U-SDM DK Ardani, S.Psi., CBA., CPHRM HUBUNGAN INDUSTRIAL Dasar Hukum Hubungan Industrial Dasar Hukum 1. UU Naker No.13 Tahun 2003 Tanggal 23 Maret 2003 Tentang Ketenagakerjaan 2. UU No.2 Tahun 2004 Tanggal 14 Januari 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 3. Perpu No. 1 Tahun 2005 Tanggal 13 Januari 2005 Tentang Penangguhan UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial 4. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Perkara No. 012/ PUU-I/ 2003 Tanggal 28 Oktober 2004 Atas Hak Uji Materiil UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap UUD 1945 5. Peraturan Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2003 antara lain : Kepmentrans No. Kep 232/MEN/ 2003 Tentang Akibat Mogok Tidak Sah; Kepmentrans No. Kep 235/MEN/ 2003 Tanggal 9 Desember 2003 Tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Bipartit Pengertian dan Unsur Hubungan Industrial Sesuai UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 16 Hubungan Industrial merupakan suatu Sistem Hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang atau jasa; Terdiri atas unsur pengusaha, pekerja dan Pemerintah; Didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 Skema Hubungan Industrial Pengusaha Pekerja Menciptakan Kemitraan; Mengembangkan Usaha Memperluas lapangan kerja Memberikan Kesejahteraan Menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajiban Menjaga ketertiban demi kelancaran aktifitas perusahaan Menyalurkan aspirasi Mengembangkan ketrampilan dan keahlian Ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan Peraturan Perusahaan Perjanjian Kerja Bersama Perjanjian Kerja Lembaga Kerjasama Bipartit/ Tripartit PPHI Pemerintah Menetapkan Kebijakan Memberikan pelayanan Melaksanakan pengawasan Melakukan penindakan pelanggaran UU Ketenagakerjaan Ketentuan Hubungan Industrial Sesuai UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 102 - 149 Ketentuan di bidang HI mengatur hal yang berkaitan: 1. Ketentuan umum, yang mengatur fungsi Pemerintah, fungsi pekerja/ buruh dan fungsi pengusaha dan organisasi. 2. Sarana HI dapat dilaksanakan melalui: Serikat pekerja Organisasi Pengusaha Lembaga Kerjasama Bipartit Lembaga Kerjasama Tripartit Peraturan Perusahaan KKB/PKB Lembaga penyelesaian HI Definisi Umum Tentang Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Definisi Umum Tentang Ketenagakerjaan Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Pengusaha adalah : Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; Perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud diatas yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Definisi Umum Tentang Ketenagakerjaan Perusahaan adalah : setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Definisi Pemberi Kerja UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 4 Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. Perbedaan atau persamaan antara Perikatan, Perjanjian dan kontrak Perikatan adalah suatu hubungan hukum diantara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut dinamakan kreditur (si berpiutang), sedangkan pihak lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur (si berhutang). Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya hubungan hukum perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan. Disamping perjanjian kita mengenal pula istilah kontrak. Secara gramatikal, istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, contract. Baik perjanjian maupun kontrak mengandung pengertian yang sama, yaitu suatu perbuatan hukum untuk saling mengikatkan para pihak kedalam suatu hubungan hukum perikatan. Istilah kontrak lebih sering digunakan dalam praktek bisnis. Karena jarang sekali orang menjalankan bisnis mereka secara asal-asalan, maka kontrak-kontrak bisnis biasanya dibuat secara tertulis, sehingga kontrak dapat juga disebut sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis. Mewakili Perusahaan Dalam Perjanjian Orang yang dapat mewakili perusahaan pada prinsipnya adalah orang yang diberi hak oleh undang-undang untuk mewakili perusahaan itu. Dalam badan hukum Perseroan Terbatas, Direksi mempunyai hak untuk mewakili badan hukum tersebut baik di dalam maupun diluar pengadilan termasuk menandatangani perjanjian atas nama perusahaan. Selain Direksi, pihak-pihak lain juga dapat menandatangani perjanjian atas nama badan hukum Perseroan Terbatas selama orang itu mendapatkan kuasa dari Direksi. Misalnya, seorang Manajer Sumber Daya Manusia dapat menandatangani perjanjian kerja dengan para karyawan suatu perusahaan selama tindakannya itu berdasarkan kuasa yang diberikan oleh Direksi yang biasanya sudah tercantum dalam surat tugasnya ketika diangkat sebagai manajer. Semua perjanjian kerja yang dibuatnya atas nama perusahaan dengan demikian mengikat perusahaan yang diwakilinya. Asas-asas Perjanjian Asas-asas perjanjian diatur dalam KUHPerdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam membuat perjanjian: asas kebebasan berkontrak ( freedom of contract ), asas konsensualisme ( concsensualism ), asas kepastian hukum ( pacta sunt servanda ), asas itikad baik ( good faith ) dan asas kepribadian ( personality ). Asas-asas Perjanjian 1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan). Asas-asas Perjanjian 2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian – bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki perlindungan hukum. Asas-asas Perjanjian 3. Asas Konsensualisme (concensualism) Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris. Asas-asas Perjanjian 4. Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder trouw) Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya. 5. Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Pengertian dan Syarat-Syarat Sah Perjanjian PERJANJIAN adalah suatu “perbuatan”, yaitu perbuatan hukum, perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekwensinya. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan: Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran harga barang dalam perjanjian jual beli barang. Melakukan sesuatu, misalnya menyelesaikan pembangunan jembatan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan. Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak bekerja di tempat lain selain perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja. Pengertian dan Syarat-Syarat Sah Perjanjian Perjanjian melibatkan sedikitnya dua pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Para pihak ini berdiri berhadaphadapan dalam kutub-kutub hak dan kewajiban. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebut kreditur. Contoh: Dalam perjanjian jual beli mobil, sebagai penjual Budi berhak memperoleh pembayaran uang harga mobil, dan disisi lain ia juga berkewajiban untuk menyerahkan mobilnya kepada Ahmad. Sebaliknya, sebagai pembeli Ahmad wajib membayar lunas harga mobil itu dan ia sekaligus berhak memperoleh mobilnya. Pengertian dan Syarat-Syarat Sah Perjanjian Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan punya kekuatan mengikat secara hukum. Tidak terpenuhinya syarat perjanjian akan membuat perjanjian itu menjadi tidak sah. Menurut UU no.13 Tahun 2003 Pasal 52 - 53: 1. Dibuat atas dasar: Kesepakatan Mampu/ Cakap berbuat Ada pekerjaan yang dijanjikan Tidak bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan, UU 2. Biaya ditanggung pengusaha Menurut pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian terdiri dari: 1. Syarat Subyektif (Mengenai subyek atau para pihak) 2. Kata Sepakat 3. Cakap 4. Syarat Obyektif (Mengenai obyek perjanjian) Pengertian dan Syarat-Syarat Sah Perjanjian Ketentuan Persyaratan Perjanjian Kerja Mengacu UU no.13 Tahun 2003 Pasal 54 - 55: 1. Perjanjian Kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat: Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; Jabatan dan jenis pekerjaan; Tempat pekerjaan; Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; Mulai dan jangka waktu berlakunya Perjanjian Kerja; Tempat dan Tanggal perjanjian kerja dibuat; dan Tanda tangan para pihak dalam Perjanjian Kerja; Pengertian dan Syarat-Syarat Sah Perjanjian Ketentuan Persyaratan Perjanjian Kerja 1. Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perusahaan (PP) / Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2. Rangkap 2 (dua) 3. Bisa diubah asal ada persetujuan kedua belah pihak Jenis Perjanjian Kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Dasar PKWT Jangka waktu ; atau Batas waktu selesainya pekerjaan tertentu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP) & Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dasar Hukum 1. UU Naker No.13 Tahun 2003 Tanggal 23 Maret 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 116 -135. 2. UU No.2 Tahun 2004 Tanggal 14 Januari 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 3. Perpu No. 1 Tahun 2005 Tanggal 13 Januari 2005 Tentang Penangguhan UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial 4. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Perkara No. 012/ PUU-I/ 2003 Tanggal 28 Oktober 2004 Atas Hak Uji Materiil UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap UUD 1945. Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP) & Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Peraturan Perusahaan 1. Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. 2. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh sekurang-kurangnya 10 orang wajib membuat PP yang mulai berlaku setelah disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. 3. Kewajiban membuat Peraturan Perusahaan tersebut tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 4. Masa berlaku Peraturan Perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP) & Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Perjanjian Kerja Bersama 1. