MAKALAH KAPITA SELEKTA INTERKONEKSI MULTIPEL LEVEL REPRESENTASI (IMLR) KIMIA Oleh: TANIYA RACHMAWATI 18176013/2018 PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2019 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada dapat menyelesaikan laporan yang kita berjudul semua, “Interkoneksi sehingga Multipel penulis Level Representasi (IMLR) Kimia”. Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Kapita Selekta. Penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan penulis dalam menyusun makalah ini. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaaan baik dalam materi maupun cara penyajian penulisannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pengembangan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga informasi yang terdapat dalam makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Padang, 20 November 2019 Penulis DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 3 C. Tujuan 3 BAB II PEMBAHASAN A. Multipel Level Representasi Kimia 4 B. Interkoneksi Multipel Level Representasi Kimia 8 C. Konsep, Prakonsepsi, Konsepsi, dan Miskonsepsi 15 D. Tes Diagnostik 18 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 23 B. Saran 23 DAFTAR PUSTAKA 24 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia merupakan salah satu rumpun bidang ilmu pengetahuan alam yang memfokuskan mempelajari tentang sifat dan struktur zat, perubahan dan reaksi kimia, hukum-hukum dan asas-asas yang menjelaskan tentang perubahan zat, serta konsep-konsep dan teori-teori yang saling berkaitan (Effendy, 2006). Kajiannya memungkinkan pebelajar memahami apa dan mengapa suatu fenomena terjadi di sekitarnya. Namun demikian eksplanasi konsep-konsep kimia umumnya berlandaskan struktur materi dan ikatan kimia yang merupakan materi subyek yang sulit untuk dipelajari. Konsep-konsep abstrak ini penting untuk dipelajari, karena konsep-konsep kimia selanjutnya akan sulit dipahami jika konsep tersebut tidak dapat dikuasai pebelajar dengan baik. Sifat keabstrakan konsep-konsep kimia juga sejalan dengan konsep-konsep yang melibatkan perhitungan matematis. Hal ini menunjukkan bahwa pelajaran kimia memerlukan seperangkat keterampilan berpikir tingkat tinggi (Fensham dalam Chittlebourough, & Treagust, 2007). Salah satu karakter esensial ilmu kimia adalah pengetahuan kimia mencakup tiga level representasi, yaitu makroskopik, submikroskopik dan simbolik serta hubungan antara ketiga level ini harus secara eksplisit diajarkan (Harrison & Treagust, 2002; Treagust & Chandrasegaran, 2009). Oleh karena itu, pada dua dekade terakhir ini, fokus studi pengembangan pendekatan belajar dan pembelajaran kimia lebih ditekankan pada tiga level representasi kimia (Chandrasegaran, et al., 2007). Tingkat makroskopis adalah fakta yang bersifat nyata dan mengandung bahan Kimia yang dapat diinderakan. Tingkat submikroskopis juga nyata, tetapi tidak dapat diinderakan secara langsung yang terdiri atas tingkat partikulat, termasuk keberadaan dan pergerakan elektron, molekul, partikel atau atom. Tingkat simbolik berupa reaksi Kimia dari materi atau partikel materi (Johnstone, 2000). Ketiga tingkat representasi tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam pembelajaran Kimia. Pemahaman pebelajar ditunjukkan oleh kemampuannya untuk mentransfer dan menghubungkan antara level representasi makroskopik, submiskroskopik dan simbolik atau disebut juga interkoneksi multipel level representasi (IMLR). Kemampuan pemecahan masalah kimia sebagai salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi menggunakan kompetensi representasional secara jamak (multipel) atau kemampuan ‘bergerak’ antara berbagai model representasi kimia (Kozma & Russell, 2005). Pebelajar dapat menggunakan representasi untuk memecahkan masalah, jika mereka mampu membuat koneksi yang mendalam antara ketiga level representasi kimia. Realitas di lapangan, umumnya pembelajaran kimia belum mengembangkan secara utuh ketiga level tersebut, sehingga menghambat kemampuan pebelajar dalam memecahkan masalah. Umumnya guru dalam pembelajaran membatasi pada level representasi makroskopik dan simbolik, sedangkan kaitannya dengan level submikroskopik diabaikan. Siswa diharapkan dapat mengintegrasikan sendiri dengan melihat gambar-gambar yang ada dalam buku tanpa pengarahan dari guru. Selain itu, siswa juga lebih banyak belajar memecahkan soal matematis tanpa memaknai maksudnya. Keberhasilan siswa dalam memecahkan soal matematis, cenderung menjadi ukuran bahwa siswa telah memahami konsep kimia. Terjadi kecenderung siswa menghafalkan representasi submikroskopik dan simbolik dalam bentuk deskripsi kata-kata, akibatnya mereka tidak mampu untuk membayangkan dan merepresentasikan bagaimana proses dan struktur dari suatu zat yang mengalami reaksi. Masalah tersebut diindikasikan akibat kurangnya kemampuan guru menggunakan dan menghubungkan tiga level representasi dalam pembelajaran, sehingga terjadinya miskonsepsi pada siswa (Sopandi & Murniati, 2007 ; Farida, 2008). Penelitian sebelumnya menunjukkan ketidakmampuan siswa dalam merepresentasikan kimia pada level submikroskopik dapat menghambat kemampuannya dalam memecahkan masalah kimia yang berkaitan dengan level makroskopik ataupun simbolik (Sunyono, 2013). Multipel representasi dapat digunakan dalam mempelajari suatu konsep yang