9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Strategi Proyek (Project Strategy) Literatur manajemen proyek tentang strategi proyek memberikan definisi yang terbatas mengenai konsep strategi proyek. Dalam proyek yang sudah ada studi strategi proyek diasumsikan mengambil peran taktis sebagai kendaraan nonstrategis dan non-mandiri dalam konteks satu organisasi induk (Artto et al., 2007). Mayoritas literatur manajemen proyek pada strategi proyek telah mengadopsi titik keberangkatan di mana proyek tergantung pada organisasi induk dan beroperasi di bawah kendali satu organisasi induk. Dengan asumsi tersebut, strategi pada satu proyek tetap sesuai dengan cara operasi induk organisasi (Martinsuo and Lehtonen, 2008). Menurut literatur strategi proyek yang ada, strategi pada satu proyek melayani tujuan dari organisasi induk, dan strategi proyek dibuat dalam fase awal proyek dan tetap stabil setelah diimplementasikan (Cleland, 1990; 2004; Wheelwright & Clark 1992; Turner tahun 1999; Anderson & Merna 2003; 2005; Morris & Jamieson 2004; Jamieson & Morris 2004; Shenhar et al., 2005, Patanakul et al., 2006; Milosevic & Srivannaboon 2006). Di sini, strategi proyek adalah bawahan yang lebih luas dan lebih signifikan strateginya dan dihasilkan dengan kontribusi langsung dari organisasi induk (Anderson & merna 2003; 2005; Morris & Jamieson 2004; Jamieson & Morris 2004). Dalam penelitian yang lain, Martinsuo dan Lehtonen (2008) mengubah konsep strategi proyek untuk menyertakan juga jenis lain yaitu strategi tunggal pada proyek terkait dengan peran taktis yang berorientasi pada satu organisasi induk. Hal ini merupakan pembenaran untuk definisi yang lebih luas dapat ditemukan dari studi yang tidak mengacu pada strategi proyek sebagai sebuah konsep namun masih termasuk diskusi pada strategi proyek dari proyek-proyek individu tanpa praduga jelas pada apakah proyek akan sangat dikontrol oleh satu induk organisasi atau tidak. Martinsuo dan Lehtonen (2008) menyarankan bahwa terdapat dua variabel penting yang terkait dengan satu proyek yang berdampak pada jenis strategi bahwa proyek akan mengadopsi dua variabel yaitu yang Universitas Indonesia 10 pertama adalah otonomi proyek dan yang kedua adalah keterlibatan dan jumlah stakeholder. Studi menunjukkan bahwa proyek dapat menjadi organisasi otonom dan mereka dapat memiliki strategi mereka sendiri (Slevin & Pinto 1987, Samset 2003, Arnaboldi et al., 2004, Lam et al., 2004). Dengan otonomi dalam menentukan tujuan dan rencana pelaksanaan proyek, proyek juga cenderung menggunakan metode dan sistem mereka sendiri daripada adopsi dari organisasi induk (Artto et al., 2007). Otonomi dari proyek dalam hal metode pelaksanaan proyek dapat terkandung dalam konsep strategi pelaksanaan proyek (Lam et al., 2004; Arnaboldi et al, 2004). Pada proyek dengan beberapa stakeholder yang kuat untuk satu proyek akan berubah secara radikal, asumsi dalam studi yang ada tentang kasus pada satu organisasi induk menjadi tak terbantahkan sebagai pihak stakeholder utama dan beberapa penulis telah melakukan upaya secara eksplisit untuk mendefinisikan elemen strategi proyek (Turner, 1999; Wheelwright & Clark 1992; Morris & Jamieson, 2004, Pulkkinen, 2005; Shenhar et al, 2005, & Patanakul et al., 2006), tetapi konsep tersebut tetap ambigu pada studi yang berbeda. Manajemen dalam organisasi induk dan stakeholder memperkenalkan dinamika dan peningkatan kompleksitas lingkungan eksternal proyek yang sering dapat menetapkan persyaratan untuk strategi khusus pada pelaksanaan proyek. Beberapa penelitian telah mengakui keberadaan pemilik suatu bisnis atau strategi proyek yang berdiri sendiri langsung terhubung dengan lingkungan proyek yang dinamis, yang berbeda dengan lingkungan dinamis dari organisasi induk suatu proyek (Loch 2000, McGrath 1996, McGrath dan MacMillan 2000, Pitsis et al., 2003). Turbulensi di lingkungan proyek, ketidakpastian dan kompleksitas, menjadi isu-isu penting yang mempengaruhi proyek dan strateginya. Sejumlah stakeholder besar yang kuat adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan turbulensi, ketidakpastian dan kompleksitas. Studi empiris pada proyek-proyek besar mengakui hal tersebut merupakan jenis karakter yang dinamis (Kharbanda and Stallworthy, 1983; Morris and Hough, 1987; Kharbanda and Pinto, 1996; Miller and Lessard 2001a, 2001b; Williams 2002; Flyvbjerg et al., 2003; Grun, 2004). Menurut studi ini, proyek tidak lagi menjadi bawahan untuk sebuah organisasi induk, tetapi merupakan simpul yang signifikan dan pemain yang menentukan, dengan demikian Universitas