Uploaded by Shiny Ane El'poesya

Plato tells us what this bringing is in a sentence from the Symposium

advertisement
“Plato tells us what this bringing is in a sentence from the Symposium (205b): he gar toi ek tou
me onton eis to on ionti hotoioun aitia pasa esti poiesis. ‘Every occasion for whatever passes
over and goes forward into presencing from that which is not presencing is poiesis, is bringingforth [Her-vor-bringen].’”
(Heidegger, The Question Concerning Technology).
ANDAI kita sekadar bermain-main saja dan bertanya pada banyak orang–pada para pegiat sastra
dan literasi, atau membaca buku-buku soal pembelajaran sastra hingga saat ini, “Apa puisi itu?”,
maka bisa jadi hampir 99,75% mereka akan menjawab, puisi adalah salah satu jenis karya sastra
yang bukan prosa dan bukan drama. Atau ada yang coba menjawab secara definitif, bahwa puisi
adalah satu jenis karya sastra yang dalam segi penulisannya ditentukan oleh aturan-aturan rima,
metrum, metafora, kata-kata “indah-berbunga”, dst.. Atau mungkin ada satu dua orang yang
hendak coba menjawabnya dengan menggunakan pendekatan etimologis, bahwa puisi berasal dari
kata Poiesis (Yunani) yang artinya “menciptakan”, yang dalam kelanjutannya, kembali dirujuk
pengertian terminologis: penyair adalah pencipta sajak, syair, dst. padahal jelas, pengertian yang
kesemuanya itu amat lebih dekat pada kekeliruan.
Benar, bahwa akar kata puisi yang selama ini kita gunakan adalah berasal dari kata Poiesis
(Yunani), namun alih bahasa yang tepat dari Poiesis adalah “membuat” (in making) dan bukan
“mencipta” (creating). Sebab kata “membuat” berarti mengandung makna pekerjaan mengolah
kembali (membentuk kembali) sebuah bahan dasar, sedangkan kata “mencipta” berarti benarbenar memulai sesuatu dari nol. Dan dalam sejarah pembentukan teori soal Poiesis ini, di Yunani,
persoalan “menciptakan dari nol” tidak mendapatkan tempat sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
manusia; menciptakan adalah pekerjaan dewa. Meskipun pula, dalam sejarah Yunani, ada yang
mengembangkan gagasan bahwa seorang penggubah “sajak”, sebagiannya adalah mereka yang
telah dipengaruhi oleh kekuatan “setengah dewa”, seperti misalnya dalam dialog tentang Ion; Plato
sempat merekam pendapat Ion kepada Socrates yang menekankan bahwa ia hanyalah seorang
rhapsodist yang hanya mengikuti “pengetahuan” seorang penggubah sajak epik (Homerus) yang
telah mendapatkan pengaruh langsung dari dewa. Namun dalam bagian yang lain dialog Ion, Plato
membatasi pengaruh itu hanya sebatas ermeneus tou theou, yang artinya hanya sebagai “penafsir”
dari isyarat yang diberikan para dewa (534 e).
Sebagian kecil (sekali) dari antara kita mungkin sudah bisa mengucapkan bahwa puisi (Poiesis)
adalah satu genre (tipe) sepertihalnya Drama, dan bukan merupakan satu model cara ungkap
(bentuk) seperti sajak (persajakan), di mana puisi (juga Drama) bisa ditulis baik dalam bentuk
prosa, maupun sajak, meskipun pernyataan kategoris demikian pula belum sepenuhnya tepat.
Sebab, kata Poiesis sendiri berasal dari kata “Poiein” (: buat) dengan tambahan “is” di akhir, yang
memberi efek arti sebagai sebuah “kerja” (ex. Mime: Tiru. Mime-sis: Aktivitas meniru), sehingga
Poiesis akan lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah aktivitas membuat sebuah karya melalui
teknik dan keahlian tertentu–pada saat itu keahlian mimetik.
Soal kategorisasi, Aristoteles telah coba menjelaskannya dalam “Poetics”, bahwa Poiesis dalam
wujudnya saat itu telah mengambil berbagai macam bentuk yang termasuk di dalamnya adalah
Drama; (i) Komedi, (ii) tragedi, (iii) epik, (iv) dithyramb, (v) iambik, (vi) poemata, (vii) drama,
dsb.
