Uploaded by User43656

Makalah Kelompok 8

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daging sapi, kambing, ataupun ayam selamanya akan menjadi primadona industri
bahan makanan. Terutama di negara-negara seperti Indonesia, konsumsi produk hewani yang
satu ini terus meroket dengan tajam. Diperkirakan permintaan berbagai jenis daging
diproyeksikan akan terus meningkat untuk dekade mendatang (Gerber, et al., 2013).
Permintaan makanan yang semakin meningkat, khususnya protein, jika tidak mampu
dipenuhi, akan membawa banyak masalah kepada manusia seluruhnya. Sementara itu,
jumlah lahan untuk peternakan semakin terbatas dan juga industri peternakan mendapat
persepsi negatif akibat isu lingkungan, dan dampak terhadap kesehatan manusia (Arshad,
2017). Mengacu pada hal tersebut diperlukan metode produksi daging yang berkelanjutan
dan ramah lingkungan. Pergerakan zaman yang semakin canggih, senantiasa memunculkan
berbagai teknologi dan perkembangan yang mutakhir. Khususnya di bidang sains dan ilmu
pengetahuan untuk mencari metode produksi daging yang dapat memenuhi kebutuhan
konsumen.
Guna memuaskan permintaan konsumen dan sekaligus menjaga iklim, ilmuwan
berupaya mengembangkan daging sapi buatan di laboratorium. Salah satu solusi yang telah
dikembangkan adalah produksi daging sintetis secara in vitro. Sejumlah ilmuwan telah
berhasil membuat daging buatan yang dihasilkan dari laboratorium penelitian mereka. Salah
satunya adalah Profesor Mark Post dan kawan-kawan yang telah membudidayakan daging
laboratorium untuk burger sejak Mei 2013. Selain diklaim lebih sehat, hasil produksi itu juga
tidak mengandung bakteri berbahaya seperti daging konvensional karena diolah di dalam
laboratorium yang steril.
Mengikut kajian di negara-negara Kesatuan Eropa, penternakan hewan seperti lembu
dan ayam menyebabkan pencemaran alam sekitar yang besar. Antaranya Greenhouse Gas GHG 9.1% dan tanah 12.8% (Franz dan Adrian, 2012). Berdasarkan perangkaan yang dibuat,
jika daging kultur ini berjaya dipasarkan dengan meluas di seluruh Eropa, kadar pencemaran
GHG akan berkurang hingga 78-96%, penggunaan tanah (99%) dan air (82-96%) (Hanna et
al., 2012). Faktor seterusnya adalah aspek kebajikan hewan yang amat dititikberatkan oleh
masyarakat Barat. Jadi, terdapat sebahagian aktivis hewan yang sudah bisa menerima konsep
daging kultur, malah sebahagian dari mereka telah menggunakan istilahvictimless meat bagi
daging kultur ini (Zuhaib et al., 2014). Lebih lanjut mengenai pengkultufran daging,
penyembelihan hewan bisa dikurangkan dan secara teorinya, malah satu sel stem sudah
bisamemenuhi keperluan daging dunia (Zuhaib et al., 2014)
Daging diproduksi melalui proses kultur stem sel otot dari suatu hewan. Daging hasil
kultur stem sel otot ini diklaim memiliki banyak kelebihan dibandingkannya dengan daging
konvensional (asli), seperti efisiensi lahan, menurunkan efek rumah kaca, dan dapat
dilakukannya manipulasi komposisi nutrien pada produk (Kadim, et al., 2015). Professor
Mark Post yakin, visinya dalam waktu tujuh tahun lagi, akan menjadi kenyataan. Daging
buatan laboratorium sudah bisa dijual di restoran hamburger atau restoran steak. Jika
konsumsi daging global terus meningkat, daging dari laboratorium mungkin bisa dipasarkan
lebih cepat lagi, untuk memenuhi permintaan konsumen. Maka dari itu lebih diperlukan lagi
pemahaman menganai apa itu daging sintesis buatan laboratorium dan bagaimana kajian
bioetikanya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah pada makalah
ini yaitu:
1. Bagaimana proses pembuatan daging sintesis pada laboratorium?
2. Bagaimana bioetika mengkonsumsi daging sintesis dalam perspektif Islam?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan proses pembuatan daging sintesis pada laboratorium.
