Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan

advertisement
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
PERTUMBUHAN DAN EFISIENSI PAKAN
IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN KANDUNGAN KROMIUM
BERBEDA
Growth and Feed Efficiency of Climbing Perth on the Diets Containing Various Chromium Content
1,2,3,4
Junius Akbar 1, Noor Arida Fauzana 2, Siti Aisiah 3, & Muhammad Adriani 4
Jurusan Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Lambung Mangkurat
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Organic chromium (Cr) has higher availability for animals than inorganic chromium sources. One of
organic chromium sources known is fungi or yeast contained high Cr. This organic chromium was incorporated to
fungi or yeast protein. Information about the best microorganisms used in organic chromium production is stil
llimited. The objective of this research was to study organic chromium production using different kinds of
microorganisms as chromium carrier. Organic chromium production was conducted in a 4 x 3 factorial completely
randomized experimental design with 3 replications. Factor A was chromium level (without Cr 0%, Cr 5%, Cr 10%,
and Cr 15%). Factor B (Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, and Rhyzopus oryzae). The results showed no
significant differences in absolute growth, feed convertion ratio, and feed efficiency among treatments. From this
research it can be concluded that addition of 10-15% Cr with Rhyzopus oryzae microorganism gave the higher
growth rate for Climbing perch.
Kata kunci: Chromium, Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhyzopus oryzae, growth, Climbing perch
PENDAHULUAN
Ikan betok (Anabas testudineus) merupakan ikan asli Indonesia yang hidup pada habitat perairan tawar dan
payau. Ikan ini banyak digemari masyarakat dan potensial untuk dikembangkan (Sarifin, 2005). Permintaan konsumen
terhadap ikan betook cukup tinggi sehingga pemasaran hasil budi daya ini tidak terdapat permasalahan yang berarti.
Beberapa tahun terakhir ini, penelitian ikan betok difokuskan pada aspek biologi (Tjahjo dan Kunto, 1998),
aspek nutrisi (Sunarto et al, 2008; Akbar dan Abdurrahim, 2010; Akbar et al, 2010), aspek kondisi lingkungan hidup
(Widodo et al, 2006; Akbar, 2009), aspek keragaman genetik (Slamat, 2009), dan aspek penyakit (Djauhari, 2006;
Akbar, 2011).
Pada umumnya ikan kurang mampu memanfaatkan karbohidrat. Penyebab kurang mampunya ikan
memanfaatkan karbohidrat pakan karena ikan tidak memiliki enzim pencernaan karbohidrat yang memadai di dalam
saluran pencernaan, selain enzim pencernaan, juga produksi insulin pada ikan rendah (Suryanti, 2003; Aryansyah et
al, 2007).
Karbohidrat yang telah diubah menjadi glukosa dapat segera di transport menjadi energi atau disimpan dalam
bentuk glikogen, kecepatan transport glukosa ke dalam sel dipercepat tergantung dari aktivitas hormon insulin
(Fujaya, 2004). Pemanfaatan glukosa darah yang semakin cepat untuk pemenuhan kebutuhan energi akan
mempengaruhi
katabolisme protein untuk energi sehingga menaikkan efisiensi protein, yang berarti dapat
meningkatkan pertumbuhan bobot tubuh ikan.
______________________________
1)
Korespondensi
Jurusan Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Lambung Mangkurat
Jl. A. Yani Km 36 Kotak Pos 6 Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Telp/Faks (0511) 4772124. E-mail: [email protected]
79
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
Untuk mengatasinya diperlukan imbangan kalori protein yang memadai agar tidak mengganggu protein
dalam pakan dan meningkatkan aktifitas hormon insulin dengan cara meningkatkan kandungan mikronutrien, yaitu
kromium (Cr). Kromium sebagai mikronutrien, mempunyai peran utama dalam interaksi yang disebut Glucose
Tolerance Factor (GTF). GTF memacu aktifitas insulin, membawa banyak glukosa ke dalam sel. Sel-sel akan
mengubah glukosa menjadi energi. Tambahan energi ini sebagai sumber energi untuk sintesis protein, pertumbuhan
jaringan tubuh, pemeliharaan sel dan peningkatan fertilitas.
Pemberian Cr dalam bentuk organik memberikan efek positif karena lebih mudah diabsorpsi, mempunyai
biovailability yang lebih baik dibandingkan Cr anorganik (Anderson et al, 1997). Pemberian Cr dalam pakan mampu
meningkatkan pemanfaatan karbohidrat sebagai sumber energi sehingga penggunaan energi dari protein pakan untuk
pertumbuhan meningkat. Penelitian kebutuhan akan Cr setiap jenis ikan berbeda-beda. Dari beberapa penelitian
dilaporkan bahwa penambahan Cr dapat meningkatkan transport glukosa darah pada ikan mas (Hertz et al, 1989), ikan
nila (Shiau dan Lin, 1993; Shiau dan Liang, 1995; Suryanti et al, 2004; Setyo, 2006), ikan gurami (Hastuti, 2005;
Mokoginta, 2005), ikan lele dumbo (Subandiyono dan Hastuti, 2008), ikan bawal air tawar (Susanto et al, 2007), dan
ikan betok (Akbar et al, 2010).
