Uploaded by taniya.adamy

TANIYA R-INTERKONEKSI MULTIPEL LEVEL REPRESENTASI

advertisement
MAKALAH KAPITA SELEKTA
INTERKONEKSI MULTIPEL LEVEL REPRESENTASI (IMLR) KIMIA
Oleh:
TANIYA RACHMAWATI
18176013/2018
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat
dan
hidayah-Nya
kepada
dapat menyelesaikan laporan yang
kita
berjudul
semua,
“Interkoneksi
sehingga
Multipel
penulis
Level
Representasi (IMLR) Kimia”. Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Kapita Selekta.
Penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan penulis dalam menyusun
makalah ini. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaaan baik dalam materi maupun cara penyajian penulisannya.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pengembangan dan
kesempurnaan makalah ini. Semoga informasi yang terdapat dalam makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Padang, 20 November 2019
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
1
B.
Rumusan Masalah
3
C.
Tujuan
3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Multipel Level Representasi Kimia
4
B.
Interkoneksi Multipel Level Representasi Kimia
8
C.
Konsep, Prakonsepsi, Konsepsi, dan Miskonsepsi
15
D.
Tes Diagnostik
18
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
23
B.
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kimia merupakan salah satu rumpun bidang ilmu pengetahuan alam
yang memfokuskan mempelajari tentang sifat dan struktur zat, perubahan dan
reaksi kimia, hukum-hukum dan asas-asas yang menjelaskan tentang perubahan zat,
serta konsep-konsep dan teori-teori yang saling berkaitan (Effendy, 2006).
Kajiannya memungkinkan pebelajar memahami apa dan mengapa suatu fenomena
terjadi di sekitarnya. Namun demikian eksplanasi konsep-konsep kimia umumnya
berlandaskan struktur materi dan ikatan kimia yang merupakan materi subyek yang
sulit untuk dipelajari. Konsep-konsep abstrak ini penting untuk dipelajari, karena
konsep-konsep kimia selanjutnya akan sulit dipahami jika konsep tersebut tidak
dapat dikuasai pebelajar dengan baik. Sifat keabstrakan konsep-konsep kimia juga
sejalan dengan konsep-konsep yang melibatkan perhitungan matematis. Hal ini
menunjukkan bahwa pelajaran kimia memerlukan seperangkat keterampilan
berpikir tingkat tinggi (Fensham dalam Chittlebourough, & Treagust, 2007).
Salah satu karakter esensial ilmu kimia adalah pengetahuan kimia
mencakup tiga level representasi, yaitu makroskopik, submikroskopik dan simbolik
serta hubungan antara ketiga level ini harus secara eksplisit diajarkan (Harrison &
Treagust, 2002; Treagust & Chandrasegaran, 2009). Oleh karena itu, pada dua
dekade terakhir ini, fokus studi pengembangan pendekatan belajar dan
pembelajaran kimia lebih ditekankan pada tiga level representasi kimia
(Chandrasegaran, et al., 2007). Tingkat makroskopis adalah fakta yang bersifat
nyata dan mengandung bahan Kimia yang dapat diinderakan. Tingkat
submikroskopis juga nyata, tetapi tidak dapat diinderakan secara langsung yang
terdiri atas tingkat partikulat, termasuk keberadaan dan pergerakan elektron,
molekul, partikel atau atom. Tingkat simbolik berupa reaksi Kimia dari materi atau
partikel materi (Johnstone, 2000). Ketiga tingkat representasi tersebut merupakan
kunci keberhasilan dalam pembelajaran Kimia.
Pemahaman pebelajar ditunjukkan oleh kemampuannya untuk mentransfer
dan menghubungkan antara level representasi makroskopik, submiskroskopik dan
simbolik atau disebut juga interkoneksi multipel level representasi (IMLR).
Kemampuan pemecahan masalah kimia sebagai salah satu keterampilan berpikir
tingkat tinggi menggunakan kompetensi representasional secara jamak (multipel)
atau kemampuan ‘bergerak’ antara berbagai model representasi kimia (Kozma &
Russell, 2005). Pebelajar dapat menggunakan representasi untuk memecahkan
masalah, jika mereka mampu membuat koneksi yang mendalam antara ketiga level
representasi kimia.
Realitas
di
lapangan,
umumnya
pembelajaran
kimia
belum
mengembangkan secara utuh ketiga level tersebut, sehingga menghambat
kemampuan pebelajar dalam memecahkan masalah. Umumnya guru dalam
pembelajaran membatasi pada level representasi makroskopik dan simbolik,
sedangkan kaitannya dengan level submikroskopik diabaikan. Siswa diharapkan
dapat mengintegrasikan sendiri dengan melihat gambar-gambar yang ada dalam
buku tanpa pengarahan dari guru. Selain itu, siswa juga lebih banyak belajar
memecahkan soal matematis tanpa memaknai maksudnya. Keberhasilan siswa
dalam memecahkan soal matematis, cenderung menjadi ukuran bahwa siswa telah
memahami konsep kimia. Terjadi kecenderung siswa menghafalkan representasi
submikroskopik dan simbolik dalam bentuk deskripsi kata-kata, akibatnya mereka
tidak mampu untuk membayangkan dan merepresentasikan bagaimana proses dan
struktur dari suatu zat yang mengalami reaksi. Masalah tersebut diindikasikan
akibat kurangnya kemampuan guru menggunakan dan menghubungkan tiga level
representasi dalam pembelajaran, sehingga terjadinya miskonsepsi pada siswa
(Sopandi & Murniati, 2007 ; Farida, 2008).
Penelitian sebelumnya menunjukkan ketidakmampuan siswa dalam
merepresentasikan kimia pada level submikroskopik dapat menghambat
kemampuannya dalam memecahkan masalah kimia yang berkaitan dengan level
makroskopik ataupun simbolik (Sunyono, 2013). Multipel representasi dapat
digunakan dalam mempelajari suatu konsep yang rumit dengan penggunaan
diagram, grafik, dan persamaan sehingga mempermudah proses pembelajaran.