Indonesia 11 merupakan kerangka organisasi bersama untuk stakeholder. Strategi proyek merupakan acuan keberhasilan untuk sebuah proyek dengan tingkat otonomi yang tinggi, atau untuk proyek dalam konteks yang kompleks dengan beberapa organisasi stakeholder yang kuat (Artto et.al, 2007). Dalam studi yang lain, strategi proyek sebagai acuan dalam proyek yang berkontribusi pada keberhasilan proyek (Artto et al., 2008). Acuan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai satu atau beberapa hal yang terkait dengan proyek antara lain tujuan, rencana, pedoman, metode, alat atau peraturan dan mekanismenya termasuk penghargaan atau skema pinalti, ukuran dan alat kontrol lainnya. Martinsuo dan Lehtonen (2008) mendefinisikan tiga jalur yang dominan pada studi literature proyek, dengan merujuk baik secara eksplisit maupun implisit mengenai konsep strategi proyek, yaitu: a) Proyek sebagai subordinat organisasi induk (Cleland 1990, 2004; Wheelwright & Clark 1992; Griffin & Page, 1996; Turner, 1999; Anderson & Merna 2003, 2005; Morris & Jamieson, 2004; Jamieson & Morris, 2004; Shenhar et al. 2005; Patanakul, Shenhar & Milosevic, 2006; Milosevic & Srivannaboon, 2006) b) Proyek sebagai organisasi otonom tetapi terhubung dengan organisasi induknya (Bryson & Delbecq, 1979; McGrath, 1996; Loch 2000, McGrath & MacMillan, 2000; Milosevic, 2002; Arnaboldi, Azzone & Savoldelli, 2004; Pulkkinen, 2005; Lam, Chan & Chan, 2004) c) Proyek yang berada pada lingkungan yang kompleks dengan skema pengaturan yang tidak jelas (Morris, 1982; Kharbanda and Stallworthy, 1983; Slevin & Pinto, 1987; Morris and Hough, 1987; Milosevic, 1989; Kharbanda & Pinto, 1996; Miller & Lessard, 2001a, 2001b; Williams, 2002; Flyvbjerg et al., 2003; Samset, 2003; Pitsis, Clegg; Marosszeky & Rura-Pouey, 2003; Kolltveit, Karlsen & Gronhaug, 2004; Grün 2004) Martinsuo dan Lehtonen (2008) cenderung menyarankan, dengan studi literatur yang menjelaskan secara eksplisit tentang strategi proyek bahwa konsep strategi proyek seharusnya tidak terbatas untuk melayani sebuah organisasi Universitas Indonesia 12 induknya. Pandangan demikian akan memaksa proyek menjadi taktis, sebagai wahana/kendaraan yang tidak sah untuk melaksanakan strategi bisnis di luar kendali organisasi induknya. Sebaliknya, konsep strategi proyek harus mengakui otonomi proyek serta posisi yang unik sebagai bagian dari konteksya. Mengenai tingkat manajemen proyek strategi proyek harus mampu memenuhi bukan hanya pada tingkatan operasi dan taktis, tetapi juga tingkat kelembagaan, dengan demikian memungkinkan interaksi proyek secara signifikan dengan konteksnya (Morris, 1982; Parson, 1960). Hal ini menjadi sudut pandang yang lebih luas akan memungkinkan proyek untuk mendefinisikan dan menerapkan strategi sendiri dalam keselarasan dengan lingkungan proyek yang unik (Artto et al., 2007) Dalam penelitian manajemen proyek yang lain disebutkan bahwa proyek dapat menjadi organisasi otonom dan mereka dapat memiliki strategi sendiri (Bryson and Delbecq, 1979; McGrath, 1996; Loch, 2000; McGrath and MacMillan, 2000; Milosevic, 2002; Pitsis et al. , 2003; Arnaboldi et al. , 2004; Lam et al. , 2004; Dzeng and Wen, 2005). Otonomi Proyek muncul ke literatur manajemen proyek dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, otonomi telah dianggap sebagai sebuah faktor yang memungkinkan keberhasilan dalam proyek dan tim, meskipun dengan temuan yang kontradiktif (Gemunden et al., 2005; Hoegl and Parboteeah, 2006). Kedua, otonomi telah disarankan sebagai faktor kontekstual yang harus diperhitungkan saat menentukan strategi proyek (Artto et al., 2008a, b). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa proyek-proyek berbeda dalam tingkatan tertentu, mereka meneliti otonomi proyek dan manajer harus menyadari dan melakukan upaya peningkatan otonomi proyek dalam lingkungannya. Menurut Lampel dan Jha (2004), otonomi proyek mengacu pada sejauh mana proyek dibiarkan berkembang tanpa pelaporan konstan, dan masukan dari organisasi induk. Otonomi organisasi proyek sebagai sistem sosial telah didefinisikan sebagai otoritas untuk menetapkan tujuan sendiri, identitas sosial dan batas-batas dengan sistem sosial lainnya, sumber daya untuk menyelesaikan tugasnya dan kebebasan untuk mengatur perilaku anggotanya (Gemunden et al., 2005). Dikatakan bahwa tim proyek yang otonomi meningkat sebagai tim yang memiliki hak untuk membuat keputusan yang lebih relevan dengan tugasnya. Universitas Indonesia 13 Keputusan tersebut terkait dengan pengaturan spesifikasi teknis dan bisnis, menentukan produk dan proses