2. Untuk menganalisis bioetika mengkonsumsi daging sintesis dalam perspektif Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PROSES PEMBUATAN DAGING LABORATORIUM
Kultur merupakan proses penghilangan atau perpindahan sel/jaringan dari manusia,
hewan, atau tanaman ke dalam medium terkontrol yang sesuai untuk menumbuhkan
sel/jaringan tersebut. Prinsip dasar kultur sel punca otot adalah kultur sel adherent yang tidak
bergerak. Sel-sel tersebut dapat diambil secara langsung dari jaringan atau dengan proses
enzimatik maupun mekanik, sebelum kemudian dikultivasi (dibiakkan). Beberapa sel dapat
digunakan untuk menghasilkan daging sintetis. Namun sel yang paling efisien adalah sel
myosatellite pada stem sel otot hewan. Sel-sel seperti sel myosattelite sering digunakan
karena masih berkembang biak dengan kecepatan yang dapat diterima. Sel satelit
ini
bertindak sebagai sel induk myogenic in vivo. Sel myosatelit ini bisa menghasilkan baik
myofibers baru dan juga banyak sel satelit baru (Yablonka-Reuveni, 2011). Oleh karenanya
sel satelit bisa disebut sebagai stem cell karena memenuhi kriteria yaitu memiliki
kemampuan berdiferensasi menghasilkan sel berbeda dan mampu mempertahankan
populasinya dengan self-renewal.
Tahap awal dari budidaya daging (kultur daging sintetis) adalah mengumpulkan sel-sel
yang memiliki tingkat proliferasi yang cepat (tingkat reproduksi sel yang tinggi). Sel-sel
tersebut termasuk sel-sel induk embrionik, sel-sel induk dewasa, sel-sel myosatellite, atau
myoblast. Myoblas adalah salah satu prekursor sel-sel otot, dan seratnya ditunjukkan dengan
warna kuning dan nuklei ditunjukkan dengan warna biru. Produksi daging sintetis secara in
vitro diawali dengan mengambil sampel kecil dari sel-sel myosattelite, myoblast (Hocquette
et al., 2010). Menurut Mark Post, sang penggagas ide daging laboratorium untuk burger dan
steak dalam pidatonya menyatakan bahwa 1 sel myosatellite dapat memenuhi kebutuhan
daging untuk sebulan.
Caranya yaitu:
1. Para ilmuwan melakukan biopsi (tindakan diagnostik yang dilakukan dengan mengambil
sampel jaringan atau sel untuk dianalisis di laboratorium) terhadap sel otot untuk
mendapatkan sel-sel myosatellite dari hewan ternak yang diinginkan untuk dikultur yang
berasal dari jaringan adiposa, seperti ayam, sapi, kambing ataupun babi. Sel-sel
myosatellite ini terletak di antara lamina basal dan sarcolemma dari myofiber.
2. Biopsy dilakukan dengan cara melakukan bius lokal terlebih dahulu pada daerah pada
tubuh hewan yang akan diambil sampel ototnya. Kemudian biopsi dilakukan dengan
menggunakan salah satu jarum tipis yang melekat pada ansuntik (biopsi jarum halus)
atau sedikit lebih besar biopsi jarum (biopsi jarum inti), tergantung pada lokasi dari
otot yang ditargetkan dan jumlah yang diperlukan untuk sampel biopsi.
Gambar alat biopsy
Alat biopsi berikut bagian-bagiannya: plunger (1), cutting cannula (2), throw length (10
mm atau 20 mm) (3), biopsy reservoir (4), inner cannula (5).