Interkoneksi dari ketiga level representasi tersebut adalah salah satu kunci untuk
pengajaran kimia (Gilbert and Treagust, 2009). Hal ini juga yang dapat
menyelesaikan permasalahan miskonsepsi pada siswa.
Solusi untuk miskonsepsi yang terdapat pada siswa dapat digunakan
instrumen tes diagnostik two tier. Tes ini merupakan tes yang digunakan untuk
mengetahui kelemahan atau miskonsepsi pada topik tertentu dalam pembelajaran
sehingga dari hasil tes di dapat masukan tentang respon siswa untuk memperbaiki
kelemahannya
Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan dipaparkan lebih lanjut
pembahasan makalah ini dengan judul Interkoneksi Multipel Level Representasi
(IMLR) Kimia.
B. Rumusan Makalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah
makalah ini adalah “Apakah yang dimaksud dengan interkoneksi multiple
representasi kimia (IMLR)?
C. Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah dapat memberikan penjelasan terkait dengan
interkoneksi multiple representasi kimia (IMLR).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Multiple Level Representasi Kimia
Berdasarkan kamus Australian Concise Oxford Dictionary (Hughes et al.,
1995), definisi dari kata ‘representation’ berarti sesuatu yang merepresentasikan
yang lain (‘means something that represents another’). Kata menyajikan
(represents) memiliki sejumlah makna termasuk: mensimbolisasikan (to
symbolize); memanggil kembali pikiran melalui gambaran atau imajinasi (to call up
in the mind by description or portrayal or imagination); memberikan suatu
penggambaran (to depict as). Makna istilah-istilah tersebut memperkuat pentingnya
suatu representasi untuk membantu mendeskripsikan dan mensimbolisasikan dalam
suatu eksplanasi.
Penggunaan representasi dengan berbagai cara atau mode representasi untuk
merepresentasikan suatu fenomena disebut multiple representasi. Waldrip (2008)
mendefinisikan multiple representasi sebagai praktik merepresentasikan kembali
(re-representing) konsep yang sama melalui berbagai bentuk, yang mencakup
mode-mode representasi deskriptif (verbal, grafik, tabel), experimental, matematis,
figuratif (piktorial, analogi dan metafora), kinestetik, visual dan/atau
mode
aksional-operasional. Baik Sains, maupun Ilmu Kimia termasuk mata pelajaran
yang sukar dipahami, karena banyaknya konsep-konsep abstrak yang tidak akrab
dengan prior knowledge ataupun model mental yang telah dimiliki pebelajar.
Seringkali model mental pebelajar itu bertentangan dengan eksplanasi ilmiah.
Belajar hafalan tentang rumus-rumus kimia dan fakta-fakta memang penting
untuk memori jangka panjang, namun hanya dengan cara itu tidak dapat menjamin
pebelajar memahami konsep. Diperlukan belajar bermakna agar pebelajar dapat
mengkonstruksi konsep-konsep sains/kimia.
Ainsworth (dalam Treagust, 2008) menyatakan multiple representasi dapat
berfungsi sebagai instrumen yang memberikan dukungan dan memfasilitasi
terjadinya belajar bermakna (meaningful learning) dan/atau belajar yang mendalam
(deep learning) pada pebelajar. Multiple representasi juga merupakan tools yang
memiliki kekuatan untuk menolong pebelajar mengembangkan pengetahuan
ilmiahnya.
Oleh karena itu dengan menggunakan representasi yang berbeda dan mode
pembelajaran yang berbeda akan membuat konsep-konsep menjadi lebih mudah
dipahami dan menyenangkan (intelligible, plausible dan fruitful) bagi pebelajar.
Hal ini, karena setiap mode representasi memiliki makna komunikasi yang berbeda.
Representasi konsep-konsep kimia, seperti halnya konsep-konsep sains
umumnya secara inheren bersifat multimodal, karena melibatkan kombinasi lebih
dari satu mode representasi. Jhonstone (dalam Chandrasegaran, Treagust &
Mocerino, 2007) membedakan representasi kimia menjadi tiga level, yaitu level
representasi makroskopik, representasi submikroskopik dan representasi simbolik.
Adapun deskripsi level-level representasi kimia disarikan dari Gilbert (2009)
sebagai berikut :
1.
Representasi Makroskopik
Representasi makroskopik merupakan representasi kimia yang diperoleh
melalui pengamatan nyata (tangible) terhadap suatu fenomena yang dapat dilihat
(visible) dan dipersepsi oleh panca indra (sensory level), baik secara langsung
maupun tak langsung. Perolehan pengamatan itu dapat melalui pengalaman seharihari, penyelidikan di laboratorium secara aktual, studi di lapangan ataupun melalui
simulasi. Contohnya: terjadinya perubahan warna, suhu, pH larutan, pembentukan
gas dan endapan yang dapat diobservasi ketika suatu reaksi kimia berlangsung.
Seorang pebelajar dapat merepresentasikan hasil pengamatan atau kegiatan
labnya dalam berbagai mode representasi, misalnya dalam bentuk laporan tertulis,
diskusi, presentasi oral, diagram vee, grafik dan sebagainya. Representasi level
makroskopik bersifat deskriptif, namun demikian pengembangan kemampuan
pebelajar merepresentasikan level makroskopik memerlukan bimbingan agar
mereka dapat fokus terhadap aspek-aspek apa saja yang paling penting untuk
diamati dan direpresentasikan berdasarkan fenomena yang diamatinya.
2.
Representasi Submikroskopik
Representasi
submikroskopik
merupakan
representasi
kimia
yang menjelaskan dan mengeksplanasi mengenai struktur dan proses pada level
partikel (atom/molekular) terhadap fenomena makroskopik yang diamati.