rumit dengan penggunaan diagram, grafik, dan persamaan sehingga mempermudah proses pembelajaran. Interkoneksi dari ketiga level representasi tersebut adalah salah satu kunci untuk pengajaran kimia (Gilbert and Treagust, 2009). Hal ini juga yang dapat menyelesaikan permasalahan miskonsepsi pada siswa. Solusi untuk miskonsepsi yang terdapat pada siswa dapat digunakan instrumen tes diagnostik two tier. Tes ini merupakan tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan atau miskonsepsi pada topik tertentu dalam pembelajaran sehingga dari hasil tes di dapat masukan tentang respon siswa untuk memperbaiki kelemahannya Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan dipaparkan lebih lanjut pembahasan makalah ini dengan judul Interkoneksi Multipel Level Representasi (IMLR) Kimia. B. Rumusan Makalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah “Apakah yang dimaksud dengan interkoneksi multiple representasi kimia (IMLR)? C. Tujuan Tujuan dalam makalah ini adalah dapat memberikan penjelasan terkait dengan interkoneksi multiple representasi kimia (IMLR). BAB II PEMBAHASAN A. Multiple Level Representasi Kimia Berdasarkan kamus Australian Concise Oxford Dictionary (Hughes et al., 1995), definisi dari kata ‘representation’ berarti sesuatu yang merepresentasikan yang lain (‘means something that represents another’). Kata menyajikan (represents) memiliki sejumlah makna termasuk: mensimbolisasikan (to symbolize); memanggil kembali pikiran melalui gambaran atau imajinasi (to call up in the mind by description or portrayal or imagination); memberikan suatu penggambaran (to depict as). Makna istilah-istilah tersebut memperkuat pentingnya suatu representasi untuk membantu mendeskripsikan dan mensimbolisasikan dalam suatu eksplanasi. Penggunaan representasi dengan berbagai cara atau mode representasi untuk merepresentasikan suatu fenomena disebut multiple representasi. Waldrip (2008) mendefinisikan multiple representasi sebagai praktik merepresentasikan kembali (re-representing) konsep yang sama melalui berbagai bentuk, yang mencakup mode-mode representasi deskriptif (verbal, grafik, tabel), experimental, matematis, figuratif (piktorial, analogi dan metafora), kinestetik, visual dan/atau mode aksional-operasional. Baik Sains, maupun Ilmu Kimia termasuk mata pelajaran yang sukar dipahami, karena banyaknya konsep-konsep abstrak yang tidak akrab dengan prior knowledge ataupun model mental yang telah dimiliki pebelajar. Seringkali model mental pebelajar itu bertentangan dengan eksplanasi ilmiah. Belajar hafalan tentang rumus-rumus kimia dan fakta-fakta memang penting untuk memori jangka panjang, namun hanya dengan cara itu tidak dapat menjamin pebelajar memahami konsep. Diperlukan belajar bermakna agar pebelajar dapat mengkonstruksi konsep-konsep sains/kimia. Ainsworth (dalam Treagust, 2008) menyatakan multiple representasi dapat berfungsi sebagai instrumen yang memberikan dukungan dan memfasilitasi terjadinya belajar bermakna (meaningful learning) dan/atau belajar yang mendalam (deep learning) pada pebelajar. Multiple representasi juga merupakan tools yang memiliki kekuatan untuk menolong pebelajar mengembangkan pengetahuan ilmiahnya. Oleh karena itu dengan menggunakan representasi yang berbeda dan mode pembelajaran yang berbeda akan membuat konsep-konsep menjadi lebih mudah dipahami dan menyenangkan (intelligible, plausible dan fruitful) bagi pebelajar. Hal ini, karena setiap mode representasi memiliki makna komunikasi yang berbeda. Representasi konsep-konsep kimia, seperti halnya konsep-konsep sains umumnya secara inheren bersifat multimodal, karena melibatkan kombinasi lebih dari satu mode representasi. Jhonstone (dalam Chandrasegaran, Treagust & Mocerino, 2007) membedakan representasi kimia menjadi tiga level, yaitu level representasi makroskopik, representasi submikroskopik dan representasi simbolik. Adapun deskripsi level-level representasi kimia disarikan dari Gilbert (2009) sebagai berikut : 1. Representasi Makroskopik Representasi makroskopik merupakan representasi kimia yang diperoleh melalui pengamatan nyata (tangible) terhadap suatu fenomena yang dapat dilihat (visible) dan dipersepsi oleh panca indra (sensory level), baik secara langsung maupun tak langsung. Perolehan pengamatan itu dapat melalui pengalaman seharihari, penyelidikan di laboratorium secara aktual, studi di lapangan ataupun melalui simulasi. Contohnya: terjadinya perubahan warna, suhu, pH larutan, pembentukan gas dan endapan yang dapat diobservasi ketika suatu reaksi kimia berlangsung. Seorang pebelajar dapat merepresentasikan hasil pengamatan atau kegiatan labnya dalam berbagai mode representasi, misalnya dalam bentuk laporan tertulis, diskusi, presentasi oral, diagram vee, grafik dan sebagainya. Representasi level makroskopik bersifat deskriptif, namun demikian pengembangan kemampuan pebelajar merepresentasikan level makroskopik memerlukan bimbingan agar mereka dapat fokus terhadap aspek-aspek apa saja yang paling penting untuk diamati dan direpresentasikan berdasarkan fenomena yang diamatinya. 