Pembentukan Cr organik dapat dilakukan dengan inkorporasi Cr ke dalam khamir dan kapang, yang
dilakukan melalui proses biofermentasi. Proses biofermentasi tersebut sangat ditentukan oleh spesies khamir dan
kapang yang paling tepat untuk menghasilkan Cr organik (Astuti et al, 2006; Jayanegara et al, 2006). Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengkaji kombinasi konsentrasi Cr organik dan starter berbeda dalam meningkatkan
efisiensi pemanfaatan pakan dan pertumbuhan ikan betok.
METODE PENELITIAN
Pakan uji yang digunakan dalam penelitian disusun formulasinya dan dicetak menjadi pellet dengan
penambahan Cr sesuai dengan perlakuan. Formulasi pakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Ikan yang digunakan pada penelitian ini ialah ikan betok. Pemeliharaan ikan di Laboratorium Manajemen
Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Wadah berupa bak plastik digunakan sebanyak 36 buah dengan volume air 45 liter
dan ketinggian air 20 cm. Setiap wadah diisi 10 ekor ikan dengan bobot rerata berkisar 7±1g yang diaklimatisasi
selama dua minggu sebelum dilakukan penelitian. Setelah diaklimatisasi, ikan dipuasakan selama 24 jam. Ikan
dipelihara 60 hari dengan pemberian pakan 2 kali sehari, yaitu pagi hari pukul 07.00-08.00 wita dan sore hari 17.0018.00 wita sebanyak 5% dari bobot biomassa. Dasar wadah disipon, air yang hilang akibat penyiponan diganti dengan
air yang baru hingga volume yang sama.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial, dengan Faktor A, yaitu tanpa
pemberian Cr 0%, penambahan Cr 5%, 10%, dan 15%. Faktor B, yaitu stater Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus
oryzae, dan Rhyzopus oryzae. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali.
Variabel yang diukur adalah pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan relatif, konversi pakan, efisiensi
pemanfaatan pakan, kadar glukosa darah, kelangsungan hidup, dan kualitas air (DO, pH, CO2, dan NH3).
80
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
Tabel 1. Formulasi Pakan Uji Ikan Betok
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Bahan
Gulma itik
Kacang kedelai
Rucah ikan
Keong mas
Bungkil kelapa
Vitamin dan mineral
CMC
Kanji
Jumlah
Sumber: Akbar et al, (2010).
Komposisi Bahan (%)
20
20
15
15
8,5
1,5
0,5
19,5
100
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Mutlak dan Pertumbuhan Relatif
Selama masa penelitian ikan betok mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan pertambahan bobot tubuh.
Data hasil pengukuran rerata bobot individu, pertumbuhan mutlak, dan pertumbuhan relatif seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Mutlak dan Pertumbuhan Relatif Selama Penelitian
Perlakuan
A1B1
A2B1
A3B1
A4B1
A1B2
A2B2
A3B2
A4B2
A1B3
A2B3
A3B3
A4B3
Rerata Bobot
Awal (g)
7,41
7,84
7,89
7,64
7,75
7,97
8,72
8,16
6,57
7,83
7,79
7,70
Rerata Bobot
Akhir (g)
15,81
16,54
22,31
20,39
18,09
22,63
24,72
22,22
15,63
25,23
24,84
25,75
Parameter
Pertumbuhan
Mutlak (g)
8,40
8,70
14,42
12,75
10,34
14,66
16,00
14,06
9,06
17,40
17,05
18,05
Pertumbuhan
Relatif (%)
113,36
110,97
182,76
166,88
133,42
183,94
183,49
172,30
137,90
222,22
218,87
234,42
Dari Tabel 2 di atas, pertumbuhan mutlak tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan Cr 15% dengan starter
Rhyzopus oryzae yakni 18,05 g/individu, diikuti perlakuan Cr 5% dan 10% dengan starter Rhyzopus oryzae yakni
17,40 g/individu dan 17,05 g/individu. Sedangkan pertumbuhan mutlak terendah terjadi pada kombinasi perlakuan Cr
0%, yakni 8,40 g/individu, diikuti perlakuan Cr 5% dengan starter Saccharomyces cerevisiae dan perlakuan Cr 0%
yakni 8,70 g/individu dan 9,06 g/individu.
Pertumbuhan mutlak individu selama masa penelitian untuk setiap kombinasi perlakuan dari pengamatan
mengalami pertumbuhan yang lambat pada 2 minggu pertama, kemudian baru meningkat lebih tajam. Hal ini diduga
pada awal penelitian energi yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang baru.
Perbedaan pertumbuhan akibat penambahan konsentrasi Cr yang berbeda pada pakan yang diberikan
berhubungan dengan peran Cr dalam optimalisasi penggunaan karbohidrat oleh ikan sebagai sumber energi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Watanabe et al, (1997) yang menyatakan bahwa salah satu hal penting dari Cr adalah mampu
meningkatkan potensi kinerja insulin yakni peningkatan situs reseptor insulin melalui kromodulin yakni faktor
toleransi glukosa yang mengikat Cr agar berperan penting dalam metabolisme karbohidrat dan lipid. Sumber energi
81
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
utama yang digunakan oleh ikan untuk keperluan pemeliharaan tubuh, pergerakan dan pertumbuhan adalah protein,
hal ini karena ikan kurang efektif dalam memanfaatkan sumber energi lain (lemak dan karbohidrat), sehingga
keberadaan Cr dalam pakan yang mampu meningkatkan efisiensi karbohidrat dan lipid, selanjutnya akan
meningkatkan pasokan energi dari pakan.