Penggunaan istilah submikroskopik merujuk pada level ukurannya yang
direpresentaikan yang berukuran lebih kecil dari level nanoskopik. Level
representasi submikoskopik yang dilandasi teori partikulat materi digunakan untuk
mengeksplanasi fenomena makroskopik dalam term gerakan partikel-partikel,
seperti gerakan elektron-elektron, molekul-molekul dan atom-atom. Entitas
submikroskopik tersebut nyata (real), namun terlalu kecil untuk diamati.
Operasi pada level submikroskopik memerlukan kemampuan berimajinasi
dan memvisualisasikan. Mode representasi pada level ini dapat diekspresikan mulai
dari yang sederhana hingga menggunakan teknologi komputer, yaitu menggunakan
kata-kata (verbal), diagram/gambar, model dua dimensi, model tiga dimensi baik
diam maupun bergerak (berupa animasi).
3.
Representasi simbolik
Representasi simbolik yaitu representasi kimia secara kualitatif dan kuantitatif,
yaitu rumus kimia, diagram, gambar, persamaan reaksi, stoikiometri dan
perhitungan matematik. Taber (2009) menyatakan bahwa representasi simbolik
bertindak sebagai bahasa persamaan kimia (the language of chemical equation),
sehingga terdapat aturan-aturan (grammatical rules) yang harus diikuti.
Level representasi simbolik mencakup semua abstraksi kualitatif yang
digunakan untuk menyajikan setiap item pada level submikroskopik. Abstraksiabstraksi itu digunakan sebagai singkatan (shorthand) dari entitas pada level
submikroskopik
dan
juga
digunakan
untuk
menunjukkan
secara
kuantitatif seberapa banyak setiap jenis item yang disajikan pada tiap level.
Berdasarkan penelitian Treagust (2008) pebelajar yang bukan berlatar
belakang kimia cenderung hanya menggunakan level representasi makroskopik
dan simbolik. Hasil penelitian ini sesuai dengan berbagai penelitian lainnya
bahwa level submikroskopik paling sukar dipahami diantara ketiga level
representasi. Penggunaan model-model kimia juga tidak selalu diapresiasi dengan
menghubungkannya dengan dua target real, yaitu level submikroskopik dan level
makroskopik. Seringkali model-model hanya dipandang sebagai simbolisasi yang
dimaknai dalam konteks matematis atau perhitungan (Chittleborough & Treagust,
2007). Siswa yang pemahamannya masih berpacu pada pengalaman panca indra
cenderung mengalami kesulitan dalam memahami konsep kimia yang tersaji pada
tingkat submikroskopik dan simbolik, sehingga rawan terjadi miskonsepsi (Zidny.,
dkk, 2015).
Level submikroskopik ini menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan untuk
belajar kimia. Kekuatannya, karena level submikroskopik merupakan basis
intelektual yang penting untuk eksplanasi kimia. Kelemahan terjadi ketika pebelajar
mulai mencoba belajar dan memahaminya. Lemahnya model mental pebelajar
pemula
nampaknya
representasi
akibat
submikroskopik
diabaikan
atau
dibandingkan
termarjinalisasinya
dengan
level
level
representasi
makroskopik dan simbolik. (Wright dalam Chittleborough, 2007).
Level representasi submikroskopik tak dapat dilihat secara langsung,
sedangkan prinsip-prinsip dan komponen-komponenya yang kini diakui sebagai
kebenaran dan nyata tergantung pada model teroritik yaitu teori atom. Definisi
ilmiah dari teori diperkuat oleh gambaran atom (model) yang mengalami berulang
kali perbaikan. Sebagaimana yang dinyatakan Silberberg (2009) ilmuwan masa kini
meyakini adanya distribusi elektron dalam atom, namun interaksi antara proton dan
neutron di dalam inti atom masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Pandangan
tersebut menunjukkan sifat ilmu kimia yang dinamis dan senantiasa menarik untuk
diselidiki. Bagaimana gagasan-gagasan ilmiah seperti itu berkembang perlu
diapresiasi pebelajar agar dapat membantu mengembangkan epistimologi
ilmiahnya. Kemajuan teknologi masa kini meningkatkan gambaran level
submikroskopik melalui nanoteknologi, sehingga berpotensi menyediakan bantuan
visualisasi yang lebih memadai untuk mengajarkan level ini, meskipun proyeksi
yang dihasilkannya tetap suatu representasi.
Chittleborough & Treagust (2007) menyatakan pebelajar
menggunakan representasi kimia, jika
tidak dapat
kurang mengapresiasi karakteristik
pemodelan. Istilah pemodelan seringkali digunakan secara luas mencakup
representasi ide, obyek, kejadian, proses atau sistem. Namun yang dimaksud
dengan pemodelan dalam kimia adalah representasi fisik atau komputasional dari
komposisi dan struktur suatu molekul atau partikel (level submikroskopik).
Representasi struktur suatu molekul atau model partikel (submikroskopik) tersebut
dapat berupa model fisik, animasi atau simulasi.
Kemampuan pemodelan tersebut sangat penting untuk mencapai keberhasilan
menggunakan representasi kimia. Contohnya: ketika pebelajar memikirkan suatu
model kimia, terbentuklah hubungan antara suatu analogi dan target yang
dianalogikan
sebagai
representasi
simbolik
(yang
dapat
berbeda-beda
jenisnya) dengan dua target real yaitu level submikroskopik (target 1)
dan level makroskopik (target 2). Dalam hal ini representasi simbolik merupakan
analogi dari level makro dan sub-mikroskopik yang menjadi target (Treagust,
2008).
B. Interkoneksi Mulitipel Level Representasi Kimia (IMLR)
Interkoneksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan
hubungan antara satu sama lain. Adapun yang dimaksud dengan interkoneksi
multiple level representasi kimia (IMLR) adalah pemahaman seseorang terhadap
kimia ditunjukkan oleh kemampuannya mentransfer dan menghubungkan antar
representasi fenomena makroskopik, submiskroskopik dan simbolik (Farida, 2010).
