Uploaded by User40548

11 BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Strategi Proyek (Project Strategy)
Literatur manajemen proyek tentang strategi proyek memberikan definisi
yang terbatas mengenai konsep strategi proyek. Dalam proyek yang sudah ada
studi strategi proyek diasumsikan mengambil peran taktis sebagai kendaraan nonstrategis dan non-mandiri dalam konteks satu organisasi induk (Artto et al., 2007).
Mayoritas literatur manajemen proyek pada strategi proyek telah mengadopsi titik
keberangkatan di mana proyek tergantung pada organisasi induk dan beroperasi di
bawah kendali satu organisasi induk. Dengan asumsi tersebut, strategi pada satu
proyek tetap sesuai dengan cara operasi induk organisasi (Martinsuo and
Lehtonen, 2008). Menurut literatur strategi proyek yang ada, strategi pada satu
proyek melayani tujuan dari organisasi induk, dan strategi proyek dibuat dalam
fase awal proyek dan tetap stabil setelah diimplementasikan (Cleland, 1990; 2004;
Wheelwright & Clark 1992; Turner tahun 1999; Anderson & Merna 2003; 2005;
Morris & Jamieson 2004; Jamieson & Morris 2004; Shenhar et al., 2005,
Patanakul et al., 2006; Milosevic & Srivannaboon 2006). Di sini, strategi proyek
adalah bawahan yang lebih luas dan lebih signifikan strateginya dan dihasilkan
dengan kontribusi langsung dari organisasi induk (Anderson & merna 2003; 2005;
Morris & Jamieson 2004; Jamieson & Morris 2004).
Dalam penelitian yang lain, Martinsuo dan Lehtonen (2008) mengubah
konsep strategi proyek untuk menyertakan juga jenis lain yaitu strategi tunggal
pada proyek terkait dengan peran taktis yang berorientasi pada satu organisasi
induk. Hal ini merupakan pembenaran untuk definisi yang lebih luas dapat
ditemukan dari studi yang tidak mengacu pada strategi proyek sebagai sebuah
konsep namun masih termasuk diskusi pada strategi proyek dari proyek-proyek
individu tanpa praduga jelas pada apakah proyek akan sangat dikontrol oleh satu
induk organisasi atau tidak. Martinsuo dan Lehtonen (2008) menyarankan bahwa
terdapat dua variabel penting yang terkait dengan satu proyek yang berdampak
pada jenis strategi bahwa proyek akan mengadopsi dua variabel yaitu yang
Universitas Indonesia
10
pertama adalah otonomi proyek dan yang kedua adalah keterlibatan dan jumlah
stakeholder. Studi menunjukkan bahwa proyek dapat menjadi organisasi otonom
dan mereka dapat memiliki strategi mereka sendiri (Slevin & Pinto 1987, Samset
2003, Arnaboldi et al., 2004, Lam et al., 2004). Dengan otonomi dalam
menentukan tujuan dan rencana pelaksanaan proyek, proyek juga cenderung
menggunakan metode dan sistem mereka sendiri daripada adopsi dari organisasi
induk (Artto et al., 2007). Otonomi dari proyek dalam hal metode pelaksanaan
proyek dapat terkandung dalam konsep strategi pelaksanaan proyek (Lam et al.,
2004; Arnaboldi et al, 2004). Pada proyek dengan beberapa stakeholder yang kuat
untuk satu proyek akan berubah secara radikal, asumsi dalam studi yang ada
tentang kasus pada satu organisasi induk menjadi tak terbantahkan sebagai pihak
stakeholder utama dan beberapa penulis telah melakukan upaya secara eksplisit
untuk mendefinisikan elemen strategi proyek (Turner, 1999; Wheelwright &
Clark 1992; Morris & Jamieson, 2004, Pulkkinen, 2005; Shenhar et al, 2005, &
Patanakul et al., 2006), tetapi konsep tersebut tetap ambigu pada studi yang
berbeda. Manajemen dalam organisasi induk dan stakeholder memperkenalkan
dinamika dan peningkatan kompleksitas lingkungan eksternal proyek yang sering
dapat menetapkan persyaratan untuk strategi khusus pada pelaksanaan proyek.
Beberapa penelitian telah mengakui keberadaan pemilik suatu bisnis atau strategi
proyek yang berdiri sendiri langsung terhubung dengan lingkungan proyek yang
dinamis, yang berbeda dengan lingkungan dinamis dari organisasi induk suatu
proyek (Loch 2000, McGrath 1996, McGrath dan MacMillan 2000, Pitsis et al.,
2003). Turbulensi di lingkungan proyek, ketidakpastian dan kompleksitas,
menjadi isu-isu penting yang mempengaruhi proyek dan strateginya. Sejumlah
stakeholder besar yang kuat adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan
turbulensi, ketidakpastian dan kompleksitas.