2. Representasi Submikroskopik Representasi submikroskopik merupakan representasi kimia yang menjelaskan dan mengeksplanasi mengenai struktur dan proses pada level partikel (atom/molekular) terhadap fenomena makroskopik yang diamati. Penggunaan istilah submikroskopik merujuk pada level ukurannya yang direpresentaikan yang berukuran lebih kecil dari level nanoskopik. Level representasi submikoskopik yang dilandasi teori partikulat materi digunakan untuk mengeksplanasi fenomena makroskopik dalam term gerakan partikel-partikel, seperti gerakan elektron-elektron, molekul-molekul dan atom-atom. Entitas submikroskopik tersebut nyata (real), namun terlalu kecil untuk diamati. Operasi pada level submikroskopik memerlukan kemampuan berimajinasi dan memvisualisasikan. Mode representasi pada level ini dapat diekspresikan mulai dari yang sederhana hingga menggunakan teknologi komputer, yaitu menggunakan kata-kata (verbal), diagram/gambar, model dua dimensi, model tiga dimensi baik diam maupun bergerak (berupa animasi). 3. Representasi simbolik Representasi simbolik yaitu representasi kimia secara kualitatif dan kuantitatif, yaitu rumus kimia, diagram, gambar, persamaan reaksi, stoikiometri dan perhitungan matematik. Taber (2009) menyatakan bahwa representasi simbolik bertindak sebagai bahasa persamaan kimia (the language of chemical equation), sehingga terdapat aturan-aturan (grammatical rules) yang harus diikuti. Level representasi simbolik mencakup semua abstraksi kualitatif yang digunakan untuk menyajikan setiap item pada level submikroskopik. Abstraksiabstraksi itu digunakan sebagai singkatan (shorthand) dari entitas pada level submikroskopik dan juga digunakan untuk menunjukkan secara kuantitatif seberapa banyak setiap jenis item yang disajikan pada tiap level. Berdasarkan penelitian Treagust (2008) pebelajar yang bukan berlatar belakang kimia cenderung hanya menggunakan level representasi makroskopik dan simbolik. Hasil penelitian ini sesuai dengan berbagai penelitian lainnya bahwa level submikroskopik paling sukar dipahami diantara ketiga level representasi. Penggunaan model-model kimia juga tidak selalu diapresiasi dengan menghubungkannya dengan dua target real, yaitu level submikroskopik dan level makroskopik. Seringkali model-model hanya dipandang sebagai simbolisasi yang dimaknai dalam konteks matematis atau perhitungan (Chittleborough & Treagust, 2007). Siswa yang pemahamannya masih berpacu pada pengalaman panca indra cenderung mengalami kesulitan dalam memahami konsep kimia yang tersaji pada tingkat submikroskopik dan simbolik, sehingga rawan terjadi miskonsepsi (Zidny., dkk, 2015). Level submikroskopik ini menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan untuk belajar kimia. Kekuatannya, karena level submikroskopik merupakan basis intelektual yang penting untuk eksplanasi kimia. Kelemahan terjadi ketika pebelajar mulai mencoba belajar dan memahaminya. Lemahnya model mental pebelajar pemula nampaknya representasi akibat submikroskopik diabaikan atau dibandingkan termarjinalisasinya dengan level level representasi makroskopik dan simbolik. (Wright dalam Chittleborough, 2007). Level representasi submikroskopik tak dapat dilihat secara langsung, sedangkan prinsip-prinsip dan komponen-komponenya yang kini diakui sebagai kebenaran dan nyata tergantung pada model teroritik yaitu teori atom. Definisi ilmiah dari teori diperkuat oleh gambaran atom (model) yang mengalami berulang kali perbaikan. Sebagaimana yang dinyatakan Silberberg (2009) ilmuwan masa kini meyakini adanya distribusi elektron dalam atom, namun interaksi antara proton dan neutron di dalam inti atom masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Pandangan tersebut menunjukkan sifat ilmu kimia yang dinamis dan senantiasa menarik untuk diselidiki. Bagaimana gagasan-gagasan ilmiah seperti itu berkembang perlu diapresiasi pebelajar agar dapat membantu mengembangkan epistimologi ilmiahnya. Kemajuan teknologi masa kini meningkatkan gambaran level submikroskopik melalui nanoteknologi, sehingga berpotensi menyediakan bantuan visualisasi yang lebih memadai untuk mengajarkan level ini, meskipun proyeksi yang dihasilkannya tetap suatu representasi. Chittleborough & Treagust (2007) menyatakan pebelajar menggunakan representasi kimia, jika tidak dapat kurang mengapresiasi karakteristik pemodelan. Istilah pemodelan seringkali digunakan secara luas mencakup representasi ide, obyek, kejadian, proses atau sistem. Namun yang dimaksud dengan pemodelan dalam kimia adalah representasi fisik atau komputasional dari komposisi dan struktur suatu molekul atau partikel (level submikroskopik). Representasi struktur suatu molekul atau model partikel (submikroskopik) tersebut dapat berupa model fisik, animasi atau simulasi. Kemampuan pemodelan tersebut sangat penting untuk mencapai keberhasilan menggunakan representasi kimia. Contohnya: ketika pebelajar memikirkan suatu model kimia, terbentuklah hubungan antara suatu analogi dan target yang dianalogikan sebagai representasi simbolik (yang dapat berbeda-beda jenisnya) dengan dua target real yaitu level submikroskopik (target 1) dan level makroskopik (target 2). Dalam hal ini representasi simbolik merupakan analogi dari level makro dan sub-mikroskopik yang menjadi target (Treagust, 2008). B. Interkoneksi Mulitipel Level Representasi Kimia (IMLR) Interkoneksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan hubungan antara satu sama lain. Adapun yang dimaksud dengan interkoneksi multiple level representasi kimia (IMLR) adalah pemahaman seseorang