Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala Bercerita tentang Norma (tokoh utama) yang hidup di lingkungan keluarga yang memiliki kepercayaan kuat tentang agama dan hidup dalam bayang-bayang aturan ibunya hingga dewasa. Jika anda menonton film ini maka anda akan teringat pula dengan dua film dari Orizon sebelumnya, yaitu Pingitan dan Sepertiga Malam yang sama-sama berlatar belakang agama Islam dan warna film yang monochrome. Pemuda lulusan IKJ itu beragumen bahwa mengapa film Pingitan dan Sepertiga Malam menggunakan konsep monochrome seperti layaknya film pada zaman Lumiere bersaudara ketika membuat sebuah dokumenter pendek, adalah hasil coba-coba dan suka. Namun dalam filmnya kali ini ia beranggapan bahwa ia ingin menggabungkan suatu teknologi yang modern dengan sesuatu yang dianggapnya jadul, yaitu hitam putih dan ia dengan sengaja mengembalikan persepsi kepada penonton bagaimana mereka memaknainya saat film ini menggunakan warna monochrome (saat ditemui dipemutaran filmnya pada acara screening JAFF 2014 di Taman Budaya Yogyakarta). Terdapat satu hal yang saya tangkap dari pengunaan warna monochrome di tiga film terakhirnya selain dari alasan menggabungkan teknologi modern dengan yang jadul, yaitu tentang suatu paham yang memang sudah ada sejak dahulu dan sulit untuk dilepaskan. Bukan bermaksud untuk bersikap theologis, namun Islam adalah suatu kepercayaan yang memang sudah ada lama sejak jaman dahulu serta norma-norma yang diajarkan begitu melekat dan disiplin, seperti yang melatarbelakangi tiga film terakhir dari Orizon tersebut. Itu mungkin menjadi salah satu alasan mengapa warna monochrome digunakan di filmnya, walaupun ia sendiri tidak bilang itu adalah alasannya. Sebelumnya saya sudah melihat film ini pada satu acara pemutaran film, namun film ini waktu itu berjudul Norma bukan Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala dan plot pada cerita Norma berbeda dengan plot yang ada pada film Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala. Terdapat satu pertanyaan besar tentang perubahan plot dan judul pada film itu, mengapa sang sutradara merubahnya menjadi sedemikian rupa? Premis cerita yang disampaikan pada film Norma ataupun Gadis Berkerudung Hitam memang tidak berbeda, yaitu tentang seorang perempuan yang hidup di lingkuan keluarga yang memiliki keyakinan kuat dalam agamanya yang diberikan perhatian dan laranganlarangan ekstra ketat oleh orang tuanya yang kemudian bertemu oleh seorang laki-laki yang ditolongnya. Terdapat beberapa adegan yang dihilangkan ketika judul Norma berubah menjadi Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala, di awal ada adegan Norma (tokoh wanita) yang solat kemudian terhenti karena sakit perut, kemudian ia pergi ke kamar mandi dan mengganti softex yang ia pakai, adegan lain adalah ketika Norma mencoba merokok dari rokok kepunyaan laki-laki yang ditolongnya, kemudian ia mulai meraba sang pria, membuka jilbabnya dan mengajaknya untuk beranjak ke kamar, serta adegan mereka dipergoki oleh orang tua Norma. Dan ada beberapa adegan yang ditambah pada film Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala seperti adegan dia menyanyi bersama teman perempuannya yang membawakan radio dan dialog manusia serigala dan kuntilanak yang seperti biasanya dimasukan oleh Orizon pada film Pingitan dan Lewat Sepertiga Malam. Namun perubahan tersebut malah menyebabkan perbedaan kesan yang didapatkan oleh penonton. Jika kita menonton Norma kita akan mendapatkan kesan bahwa ini adalah tentang seorang perempuan yang dikekang oleh orang tuanya sehingga menimbulkan rasa penasaran-penasaran yang ada di dalam dirinya menyebakan ia menjadi salah dalam menyikapi rasa penasarannya itu. Seperti membaca majalah tentang pria dewasa, mencoba untuk merokok, sampai terbawanya hawa nafsu di dalam dirinya mengenai seks. Berbeda dengan Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala, efek yang ditimbulkan lebih bagaimana pengalaman psikologinya di masa kecilnya di mana ia begitu dikekang oleh peraturan-peraturan dari orang tuanya yang sejak awal film sudah terlihat pada karakter sang ibu, hingga akhirnya ia mempunyai teman imajinasinya sendiri sesosok kuntilanak. Tetapi terdapat kekeliruan pada film Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia serigala, adalah ketika tokoh Norma tidak mengerti mengenai satu dongeng yang sebenarnya itu adalah dongeng yang global dan banyak orang mengetahuinya. Secara cultural menceritakan dongeng kepada anak ketika masih kecil merupakan hal yang biasa dilakukan oleh orang tua. Tetapi mengapa tokoh Norma tidak mengetahuinya, apakah karena over protectifenya sang ibu sampaisampai tidak menceritakan hal tersebut? Atau apakah background kepercayaan agama yang kuat menyebabkan ibunya tidak membenarkan tentang menceritakan dongeng? Sedikit koreksi terhadap sang sutradara karena terdapat adegan sebelum itu di mana tokoh Norma bernyanyi bersama teman wanitanya sebuah lagu masa kecil. Kalau ia fasih terhadap lagu anak-anak lantas mengapa tidak dengan dongeng? Jika tidak dimasukkanya beberapa adegan dalam film Norma ke dalam film Gadis Berkerudung Hitam dan Manusia Serigala adalah karena alasan masih sensitifnya masyarakat Indonesia mengenai film yang menyinggung sebuah kepercayaan, menurut saya itu adalah sebuah kekeliruan. Sebagai filmmaker seharusnya Orizon harus mempertahankan sisi idealisnya tersebut, karena bagaimanapun itu adalah sebuah karya seni, sebuah kebebasan ketika seseorang ingin membuat suatu karya, walaupun kita tahu tentang bagaimana sikap kolotnya masyarakat Indonesia dalam menyikapi sebuah karya seni. Malahan film tersebut bisa menjadi sindiran bagi mereka yang terlalu kolot dalam hal kepercayaan yang dicampuradukkan dalam membesarkan anaknya. Film seperti Norma seharusnya dipertahankan sebagai salah satu usaha pembuka mata para audience tentang addictnya terhadap kepercayaanya dan sikap terlalu percaya terhadap kepercayaannya tanpa mencari asal-usul yang pasti atau memikirkan hal-hal logis lainnya. Namun kembali lagi, itu semua adalah hak dari si pembuat karya, akan seperti apa film ini bercerita, akan seperti apa film ini dikemas, akan seperti apa nanti alur film ini, dan sebagainya. Karena setiap filmmaker memiliki cara pandang yang berbeda tentang suatu film.