Studi empiris pada proyek-proyek besar mengakui hal tersebut merupakan
jenis karakter yang dinamis (Kharbanda and Stallworthy, 1983; Morris and
Hough, 1987; Kharbanda and Pinto, 1996; Miller and Lessard 2001a, 2001b;
Williams 2002; Flyvbjerg et al., 2003; Grun, 2004). Menurut studi ini, proyek
tidak lagi menjadi bawahan untuk sebuah organisasi induk, tetapi merupakan
simpul yang signifikan dan pemain yang menentukan, dengan demikian
Universitas Indonesia
11
merupakan kerangka organisasi bersama untuk stakeholder. Strategi proyek
merupakan acuan keberhasilan untuk sebuah proyek dengan tingkat otonomi yang
tinggi, atau untuk proyek dalam konteks yang kompleks dengan beberapa
organisasi stakeholder yang kuat (Artto et.al, 2007). Dalam studi yang lain,
strategi proyek sebagai acuan dalam proyek yang berkontribusi pada keberhasilan
proyek (Artto et al., 2008). Acuan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai satu
atau beberapa hal yang terkait dengan proyek antara lain tujuan, rencana,
pedoman, metode, alat atau peraturan dan mekanismenya termasuk penghargaan
atau skema pinalti, ukuran dan alat kontrol lainnya.
Martinsuo dan Lehtonen (2008) mendefinisikan tiga jalur yang dominan
pada studi literature proyek, dengan merujuk baik secara eksplisit maupun implisit
mengenai konsep strategi proyek, yaitu:
a)
Proyek sebagai subordinat organisasi induk (Cleland 1990, 2004;
Wheelwright & Clark 1992; Griffin & Page, 1996; Turner, 1999;
Anderson & Merna 2003, 2005; Morris & Jamieson, 2004; Jamieson &
Morris, 2004; Shenhar et al. 2005; Patanakul, Shenhar & Milosevic,
2006; Milosevic & Srivannaboon, 2006)
b) Proyek sebagai organisasi otonom tetapi terhubung dengan organisasi
induknya (Bryson & Delbecq, 1979; McGrath, 1996; Loch 2000,
McGrath & MacMillan, 2000; Milosevic, 2002; Arnaboldi, Azzone &
Savoldelli, 2004; Pulkkinen, 2005; Lam, Chan & Chan, 2004)
c)
Proyek yang berada pada lingkungan yang kompleks dengan skema
pengaturan yang tidak jelas (Morris, 1982; Kharbanda and Stallworthy,
1983; Slevin & Pinto, 1987; Morris and Hough, 1987; Milosevic, 1989;
Kharbanda & Pinto, 1996; Miller & Lessard, 2001a, 2001b; Williams,
2002; Flyvbjerg et al., 2003; Samset, 2003; Pitsis, Clegg; Marosszeky
& Rura-Pouey, 2003; Kolltveit, Karlsen & Gronhaug, 2004; Grün
2004)
Martinsuo dan Lehtonen (2008) cenderung menyarankan, dengan studi
literatur yang menjelaskan secara eksplisit tentang strategi proyek bahwa konsep
strategi proyek seharusnya tidak terbatas untuk melayani sebuah organisasi
Universitas Indonesia
12
induknya. Pandangan demikian akan memaksa proyek menjadi taktis, sebagai
wahana/kendaraan yang tidak sah untuk melaksanakan strategi bisnis di luar
kendali organisasi induknya. Sebaliknya, konsep strategi proyek harus mengakui
otonomi proyek serta posisi yang unik sebagai bagian dari konteksya. Mengenai
tingkat manajemen proyek strategi proyek harus mampu memenuhi bukan hanya
pada tingkatan operasi dan taktis, tetapi juga tingkat kelembagaan, dengan
demikian memungkinkan interaksi proyek secara signifikan dengan konteksnya
(Morris, 1982; Parson, 1960). Hal ini menjadi sudut pandang yang lebih luas akan
memungkinkan proyek untuk mendefinisikan dan menerapkan strategi sendiri
dalam keselarasan dengan lingkungan proyek yang unik (Artto et al., 2007)
Dalam penelitian manajemen proyek yang lain disebutkan bahwa proyek
dapat menjadi organisasi otonom dan mereka dapat memiliki strategi sendiri
(Bryson and Delbecq, 1979; McGrath, 1996; Loch, 2000; McGrath and
MacMillan, 2000; Milosevic, 2002; Pitsis et al. , 2003; Arnaboldi et al. , 2004;
Lam et al. , 2004; Dzeng and Wen, 2005). Otonomi Proyek muncul ke literatur
manajemen proyek dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, otonomi telah
dianggap sebagai sebuah faktor yang memungkinkan keberhasilan dalam proyek
dan tim, meskipun dengan temuan yang kontradiktif (Gemunden et al., 2005;
Hoegl and Parboteeah, 2006). Kedua, otonomi telah disarankan sebagai faktor
kontekstual yang harus diperhitungkan saat menentukan strategi proyek (Artto et
al., 2008a, b). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa proyek-proyek berbeda
dalam tingkatan tertentu, mereka meneliti otonomi proyek dan manajer harus
menyadari
dan
melakukan
upaya
peningkatan
otonomi
proyek
dalam
lingkungannya. Menurut Lampel dan Jha (2004), otonomi proyek mengacu pada
sejauh mana proyek dibiarkan berkembang tanpa pelaporan konstan, dan masukan
dari organisasi induk. Otonomi organisasi proyek sebagai sistem sosial telah
didefinisikan sebagai otoritas untuk menetapkan tujuan sendiri, identitas sosial
dan batas-batas dengan sistem sosial lainnya, sumber daya untuk menyelesaikan
tugasnya dan kebebasan untuk mengatur perilaku anggotanya (Gemunden et al.,
2005).
Dikatakan bahwa tim proyek yang otonomi meningkat sebagai tim yang
memiliki hak untuk membuat keputusan yang lebih relevan dengan tugasnya.
