1. Cari Kasus yang menurut kamu terdapat Dilema Etik (baik dari kliping, potongan berita, pengalaman) Kasus yang akan dianalisis adalah kasus kelalaian yang mengakibatkan kematian yang didakwakan kepada tiga orang dokter, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian. Kasus ini terjadi di Rumah Sakit Umum Prof. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado ketika ketiga dokter tersebut melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey pada tanggal 10 April 2010. Kasus ini berawal ketika dr. Ayu bersama rekannya yaitu dr. Hendry dan dr. Hendy sedang menangani pasien rujukan dari Puskesmas di daerah Manado. Karena keadaan terdesak, dr. Ayu melakukan tindakan operasi cito secsio sesaria. Tetapi tindakan tersebut gagal menyelamatkan pasien. Selang beberapa waktu pasca kejadian, dr Ayu dkk malah mendapat 'undangan' dari kepolisian. Mereka dilaporkan oleh keluarga pasien karena melakukan operasi tanpa izin. Pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Manado, dr Ayu dkk dituntut 10 bulan penjara. Tapi dr.Ayu dkk divonis bebas karena tidak terbukti melakukan malpraktik. Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus mengajukan kasasi dan dikabulkan MA lewat putusan yang dikeluarkan pada tanggal 18 November 2012. Pengadilan kasasi dipimpin hakim agung Artidjo Alkotsar dibantu Dudu Duswara dan Sofyan Sitompul sebagai hakim anggota. Majelis menyatakan, ketiga dokter terbukti melakukan kesalahan seperti diatur dalam Pasal 359 KUHP. Maka, majelis kasasi menjatuhkan hukuman kepada tiga dokter muda itu pidana penjara masing-masing 10 bulan. Kesalahan para dokter itu, menurut hakim, yakni tidak mempertimbangkan hasil rekam medis dari puskesmas yang merujuk Siska Makatey. Rekam medis tersebut menyatakan, saat masuk Rumah Sakit (RS) Prof RF Kandou, Malalayang, Manado, keadaan Siska Makatey adalah lemah dengan status penyakit berat. Kesalahan kedua, seperti dalam pertimbangan majelis kasasi, sebelum menjalankan operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria, ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap risiko dan kemungkinan yang bakal terjadi, termasuk risiko kematian. Dalam dakwaan jaksa bahkan dijelaskan, tanda tangan Siska yang tertera dalam surat persetujuan pelaksanaan operasi berbeda dengan tanda tangan Siska pada kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu Askes-nya. Dokter Hendy-lah yang bertanggung jawab untuk meminta tanda tangan Siska. Kesalahan ketiga, para dokter itu melakukan kelalaian yang menyebabkan udara masuk ke dalam bilik kanan jantung Siska. Hal itu menghambat aliran darah yang masuk ke paru-paru hingga terjadi kegagalan fungsi jantung. Dalam dakwaannya, jaksa menjabarkan, sebelum melakukan operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70. Pemeriksaan jantung baru dilakukan pasca-operasi dilaksanakan. Dari pemeriksaan itu disimpulkan, Siska mengalami kelainan irama jantung. Pasca-operasi, denyut nadi Siska mencapai 180 kali per menit. Hal itu pertanda bahwa pada jantung pasien terjadi kegagalan akut karena terjadi emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan, seperti darah, air ketuban, udara, lemah, atau trombus. Menurut saksi Najoan Nan Warouw, Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang bertugas saat operasi dilaksanakan, keadaan yang dialami Siska pasti menyebabkan kematian. "Selanjutnya, korban dinyatakan meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam," kata kasasi jaksa. Majelis kasasi menilai, kesalahan itu mempunyai hubungan sebab dan akibat dengan meninggalnya Siska. Atas kasus itulah, dr Ayu dkk digugat ke Mahkamah Konstitusi. "Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya Siska Makatey," kata majelis kasasi dalam putusan Vonis. Putusan ini membuat dunia kedokteran bergejolak. Para dokter di seluruh tanah air turun ke jalan untuk meminta dr Ayu dkk dibebaskan. Bahkan para dokter melakukan aksi mogok hampir di seluruh provinsi karena berduka atas hukuman dr Ayu cs. Aksi para dokter ini membuahkan hasil. Pada Februari 2014 dr Ayu dkk dibebaskan lewat putusan di tingkat peninjauan kembali (PK). Dasar pertimbangan mengabulkan PK yaitu para terpidana tidak menyalahi SOP dalam penanganan operasi sectio cesaria. 