spasial yang menggunakan penimbang rook contiguity, queen contiguity dan customized. 27 (Halaman ini sengaja dikosongkan) 28 BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini dibahas pembentukan model pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dengan menggunakan regresi spasial. Tahap awal akan disusun algoritma pemrograman uji Lagrange Multiplier dan algoritma prosedur GS2SLS untuk mengestimasi parameter model regresi spasial berikut juga dengan matlab code nya. Tahap selanjutnya, akan dibangun model regresi spasial yang sebelumnya didahului dengan uji Uji Lagrange Multiplier untuk melihat model regresi spasial yang paling sesuai untuk memodelkan kasus pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur. 4.1 Algoritma Pemrograman dan Desain Tampilan Antarmuka Pengguna 4.1.1 Algoritma Statistik Uji Lagrange Multiplier dan Estimasi Parameter dengan GS2SLS Algoritma di dalam bidang pemrograman merupakan suatu solusi dari suatu masalah yang harus dipecahkan dengan menggunakan komputer. Algoritma harus dibuat secara runut agar dapat dieksekusi. Algoritma juga harus dipikirkan sesuai dengan logika agar dapat lebih mudah dipetakan menjadi bahasa pemrograman untuk dieksekusi oleh komputer. Algoritma untuk statistik uji Lagrange Multiplier (LM) dan prosedur GS2SLS disajikan sebagai berikut : Algoritma Statistik Uji Spasial Autoregressive INPUT : X, y dan W OUTPUT : Solusi untuk statistik uji LM Autoregressive Step 1 Set = dimana − =( = − ( Step 2 Set Step 3 Set T = tr{( Step 4 Set D = σ ( dimana σ = Step 5 ) ′ ) + ′ ) } ) ( ) ′ Set Output 29 LM = Jika LM > Step 6 (D + T) σ ( ) maka tolak H Stop Algoritma Statistik Uji LM Model Spasial Error (SEM) INPUT : X, y dan W OUTPUT : Solusi untuk statistik uji LM error Step 1 = Set − =( dimana Step 2 Set T = tr{( Step 3 Set σ = Step 4 Set Output ) ) } + ′ LM = Jika LM > Step 5 ′ (T) σ ( ) maka tolak H Stop Algoritma Estimasi Model Spatial Autoregressive with Autoregressive Disturbances menggunakan prosedur GS2SLS Input : X,y dan W Output : Estimasi parameter model spasial autoregressive dengan autoregressive disturbance Step 1 Set variabel instrumen Step 2 Set =( , ) Set =( ′ ) dimana =( , ′ = , = = ( ′ ) Step 3 Set = ′ − 30 ) ′ ′ Step 4 Set G = − − ′ + ′ dimana = 1 Tr( − ) 0 − = = Step 5 Set g = Step 6 ′ Set estimasi parameter spasial error ρ Set =[ ] ′ Dimana ρ = Step 7 Set ∗ ∗ dimana Step 8 ∗ =( (1) ∗ , = ) −ρ mengestimasi parameter model spatial autoregressive with autoregressive disturbances Set ∗ ∗ =[ ∗ dimana ∗ ∗ ] ∗ = , ∗ = ( )∗ = ( y∗ ∗ y∗ = ∗ ∗ ∗ ∗ ′ ∗ ∗ ) ′ −ρ Stop Algoritma Estimasi Model Spasial Autoregressive menggunakan prosedur GS2SLS Input : X,y dan W Output : Estimasi parameter model spasial autoregressive Step 1 Set variabel instrumen H = ( , Step 2 Set =( , ) Set =( ′ ) dimana ′ = , = 31 ) = ( ′ ) ′ Stop Algoritma Estimasi Model Spasial Error menggunakan prosedur GS2SLS Input : X,y dan W Output : Estimasi parameter model spasial error Step 1 Set = Dimana − =( ′ ) ′ ′ Step 2 Set G = ′ + ′ dimana ′ − − − 1 Tr( ) 0 = = Step 3 Set g = Step 4 ′ Mendapatkan estimasi parameter spasial error ρ Set ρ= =[ ] ′ (1) Stop Algoritma tersebut disajikan dalam diagram alir yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3a dan 3b. 4.1.2 Desain Tampilan Antarmuka Pengguna Desain tampilan antar muka atau lebih dikenal dengan GUI (Graphical User interface) merupakan media tampilan grafis sebagai pengganti perintah teks bagi para pengguna (user). Perintah-perintah teks tersebut diganti dengan tombol-tombol. Program aplikasi yang dibuat dengan GUI menjadi lebih menarik, efektif dan atraktif (Away, 2010). Program aplikasi pada penulisan ini dibangun dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB 7.8.0 (R2009a). MATLAB menyediakan sebuah GUI designer yang terdapat dalam sebuah fungsi GUIDE yang memudahkan pengguna mendesain program aplikasinya. 32 Frame GUI program aplikasi estimasi parameter regresi spasial dengan prosedur GS2SLS terlihat seperti pada Gambar 4.1. Program aplikasi GS2SLS terdiri dari 3 bagian, yaitu input data, Proses, dan tampilan tabel data. Gambar 4.1 Desain tampilan antar muka pengguna (graphical user interface/GUI) program aplikasi estimasi parameter model regresi spasial dengan prosedur GS2SLS Bagian input data digunakan untuk melakukan input variabel penjelas dan variabel respon penelitian serta matriks penimbang spasial. Untuk input data, file yang digunakan harus berformat microsoft office excel. Bagian Proses, berisi Uji LM baik untuk LM spasial autoregressive maupun LM spasial error. Sedangkan Proses estimasi parameter bisa dipilih satu dari tiga model regresi spasial yang ada, yaitu model SAR, SEM atau model spatial autoregressive with autoregressive disturbances. Model regresi spasial yang sesuai dipilih berdasarkan hasil uji LM. 4.2 Pemodelan Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur 4.2.1 Deskripsi Pertumbuhan Ekonomi dan Variabel yang Mempengaruhinya Berikut ini merupakan deskripsi PDRB dan variabel yang mempengaruhinya seperti tersaji pada Tabel 4.1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata PDRB kabupaten/kota di Jawa Timur sebesar Rp. 8.427 (dalam miliar). Surabaya menjadi wilayah penghasil PDRB terbesar dengan besaran mencapai Rp. 83.807 (dalam 33 miliar). Sedangkan Kota Blitar merupakan wilayah penghasil PDRB terkecil, hanya mencapai Rp. 767 (dalam miliar rupiah). Variasi PDRB antar kabupaten/kota cukup tinggi. Untuk keperluan analisis data berikutnya, data PDRB akan ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural (ln) Kepadatan penduduk ( ) cukup bervariasi antar wilayah. Kepadatan penduduk tertinggi pada umumnya berada di wilayah perkotaan. Surabaya sebagai ibukota provinsi yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendidikan dan hiburan yang cukup lengkap serta lapangan pekerjaan yang bervariasi telah mengakibatkan kota ini memiliki daya tarik bagi penduduk kabupaten/kota lainnya untuk berpindah dan mengadu nasib di sini. Hal ini mengakibatkan Surabaya menjadi wilayah terpadat dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 8.063 jiwa/km2, Sedangkan Banyuwangi memiliki tingkat kepadatan terendah (266 jiwa/km2). TPAK ( ) merupakan salah satu indikator ekonomi di bidang ketenagakerjaan. Indikator ini mempunyai variasi yang cukup rendah yaitu sebesar 4,579%. TPAK tertinggi terdapat di Pacitan, sedangkan terendah berada di Kota Madiun. Jumlah lapangan pekerjaan yang tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja akan berakibat pada meningkatnya jumlah pengangguran. Variasi TPT ( ) antar wilayah sebesar 2,627%. Jumlah pengangguran di Kabupaten Pacitan merupakan yang terendah di Jawa Timur (1,32%), sedangkan Kota Madiun dengan TPT 11,27% merupakan yang tertinggi. Tabel 4.1 Statistik Deskriptif PDRB dan Variabel-Variabel yang mempengaruhinya Variabel PDRB ( ) Kepadatan Penduduk ( TPAK ( TPT ( ) ) ) Mean St Dev Minimum Maximum 8.427 138.789 767 83.807 1.885 2.141 266 8.063 69,47 4,58 59,36 82,97 5,33 2,63 1,32 11,27 ABH ( ) 10,60 6,85 2,03 28,44 PAD ( ) 77,7 137,6 19,2 864,1 DAU ( ) 519,4 174,6 218,1 959,1 202 254 73,7 1684 Belanja Modal ( ) 34 Angka Buta Huruf (ABH) merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan. Angka ini cukup bervariasi antar wilayah. ABH terendah terdapat di Kota Batu (2,03%) sedangkan yang tertinggi di Kabupaten Sampang (28,44%). Variasi nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Belanja modal pemerintah antar kabupaten/kota di Jawa Timur masih cukup tinggi. Jombang merupakan kabupaten penghasil PAD terendah, sedangkan PAD terbesar dihasilkan oleh Surabaya, yang diikuti dengan besarnya pula belanja modal pemerintah ( ) di kota ini yakni mencapai. Penerima DAU ( ) terbesar adalah Kabupaten Malang, yaitu sebesar Rp. 959,1 (dalam miliar rupiah), sedangkan Kota Batu yang bertetangga langsung dengan kabupaten ini memiliki share dana dari pemerintah pusat hanya sebesar Rp. 73,7 (dalam miliar rupiah). 4.2.