Universitas Indonesia
13
Keputusan tersebut terkait dengan pengaturan spesifikasi teknis dan bisnis,
menentukan produk dan proses desain konten, penjadwalan dan penganggaran,
sumber daya memperoleh, koordinasi dengan stakeholder, dan memonitor
kemajuan dan mengevaluasi kinerja (Gerwin and Moffat, 1997a). Penelitian
sebelumnya menekankan bahwa ada dua belah pihak yang terkait dengan otonomi
yaitu otonomi yang diambil dan digunakan oleh proyek (atau tim), dan otonomi
diberikan atau ditentukan oleh manajer eksternal untuk proyek. Otonomi
sebelumnya telah diteliti melalui hak tim untuk membuat keputusan di daerah
yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan atau proses (Gerwin and Moffat,
1997a), pengaruh eksternal dan kesetaraan internal bepengaruh dalam keputusan
proyek (Hoegl and Parboteeah, 2006), dan bagaimana manajer dapat menentukan
otonomi sebuah tim dengan terlibat dalam pengambilan keputusan (Gerwin and
Moffat, 1997b). Gemunden et al. (2005) telah mempelajari otonom proyek
melalui empat dimensi yang berbeda, yaitu otonomi dalam mendefinisikan tujuan
proyek, otonomi struktural, otonomi sumberdaya dan otonomi sosial. Masingmasing proyek menggunakan tingkat otonomi yang berbeda, terutama pada
proyek yang memiliki tingkat inovasi yang tinggi, kompleks dan teknik yang baru
lebih disarankan memiliki tingkat otonomi yang tinggi. Penggunaan otonomi
muncul pada bentuk desain organisasi yang berbeda dan kriteria sukses serta
terukur (Martinsuo, 2008).
2.2. Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Management)
Setiap kegiatan yang dilakukan perusahaan pasti terkait erat dengan biaya
yang harus dikeluarkan perusahaan tersebut. Dalam paradigma baru dikatakan
bahwa quality has no cost yang berarti mutu tidak memerlukan biaya. Artinya
untuk membuat suatu produk yang bermutu perusahaan dapat melakukannya
dengan cara menghilangkan segala bentuk pemborosan, yang biasanya
pemborosan ini disebabkan karena perusahaan menghasilkan produk yang
ternyata cacat sehingga harus diadakan perbaikan atau harus dibuang atau dalam
bahasa lainnya konsentrasi pada pengurangan nilai non-conformities.
Universitas Indonesia
14
Untuk
meningkatkan
mutu
produk
dan
jasa
menurut
paradigm
lama,diperlukan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Selanjutnya, dalam
paradigma baru dikenal bahwa peningkatan mutu pasti diiringi dengan
peningkatan produktivitas. Hal ini dapat terjadi jika perusahaan berhasil
menghilangkan pemborosan. Biaya yang dapat dihemat terutama yang
merupakan biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menghasilkan
produk cacat. Biaya mutu itu akan tetap ada bila perusahaan menganut
paradigma lama. Menurut Dissanayaka, dkk (2001), dalam paradigma baru,
“mutu tidak berdampak pada peningkatan biaya mutu, bahkan akan menghemat
biaya tersebut”.
Total Quality Management (Manajemen Mutu Terpadu) adalah suatu
filosofi komprehensif tentang kehidupan
menekankan
perbaikan
berkelanjutan
dan kegiatan organisasi
sebagai
tujuan
fundamental
yang
untuk
meningkatkan mutu, produktivitas, dan mengurangi pembiayaan. Jadi, tiga
variabel penting yang harus dikendalikan selama proses pelaksanaan suatu proyek,
yaitu: mutu proyek, waktu penyelesaian proyek, dan biaya pelaksanaan proyek.
Definisi TQM adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha mencoba untuk
memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas
produk, jasa,tenaga kerja, proses dan lingkungannya (Nasution, 2005). Total
Quality Management (TQM) adalah sebuah filosofi manajemen yang dibutuhkan
untuk menjaga kerahasiaan seluruh fungsi organisasi antaralain: pemasaran,
keuangan, perencanaan, teknik, dan produksi serta layanan pelanggan untuk
memfokuskan pada terpenuhinya kebutuhan pelanggandantujuanoraganisasi. Total
Quality Management merupakan suatu sistem manajemen yang berfokus kepada
orang, yang bertujuan untuk meningkatkan secara berkelanjutan kepuasan
pelanggan pada biaya yang sesungguhnya secara berkelanjutan terus menerus
(Mulyadi, 1998:10). Banker et al. (1993) menjelaskan bahwa TQM meningkatkan
keterlibatan organisasi dalam meningkatkan kualitas secara terus menerus.
Bertanggung jawab untuk mendeteksi hal-hal yang tidak sesuai dengan
pengendalian kualitas, hal tersebut membuat pekerja lebih bertanggungjawab
untuk pengendalian kualitas dan untuk menghentikan produksi ketika ada suatu
masalah dalam produksi.