2. Deskripsikan Dilema etik yang terjadi berdasar Kasus tersebut (Buat pemaparan dan jelaskan) Dilema etik yang terjadi pada kasus dr. Ayu ini adalah penanganan kasus emergensi (non-maleficence) dan otonomi (autonomy). Dilema etik non-maleficence dan autonomy yang ditemukan berupa tidak disampaikannya risiko terburuk operasi kepada keluarga korban. Dilihat dalam ranah hukum, mengenai tidak diinformasikannya risiko terburuk kepada keluarga korban, fakta yang diperoleh majelis hakim selama proses persidangan dan alat-alat bukti menyatakan bahwa pemberian persetujuan untuk melakukan tindakan medis dan tindakan operasi telah diberikan oleh keluarga korban tanpa paksaan dan dengan kesadaran penuh karena operasi tersebut memang diminta oleh keluarga korban dan oleh korban sendiri. Meski pada akhirnya, hal tersebut dibantah oleh keluarga korban, Majelis Hakim menilai hal tersebut tidak beralasan karena alat bukti lain mendukung hal yang sebaliknya. Terhadap tindakan operasi tersebut, faktanya pihak korban dan keluarga telah memberikan persetujuan dilakukan operasi. Namun, Jaksa Penuntut Umum mendalilkan pihak keluarga korban tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai risiko operasi. Ditambah lagi dalam kasus diatas, aspek informed consent terlihat diabaikan oleh para dokter. Hal tersebut dibuktikan berupa tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr.Hendy Siagian untuk ditandatangani oleh korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes Pada prinsipnya, pelaksanaan tindakan medis oleh dokter harus memperoleh persetujuan dari pasien dan pasien pun perlu memperoleh informasi dari dokter berkaitan dengan tindakan medis (dan risikonya) yang akan dilakukan terhadapnya. Konsep tersebut diamini oleh Penuntut Umum dalam mendakwa para Terdakwa di kasus ini. Penuntut Umum mencoba mengkonstruksikan pemberian informed consent yang tidak sempurna tersebut sebagai sebab kematian korban Siska Makatey. Selain itu, tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang didalilkan sebagai salah satu sebab kematian korban Siska Makatey. Dalam aspek hukum, aspek informed consent merupakan dasar seorang dokter untuk melakukan tindakan medis. Dengan diabaikannya aspek informed consent maka dalam ajaran ilmu hukum pidana, hal tersebut merupakan kelalaian dokter dalam menjalankan tindakan medis. Tanpa adanya aspek informed consent dalam suatu tindakan medis, maka hal tersebut dapat masuk dalam elemen kesalahan yang dimaksudkan dalam pasal 359 KUHP. Jika kita bicara aspek hukum ‘saja’ tentunya dr. Ayu, dkk terlihat bersalah karena pasal 359 KUHP yaitu ‘Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati’. Akan tetapi, dalam ranah bioetik, mengecualikan fakta bahwa keluarga korban telah memberikan persetujuan tertulis dan tanda tangan atas nama korban pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan (Spurious Signature), karena kondisi korban dalam kondisi darurat, korban harus segera dilakukan penanganan. Walau tidak dilakukannya prinsip autonomy, yaitu inform consent oleh dr. Ayu dkk, dalam keadaan darurat haruskah kita menunggu persetujuan pasien? Dr. Ayu dkk, telah melakukan prinsip nonmaleficence yaitu melakukan standar operasi prosedur yang sesuai pada pasien emergensi. Apakah setelah usaha maksimalnya, semampu apa yang dilakukan, dan Tuhan berkehendak lain, apakah itu adalah kesalahan dokter? Sebagai seorang dokter, hubungan kepercayaan dokter-pasien adalah hal yang penting. Ketika ada risiko dalam penaganan pasien yang dapat mnyebabkan error, kejujuran diharapkan dalam