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Variabel yang Mempengaruhinya Pada tahap awal, untuk melihat pola hubungan antara variabel penjelas ( ) dan variabel respon ( ) digunakan diagram pencar dan koefisien korelasi. Gambar 4.2 – 4.8 menyajikan diagram pencar antara PDRB dan masing-masing variabel penjelas, yaitu: kepadatan penduduk ( ( ), DAU ( ), dan belanja modal ( ), TPAK ( ), TPT ( ), ABH ( ), PAD ). Berikut penjelasan hubungan masing- masing variabel penjelas dan variabel respon: Pembangunan diharapkan dapat menjadikan manusia sebagai fokus utama dan subyek dari pembangunan itu sendiri. Hal ini dapat terealisasi jika kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia dapat diberdayakan secara maksimal. Peningkatan jumlah penduduk suatu wilayah yang salah satunya ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi, merupakan hal yang menggembirakan bila mampu diarahkan menjadi SDM yang potensial sehingga dapat berperan aktif dalam proses pembangunan. 35 90000 37 80000 70000 PDRB 60000 50000 40000 15 30000 30 20000 7 25 9 22 46 1417 23 813 16 5 29 24 18 12 227 262028 21 19 11 3 1 32 10 10000 38 33 31 34 36 35 0 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 Kepadatan penduduk 7000 8000 9000 Gambar 4.2 Diagram Pencar antara PDRB dan Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk yang tidak merata menyebabkan pembangunan hanya berpusat pada daerah-daerah tertentu yang padat penduduknya saja. Hal ini berdampak pada hasil pembangunan yang tidak dapat dinikmati secara merata sehingga menimbulkan kesenjangan sosial antara daerah yang padat penduduknya dan jarang penduduknya. Hubungan antara PDRB dan kepadatan penduduk tampak tidak berpola (acak) seperti terlihat pada Gambar 4.2. Tampak dari diagram pencar tersebut, Wilayah perkotaan merupakan amatan outlier yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi. TPAK merupakan besarnya jumlah penduduk yang masuk dalam pasar kerja. Dengan kata lain TPAK merupakan perbandingan antara angkatan kerja dan penduduk usia kerja (menurut definisi BPS usia kerja adalah 15 tahun ke atas). Semakin besar jumlah penduduk usia kerja maka semakin besar pula jumlah angkatan kerja. Hubungan antara TPAK dan PDRB umumnya positif, dimana semakin besar TPAK maka diharapkan semakin besar pula PDRB yang akan dihasilkan oleh suatu wilayah. Gambar 4.3 merupakan diagram pencar antara PDRB dan TPAK. Pola hubungan antara PDRB dan TPAK tidak berpola (acak). Tampak Kota Surabaya dan Pacitan merupakan amatan yang outlier. TPAK di Pacitan 36 merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 82,97%. Sedangkan TPAK di Surabaya 62,92%. 90000 37 80000 70000 PDRB 60000 50000 40000 15 30000 30 20000 32 10000 25 7 9 10 226 4 235 1614 13 24 17 29 18 21 12 227 19 2638 11 33 3135 34 8 36 20 3 28 1 0 60 65 70 75 80 85 TPAK Gambar 4.3 Diagram Pencar antara PDRB dan TPAK Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan salah satu indikator ekonomi untuk mengukur angka pengangguran. TPT menunjukkan rasio antara jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja. Pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran memiliki hubungan yang erat karena penduduk yang bekerja akan berkontribusi dalam menghasilkan barang dan jasa sedangkan pengangguran tidak memberikan kontribusi. Dengan kata lain, TPT dan PDRB umumnya memiliki hubungan negatif. Semakin tinggi TPT maka semakin kecil PDRB yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin kecil TPT maka PDRB yang dihasilkan semakin besar. Pada Gambar 4.4 terlihat pola hubungan yang tidak jelas antar TPT dan PDRB. Kota Surabaya (kode 37) terlihat sebagai amatan outlier pada hubungan ini. 37 90000 37 80000 70000 PDRB 60000 50000 40000 30000 15 30 20000 10000 8 13 5 29 12 11 1 27 28 7 10 9 22 4 6 23 14 24 16 17 18 2 203 21 26 19 25 38 32 33 31 34 35 36 0 0 2 4 6 TPT 8 10 12 Gambar 4.4 Diagram Pencar antara PDRB dan TPT Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Melalui pendidikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Pendidikan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Hal ini disebabkan karena pendidikan akan mempengaruhi produktivitas seseorang. Pendidikan dapat membuat manusia menjadi lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dalam pembangunan. Rendahnya mutu pendidikan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang. Hal ini akan berakibat pada rendahnya kualitas SDM yang akan masuk dalam pasar kerja. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kualitas SDM adalah Angka Buta Huruf (ABH) ABH merupakan proporsi penduduk usia tertentu yang tidak dapat membaca dan atau menulis huruf latin atau huruf lainnya terhadap penduduk usia tertentu. Pada umumnya, kualitas pendidikan dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah membentuk pola hubungan yang positif. Gambar 4.5 menunjukkan hubungan antara PDRB dan ABH yang terlihat tidak berpola linier 38 90000 37 80000 70000 PDRB 60000 50000 40000 15 30 30000 20000 32 25 7 10 4 617 14 16 5 18 19 333 120 10000 3835 34 36 31 9 23 22 24 2 8 21 28 13 29 1211 26 27 0 0 5 10 15 ABH 20 25 30 Gambar 4.5 Diagram Pencar antara PDRB dan ABH Pendapatan asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan ini dikelola dan diusahakan oleh pemerintah daerah sehingga mampu memberikan hasil yang maksimal terhadap pembangunan di daerah tersebut. Kegiatan ekonomi yang bervariasi. mendorong setiap daerah untuk mengembangkan potensi ekonominya. Semakin besar PAD yang diterima maka menunujukkan daerah itu mampu mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah pusat. Hubungan antara PAD dan PDRB umumnya berpola linier positif. Semakin besar PAD suatu daerah maka semakin besar pula PDRB yang dihasilkan. Gambar 4.6 menunjukkan hubungan antara PDRB dan PAD yang tidak berpola linier. Kabupaten/kota cenderung mengelompok pada bagian bawah kecuali Kota Surabaya (kode 37) yang terlihat sebagai amatan outlier yang memiliki PAD yang besar dan PDRB yang besar pula. 39 90000 37 80000 70000 PDRB 60000 50000 40000 15 30 30000 20000 25 32 7 910 22 4 1723 16 8 14 6 51329 18 12 26 21 220 27 19 28 33 38 35 1 31131 34 36 10000 24 0 0 100 200 300 400 500 PAD 600 700 800 900 Gambar 4.6 Diagram Pencar antara PDRB dan PAD Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sebuah instrumen dalam sistem hubungan keuangan pusat daerah yang berfungsi sebagai alat untuk memberikan kepada pemerintah daerah sebagian dari penerimaan pajak nasional. Hal ini dilakukan dengan cara transfer dari anggaran pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dengan demikian DAU menjadi bagian dari mekanisme redistribusi yang karenanya prinsip keadilan harus merupakan komponen terpenting dalam tujuan alokasi. Peran daerah menjadi sangat dominan dalam penentuan arah alokasi dan pemanfaatan DAU (Panggabean, 1999). Gambar 4.7 menunjukkan diagram pencar antara PDRB dan DAU yang memperlihatkan hubungan linier. Semakin besar DAU yang diterima kabupaten/kota, maka semakin besar pula PDRB yang akan dihasilkan. Kota Surabaya, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Jember terlihat sebagai amatan outlier yang memiliki DAU relatif besar apabila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. 40 90000 37 80000 70000 PDRB 60000 50000 40000 15 30000 30 20000 32 25 7 10 22 14 4 17 162313 8 2924 18 5 12 11 2620 2 21 27 19 3 28 1 10000 38 35 3336 34 31 9 6 0 200 300 400 500 600 DAU 700 800 900 1000 Gambar 4.7 Diagram Pencar antara PDRB dan DAU Pengeluaran pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan untuk nasional dan APBD untuk daerah/regional (Sukirno, 2000). Peranan pemerintah untuk melakukan pembangunan ekonomi sangat besar pengaruhnya dalam rangka tercapainya masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera, Oleh karena itu peranan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan harus benar-benar aktif dan positif. Dalam proses pelaksanaan pembangunan tersebut diperlukan anggaran yang tercermin dalam belanja pemerintah. Pada Gambar 4.8 terlihat kecenderungan hubungan positif antara PDRB dan belanja modal. Semakin besar belanja modal pemerintah maka semakin besar pula PDRB yang dihasilkan. Belanja modal pemerintah terbesar terdapat di Kota Surabaya yang terlihat memisah dari kelompok kabupaten/kota lainnya. Sedangkan kabupaten/kota lainnya cenderung mengelompok. 