Universitas Indonesia
15
Waldman (1994) menyatakan bahwa TQM merupakan suatu sistem yang
dirancang sebagai kesatuan, yang memfokuskan pendekatan pelanggan dengan
meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. Meskipun banyak usaha untuk
memasukkan TQM dalam organisasi, relatif kecil mengetahui seberapa besar
keefektifan dan pengimplementasian strategi yang optimal. Total Quality
Management (TQM) pertama kali lahir sebagai respon terhadap munculnya
persoalan “krisis produktivitas”. Selain itu konsep TQM juga dikemukakan oleh
badan International Standard Organization (ISO), yang menyatakan bahwa TQM
merupakan salah satu pendekatan bagi sebuah organisasi, yang dipusatkan pada
kualitas organisasi yang bersangkutan dengan menyertakan partisipasi seluruh
anggota yang ada dalam sebuah organisasi dan tujuannya adalah kesuksesan
jangka panjang bagi kepuasan pelanggan dan keuntungan bagi semua anggota
organisasi dan masyarakat. Dari konsep ini dapat disimpulkan bahwa tujuan yang
hendak dicapai dengan adanya penerapan TQM pada sebuah organisasi adalah
tidak hanya bagi pemilik, atau pihak manajemen organisasi saja, melainkan tujuan
adalah jangka panjang guna meningkatkan kepuasan para pelanggan dan semua
anggota yang ada dalam organisasi.
Sejumlah penelitian telah menggambarkan bagaimana implementasi TQM
mempengaruhi kinerja perusahaan (Flynn et al., 1995;. Black and Porter, 1996;
Choi and Eboch, 1998; Simson and Terziovski, 1999; Sun, 2000). Meskipun pada
studi yang berbeda, unsur-unsur TQM yang dimasukkan sangat mirip sebagai
masukan dan berbagai ukuran kinerja operasional sebagai output mereka. Sejak
dimulainya kerangka Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA) pada
tahun 1995, peneliti mendasarkan literatur TQM mereka pada tujuh elemen:
leadership, strategy and planning, customer focus, information and analysis,
people management, process management, and business performance. Unsurunsur ini dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi empat aspek : employee
relations, leadership, customer/supplier relation, product/process management
(Jung dan Wang, 2006). Dalam rangka kategori TQM, dua elemen pertama lebih
fokus ke arah tindakan berdasarkan hubungan antar manunia atau elemen "soft
TQM" , sedangkan dua terakhir elemen fokus lebih ke arah tindakan yang
berbasis teknologi atau elemen “hard TQM".
Universitas Indonesia
16
2.2.1. Kepemimpinan (Leadership)
Diantara bermacam-macam elemen yang digunakan sebagai dasar TQM,
“top management leadership and commitment” merupakan elemen yang paling
berpengaruh, dimana hal ini dapat mengarahkan dan mempengaruhi elemen TQM
lainnya (Deming, 1986; Juran, 1986) dimana dapat dipertimbangkan sebagai
unsur yang paling berpengaruh dalam TQM dan mempengaruhi unsur lain dalam
organisasi (Anderson et al., 1995; Flyn et al., 1995; Kaynak, 2003). Top
management haruslah jujur dan tulus menyatakan mengapa praktik TQM
diperlukan dan harus mampu mendapatkan kepercayaan dan penghargaan dari
karyawan, sebelum dan selama proses pelaksanaan. Komitmen top management
untuk mencapai kualitas manajemen adalah mutlak untuk mempersiapkan budaya
organisasi sebelum praktek TQM dapat diterapkan (Anderson et al., 1995; Antony
et al., 2002). Top management dapat memfasilitasi dalam menyatukan tujuan
maupun perubahan proses manajemen dan proses pembelajaran (Ahire et al.,
1996; Anderson et al., 1995; Hamlin et al., 1997). TQM tercermin pada misi
organisasi untuk strategi selanjutnya yang sesuai dengan tujuan jangka pendek
maupun jangka panjang (Juran, 1989).
2.2.2. Hubungan Kepegawaian (Employee Relationship)
Untuk dapat berperan serta secara efektif dalam manajemen kualitas, para
karyawan perlu dijelaskan dan diberikan pelatihan mengenai keuntungan praktis
TQM (Ahire et al, 1996). Manajemen harus mampu meyakinkan organisasi untuk
melakukan program pelatihan lebih luas. Kepuasan karyawan dan pencapaian
keuntungan dan kompensasi, kebersamaan dengan kerjasama tim yang lebih baik,
mampu membawa dalam perbaikan kinerja (baiden et al, 2006; Jun et al, 2006;
Grandzol & Gershon, 1997).
Hubungan kepegawaian seperti pemberdayaan dalam pengambilan
keputusan, pengakuan yang tepat, evaluasi berdasarkan kinerja tim, prosedur
pemberian insentif berdasarkan kualitas, meningkatkan kinerja operasional (Chen,
1997; Ho et al., 1999, 2001; Koberg et al., 1999). Mendayagunakan dana
melibatkan
seluruh
karyawan
dalam
meningkatkan
perbaikan
secara
Universitas Indonesia
17
berkesinambungan melalui perubahan proses, dengan demikian hasilnya dapat
dilihat dalam banyak kesempatan (Handfield et al., 1998; Ahire et al., 1996).
Dalam hal mendorong pemberdayaan dan keterlibatan karyawan, penjelasan dan
keterbukaan komunikasi dari persaingan strategi harus dapat difasilitasi (Ahire et
al., 1996).
2.2.3. Hubungan Pelanggan/Pemasok (Customer/Supplier Relationship)
Kemampuan untuk mengelola hubungan dengan pelanggan maupun
pemasok merupakan hal penting dalam organisasi untuk mempertahankan
keunggulan kompetitif (Porte & Millar, 1985). Manajemen hubungan pelanggan
(Customer Relationship Management/CRM) berfokus pada memenuhi harapan
pelanggan, sehingga tercapai kepuasan pelanggan (Mithas et al., 2005).