terhadap kimia ditunjukkan oleh kemampuannya mentransfer dan menghubungkan antar representasi fenomena makroskopik, submiskroskopik dan simbolik (Farida, 2010). Interkoneksi dari ketiga level representasi tersebut adalah salah satu kunci untuk pengajaran kimia (Gilbert and Treagust, 2009). Dengan menggunakan mode representasi yang berbeda dapat membuat konsep-konsep menjadi lebih mudah dipahami dan menyenangkan (intelligible, plausible dan fruitful) bagi pebelajar. Karenanya multiple representasi berfungsi untuk memberikan dukungan dan memfasilitasi terjadinya belajar bermakna dan/atau belajar mendalam (deep learning) serta meningkatkan motivasi belajar sains (Treagust, 2008). Hubungan ketiga level representasi kimia dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Interkoneksi Tiga Level Representasi Kimia (dikutip dari Farida, 2012) Ada dua kategori pemahaman pebelajar berkaitan dengan kedalaman pemahaman dan kemampuan mengaplikasikan pengetahuan yaitu ; instrumental understanding (knowing how) dan relational understanding (knowing why). Level pemahaman instrumental (instrumental understanding) mencerminkan belajar hafalan (rote-learning), yaitu pebelajar memiliki pengetahuan mengenai suatu konsep dan menggunakannya. Sebaliknya pemahaman relasional (relational understanding) mencerminkan belajar bermakna, yaitu pebelajar mengetahui apa yang harus dilakukan dan mengapa mereka harus melakukannya demikian (knows what to do and why they are doing it) (Skemp dalam Treagust,et.al, 2003). Berkaitan dengan kemampuan representasi, unit-unit level representasi (discrete representation) menunjukkan kemampuan pebelajar mengembangkan level pemahaman instrumental (instrumental understanding), sedangkan pada level relasional (relational understanding) skema pengetahuan pebelajar akan saling berkaitan dan berinterkoneksi (interconnected chemical representations). Skema konseptual itu digambarkan sebagai berikut : Gambar 2. Hubungan kemampuan representasi dengan pemahaman relasional (dikutip dari Treagust, et.al 2003) Pemahaman Instrumental dan Relasional Skemp membedakan pemahaman menjadi pemahaman instrumental (instrumental understanding) dan pemahaman relasional (relational understanding). Tiap jenis pemahaman mempunyai indikator atau cirri khusus tersendiri dan pentingnya (keuntungan) dari jenis-jenis pemahaman. a) Pemahaman Instrumental Pengertian pemahaman instrumental (Instrumental Understanding) yang dikemukakan oleh Skemp (2006: 89) adalah “Instrumental understanding I have until recently not have regarded as understanding at all. It is what I have in the past described as 'rules without reasons', without realizing that for the pupils and their teachers, what is meant by 'understanding'”. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil pengertian dari pemahaman instrumental adalah kemampuan menggunakan prosedur atau aturan matematis tanpa mengetahui alasannya dengan kata lain siswa yang mempunyai pemahaman instrumental hanya menghafal rumus saja. Peserta didik yang memiliki pemahaman instrumental saja belum dapat dikatakan memiliki pehamaman secara keseluruhan, seperti yang dikatakan oleh R. Skemp (2006: 89) “ instrumental understanding, I would until recently not have regarded as understanding at all”. Pemahaman instrumental dikatakan juga sebagai “rules without reasons”. Dari pengertian pemahaman instrumental (instrumental understanding), dapat terlihat bahwa indikator atau ciri utama pemahaman instrumental (instrumental understanding) yaitu: 1) Adanya penghafalan rumus; 2) Adanya penghafalan metode pengerjaan untuk suatu masalah tertentu dan mana yang tidak menggunakan metode tersebut; Hal ini sejalan dengan apa yang telah dijelaskan oleh Skemp (2006: 92) yaitu “Instrumental understanding necessitates memorising which problems a method works for and which not, and also learning a different method for each new class of problems” Skemp (2006: 92) menjelaskan bahwa terdapat beberapa poin pentingnya (keuntungan) mempunyai pemahaman instrumental, yaitu sebagai berikut: 1) Biasanya lebih mudah untuk paham Jika yang diinginkan adalah sebuah jawaban yang benar, maka dengan pemahaman instrumental akan dapat dengan mudah dan cepat dalam memberikan hasil; 2) Reward atau penghargaan dapat dengan cepat dan lebih jelas diberikan Reward dalam hal pemahaman instrumental adalah hasil atau nilai yang didapat. Seperti pada poin pertama, akan lebih mudah untuk dapat memberikan hasil. Maka reward ini sejalan dengan apa yang telah dipaparkan pada poin pertama. 