3. Biopsi dilakukan dengan menusukkan jarum biopsi sampai jarum biopsi menembus
masuk dan diperkirakan sudah mencapai bagian dimana sampel jaringan yang ingin
dikoleksi. Saat jarum biopsi sudah berada di dalam jaringan, maka plunger dari alat
biopsi ditekan dengan menggunakan ibu jari tangan. Sesaat setelah plunger ditekan, maka
dengan segera jarum biopsi akan memotong jaringan otot, sehingga jaringan akan
terdorong masuk ke dalam biopsy reservoir.
4. Tahap selanjutnya setelah sampel didapat dari proses biopsy yaitu isolasi sampel otot.
Pada langkah ini, sampel otot dikumpulkan dari sekitar 100 sel diisolasi dengan cara
enzimatik. Digunakan enzim proteolitik, dalam hal ini yaitu menggunakan enzim
kolagenase untuk memisahkan sel-sel myosatellite dari struktur lain. Enzim proteolitik
atau disebut juga Proteinase atau Protease, merupakan kelompok enzim yang mampu
memecah rantai panjang molekul protein menjadi molekul-molekul yang lebih kecil
disebut peptida (peptides) dan bahkan sampai menjadi komponen-komponen terkecil
penyusun protein yang disebut Asam Amino
5. Cara isolasinya yaitu sampel tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi
PBS (phosphate buffer Saline) 20% dan antibiotic. Di dalam laminar flow cabinet,
sampel tersebut dicuci dengan PBS 20% sebanyak 4 kali kemudian tambahkan medium
bebas serum.
Penggunaan PBS merupakan solution berbasis air garam yang mengandung
natrium klorida, natrium fosfat, dan (dalam beberapa formulasi) klorida kalium dan fosfat
kalium. Buffer inilah yang nantinya membantu sel dalam mempertahankan konsistensi
pH (Medicago, 2010). Jika sel yang tenggelam ke dalam solusi yang memiliki terlalu
banyak garam ion, air akan bocor keluar dari sel, menyebabkan sel menyusut.
Sebaliknya, jika sel terbenam ke dalam solusi yang memiliki ion terlalu sedikit garam, air
akan masuk ke dalam sel, menyebabkan sel pecah. Oleh karena itu, sangat penting untuk
menjaga sel-sel di osmolaritas tertentu.
6. Bersihkan dari lemak lalu tempatkan ke cawan petri yang baru. Potong-potong dengan
menggunakan scalpel hingga ukuran 1mm3, pindahkan kedalam botol steril, biarkan
potongan jaringan tersebut mengendap, pisahkan supernatant, ganti dengan larutan
kollagenase kemudian di inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Penggunaan
kollagenase yaitu karena aktivitas enzim-enzim proteolisis seperti kolagenase, dapat
mendegradasi ikatan polipeptida pada kolagen tanpa mendenaturasi protein menjadi
molekul yang lebih sederhana (autolisis) mengakibatkan terjadinya pelemasan dari
daging ataupun lemak yang masih menempel.
7. Pipet dengan hati-hati sel yang telah terdispersi, masukkan ke dalam tabung sentrifuge
steril, lalu putar pada 500xg selama 5 menit.
8. Supernatan dibuang, pellet yang merupakan sel myosatellite diresuspensi ke dalam
medium kultur.
9. Setelah diisolasi dan didapatkan sel myosatellite, proliferasi dapat dimulai. Untuk meniru
lingkungan pada kondisi normal dan tempat untuk tumbuh sel, maka digunakan metode
scaffolding. Scaffold juga diperlukan untuk adhesi sel dan proliferasi sehingga sel
berkembang menjadi jaringan.