41 90000 37 80000 70000 PDRB 60000 50000 40000 15 30000 30 20000 25 32 7 9 10 413 1714 6 22 23 16 8 29 24518 12 20 2627 19 11 33221 28 38 35 1 36 4 3133 10000 0 0 200 400 600 800 1000 Belanja modal 1200 1400 1600 1800 Gambar 4.8 Diagram Pencar antara PDRB dan Belanja Modal Pemerintah Pola hubungan antar PDRB dan variabel penjelas yang mempengaruhinya bisa juga dilihat dari nilai koefisien korelasi seperti terlihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Koefisien korelasi dan p-value antar variabel penelitian PDRB Kpdtan pddk TPAK TPT ABH PAD Kepadatan Penduduk 0,471* 0,003* TPAK -0,356* 0,028* -0,625* 0,000* TPT 0,328* 0,045* 0,813* 0,000* -0,798* 0,000* ABH -0,294* 0,073* -0,607* 0,000* 0,452* 0,004* -0,741* 0,000* PAD 0,862* 0,000* 0,403* 0,012* -0,229* 0,168* 0,173* 0,299* -0,181* 0,277* DAU 0,415* 0,010* -0,343* 0,035* 0,060* 0,721* -0,249* 0,132* 0,170* 0,307* 0,309* 0,059* Belanja modal 0,927* 0,000* 0,410* 0,011* -0,245* 0,139* 0,183* 0,272* -0,166* 0,320* 0,933* 0,000* Ket : *) signifikan pada tingkat kepercayaan = 0,05 42 DAU 0,389* 0,016* Tabel 4.2 menunjukkan bahwa hubungan antara PDRB ( ) dengan kepadatan penduduk ( ), TPAK ( belanja modal ( ), TPT ( ), ABH ( ), PAD ( ), DAU ( ), dan ) signifikan pada tingkat kepercayaan 5%. Belanja modal dan PAD merupakan variabel penjelas yang mempunyai hubungan terbesar dengan PDRB. Nilai koefisien korelasi masing-masing variabel penjelas tersebut sebesar 0,927 dan 0,862. Hubungan antara kepadatan penduduk, TPT, PAD, DAU dan belanja modal dengan PDRB merupakan hubungan dengan arah yang positif. Sementara itu, hubungan antara TPAK dan PDRB adalah negatif. 4.2.3 Matriks Penimbang Spasial Pemodelan regresi spasial untuk memodelkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur menggunakan matriks penimbang spasial rook contiguity dan queen contiguity. Matriks penimbang rook contiguity dan queen contiguity menghasilkan matriks penimbang yang sama. Pemilihan rook contiguity dan queen contiguity berdasarkan bentuk wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur yang tidak simetris seperti terlihat pada Gambar 4.9 Gambar 4.9 Peta Kabupaten Jawa Timur Sebagai perbandingan, akan digunakan pula matriks penimbang customized yang merupakan modifikasi dari matriks penimbang rook contiguity. Matriks penimbang ini didasarkan pada kabupaten/kota yang dijadikan sebagai pusat 43 pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Kabupaten/kota yang bertetangga langsung dengan pusat pertumbuhan ekonomi akan diberi nilai 1, sedangkan yang tidak bertetangga langsung akan diberi nilai 0. Kabupaten/kota yang dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi meliputi, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Kediri, Kota Madiun, Kota Probolinggo, Kabupaten Jember, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Sumenep. Gambar 4.10 merupakan peta kabupaten/kota dengan matriks penimbang customized Gambar 4.10 Peta kabupaten/kota dengan matriks penimbang customized Pada Gambar 4.10, daerah yang berwarna hijau merupakan kabupaten/kota yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan wilayah yang berwarna biru merupakan kabupaten/kota yang bertetangga langsung dengan kabupaten/kota pusat pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, wilayah yang berwarna putih merupakan kabupaten/kota yang tidak bertetangga langsung dengan kabupaten/kota pusat pertumbuhan ekonomi. Matriks penimbang yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 5. 4.2.4 Identifikasi Efek Spasial Identifikasi awal untuk melihat adanya efek spasial pada model regresi dilakukan dengan menggunakan uji Lagrange Multiplier. Hasil uji ini juga bisa mengidentifikasi jenis model regresi spasial yang akan terbentuk, apakah model spasial autoregressive (SAR), spasial error (SEM), atau model spatial autoregressive with autoregressive disturbances. 44 a. Identifikasi efek spasial autoregressive Identifikasi ini dilakukan untuk melihat keterkaitan antar wilayah atau pengaruh efek spasial autoregressive. Hipotesis yang diajukan adalah : H : λ = 0 (tidak ada efek spasial autoregressive dalam model) H : λ ≠ 0 (ada efek spasial autoregressive dalam model) Hasil pengolahan dengan program aplikasi GS2SLS seperti terlihat pada Tabel 4.3. Nilai statistik uji LM autoregessive untuk penimbang rook/queen contiguity dan penimbang customized masing-masing sebesar 24,4559 dan 12,5177 dengan nilai p-value untuk kedua model sebesar 0,0000 dan 0,0004. Karena nilai p-value lebih kecil dari α yang telah ditetapkan (5%), maka keputusannya adalah menolak H yang berarti terdapat keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah lain. Dengan kata lain terdapat efek spasial autoregressive. Tabel 4.3 Hasil uji Lagrange Multiplier untuk model SAR rook contiguity/queen contiguity dan SAR customized Matriks Penimbang Rook/ Queen Jenis Statistik Uji Nilai P-value 24,4557 0,0000 0,1304 0,7180 LM autoregressive 12,5177 0,0004 LM error 0,3544 0,5516 LM autoregressive LM error Customized b. Identifikasi efek spasial error Identifikasi ini bertujuan untuk melihat apakah ada keterkaitan error antar wilayah atau apakah terdapat efek spasial error. Hipotesis yang diajukan adalah : H : ρ = 0 (tidak ada efek spasial error dalam model) H : ρ ≠ 0 (ada efek spasial error dalam model) 45 Hasil pengolahan dengan program aplikasi GS2SLS diperoleh nilai statistik uji LM error untuk penimbang rook contiguity/queen contiguity sebesar 0,1304 dan penimbang customized sebesar 0,3544 dengan nilai p-value masing-masing sebesar 0,718 dan 0,5516. Karena nilai p-value labih besar dari α yang telah ditetapkan (5%) maka keputusannya adalah tolak H yang berarti tidak ada keterkaitan error antar wilayah atau dengan kata lain tidak ada efek spasial error pada model. Berdasarkan hasil uji Lagrange Multiplier maka model regresi spasial yang sesuai untuk memodelkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur adalah model spasial autoregressive (SAR). 4.2.5 Model Regresi Spasial Model regresi spasial yang dapat diterapkan untuk pemodelan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur adalah model spasial autoregressive (SAR). Pengolahan untuk mendapatkan model regresi spasial dilakukan dengan menggunakan program aplikasi GS2SLS. Tabel 4.4 merupakan estimasi parameter model regresi spasial SAR dengan matriks penimbang rook/queen dan customized. Tabel 4.4 Estimasi parameter model SAR berdasarkan matriks penimbang rook contiguity/queen contiguity dan customized Rook contiguity Customized contiguity Variabel Penjelas Koefisien Konstanta Kepadatan Pddk ( TPAK ( ) ) P-value Koefisien P-value 0,0009 0,4999 0,0123 0,4987 0,0000 0,5836 0,0001 0,3197 -0,0169 0,6746 0,1508 0,0013* TPT ( ) 0,0800 0,2289 0,3116 0,0120* ABH ( ) -0,0017 0,5311 0,0240 0,1925 PAD ( ) -0,0012 0,7293 -0,0011 0,6833 DAU ( ) 0,0043 0,0000* 0,0043 0,0000* 0,0019 0,0475* 0,0015 0,1374 0,8601 0,0087 0,0354 0,0350 Belanja Modal ( Lambda ) Keterangan: *) signifikan pada α = 0,05 46 Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa dengan tingkat kepercayaan (α = 0,05), variabel penjelas DAU (X ) dan belanja modal (X ) signifikan pada model SAR penimbang rook/queen. Sedangkan pada model SAR penimbang customized variabel yang signifikan meliputi TPAK (X ), TPT (X ), DAU (X ). Model SAR yang terbentuk berdasarkan matriks penimbang dapat disajikan sebagai berikut: Model SAR penimbang rook/queen: y = 0,0009 + 0,8601 y − 0,0043X + 0,0019X (4.2) ; i = 1, 2, … ,38 R = 76,17% Model SAR penimbang Customized: y = 0,0123 + 0,0354 y + 0,1508X + 0,3116X + 0,0043X (4.3) ; i = 1, 2, … ,38 R = 91,82% Model spatial autoregressive with autoregressive disturbance customized Berdasarkan hasil uji LM, diketahui bahwa model SAR merupakan model yang sesuai untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur. Model spatial autoregressive with autoregressive disturbances tidak sesuai untuk memodelkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Tetapi, untuk menerapkan dan menunjukkan proses pembentukan model ini dengan menggunakan program aplikasi GS2SLS dalam mengestimasi model spasial autoregressive with autoregressive disturbances, maka berikut ini akan dibentuk model tersebut. Model diperoleh melalui tiga tahapan sebagai berikut: Tahap 1. Estimasi parameter spasial autoregressive Pada pahap ini parameter model SAR diduga dengan metode 2SLS. Pendugaan parameter dengan Metode 2SLS memerlukan suatu variabel instrument, yaitu =( , ). Model SAR yang terbentuk pada tahap ini adalah: 47 y = 0,0123 + 0,0354 ∑ y + 0,0001X + 0,1508X + 0,3116X y + 0,0240X − 0,0011X + 0,0043X + 0,0015X i (4.4) = 1, 2, … ,38 Dari model persamaan (4.4) dapat dicari nilai residual model ( ). Nilai residual ini akan dijadikan sebagai variabel pengamatan pada tahap 2 untuk menghitung penduga parameter spasial error ( ). Tahap 2: Estimasi parameter spasial error Pada tahap ini diperoleh penduga parameter spasial error ( ) sebesar 0,1422. Nilai penduga parameter spasial error ( ) ini akan digunakan untuk melakukan transformasi Cochran Orcutt pada tahap ketiga. Transformasi