3) Hanya dengan pengetahuan yang rendah, siswa dapat memperoleh jawaban yang benar dengan cepat Dari indikator yang telah dipaparkan bahwa pemahaman instrumental hanya mampu menghafal dan menerapkan metode yang telah dipelajari, tanpa mengetahui alasannya. Ini berarti, siswa yang mempunyai pemahaman instrumental adalah siswa yang memahami secara teoritis saja. b) Pemahaman Relasional (Relational Understanding) Berbeda dengan pemahaman instrumental, Skemp (2006: 89) menjelaskan definisi dari pemahaman relasonal (relational understanding) adalah sebagai berikut “These he distinguishes by calling them 'relational understanding' and 'instrumental understanding'. By the former is meant what I have always meant by understanding, and probably most readers of this article: knowing both what to do and why”. Dengan kata lain, Skemp menjelaskan bahwa pemahaman relasional (relational understanding) merupakan pemahaman yang didasarkan pada pengetahuan dalam menggunakan prosedur dan alasan menggunakan prosedur. Berdasarkan pemaparan Skemp di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa definisi pemahaman relasional (relational understanding) adalah kemampuan seseorang menggunakan suatu prosedur matematis yang menghubungkan konsep matematis dengan permasalahan yang dihadapi dan mampu menjelaskan alasan penggunaannya. Dari definisi mengenai pemahaman relasional (relational understanding), Skemp (2006: 92) menjelaskan lebih dalam mengenai indikator atau ciri khusus pemahaman relasional adalah sebagai berikut: “But relational understanding, by knowing not only what method worked but why, would have enabled him to relate the method to the problem, and possibly to adapt the method to new problems”. Berdasarkan pemaparan Skemp tersebut dapat disarikan bahwa indicator atau cirri khusus dari pemahaman relasional (relational understanding) adalah 1) Mengetahui dan dapat menjelaskan metode pengerjaan yang telah dilakukan; 2) Mampu menghubungkan metode dengan permasalahan; 3) Dapat menggunakan metode sesuai dengan permasalahan yang baru. Untuk lebih detailnya, Skemp (2006: 92-93) menjelaskan mengenai pentingnya (keuntungan) pemahaman relasional (relational understanding) adalah sebagai berikut: 1) Lebih mudah dalam adaptasi pada tugas atau persoalan baru; Dalam sebuah topik, terdapat banyak latihan. Siswa yang memiliki pemahaman relational akan lebih mudah mengerjakan seluruh soal dengan mudah; 2) Lebih mudah untuk mengingat Pemahaman relasional memandang sebuah permasalahan sebagai satu kesatuan yang saling berhuhubungan. Jadi ketika sudah mengingat salah satu, seluruhnya secara otomatis ingat. Jika mungkin ada pengulangan, maka itu sedikit; 3) Pemahaman relasional dapat lebih efektif sebagai tujuan Jika orang mendapatkan kepuasan dari pemahaman relasional, mereka mungkin tidak hanya mencoba untuk memahami materi baru yang relevan yang ada di depan mereka, tetapi juga secara aktif mencari materi baru, untuk mengembangkan gagasan di luar cakupan materi. Ada perbedaan yang sangat signifikan antara kedua jenis pemahaman tersebut; para pebelajar dapat saja mengetahui fakta yang sama dari suatu subjek, tetapi cara mengetahuinya masing-masing berbeda. Perspektif epistemologis inilah yang menjadi landasan pentingnya belajar dengan menyajikan keterhubungan tiga level representasi kimia - makroskopik, submikroskopik, dan simbolik sebagai bagian dari struktur konseptual atau skema. Derajat menghubungkan ketiga level dapat menyediakan insight untuk terbentuknya ontological knowledge network pebelajar. Semakin besar level menghubungkan antara tiga representasi kimia, pemahaman pebelajar semakin meningkat (Treagust,et.al., 2003). Dengan demikian, interkoneksi multiple level representasi dapat mendukung pemahaman kimia secara lengkap, bila pebelajar mampu memformulasikan gambaran mentalnya terhadap obyek atau proses pada level submikroskopik yang secara fisik tidak dapat diobservasi. Kemudian mampu menghubungkan level submikroskopik dengan fenomena makroskopik serta mengekspresikannya ke dalam representasi simbolik atau sebaliknya. Oleh karena itu, sangatlah penting pembelajaran kimia diarahkan untuk memberikan bimbingan kepada pebelajar untuk menggunakan multiple level representasi, baik secara verbal maupun visual. Seorang guru atau calon guru tidak hanya dituntut untuk memahami hubungan ketiga level representasi (internal representasi), namun juga mereka dituntut untuk menyajikannya kembali ketiga representasi tersebut dalam pembelajaran (eksternal representasi). Berikut ini merupakan contoh indikator-indikator IMLR yang diukur pada salah satu contoh topic kimia yaitu hidrolisis garam, adalah sebagai berikut: 1) Menjelaskan terjadinya hidrolisis anion dengan memberikan alasan representasi submikroskopik yang tepat. 2) Memprediksi kation logam yang terhidrolisis berdasarkan representasi submikroskopik kation terhidrasi dengan didukung data rasio muatan dan jari-jari kation. 3) Memprediksi reaksi transfer proton yang lebih dominan berlangsung berdasarkan representasi submikroskopik dari larutan garam yang terhidrolisis total. 4) Menuliskan terjadinya reaksi hidrolisis dari kation terhidrasi berdasarkan representasi submikroskopik. 5) Menjelaskan terjadinya reaksi hidrolisis kation dengan memberikan representasi submikroskopik yang tepat. 6) Membandingkan kekuatan anion yang terhidrolisis berdasarkan representasi submikroskopik kesetimbangan larutan garam 7) Menjelaskan terjadinya hidrolisis total dari suatu garam berdasarkan pertimbangan harga Ka dan Kb dengan memberikan representasi submikroskopik yang tepat. 8) Menentukan pH dan Kh dari larutan garam yang anionnya mengalami hidrolisis berdasarkan representasi submikroskopik C. Konsep, Prakonsepi, konsepsi dan Miskonsepsi 1. Konsep Semua objek disekitar kita pasti memiliki bentuk, ukuran dan ciri-ciri yang tidak sama sehingga menghasilkan suatu konsep tertentu. Misalkan tentang “meja”, meja merupakan benda yang memiliki bentuk bundar, persegi, persegi panjang dan segitiga. Kata meja merupakan suatu abstraksi yang memiliki kesamaan pada semua objek meja. Kesamaan itulah yang dikenal sebagai symbol oleh manusia sehingga membentuk suatu konsep. 