desain konten, penjadwalan dan penganggaran, sumber daya memperoleh, koordinasi dengan stakeholder, dan memonitor kemajuan dan mengevaluasi kinerja (Gerwin and Moffat, 1997a). Penelitian sebelumnya menekankan bahwa ada dua belah pihak yang terkait dengan otonomi yaitu otonomi yang diambil dan digunakan oleh proyek (atau tim), dan otonomi diberikan atau ditentukan oleh manajer eksternal untuk proyek. Otonomi sebelumnya telah diteliti melalui hak tim untuk membuat keputusan di daerah yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan atau proses (Gerwin and Moffat, 1997a), pengaruh eksternal dan kesetaraan internal bepengaruh dalam keputusan proyek (Hoegl and Parboteeah, 2006), dan bagaimana manajer dapat menentukan otonomi sebuah tim dengan terlibat dalam pengambilan keputusan (Gerwin and Moffat, 1997b). Gemunden et al. (2005) telah mempelajari otonom proyek melalui empat dimensi yang berbeda, yaitu otonomi dalam mendefinisikan tujuan proyek, otonomi struktural, otonomi sumberdaya dan otonomi sosial. Masingmasing proyek menggunakan tingkat otonomi yang berbeda, terutama pada proyek yang memiliki tingkat inovasi yang tinggi, kompleks dan teknik yang baru lebih disarankan memiliki tingkat otonomi yang tinggi. Penggunaan otonomi muncul pada bentuk desain organisasi yang berbeda dan kriteria sukses serta terukur (Martinsuo, 2008). 2.2. Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Management) Setiap kegiatan yang dilakukan perusahaan pasti terkait erat dengan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan tersebut. Dalam paradigma baru dikatakan bahwa quality has no cost yang berarti mutu tidak memerlukan biaya. Artinya untuk membuat suatu produk yang bermutu perusahaan dapat melakukannya dengan cara menghilangkan segala bentuk pemborosan, yang biasanya pemborosan ini disebabkan karena perusahaan menghasilkan produk yang ternyata cacat sehingga harus diadakan perbaikan atau harus dibuang atau dalam bahasa lainnya konsentrasi pada pengurangan nilai non-conformities. Universitas Indonesia 14 Untuk meningkatkan mutu produk dan jasa menurut paradigm lama,diperlukan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Selanjutnya, dalam paradigma baru dikenal bahwa peningkatan mutu pasti diiringi dengan peningkatan produktivitas. Hal ini dapat terjadi jika perusahaan berhasil menghilangkan pemborosan. Biaya yang dapat dihemat terutama yang merupakan biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menghasilkan produk cacat. Biaya mutu itu akan tetap ada bila perusahaan menganut paradigma lama. Menurut Dissanayaka, dkk (2001), dalam paradigma baru, “mutu tidak berdampak pada peningkatan biaya mutu, bahkan akan menghemat biaya tersebut”. Total Quality Management (Manajemen Mutu Terpadu) adalah suatu filosofi komprehensif tentang kehidupan menekankan perbaikan berkelanjutan dan kegiatan organisasi sebagai tujuan fundamental yang untuk meningkatkan mutu, produktivitas, dan mengurangi pembiayaan. Jadi, tiga variabel penting yang harus dikendalikan selama proses pelaksanaan suatu proyek, yaitu: mutu proyek, waktu penyelesaian proyek, dan biaya pelaksanaan proyek. Definisi TQM adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa,tenaga kerja, proses dan lingkungannya (Nasution, 2005). Total Quality Management (TQM) adalah sebuah filosofi manajemen yang dibutuhkan untuk menjaga kerahasiaan seluruh fungsi organisasi antaralain: pemasaran, keuangan, perencanaan, teknik, dan produksi serta layanan pelanggan untuk memfokuskan pada terpenuhinya kebutuhan pelanggandantujuanoraganisasi. Total Quality Management merupakan suatu sistem manajemen yang berfokus kepada orang, yang bertujuan untuk meningkatkan secara berkelanjutan kepuasan pelanggan pada biaya yang sesungguhnya secara berkelanjutan terus menerus (Mulyadi, 1998:10). Banker et al. (1993) menjelaskan bahwa TQM meningkatkan keterlibatan organisasi dalam meningkatkan kualitas secara terus menerus. Bertanggung jawab untuk mendeteksi hal-hal yang tidak sesuai dengan pengendalian kualitas, hal tersebut membuat pekerja lebih bertanggungjawab untuk pengendalian kualitas dan untuk menghentikan produksi ketika ada suatu masalah dalam produksi. Universitas Indonesia 15 Waldman (1994) menyatakan bahwa TQM merupakan suatu sistem yang dirancang sebagai kesatuan, yang memfokuskan pendekatan pelanggan dengan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. Meskipun banyak usaha untuk memasukkan TQM dalam organisasi, relatif kecil mengetahui seberapa besar keefektifan dan pengimplementasian strategi yang optimal. Total Quality Management (TQM) pertama kali lahir sebagai respon terhadap munculnya persoalan “krisis produktivitas”. Selain itu konsep TQM juga dikemukakan oleh badan International Standard Organization (ISO), yang menyatakan bahwa TQM merupakan salah satu pendekatan bagi sebuah organisasi, yang dipusatkan pada kualitas organisasi yang bersangkutan dengan menyertakan partisipasi seluruh anggota yang ada dalam sebuah organisasi dan tujuannya adalah kesuksesan jangka panjang bagi kepuasan pelanggan dan keuntungan bagi semua anggota organisasi dan masyarakat. Dari konsep ini dapat disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penerapan TQM pada sebuah organisasi adalah tidak hanya bagi pemilik, atau pihak manajemen organisasi saja, melainkan tujuan adalah jangka panjang guna meningkatkan kepuasan para pelanggan dan semua anggota yang ada dalam organisasi. Sejumlah penelitian telah menggambarkan bagaimana implementasi TQM mempengaruhi kinerja perusahaan (Flynn et al., 1995;. Black and Porter, 1996; Choi and Eboch, 1998; Simson and Terziovski, 1999; Sun, 2000). Meskipun pada studi yang berbeda, unsur-unsur TQM yang dimasukkan sangat mirip sebagai masukan dan berbagai ukuran kinerja operasional sebagai output mereka. Sejak dimulainya kerangka Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA) pada tahun 1995, peneliti mendasarkan literatur TQM mereka pada tujuh elemen: leadership, strategy and planning, customer focus, information and analysis, people management, process management, and business performance. Unsurunsur ini dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi empat aspek : employee relations, leadership, customer/supplier relation, product/process management (Jung dan Wang, 2006). Dalam rangka kategori TQM, dua elemen pertama lebih fokus ke arah tindakan berdasarkan hubungan antar manunia atau elemen "soft TQM" , sedangkan dua terakhir elemen fokus lebih ke arah tindakan yang berbasis teknologi atau elemen “hard TQM". Universitas Indonesia 16 2.2.1. Kepemimpinan (Leadership) Diantara bermacam-macam elemen yang digunakan sebagai dasar TQM, “top management leadership and commitment” merupakan elemen yang paling berpengaruh, dimana hal ini dapat mengarahkan dan mempengaruhi elemen TQM lainnya (Deming, 1986; Juran, 1986) dimana dapat dipertimbangkan sebagai unsur yang paling berpengaruh dalam TQM dan mempengaruhi unsur lain dalam organisasi (Anderson et al., 1995; Flyn et al., 1995; Kaynak, 2003). Top management haruslah jujur dan tulus menyatakan mengapa praktik TQM diperlukan dan harus mampu mendapatkan kepercayaan dan penghargaan dari karyawan, sebelum dan selama proses pelaksanaan. Komitmen top management untuk mencapai kualitas manajemen adalah mutlak untuk mempersiapkan budaya organisasi sebelum praktek TQM dapat diterapkan (Anderson et al., 1995; Antony et al., 2002). Top management dapat memfasilitasi dalam menyatukan tujuan maupun perubahan proses manajemen dan proses pembelajaran (Ahire et al., 1996; Anderson et al., 1995; Hamlin et al., 1997). TQM tercermin pada misi organisasi untuk strategi selanjutnya yang sesuai dengan tujuan jangka pendek maupun jangka panjang (Juran, 1989). 2.2.2. Hubungan Kepegawaian (Employee Relationship) Untuk dapat berperan serta secara efektif dalam manajemen kualitas, para karyawan perlu dijelaskan dan diberikan pelatihan mengenai keuntungan praktis TQM (Ahire et al, 1996). Manajemen harus mampu meyakinkan organisasi untuk melakukan program pelatihan lebih luas. Kepuasan karyawan dan pencapaian keuntungan dan kompensasi, kebersamaan dengan kerjasama tim yang lebih baik, mampu membawa dalam perbaikan kinerja (baiden et al, 2006; Jun et al, 2006; Grandzol & Gershon, 1997). Hubungan kepegawaian seperti pemberdayaan dalam pengambilan keputusan, pengakuan yang tepat, evaluasi berdasarkan kinerja tim, prosedur pemberian insentif berdasarkan kualitas, meningkatkan kinerja operasional (Chen, 1997; Ho et al., 1999, 2001; Koberg et al., 1999). Mendayagunakan dana melibatkan seluruh karyawan dalam meningkatkan perbaikan secara Universitas Indonesia 17 berkesinambungan melalui perubahan proses, dengan demikian hasilnya dapat dilihat dalam banyak kesempatan (Handfield et al., 1998; Ahire et al., 1996). Dalam hal mendorong pemberdayaan dan keterlibatan karyawan, penjelasan dan keterbukaan komunikasi dari persaingan strategi harus dapat difasilitasi (Ahire et al., 1996). 