BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging sapi, kambing, ataupun ayam selamanya akan menjadi primadona industri bahan makanan. Terutama di negara-negara seperti Indonesia, konsumsi produk hewani yang satu ini terus meroket dengan tajam. Diperkirakan permintaan berbagai jenis daging diproyeksikan akan terus meningkat untuk dekade mendatang (Gerber, et al., 2013). Permintaan makanan yang semakin meningkat, khususnya protein, jika tidak mampu dipenuhi, akan membawa banyak masalah kepada manusia seluruhnya. Sementara itu, jumlah lahan untuk peternakan semakin terbatas dan juga industri peternakan mendapat persepsi negatif akibat isu lingkungan, dan dampak terhadap kesehatan manusia (Arshad, 2017). Mengacu pada hal tersebut diperlukan metode produksi daging yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pergerakan zaman yang semakin canggih, senantiasa memunculkan berbagai teknologi dan perkembangan yang mutakhir. Khususnya di bidang sains dan ilmu pengetahuan untuk mencari metode produksi daging yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Guna memuaskan permintaan konsumen dan sekaligus menjaga iklim, ilmuwan berupaya mengembangkan daging sapi buatan di laboratorium. Salah satu solusi yang telah dikembangkan adalah produksi daging sintetis secara in vitro. Sejumlah ilmuwan telah berhasil membuat daging buatan yang dihasilkan dari laboratorium penelitian mereka. Salah satunya adalah Profesor Mark Post dan kawan-kawan yang telah membudidayakan daging laboratorium untuk burger sejak Mei 2013. Selain diklaim lebih sehat, hasil produksi itu juga tidak mengandung bakteri berbahaya seperti daging konvensional karena diolah di dalam laboratorium yang steril. Mengikut kajian di negara-negara Kesatuan Eropa, penternakan hewan seperti lembu dan ayam menyebabkan pencemaran alam sekitar yang besar. Antaranya Greenhouse Gas GHG 9.1% dan tanah 12.8% (Franz dan Adrian, 2012). Berdasarkan perangkaan yang dibuat, jika daging kultur ini berjaya dipasarkan dengan meluas di seluruh Eropa, kadar pencemaran GHG akan berkurang hingga 78-96%, penggunaan tanah (99%) dan air (82-96%) (Hanna et al., 2012). Faktor seterusnya adalah aspek kebajikan hewan yang amat dititikberatkan oleh masyarakat Barat. Jadi, terdapat sebahagian aktivis hewan yang sudah bisa menerima konsep daging kultur, malah sebahagian dari mereka telah menggunakan istilahvictimless meat bagi daging kultur ini (Zuhaib et al., 2014). Lebih lanjut mengenai pengkultufran daging, penyembelihan hewan bisa dikurangkan dan secara teorinya, malah satu sel stem sudah bisamemenuhi keperluan daging dunia (Zuhaib et al., 2014) Daging diproduksi melalui proses kultur stem sel otot dari suatu hewan. Daging hasil kultur stem sel otot ini diklaim memiliki banyak kelebihan dibandingkannya dengan daging konvensional (asli), seperti efisiensi lahan, menurunkan efek rumah kaca, dan dapat dilakukannya manipulasi komposisi nutrien pada produk (Kadim, et al., 2015). Professor Mark Post yakin, visinya dalam waktu tujuh tahun lagi, akan menjadi kenyataan. Daging buatan laboratorium sudah bisa dijual di restoran hamburger atau restoran steak. Jika konsumsi daging global terus meningkat, daging dari laboratorium mungkin bisa dipasarkan lebih cepat lagi, untuk memenuhi permintaan konsumen. Maka dari itu lebih diperlukan lagi pemahaman menganai apa itu daging sintesis buatan laboratorium dan bagaimana kajian bioetikanya. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah pada makalah ini yaitu: 1. Bagaimana proses pembuatan daging sintesis pada laboratorium? 2. Bagaimana bioetika mengkonsumsi daging sintesis dalam perspektif Islam? C. Tujuan 1. Untuk menjelaskan proses pembuatan daging sintesis pada laboratorium. 