Penyebaran informasi terkait pelanggan ke seluruh organisasi (misalnya Program
resolusi keluhan pelanggan) memungkinkan CRM yang efektif. Meningkatkan
keterlibatan karyawan melalui peningkatan akses terhadap informasi dan sumber
daya, yang memungkinkan karyawan dapat membuat layanan yang tepat waktu
dan lebih responsif kepada pelanggan, mempunyai dampak positif terhadap
hubungan pelanggan (Ahire and O'Shaughnessy, 1998). Melibatkan pelanggan
dan pemasok selama fase perencanaan strategis memiliki dampak yang signifikan
dan positif terhadap kinerja perusahaan (Ittner and Larcker, 1997). Hubungan
kerja sama jangka panjang dengan beberapa jumlah pemasok (yaitu kemitraan
pemasok) adalah penting untuk meningkatkan SRM (Black and Porter, 1996).
Dari
sudut
pandang
manajemen
rantai
pasokan
(Supply
Chain
Management/SCM), manajemen pelanggan dan pemasok dapat dikelompokkan ke
dalam satu elemen. Sejak SCM disebut sebagai integrasi pembeli dan pemasok,
proses pengambilan keputusan dengan tujuan meningkatkan aliran material ke
seluruh rantai pasokan, akan memungkinkan penurunan waktu pengiriman, biaya
material, perbaikan kualitas dan daya tangkap (Kuei et al., 2001; Kannan and Tan,
2005). Selain itu, penanganan yang tepat terhadap subkontraktor melalui
kemitraan juga merupakan hal penting untuk mendukung pemenuhan kepuasan
pelanggan. Subkontraktor dalam hal ini adalah agensi spesialis dalam pelaksanaan
Universitas Indonesia
18
pekerjaan khusus, disamping menyediakan pekerja, juga menyediakan material,
peralatan berat, peralatan ringan atau desain. Subkontraktor bertanggung jawab
terhadap pengawasan sebagian pengerjaan, bertindak sebagai agen dari sistem
produksi kontraktor (Lendra, 2004). Perhatian khusus perlu diberikan jika konsep
kemitraan diimplementasikan pada hubungan antara kontraktor dan subkontraktor
dengan prinsip yang obyektif untuk meningkatkan kinerja dan mengurangi biaya
bagi
klien
(Dissanayaka
and
Kumaraswamy,
1997).
Seiring
dengan
perkembangan terbaru dari CRM/SRM yang sepenuhnya terkomputerisasi/terpadu
sebagai bagian dari Program Enterprise Resource (Enterprise Resource
Program/ERP).
2.2.4. Manajemen Produk dan Proses (Product/Process Management)
Dalam pelaksanaan proyek, manajemen proyek merupakan proses
pengendalian
dalam
mencapai
tujuan
proyek
secara
obyektif
dengan
menggunakan struktur organisasi dan sumberdaya yang ada untuk mengelola
proyek dengan memanfaatkan alat dan teknik/metode tanpa merugikan pekerjaan
rutin diperusahaan (Kerzner, 1989). Pendakatan manajemen proses pada proyek
fokus pada setiap proses dan dengan demikian keuntungan diperoleh dari teknik
atau metode yang ada sebagai proses kontrol, kelayakan proses dan optimasi
proses (Laszlo, 1999) sehingga dibutuhkan evaluasi proyek yang pada umumnya
melekat pada proses pengambilan keputusan yang besar (Small, 1998).
Penggunaan data akurat yang berkualitas dan realtime adalah prasyarat untuk
desain produk (Ahire dan Dreyfus, 2000) dan desain proses (Ahire dan
O'Shaughnessy, 1998). Penggunaan kualitas data dan sistem pelaporan (misalnya
pengendalian proses statistik, tampilan kinerja, ERP) memungkinkan perbaikan
organisasi terus menerus berdasarkan metode ilmiah yang obyektif (Choi, 1995;
Black dan Porter, 1996; Capon et al, 1995; Lillrank, 2003).
2.3. Keberhasilan Proyek (Project Success)
Proyek adalah suatu usaha untuk membuat suatu produk, layanan atau
sesuatu yang dihasilkan dalam jangka waktu terbatas atau bersifat sementara
(Schwalbe, 2007). Berbeda halnya dengan operasi, suatu proyek akan diakhiri
Universitas Indonesia
19
jika tujuan suatu proyek tersebut telah tercapai. Adapun sifat-sifat dari suatu
proyek menurut Scwalbe (2007) meliputi:
a) Suatu proyek memiliki suatu tujuan yang unik;
b) Suatu proyek bersifat sementara, memiliki awal permulaan proyek serta
batas berakhir proyek;
c) Suatu proyek dapat dikembangkan seiring dengan berjalannya proyek itu
sendiri.
Pada saat dimulai, suatu proyek terkadang masih memiliki definisi yang
terlalu luas (tidak spesifik), seiring dengan berjalannya proses pengerjaan maka
detil spesifik tersebut akan terlihat lebih jelas, oleh karena itu suatu proyek
memungkinkan untuk dikembangkan secara lebih rinci berdasarkan pada
kebutuhan serta informasi baru mengenai proyek tersebut.
a) Membutuhkan suatu sumberdaya, seperti: manusia, asset dan uang;
b) Memiliki sponsor, project sponsor biasanya mengarahkan, memonitor
serta mendanai suatu proyek;
c) Suatu proyek meliputi ketidak pastian, dikarenakan sifatnya yang unik,
sulit untuk ditentukan secara pasti berapa lama dapat selesai serta berapa
besar alokasi anggran yang dibutuhkan secara pasti hingga proyek selesai.