2.2.3. Hubungan Pelanggan/Pemasok (Customer/Supplier Relationship) Kemampuan untuk mengelola hubungan dengan pelanggan maupun pemasok merupakan hal penting dalam organisasi untuk mempertahankan keunggulan kompetitif (Porte & Millar, 1985). Manajemen hubungan pelanggan (Customer Relationship Management/CRM) berfokus pada memenuhi harapan pelanggan, sehingga tercapai kepuasan pelanggan (Mithas et al., 2005). Penyebaran informasi terkait pelanggan ke seluruh organisasi (misalnya Program resolusi keluhan pelanggan) memungkinkan CRM yang efektif. Meningkatkan keterlibatan karyawan melalui peningkatan akses terhadap informasi dan sumber daya, yang memungkinkan karyawan dapat membuat layanan yang tepat waktu dan lebih responsif kepada pelanggan, mempunyai dampak positif terhadap hubungan pelanggan (Ahire and O'Shaughnessy, 1998). Melibatkan pelanggan dan pemasok selama fase perencanaan strategis memiliki dampak yang signifikan dan positif terhadap kinerja perusahaan (Ittner and Larcker, 1997). Hubungan kerja sama jangka panjang dengan beberapa jumlah pemasok (yaitu kemitraan pemasok) adalah penting untuk meningkatkan SRM (Black and Porter, 1996). Dari sudut pandang manajemen rantai pasokan (Supply Chain Management/SCM), manajemen pelanggan dan pemasok dapat dikelompokkan ke dalam satu elemen. Sejak SCM disebut sebagai integrasi pembeli dan pemasok, proses pengambilan keputusan dengan tujuan meningkatkan aliran material ke seluruh rantai pasokan, akan memungkinkan penurunan waktu pengiriman, biaya material, perbaikan kualitas dan daya tangkap (Kuei et al., 2001; Kannan and Tan, 2005). Selain itu, penanganan yang tepat terhadap subkontraktor melalui kemitraan juga merupakan hal penting untuk mendukung pemenuhan kepuasan pelanggan. Subkontraktor dalam hal ini adalah agensi spesialis dalam pelaksanaan Universitas Indonesia 18 pekerjaan khusus, disamping menyediakan pekerja, juga menyediakan material, peralatan berat, peralatan ringan atau desain. Subkontraktor bertanggung jawab terhadap pengawasan sebagian pengerjaan, bertindak sebagai agen dari sistem produksi kontraktor (Lendra, 2004). Perhatian khusus perlu diberikan jika konsep kemitraan diimplementasikan pada hubungan antara kontraktor dan subkontraktor dengan prinsip yang obyektif untuk meningkatkan kinerja dan mengurangi biaya bagi klien (Dissanayaka and Kumaraswamy, 1997). Seiring dengan perkembangan terbaru dari CRM/SRM yang sepenuhnya terkomputerisasi/terpadu sebagai bagian dari Program Enterprise Resource (Enterprise Resource Program/ERP). 2.2.4. Manajemen Produk dan Proses (Product/Process Management) Dalam pelaksanaan proyek, manajemen proyek merupakan proses pengendalian dalam mencapai tujuan proyek secara obyektif dengan menggunakan struktur organisasi dan sumberdaya yang ada untuk mengelola proyek dengan memanfaatkan alat dan teknik/metode tanpa merugikan pekerjaan rutin diperusahaan (Kerzner, 1989). Pendakatan manajemen proses pada proyek fokus pada setiap proses dan dengan demikian keuntungan diperoleh dari teknik atau metode yang ada sebagai proses kontrol, kelayakan proses dan optimasi proses (Laszlo, 1999) sehingga dibutuhkan evaluasi proyek yang pada umumnya melekat pada proses pengambilan keputusan yang besar (Small, 1998). Penggunaan data akurat yang berkualitas dan realtime adalah prasyarat untuk desain produk (Ahire dan Dreyfus, 2000) dan desain proses (Ahire dan O'Shaughnessy, 1998). Penggunaan kualitas data dan sistem pelaporan (misalnya pengendalian proses statistik, tampilan kinerja, ERP) memungkinkan perbaikan organisasi terus menerus berdasarkan metode ilmiah yang obyektif (Choi, 1995; Black dan Porter, 1996; Capon et al, 1995; Lillrank, 2003). 2.3. Keberhasilan Proyek (Project Success) Proyek adalah suatu usaha untuk membuat suatu produk, layanan atau sesuatu yang dihasilkan dalam jangka waktu terbatas atau bersifat sementara (Schwalbe, 2007). Berbeda halnya dengan operasi, suatu proyek akan diakhiri Universitas Indonesia 19 jika tujuan suatu proyek tersebut telah tercapai. Adapun sifat-sifat dari suatu proyek menurut Scwalbe (2007) meliputi: a) Suatu proyek memiliki suatu tujuan yang unik; b) Suatu proyek bersifat sementara, memiliki awal permulaan proyek serta batas berakhir proyek; c) Suatu proyek dapat dikembangkan seiring dengan berjalannya proyek itu sendiri. Pada saat dimulai, suatu proyek terkadang masih memiliki definisi yang terlalu luas (tidak spesifik), seiring dengan berjalannya proses pengerjaan maka detil spesifik tersebut akan terlihat lebih jelas, oleh karena itu suatu proyek memungkinkan untuk dikembangkan secara lebih rinci berdasarkan pada kebutuhan serta informasi baru mengenai proyek tersebut. a) Membutuhkan suatu sumberdaya, seperti: manusia, asset dan uang; b) Memiliki sponsor, project sponsor