Peningkatan pasokan energi, memungkinkan alokasi energi untuk pertumbuhan menjadi meningkat, sehingga
pertumbuhan ikan betok yang diberi pakan ber Cr dengan konsentrasi yang tepat akan lebih cepat dibandingkan ikan
yang diberi pakan tanpa Cr atau dengan kandungan Cr yang tidak optimal. Berdasarkan data pertumbuhan mutlak
yang diperoleh, diketahui bahwa perbedaan konsentrasi Cr organik dengan starter berbeda memberikan pertumbuhan
mutlak yang berbeda terhadap ikan betok.
Hasil perhitungan analisis keragaman (Anova) pertumbuhan mutlak, menunjukkan tidak adanya perbedaan
pertumbuhan mutlak ikan betok diantara perlakuan. Di mana F hitung (3,24) < F tabel 5% (4,07) dan 1% (7,59),
berarti tolak H1 dan terima H0. Artinya penambahan Cr dalam berbagai konsentrasi dengan jenis starter yang berbeda
tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan mutlak atau pertambahan bobot ikan betok.
Pertumbuhan relatif ikan betok yang mengkonsumsi pakan ber-Cr lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tanpa Cr. Diduga bahwa Cr dapat memperbaiki penyerapan asam amino pada saluran pencernaan atau meningkatkan
inkorporasi asam amino pada jaringan. Dengan demikian, suplemen Cr ke dalam pakan ikan betok mampu
meningkatkan efisiensi pemanfaatan karbohidrat sebagai sumber energi metabolisme sel dan efisiensi penggunaan
protein untuk pertumbuhan. Adanya perbedaan pertumbuhan dari perlakuan selain perbedaan konsentrasi Cr juga
disebabkan perbedaan jenis starter.
Jenis pakan ini mengandung gizi atau nutrisi yang tepat (terutama protein) dan kadar gizi yang seimbang
serta mudah diserap oleh tubuh ikan betok. Pakan ikan harus mengandung nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhannya. Pakan yang lengkap umumnya mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral.
Kegunaan utama protein adalah sebagai zat pembangun tubuh, mengganti sel tubuh yang rusak, serta
mempertahankan tubuh dari serangan mikroba penyebab penyakit.
Hasil penelitian Mulyanti et al, (1995), ikan betok dengan pakan campuran pellet + ikan rucah (50 : 50)
dengan rerata bobot awal 8,8g dipelihara selama 2 bulan diperoleh rerata bobot akhir 26,4g. Sedangkan Djajasewaka
et al, 1995, pemberian formulasi pakan (tepung ikan, tepeung kedelai, tepung pollard, dedak halus, dan bungkil
kelapa) dengan rerata bobot awal 17,7g setelah dipelihara 10 minggu memberikan rerata bobot akhir
34,13g.
Kombinasi perlakuan konsentrasi Cr 15% dengan starter Rhyzopus oryzae bobot awal 7,70g dipelihara selama 60 hari
(2 bulan) diperoleh rerata bobot akhir 25,75g. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian di atas
karena dengan bobot awal 7,70g setelah dipelihara selama 2 bulan memberikan pertumbuhan mutlak 18,05g dan laju
pertumbuhan relatif sebesar 234,42%.
Hasil perhitungan analisis keragaman (Anova) laju pertumbuhan relatif, menunjukkan tidak adanya
perbedaan laju pertumbuhan relatif ikan betok diantara perlakuan. Di mana F hitung (3,06) < F tabel 5% (4,07) dan
1% (7,59), berarti tolak H1 dan terima H0. Artinya penambahan Cr dalam berbagai konsentrasi dengan jenis starter
yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan relatif ikan betok.
82
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
Konversi dan Efisiensi Pakan
Besar kecilnya nilai konversi pakan merupakan gambaran tentang tingkat efisiensi pakan yang diberikan.
Semakin kecil nilai konversi pakan, semakin efisiensi pakan yang diberikan dalam menunjang pertumbuhan ikan
(Mudjiman, 2000).
Jumlah bobot pakan yang diperlukan untuk pertumbuhan atau menambah bobot badan disebut konversi
(Mudjiman, 2000). Nilai konversi pakan digunakan untuk mengetahui baik buruknya kualitas pakan yang diberikan
untuk pertumbuhan ikan. Rendahnya konversi pakan berarti makin tinggi efisiensi pakan tersebut dan sebaliknya
makin tinggi nilai konversi pakan maka makin rendah efisiensinya.
Nilai konversi pakan sebenarnya bukan merupakan angka mutlak, karena tidak hanya ditentukan oleh
kualitas pakan, akan tetapi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti jenis ikan dan ukuran ikan, jumlah padat
tebar, kualitas air, dan faktor genetik (Sumeru dan Anna, 1992).
Tabel 3. Rerata Nilai Konversi Pakan pada Setiap Perlakuan
Faktor B
(Jenis Starter)
B1 (Saccharomyces cerevisiae)
B2 (Aspergillus oryzae)
B3 (Rhyzopus oryzae)
0%
(A1)
2,79
2,85
2,80
Faktor A (Cr)
5%
10%
(A2)
(A3)
2,80
2,40
2,10
2,01
2,10
1,73
15%
(A4)
2,13
2,18
1,78
Dari Tabel 3, diperoleh bahwa nilai konversi pakan yang tertinggi selama masa pemeliharaan, terdapat pada
perlakuan Cr 0% dengan starter Aspergillus oryzae (2,85) dan yang terendah perlakuan Cr 10% dengan starter
Rhyzopus oryzae (1,73), dan diikuti perlakuan Cr 15% dengan starter Rhyzopus oryzae (1,78).