Menurut Nicholas (2001) karakteristik suatu proyek meliputi:
a) Melibatkan suatu tujuan yang dapat dijelaskan, dimana tujuan tersebut
dispesifikasikan dalam bentuk biaya, jadwal dan kinerjanya;
b) Unik, suatu proyek perlu memiliki sesuatu yang berbeda dari proyek
sebelumnya. Jadi proyek tersebut merupakan suatu jenis aktifitas yang
bukan pengulangan dari aktifitas sebelumnya;
c) Suatu aktifitas yang bersifat sementara, digunakan untuk menyelesaikan
suatu tujuan yang dibatasi oleh periode waktu yang telah ditentukan;
d) Menggunakan kemampuan dan talenta dari beberapa profesi dan
organisasi;
e) Kemungkinan tidak dikenal, karena terdiri dari beberapa ide baru,
pendekatan baru, atau teknologi baru yang memiliki resiko dan ketidak
pastian yang tinggi;
Universitas Indonesia
20
f) Ada
sesuatu
yang
dipertaruhkan,
kegagalan
dari
proyek
dapat
menyebabkan halhal yang beresiko bagi organisasi maupun tujuan dari
proyek tersebut; dan
g) Proses pengerjaan untuk mencapai tujuan, selama proses proyek melewati
beberapa tahap-tahap yang jelas yang disebut daur hidup proyek.
Dalam suatu manajemen proyek memiliki tiga batasan utama atau yang
lebih dikenal dengan istilah triple constraint yaitu: scope, time serta cost. Dimana
dalam manajemen proyek yang sukses ketiga batasan tersebut semuanya dapat di
sesuaikan atau diatur dengan baik sesuai dengan kapasitas yang ada, tetapi tetap
dapat memuaskan project sponsor serta memenuhi tujuan proyek.
Gambar 2.1 Triple Constraint dari Manjemen Proyek
Sumber: Schwalble (2007)
Pada suatu proyek, manajer proyek tidak hanya berusaha mempertemukan
spesifikasi scope, time, cost serta kualitas dari suatu proyek tetapi juga harus
dapat memfasilitasi atau memudahkan seluruh proses serta komponen-komponen
yang terlibat dalam proyek tersebut (Schwalble, 2007). Dalam menjalankan suatu
proyek suatu perusahaan perlu menentukan kriteria-kriteria seperti apa yang
dimiliki suatu proyek agar proyek tersebut dapat dikatakan sukses, menurut
Schawalbe (2007) pada umumnya ada tiga kriteria suatu proyek dapat dikatakan
sukses yaitu:
Universitas Indonesia
21
a) Proyek dapat memenuhi scope, time serta cost yang dapat disesuaikan atau
diatur dengan baik sesuai dengan kapasitas yang ada tetapi tetap dapat
memuaskan pihak sponsor;
b) Proyek dapat memuaskan pelanggan atau sponsor;
c) Hasil dari proyek yang dijalankan sesuai dengan tujuan utama proyek,
seperti: bisa mengembalikan investasi dalam rentang kurun waktu yang
telah ditentukan, bisa membuat pihak sponsor merasa puas.
Sedangkan menurut Olson (2003) tiga faktor yang diyakini menentukan
keberhasilan suatu proyek adalah:
a) Keterlibatan klien dalam proyek;
b) Dukungan dari manajemen tingkat atas;
c) Objektifitas dari proyek yang jelas
Menurut Olson (2003) Pinto dan Slevin telah menyelidiki lebih dari 400
proyek dan menemukan critical success factor (CSF) berdasarkan urutannya
berikut ini:
a) Misi proyek, dalam proyek harus memiliki tujuan dan arah yang jelas.
b) Dukungan dari manajemen tingkat atas untuk memastikan ketersediaan
sumber daya yang dibutuhkan.
c) Perencanaan atau penjadwalan yang meliputi spesifikasi yang terperinci.
d) Konsultasi dengan pemilik proyek dan semua pihak yang terlibat
memberikan pendapatnya.
e) Anggota (personil) dengan kemampuan yang baik untuk diikutsertakan
dalam tim proyek.
f) Kemampuan teknis dan mengerti proyek yang sedang dikerjakan.
g) Penerimaan dari pihak pemilik proyek.
h) Pengawasan, pengendalian dan umpan balik dengan pengawasan secara
berkala terhadap setiap tahap-tahap dalam proyek.
i) Komunikasi yang baik merupakan faktor utama dari keberhasilan
manajemen proyek.
j) Penyelesaian masalah dalam menangani krisis dan penyimpangan yang
terjadi.