dilakukan untuk memperoleh ∗ , ∗ dan ∑ ∗ ; yang untuk estimasi model akhir. Adapun transformasi Cochran Orcutt yang digunakan adalah sebagai berikut: ∗ = − ∑ ∗ = − ∑ ∗ ∑ ; = ∑ ; ; − ∑ ; ; Tahap 3: Estimasi model akhir Tahapan ini merupakan estimasi model akhir. Setelah ditransformasi, maka pada tahapan ini terbentuk model sebagai berikut: ∗ ∗ = 0,0110 + 0,0382 ∑ + 0,2963 ∗ + 0,0292 ( ∗ )∗ + 0,0001 − 0,0013 ∗ ∗ + 0,1513 + 0,0042 ∗ ∗ + + 0,0014 (4.4) ∗ i = 1, 2, … ,38 Model pada persamaan (4.4) merupakan model yang masih dalam bentuk transformasi, dimana , , dan ditransformasi ke dalam bentuk: Model akhir dapat dibentuk dengan mengembalikan bentuk transfomasi ke bentuk semula. Jika persamaan (4.4) dikembalikan ke bentuk semula maka diperoleh model akhir sebagai berikut: 48 = 0,0110 + 0,0382 ∑ +0,1513 − 0,0054 ∑ ; + 0,2963 + 0,0292 + 0,0001 ; − 0,0013 + 0,0042 + + 0,0014 + −0,0002 ∑ ; − 0,0215 ∑ ; − 0,0421 ∑ ; + −0,0042 ∑ ; + 0,0002 ∑ ; − 0,0006 ∑ ; + −0,0002 ∑ ; i = 1, 2, … ,38 R = 86,86% (4.5) Keterangan variabel-variabel pada model: : merupakan variabel penjelas ke-k di kabupaten/kota ke-i. ∑ : merupakan penjumlahan PDRB terboboti dari kabupaten/kota ke- j yang terletak di sekitar kabupaten/kota ke-i. ∑ : merupakan penjumlahan variabel penjelas ke-k terboboti kabupaten/kota ke- j yang terletak di sekitar kabupaten/kota ke- i. ∑ : merupakan penjumlahan PDRB terboboti 2 kali dari kabupaten/kota ke- j yang terletak di sekitar kabupaten/kota ke-i. Model spatial autoregressive with autoregressive disturbances merupakan model gabungan antara model SAR dan SEM. Model ini terbentuk apabila variabel respon antar wilayah dan error antar wilayah terjadi secara bersama. Hasil pengolahan menunjukkan model ini menghasilkan nilai koefisien deteminasi sebesar 86,86%. Output selengkapnya bisa dilihat pada lampiran 8. 4.2.6 Interpretasi Model Model SAR dengan matriks penimbang rook/queen menghasilkan nilai koefisien determinasi sebesar 76,17% dengan variabel penjelas yang signifikan meliputi DAU ( ) dan belanja modal ( ). Kedua variabel ini berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunan (2009) bahwa pengeluaran pemerintah dalam hal ini belanja modal pemerintah mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi akan meningkat seiring dengan meningkatnya DAU 49 dan belanja modal pemerintah. Belanja modal pemerintah merupakan suatu investasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Investasi ini tidak berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan perekonomian masyarakat, tetapi memberikan sarana dan prasarana bagi kelancaran investasi oleh pihak swasta. Investasi pihak swasta inilah yang akan berpengaruh secara langsung terhadap perekonomian masyarakat. DAU merupakan dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bermanfaat untuk mengurangi ketimpangan keuangan antar daerah karena sumberdaya yang tidak merata antar daerah. DAU diharapkan dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk meningkatan pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat mempercepat pembangunan dan pemerataan hasil pembangunan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa DAU ( ) merupakan variabel penjelas yang signifikan dan berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi baik pada model SAR dengan matriks penimbang rook/queen maupun customized. Pada kedua model SAR, koefisien regresi DAU yang dihasilkan adalah sebesar 0,0043. hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan DAU sebesar 1 miliar rupiah maka PDRB akan meningkat sebesar exp(0,0043) yaitu 1,0043 miliar rupiah. Model SAR dengan matriks penimbang customized menghasilkan koefisien determinasi sebesar 91,82% dengan variabel-variabel penjelas yang signifikan, meliputi TPAK ( ), TPT ( ), dan DAU ( ). Ketiga variabel ini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa timur secara positif. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sitompul (2007) bahwa jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena tenaga kerja merupakan faktor produksi yang menggerakkan perekonomian. Selain itu tenaga kerja juga berkontribusi terhadap penerimaan daerah baik dari sektor pajak atau perannya sebagai konsumen. Teori ekonomi menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pengangguran maka semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Hal ini berkaitan dengan kontribusi penduduk yang bekerja dalam menghasilkan barang dan jasa sementara pengangguran tidak berkontribusi. hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori pertumbuhan ekonomi yang ada. Terlihat bahwa terjadi perubahan arah hubungan antara korelasi TPAK – PDRB (Tabel4.2) dengan koefisien regresi spasial model SAR penimbang customized untuk variabel TPAK. Hal ini diduga karena ada pengaruh multikolinieritas pada data. 50 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Program aplikasi berbasis GUI untuk mengidentifikasi efek spasial dan estimasi parameter dengan menggunakan prosedur generalized spatial two stage least squares (GS2SLS) dapat mempermudah pengolahan data untuk membangun model regresi spasial. 2. Hasil pengujian dependensi spasial dengan menggunakan uji Lagrange Multiplier menunjukkan bahwa model yang sesuai untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur adalah model spasial autoregressive (SAR). Pada model SAR rook/queen contiguity, Dana Alokasi Umum (DAU), dan belanja modal merupakan variabel yang signifikan dan berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Sementara itu, pada model SAR dengan penimbang customized, variabel yang signifikan adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Ketiga variabel ini berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Model SAR dengan penimbang rook/queen contiguity menghasilkan R2 sebesar 76,17%. Sedangkan model SAR dengan penimbang customized menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 91,82%. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka ada beberapa hal yang disarankan untuk penelitian selanjutnya, diantaranya: 1. Diduga terjadi kasus multikolinieritas pada model yang mengakibatkan adanya perubahan arah hubungan antara korelasi TPAK – PDRB dengan koefisien regresi TPAK pada model SAR penimbang customized. Sehingga apabila ingin dilakukan penelitian dengan menggunakan data yang sama maka perlu dilakukan tindakan lebih lanjut untuk mengatasi kasus multikolinieritas. 51 2. Penelitian ini menghasilkan model spasial autoregressive tanpa adanya autoregressive disturbances. Untuk menerapkan program aplikasi estimasi parameter model spasial autoregressive with autoregressive disturbances maka perlu dilakukan penelitian lainnya dengan menggunakan kasus yang mengandung spasial autoregressive sekaligus spasial error. 52 DAFTAR PUSTAKA Away, A. (2010). Matlab Programming. Bandung: Informatika Bandung. Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics: Method and Model. Kluwer Academic Publisher. Anselin, L., A.K.Bera, R.Florax &M.J.Yoon (1995). Simple DiagnosticTests For Spatial Dependence. Regional Science & Urban Economics 26, 77-104. Anselin, L. (2005). Chapter 29 Spatial Econometrics. http://www.palgrave.com/ econometrics/pdfs1/ch29_anselin.pdf. diunduh tanggal 14 Oktober 2011. Arifin, Z. (2008). Penetapan Kawasan Andalan dan Leading Sector sebagai Pusat Pertumbuhan pada Empat Koridor di Propinsi Jawa Timur. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Arsyad, L. (1999). Ekonomi Pembangunan. Yogya: STIE YKPN. Bank Indonesia, (2006). Laporan Perkembangan Ekonomi dan Perbankan Kep. Bangka Belitung Triwulan II 2006. http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/ 1DBECA27-4631-4596-B25C-98D419D8353A/10085/Boks1.diunduh tanggal 14 Oktober 2011. Bappenas, (2011). Data Dana Alokasi Umum Provinsi Jawa http://www.tkp2e-dak.org/. diunduh tanggal 21 Agustus 2011. timur. BPS Jawa Timur, (2010). Indikator Makro Jawa Timur 2010. Surabaya: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. Breusch, T.S. & A.R. Pagan. (1980), The LM Test and Its Application to Model Specification in Econometrics, Review of Economic Studies 47, 239-254. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2011). Data Keuangan Daerah Provinsi Jawa Timur. http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/72/. Diunduh tanggal 21 Agustus 2011. Draper, N., & Smith, H. (1998). Applied Regression Analysis. New york: John Wiley & Son Inc. Fingleton, Bernard.