Kisaran umum nilai konversi pakan ikan berkisar antara 1,5-8 (Mudjiman, 2000). Kalau dilihat dari nilai
konversi pakan yang digunakan selama penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa nilai kisaran konversi pakan
tersebut termasuk tinggi, namun masih berada dalam kisaran umum nilai konversi pakan yang digunakan.
Hasil perhitungan analisis keragaman (Anova) nilai konversi pakan, menunjukkan tidak adanya perbedaan
nilai konversi pakan ikan betok di antara perlakuan. Di mana F hitung (2,90) < F tabel 5% (4,07) dan 1% (7,59),
berarti tolak H1 dan terima H0. Artinya penambahan Cr dalam berbagai konsentrasi dengan jenis starter yang berbeda
tidak berpengaruh nyata terhadap nilai konversi pakan ikan betok.
Parameter lain yang dapat dijadikan untuk menilai kualitas pakan adalah efisiensi pemanfaatan pakan. Nilai
efisiensi pemanfaatan pakan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rerata Nilai Efisiensi Pakan pada Setiap Perlakuan
Faktor B
(Jenis Starter)
B1 (Saccharomyces cerevisiae)
B2 (Aspergillus oryzae)
B3 (Rhyzopus oryzae)
0%
(A1)
35,79
35,11
35,70
Faktor A (Cr)
5%
10%
(A2)
(A3)
35,75
41,75
47,55
49,70
47,60
57,66
15%
(A4)
46,99
45,90
55,88
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa efisiensi pakan dari kombinasi perlakuan yang digunakan antara
35,11-57,66. Pakan pada perlakuan Cr 10% dan 15% dengan starter Ryzopus oryzae mempunyai nilai konversi dan
efisiensi terbaik.
83
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
Pakan yang dimakan oleh ikan, akan dicerna sepanjang saluran pencernaan dengan bantuan berbagai macam
enzim pencernaan menjadi senyawa-senyawa sederhana sehingga dapat diserap melalui dinding usus masuk dan
melalui aliran darah ditransportasikan ke seluruh sel, untuk selanjutnya melalui berbagai proses fisiologis akan
dihasilkan energi. Ada 3 macam sumber energi, yaitu protein, lemak, dan karbohidrat. Sumber energi yang utama
pada ikan adalah protein, karena protein inilah yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ikan. Sehingga
optimalisasi sumber energi lain (lemak dan karbohidrat) dapat meningkatkan efisiensi nutrisi pakan. Penambahan Cr
diperkirakan akan memacu kerja insulin, sehingga glokusa dapat masuk ke dalam sel melalui aliran darah. Selanjutnya
di dalam sel karbohidrat akan mengalami proses glikolisis, sehingga terbentuk asam piruvat, dan selanjutnya asetilKoA untuk dioksidasi dalam siklus asam sitrat (Siklus Kreb’s). Siklus asam sitrat merupakan jalur bersama oksidasi
karbohidrat, lipid, dan protein. Pada proses oksidasi yang dikatalisir enzim dehidrogenase, 3 molekul NADH dan 1
FADH2 akan dihasilkan untuk setiap molekul asetil-KoA yang dikatabolisir dalam siklus asam sitrat. Dalam hal ini
sejumlah ekuivalen pereduksi akan dipindahkan ke rantai respirasi dalam membran internal mitokondria. Selama
melintasi rantai respirasi tersebut, ekuivalen pereduksi NADH menghasilkan 3 ikatan fosfat berenergi tinggi melalui
esterifikasi ADP menjadi ATP dalam proses fosforilasi oksidatif. Namun demikian FADH2 hanya menghasilkan 2
ikatan fosfat berenergi tinggi. Fosfat berenergi tinggi selanjutnya akan dihasilkan pada tingkat siklus itu sendiri (pada
tingkat substrat) pada saat suksinil KoA diubah menjadi suksinat (Fujaya, 2004; Subandiyono dan Hastuti, 2009).
Dengan masuknya glukosa sebagai sumber energi ke dalam siklus asam sitrat, maka akan menambah jumlah
molekul asetil KoA, sehingga energi yang dihasilkan juga semakin bertambah. Dengan meningkatnya jumlah energi
yang dihasilkan, maka alokasi energi untuk pertumbuhan juga bertambah dan pertumbuhan akan semakin meningkat.
Peningkatan laju pertumbuhan terutama berat akan meningkatkan jumlah pertambahan berat daging ikan dalam satuan
waktu tertentu. Semakin besar pertambahan berat daging ikan, maka akan semakin kecil nilai konversi pakan dan akan
semakin baik (besar) nilai efisiensi pakan tersebut.
Hasil perhitungan analisis keragaman (Anova) nilai efisiensi pakan, menunjukkan tidak adanya perbedaan
efisiensi pemanfaatan pakan ikan betok di antara perlakuan. Di mana F hitung (2,91) < F tabel 5% (4,07) dan 1%
(7,59), berarti tolak H1 dan terima H0. Artinya penambahan Cr dalam berbagai konsentrasi dengan jenis starter yang
berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi pemanfaatan pakan.