Universitas Indonesia
22
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, definisi manajemen
proyek fokus pada variable waktu, biaya dan ruang lingkup atau dalam hal lain
disebut sebagai ‘iron triangle’ (Atkinson, 1999). Sebagai parameter keberhasilan
Project Management Body of Knowledge (PMBOK) mengacu pada indikator
efisiensi yang direpesentasikan pada rasio ketepatan jadwal pelaksanaan proyek
dan efisiensi biaya (PMBOK, 2004a). Literatur yang mengemukakan keuntungan
dalam menggunakan manajemen proyek ditekankan pada indikator efisiensi
antara lain meningkatkan profit dan menekan biaya, waktu dan resiko kegagalan
(Kersner, 2004). Dalam konteks penelitian yang lain disebutkan bahwa penawaran
meliputi waktu, biaya dan ruang lingkup (termasuk kualitas), namun yang
menjadi indikator utama dalam penentuan keberhasilan proyek adalah ruang
lingkup (Tukel & Rom, 2001). Keberhasilan proyek dapat diartikan dengan
mempertimbangkan dua hal yaitu tingkat kinerja teknis proyek diukur secara
obyektif melalui ketepatan waktu dan kesuaian dengan anggaran serta kontribusi
yang diberikan oleh proyek tersebut kepada misi strategis perusahaan (Cleland,
1986)
Konsep keberhasilan manajemen proyek dalam hal waktu, biaya dan
kualitas / kinerja (ruang lingkup) dan menunjukkan bahwa keberhasilan proyek
melibatkan tujuan yang lebih luas dari sudut pandang pemangku kepentingan di
seluruh siklus hidup proyek (De Wit, 1988). Kriteria keberhasilan ukur sebagai
termasuk kinerja teknis, efisiensi eksekusi, implikasi manajerial dan organisasi,
pertumbuhan pribadi, manufakturabilitas dan kinerja bisnis (freeman dan Beale,
1992). Waktu, biaya dan kualitas adalah kriteria dasar untuk keberhasilan proyek,
hampir setiap artikel terkait menyebutkan ketiga dan menunjukkan pentingnya
mereka dalam sebuah proyek dan dalam pandangan peserta proyek (Walker 1995,
1996; Belassi dan Tukel, 1996 ; Hatush dan Skitmore, 1997). Pada umumnya
kriteria sukses yang digunakan pada proses delivery proyek adalah tepat waktu,
sesuai dengan budget yang dianggarkan dan memenuhi spesifikasi produksi/jasa
yang ditetapkan (Pinto and Prescott, 1988; Shenhar et al., 2001)
Universitas Indonesia
23
2.4. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Penerapan strategi proyek dan manajemen mutu terpadu (TQM) terhadap
kesuksesan sebuah proyek mempunyai peran yang strategis dalam pengerjaan
jasa-jasa konsultansi pemerintah. Maka penelitian ini menjadi penting dengan
mempersoalkan antara pengaruh penerapan Strategi Proyek dan Manajemen Mutu
Terpadu terhadap Kesuksesan Proyek, terutama pada pengerjaan jasa-jasa
konsultansi pemerintah.
2.4.1. Hubungan Project Strategy dengan Total Quality Management
Kualitas harus dikirim melalui perspektif manajemen strategi karena
bukan merupakan hal yang khusus dalam menentukan batasan atau metodologi
tertentu (Qureshi et al., 2008). Otonomi telah disarankan sebagai faktor
kontekstual yang harus diperhitungkan saat menentukan strategi proyek (Artto et
al., 2008a, b) dan studi menunjukkan bahwa proyek dapat menjadi organisasi
otonom dan dapat memiliki strategi sendiri (Slevin & Pinto 1987, Samset 2003,
Arnaboldi dkk. 2004, Lam et al. Gemunden et al. (2005) telah mempelajari
proyek otonom melalui empat dimensi yang berbeda, yaitu otonomi dalam
mendefinisikan tujuan proyek, otonomi struktural, otonomi sumber daya dan
otonomi sosial. Otonomi organisasi proyek sebagai sistem sosial didefinisikan
sebagai kewenangan untuk menetapkan tujuan sendiri, identitas sosial, dan batasbatas dengan sistem sosial lainnya, sumber daya untuk menyelesaikan tugasnya
dan kebebasan dalam mengatur perilaku anggotanya (Gemunden et al, 2005).
Dikatakan bahwa otonomi tim proyek meningkat sebagai tim memiliki hak
untuk membuat keputusan yang lebih relevan dengan tugasnya. Keputusan
tersebut terkait dengan pengaturan spesifikasi teknis dan bisnis, menentukan
produk dan proses desain konten, penjadwalan dan penganggaran, memperoleh
sumber daya, koordinasi dengan stakeholder, dan memonitor kemajuan dan
mengevaluasi kinerja (Gerwin dan Moffat, 1997a). Pernyataan tersebut
menekankan bahwa otonomi sebuah organisasi proyek merupakan kewenangan
dalam membuat sebuah strategi yang berpengaruh pada penerapan TQM yang
diidentifikasikan sebagai perilaku organisasi dengan kesepakatan kesempurnaan
yang berkelanjutan dengan fokus pada solidaritas dalam tim, kepuasan pelanggan
Universitas Indonesia
24
meningkat dan reduksi biaya (Qureshi, 2008) yang dirangkum dalam dimensi
TQM yang meliputi hubungan karyawan, kepemimpinan, pelanggan/pemasok
hubungan, dan produk/proses manajemen (Jung dan Wang, 2008)
H1. Strategi proyek berpengaruh positif terhadap elemen manajemen
mutu terpadu (TQM).