2. Prakonsepsi Siswa memasuki kelas untuk belajar kimia, setiap siswa membawa sejumlah pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang dibentuk ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan. Konsepsi yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran dimulai disebut prakonsepsi (Maharta, 2010). Siswa dapat mengkonstruksi atau membentuk sendiri pengetahuan mereka dalam interaksi dengan lingkungan, tantangan dan bahan yang dipelajarai sebelum guru mengajarkan konsep tersebut secara formal melalui pembelajaran di sekolah. Hal inilah yang disebut dengan prakonsepsi atau konsep awal. Pengetahuan awal seringkali tidak cocok dengan pengetahuan yang diterima oleh para ahli, sehingga siswa sering sekali mengalami konflik dalam dirinya ketika berhadapan dengan informasi yang baru, karena tidak semua informasi sejalan dengan prakonsepsi siswa sehingga menjadi suatu miskonsepsi (Maulida & Abdullah, 2013). 3. Konsepsi Menurut Suparno (2008:20) menjelakan konsepsi merupakan kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi secara langsung dengan lingkungan ataupun konsep yang diperoleh dalam Pendidikan formal. Konsepsi adalah tafsiran seseorang pada suatu konsep yang diperoleh. Setiap siswa telah memiliki konsepsi sendiri sendiri tentang sesuatu sebelum mereka mengikuti proses pembelajaran. Selain itu, konsepsi siswa susah untuk diubah karena konsepsi tersebut adalah hasil dari perkembangan dan pengalaman seseorang yang berlangsung bertahun tahun (Pujayanto, 2007). Sehingga dapat disimpulkan setiap masing masing siswa dapat menyimpulkan konsepsinya masing masing berdasarkan konsep yang sebenarnya. Oleh karena itu, konsepsi pada masing masing siswa dapat berbeda meskipun mempelajari konsep yang sama. 4. Miskonsepsi 1) Defenisi Miskonsepsi Dalam belajar konsep tidak semua siswa berhasil memahami konsep yang diajarkan, jika pemahaman konsep itu berbeda dengan konsep yang diajarkan dan menghasilkan suatu pemahaman yang berbeda, yang tidak sesuai dengan pemahaman para ahli sehingga akan terjadi miskonsepsi. Menurut Hasan et al., (1999), miskonsepsi didefinisikan sebagai struktur kognitif yang dipegang erat yang mana berbeda dengan pemahaman yang diterima oleh para ahli. Perbedaan ini diasumsikan akan menghambat diterimanya atau didapatkannya pengetahuan baru. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal yang kurang tepat, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan atau tafsiran yang salah. Konsep awal yang dimiliki siswa ada yang benar dan ada juga yang salah. Setelah melaksanakan proses pembelajaran, seringkali konsep yang telah dibangun oleh siswa tersebut menyimpang dari konsep yang seharusnya (Pujayanto, 2007). Menurut Barke et al. (2009), perbedaan konsep yang dideskripsikan dengan para ahli disebut dengan miskonsepsi, alternatif conceptions, naïve beliefs, erroneous ideas, misunderstanding, dan lain- lain. Menis & Frase dalam Suwarto (2013) menyatakan miskonsepsi siswa adalah refkesi pemikiran siswa atau kegagalan dalam menerapkan kurikulum. Sedangkan menurut Modell, Michael dan Wonderoth menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan pemahaman suatu konsep atau prinsip yang tidak konsisten dengan penafsiran atau pandangan yang berlaku umum tentang konsep tersebut (Suwarto, 2013). Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah pemahaman yang tidak sesuai dengan konsep yang telah disetujui para ahli yang diakibatkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan miskonsepsi. Miskonsepsi ini tidak hanya terjadi pada siswa saja tapi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk guru atau tenaga pendidik lainnya. Dalam hal ini miskonsepsi berbeda dengan kesulitan belajar, Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai adanya hambatan hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan hambatan tersebut mungkin disadari maupun tidak disadari oleh orang yang mengalaminya, dan dapat bersifat sosiologis, psikologis, maupun fisiologis dalam keseluruhan proses belajar. Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan ditandai dengan adanya hambatan hambatan dalam proses pembelajran. Kesulitan belajar memiliki gejala yang nampak dalam berbagai tingkah laku baik secara langsung maupun tidak langsung (Mulyadi, 2008 : 6-7). Hal ini berbeda dengan miskonsepsi karena pada miskonsepsi tidak ada tanda tanda adanya hambatan hambatan pada diri siswa dalam proses pembelajarannya. Miskonsepsi baru dapat terdeteksi setelah dilakukan tes diagnostik, karena dalam proses pembelajaran siswa yakin benar dengan apa yang didapatkannya, padahal belum tentu konsep yang dipegangnya itu benar sesuai ahli atau tidak. D. Tes Diagnostik Menurut Arikunto (2002), tes diagnosis adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa oleh karena itu berdasarkan kelemahan kelemahan yang terindentifikasi dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat. Tes diagnostik dapat dilakukan oleh seorang guru atau peneliti untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa dalam pembelajaran, agar dapat segera ditemukan bentuk bantuan yang tepat kepada siswa tersebut. Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan tes diagnostik. Tes ini digunakan untuk menilai pemahaman konsep siswa terhadap konsep konsep dasar pada topik tertentu. Tes diagnostik digunakan untuk tes awal sebagai penentu elemen-elemen dalam suatu mata pelajaran yang memiliki kelemahan kelemahan khusus dan memberikan petunjuk untuk menunjukkan kekurangan tersebut (Treagust, 1988). Setiap bentuk instrument memiliki kelemahan disamping kelebihan yang ada. Menurut Gurel et al. (2015) ada beberapa instrumen yang dapat dan telah dilakukam untuk mendiagnosis miskonsepsi pada siswa diantaranya : 1. Wawancara Wawancara memiliki peran penting dalam mendiagnosisi miskonsepsi, karena dapat memberikan penyelidikan yang mendalam untuk mendapatkan deskripsi rinci tentang struktur kognitif seorang siswa. Tujuan wawancara yang dinyatakan oleh Frankel dan wallen (2000) untuk menemukan apa yang ada dipikiran orang, dan apa yang mereka pikirkan atau bagaimana mereka tentang sesuatu. Disamping wawancara memiliki kelebihan yaitu mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan lebih fleksibel, wawancara juga memiliki kekurangan yaitu membutuhkan waktu yang sangat banyak saat jumlah orang yang diwawancarai juga banyak. Selain itu pewawancara bisa saja salah dalam menerjemahkan apa yang disampaikan oleh narasumber sehingga dapat merusak data serta analisis data yang didapatkan sedikit sulit. 2. Tes Terbuka (Open-ended Test) Dari sisi objek yang akan diidentifikasi metode ini membutuhkan waktu lebih lama untuk berpikir dan menulis tentang gagasan mereka sendiri serta siswa umumnya kurang bersemangat untuk menulis jawaban mereka dengan kalimat penuh. Disisi peneliti atau guru akan sulit untuk mengevaluasi karena ini menyangkut dengan masalah bahasa (Reja, Manfreda, Hlebec, & Vehovar, 2003). 3. Tes pilihan ganda Biasa (Ordinary Multiple Choice Test) Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam wawancara dan tes terbuka, tes pilihan ganda biasa dapat digunakan karena memiliki penilaian yang lebih mudah dan dapat diterapkan pada sejumlah besar mata pelajaran. Pengembangan tes pilihan ganda biasa sebagai alat untuk mengevaluasimiskonsepsi siswa memberikan kontribusi yang sangatbesar dalam perkembangan penelitian mengenai miskonsepsi, karena dapat membantu guru untuk lebih mudah saat menggunakannya dalam kelas (Treagust, 1988). 4. Two-tier Multiple Choice Two-tier test adalah tes dua tingkat, dalam hal ini digambarkan sebagai instrument diagnostik dengan tingkat pertama merupakan pertanyaan konten pilihan ganda sedangkan tingkat ke dua merupakan pilihan ganda untuk alasan pada jawaban tingkat pertama (Chandrasegaran et al., 2007). Jawaban sisiwa terhadap setiap item dianggap benar bila kedua pilihan yaitu pilihan pada tingkat pertama dan alasan yang diberikan benar. Two-tier test dianggap sebagai perbaikan dari instrument sebelumnya karena tes ini mempertimbangkan penalaran atau interpretasi siswa dibalik respons yang dipilih dan menghubungkan pilihan mereka dengan alasan yang mendukung responnya tersebut (Tüysüz, 2009). Menurut adadan dan savasci (2012) dalam Gurel et al. (2015), instrument diagnostik two-tier test relative bagus untuk siswa dalam menanggapi, dan lebih praktis dan bermanfaat bagi para guru untuk digunakan dalam hal mengurangi perkiraan, memungkinkan untuk administrasi berskala besar dan penilaian yang mudah serta memberikan sedikit informasi tentang penalaran siswa. Keuntungan menggunakan instrumen ini adalah: (1) Menurunkan kemungkinan menebak hingga 4%; (2) Memungkinkan menggabungkan beberapa aspek dalam satu fenomena, dimana tier pertama merupakan menological domain, sedangkan tier kedua merupakan conceptual domain (Tüysüz, 2009); (3) data yang dihasilkan lebih mudah dikelola dan dihitung dibanding dengan metode lain, sehingga sangat berguna digunakan dalam kelas yang banyak (Chandrasegaran et al., 2007). Tetapi selain mempunyai kelebihan tentu instrument ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu tidak dapat membedakan miskonsepsi dengan lack of knowledge (Hasan et al., 1999). Penelitian lebih lanjut mengenai tes two-tier test dilakukan oleh Griffard dan Wandersee (2001) dalam (Gurel et al., 2015), dalam penelitian ini mengemukakaan kekhawatiran tentang validitas penggunaan tes twotier untuk mendiagnosis miskonsepsi, karena mereka menganggap bahwa tes two-tier dapat mendiagnosis miskonsepsi secara tidak benar. Tidak dapat dipastikam apakah kesalahan siswa disebabkan oleh miskonsepsi atau karena kurangnya pengetahuan (lack of knowledge). Contoh soal tanpa IMLR (Amry, 2016): 1. NaOH dan HI akan bereaksi menghasilkan NaI dan air. Teori yang benar untuk reaksi tersebut adalah … A. Garam yang terbentuk dapat terhidrolisis dalam air B. Garam yang terbentuk tidak dapat terhidrolisis dalam air C. Garam yang dihasilkan bersifat asam D. Garam yang dihasilkan bersifat basa E. Garam yang dihasilkan berasal dari asam kuat dan basa lemah Alasan dari jawaban saya adalah : A. NaI berasal dari asam kuat HI dan basa kuat NaOH sehingga apabila terion menjadi Na+2 dan I- kedua ion tersebut tidak bereaksi dalam air, oleh karena itu larutan tetap bersifat netral. B. NaI berasal dari asam lemah HI dan basa kuat NaOH sehingga apabila terion menjadi Na+2 dan I- kedua ion tersebut bereaksi dalam air, oleh karena itu larutan terhidrolisis. C. Na+2 dan I- kedua ion tersebut tidak