Scaffold adalah ECM (matriks ekstraseluler) buatan yang digunakan untuk produksi
sel in-vitro. Jadi, Scaffold adalah pengganti matriks ekstraseluler. Pada dasarnya, semua
sel melekat pada ECM. Di sinilah sel bermigrasi, memberikan dukungan sel, mengatur
komunikasi antar sel, tumbuh, berkembang biak, dll. Tanpa ECM, sel tidak akan bisa
melalui mitosis atau meiosis (proses produksi sel baru), sel tidak dapat berkomunikasi
atau bergerak, dll. Karena kita semua terdiri dari sel, tanpa ECM, kita tidak akan dapat
berfungsi, jadi pada akhirnya tidak ada yang hidup. ECM adalah alasan mengapa sel kita
bisa berfungsi dan digunakan untuk mengarahkan sel dalam tubuh kita. Dan scaffold
adalah ECM buatan yang digunakan untuk produksi sel in-vitro. adalah bahan berpori
yang digunakan untuk memandu pertumbuhan sel dan diperlukan untuk semua jenis
rekayasa jaringan. Tujuan daging yang ditumbuhkan di lab adalah untuk menumbuhkan
otot (yang akhirnya dapat dikonsumsi) di luar binatang. Di dalam, misalnya, seekor sapi,
ada ECM yang dapat mengarahkan pertumbuhan sel otot. Tetapi menggunakan pertanian
seluler, kita perlu menggunakan scaffold.
Scaffold ini yang terbuat dari selulosa, alginat, kitosan, atau kolagen (Edelman, et al.,
2005). Scaffold juga bisa terbuat dari protein nabati yang merupakan kandidat yang
menarik untuk daging bersih, karena nilai gizinya. Polimer ini akan aman untuk
ditinggalkan dalam produk daging dan dapat menambah kualitas tekstur. Teknik Scaffold
Structure bermula dengan pemisahan (isolation) sel stem dari tubuh hewan ternakan
seperti lembu atau kambing dan akan diletakkan di dalam satu bioreactor yang
mengandung medium kultur yang sesuai. Medium tersebut mestilah mempunyai
lingkungan dan komposisi nutrien dan kimia yang sama dengan keadaan di dalam badan
hewan (in vivo) (Zachary, 2013). Sel stem ini akan membiak dan berkembang untuk
tempoh beberapa minggu atau bulan menjadi sel otot dan melekat pada rangka/perancah
(scaffold) yang diletakkan di dalam bioreaktor tadi.
10. Perubahan dalam media diperlukan untuk memenuhi tuntutan perubahan sel baru, maka
dari itu scaffold dimasukkan ke dalam media kultur DMEM 4oC ke dalam bioreactor
(diinkubasi) pada suhu 37oC dengan aliran CO2 5% dan udara 95% tempat jaringan
berdiferensiasi. Tujuan dimasukkan dalam bioreactor ini yaitu agar mampu memasok sel
dengan kebutuhan energi yang mereka butuhkan untuk tumbuh.
Bioreaktor atau dikenal juga dengan nama fermentor adalah sebuah peralatan
atau sistem yang mampu menyediakan sebuah
menunjang terjadinya reaksi biokimia dari
bahan
lingkungan
mentah
biologis yang dapat
menjadi
bahan
yang
dikehendaki. Reaksi biokimia yang terjadi di dalam bioreaktor melibatkan organisme
atau komponen biokimia aktif (enzim) yang berasal dari organisme tertentu, baik secara
aerobik maupun anaerobik. Bioreaktor umumnya digunakan untuk menumbuhkan sel
prokariotik dan eukariotik (ragi, bakteri, atau sel hewan) dalam kondisi yang terkendali.
Mereka digunakan untuk memproduksi obat-obatan, vaksin, atau antibodi pada skala
industri. Bioreaktor menyediakan lingkungan yang terkendali untuk sel dengan
mempertahankan suhu, pH, dan tingkat oksigen dalam ruang kultur. NASA telah
mengembangkan bioreaktor berputar untuk produksi jaringan otot rangka (Arshad, 2017).
11. Kemudian sel-sel berproliferasi dan menghasilkan lebih banyak sel (Proses menempatkan
sel-sel hidup pada media berbasis nutrisi disebut eksplanasi). Selama proliferasi,
tujuannya adalah untuk memproduksi sel myosatelit sebanyak mungkin untuk
mengaktifkannya untuk transisi ke miosit atau sel myotubular.