Interkoneksi dari ketiga level representasi tersebut adalah salah satu kunci untuk
pengajaran kimia (Gilbert and Treagust, 2009). Dengan menggunakan mode
representasi yang berbeda dapat membuat konsep-konsep menjadi lebih mudah
dipahami dan menyenangkan (intelligible, plausible dan fruitful) bagi pebelajar.
Karenanya multiple representasi berfungsi untuk memberikan dukungan dan
memfasilitasi terjadinya belajar bermakna dan/atau belajar mendalam (deep
learning) serta meningkatkan motivasi belajar sains (Treagust, 2008). Hubungan
ketiga level representasi kimia dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Interkoneksi Tiga Level Representasi Kimia (dikutip dari Farida, 2012)
Ada dua kategori pemahaman pebelajar berkaitan dengan kedalaman
pemahaman dan kemampuan mengaplikasikan pengetahuan yaitu ; instrumental
understanding (knowing how) dan relational understanding (knowing why). Level
pemahaman instrumental (instrumental understanding) mencerminkan belajar
hafalan (rote-learning), yaitu pebelajar memiliki pengetahuan mengenai suatu
konsep dan menggunakannya. Sebaliknya pemahaman relasional (relational
understanding) mencerminkan belajar bermakna, yaitu pebelajar mengetahui apa
yang harus dilakukan dan mengapa mereka harus melakukannya demikian (knows
what to do and why they are doing it) (Skemp dalam Treagust,et.al, 2003).
Berkaitan dengan kemampuan representasi, unit-unit level representasi
(discrete representation) menunjukkan kemampuan pebelajar mengembangkan
level pemahaman instrumental (instrumental understanding), sedangkan pada
level relasional (relational understanding) skema pengetahuan pebelajar akan
saling berkaitan dan berinterkoneksi (interconnected chemical representations).
Skema konseptual itu digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. Hubungan kemampuan representasi dengan pemahaman relasional
(dikutip dari Treagust, et.al 2003)
Pemahaman Instrumental dan Relasional Skemp membedakan pemahaman
menjadi pemahaman instrumental (instrumental understanding) dan pemahaman
relasional (relational understanding). Tiap jenis pemahaman mempunyai indikator
atau cirri khusus tersendiri dan pentingnya (keuntungan) dari jenis-jenis
pemahaman.
a) Pemahaman Instrumental
Pengertian pemahaman instrumental (Instrumental Understanding) yang
dikemukakan oleh Skemp (2006: 89) adalah “Instrumental understanding I
have until recently not have regarded as understanding at all. It is what I have
in the past described as 'rules without reasons', without realizing that for the
pupils and their teachers, what is meant by 'understanding'”. Berdasarkan
pernyataan di atas, dapat diambil pengertian dari pemahaman instrumental
adalah kemampuan menggunakan prosedur atau aturan matematis tanpa
mengetahui alasannya dengan kata lain siswa yang mempunyai pemahaman
instrumental hanya menghafal rumus saja.
Peserta didik yang memiliki pemahaman instrumental saja belum dapat
dikatakan memiliki pehamaman secara keseluruhan, seperti yang dikatakan
oleh R. Skemp (2006: 89) “ instrumental understanding, I would until recently
not have regarded as understanding at all”. Pemahaman instrumental
dikatakan juga sebagai “rules without reasons”. Dari pengertian pemahaman
instrumental (instrumental understanding), dapat terlihat bahwa indikator atau
ciri utama pemahaman instrumental (instrumental understanding) yaitu:
1) Adanya penghafalan rumus;
2) Adanya penghafalan metode pengerjaan untuk suatu masalah tertentu dan
mana yang tidak menggunakan metode tersebut; Hal ini sejalan dengan
apa yang telah dijelaskan oleh Skemp (2006: 92) yaitu “Instrumental
understanding necessitates memorising which problems a method works
for and which not, and also learning a different method for each new class
of problems”
Skemp (2006: 92) menjelaskan bahwa terdapat beberapa poin pentingnya
(keuntungan) mempunyai pemahaman instrumental, yaitu sebagai berikut:
1) Biasanya lebih mudah untuk paham Jika yang diinginkan adalah sebuah
jawaban yang benar, maka dengan pemahaman instrumental akan dapat
dengan mudah dan cepat dalam memberikan hasil;
2) Reward atau penghargaan dapat dengan cepat dan lebih jelas diberikan
Reward dalam hal pemahaman instrumental adalah hasil atau nilai yang
didapat. Seperti pada poin pertama, akan lebih mudah untuk dapat
memberikan hasil. Maka reward ini sejalan dengan apa yang telah
dipaparkan pada poin pertama.
3) Hanya dengan pengetahuan yang rendah, siswa dapat memperoleh
jawaban yang benar dengan cepat Dari indikator yang telah dipaparkan
bahwa
pemahaman
instrumental
hanya
mampu
menghafal
dan
menerapkan metode yang telah dipelajari, tanpa mengetahui alasannya. Ini
berarti, siswa yang mempunyai pemahaman instrumental adalah siswa
yang memahami secara teoritis saja.
b) Pemahaman Relasional (Relational Understanding)
Berbeda dengan pemahaman instrumental, Skemp (2006: 89) menjelaskan
definisi dari pemahaman relasonal (relational understanding) adalah sebagai
berikut “These he distinguishes by calling them 'relational understanding' and
'instrumental understanding'. By the former is meant what I have always meant
by understanding, and probably most readers of this article: knowing both
what to do and why”.
Dengan kata lain, Skemp menjelaskan bahwa pemahaman relasional
(relational understanding) merupakan pemahaman yang didasarkan pada
pengetahuan dalam menggunakan prosedur dan alasan menggunakan prosedur.