Dan yang menarik kemudian adalah, sampai Aristoteles menulis Poeticsnya, di Yunani sendiri
belum ada pembedaan secara khusus, soal kata Poiesis yang digunakan untuk hal yang berurusan
dengan aktivitas ke-bahasa-an atau dalam hal kegiatan yang non-kebahasaan. Bukan satu hal yang
tak dapat diabaikan pula jika pada saat itu (perkembangan) wacana “kritik seni” pada akhirnya
lebih banyak berurusan dengan poetica kebahasaan, sebab watak dari masyarakat (intelektual)
Yunani yang memang memiliki perhatian khusus pada segala yang berkaitan dengan logos.
Terlebih dalam Poeticsnya itu, Aristoteles belum sepenuhnya menunjukkan kepada kita ada
distingsi yang tegas soal Poiesis yang berkaitan hanya dengan “bahasa” dalam kedudukannya
sebagai literature (sastra–tulis) dan “bahasa” yang diperlakukan sebagai media representasi dalam
seni bernyanyi, sebagai bagian alat pertunjukan, pemujaan dsb., seperti yang ada pada dithyrambh
dan nomes, kecuali hanya ditunjukkan kesamaannya sebagai seni yang sama bermatra dengan
bentuk persajakan lain; sekaligus telah dibedakannya dengan diktat filsafat dan seni retorika
sebagai respon atas komentar Plato atas fenomena puisi yang disikapi sebagai perkara yang punya
kecenderungan menjauh dari kebenaran.
Yang tak kalah penting selanjutnya adalah, bahwa kita menemukan dalam bagian awal
Poetics Aristotles, soal kenyataan masih simpang-siurnya penyebutan masyarakat Yunani kepada
siapa mereka-mereka yang patut disebut sebagai pelaku puisi dan mereka-mereka yang hanya
sekadar mengerjakan risalatnya dalam bentuk persajakan bermatra; Pada bagian awal kumpulan
makalah kuliah tersebut, Aristoteles terlihat masih hanya menghimbau para pembaca Poeticsnya
akan penyematan status antara menyebut Homerus sebagai seorang penggubah sajak–epik, dan
Empedokles yang lebih baik disebut sebagai filsuf saja, sebab tidak dapat ditemukan kesamaan
(keahlian) antara keduanya–dalam Poiesis, kecuali Empedokles hanya menulis diktatnya dalam
bentuk sajak; bermatra. Sehingga dengan kata lain, bahwa dari Aristoteles lah, selain usaha untuk
memberi introduksi dalam mengkategorisasikan (memetakan keilmuan) soal seni Poiesis ini,
sekaligus ada indikasi munculnya ekses penyempitan makna dari Poiesis kepada hanya perhatian
atas berbagai pandangan soal estetika komposisi kebahasaan(baca: literer)nya. Dan pada waktu
yang lebih kemudian (oleh perjalanan sejarah) hanya terbatas pada definisi Poiesis sebagai sebuah
pekerjaan membuat berbagai jenis sajak.
Dalam konteks ini, sebenarnya kita perlu pula melihat bahwasanya, orang-orang Yunani kuno
memiliki dan menggunakan kata Poiesis dengan makna yang amat sangat luas ketimbang
pengertian-pengertian reduktif yang kita kenal saat ini–seperti itu. Pemaknaan meluas soal kata
Poiesis ini misalnya bisa kita lihat dalam pendapat seorang pendeta wanita, Diotama, yang sempat
diretrospeksi oleh Socrates dalam debatnya melawan Agathon (yang direkam oleh Plato dalam
Symposium), bahwa paling tidak ada tiga macam proses Poiesis: (i) Natural Poiesis yang
melibatkan proses prokreasi-seksual untuk melahirkan keturunan, (ii) Poiesis in the city, yang
melibatkan “politik masyarakat negara-kota” untuk melahirkan sosok pahlawan–atau mungkin
juga negarawan, (iii) Poiesis yang terjadi di dalam jiwa seseorang untuk melahirkan sebuah
virtue (keutamaan diri) dan pengetahuan (baca: kebijaksanaan).
Dengan ini, makna sebenarnya Poiesis–sekali lagi kembali hendak ditekankan–dalam dirinya
telah menyimpan satu cakupan yang amat begitu luas dalam setiap aktivitasnya (baik cara, media
bahkan subjeknya) yang mendahului sebuah usaha pendefinisian secara intelektual pada zaman
awal pembentukan keilmuannya secara teoritik, yang mana, bahkan telah mendahului satu
perwujudan peradaban literer(teks tulis)nya;
Email: [email protected]
Telegram Poetry Club: t.me/sainsPuisi_Lab
Download