2. Untuk menganalisis bioetika mengkonsumsi daging sintesis dalam perspektif Islam. BAB II PEMBAHASAN A. PROSES PEMBUATAN DAGING LABORATORIUM Kultur merupakan proses penghilangan atau perpindahan sel/jaringan dari manusia, hewan, atau tanaman ke dalam medium terkontrol yang sesuai untuk menumbuhkan sel/jaringan tersebut. Prinsip dasar kultur sel punca otot adalah kultur sel adherent yang tidak bergerak. Sel-sel tersebut dapat diambil secara langsung dari jaringan atau dengan proses enzimatik maupun mekanik, sebelum kemudian dikultivasi (dibiakkan). Beberapa sel dapat digunakan untuk menghasilkan daging sintetis. Namun sel yang paling efisien adalah sel myosatellite pada stem sel otot hewan. Sel-sel seperti sel myosattelite sering digunakan karena masih berkembang biak dengan kecepatan yang dapat diterima. Sel satelit ini bertindak sebagai sel induk myogenic in vivo. Sel myosatelit ini bisa menghasilkan baik myofibers baru dan juga banyak sel satelit baru (Yablonka-Reuveni, 2011). Oleh karenanya sel satelit bisa disebut sebagai stem cell karena memenuhi kriteria yaitu memiliki kemampuan berdiferensasi menghasilkan sel berbeda dan mampu mempertahankan populasinya dengan self-renewal. Tahap awal dari budidaya daging (kultur daging sintetis) adalah mengumpulkan sel-sel yang memiliki tingkat proliferasi yang cepat (tingkat reproduksi sel yang tinggi). Sel-sel tersebut termasuk sel-sel induk embrionik, sel-sel induk dewasa, sel-sel myosatellite, atau myoblast. Myoblas adalah salah satu prekursor sel-sel otot, dan seratnya ditunjukkan dengan warna kuning dan nuklei ditunjukkan dengan warna biru. Produksi daging sintetis secara in vitro diawali dengan mengambil sampel kecil dari sel-sel myosattelite, myoblast (Hocquette et al., 2010). Menurut Mark Post, sang penggagas ide daging laboratorium untuk burger dan steak dalam pidatonya menyatakan bahwa 1 sel myosatellite dapat memenuhi kebutuhan daging untuk sebulan. Caranya yaitu: 1. Para ilmuwan melakukan biopsi (tindakan diagnostik yang dilakukan dengan mengambil sampel jaringan atau sel untuk dianalisis di laboratorium) terhadap sel otot untuk mendapatkan sel-sel myosatellite dari hewan ternak yang diinginkan untuk dikultur yang berasal dari jaringan adiposa, seperti ayam, sapi, kambing ataupun babi. Sel-sel myosatellite ini terletak di antara lamina basal dan sarcolemma dari myofiber. 2. Biopsy dilakukan dengan cara melakukan bius lokal terlebih dahulu pada daerah pada tubuh hewan yang akan diambil sampel ototnya. Kemudian biopsi dilakukan dengan menggunakan salah satu jarum tipis yang melekat pada ansuntik (biopsi jarum halus) atau sedikit lebih besar biopsi jarum (biopsi jarum inti), tergantung pada lokasi dari otot yang ditargetkan dan jumlah yang diperlukan untuk sampel biopsi. Gambar alat biopsy Alat biopsi berikut bagian-bagiannya: plunger (1), cutting cannula (2), throw length (10 mm atau 20 mm) (3), biopsy reservoir (4), inner cannula (5). 3. Biopsi dilakukan dengan menusukkan jarum biopsi sampai jarum biopsi menembus masuk dan diperkirakan sudah mencapai bagian dimana sampel jaringan yang ingin dikoleksi. Saat jarum biopsi sudah berada di dalam jaringan, maka plunger dari alat biopsi ditekan dengan menggunakan ibu jari tangan. Sesaat setelah plunger ditekan, maka dengan segera jarum biopsi akan memotong jaringan otot, sehingga jaringan akan terdorong masuk ke dalam biopsy reservoir. 