2.4.2. Hubungan Total Quality Management dengan Project Succes
Sejumlah penelitian telah menggambarkan bagaimana implementasi TQM
mempengaruhi kinerja perusahaan (misalnya Flynn et al, 1995;. Black dan Porter,
1996; Choi dan Eboch, 1998; Simson dan Terziovski, 1999; Sun, 2000). Untuk
mencapai keberhasilan proyek dengan kepuasan yang berbeda pada masingmasing stakeholder hanya dapat dicapai melalui manajemen kualitas dengan
memperkenalkan Total Quality Management (TQM) pada proyek merupakan
tolak ukur baru bagi penelitian (Qureshi et al., 2008). Kesuksesan proyek
memiliki perspektif yang luas dan termasuk pengaruhnya terhadap produk akhir
dan jasa bagi pelanggan (Baccarini, 1999). Seperti halnya iron/golden triangle
dan proses internal, proyek akan memberikan beberapa keuntungan untuk
pelanggan (Tukel dan Rom, 2001) dan karenanya kinerja proyek yang efektif akan
fokus pada pelanggan (Bryde dan Robinson, 2007). Konsep fokus kepada
pelanggan merupakan prinsip fundamental dari TQM (BSI, 2000) dengan dimensi
hubungan
karyawan,
kepemimpinan,
pelanggan/pemasok
hubungan,
dan
produk/proses manajemen (Jung dan Wang, 2008)
Kriteria sukses yang digunakan pada proses delivery proyek adalah tepat
waktu, sesuai dengan budget yang dianggarkan dan memenuhi spesifikasi
produksi/jasa yang ditetapkan (Pinto and Prescott, 1988; Shenhar et al., 2001).
Jung dan Wang (2008) mengukur kesuskesan proyek dengan berdasarkan kriteria
pengaturan proyek internasional, yaitu continuous improvement of international
project management (CIIPM). Secara umum, CIIPM bertujuan untuk terus
menerus melakukan perbaikan terhadap kinerja manajemen proyek (misalnya
Universitas Indonesia
25
jadwal, biaya dan kepuasan pelanggan), kedewasaan (misalnya kompetensi dan
daya saing), proses dan kerja sama tim (internal dan eksternal).
Berdasarkan sampel cross-sectional yang diambil dari manajer proyek
internasional, Jung dan Wang (2006) menemukan bahwa semua unsur TQM
empat, yaitu, kepemimpinan, hubungan karyawan, pelanggan/pemasok hubungan,
dan produk/proses manajemen, memiliki pengaruh positif dan signifikan pada
perbaikan terus-menerus dari manajemen proyek internasional.
H2. Elemen manajemen mutu terpadu (TQM) berpengaruh positif pada
Kesuksesan Proyek.
2.4.3. Hubungan antara Project Strategy, Total Quality Management (TQM)
dan Project Success
Pada studi-studi sebelumnya dikatakan bahwa proyek dapat menjadi
organisasi otonom dan dapat memiliki strategi sendiri (Slevin & Pinto 1987,
Samset 2003, Arnaboldi et al., 2004; Lam et al., 2004). Otonomi telah disarankan
sebagai faktor kontekstual yang harus diperhitungkan saat menentukan strategi
proyek (Artto et al., 2008a, b). Gemunden et al. (2005) telah mempelajari
otonomi proyek melalui empat dimensi yang berbeda, yaitu otonomi dalam
mendefinisikan tujuan proyek, otonomi struktural, otonomi sumber daya dan
otonomi sosial. Otonomi organisasi proyek sebagai sistem sosial didefinisikan
sebagai kewenangan untuk menetapkan tujuan sendiri, identitas sosial, dan batasbatas dengan sistem sosial lainnya, sumber daya untuk menyelesaikan tugasnya
dan kebebasan dalam mengatur perilaku anggotanya (Gemunden et al., 2005).
Otonomi tim proyek meningkat sebagai tim yang memiliki hak untuk membuat
keputusan yang lebih relevan dengan tugasnya. Keputusan tersebut terkait dengan
pengaturan spesifikasi teknis dan bisnis, menentukan produk dan proses desain
konten, penjadwalan dan penganggaran, memperoleh sumber daya, koordinasi
dengan stakeholder, dan memonitor kemajuan dan mengevaluasi kinerja (Gerwin
dan Moffat, 1997a).
Universitas Indonesia
26
Sejumlah penelitian telah menggambarkan bagaimana implementasi TQM
mempengaruhi kinerja perusahaan (misalnya Flynn et al., 1995;. Black dan
Porter, 1996; Choi dan Eboch, 1998; Simson dan Terziovski, 1999; Sun, 2000).
Jung dan Wang (2008) merangkum dimensi TQM dalam beberapa aspek, yaitu
hubungan
karyawan,
kepemimpinan,
pelanggan/pemasok
hubungan,
dan
produk/proses manajemen.
Kriteria sukses yang digunakan pada proses delivery proyek adalah tepat
waktu, sesuai dengan budget yang dianggarkan dan memenuhi spesifikasi
produksi/jasa yang ditetapkan (Pinto and Prescott, 1988; Shenhar et al., 2001).
Jung dan Wang (2008) mengukur kesuskesan proyek berdasarkan kriteria
pengaturan proyek internasional, yaitu continuous improvement of international
project management (CIIPM). Secara umum, CIIPM bertujuan untuk terus
menerus melakukan perbaikan terhadap kinerja manajemen proyek (misalnya
jadwal, biaya dan kepuasan pelanggan), kedewasaan (misalnya kompetensi dan
daya saing), proses dan kerja sama tim (internal dan eksternal).
Sinergi antara disiplin ilmu manajemen proyek dan manajemen mutu telah
menjadikan manajemen proyek berhasil dalam pelaksanaan program TQM,
berdasarkan hasil penelitian empiris organisasi pada manajemen proyek yang
efektif menyebabkan TQM berhasil diperkenalkan pada proyek (Pelligrinelli &
Bowman,1994; Hide et al., 2000)
H3. Elemen TQM dapat menjadi mediasi antara strategi proyek dengan
kesuksesan proyek.
Universitas Indonesia
Download