12. Proliferasi sel terjadi pada hari ke 2, koloni myosatellite cell yang berbentuk triangular
dan bulat sudah mulai menempel pada scaffolding. Proliferasi myosatellite cell dapat
diamati pada hari ke 3 dengan ditandai bertambahnya jumlah sel yang menyebar dengan
perubahan morfologi menjadi fibroblast-like. Pengamatan pada hari ke 7 sel yang tumbuh
telah mempunyai morfologi bulat, fibroblastlike dan fusiform. Sel berbentuk bulat pada
hari ke 7 merupakan sel-sel yang telah selesai melakukan pembelahan mitosis (Shahini,
et al., 2018).
Gambar dalam bioreaktor
13. Di dalam bioreactor, ketika bioreaktor sudah penuh dan kepadatan sel yang diinginkan
tercapai, enzim transglutaminase protein pengikat-silang ditambahkan untuk menginduksi
pembentukan agregat sel yang mudah mengendap, yang dengan cepat mengendap saat
pengadukan dihentikan. Enzim transglutaminase sendiri bekerja secara intra dan inter
seluler yang menghasilkan ikatan silang antar protein.
Transglutaminase adalah enzim tiol yang mengkatalis (mempercepat laju reaksi
kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu
sendiri) suatu reaksi modifikasi protein pascatranslasi. Enzim transglutaminase bekerja
mengkatalis reaksi antara residu asam amino lisin dan residu asam amino glutamin serta
membentuk ikatan yang bisa menghasilkan penggabungan ikatan kovalen inter atau
intramolekuler yang berikatan silang dengan protein makanan. Hal tersebut dapat
meningkatkan sifat fisika dan bentuk makanan. Enzim transglutaminase yang digunakan
yaitu yang berasal dari mikroba Streptoverticillium ladakanum yang merupakan bakteri
penghasil enzim ekstraselular.
14. Dalam waktu 7-8 minggu, kultur daging labortorium siap untuk dicetak dan dikonsumsi.
15. Penambahan mioglobin dan hemoglobin juga diperlukan yang membuat produk lebih
mirip daging dalam penampilan dan rasanya. (Terkait penampilan dan cita rasa).
Myoglobin adalah komponen alami otot, dan hemoglobin ditemukan dalam darah.
Sebagai protein heme, keduanya membawa atom besi yang bertanggung jawab atas rasa
daging sapi yang sedikit 'logam'. Mioglobin pembawa protein heme bertanggung jawab
atas warna merah daging dan merupakan sumber penting zat besi dalam daging (Suman
dan Joseph 2013). Tim peneliti yang dipimpin Tufts berhipotesis bahwa menambahkan
protein heme ke dalam kultur sel daging tidak hanya memiliki efek yang serupa tetapi
juga dapat meningkatkan pertumbuhan sel otot yang membutuhkan protein heme untuk
berkembang. Para peneliti menemukan bahwa menambahkan hemoglobin atau mioglobin
mengubah warna otot bioartificial menjadi warna seperti daging coklat kemerahan.
Myoglobin, bagaimanapun, jauh lebih baik untuk mempromosikan proliferasi sel dan
diferensiasi menjadi sel otot dewasa, dan lebih baik dalam membantu sel membentuk
serat dan menambahkan warna seperti daging.
16. Sel-sel yang dipanen ditekan (dikeluarkan) dan hasil diekstrusi menjadi porsi ukuran
konsumen daging cincang seukuran cawan petri.