(2006). A Generalized Method of Moments Estimator for a spatial panel model with an endogenous spatial lag and spatial moving average. Paper prepared for the 13th International Conference on Panel Data. University of Cambridge. 53 Harviani, E,. (2008). Estimasi Model Spasial Dependen dengan Metode Generalized Spatial Two Stage Least Squares. http://www.lontar.ui.ac.id/login. jsp?requester=file?file=digital/126501-MAT.020-08-Estimasi%20modelHA.pdf. diunduh tanggal 15 Oktober 2011. Jamzani, S. (2006). Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Analisis Konvergensi antar Propinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 11 No. 1, 21-32. Kelejian, H. H., & Prucha, I. R. (1995). A Generalized Moments Estimator for the Autoregressive Parameter in a Spatial Model. International Economic Review. Department of Economics, University of Maryland, College Park. Kelejian, H. H., & Prucha, I. R. (1998). A Generalized Spatial Two Stage Least Squares Procedure for Estimating a Spatial Autoregressive Model with Autoregressive Disturbance. Journal of Real Estate Finance and Economics, Vol. 17:1, 99-121. Kelejian, H. H., & Prucha, I. R. (2002). 2SLS and OLS in a Spatial Autoregressive Model With Equal Spatial Weights. Regional Science & Urban Economics, 32, 691-707 LeSage, J. P. (1999). The Theory and Practice of Spatial Econometrics. http://www.econ.utoledo.edu. Diunduh tanggal 06 Agustus 2011. Nugroho, I., & Dahuri, R. (2004). Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. Ompusunggu, Z. (2010). Analisis Pengaruh Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Pada 8 kabupaten dan Kota di Sumatera Utara). Tesis: Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Panggabean, A., dkk. (1999), Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU): Konsep dan Formulasi Alokasi, http://web.mac.com/adrianpanggabean/Loose_Notes_on_ Indonesia/Decentralization_and_Local_Finance_files/konsep%20dan%20alo kasi%20DAU.pdf . Diunduh tanggal 12 September 2011. Ranis,G., & Steward. (2000). Economic Growth and human Development. World Development Vol 28 No.2, 197-219. Rustiono, D. (2008). Analisis Pengaruh Investasi, Tenaga Kerja dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Tengah. Tesis: Universitas Negeri Semarang. Sitompul, N. (2007). Analisis Pengaruh Investasi dan tenaga Kerja Terhadap PDRB Sumatera Utara. Tesis: Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara 54 Sodik, J., (2006).Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Analisis Konvergensi Antar Propinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol 11, No.1.Hal: 21 - 32. Suharto, E., (2011). Robust Lagrange Multiplier Pada Pemodelan Regresi Spasial Dependensi (Studi Kasus: Penyusunan Model Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Timur. Tesis: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Sukirno, S. (2000). Makroekonomi modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik hingga Keynesian Baru. Raja Grafindo Pustaka. Todaro, M. P. (2000). Pembangunan Ekonomi di dunia ketiga. Jakarta: Erlangga. Wibisono, Y. (2001). Determinan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Empiris Antar Propinsi Di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, \Vol.1, No.2. Yunan. (2009). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Tesis: Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 55 (Halaman ini sengaja dikosongkan) 56 Lampiran 1. Data Variabel yang Digunakan Dalam Penelitian Kab/Kota y (juta Rupiah) X1 (jiwa/km2) X2 (%) X3 (%) X4 (%) X5 (Rp miliar) X6 (Rp miliar) X7 (Rp miliar) 1 2 Pacitan Ponorogo 1.470.968,90 3.349.296,62 416 655 82,97 73,97 1,32 3,45 8,39 13,17 32,24 63,01 429,143 550,754 119,89505 143,90865 3 4 Trenggalek Tulungagung 2.240.351,28 7.760.314,64 560 948 75,93 73,95 3,91 4,54 6,79 6,04 51,04 59,08 465,955 625,049 123,62152 114,44883 5 6 7 8 Blitar Kediri Malang Lumajang 5.684.455,04 6.927.287,47 14.553.261,13 6.246.694,63 674 1,047 814 574 69,76 67,39 67,81 65,83 3 5,1 6,35 2,24 7,36 6,93 9,32 16,19 30,36 135,7 108,8 79,56 629,891 701,513 959,115 534,218 180,9819 232,11539 259,88483 102,72355 9 10 Jember Banyuwangi 11.016.901,71 11.156.379,46 940 266 68,41 70,27 4,42 4,05 15,34 12,16 50,68 66,16 940,413 766,844 263,08781 306,87196 11 12 13 Bondowoso Situbondo Probolinggo 2.266.449,13 3.557.210,62 6.774.251,95 454 381 653 71,33 72,73 74,08 2,88 2,28 2,6 20,91 20,38 20,92 58,08 32,75 38,25 455,458 433,451 537,651 89,055131 125,27987 126,83426 14 15 Pasuruan Sidoarjo 6.811.203,13 27.199.839,24 1,263 2,842 70,78 66,06 5,03 10,19 9,34 2,94 103,4 50,33 606,174 666,166 216,20582 265,50922 16 17 Mojokerto Jombang 6.259.408,93 6.330.500,77 1,465 1,439 70,41 69,11 5,54 6,19 6,59 7,28 61,38 19,23 502,185 601,46 103,4247 181,3633 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Nganjuk Madiun Mageta Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan 4.935.563,53 2.693.816,32 3.182.833,14 3.034.878,86 7.665.816,05 6.686.128,28 5.063.747,60 16.001.479,62 3.359.418,96 819 636 909 645 551 587 712 1,020 773 69,27 67,05 76,09 71,94 67,14 69,55 68,17 65,02 68,11 3,98 6,04 3,82 4,49 4,52 4,22 4,92 7,01 5,01 10,13 10,68 8,77 16,7 14,34 13,13 12,75 5,17 22,43 26,22 33,43 72,3 41,58 36,11 30,46 252,6 32,02 38,33 590,844 463,561 489,562 555,634 596,44 520,028 581,728 511,333 478,777 201,86395 106,63185 125,83376 160,33115 275,38809 222,85628 167,90253 139,93483 191,0718 27 28 Sampang Pamekasan 2.633.154,37 2.033.422,94 746 1,075 74,23 76,68 1,7 2,18 28,44 17,61 34,25 75,55 428,955 458,248 227,03024 115,16169 29 30 Sumenep Kota Kediri 5.166.190,56 23.216.098,54 509 4,300 73,36 64,22 2,27 8,32 21,83 2,64 55,66 32,8 565,861 408,256 150,05426 146,28895 31 32 33 34 35 36 37 38 Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu 766.553,18 13.494.787,89 2.014.169,66 1.099.806,53 1.259.461,78 1.131.837,53 83.807.075,74 1.359.532,05 4,096 7,458 4,067 4,936 6,885 5,398 8,063 2,043 66,15 62,51 65,26 66,78 66,78 59,36 62,92 68,49 8,47 10,44 8,53 7,57 9,3 11,27 8,63 6,88 3,67 3,63 7,08 3,46 2,62 3,55 2,1 2,03 73,45 23,41 86,5 21,08 25,62 36,09 864,1 22,58 225,704 471,748 259,539 230,77 238,05 272,311 765,895 218,141 79,231212 139,63282 105,76217 153,35729 130,62669 73,713989 1683,9539 124,51127 57 Lampiran 2a. Matlab Code untuk Uji Lagrange Multiplier Matlab code untuk uji LM error function Hasil=lm_error(y,x,w) [n k] = size(x); alpha=0.05; z=x'*x; % Menghitung Invers Matrik x'*x xin=inv(z); b=xin*x'*y;%menghitung beta e=y-x*b; sigma=e'*e/n; M=eye(n)-x*xin*x'; T=trace((w+w')*w); D=sigma*((w*x*b)'*M*w*x*b); R=(e'*w*e)/sigma; lmerr=(R*R)*(1/T) prob = 1-chi2cdf(lmerr,1); % Nilai probabilitas LM error chi2_tabel=chi2inv(1-alpha,1); Hasil=[lmerr chi2_tabel prob] Matlab code untuk uji LM Autoregressive function Hasil=lm_lag(y,x,w) [n k] = size(x); alpha=0.05; z=x'*x; % Menghitung Invers Matrik x'*x xin=inv(z); b=xin*x'*y;%menghitung beta M=eye(n)-x*xin*x'; e=M*y; sigma=(e'*e)/n; T=trace((w+w')*w); D=sigma*((w*x*b)'*M*w*x*b); R=(e'*w*y)/sigma; lmlag=(R*R)/(D+T); prob = 1-chi2cdf(lmlag,1); % Nilai probabilitas LM lag chi2_tabel=chi2inv(1-alpha,1); Hasil=[lmlag chi2_tabel prob] 58 Lampiran 2.b. Matlab Code untuk Estimasi Parameter Model Spatial Autoregressive with Autoregressive Disturbances dengan GS2SLS function Hasil=gssls(x,y,w) [n k]=size(x); %tahap pertama wy=w*y; wx=w*x; z=[x wy]; H=[x wx]; Hinv=inv(H'*H); PH=H*Hinv*H' wyhat=PH*wy; zhat=[x wyhat]; deltahat=inv(zhat'*zhat)*zhat'*y;%parameter spasial lag deltahat=deltahat'; yhat=deltahat*z'; yhat=yhat'; mean_obs1=[mean(x) mean(wy)]; b01=mean(y)-(deltahat*mean_obs1'); par1=[b01;deltahat']; obs1=[ones(38,1) x wy] yhat=par1'*obs1'; yhat=yhat'; uhat=y-yhat%residual %tahap kedua uhat1=w*uhat; uhat2=w*uhat1; T=trace(w'*w); a=[(2*uhat'*uhat1) -(uhat1'*uhat1) 1;2*(uhat1'*uhat2) (uhat2'*uhat2) T;((uhat'*uhat2)+(uhat1'*uhat1)) (uhat1'*uhat2) 0]; G=(1/n)*a; g=(1/n)*[uhat'*uhat;uhat1'*uhat1;uhat'*uhat1]; alf=inv(G'*G)*G'*g; rho=alf(1); %tahap ketiga xstar=x-(rho*w*x); ystar=y-(rho*w*y); wystar=wy-(rho*w*w*y); wxstar=wx-(rho*w*w*x); 59 Hstar=[xstar wxstar]; Hinvstar=inv(Hstar'*Hstar); PHstar=Hstar*Hinvstar*Hstar'; wyhatstar=PHstar*wystar; zhatstar=[xstar wyhatstar]; deltastarhat=inv(zhatstar'*zhatstar)*zhatstar'*ystar; ystarhat=deltastarhat'*zhatstar'; ystarhat=ystarhat'; ustarhat=y-ystarhat; %menghitung b0 wu=w*uhat; ym=mean(y); yw=mean(wy); uw=mean(wu); par=[deltastarhat;rho]; mean_obs=[mean(x) mean(yw) mean(uw)]; parmean=par'*mean_obs'; bo=ym-parmean; par_all=[bo;par]; obs=[ones(38,1) x