Protein adalah nutrient yang penting dalam pakan ikan baik dilihat dari pertumbuhan maupun biaya pakan
secara total (bagian terbesar dari biaya total produksi). Kadar protein pakan merupakan hal yang sangat penting dalam
proses penyusunan pakan buatan bagi ikan. Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri atas asam
aminoesensial dan asam amino nonesensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan. Kebutuhan
protein dan pertumbuhan ikan memiliki hubungan yang linear. Selain itu, bahan-bahan sumber protein relatif mahal,
sehingga perlu dilakukan usaha untuk menurunkan kadar protein dalam pakan dan meningkatkan rasio energi terhadap
protein dengan menambah bahan-bahan lain yang mengandung lemak atau karbohidrat sebagai sumber energi lain
(protein sparing effect). Walaupun protein dapat digunakan sebagai sumber energi, hal ini perlu dihindari karena
harganya relatif mahal serta tergantung pada kualitas protein dan ketersediaan energi dari lemak dan karbohidrat.
Protein harus dimanfaatkan untuk pertumbuhan bukan untuk diubah menjadi energi atau disimpan sebagai lemak
tubuh (NRC, 1997).
84
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
Retensi protein merupakan perbandingan dari jumlah protein yang tersimpan dalam tubuh ikan dengan
jumlah protein yang diberikan selama penelitian. Retensi protein ikan betok selama penelitian dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Nilai Retensi Protein pada Setiap Perlakuan
Faktor B
(Jenis Starter)
0%
(A1)
12,68
15,83
16,06
B1 (Saccharomyces cerevisiae)
B2 (Aspergillus oryzae)
B3 (Rhyzopus oryzae)
Faktor A (Cr)
5%
10%
(A2)
(A3)
16,20
15,80
16,57
18,16
21,03
20,29
15%
(A4)
16,14
17,93
19,98
Kadar protein, rasio protein energi dan interaksi antara keduanya memberikan pengaruh secara signifikan
terhadap nilai retensi protein. Dari Tabel 5 di atas, nilai retensi protein tertinggi pada perlakuan konsentrasi Cr 5%,
10%, dan 15% dengan starter Rhyzopus oryzae yakni 21,03; 20,29 dan 19,98.
Ikan dapat memanfaatkan protein dalam jumlah besar sebagai sumber energi untuk metabolisme energi. Oleh
karena itu, ikan dapat diberi pakan dengan kadar protein tinggi seperti ikan rucah. Namun, hal ini tidak efisien
mengingat semakin tinggi protein pakan yang diberikan maka harga pakan semakin tinggi. Ikan dapat memiliki
sendiri berapa jumlah protein dalam pakan yang akan dikonversikan untuk pertambahan bobot dan berapa yang akan
dibakar melalui proses katabolisme.
Kadar Glukosa Darah
Glukosa merupakan kadar gula sederhana yang terdapat dalam darah. Darah adalah cairan yang terdapat pada
hewan tingkat tinggi yang berfungsi sebagai alat transfortasi zat seperti oksigen, bahan hasil metabolisme tubuh,
pertahanan tubuh dari serangan kuman, dan lain sebagainya. Kadar glukosa normal biasanya diukur dalam keadaan
puasa (8-10 jam tidak makan), yaitu sekitar 70-120 mg/dL.
Pada penelitian ini glukosa darah diperiksa pertama kali pada waktu pagi hari sebelum diberi makan (jam ke0), setelah itu diperiksa lagi setiap selang satu jam setelah diberi makan (jam ke-1, 2, 3, 5, 7, dan jam ke-9), sedangkan
selang waktu ke-4, ke-5, dan ke-6 diperiksa setiap dua jam sekali.
Tabel 6. Hasil Pengukuran Glukosa Darah Ikan Betok
Perlakuan
A1B1
A2B1
A3B1
A4B1
A1B2
A2B2
A3B2
A4B2
A1B3
A2B3
A3B3
A4B3
0
33
27
35
25
27
35
30
36
28
47
49
33
Kandungan Glukosa Darah pada Pemeriksaan Jam ke1
2
3
5
7
61
89
76
58
62
98
75
57
67
72
88
85
59
50
60
79
77
59
50
89
68
79
62
50
64
90
76
58
62
49
110
69
57
65
63
79
58
65
64
38
78
79
68
47
58
106
55
59
50
60
92
61
59
59
56
89
59
66
65
60
9
61
53
45
60
50
31
49
59
47
35
39
28
85
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
Pada Tabel 6, terlihat bahwa pada saat sebelum ikan betok diberi makan, kandungan glukosa darah
merupakan yang terendah, dan kemudian semakin meningkat setelah ikan diberi makan, dan mencapai puncaknya
pada pengamatan jam ke-1 setelah diberi pakan yang mengandung Cr dan pada pengamatan jam ke-2.
Perbedaan titik puncak glukosa darah antar perlakuan diduga disebabkan oleh perbedaan konsentrasi Cr, di
mana pada pakan yang diberikan konsentrasi Cr cenderung kandungan glukosa darah cepat naik dan mencapai titik
maksimum pada jam ke-1 setelah diberi makan, sedangkan yang tidak diberi Cr perubahan kandungan glukosa darah
lebih lambat dan mencapai titik maksimum pada jam ke-2 setelah pemberian pakan.
Berdasarkan pada pola kadar glukosa darah sebelum dan sesudah ikan mengkonsumsi pakan menunjukkan
bahwa konsentrasi Cr 5-10%, mampu menurunkan kadar glukosa darah lebih cepat. Diduga, konsentrasi Cr 5-10%
pakan mampu memperbaiki aliran glukosa darah ke dalam sel. Menurut Mertz (1993), proses tersebut terkait dengan
aktivitas insulin naik dengan adanya Cr. Hal ini mengindikasikan bahwa glukosa darah dapat segera dimanfaatkan
oleh sel sebagai sumber energi metabolisme.