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dibuat melibatkan kedua belah pihak. 2. Hasil perundingan antara Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha. 3. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 4. Tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan. Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP) & Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Tujuan Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 1. Untuk menegaskan hak dan kewajiban para pihak. 2. Untuk Menciptakan hubungan industrial yang harmonis. 3. Untuk menetapkan syarat-syarat kerja yang belum diatur dalam PP. 4. Untuk mengatur tat cara penyelesaian keluh kesah dan perbedaan pendapat 5. Untuk Menciptakan ketenangan kerja dan kepastian usaha Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP) & Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Manfaat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 1. Lebih Mengetahui dan memahami hak dan kewajiban 2. Meminimalisir timbulnya perselisihan 3. Membantu ketenangan kerja sekaligus pendorong semangat dan kegiatan kerja 4. Media bagi pengusaha dapat Menyusun rencana pengembangan perusahaan 5. Sarana Menciptakan suasana musyawarah dan kekeluargaan Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP) & Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) paling sedikit memuat 1. Hak dan kewajiban pengusaha. 2. Hak dan kewajiban pekerja/ serikat buruh serta pekerja/ buruh. 3. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama Ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal isi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud diatas, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKB) Dasar Hukum 1. UU No. 13 Tahun 2003 Tanggal 25 Maret 2003 Pasal 1 Ayat 18, Pasal 106 dan 107. 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-255/MEN/2003 Tanggal 9 Desember 2003 Tentang Tatacara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit. Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKB) Fungsi LKB 1. Sebagai forum komunikasi dan konsultasi dan musyawarah antara SP dan Pengusaha pada tingkat Perusahaan. 2. Sebagai forum untuk membahas masalah hubungan industrial di Perusahaan guna meningkatkan produktifitas kerja dan kesejahteraan pekerja yang menjamin kelangsungan usaha dan Menciptakan ketenangan kerja; 3. Tugas LKS Bipartit Melakukan pertemuan secara rutin. Mengkomunikasikan Kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja. Melakukan deteksi dini dan menampung permasalahan hubungan industrial. Menyampaikan saran dan Pertimbangan kepada pengusaha/ pekerja. Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKB) Tata Cara Pembentukan LKB 1. Setiap Perusahaan yang mempekerjakan 50 orang pekerja atau lebih wajib membentuk LKB. 2. Susunan Keanggotaan Lembaga kerja sama bipartit terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja yang ditunjuk oleh pekerja secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja di perusahaan yang bersangkutan; 3. Pengusaha dan SP, masing-masing menunjuk wakilnya dan melaksanakan pertemuan untuk membentuk LK Bipartit dan Tripartit Lembaga Kerja Sama Tripartit Penyelesaian Perselisihan dengan melalui Mediasi pihak Ketiga (Disnaker) Jenis Perselisihan : 1. Perselisihan Hak. (Perbedaan hak yang diatur secara normatif misalnya UMK, Lembur, dll). 2. Perselisihan Kepentingan. (Perbedaan mengenai hal yang belum diatur secara normatif misalnya tunjangan makan, insentif, seragam, kenaikan upah, bonus, dll). 3. Perselisihan PHK. (Perbedaan pendapat mengenai prosedur PHK, Uang jasa dan pesangon, dll). 4. Perselisihan antar SP/SB. (Perselisihan karena saling berebut Anggota). Menyelesaikan Perselisihan Pengusaha dan Pekerja Penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan pekerja diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam undang-undang ditentukan, Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha (atau gabungan pengusaha) dengan pekerja (atau serikat pekerja). Perselisihan itu bisa diakibatkan karena perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), ataupun perselisihan antar serikat pekerja di dalam satu perusahaan. Menyelesaikan Perselisihan Pengusaha dan Pekerja Dalam Perselisihan Hubungan Industrial, para pihak yang berselisih dapat menempuh berbagai upaya penyelesaian, baik melalui kesepakatan di luar pengadilan maupun penyelesaian secara hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Penyelesaian secara damai di luar pengadilan dapat ditempuh baik melalui musyawarah kedua belah pihak (bipartit), maupun melibatkan pihak ketiga dalam mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Jika cara penyelesaian diluar sidang pengadilan tidak mencapai penyelesaian, barulah para pihak yang berselisih dapat menempuh prosedur hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial. THANK YOU Raesaka Ardani ardhaniee [email protected]