wystar wu]; ystar2=par_all'*obs'; ystar2=ystar2'; %menghitung R-square r1=ystar2-ym; r1=r1'*r1; r2=y-ym; r2=r2'*r2; rsqr=r1/r2; Parameter_tahap1=[par1] parameter_tahap2=[alf] parameter_tahap2=[par_all] rsqr=[rsqr] 60 Lampiran 2c. Matlab Code Estimasi Parameter Model SAR dengan Two Stage Least Squares (2SLS) function results=sar(y,x,w) [n nvar]=size(x); results.y=y; results.nobs=n; results.nvar=nvar; %tahap pertama wy=w*y; wx=w*x; z=[x wy]; H=[x wx]; Hinv=inv(H'*H); PH=H*Hinv*H'; wyhat=PH*wy; zhat=[x wyhat]; zhat1=inv(zhat'*zhat); deltahat=zhat1*zhat'*y;%parameter spasial lag witohut b0 deltahat=deltahat'; yhat=deltahat*z'; yhat=yhat'; mean_obs1=[mean(x) mean(wy)]; %menghitung b0 b01=mean(y)-(deltahat*mean_obs1'); obs1=[x wy ones(38,1)]; par1=[deltahat';b01];%parameter tahap pertama (x1,..xnvar,lambda,b0) results.par1=par1; yhat=par1'*obs1'; yhat=yhat'; uhat=y-yhat;%residual uhat_=uhat'*uhat; var1=uhat_/n; %menentukan varian bi obs2=obs1'*obs1;%X'*X obs2=inv(obs2); cii=diag(obs2);%elemen diagonal X'*X var_bi=var1*cii; se_bi=sqrt(var_bi); t1=par1./se_bi; pval1=1-tcdf(t1,n-1); %menghitung R-square yp=obs1*par1;%menghitung y cap r1=yhat-mean(y); r1=r1'*r1; r2=y-mean(y); r2=r2'*r2; 61 rsqr=r1/r2*100; t1=t1; par1=par1; pval1=pval1; fprintf('******************\n') fprintf('Estimasi Model SAR\n') fprintf('******************\n') results.par1=par1; results.t1=t1; results.pval1=pval1; results.rsqr=rsqr; results.meth='SAR' results.resid=uhat; results.yp=yhat; Hasil_akhir=[par1 t1 pval1] %membuat plot antara nilai aktual dengan prediksi nobs=results.nobs; tt=1:nobs; clf; subplot(2,1,1),plot(tt,results.y,'-',tt,results.yp,'--') title([upper(results.meth),' Actual vs Predicted']); legend('Actual','Predicted'); 62 Lampiran 3a. Diagram Alir Uji LM Uji LM spasial autoregressive Uji LM spasial error START START , , =( ) = − σ = ) + 1 D=σ ( ) T = tr( ′ ) ) LM = ( 1 σ ′ (T) σ ) (D + T) Tidak ( ) Ya Gagal Tolak LM > Tidak ( ) STOP Ya Gagal Tolak ′ ) + σ = ′ ) LM > LM = ′ = − ( = − ( T = tr( =( ′ Tolak STOP 63 Tolak Lampiran 3b. Diagram Alir Estimasi parameter Model Spasial Autoregressive Model Spasial Error START START , , =( , = ) =( ′ ) ( ′ ) ′ = = = ′ − = = , =( ′ ) STOP Tr( ′ 1 G= n ) ′ ′ − − ′ + ′ − 1 64 1 Tr(w w) 0 Lampiran 3b. Diagram alir Estimasi parameter 1 g= 1 n =[ ′ ] ρ= ′ (1) STOP 65 Lampiran 3b. Diagram alir Estimasi parameter Model Spasial Campuran Spatial autoregressive with autoregressive disturbances 2 START , , =( , = =( ′ ) ) ( ′ ) = ′ − = = = = , Tr( =( ′ ) = ′ ) ′ 1 G= n − 2 ′ ′ − − ′ + ′ − 3 66 1 Tr(w w) 0 Lampiran 3b. Diagram alir dan Estimasi parameter 3 4 1 g= n y∗ = ′ ∗ =[ ] ∗ = ( ∗ , y ∗) ′ ∗ ρ= ∗ =[ ∗ ∗ ] (1) STOP ∗ ∗ = −ρ ∗ =( ∗ = ∗ ( ∗ , ∗ ′ ∗ ) ) ∗ ′ 4 67 ∗ ∗ Lampiran 4. Pengujian Asumsi Regresi SAR Pengujian Asumsi Regresi SAR penimbang customized Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah residual mengikuti distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Adapun hipotesis yang diajukan adalah: : residual berdistribusi normal : residual tidak berdistribusi normal ditolak jika statistik KS > KS1-α pada sejumlah pengamatan tertentu atau nilai dari p-value < α. Berdasarkan output pengolahan untuk model SAR penimbang icustomized diperoleh nilai KS = 0,121 dengan nilai p-value >0,150. sehingga diterima yang berarti residual berdistribusi normal. Gambar a memperlihatkan sebaran nilai residual model SAR penimbang customized. Normal 99 Mean StDev N KS P-Value 95 90 -1.46082E-18 0.6854 38 0.121 >0.150 80 Percent 70 60 50 40 30 20 10 5 1 -2 -1 0 C1 1 2 Gambar a. Plot residual model SAR Penimbang customized Uji heteroskedastis bertujuan untuk menguji apakah terjadi ketidaksamaan varians residual dari pengamatan satu dengan pengamatan lainnya pada suatu model regresi linier. Jika varians tetap maka disebut homoskedastis dan jika berbeda maka disebut heteroskedastis. Model regresi yang baik adalah model regresi dengan 68 varians tetap. Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastis. Diantaranya adalah dengan melihat diagram pencar antara nilai prediksi variabel respon (Zpred) dengan residual (Sresid). Jika diagram pencar tidak menunjukkan suatu pola tertentu, maka asumsi homoskedastis dapat diterima. Model regresi linier mengasumsikan bahwa autokorelasi tidak terjadi artinya tidak terjadi saling ketergantungan antar residual pengamatan satu dengan pengamatan lainnya. Autokorelasi dideteksi dengan menggunakan uji Durbin Watson. Adapun hipotesis yang diajukan adalah: : tidak terjadi autokorelasi residual : terjadi autokorelasi residual Statistik uji yang digunakan: = ∑ ( − ∑ ) merupakan residual pada pengamatan ke-t. Nilai d hitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai d teoritis yang terdiri dari batas bawah ( ) dan batas atas ( ). aturan pengambilan keputusan: Jika ( < ) dan ( > 4 − ) maka ditolak artinya terdapat autokorelasi pada residual. Jika berada pada ( < < ) atau di (4 − < <4− ) maka uji Durbin Watson tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti. Jika d terletak antara ( < <4− ) maka diterima artinya tidak ada autokorelasi. Dari hasil pengolahan diperoleh nilai statistik Durbin Watson yaitu d = 2,3217. Jika dibandingkan dengan statistik uji Durbin Watson untuk α = 0,05 dan n = 38 dengan variabel prediktor sebanyak 3 (dl = 1,318 dan du = 1,656) maka nilai statistik uji d terletak antara dan (4 − ) sehingga diterima artinya tidak terjadi autokorelasi residual. Pengujian Asumsi Regresi SAR penimbang rook/queen Berdasarkan output pengolahan untuk model SAR penimbang rook/queen diperoleh nilai KS = 0,424 dengan nilai p-value = 0,302. Karena p-value > α 69 sehingga diterima yang berarti residual mengikuti distribusi normal. Gambar b memperlihatkan sebaran nilai residual model SAR penimbang customized. Probability Plot of C1 Normal 99 Mean StDev N AD P-Value 95 90 -0.000005263 0.5574 38 0.424 0.302 Percent 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 C1 Gambar Plot residual model SAR Penimbang rook/queen Dari hasil pengolahan diperoleh nilai statistik Durbin Watson yaitu d = 2,2327. Jika dibandingkan dengan statistik uji Durbin Watson untuk α = 0,05 dan n = 38 dengan variabel prediktor sebanyak 3 (dl = 1,318 dan du = 1,656) maka nilai statistik uji d terletak antara dan (4 − ) sehingga autokorelasi residual. 70 diterima artinya tidak terjadi LAMPIRAN 5a. Matrik Penimbang Customized 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 5 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 71 7 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 8 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 1.000 1.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 10 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 12 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 13 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 LAMPIRAN 5a. Matrik Penimbang Customized (lanjutan) 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 5 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 8 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 10 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 12 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 13 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 14 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 15 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 16 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 18 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 19 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 20 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 21 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 22 0.000 0.000 0.000 0.167 0.167 0.167 0.000 0.167 0.000 0.167 0.167 0.000 23 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 24 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 25 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 26 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 27 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 28 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 29 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 30 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 31 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 32 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 33 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 34 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 35 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 