bereaksi dalam air, oleh karena itu larutan terhidrolisis. Contoh Soal Menggunakan IMLR (Hutdia, 2019): BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Adapun kesimpulan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Interkoneksi multiple level representasi kimia (IMLR) adalah pemahaman seseorang terhadap kimia ditunjukkan oleh kemampuannya mentransfer dan menghubungkan antar representasi fenomena makroskopik, submiskroskopik dan simbolik serta IMLR ini merupakan salah satu kunci untuk pengajaran kimia yang merupakan salah satu solusi untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa. B. Saran Pada saat pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas. DAFTAR PUSTAKA Chandrasegaran, Treagust & Mocerino. (2007). Enhancing students’ use of multipel levels of representation to describe and explain chemical reactions. School Science Review, 88, 325-330. Chittleborough G. and Treagust D. F., (2007), The Modelling Ability Of NonMajor Chemistry Students And Their Understanding Of The SubMicroscopic Level, Chem. Educ. Res. Pract., 8(3): 274-292. Devetak, I. (2005). Explaining the latent structure of understanding submicropresentations in science. Disertasi tidak dipublikasikan. Slovenia: University of Ljubljana. Effendy. 2006. A-Level Chemistry for Senior High School Students Volume 1A. Malang: Bayumedia. Farida, I. (2008). Kemampuan Mahasiswa Merepresentasikan Tingkat Makroskopik, Mikroskopik dan Simbolik pada Topik Sintesis Amonia (Skala Lab). Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV. Bandung : FPMIPA UPI Farida, I., Liliasari, Widyantoro, D.H. & Sopandi, W. (2010). Representational competence’s profile of Pre-Service Chemistry Teachers in chemical problem solving. Proceeding The 4th International Seminar on Science Education. Gilbert, J.K. & Treagust, D.F. 2009. Multiple Representations in Chemical Education: Models and Modelling in Science Education. Dordrecht: Spinger. Harrison, A. G., & Treagust, D. F. (2002). The particulate nature of matter: challenges in understanding the submicroscopic world. In Gilbert, J.K et.al (Eds.), Chemical Education: Towards Research-Based Practice. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers Johnstone, A.H. 1993. The Development of Chemistry Teaching: A Changing Response to Changing Demand. Journal of Chemical Education, 70: 701705 Johnstone, A.H. 2000. Teaching of Chemistry - Logical or Psychological? Chemistry Education: Research and Practice in Europe, 1(1):9—15. Kozma, R., & Russell, J. (2005). Students Becoming Chemists: Developing Representational Competence. In J. Gilbert (Ed.), Visualization in science education. Volume 7. Dordrecht: Springer. pp. 121-145 Rosengrant, D., Van Heuleven, A., and Etkina, E. (2006). Students’ use of multiple representations in problem solving. In P. Heron, L. McCullough & J. Marx, Physics Education Research Conference (2005 AIP Conference Proceedings) (pp. 49-52). Sendur, G., Toprak, M., Pekmez, E., (2010). Analyzing of Students’ Misconceptions about Chemical Equilibrium. Paper on International Conference on New Trends in Education and Their Implications. AntalyaTurkey Silberberg, M. (2009). Chemistry: The molecular nature of matter and change, 5th, New York : McGraw-Hill Sopandi, W. dan Murniati. (2007). Microscopic Level Misconceptions on Topic Acid Base, Salt, Buffer, and Hydrolysis: A Case Study at a State Senior High School, Proceeding The 1st International Seminar on Science Education. SPS UPI Bandung Suja, I W. (2015). Model mental mahasiswa calon guru kimia dalam memahami bahan kajian stereokimia. Jurnal Pendidikan Indonesia, 4(2), 625-638. Sunyono, Yuanita, L., & Ibrahim, M. (2015). Supporting students in learning with multiple representation to improve student mental models on atomic structure concepts. Science Education International, 26(2), 104-125 Taber, K.S. (2009). Learning at the Symbolic Level. In: Gilbert, J.K and D. Treagust (Eds.). Multiple Representation In Chemical Education. Models and Modelling In Science Education. Vol:.4. (pp 75-103). Dordrecht: Springer Treagust, David F., Chittleborough, G., and Mamiala, T (2003). The role of submicroscopic and symbolic representations in chemical explanations International Journal of Science Education, 25 (11), 1353-1368 Treagust, David F. (2008). The Role Of Multiple Representations In Learning Science: Enhancing Students’ Conceptual Understanding And Motivation. In Yew-Jin And Aik-Ling (Eds). : Science Education At The Nexus Of Theory And Practice. Rotterdam -Taipei : Sense Publishers Treagust, David F. & Chandrasegaran, (2009). The efficacy of an alternative instructional programme designed to enhance secondary students’ competence in the triplet relationship. In: Gilbert, J.K & D. Treagust (Eds.). Multipel representation in chemical education. models & modelling in science education. Dordrecht: Springer. pp:151-164 Waldrip, Bruce.,et.al. (2008). Learning Junior Secondary Science through MultiModal Representations. Electronic Journal of Science Education, 11(1):89107. Wang, Ch. Y., 2007. The role of mentalmodelling ability, content knowledge, and mental model in general chemistry students’ understanding about moleculer polarity. A Dissertation presented to the Faculty of the Graduate School University of Missouri – Columbia.