4. Tahap selanjutnya setelah sampel didapat dari proses biopsy yaitu isolasi sampel otot. Pada langkah ini, sampel otot dikumpulkan dari sekitar 100 sel diisolasi dengan cara enzimatik. Digunakan enzim proteolitik, dalam hal ini yaitu menggunakan enzim kolagenase untuk memisahkan sel-sel myosatellite dari struktur lain. Enzim proteolitik atau disebut juga Proteinase atau Protease, merupakan kelompok enzim yang mampu memecah rantai panjang molekul protein menjadi molekul-molekul yang lebih kecil disebut peptida (peptides) dan bahkan sampai menjadi komponen-komponen terkecil penyusun protein yang disebut Asam Amino 5. Cara isolasinya yaitu sampel tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi PBS (phosphate buffer Saline) 20% dan antibiotic. Di dalam laminar flow cabinet, sampel tersebut dicuci dengan PBS 20% sebanyak 4 kali kemudian tambahkan medium bebas serum. Penggunaan PBS merupakan solution berbasis air garam yang mengandung natrium klorida, natrium fosfat, dan (dalam beberapa formulasi) klorida kalium dan fosfat kalium. Buffer inilah yang nantinya membantu sel dalam mempertahankan konsistensi pH (Medicago, 2010). Jika sel yang tenggelam ke dalam solusi yang memiliki terlalu banyak garam ion, air akan bocor keluar dari sel, menyebabkan sel menyusut. Sebaliknya, jika sel terbenam ke dalam solusi yang memiliki ion terlalu sedikit garam, air akan masuk ke dalam sel, menyebabkan sel pecah. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga sel-sel di osmolaritas tertentu. 6. Bersihkan dari lemak lalu tempatkan ke cawan petri yang baru. Potong-potong dengan menggunakan scalpel hingga ukuran 1mm3, pindahkan kedalam botol steril, biarkan potongan jaringan tersebut mengendap, pisahkan supernatant, ganti dengan larutan kollagenase kemudian di inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Penggunaan kollagenase yaitu karena aktivitas enzim-enzim proteolisis seperti kolagenase, dapat mendegradasi ikatan polipeptida pada kolagen tanpa mendenaturasi protein menjadi molekul yang lebih sederhana (autolisis) mengakibatkan terjadinya pelemasan dari daging ataupun lemak yang masih menempel. 7. Pipet dengan hati-hati sel yang telah terdispersi, masukkan ke dalam tabung sentrifuge steril, lalu putar pada 500xg selama 5 menit. 8. Supernatan dibuang, pellet yang merupakan sel myosatellite diresuspensi ke dalam medium kultur. 9. Setelah diisolasi dan didapatkan sel myosatellite, proliferasi dapat dimulai. Untuk meniru lingkungan pada kondisi normal dan tempat untuk tumbuh sel, maka digunakan metode scaffolding. Scaffold juga diperlukan untuk adhesi sel dan proliferasi sehingga sel berkembang menjadi jaringan. Scaffold adalah ECM (matriks ekstraseluler) buatan yang digunakan untuk produksi sel in-vitro. Jadi, Scaffold adalah pengganti matriks ekstraseluler. Pada dasarnya, semua sel melekat pada ECM. Di sinilah sel bermigrasi, memberikan dukungan sel, mengatur komunikasi antar sel, tumbuh, berkembang biak, dll. Tanpa ECM, sel tidak akan bisa melalui mitosis atau meiosis (proses produksi sel baru), sel tidak dapat berkomunikasi atau bergerak, dll. Karena kita semua terdiri dari sel, tanpa ECM, kita tidak akan dapat berfungsi, jadi pada akhirnya tidak ada yang hidup. ECM adalah alasan mengapa sel kita bisa berfungsi dan digunakan untuk mengarahkan sel dalam tubuh kita. Dan scaffold adalah ECM buatan yang digunakan untuk produksi sel in-vitro. adalah bahan berpori yang digunakan untuk memandu pertumbuhan sel dan diperlukan untuk semua jenis rekayasa jaringan. Tujuan daging yang ditumbuhkan di lab adalah untuk menumbuhkan otot (yang akhirnya dapat dikonsumsi) di luar binatang. Di dalam, misalnya, seekor sapi, ada ECM yang dapat mengarahkan pertumbuhan sel otot. Tetapi menggunakan pertanian seluler, kita perlu menggunakan scaffold. Scaffold ini yang terbuat dari selulosa, alginat, kitosan, atau kolagen (Edelman, et al., 2005). Scaffold juga bisa terbuat dari protein nabati yang merupakan kandidat yang menarik untuk daging bersih, karena nilai gizinya. Polimer ini akan aman untuk ditinggalkan dalam produk daging dan dapat menambah kualitas tekstur. Teknik Scaffold Structure bermula dengan pemisahan (isolation) sel stem dari tubuh hewan ternakan seperti lembu atau kambing dan akan diletakkan di dalam satu bioreactor yang mengandung medium kultur yang sesuai. Medium tersebut mestilah mempunyai lingkungan dan komposisi