36 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.333 0.333 0.333 0.000 0.000 0.000 0.000 37 0.000 0.333 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.333 38 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 72 LAMPIRAN 5a. Matrik Penimbang Customized (lanjutan) 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 5 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 8 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 10 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 12 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 13 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 14 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 15 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 16 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 18 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 19 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 20 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 21 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 22 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 23 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 24 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 25 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 26 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 27 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 28 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 29 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 30 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 31 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 32 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 33 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 34 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 35 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 36 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 37 0.333 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 38 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 73 Lampiran 5b. Matrik Penimbang Rook Contiguity/Queen Contiguity (lanjutan) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 0.000 0.333 0.333 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2 0.100 0.000 0.100 0.100 0.000 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3 0.250 0.250 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4 0.000 0.091 0.091 0.000 0.091 0.091 0.091 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 5 0.000 0.000 0.000 0.143 0.000 0.143 0.143 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6 0.000 0.077 0.000 0.077 0.077 0.000 0.077 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7 0.000 0.000 0.000 0.059 0.059 0.059 0.000 0.059 0.000 0.000 0.000 0.000 0.059 8 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.000 0.100 0.100 0.000 0.000 0.100 9 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.000 0.111 0.111 0.111 0.111 10 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.200 0.000 0.200 0.200 0.000 11 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.200 0.000 0.200 0.200 12 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.200 0.200 0.000 0.200 13 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.111 0.111 0.000 0.111 0.111 0.000 14 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.091 0.091 0.091 0.000 0.000 0.000 0.091 15 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 16 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.083 0.083 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 18 0.000 0.111 0.000 0.111 0.000 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 19 0.000 0.111 0.000 0.111 0.000 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 20 0.000 0.200 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 21 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 22 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 23 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 24 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 25 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 26 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 27 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 28 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 29 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 30 0.000 0.125 0.000 0.125 0.125 0.125 0.125 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 31 0.000 0.000 0.000 0.125 0.125 0.125 0.125 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 32 0.000 0.000 0.000 0.091 0.091 0.091 0.091 0.091 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 33 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.143 0.143 0.143 0.000 0.000 0.000 0.143 34 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.111 0.111 0.000 0.000 0.000 0.111 35 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 36 0.000 0.125 0.000 0.000 0.000 0.125 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 37 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 38 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.111 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 74 Lampiran 5b. Matrik penimbang Rook Contiguity/Queen Contiguity (lanjutan) 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.100 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4 0.000 0.000 0.000 0.000 0.091 0.091 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 5 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6 0.000 0.000 0.000 0.077 0.077 0.077 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7 0.059 0.059 0.059 0.059 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 8 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 10 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 12 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 13 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 14 0.000 0.091 0.091 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 15 0.100 0.000 0.100 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.000 16 0.100 0.100 0.000 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.100 0.000 17 0.000 0.083 0.083 0.000 0.083 0.000 0.000 0.000 0.083 0.000 0.083 0.083 0.000 18 0.000 0.000 0.000 0.111 0.000 0.111 0.000 0.000 0.111 0.000 0.111 0.000 0.000 19 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.000 0.111 0.111 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 20 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.000 0.200 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 21 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.200 0.000 0.200 0.000 0.000 0.000 0.000 22 0.000 0.000 0.000 0.125 0.125 0.125 0.000 0.125 0.000 0.125 0.125 0.000 0.000 23 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 0.250 0.250 0.000 24 0.000 0.000 0.143 0.143 0.143 0.000 0.000 0.000 0.143 0.143 0.000 0.143 0.000 25 0.000 0.167 0.167 0.167 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.167 0.167 0.000 0.000 26 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 27 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 28 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 29 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 30 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 31 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 32 0.091 0.091 0.000 0.091 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 33 0.143 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 34 0.111 0.111 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 35 0.000 0.200 0.200 0.200 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 36 0.000 0.000 0.000 0.000 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125 0.000 0.000 0.000 0.000 37 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 38 0.111 0.111 0.111 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 75 Lampiran 5b. Matrik Penimbang Rook Contiguity/Queen Contiguity (lanjutan) 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.333 0.000 2 0.000 0.000 0.000 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.100 0.000 3 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 4 0.000 0.000 0.000 0.091 0.091 0.091 0.000 0.000 0.000 0.000 0.091 0.000 5 0.000 0.000 0.000 0.143 0.143 0.143 0.000 0.000 0.000 0.000 0.143 0.000 6 0.000 0.000 0.000 0.077 0.077 0.077 0.000 0.000 0.000 0.077 0.077 0.077 7 0.000 0.000 0.000 0.059 0.059 0.059 0.059 0.059 0.059 0.000 0.059 0.059 8 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.100 0.100 0.000 0.000 0.100 0.100 9 