Kromium dalam pakan pada tingkat tertentu berperan penting terhadap pengaturan kestabilan kadar glukosa
darah atau peningkatan toleransi terhadap glukosa yang diindikasikan dengan peningkatan kadar glukosa darah pada
kisaran yang lebih sempit sesaat setelah glukosa memasuki aliran darah, sebagaimana ditunjukkan ikan betok yang
mengkonsumsi pakan dengan konsentrasi Cr 10% pakan. Diduga, Cr memicu sekresi insulin oleh sel-sel β dari
pankreas. Pada penelitiannya, Sahin et al, (2002) melaporkan adanya keterkaitan antara Cr dan peningkatan kadar
insulin darah. Peningkatan kadar insulin darah mempercepat pemasukan glukosa darah ke dalam sel hingga penurunan
kadar glukosa darah terjadi dengan lebih cepat.
Kemampuan Cr dalam meningkatkan kadar insulin dibatasi oleh kapasitas sel-sel β pankreas dalam
mensekresi insulin. Dengan kata lain, peningkatan bioaktifitas insulin oleh Cr terjadi hingga tingkat tertentu. Jika
peningkatan bioaktifitas insulin tidak mampu lagi mengimbangi peningkatan aliran glukosa ke dalam darah
dikarenakan kapasitas sekresi sel-sel β telah mencapai titik maksimum maka kadar glukosa dalam darah akan terus
meningkat hingga terbentuk keseimbangan yang baru, yaitu pada puncak glukosa darah untuk kemudian segera turun
kembali.
Kandungan glukosa darah pada setiap kali pengamatan selalu berubah-ubah, secara umum kandungan
glukosa darah sebelum diberi makan merupakan titik terendah dan setelah diberi makan meningkat, kemudian setelah
titik puncak tercapai akan terjadi penurunan dengan semakin bertambahnya waktu setelah pemberian pakan. Pola
penurunan kandungan glukosa darah ini tidak lurus, melainkan seperti gelombang artinya kadang naik dan kadang
turun dengan pola penurunan tertentu, tetapi secara umum kandungan glukosa darah akan semakin berkurang dengan
semakin bertambahnya waktu setelah pemberian pakan.
Kadar glukosa darah pada perlakuan yang lain, mengindikasikan terjadinya peningkatan aliran glukosa ke
dalam darah dengan puncak glukosa darah yang berbeda-beda dan turunnya berfluktuasi. Kandungan glukosa darah
ikan pada jam ke-5 mengalami penurunan, ini disebabkan terjadinya reaksi kimiawi dari proses pencernaan dapat
dipercepat dengan menggunakan enzim. Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim merupakan
protein khusus yang memiliki aktifitas katalitik. Dengan tenaga katalitik yang luar biasa, enzim dapat mempercepat
reaksi kimiawi (Lehninger dan Thenawijaya, 1998).
Glukosa yang masuk ke dalam darah selain digunakan sebagai sumber energi yakni masuk ke siklus asam
sitrat untuk menghasilkan energi, kelebihannya akan disimpan dalam bentuk glikogen dan akan digunakan sebagai
86
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
sumber energi melalui proses glikogenesis setelah diubah kembali menjadi glukosa darah. Glikogen hati sangat
berhubungan dengan simpanan dan pengiriman heksosa keluar untuk mempertahankan kandungan glukosa darah,
khususnya pada saat diantara waktu makan. Setelah 12-18 jam puasa, hampir semua simpanan glikogen hati terkuras
habis.
Hertz et al, (1989) melaporkan bahwa Cr dapat meningkatkan aliran glukosa darah ke dalam sel pada ikan
mas (Cyprinus carpio). Dijelaskan bahwa CrCl3.6H2O yang terdapat dalam darah menyebabkan glukosa dapat segera
dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme sehingga sejumlah protein
tertentu dapat dimanfaatkan lebih efisien untuk pertumbuhan tanpa harus mengubahnya menjadi sumber energi. Hal
tersebut berarti bahwa Cr mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk meningkatkan
pertumbuhan.
Suplementasi Cr ke dalam pakan ternyata mampu mengurangi kecenderungan pemanfaatan protein sebagai
energi metabolisme. Hal ini terlihat pada ikan betok dengan konsentrasi Cr 10%, yang mengindikasikan adanya
kecenderungan pemanfaatan karbohidrat ataupun lemak sebagai sumber energi metabolisme. Dengan demikian, Cr
mampu menggeser peran protein sebagai sumber energi dan digantikan oleh karbohidrat-lemak sebagai sumber energi
nonprotein. Fenomena seperti ini mampu meningkatkan pertumbuhan ikan betok.
Kelangsungan Hidup dan Kualitas Air
Tingkat kelangsungan hidup merupakan nilai persentase jumlah ikan yang hidup selama periode
pemeliharaan (Effendie, 1997). Tingkat kelangsungan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, lingkungan
(kualitas air), makanan, dan hama penyakit. Tingkat kelangsungan hidup ikan betok selama masa penelitian rerata
berkisar 96,67-100%. Tingkat kelangsungan hidup setiap kombinasi perlakuan relatif (100%), kecuali kombinasi
perlakuan Cr 5% dan 10% dengan starter Aspergillus oryzae dan Rhyzopus oryzae sebesar 96,67%. Diduga faktor
kematian tersebut terjadi karena penyesuaian kondisi lingkungan, di mana ikan betok tersebut belum terbiasa hidup di
dalam bak plastik, sehingga pada saat ikan mati terdapat tanda-tanda kemerah-merahan seperti lebam di daerah
kepala.