nutrien dan kimia yang sama dengan keadaan di dalam badan hewan (in vivo) (Zachary, 2013). Sel stem ini akan membiak dan berkembang untuk tempoh beberapa minggu atau bulan menjadi sel otot dan melekat pada rangka/perancah (scaffold) yang diletakkan di dalam bioreaktor tadi. 10. Perubahan dalam media diperlukan untuk memenuhi tuntutan perubahan sel baru, maka dari itu scaffold dimasukkan ke dalam media kultur DMEM 4oC ke dalam bioreactor (diinkubasi) pada suhu 37oC dengan aliran CO2 5% dan udara 95% tempat jaringan berdiferensiasi. Tujuan dimasukkan dalam bioreactor ini yaitu agar mampu memasok sel dengan kebutuhan energi yang mereka butuhkan untuk tumbuh. Bioreaktor atau dikenal juga dengan nama fermentor adalah sebuah peralatan atau sistem yang mampu menyediakan sebuah menunjang terjadinya reaksi biokimia dari bahan lingkungan mentah biologis yang dapat menjadi bahan yang dikehendaki. Reaksi biokimia yang terjadi di dalam bioreaktor melibatkan organisme atau komponen biokimia aktif (enzim) yang berasal dari organisme tertentu, baik secara aerobik maupun anaerobik. Bioreaktor umumnya digunakan untuk menumbuhkan sel prokariotik dan eukariotik (ragi, bakteri, atau sel hewan) dalam kondisi yang terkendali. Mereka digunakan untuk memproduksi obat-obatan, vaksin, atau antibodi pada skala industri. Bioreaktor menyediakan lingkungan yang terkendali untuk sel dengan mempertahankan suhu, pH, dan tingkat oksigen dalam ruang kultur. NASA telah mengembangkan bioreaktor berputar untuk produksi jaringan otot rangka (Arshad, 2017). 11. Kemudian sel-sel berproliferasi dan menghasilkan lebih banyak sel (Proses menempatkan sel-sel hidup pada media berbasis nutrisi disebut eksplanasi). Selama proliferasi, tujuannya adalah untuk memproduksi sel myosatelit sebanyak mungkin untuk mengaktifkannya untuk transisi ke miosit atau sel myotubular. 12. Proliferasi sel terjadi pada hari ke 2, koloni myosatellite cell yang berbentuk triangular dan bulat sudah mulai menempel pada scaffolding. Proliferasi myosatellite cell dapat diamati pada hari ke 3 dengan ditandai bertambahnya jumlah sel yang menyebar dengan perubahan morfologi menjadi fibroblast-like. Pengamatan pada hari ke 7 sel yang tumbuh telah mempunyai morfologi bulat, fibroblastlike dan fusiform. Sel berbentuk bulat pada hari ke 7 merupakan sel-sel yang telah selesai melakukan pembelahan mitosis (Shahini, et al., 2018). Gambar dalam bioreaktor 13. Di dalam bioreactor, ketika bioreaktor sudah penuh dan kepadatan sel yang diinginkan tercapai, enzim transglutaminase protein pengikat-silang ditambahkan untuk menginduksi pembentukan agregat sel yang mudah mengendap, yang dengan cepat mengendap saat pengadukan dihentikan. Enzim transglutaminase sendiri bekerja secara intra dan inter seluler yang menghasilkan ikatan silang antar protein. Transglutaminase adalah enzim tiol yang mengkatalis (mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri) suatu reaksi modifikasi protein pascatranslasi. Enzim transglutaminase bekerja mengkatalis reaksi antara residu asam amino lisin dan residu asam amino glutamin serta membentuk ikatan yang bisa menghasilkan penggabungan ikatan kovalen inter atau intramolekuler yang berikatan silang dengan protein makanan. Hal tersebut dapat meningkatkan sifat fisika dan bentuk makanan. Enzim transglutaminase yang digunakan yaitu yang berasal dari mikroba Streptoverticillium ladakanum yang merupakan bakteri penghasil enzim ekstraselular. 14. Dalam waktu 7-8 minggu, kultur daging labortorium siap untuk dicetak dan dikonsumsi. 