biasanya mengarahkan, memonitor serta mendanai suatu proyek; c) Suatu proyek meliputi ketidak pastian, dikarenakan sifatnya yang unik, sulit untuk ditentukan secara pasti berapa lama dapat selesai serta berapa besar alokasi anggran yang dibutuhkan secara pasti hingga proyek selesai. Menurut Nicholas (2001) karakteristik suatu proyek meliputi: a) Melibatkan suatu tujuan yang dapat dijelaskan, dimana tujuan tersebut dispesifikasikan dalam bentuk biaya, jadwal dan kinerjanya; b) Unik, suatu proyek perlu memiliki sesuatu yang berbeda dari proyek sebelumnya. Jadi proyek tersebut merupakan suatu jenis aktifitas yang bukan pengulangan dari aktifitas sebelumnya; c) Suatu aktifitas yang bersifat sementara, digunakan untuk menyelesaikan suatu tujuan yang dibatasi oleh periode waktu yang telah ditentukan; d) Menggunakan kemampuan dan talenta dari beberapa profesi dan organisasi; e) Kemungkinan tidak dikenal, karena terdiri dari beberapa ide baru, pendekatan baru, atau teknologi baru yang memiliki resiko dan ketidak pastian yang tinggi; Universitas Indonesia 20 f) Ada sesuatu yang dipertaruhkan, kegagalan dari proyek dapat menyebabkan halhal yang beresiko bagi organisasi maupun tujuan dari proyek tersebut; dan g) Proses pengerjaan untuk mencapai tujuan, selama proses proyek melewati beberapa tahap-tahap yang jelas yang disebut daur hidup proyek. Dalam suatu manajemen proyek memiliki tiga batasan utama atau yang lebih dikenal dengan istilah triple constraint yaitu: scope, time serta cost. Dimana dalam manajemen proyek yang sukses ketiga batasan tersebut semuanya dapat di sesuaikan atau diatur dengan baik sesuai dengan kapasitas yang ada, tetapi tetap dapat memuaskan project sponsor serta memenuhi tujuan proyek. Gambar 2.1 Triple Constraint dari Manjemen Proyek Sumber: Schwalble (2007) Pada suatu proyek, manajer proyek tidak hanya berusaha mempertemukan spesifikasi scope, time, cost serta kualitas dari suatu proyek tetapi juga harus dapat memfasilitasi atau memudahkan seluruh proses serta komponen-komponen yang terlibat dalam proyek tersebut (Schwalble, 2007). Dalam menjalankan suatu proyek suatu perusahaan perlu menentukan kriteria-kriteria seperti apa yang dimiliki suatu proyek agar proyek tersebut dapat dikatakan sukses, menurut Schawalbe (2007) pada umumnya ada tiga kriteria suatu proyek dapat dikatakan sukses yaitu: Universitas Indonesia 21 a) Proyek dapat memenuhi scope, time serta cost yang dapat disesuaikan atau diatur dengan baik sesuai dengan kapasitas yang ada tetapi tetap dapat memuaskan pihak sponsor; b) Proyek dapat memuaskan pelanggan atau sponsor; c) Hasil dari proyek yang dijalankan sesuai dengan tujuan utama proyek, seperti: bisa mengembalikan investasi dalam rentang kurun waktu yang telah ditentukan, bisa membuat pihak sponsor merasa puas. Sedangkan menurut Olson (2003) tiga faktor yang diyakini menentukan keberhasilan suatu proyek adalah: a) Keterlibatan klien dalam proyek; b) Dukungan dari manajemen tingkat atas; c) Objektifitas dari proyek yang jelas Menurut Olson (2003) Pinto dan Slevin telah menyelidiki lebih dari 400 proyek dan menemukan critical success factor (CSF) berdasarkan urutannya berikut ini: a) Misi proyek, dalam proyek harus memiliki tujuan dan arah yang jelas. b) Dukungan dari manajemen tingkat atas untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan. c) Perencanaan atau penjadwalan yang meliputi spesifikasi yang terperinci. d) Konsultasi dengan pemilik proyek dan semua pihak yang terlibat memberikan pendapatnya. e) Anggota (personil) dengan kemampuan yang baik untuk diikutsertakan dalam tim proyek. f) Kemampuan teknis dan mengerti proyek yang sedang dikerjakan. g) Penerimaan dari pihak pemilik proyek. h) Pengawasan, pengendalian dan umpan balik dengan pengawasan secara berkala terhadap setiap tahap-tahap dalam proyek. i) Komunikasi yang baik merupakan faktor utama dari keberhasilan manajemen proyek. j) Penyelesaian masalah dalam menangani krisis dan penyimpangan yang terjadi. Universitas Indonesia 22 Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, definisi manajemen proyek fokus pada variable waktu, biaya dan ruang lingkup atau dalam hal lain disebut sebagai ‘iron triangle’ (Atkinson, 1999). Sebagai parameter keberhasilan Project Management Body of Knowledge (PMBOK) mengacu pada indikator efisiensi yang direpesentasikan pada rasio ketepatan jadwal pelaksanaan proyek dan efisiensi biaya (PMBOK, 2004a). Literatur yang mengemukakan keuntungan dalam menggunakan manajemen proyek ditekankan pada indikator efisiensi antara lain meningkatkan profit dan menekan