Berdasarkan pemaparan Skemp di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
definisi pemahaman relasional (relational understanding) adalah kemampuan
seseorang menggunakan suatu prosedur matematis yang menghubungkan
konsep matematis dengan permasalahan yang dihadapi dan mampu
menjelaskan alasan penggunaannya.
Dari definisi mengenai pemahaman relasional (relational understanding),
Skemp (2006: 92) menjelaskan lebih dalam mengenai indikator atau ciri
khusus pemahaman relasional adalah sebagai berikut: “But relational
understanding, by knowing not only what method worked but why, would have
enabled him to relate the method to the problem, and possibly to adapt the
method to new problems”.
Berdasarkan pemaparan Skemp tersebut dapat disarikan bahwa indicator
atau cirri khusus dari pemahaman relasional (relational understanding) adalah
1) Mengetahui dan dapat menjelaskan metode pengerjaan yang telah
dilakukan;
2) Mampu menghubungkan metode dengan permasalahan;
3) Dapat menggunakan metode sesuai dengan permasalahan yang baru.
Untuk lebih detailnya, Skemp (2006: 92-93) menjelaskan mengenai
pentingnya (keuntungan) pemahaman relasional (relational understanding)
adalah sebagai berikut:
1) Lebih mudah dalam adaptasi pada tugas atau persoalan baru; Dalam sebuah
topik, terdapat banyak latihan. Siswa yang memiliki pemahaman relational
akan lebih mudah mengerjakan seluruh soal dengan mudah;
2) Lebih mudah untuk mengingat Pemahaman relasional memandang sebuah
permasalahan sebagai satu kesatuan yang saling berhuhubungan. Jadi ketika
sudah mengingat salah satu, seluruhnya secara otomatis ingat. Jika mungkin
ada pengulangan, maka itu sedikit;
3) Pemahaman relasional dapat lebih efektif sebagai tujuan
Jika orang mendapatkan kepuasan dari pemahaman relasional, mereka
mungkin tidak hanya mencoba untuk memahami materi baru yang relevan
yang ada di depan mereka, tetapi juga secara aktif mencari materi baru,
untuk mengembangkan gagasan di luar cakupan materi.
Ada perbedaan yang sangat signifikan antara kedua jenis pemahaman
tersebut; para pebelajar dapat saja mengetahui fakta yang sama dari suatu subjek,
tetapi cara mengetahuinya masing-masing berbeda. Perspektif epistemologis inilah
yang menjadi landasan pentingnya belajar dengan menyajikan keterhubungan tiga
level representasi kimia - makroskopik, submikroskopik, dan simbolik sebagai
bagian dari struktur konseptual atau skema. Derajat menghubungkan ketiga level
dapat menyediakan insight untuk terbentuknya ontological knowledge network
pebelajar. Semakin besar level menghubungkan antara tiga representasi kimia,
pemahaman pebelajar semakin meningkat (Treagust,et.al., 2003).
Dengan demikian, interkoneksi multiple level representasi dapat
mendukung pemahaman kimia secara lengkap, bila pebelajar mampu
memformulasikan gambaran mentalnya terhadap obyek atau proses pada level
submikroskopik yang secara fisik tidak dapat diobservasi. Kemudian mampu
menghubungkan level submikroskopik dengan fenomena makroskopik serta
mengekspresikannya ke dalam representasi simbolik atau sebaliknya. Oleh karena
itu, sangatlah penting pembelajaran kimia diarahkan untuk memberikan
bimbingan kepada pebelajar untuk menggunakan multiple level representasi, baik
secara verbal maupun visual. Seorang guru atau calon guru tidak hanya dituntut
untuk memahami hubungan ketiga level representasi (internal representasi),
namun juga mereka dituntut untuk menyajikannya kembali ketiga representasi
tersebut dalam pembelajaran (eksternal representasi).
Berikut ini merupakan contoh indikator-indikator IMLR yang diukur pada
salah satu contoh topic kimia yaitu hidrolisis garam, adalah sebagai berikut:
1) Menjelaskan terjadinya hidrolisis anion dengan
memberikan alasan
representasi submikroskopik yang tepat.
2) Memprediksi kation logam yang terhidrolisis berdasarkan representasi
submikroskopik kation terhidrasi dengan didukung data rasio muatan dan
jari-jari kation.
3) Memprediksi reaksi transfer proton yang lebih dominan berlangsung
berdasarkan representasi submikroskopik dari larutan garam yang
terhidrolisis total.
4) Menuliskan terjadinya reaksi hidrolisis dari kation terhidrasi berdasarkan
representasi submikroskopik.
5) Menjelaskan terjadinya reaksi hidrolisis kation dengan memberikan
representasi submikroskopik yang tepat.
6) Membandingkan kekuatan anion yang terhidrolisis
berdasarkan
representasi submikroskopik kesetimbangan larutan garam
7) Menjelaskan terjadinya hidrolisis total dari suatu garam berdasarkan
pertimbangan harga Ka dan Kb dengan memberikan representasi
submikroskopik yang tepat.
8) Menentukan pH dan Kh dari larutan garam yang anionnya mengalami
hidrolisis berdasarkan representasi submikroskopik
C. Konsep, Prakonsepi, konsepsi dan Miskonsepsi
1. Konsep
Semua objek disekitar kita pasti memiliki bentuk, ukuran dan ciri-ciri
yang tidak sama sehingga menghasilkan suatu konsep tertentu. Misalkan
tentang “meja”, meja merupakan benda yang memiliki bentuk bundar,
persegi, persegi panjang dan segitiga. Kata meja merupakan suatu abstraksi
yang memiliki kesamaan pada semua objek meja. Kesamaan itulah yang
dikenal sebagai symbol oleh manusia sehingga membentuk suatu konsep.