Perlu diperhatikan bahwa medium untuk kultur sel in vitro harus mampu menyuplai
nutrisi yang sama seperti keadaan nutrisi pada darah karena sel di dalam tubuh organisme
menerima nutrisi dari sirkulasi darah. Awalnya untuk menumbuhkan sel mamalia in vitro
melibatkan medium yang berasal dari bahan alami seperti embrio ayam, serum, dan cairan
limfe. Tetapi sejak tahun 1950 ditemukan medium kultur yang mengandung berbagai
komponen penting dan sudah banyak perkembangan. Medium dasar untuk kultur sel adalah
larutan garam seimbang. Larutan ini berfungsi untuk menciptakan pH dan osmolaritas
fisiologis yang dibutuhkan untuk mempertahankan viabilitas sel in vitro.
Medium yang umum digunakan dalam kultur sel mamalia adalah Dulbecco’s modified
Eagle’s medium (DMEM). Medium ini merupakan medium kultur berupa buffer bikarbonat
yang didesain untuk pH 7,0–7,4 pada keadaan 5% CO2 dan 95% udara. Nutrisi yang
terkandung di dalam DMEM adalah garam-garam anorganik (kalsium klorida, ferri nitrat,
kalium klorida, magnesium sulfat, natrium bikarbonat, natrium klorida, dan natrium
phosphat), Glukosa, phenol red, dan asam amino (L-Arginin Hidroklor, L-Cystein.2HCl, LGlutamin, Glycine, L-Histidin.HCl.H2O, L-Isoleusin, L-Lysine Hidroksiklorida, LMethionin, L-Phenilalanin, L-Serin, L-Treonin, L-Triptofan, L-Tyrosin.2Na.2H2O dan LValine), vitamin (D-Kalsium Pentothenate, Koline klorida, asam folat, L-Inositol,
Niacinamide, Pyridoxin HCl, Riboflavin dan Thiamine Hidroklorin).
Menurut Yadav dan Tyagi (2005) untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sel selama
pertumbuhan dapat ditambahkan serum atau ekstrak embrio ke dalam medium. Penambahan
serum atau ekstrak embrio ini memang sangat beresiko terhadap kontaminasi, oleh karena itu
perlu juga dilakukan penambahan antibiotik seperti penisilin atau streptomisin ke dalam
medium untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Temperatur optimal untuk kultur sel
tergantung pada suhu tubuh hewan dari mana sel diisolasi, perbedaan letak anatomis
(misalnya temperatur kulit dan testis akan lebih rendah dibandingkan temperatur tubuh), dan
pengaturan faktor keamanan untuk menghindari kesalahan (error) pada inkubator seperti
kejadian overheating (Freshney 2005).
Temperatur juga berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel. Selain itu, juga
mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 pada temperatur rendah (Malole
1990). Selain temperatur, pH merupakan komponen yang juga memegang peranan penting
dalam kegiatan kultur. Sebagian besar cell line tumbuh dengan baik pada pH 7,4 (Malole
1990). Walau demikian, pH optimum untuk pertumbuhan sel relatif sedikit bervariasi
berdasarkan jenis sel masing-masing (Freshney 2005). Cell line fibroblas menunjukkan
pertumbuhan yang sangat baik pada pH antara 7,4–7,7, sedangkan sel yang sama tapi telah
mengalami transformasi tumbuh lebih baik pada pH antara 7,0–7,4 (Freshney 2005).
Mekanisme pertumbuhan di dalam media kultur Myogenesis adalah pembentukan jaringan
otot, terutama selama perkembangan embrionik. Sel-sel myosatelit otot memainkan peran
penting dalam pertumbuhan otot postnatal dengan menggabungkan dengan serat otot yang ada
dan menyediakan nukleus yang diperlukan untuk pertumbuhan serat postnatal (Dayton & White,
2007). Setelah sampel sel induk (sel myosatellite) dieksplorasi ke medium pertumbuhan, mereka
mengalami proliferasi sehingga dapat tumbuh menjadi myoblast. Myoblast (sel otot awal dengan
nukleus tunggal) bergabung bersama untuk membentuk miosit (sel otot berinti banyak) selama
proses miogenesis. Serat otot umumnya membentuk fusi mioblas menjadi serat multi-nukleasi
yang disebut miotube (Myoblast berfusi membentuk myotube). Dalam perkembangan awal
embrio, myoblast dapat berkembang biak, atau berdiferensiasi menjadi miotube. Miotube
selanjutnya mengalami maturasi membentuk myofibres dan begitu seterusnya hingga menjadi
serat-serat daging. Apa yang mengontrol pilihan ini secara in vivo umumnya tidak jelas.