etika profesi medis. Akan tetapi, cara pendekatan error dalam medis yang sering terjadi adalah tidak adanya informasi kepada pasien dan keluarga dan malah hukuman bagi orang-orang yang dianggap bersalah. Kepercayaan yang hilang antara dokter-pasien akan memicu timbulnya istilah defensive medicine yang tidak sesuai dengan ranah bioetik kedokteran. Defensive medicine adalah praktik dokter melakukan tes diagnostik atau pengobatan yang belum tentu merupakan pilihan terbaik bagi pasien dan sesuai indikasi medis. Bentuk lain defensive medicine ini adalah dokter menolak melakukan tindakan medis pada pasien berisiko tinggi, karena takut pasiennya meninggal. Defensive medicine ini dapat menjadi salah satu kemungkinan kondisi kedokteran di Indonesia pasca kasus dr. Ayu dan berbagai kasus kriminalisasi dokter ini. Dokter akan berpikir lebih lama untuk menangani pasien emergensi, karena harus memikirkan apakah kedepannya kasus yang ia tangani ini probabilitas harapan hidup pasien nya baik atau tidak. Karena pada kasus yang memang harapan hidupnya kecil (contohnya kasus Cedera Kepala Berat) dia dapat dipidana karena pasiennya meninggal. Hal ini membuat dokter takut untuk segera melakukan tindakan, dan melakukan berbagai tes diagnostik yang tidak diperlukan. Defensive medicine ini tidak sesuai dengan prinsip beneficence yaitu berbuat baik. Hal ini dikarenakan risiko pasien diberikan tes diagnostik dan pengobatan yang tidak diharuskan dapat membahayakan keselamatan mereka, hal ini juga tidak sesuai dengan prinsip non-maleficence. Defensive medicine menyebabkan dokter berusaha menyelamatkan diri dan bukan untuk kepentingan pasien, maka prinsip bioetik tersebut telah dilanggar. 3. Lalu solusi dari Anda terkait kaidah etik yg menurut Anda perlu didahulukan berdasar kasus tersebut? ➡Pembahasan (gunakan kaidah dasar bioetik) i. tidak disampaikannya risiko terburuk operasi kepada keluarga korban. Dilihat dari sudut pandang dilema etik non-maleficence dan autonomy, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa informed consent sama sekali tidak diperlukan untuk operasi cito secsio sesaria karena meskipun persetujuan tersebut tidak diberikan, operasi tetap harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien (dan bayi yang dikandungnya). Hal ini sesuai dengan konsep bioetik non-maleficence, yaitu tidak merugikan pasien dengan menolong pasien dalam keadaan emergensi. Dengan demikian, meskipun kita mengecualikan fakta bahwa keluarga korban telah memberi persetujuan tertulis untuk operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey, ada atau tidaknya persetujuan tersebut tidak akan dipersoalkan karena kondisi yang dialami oleh korban Siska Makatey dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat dan dalam hal ini, operasi cito secsio sesaria harus segera dilakukan untuk menyelamatkan bayi dan/atau jiwa korban. Demikian halnya dengan urgensi pemeriksaan pendukung sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria yang tidak perlu dipertimbangkan mengingat kondisi darurat yang dialami korban Siska Makatey. Dr. Ayu dkk telah melakukan prinsip bioetik beneficence, dan nonmaleficence. Meskipun adanya ekspektasi bahwa dokter harus dapat menyelamatkan pasien, kenyataannya kasus emboli paru yang terjadi pada Ny. Siska memang presentase keberhasilannya sangat rendah, sulit diprediksi, dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Ekspektasi untuk sempurna dalam medis tidaklah realistis dan tidaklah mungkin. Apa yang dapat kita pelajari dari kasus ini adalah adanya komunikasi yang baik antara dokter-pasien dalam menyampaikan segala jenis informasi. Sehingga prinsip autonomy dapat terpenuhi dan dokter tidak perlu takut tindakannya akan dikecam apabila terjadi risiko dan efek samping. Karena kaidah bioetik dokter adalah Primum non nocere yang artinya “First, do no harm”, pertama, jangan merugikan (non-maleficence).