2. Prakonsepsi
Siswa memasuki kelas untuk belajar kimia, setiap siswa membawa
sejumlah pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang dibentuk ketika
mereka berinteraksi dengan lingkungan. Konsepsi yang dimiliki siswa
sebelum pembelajaran dimulai disebut prakonsepsi (Maharta, 2010).
Siswa dapat mengkonstruksi atau membentuk sendiri pengetahuan
mereka dalam interaksi dengan lingkungan, tantangan dan bahan yang
dipelajarai sebelum guru mengajarkan konsep tersebut secara formal
melalui pembelajaran di sekolah. Hal inilah yang disebut dengan
prakonsepsi atau konsep awal. Pengetahuan awal seringkali tidak cocok
dengan pengetahuan yang diterima oleh para ahli, sehingga siswa sering
sekali mengalami konflik dalam dirinya ketika berhadapan dengan
informasi yang baru, karena tidak semua informasi sejalan dengan
prakonsepsi siswa sehingga menjadi suatu miskonsepsi (Maulida &
Abdullah, 2013).
3. Konsepsi
Menurut Suparno (2008:20) menjelakan konsepsi merupakan
kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi
secara langsung dengan lingkungan ataupun konsep yang diperoleh dalam
Pendidikan formal. Konsepsi adalah tafsiran seseorang pada suatu konsep
yang diperoleh. Setiap siswa telah memiliki konsepsi sendiri sendiri tentang
sesuatu sebelum mereka mengikuti proses pembelajaran.
Selain itu, konsepsi siswa susah untuk diubah karena konsepsi
tersebut adalah hasil dari perkembangan dan pengalaman seseorang yang
berlangsung bertahun tahun (Pujayanto, 2007). Sehingga dapat disimpulkan
setiap masing masing siswa dapat menyimpulkan konsepsinya masing
masing berdasarkan konsep yang sebenarnya. Oleh karena itu, konsepsi
pada masing masing siswa dapat berbeda meskipun mempelajari konsep
yang sama.
4. Miskonsepsi
1) Defenisi Miskonsepsi
Dalam belajar konsep tidak semua siswa berhasil memahami konsep
yang diajarkan, jika pemahaman konsep itu berbeda dengan konsep
yang diajarkan dan menghasilkan suatu pemahaman yang berbeda, yang
tidak sesuai dengan pemahaman para ahli sehingga akan terjadi
miskonsepsi. Menurut Hasan et al., (1999), miskonsepsi didefinisikan
sebagai struktur kognitif yang dipegang erat yang mana berbeda dengan
pemahaman yang diterima oleh para ahli. Perbedaan ini diasumsikan
akan menghambat diterimanya atau didapatkannya pengetahuan baru.
Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal yang kurang tepat,
kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan
atau tafsiran yang salah.
Konsep awal yang dimiliki siswa ada yang benar dan ada juga yang
salah. Setelah melaksanakan proses pembelajaran, seringkali konsep
yang telah dibangun oleh siswa tersebut menyimpang dari konsep yang
seharusnya (Pujayanto, 2007).
Menurut Barke et al. (2009), perbedaan konsep yang dideskripsikan
dengan para ahli disebut dengan miskonsepsi, alternatif conceptions,
naïve beliefs, erroneous ideas, misunderstanding, dan lain- lain. Menis
& Frase dalam Suwarto (2013) menyatakan miskonsepsi siswa adalah
refkesi pemikiran siswa atau kegagalan dalam menerapkan kurikulum.
Sedangkan menurut Modell, Michael dan Wonderoth menyatakan
bahwa miskonsepsi merupakan pemahaman suatu konsep atau prinsip
yang tidak konsisten dengan penafsiran atau pandangan yang berlaku
umum tentang konsep tersebut (Suwarto, 2013).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
miskonsepsi adalah pemahaman yang tidak sesuai dengan konsep yang
telah disetujui para ahli yang diakibatkan oleh beberapa faktor yang
menyebabkan miskonsepsi. Miskonsepsi ini tidak hanya terjadi pada
siswa saja tapi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk guru atau tenaga
pendidik lainnya.
Dalam hal ini miskonsepsi berbeda dengan kesulitan belajar,
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang
ditandai adanya hambatan hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar. Hambatan hambatan tersebut mungkin disadari maupun tidak
disadari oleh orang yang mengalaminya, dan dapat bersifat sosiologis,
psikologis, maupun fisiologis dalam keseluruhan proses belajar. Siswa
yang mengalami kesulitan belajar akan ditandai dengan adanya
hambatan hambatan dalam proses pembelajran. Kesulitan belajar
memiliki gejala yang nampak dalam berbagai tingkah laku baik secara
langsung maupun tidak langsung (Mulyadi, 2008 : 6-7). Hal ini berbeda
dengan miskonsepsi karena pada miskonsepsi tidak ada tanda tanda
adanya hambatan hambatan
pada
diri
siswa
dalam
proses
pembelajarannya. Miskonsepsi baru dapat terdeteksi setelah dilakukan
tes diagnostik, karena dalam proses pembelajaran siswa yakin benar
dengan apa yang didapatkannya, padahal belum tentu konsep yang
dipegangnya itu benar sesuai ahli atau tidak.
D. Tes Diagnostik
Menurut Arikunto (2002), tes diagnosis adalah tes yang digunakan untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan siswa oleh karena itu berdasarkan
kelemahan kelemahan yang terindentifikasi dapat dilakukan pemberian
perlakuan yang tepat. Tes diagnostik dapat dilakukan oleh seorang guru atau
peneliti untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa dalam
pembelajaran, agar dapat segera ditemukan bentuk bantuan yang tepat kepada
siswa tersebut.
Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan tes diagnostik. Tes ini
digunakan untuk menilai pemahaman konsep siswa terhadap konsep konsep
dasar pada topik tertentu. Tes diagnostik digunakan untuk tes awal sebagai
penentu elemen-elemen dalam suatu mata pelajaran yang memiliki kelemahan
kelemahan khusus dan memberikan petunjuk untuk menunjukkan kekurangan
tersebut (Treagust, 1988).
Setiap bentuk instrument memiliki kelemahan disamping kelebihan yang
ada. Menurut Gurel et al. (2015) ada beberapa instrumen yang dapat dan telah
dilakukam untuk mendiagnosis miskonsepsi pada siswa diantaranya :
1. Wawancara
Wawancara
memiliki
peran
penting
dalam
mendiagnosisi
miskonsepsi, karena dapat memberikan penyelidikan yang mendalam
untuk mendapatkan deskripsi rinci tentang struktur kognitif seorang siswa.
Tujuan wawancara yang dinyatakan oleh Frankel dan wallen (2000) untuk
menemukan apa yang ada dipikiran orang, dan apa yang mereka pikirkan
atau bagaimana mereka tentang sesuatu. Disamping wawancara memiliki
kelebihan yaitu mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan lebih
fleksibel, wawancara juga memiliki kekurangan yaitu membutuhkan
waktu yang sangat banyak saat jumlah orang yang diwawancarai juga
banyak. Selain itu pewawancara bisa saja salah dalam menerjemahkan apa
yang disampaikan oleh narasumber sehingga dapat merusak data serta
analisis data yang didapatkan sedikit sulit.
2. Tes Terbuka (Open-ended Test)
Dari sisi objek yang akan diidentifikasi metode ini membutuhkan
waktu lebih lama untuk berpikir dan menulis tentang gagasan mereka
sendiri serta siswa umumnya kurang bersemangat untuk menulis jawaban
mereka dengan kalimat penuh. Disisi peneliti atau guru akan sulit untuk
mengevaluasi karena ini menyangkut dengan masalah bahasa (Reja,
Manfreda, Hlebec, & Vehovar, 2003).
3. Tes pilihan ganda Biasa (Ordinary Multiple Choice Test)
Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam wawancara dan tes
terbuka, tes pilihan ganda biasa dapat digunakan karena memiliki
penilaian yang lebih mudah dan dapat diterapkan pada sejumlah besar
mata pelajaran. Pengembangan tes pilihan ganda biasa sebagai alat untuk
mengevaluasimiskonsepsi siswa memberikan kontribusi yang sangatbesar
dalam perkembangan penelitian mengenai miskonsepsi, karena dapat
membantu guru untuk lebih mudah saat menggunakannya dalam kelas
(Treagust, 1988).
4. Two-tier Multiple Choice
Two-tier test adalah tes dua tingkat, dalam hal ini digambarkan
sebagai instrument diagnostik dengan tingkat pertama merupakan
pertanyaan konten pilihan ganda sedangkan tingkat ke dua merupakan
pilihan ganda untuk alasan pada jawaban tingkat pertama (Chandrasegaran
et al., 2007). Jawaban sisiwa terhadap setiap item dianggap benar bila
kedua pilihan yaitu pilihan pada tingkat pertama dan alasan yang diberikan
benar.
Two-tier test dianggap sebagai perbaikan dari instrument
sebelumnya karena tes ini mempertimbangkan penalaran atau interpretasi
siswa dibalik respons yang dipilih dan menghubungkan pilihan mereka
dengan alasan yang mendukung responnya tersebut (Tüysüz, 2009).
Menurut adadan dan savasci (2012) dalam Gurel et al. (2015), instrument
diagnostik two-tier test relative bagus untuk siswa dalam menanggapi, dan
lebih praktis dan bermanfaat bagi para guru untuk digunakan dalam hal
mengurangi perkiraan, memungkinkan untuk administrasi berskala besar
dan penilaian yang mudah serta memberikan sedikit informasi tentang
penalaran siswa.
Keuntungan menggunakan instrumen ini adalah: (1) Menurunkan
kemungkinan menebak hingga 4%; (2) Memungkinkan menggabungkan
beberapa aspek dalam satu fenomena, dimana tier pertama merupakan
menological domain, sedangkan tier kedua merupakan conceptual domain
(Tüysüz, 2009); (3) data yang dihasilkan lebih mudah dikelola dan
dihitung dibanding dengan metode lain, sehingga sangat berguna
digunakan dalam kelas yang banyak (Chandrasegaran et al., 2007). Tetapi
selain mempunyai kelebihan tentu instrument ini mempunyai beberapa
kelemahan yaitu tidak dapat membedakan miskonsepsi dengan lack of
knowledge (Hasan et al., 1999).
Penelitian lebih lanjut mengenai tes two-tier test dilakukan oleh
Griffard dan Wandersee (2001) dalam (Gurel et al., 2015), dalam penelitian
ini mengemukakaan kekhawatiran tentang validitas penggunaan tes twotier untuk mendiagnosis miskonsepsi, karena mereka menganggap bahwa
tes two-tier dapat mendiagnosis miskonsepsi secara tidak benar. Tidak
dapat dipastikam apakah kesalahan siswa disebabkan oleh miskonsepsi
atau karena kurangnya pengetahuan (lack of knowledge).
Contoh soal tanpa IMLR (Amry, 2016):
1.
NaOH dan HI akan bereaksi menghasilkan NaI dan air. Teori yang benar untuk
reaksi tersebut adalah …
A. Garam yang terbentuk dapat terhidrolisis dalam air
B. Garam yang terbentuk tidak dapat terhidrolisis dalam air
C. Garam yang dihasilkan bersifat asam
D. Garam yang dihasilkan bersifat basa
E. Garam yang dihasilkan berasal dari asam kuat dan basa lemah
Alasan dari jawaban saya adalah :
A. NaI berasal dari asam kuat HI dan basa kuat NaOH sehingga apabila
terion menjadi Na+2 dan I- kedua ion tersebut tidak bereaksi dalam
air, oleh karena itu larutan tetap bersifat netral.