Jika ditempatkan dalam kultur sel, sebagian besar myoblas akan berkembang biak jika cukup
faktor pertumbuhan fibroblast (FGF) atau faktor pertumbuhan lain hadir dalam media di sekitar
sel. Ketika faktor pertumbuhan habis, myoblasts berhenti berdivisi dan menjalani diferensiasi
terminal menjadi myotubes. Diferensiasi Myoblast berlangsung secara bertahap. Tahap pertama,
melibatkan keluarnya siklus sel dan dimulainya ekspresi gen tertentu. Tahap diferensiasi kedua
melibatkan penyelarasan myoblas dengan satu sama lain.
B. BIOETIKA DAGING LABORATORIUM BERDASARKAN ISLAM
Kecanggihan teknologi pada hari ini telah membolehkan manusia berinovasi dan
mencipta belbagai benda baru. Contohnya, perhubungan antara dua pihak yang berjauhan
akan mengambil masa yang sangat lama dan manusia hanya bergantung kepada perutusan
surat pada zaman dahulu. Namun, pada hari ini, terdapat pelbagai media perhubungan yang
memudahkan urusan manusia, sama ada untuk sekadar bertanya khabar, urusan perniagaan
dan sebagainya. Hakikatnya, semua teknologi ini dicipta untuk memudahkan kehidupan
manusia. Namun, jika dilihat dari satu sudut yang lain pula, perkembangan teknologi telah
mengubah beberapa tabiat alam yang telah dicipta oleh Allah SWT dan juga terkadang
menghalalkan yang belum jelas sumber bahannya apakah halal atau haram (Hamdan, 2015).
"Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyembah"(QS. anNahl [16]: 114).
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa daging, lemak atau tulang yang terpotong
dari hewan ketika ia masih hidup adalah najis dan haram dimakan. Tetapi, bulu dan rambut
dikecualikan kerana ia sukar dielakkan. Begitu juga dengan ‘mudghah„alaqah atau janin
yang telah mati adalah najis. Tetapi jika janin keluar dari perut ibunya dalam keadaan masih
hidup. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abi Waqid al-Laythi bahawa Nabi SAW
telah tiba di Madinah dan ketika itu
penduduk Madinah (pada waktu itu) memotong
bonggol unta dan anggota badan kambing. Lalu Nabi SAW bersabda:
Terjemahan: Apa saja yang terpotong dari hewan ternakan dalam keadaan haiwan
tersebut masih hidup, maka anggota tersebut adalah bangkai (dan dikira najis) (al-Tirmidhi,
1417H; al-Bayhaqi, 1424H/2003M).
Direktur
Halal
Center
Fakultas
Peternakan
UGM,
Nanung
Danardono
menyampaikan, produk daging sel kultur tidak halal untuk dikonsumsi. Pasalnya setiap
makanan hewani dalan islam harus disembelih terlebih dulu. Sementara produksi daging sel
kultur tidak memenuhi kaidah-kaidah penyembelihan secara syariat. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang
siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang"
(QS. al-Baqarah [2]: 173).
"Dalam Islam daging hewan harus disembelih. Kalau tidak disembelih, maka tidak
halal," dalam firman Allah dalam ayat lainya "Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun, Maha Penyayang" (QS. al-An'am [6]: 145)
Kultur miosatellite yang diambil dari harus berasal dari organisme/ hewan yang halal.