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.111 0.000 0.000 0.111 0.000 10 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.000 11 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.000 12 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.000 13 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.111 0.000 0.000 0.111 0.000 14 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.091 0.091 0.091 0.000 0.000 0.091 0.091 15 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.000 0.100 0.100 0.000 0.100 0.100 16 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.100 0.100 0.000 0.100 0.100 17 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.083 0.000 0.000 0.083 0.000 0.083 0.083 18 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.111 0.000 19 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.111 0.000 20 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.200 0.000 21 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.200 0.000 22 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.125 0.125 0.000 23 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 24 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.143 0.000 25 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.167 0.000 26 0.333 0.333 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.333 0.000 27 0.000 0.250 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 28 0.250 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 29 0.333 0.333 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.333 0.000 30 0.000 0.000 0.000 0.000 0.125 0.125 0.000 0.000 0.000 0.000 0.125 0.000 31 0.000 0.000 0.000 0.125 0.000 0.125 0.000 0.000 0.000 0.000 0.125 0.125 32 0.000 0.000 0.000 0.091 0.091 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.091 0.000 33 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.143 0.000 0.000 0.143 0.000 34 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.000 0.000 0.000 0.111 0.000 35 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.000 36 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.125 0.000 37 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.027 0.000 0.027 38 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.111 0.000 76 Lampiran 6. Output Uji Lagrange Multiplier Uji LM matrik penimbang customized *************************************** Statistik Uji LM untuk spasial error *************************************** LM_error chi2 p_value : 0.3544 : 5.0239 : 0.5516 HIPOTESIS H_0: rho sama dengan nol H_1: rho tidak sama dengan nol Keputusan : Terima H_0 : Bukan model SEM ************************************************** Statistik Uji LM untuk spasial Autoregressive ************************************************* LM_lag : 12.5177 chi2 : 3.8415 p_value : 4.0311e-004 HIPOTESIS H_0: lambda sama dengan nol H_1: lambda tidak sama dengan nol Keputusan : Tolak H_0, Lambda tidak sama dengan nol maka MODEL SAR Uji LM matrik contiguity penimbang rook *************************************** Statistik Uji LM untuk spasial error *************************************** LM_error : 0.1304 chi2 : 5.0239 p_value: 0.7180 HIPOTESIS H_0: rho sama dengan nol H_1: rho tidak sama dengan nol Keputusan : Terima H_0 : Bukan model SEM 77 contiguity/queen ************************************************** Statistik Uji LM untuk spasial Autoregressive ************************************************* results = LM_lag : 24.4557 chi2 : 3.8415 p_value : 7.6038e-007 HIPOTESIS H_0: lambda sama dengan nol H_1: lambda tidak sama dengan nol Keputusan : Tolak H_0, Lambda tidak sama dengan nol maka MODEL SAR 78 Lampiran 7. Output Estimasi Parameter Model *************************************** SAR with Autoregressive Disturbances *************************************** y : [38x1 double] nobs : 38 nvar : 7 : [9x1 double] parameter_tahap1 : [38x1double] residual_tahap1 : 0.1422 rho : 0.0382 lambda : [9x1 double] parameter_tahap3 : [9x1 double] t_hit_3 : [9x1 double] R_square_model : 86.86 Estimasi parameter: Konstanta Koef 0.0001 0.1513 0.2963 0.0292 -0.0013 0.0042 0.0014 0.0382 0.0110 T hit 0.0000 0.0257 0.2190 0.0174 -0.0003 0.0002 0.0001 0.0149 0.0161 P value 0.5000 0.4898 0.4139 0.4931 0.5001 0.4999 0.4999 0.4941 0.4936 MODEL SAR MATRIKS PENIMBANG ROOK/QUEEN ****************** Estimasi Model SAR ****************** y : [38x1 double] nobs : 38 nvar : 7 par1 : [9x1 double] t1 : [9x1double] pval1 : [9x1double] rsqr : 91.8211 79 Estimasi Parameter Koefisien Konstanta Plot antara 0.0001 0.1508 0.3116 0.0240 -0.0011 0.0043 0.0015 0.0354 0.0123 T hitung 0.4723 3.2257 2.3522 0.8792 -0.4810 4.6699 1.1086 1.8659 0.0020 dengan p-value 0.3197 0.0013 0.0120 0.1925 0.6833 0.0000 0.1374 0.0350 0.4987 model SAR penimbang customized SAR Actual vs Predicted 20 18 16 14 12 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Actual Predicted 80 Lampiran 7. Output Estimasi Parameter Model (Lanjutan) MODEL SAR MATRIKS PENIMBANG ROOK/QUEEN ****************** Estimasi Model SAR ****************** y nobs nvar par1 t1 pval1 rsqr : : : : : : : [38x1 double] 38 7 [9x1 double] [9x1double] [9x1double] 76.1767 Estimasi Parameter Koefisien T HItung p-value -0.0000 -0.0169 0.0800 -0.0017 -0.0012 0.0043 0.0019 0.8601 0.0009 -0.2125 -0.4564 0.7502 -0.0787 -0.6163 5.5660 1.7132 2.4905 0.0001 0.5836 0.6746 0.2289 0.5311 0.7293 0.0000 0.0475 0.0087 0.4999 Konstanta 81 Lampiran 7. Output Estimasi Parameter Model (Lanjutan) Plot antara dengan model SAR penimbang rook/queen SAR Actual vs Predicted 20 18 16 14 12 0 5 10 15 20 25 30 35 Actual Predicted 82 40 Lampiran 8. Pembuktian saling berhubungan dengan error ( ) [( saling berhubungan dengan error ( ) maka [( ), ] = [( ), ] − [( )] [ ′] Asumsi: ( ) = 0 dan ( ) = 0 dan ( ) = [( ), ] = [( ), ), ] ≠ 0 (a.1) sehingga: ] (a.2) Model regresi spasial umum dapat ditulis dalam bentuk: =( − ) =( − ) + − ) (a.3) Kemudian substitusikan (a.3) ke persamaan (a.2) [( ), ] = {[( − [( ), ] = {( − [( ), ] = ( − [( ), ] = ) +( − ) ′+( − ) ( − ) ] ′} ) ) ′} ′] + [( − ) ( )] + ( − ) ] ( ) Karena ( ) = 0 sehingga: [( ), ] = ( − ( ) = {[( − ( )=( − ) ( ) ) ][( − ) [ ) ′][( − ]} ) ]} = [ ] bersifat independen sehingga Sehingga: ⎡ ⎢ ⎢ ⋮ ⎣ [ ]= [ [ ⎡ ] = ⎢⎢ [ ⎢ ⋮ ⎣ [ ⋮ [ ] ] ] 0 [ ]= 0 ⋮ 0 ⋯ ⋯ ⋱ ⋯ ⋮ 0 ] [ ] ⋮ [ ⋯ ⋯ ⋱ ⋯ ] ⎤ ⎥ ⋮ ⎥ ⎦ ⋯ ⋯ ⋱ ⋯ [ [ ] ⎤ ]⎥ ⋮ ⎥⎥ [ ] ⎦ 0 0 ⋮ 83 (a.4) = 0 karena ( ) = 0 [ ]= 1 0 0 1 ⋮ ⋮ 0 0 ⋯ ⋯ ⋱ ⋯ 0 0 = ⋮ 1 Sehingga persamaan (a.4) menjadi: ( )= ( − ) [( − ) ] dengan demikian diperoleh hasil: [( ), ] = ( − ) ( − ) [( − Karena masing-masingsuku tidak bernilai nol maka 84 ) ] [( ), ] ≠ BIODATA PENULIS Dilahirkan di Jakarta pada 05 Mei 1981, putra bungsu dari pasangan Syafrizal (alm) dan Dahniar, diberi nama MASLIM RAJAB SYAFRIZAL. Menyelesaikan pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi di Jakarta. Selepas menyelesaikan pendidikan kedinasan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Desember 2003, penulis ditugaskan di Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayawijaya Propinsi Papua. Di Kabupaten Jayawijaya inilah penulis memulai karir menjadi seorang statistisi dan mulai mencintai tanah Papua terlebih Wamena sebagai ibukota Kabupaten Jayawijaya. Pada tahun 2007, penulis dimutasi ke BPS Kabupaten Tolikara, sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya, dan menduduki jabatan sebagai Kepala Seksi Statistik Sosial dan Kependudukan. Jabatan ini tidak cukup lama diduduki, hingga akhirnya pada Januari 2010 penulis dimutasi ke Badan Pusat Statistik Provinsi Papua dan menduduki jabatan sebagai Kepala Sub Bagian Bina Program. Tidak lama berselang, Juli 2010 penulis melanjutkan studi di Institut Teknologi Surabaya (ITS). Dengan latar belakang pendidikan statistika sosial dan kependudukan, penulis memberanikan diri untuk menempuh pendidikan pasca sarjana jurusan statistika peminatan komputasi statistik. Karena penulis yakin dengan bekal usaha, harapan dan do’a tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Segala sesuatu akan memberikan hasil yang memuaskan apabila dikerjakan dengan kesungguhan dan keikhlasan. “Demi Masa, Jangan pernah engkau melalaikan waktu kawan, just believe it. “Yogotak Hubuluk Matok Hanorogo” sebuah ungkapan bahasa Suku Dani Wamena yang artinya “Hari esok harus lebih baik dari ini” tampaknya menjadi motto hidup penulis. Mudah-mudahan penulis dapat mengamalkan ilmu yang telah didapat ini dan dapat mengimplementasikannya kelak dalam dalam dunia kerja sehari-hari. [email protected] [email protected] 85