Nilai kelangsungan hidup yang diperoleh selama penelitian termasuk tinggi. Hal ini diduga berhubungan
dengan tercukupinya pakan yang diberikan dan ditunjang oleh kualitas air yang cukup baik selama penelitian
berlangsung. Keadaan kualitas air media percobaan penelitian menunjukkan kisaran-kisaran yang memungkinkan ikan
betok untuk hidup dan tumbuh dengan baik. Selama penelitian suhu air berkisar 26,1-29,30C; oksigen terlarut (DO)
5,7-7,2 mg/L; pH 6,50-7,03; CO2 1,65-2 mg/L, dan NH3 0,15-0,20 mg/L.
KESIMPULAN
Pemberian Cr dalam pakan dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan efisiensi pakan pada ikan betok. Perlu
pemberian Cr 10%-15% dengan starter Rhyzopus oryzae dalam pakan ikan betok (Anabas testudineus) untuk
meningkatkan laju pertumbuhan dan efisiensi pakan.
87
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada DP2M Dikti atas pendanaan yang diberikan melalui Hibah Penelitian Strategis
Nasional, Tahun Anggaran 2011, Nomor Kontrak: 398/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/IV/2011.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Junius., 2009. Pengaruh Media Air Bersalinitas yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Betok
(Anabas testudineus) yang Dipelihara di Akuarium. Fakultas Perikanan Unlam, Banjarbaru.
Akbar, Junius., 2011. Identifikasi Parasit pada Ikan Betok (Anabas testudineus). Bioscientiae Jurnal Ilmu-Ilmu
Biologi. ISSN: 1693-4792. Vol. 8, No. 2, Juli 2011.Hal: 36-45
Akbar, Junius dan Abdurrahim Nur., 2010. Pemanfaatan Berbagai Bahan Baku Lokal sebagai Pakan Buatan
Alternatif untuk Meningkatkan Produktivitas Budidaya Ikan-Ikan Rawa. Kalimantan Scitientiae No. 75
Tahun XXVIII Vol. April 2010
Akbar, Junius; Muhammad Adriani, dan S. Aisiah., 2010. Paket Teknologi Budi Daya Ikan Betok (Anabas
testudineus) pada Lahan Basah Sub-Optimal melalui Pemberian Pakan yang Mengandung Kromium
(Cr+3) Organik. Laporan Penelitian Strategis Nasional Tahun I.
Anderson, R.A., 1997. Nutritional Factors Influencing The Glucose/Insulin System: Chromium . J. Am. COll.
Nutrition. Research Center USA.
Aryansyah, H; I. Mokoginta, dan D. Jusadi., 2007. Kinerja Pertumbuhan Juvenil Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.)
yang Diberi Pakan dengan Kandungan Kromium Berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 6 (2): 171-176
(2007).
Astuti, W.D; T. Sutardi; D. Evyernie, dan T. Toharmat., 2006. Inkorporasi Kromium pada Khamir dan Kapang
dengan Substrat Dasar Singkong yang Diberi Kromium Anorganik. Jurnal Media Peternakan, Agustus
2006. Hal: 83-88.
Djauhari, Ricky., 2006. Identifikasi Potensi Bakteri Patogen pada Budi Daya Ikan Betok (Anabas testudineus).
Journal of Tropical Fisheries (2006) 1(1): 71-79
Djajasewaka, Hidayat; E. Tahapari dan T. Pribadi., 1995. Formulasi Pakan untuk Pembesaran Ikan Betok Di
Kolam Tadah Hujan. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian 1994/1995. Hal; 165-168.
Effendie, Moch. Ichsan., 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta.
Fujaya, Yushinta., 2004. Fisiologi Ikan (Dasar Pengembangan Teknik Perikanan). Rineka Cipta, Jakarta.
Hastuti, Sri., 2005. Resistensi Stress Suhu Lingkungan dan Pertumbuhan Kompensasi Ikan Gurami
(Osphronemus gouramy) yang diberi Pakan dengan dan Tanpa Cr Trivalen. Jurnal Aquacultura
Indonesiana, (2005) 6(1): 19-25.
Hertz, Y., Mader, Z., Hepher, B. and Gertler, A., 1989. Glukose Metabolism in The Common Carp (Cyprinus
carpio L): The Effect of Cobalt and Chromium. Aquaculture, 76:255.
Jayanegara, A; A.S. Tjakradidjaja, dan T. Sutardi., 2006. Fermentabilitas dan Kecernaan in Vitro Racun Limbah
Agroindustri yang Disuplementasi Kromium Anorganik dan Organic. Jurnal Media Peternakan. Agustus
2006. Hal: 54-62.
Lehninger dan Thenawijaya, M., 1998. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Erlangga, Jakarta.
Mertz, W., 1993. Chromium in Human Nutrition: A Review. J. Nutr., 123: 626-663.
Mokoginta. Ing., 2005. Metabolisme Karbohidrat pada Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac) yang
Mengkonsumsi Pakan Mengandung Kromium (Cr Plus 3). Penelitian Dasar. Budidaya Perairan-FPIK,
Bogor.