15. Penambahan mioglobin dan hemoglobin juga diperlukan yang membuat produk lebih mirip daging dalam penampilan dan rasanya. (Terkait penampilan dan cita rasa). Myoglobin adalah komponen alami otot, dan hemoglobin ditemukan dalam darah. Sebagai protein heme, keduanya membawa atom besi yang bertanggung jawab atas rasa daging sapi yang sedikit 'logam'. Mioglobin pembawa protein heme bertanggung jawab atas warna merah daging dan merupakan sumber penting zat besi dalam daging (Suman dan Joseph 2013). Tim peneliti yang dipimpin Tufts berhipotesis bahwa menambahkan protein heme ke dalam kultur sel daging tidak hanya memiliki efek yang serupa tetapi juga dapat meningkatkan pertumbuhan sel otot yang membutuhkan protein heme untuk berkembang. Para peneliti menemukan bahwa menambahkan hemoglobin atau mioglobin mengubah warna otot bioartificial menjadi warna seperti daging coklat kemerahan. Myoglobin, bagaimanapun, jauh lebih baik untuk mempromosikan proliferasi sel dan diferensiasi menjadi sel otot dewasa, dan lebih baik dalam membantu sel membentuk serat dan menambahkan warna seperti daging. 16. Sel-sel yang dipanen ditekan (dikeluarkan) dan hasil diekstrusi menjadi porsi ukuran konsumen daging cincang seukuran cawan petri. Perlu diperhatikan bahwa medium untuk kultur sel in vitro harus mampu menyuplai nutrisi yang sama seperti keadaan nutrisi pada darah karena sel di dalam tubuh organisme menerima nutrisi dari sirkulasi darah. Awalnya untuk menumbuhkan sel mamalia in vitro melibatkan medium yang berasal dari bahan alami seperti embrio ayam, serum, dan cairan limfe. Tetapi sejak tahun 1950 ditemukan medium kultur yang mengandung berbagai komponen penting dan sudah banyak perkembangan. Medium dasar untuk kultur sel adalah larutan garam seimbang. Larutan ini berfungsi untuk menciptakan pH dan osmolaritas fisiologis yang dibutuhkan untuk mempertahankan viabilitas sel in vitro. Medium yang umum digunakan dalam kultur sel mamalia adalah Dulbecco’s modified Eagle’s medium (DMEM). Medium ini merupakan medium kultur berupa buffer bikarbonat yang didesain untuk pH 7,0–7,4 pada keadaan 5% CO2 dan 95% udara. Nutrisi yang terkandung di dalam DMEM adalah garam-garam anorganik (kalsium klorida, ferri nitrat, kalium klorida, magnesium sulfat, natrium bikarbonat, natrium klorida, dan natrium phosphat), Glukosa, phenol red, dan asam amino (L-Arginin Hidroklor, L-Cystein.2HCl, LGlutamin, Glycine, L-Histidin.HCl.H2O, L-Isoleusin, L-Lysine Hidroksiklorida, LMethionin, L-Phenilalanin, L-Serin, L-Treonin, L-Triptofan, L-Tyrosin.2Na.2H2O dan LValine), vitamin (D-Kalsium Pentothenate, Koline klorida, asam folat, L-Inositol, Niacinamide, Pyridoxin HCl, Riboflavin dan Thiamine Hidroklorin). Menurut Yadav dan Tyagi (2005) untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sel selama pertumbuhan dapat ditambahkan serum atau ekstrak embrio ke dalam medium. Penambahan serum atau ekstrak embrio ini memang sangat beresiko terhadap kontaminasi, oleh karena itu perlu juga dilakukan penambahan antibiotik seperti penisilin atau streptomisin ke dalam medium untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Temperatur optimal untuk kultur sel tergantung pada suhu tubuh hewan dari mana sel diisolasi, perbedaan letak anatomis (misalnya temperatur kulit dan testis akan lebih rendah dibandingkan temperatur tubuh), dan pengaturan faktor keamanan untuk menghindari kesalahan (error) pada inkubator seperti kejadian overheating (Freshney 2005). Temperatur juga berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel. Selain itu, juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 pada temperatur rendah (Malole 1990). Selain temperatur, pH merupakan komponen yang juga memegang peranan penting dalam kegiatan kultur. Sebagian besar cell line tumbuh dengan baik pada pH 7,4 (Malole 1990). Walau demikian, pH optimum untuk pertumbuhan sel relatif sedikit bervariasi berdasarkan jenis sel masing-masing (Freshney 2005). Cell line fibroblas menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik pada pH antara 7,4–7,7, sedangkan sel yang sama tapi telah mengalami transformasi tumbuh lebih baik pada pH antara 