Apabila sel tersebut berasal dari hewan yang haram seperti babi maka daging yang
diperolehnya pun akan berstatus tidak halal. Bahan pada media kultur pula harus
diperhatikan tidak boleh ada bahan bahan yang diharamkan apabila ada bahan yang
diharamkan bisa dipastikan produk dagingsteak kultur haram untuk dimakan, Demikian pula
apabila jaringan diambil dari hewan yang telah mati, aspek penyembelihan harus
diperhatikan apakah memenuhi syariat agama islam atau tidak.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan dari isi makalah pembuatan daging sintesis, maka dapat
disimpulakn bahwa dengan semakin meningkatnya permintaan sedangkan industri peternakan
konvesional mengalami banyak halangan seperti isu lingkungan, dan dampak ke kesehatan
manusia, maka daging sintetis yang dihasilkan melalui kultur sel punca otot bisa menjadi solusi.
Dalam penerapannya persepsi personal terkait proses produksi daging secara in vitro yang
dianggap tidak alami dapat memicu keengganan beberapa golongan masyarakat untuk
mengadopsi daging sintetis ini dalam kesehariannya (Hasrianda, 2018). Mengacu pada hal
tersebut, penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan efektifitas kultur serta sosialisasi
mengenai keamanan daging sintetis perlu dilaksanakan.
Namun secara kajian bioetika dalam agama Islam, daging sintesis ini tidak halal untuk
dikonsumsi dikarenakan proses pembuatannya yang tanpa menerapkan proses penyembelihan
yang sesuai syariat hukum Islam. Selain itu, terdapat juga dalil yang menyatakan bahwa segala
sesuatu dari bagian tubuh binatang yang terpotong, sementara binatang tersebut masih hidup,
maka tidak halal untuk dikonsumsi. Maka konsumsi daging laboratorium ini tidak baik untuk
masyarakat yang beragama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Arshad, M. S., 2017. Tissue engineering approaches to develop cultured meat from cells: A mini
review. Cogent Food & Agriculture
Dayton and White. 2007. Cellular and molecular regulation of muscle growth and development
in meat animals. Regulation Of Muscle Growth In Meat Animals, 217-225
Edelman, et al., 2005. In Vitro-Cultured Meat Production. Tissue Engineering. 11, (5) 659-662
Franz Weiss dan Adrian Leip. 2012. “Greenhouse gas emissions from the EU livestock sector:
A life cycle assessment carried out with the CAPRI model”, Jurnal Agriculture,
Ecosystems and Environment, v. 149, 124-134.
Gerber, P. J. et al., 2013. Tackling climate change through livestock: A global assessment of
emissions and mitigation opportunities, Rome: FAO.
Hamdan, Mohammad Naqib dan Mohd Anuar bin Ramli. 2015. Konsep Mengubah Ciptaan
Allah Swt: Analisis Hukum Pengkulturan Daging. Jurnal Infad vol 5, 81-105
Hanna L. Toumisto dan M. Joost Texeira de Mattos. 2012. Environmental Impacts of Cultured
Meat Production, Journal Environmental: Science and Technology, 45, 6117-6123.
Kadim, I., Faye, B., Mahgoub, O. & Purchas, R., 2015. Cultured meat from muscle stem cells: A
review of challenges and prospects. Journal of Integrative Agriculture, 14 (2), 222-233.
Medicago, AB. 2010. Phospate Buffered Saline Spesification Sheet.
Shahini, Aref, et al., 2018. Efficient and high yield isolation of myoblasts from skeletal muscle.
Stem Cell Journal. 30, 122–129
Yablonka-Reuveni, Z. 2011. The skeletal muscle satellite cell: still young and fascinating at
The journal of histochemistry and cytochemistry : Official Journal of the Histochemistry
Society. 59:1041-1059
Zachary Schneider. 2013. In Vitro Meat: Space Travel, Cannibalism and Federal Regulation,
dalam Houston Law Review
Zuhaib Fayaz Bhat, Sunil Kumar dan Hina Fayaz. 2014. In Vitro Meat Production: Challenges
and Benefits Over Conventional Meat Production, Journal of Integrative Agriculture
Download