biaya, waktu dan resiko kegagalan (Kersner, 2004). Dalam konteks penelitian yang lain disebutkan bahwa penawaran meliputi waktu, biaya dan ruang lingkup (termasuk kualitas), namun yang menjadi indikator utama dalam penentuan keberhasilan proyek adalah ruang lingkup (Tukel & Rom, 2001). Keberhasilan proyek dapat diartikan dengan mempertimbangkan dua hal yaitu tingkat kinerja teknis proyek diukur secara obyektif melalui ketepatan waktu dan kesuaian dengan anggaran serta kontribusi yang diberikan oleh proyek tersebut kepada misi strategis perusahaan (Cleland, 1986) Konsep keberhasilan manajemen proyek dalam hal waktu, biaya dan kualitas / kinerja (ruang lingkup) dan menunjukkan bahwa keberhasilan proyek melibatkan tujuan yang lebih luas dari sudut pandang pemangku kepentingan di seluruh siklus hidup proyek (De Wit, 1988). Kriteria keberhasilan ukur sebagai termasuk kinerja teknis, efisiensi eksekusi, implikasi manajerial dan organisasi, pertumbuhan pribadi, manufakturabilitas dan kinerja bisnis (freeman dan Beale, 1992). Waktu, biaya dan kualitas adalah kriteria dasar untuk keberhasilan proyek, hampir setiap artikel terkait menyebutkan ketiga dan menunjukkan pentingnya mereka dalam sebuah proyek dan dalam pandangan peserta proyek (Walker 1995, 1996; Belassi dan Tukel, 1996 ; Hatush dan Skitmore, 1997). Pada umumnya kriteria sukses yang digunakan pada proses delivery proyek adalah tepat waktu, sesuai dengan budget yang dianggarkan dan memenuhi spesifikasi produksi/jasa yang ditetapkan (Pinto and Prescott, 1988; Shenhar et al., 2001) Universitas Indonesia 23 2.4. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penerapan strategi proyek dan manajemen mutu terpadu (TQM) terhadap kesuksesan sebuah proyek mempunyai peran yang strategis dalam pengerjaan jasa-jasa konsultansi pemerintah. Maka penelitian ini menjadi penting dengan mempersoalkan antara pengaruh penerapan Strategi Proyek dan Manajemen Mutu Terpadu terhadap Kesuksesan Proyek, terutama pada pengerjaan jasa-jasa konsultansi pemerintah. 2.4.1. Hubungan Project Strategy dengan Total Quality Management Kualitas harus dikirim melalui perspektif manajemen strategi karena bukan merupakan hal yang khusus dalam menentukan batasan atau metodologi tertentu (Qureshi et al., 2008). Otonomi telah disarankan sebagai faktor kontekstual yang harus diperhitungkan saat menentukan strategi proyek (Artto et al., 2008a, b) dan studi menunjukkan bahwa proyek dapat menjadi organisasi otonom dan dapat memiliki strategi sendiri (Slevin & Pinto 1987, Samset 2003, Arnaboldi dkk. 2004, Lam et al. Gemunden et al. (2005) telah mempelajari proyek otonom melalui empat dimensi yang berbeda, yaitu otonomi dalam mendefinisikan tujuan proyek, otonomi struktural, otonomi sumber daya dan otonomi sosial. Otonomi organisasi proyek sebagai sistem sosial didefinisikan sebagai kewenangan untuk menetapkan tujuan sendiri, identitas sosial, dan batasbatas dengan sistem sosial lainnya, sumber daya untuk menyelesaikan tugasnya dan kebebasan dalam mengatur perilaku anggotanya (Gemunden et al, 2005). Dikatakan bahwa otonomi tim proyek meningkat sebagai tim memiliki hak untuk membuat keputusan yang lebih relevan dengan tugasnya. Keputusan tersebut terkait dengan pengaturan spesifikasi teknis dan bisnis, menentukan produk dan proses desain konten, penjadwalan dan penganggaran, memperoleh sumber daya, koordinasi dengan stakeholder, dan memonitor kemajuan dan mengevaluasi kinerja (Gerwin dan Moffat, 1997a). Pernyataan tersebut menekankan bahwa otonomi sebuah organisasi proyek merupakan kewenangan dalam membuat sebuah strategi yang berpengaruh pada penerapan TQM yang diidentifikasikan sebagai perilaku organisasi dengan kesepakatan kesempurnaan yang berkelanjutan dengan fokus pada solidaritas dalam tim, kepuasan pelanggan Universitas Indonesia 24 meningkat dan reduksi biaya (Qureshi, 2008) yang dirangkum dalam dimensi TQM yang meliputi hubungan karyawan, kepemimpinan, pelanggan/pemasok hubungan, dan produk/proses manajemen (Jung dan Wang, 2008) H1. Strategi proyek berpengaruh positif terhadap elemen manajemen mutu terpadu (TQM). 