7,0–7,4 (Freshney 2005). Mekanisme pertumbuhan di dalam media kultur Myogenesis adalah pembentukan jaringan otot, terutama selama perkembangan embrionik. Sel-sel myosatelit otot memainkan peran penting dalam pertumbuhan otot postnatal dengan menggabungkan dengan serat otot yang ada dan menyediakan nukleus yang diperlukan untuk pertumbuhan serat postnatal (Dayton & White, 2007). Setelah sampel sel induk (sel myosatellite) dieksplorasi ke medium pertumbuhan, mereka mengalami proliferasi sehingga dapat tumbuh menjadi myoblast. Myoblast (sel otot awal dengan nukleus tunggal) bergabung bersama untuk membentuk miosit (sel otot berinti banyak) selama proses miogenesis. Serat otot umumnya membentuk fusi mioblas menjadi serat multi-nukleasi yang disebut miotube (Myoblast berfusi membentuk myotube). Dalam perkembangan awal embrio, myoblast dapat berkembang biak, atau berdiferensiasi menjadi miotube. Miotube selanjutnya mengalami maturasi membentuk myofibres dan begitu seterusnya hingga menjadi serat-serat daging. Apa yang mengontrol pilihan ini secara in vivo umumnya tidak jelas. Jika ditempatkan dalam kultur sel, sebagian besar myoblas akan berkembang biak jika cukup faktor pertumbuhan fibroblast (FGF) atau faktor pertumbuhan lain hadir dalam media di sekitar sel. Ketika faktor pertumbuhan habis, myoblasts berhenti berdivisi dan menjalani diferensiasi terminal menjadi myotubes. Diferensiasi Myoblast berlangsung secara bertahap. Tahap pertama, melibatkan keluarnya siklus sel dan dimulainya ekspresi gen tertentu. Tahap diferensiasi kedua melibatkan penyelarasan myoblas dengan satu sama lain. B. BIOETIKA DAGING LABORATORIUM BERDASARKAN ISLAM Kecanggihan teknologi pada hari ini telah membolehkan manusia berinovasi dan mencipta belbagai benda baru. Contohnya, perhubungan antara dua pihak yang berjauhan akan mengambil masa yang sangat lama dan manusia hanya bergantung kepada perutusan surat pada zaman dahulu. Namun, pada hari ini, terdapat pelbagai media perhubungan yang memudahkan urusan manusia, sama ada untuk sekadar bertanya khabar, urusan perniagaan dan sebagainya. Hakikatnya, semua teknologi ini dicipta untuk memudahkan kehidupan manusia. Namun, jika dilihat dari satu sudut yang lain pula, perkembangan teknologi telah mengubah beberapa tabiat alam yang telah dicipta oleh Allah SWT dan juga terkadang menghalalkan yang belum jelas sumber bahannya apakah halal atau haram (Hamdan, 2015). "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyembah"(QS. anNahl [16]: 114). Sebagian besar ulama berpendapat bahwa daging, lemak atau tulang yang terpotong dari hewan ketika ia masih hidup adalah najis dan haram dimakan. Tetapi, bulu dan rambut dikecualikan kerana ia sukar dielakkan. Begitu juga dengan ‘mudghah„alaqah atau janin yang telah mati adalah najis. Tetapi jika janin keluar dari perut ibunya dalam keadaan masih hidup. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abi Waqid al-Laythi bahawa Nabi SAW telah tiba di Madinah dan ketika itu penduduk Madinah (pada waktu itu) memotong bonggol unta dan anggota badan kambing. Lalu Nabi SAW bersabda: Terjemahan: Apa saja yang terpotong dari hewan ternakan dalam keadaan haiwan tersebut masih hidup, maka anggota tersebut adalah bangkai (dan dikira najis) (al-Tirmidhi, 1417H; al-Bayhaqi, 1424H/2003M). Direktur Halal Center Fakultas Peternakan UGM, Nanung Danardono menyampaikan, produk daging sel kultur tidak halal untuk dikonsumsi. Pasalnya setiap makanan hewani dalan islam harus disembelih terlebih dulu. Sementara produksi daging sel kultur tidak memenuhi kaidah-kaidah penyembelihan secara syariat. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang" (QS. al-Baqarah [2]: 173). "Dalam Islam daging hewan harus disembelih. Kalau tidak disembelih, maka tidak halal," dalam firman Allah dalam ayat lainya "Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang" (QS. al-An'am [6]: 145) Kultur miosatellite yang diambil dari harus berasal dari organisme/ hewan yang halal. Apabila sel tersebut berasal dari hewan yang haram seperti babi maka daging yang diperolehnya pun akan berstatus tidak halal. Bahan pada media kultur pula harus diperhatikan tidak boleh ada bahan bahan yang diharamkan apabila ada bahan yang diharamkan bisa dipastikan produk dagingsteak kultur haram untuk dimakan, Demikian pula apabila jaringan diambil dari hewan yang telah mati, aspek penyembelihan harus diperhatikan apakah memenuhi syariat agama islam atau tidak. BAB III KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan dari isi makalah pembuatan daging sintesis, maka dapat disimpulakn bahwa dengan semakin meningkatnya permintaan sedangkan industri peternakan konvesional mengalami banyak halangan seperti isu lingkungan, dan dampak ke kesehatan manusia, maka daging sintetis yang dihasilkan melalui kultur sel punca otot bisa menjadi solusi. Dalam penerapannya persepsi personal terkait proses produksi daging secara in vitro yang dianggap tidak alami dapat memicu keengganan beberapa golongan masyarakat untuk mengadopsi daging sintetis ini dalam kesehariannya (Hasrianda, 2018). Mengacu pada hal tersebut, penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan efektifitas kultur serta sosialisasi mengenai keamanan daging sintetis perlu dilaksanakan. Namun secara kajian bioetika dalam agama Islam, daging sintesis ini tidak halal untuk dikonsumsi dikarenakan proses pembuatannya yang tanpa menerapkan proses penyembelihan yang sesuai syariat hukum Islam. Selain itu, terdapat juga dalil yang menyatakan bahwa segala sesuatu dari bagian tubuh binatang yang terpotong, sementara binatang tersebut masih hidup, maka tidak halal untuk dikonsumsi. Maka konsumsi daging laboratorium ini tidak baik untuk masyarakat yang beragama Islam. DAFTAR PUSTAKA Arshad, M. S., 2017. Tissue engineering approaches to develop cultured meat from cells: A mini review. Cogent Food & Agriculture Dayton and White. 2007. Cellular and molecular regulation of muscle growth and development in meat animals. Regulation Of Muscle Growth In Meat Animals, 217-225 Edelman, et al., 2005. In Vitro-Cultured Meat Production. Tissue Engineering. 11, (5) 659-662 Franz Weiss dan Adrian Leip. 2012. “Greenhouse gas emissions from the EU livestock sector: A life cycle assessment carried out with the CAPRI model”, Jurnal Agriculture, Ecosystems and Environment, v. 149, 124-134. Gerber, P. J. et al., 2013. Tackling climate change through livestock: A global assessment of emissions and mitigation opportunities, Rome: FAO. Hamdan, Mohammad Naqib dan Mohd Anuar bin Ramli. 2015. Konsep Mengubah Ciptaan Allah Swt: Analisis Hukum Pengkulturan Daging. Jurnal Infad vol 5, 81-105 Hanna L. Toumisto dan M. Joost Texeira de Mattos. 2012. Environmental Impacts of Cultured Meat Production, Journal Environmental: Science and Technology, 45, 6117-6123. Kadim, I., Faye, B., Mahgoub, O. & Purchas, R., 2015. Cultured meat from muscle stem cells: A review of challenges and prospects. Journal of Integrative Agriculture, 14 (2), 222-233. Medicago, AB. 2010. Phospate Buffered Saline Spesification Sheet. Shahini, Aref, et al., 2018. Efficient and high yield isolation of myoblasts from skeletal muscle. Stem Cell Journal. 30, 122–129 Yablonka-Reuveni, Z. 2011. The skeletal muscle satellite cell: still young and fascinating at The journal of histochemistry and cytochemistry : Official Journal of the Histochemistry Society. 59:1041-1059 Zachary Schneider. 2013. In Vitro Meat: Space Travel, Cannibalism and Federal Regulation, dalam Houston Law Review Zuhaib Fayaz Bhat, Sunil Kumar dan Hina Fayaz. 2014. In Vitro Meat Production: Challenges and Benefits Over Conventional Meat Production, Journal of Integrative Agriculture