Mudjiman, A., 2000. Makanan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mulyanti, Nina; Yosmaniar; Jaelani, dan Ningrum Suhenda., 1995. Pengaruh Pakan Buatan dan Ikan Rucah
Terhadap Pertumbuhan Ikan Betok (Anabas testudineus) Di Kolam Tadah Hujan. Prosiding Seminar
Ilmiah Hasil Penelitian 1994/1995. Hal; 181-186.
NRC (National Research Council)., 1997. Nutrien Requirement of Warm Water Fishes and Shellfishes.
National Academy Press. Washington DC.
Pandian,T.J., 1989. Protein requirement of fish and prawns cultured in Asia. P: 11-12. In S.S. De Silva (Ed) Fish
Nutrition Research in Asia. Proceedings of the Third Asia Fish Nutrition Network Meeting. Asian Fisheries
Society, Special Publication. 4. Manila, Philippines.
88
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 22 (2) Agustus 2012: 79-89
ISSN:0853-4489
Sahin, K., O. Ozbey., M. Onderci., G. Cikim, dan A.H. Aysondu., 2002. Chromium Supplementation can Alleviate
Negative Effects of Heat Stress on Egg Production, Egg Quality and Some Serum Metabolites of
Laying Japanese Quail. J. Nutr., 132: 1265-1268.
Sarifin., 2005. Pasok Ikan Papuyu Ditunggu. Demersal. Volume 1 Edisi Maret 2005. Hal: 22-23.
Setyo, Bambang Pramono., 2006. Efek Konsentrasi Kromium (Cr+3) dan Salinitas Berbeda Terhadap Efisiensi
Pemanfaatan Pakan untuk Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Pascasarjana. Undip,
Semarang.
Shiau, S.Y. dan S.F. Lin., 1993. Effect of Suplemental Dietary Chromium and Vanadium on the Utilization of
Different Carbohydrate in Tilapia (Oreochromis niloticus x O. Aureus). Aquaculture, 110:321-330.
Shiau, S.Y. dan H.S. Liang., 1995. Carbohydrate Utilization and Digestibility by Tilapia, Oreochromis niloticus x
O. Aureus, are Affected by Chromium Oxide Inclusion in the Diet. J. Nutr., 125:976-982.
Slamat., 2009. Keanekaragaman Genetik Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) pada Tga Tipe Ekosistem
Perairan Rawa di Prov. Kalimantan Selatan. Pascasarjana, IPB, Bogor.
Subandiyono dan S. Hastuti., 2008. Pola Glukosa Darah Post Prandial dan Pertumbuhan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus) ‘Sangkuriang’ yang Dipelihara dengan Pemberian Pakan Berkromium Organik. Jurnal
Aquaculture Indonesiana. Volume 9 Nomor 1 Tahun 2008. Hal: 149-158.
Subandiyono dan S. Hastuti., 2009. Buku Ajar Nutrisi Ikan. Lembaga Pengembangan Pendidikan Undip, Semarang.
Sularto; Rusmaedi, dan M. Sulhi., 1995. Pemberian Pakan Hewani pada Pembesaran Ikan Betok di Kolam
Tadah Hujan. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian 1994/1995. Hal: 83-88.
Sumeru dan Anna., 1992. Prinsip-Prinsip Budi Daya Ikan. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Sunarto, Suriansyah, dan Sabariah., 2008. Pengaruh Pemberian Vitamin C Ascorbic Acid terhadap Kinerja
Pertumbuhan dan Respons Imun Ikan Betok Anabas testudineus Bloch. Jurnal Auakultur Indonesia,
7(2): 151-159 (2008).
Suryanti. Yanti., 2003. Kemampuan Ikan Memanfaatkan Karbohidrat sebagai Sumber Energi. Warta. Penelitian
Perikanan Indonesia. Vol 9 No.1. 2003. Edisi Akuakultur. Hal: 2-6.
Suryanti, Yanti: Zafril I, Azwar, dan Kusdiarti., 2004. Pengaruh Penambahan Kromium terhadap Pemanfaatan
Berbagai Sumber Karbohidrat Bahan Baku Lokal Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Hasil Riset Proyek Riset Perikanan Budi Daya Air Tawar Bogor TA 2004. Hal: 25-33.
Susanto, Adi; Ing Mokoginta, dan M. Agus Suprayudi., 2007. Pengaruh Kromium Organik Terhadap
Pemanfaatan Karbohidrat Pakan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum). Jurnal
Aguacultura Indonesiana. Volume 8 Nomor 2 Tahun 2007. Hal: 97.
Tjahjo, Didik Wahyu Hendro dan Kunto Purnomo., 1998. Studi Interaksi Pemanfaatan Pakan Alami antar Ikan
Sepat (Trichogaster pectoralis), Betok (Anabas testudineus), Mujair (Oreochromis mossambicus), Nila
(O. niloticus), dan Gabus (Channa striatus) di Rawa Taliwang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.Vol
IV, No 3 Tahun 1998. Hal: 50-59.
Vellas, F.,1981. Metabolisme descomposes azotes ii lexcretion azites. In: Fontaine, M.,, Ed. Nutrition des Poisson,
Paris: C.N.R.S, Paris.
Watanabe. T, Kiron V, Satoh S., 1997. Trace Mineral in Fish Nutrition. Aquaculture. 151: 185-207.
Widodo, P; Bunasir, F.G, dan Syafrudin., 2006. Peningkatan Produksi Benih Ikan Papuyu di Kolam Permanen.
Laporan Perekayasaan. Balai Budi Daya Air Tawar Mandiangin.
89
Download