B. NaI berasal dari asam lemah HI dan basa kuat NaOH sehingga apabila
terion menjadi Na+2 dan I- kedua ion tersebut bereaksi dalam air, oleh
karena itu larutan terhidrolisis.
C. Na+2 dan I- kedua ion tersebut tidak bereaksi dalam air, oleh karena itu
larutan terhidrolisis.
Contoh Soal Menggunakan IMLR (Hutdia, 2019):
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Interkoneksi multiple level representasi kimia (IMLR) adalah pemahaman
seseorang terhadap kimia ditunjukkan oleh kemampuannya mentransfer dan
menghubungkan
antar
representasi
fenomena
makroskopik,
submiskroskopik dan simbolik serta IMLR ini merupakan salah satu kunci
untuk pengajaran kimia yang merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
miskonsepsi pada siswa.
B. Saran
Pada saat pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa banyak sekali
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis harapkan kritik serta
sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Chandrasegaran, Treagust & Mocerino. (2007). Enhancing students’ use of
multipel levels of representation to describe and explain chemical reactions.
School Science Review, 88, 325-330.
Chittleborough G. and Treagust D. F., (2007), The Modelling Ability Of NonMajor Chemistry Students And Their Understanding Of The SubMicroscopic Level, Chem. Educ. Res. Pract., 8(3): 274-292.
Devetak, I. (2005). Explaining the latent structure of understanding
submicropresentations in science. Disertasi tidak dipublikasikan. Slovenia:
University of Ljubljana.
Effendy. 2006. A-Level Chemistry for Senior High School Students Volume 1A.
Malang: Bayumedia.
Farida,
I. (2008). Kemampuan Mahasiswa Merepresentasikan Tingkat
Makroskopik, Mikroskopik dan Simbolik pada Topik Sintesis Amonia
(Skala Lab). Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV.
Bandung : FPMIPA UPI
Farida, I., Liliasari, Widyantoro, D.H. & Sopandi, W. (2010). Representational
competence’s profile of Pre-Service Chemistry Teachers in chemical
problem solving. Proceeding The 4th International Seminar on Science
Education.
Gilbert, J.K. & Treagust, D.F. 2009. Multiple Representations in Chemical
Education: Models and Modelling in Science Education. Dordrecht:
Spinger.
Harrison, A. G., & Treagust, D. F. (2002). The particulate nature of matter:
challenges in understanding the submicroscopic world. In Gilbert, J.K et.al
(Eds.), Chemical Education: Towards Research-Based Practice. Dordrecht:
Kluwer Academic Publishers
Johnstone, A.H. 1993. The Development of Chemistry Teaching: A Changing
Response to Changing Demand. Journal of Chemical Education, 70: 701705
Johnstone, A.H. 2000. Teaching of Chemistry - Logical or Psychological?
Chemistry Education: Research and Practice in Europe, 1(1):9—15.
Kozma, R., & Russell, J. (2005). Students Becoming Chemists: Developing
Representational Competence. In J. Gilbert (Ed.), Visualization in science
education. Volume 7. Dordrecht: Springer. pp. 121-145
Rosengrant, D., Van Heuleven, A., and Etkina, E. (2006). Students’ use of multiple
representations in problem solving. In P. Heron, L. McCullough & J. Marx,
Physics Education Research Conference (2005 AIP Conference
Proceedings) (pp. 49-52).
Sendur, G., Toprak, M., Pekmez, E., (2010). Analyzing of Students’
Misconceptions about Chemical Equilibrium. Paper on International
Conference on New Trends in Education and Their Implications. AntalyaTurkey
Silberberg, M. (2009). Chemistry: The molecular nature of matter and change, 5th,
New York : McGraw-Hill
Sopandi, W. dan Murniati. (2007). Microscopic Level Misconceptions on Topic
Acid Base, Salt, Buffer, and Hydrolysis: A Case Study at a State Senior
High School, Proceeding The 1st International Seminar on Science
Education. SPS UPI Bandung
Suja, I W. (2015). Model mental mahasiswa calon guru kimia dalam memahami
bahan kajian stereokimia. Jurnal Pendidikan Indonesia, 4(2), 625-638.
Sunyono, Yuanita, L., & Ibrahim, M. (2015). Supporting students in learning with
multiple representation to improve student mental models on atomic
structure concepts. Science Education International, 26(2), 104-125
Taber, K.S. (2009). Learning at the Symbolic Level. In: Gilbert, J.K and D.
Treagust (Eds.). Multiple Representation In Chemical Education. Models
and Modelling In Science Education. Vol:.4. (pp 75-103). Dordrecht:
Springer
Treagust, David F., Chittleborough, G., and Mamiala, T (2003). The role of
submicroscopic and symbolic representations in chemical explanations
International Journal of Science Education, 25 (11), 1353-1368
Treagust, David F. (2008). The Role Of Multiple Representations In Learning
Science: Enhancing Students’ Conceptual Understanding And
Motivation. In Yew-Jin And Aik-Ling (Eds). : Science Education At The
Nexus Of Theory And Practice. Rotterdam -Taipei : Sense Publishers
Treagust, David F. & Chandrasegaran, (2009). The efficacy of an alternative
instructional programme designed to enhance secondary students’
competence in the triplet relationship. In: Gilbert, J.K & D. Treagust (Eds.).
Multipel representation in chemical education. models & modelling in
science education. Dordrecht: Springer. pp:151-164
Waldrip, Bruce.,et.al. (2008). Learning Junior Secondary Science through MultiModal Representations. Electronic Journal of Science Education, 11(1):89107.
Wang, Ch. Y., 2007. The role of mentalmodelling ability, content knowledge, and
mental model in general chemistry students’ understanding about moleculer
polarity. A Dissertation presented to the Faculty of the Graduate School
University of Missouri – Columbia.
Download