2.4.2. Hubungan Total Quality Management dengan Project Succes Sejumlah penelitian telah menggambarkan bagaimana implementasi TQM mempengaruhi kinerja perusahaan (misalnya Flynn et al, 1995;. Black dan Porter, 1996; Choi dan Eboch, 1998; Simson dan Terziovski, 1999; Sun, 2000). Untuk mencapai keberhasilan proyek dengan kepuasan yang berbeda pada masingmasing stakeholder hanya dapat dicapai melalui manajemen kualitas dengan memperkenalkan Total Quality Management (TQM) pada proyek merupakan tolak ukur baru bagi penelitian (Qureshi et al., 2008). Kesuksesan proyek memiliki perspektif yang luas dan termasuk pengaruhnya terhadap produk akhir dan jasa bagi pelanggan (Baccarini, 1999). Seperti halnya iron/golden triangle dan proses internal, proyek akan memberikan beberapa keuntungan untuk pelanggan (Tukel dan Rom, 2001) dan karenanya kinerja proyek yang efektif akan fokus pada pelanggan (Bryde dan Robinson, 2007). Konsep fokus kepada pelanggan merupakan prinsip fundamental dari TQM (BSI, 2000) dengan dimensi hubungan karyawan, kepemimpinan, pelanggan/pemasok hubungan, dan produk/proses manajemen (Jung dan Wang, 2008) Kriteria sukses yang digunakan pada proses delivery proyek adalah tepat waktu, sesuai dengan budget yang dianggarkan dan memenuhi spesifikasi produksi/jasa yang ditetapkan (Pinto and Prescott, 1988; Shenhar et al., 2001). Jung dan Wang (2008) mengukur kesuskesan proyek dengan berdasarkan kriteria pengaturan proyek internasional, yaitu continuous improvement of international project management (CIIPM). Secara umum, CIIPM bertujuan untuk terus menerus melakukan perbaikan terhadap kinerja manajemen proyek (misalnya Universitas Indonesia 25 jadwal, biaya dan kepuasan pelanggan), kedewasaan (misalnya kompetensi dan daya saing), proses dan kerja sama tim (internal dan eksternal). Berdasarkan sampel cross-sectional yang diambil dari manajer proyek internasional, Jung dan Wang (2006) menemukan bahwa semua unsur TQM empat, yaitu, kepemimpinan, hubungan karyawan, pelanggan/pemasok hubungan, dan produk/proses manajemen, memiliki pengaruh positif dan signifikan pada perbaikan terus-menerus dari manajemen proyek internasional. H2. Elemen manajemen mutu terpadu (TQM) berpengaruh positif pada Kesuksesan Proyek. 2.4.3. Hubungan antara Project Strategy, Total Quality Management (TQM) dan Project Success Pada studi-studi sebelumnya dikatakan bahwa proyek dapat menjadi organisasi otonom dan dapat memiliki strategi sendiri (Slevin & Pinto 1987, Samset 2003, Arnaboldi et al., 2004; Lam et al., 2004). Otonomi telah disarankan sebagai faktor kontekstual yang harus diperhitungkan saat menentukan strategi proyek (Artto et al., 2008a, b). Gemunden et al. (2005) telah mempelajari otonomi proyek melalui empat dimensi yang berbeda, yaitu otonomi dalam mendefinisikan tujuan proyek, otonomi struktural, otonomi sumber daya dan otonomi sosial. Otonomi organisasi proyek sebagai sistem sosial didefinisikan sebagai kewenangan untuk menetapkan tujuan sendiri, identitas sosial, dan batasbatas dengan sistem sosial lainnya, sumber daya untuk menyelesaikan tugasnya dan kebebasan dalam mengatur perilaku anggotanya (Gemunden et al., 2005). Otonomi tim proyek meningkat sebagai tim yang memiliki hak untuk membuat keputusan yang lebih relevan dengan tugasnya. Keputusan tersebut terkait dengan pengaturan spesifikasi teknis dan bisnis, menentukan produk dan proses desain konten, penjadwalan dan penganggaran, memperoleh sumber daya, koordinasi dengan stakeholder, dan memonitor kemajuan dan mengevaluasi kinerja (Gerwin dan Moffat, 1997a). Universitas Indonesia 26 Sejumlah penelitian telah menggambarkan bagaimana implementasi TQM mempengaruhi kinerja perusahaan (misalnya Flynn et al., 1995;. Black dan Porter, 1996; Choi dan Eboch, 1998; Simson dan Terziovski, 1999; Sun, 2000). Jung dan Wang (2008) merangkum dimensi TQM dalam beberapa aspek, yaitu hubungan karyawan, kepemimpinan, pelanggan/pemasok hubungan, dan produk/proses manajemen. Kriteria sukses yang digunakan pada proses delivery proyek adalah tepat waktu, sesuai dengan budget yang dianggarkan dan memenuhi spesifikasi produksi/jasa yang ditetapkan (Pinto and Prescott, 1988; Shenhar et al., 2001). Jung dan Wang (2008) mengukur kesuskesan proyek berdasarkan kriteria pengaturan proyek internasional, yaitu continuous improvement of international project management (CIIPM). Secara umum, CIIPM bertujuan untuk terus menerus melakukan perbaikan terhadap kinerja manajemen proyek (misalnya jadwal, biaya dan kepuasan pelanggan), kedewasaan (misalnya kompetensi dan daya saing), proses dan kerja sama tim (internal dan eksternal). Sinergi antara disiplin ilmu manajemen proyek dan manajemen mutu telah menjadikan manajemen proyek berhasil dalam pelaksanaan program TQM, berdasarkan hasil penelitian empiris organisasi pada manajemen proyek yang efektif menyebabkan TQM berhasil diperkenalkan pada proyek (Pelligrinelli & Bowman,1994; Hide et al., 2000) H3. Elemen TQM dapat menjadi mediasi antara strategi proyek dengan kesuksesan proyek. Universitas Indonesia