Uploaded by fauzanflash

CUTANEUS LARVA MIGRANS

advertisement
BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
NOVEMBER 2019
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
ICHTHYOSIS VULGARIS
OLEH :
Muhammad Fauzan
111 2019 1013
PEMBIMBING
Dr. dr. Nurelly N.Waspodo, Sp.KK
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:
Nama
: Muhammad Fauzan
Stambuk
: 111 2019 1013
Judul Refarat
: Ichthyosis Vulgaris
Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia.
Makassar, 22 November 2019
Supervisior Pembimbing
Dr. dr. Nurelly N.Waspodo, Sp.KK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Cutaneous larva migrans (CLM) atau creeping eruption adalah erupsi
di kulit berbentuk penjalaran serpinginosa, sebagai reaksi hipersensivitas
kulit terhadap invasi larva cacing tambang atau nematodes (roundworms).
Larva cacing tersebut berasal dari cacing yang hidup di usus kucing atau
anjing. Daerah yang paling sering terlibat ialah kaki, tangan, bokong, atau
abdomen.1
Penyakit CLM ini sudah dikenal sejak tahun 1874. Kemudian pada
tahun 1929 diketahui bahwa penyakit ini terkait dengan migrasi subkutan
dari larva Ancylostoma. Sehingga kemudian penyakit ini dikenal dengan
Hookworm-related cutaneous larva migrans (HrCLM). 2
Invasi larva cacing dapat terjadi oleh karena adanya kontak dengan
tanah yang terkontaminasi dengan feses hewan (anjing, kucing). Invasi ini
sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki
atau yang sering berhubungan dengan tanah atau pasir yang mengandung
larva tersebut.1 Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropis
yang hangat dan lembab, misalnya di Unites States, Caribbean, Afrika,
Amerika Selatan dan Tengah, India, Asia Tenggara.1,3 Walaupun demikian
dengan berkembangnya pariwisata, infeksi CLM dapat terjadi pada para
wisatawan (travelers).1
Spesies parasit yang paling umum menyebabkan "creeping eruption"
ialah
Ancylostoma
braziliense,
Ancylostoma
caninum,
Necator
americanus, Uncinaria stenocephala dan Strongyloides stenocephala.
Parasit menginfeksi manusia melalui penetrasi kulit yang tidak rusak.
Larva nematoda di dalam tubuh manusia yang menjadi host, tidak
menyelesaikan siklus hidup sepenuhnnya tapi tetap terbatas pada
epidermis dan jarang pada permukaan dermis. Parasit bermigrasi pada
tingkat
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter per-hari
membentuk liku-liku, terowongan serpiginous naik ke atas permukaan
kulit dengan panjang beberapa cm bahkan lebih dari 10 cm. Migrasi
parasit menyebabkan gatal yang hebat, yang sering menyebabkan
kerusakan epidermis dan infeksi sekunder. Pengobatan yang diberikan
bertujuan untuk mempercepat kesembuhan dan meringankan gejala
penyakitnya.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Cutaneus larva migrans biasa juga disebut dermatosis linearis
migrans,
sand-worm disease, creeping
eruption, plumber's
itch,
Dukhunter's itch.1,5 Merupakan isitilah yang digunakaan pada kelainan
kulit berupa peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul
dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal
dari feses anjing dan kucing.1
2.2.
Epidemiologi
Insidens yang sebenarnya sulit diketahui, di Amerika Serikat (pantai
Florida, Texas, dan New Jersy) tercatat 6,7% dari 13.300 wisatawan
mengalami CLM setelah berkunjung ke daerah tropis. Hampir semua
negara beriklim tropis dan subtropis misalnya Amerika Tengah dan
Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia dan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, banyak ditemukan CLM. Pada invasi ini tidak terdapat
perbedaan ras, usia, maupun jenis kelamin.1
Indonesia merupakan daerah tropis yang sesuai untuk perkembangan
berbagai macam jenis parasit misalnya cacing.5 Pada kebanyakan kasus
dapat terlihat anak-anak lebih sering dibandingkan dewasa.6 Hingga saat
ini kasus kecacingan pada manusia di Indonesia masih cukup tinggi. Salah
satu kelompok cacing usus yag prevalensinya masih cukup tinggi adalah
Soil Transmitted Helminth. Termasuk dalam kelompok ini adalah Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus. Soil Transmitted Helmith pada hewan
yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia adalah Ancylostoma
braziliensis, Ancylostoma caninum yang dapat menyebabkan cutaneous
larva migrans serta Toxocara canis dan Toxocara cati yang dapat
menyebabkan visceral larva migrans.5
Belum pernah dilaporkan kematian akibat CLM. Invasi CLM yang
bertahan lama dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi sekunder
akibat garukan. Walaupun jarang, namun dapat menyebabkan selulitis.1
2.3.
Etiopatogenesis
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang yang
hidup di usus anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan
Ancylostoma caninum. Di Asia Timur, umumnya disebabkan oleh
gnastostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan
Echinoococcus, Strongyloides sterconalis,
Dermatobia maxiales, dan
Lucilia caesar. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa
jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse boot fly) dan cattle fly.1 Larva
ini merupakan stadium ketiga dalam siklus hidupnya. Di host alami pada
hewan, larva CLM dapat berpenetrasi ke dalam dermis dan diangkut oleh
sistem limfatik dan sistem vena ke paru-paru. Mereka menerobos hingga
ke alveoli dan bermigrasi ke trakea, dimana mereka tertelan. Di dalam
usus larva CLM berkembang menjadi dewasa secara seksual, dan siklus
dimulai lagi sebagai telur yang diekskresi. Manusia adalah host yang tidak
disengaja, dan larva kekurangan kolagen yang dibutuhkan untuk penetrasi
ke membrana basalis dan masuk ke dermis. Oleh karena itu CLM hanya
terbatas pada kulit manusia yang terinfeksi.7
Gambar 1. Daur Hidup Hookworm pada Cutaneous Larva Migrans6
Nematoda hidup pada hospes, ovum (telur cacing) terdapat pada
kotoran binatang dan karena kelembaban (misalnya di tanah berpasir yang
basah dan lembab) berubah menjadi larva yang mampu mengadakan
penetrasi ke kulit manusia dan menembus folikel dan / atau celah, yang
menyebabkan erupsi kulit.1,8 Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa
tujuan sepanjang taut dermo-epidermal dan setalah beberapa jam atau hari
akan timbul gejala di kulit.1
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab,
hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari.
Larva rabditiform tumbuh di tinja dan atau tanah, menjadi larva filariform
(larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 hari sampai 10 hari. Larva
infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi
lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing dan
kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah
menuju jantung dan paru-paru. larva kemudian menembus alveoli dan naik
ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil,
kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa.2 Manusia juga dapat
terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada sebagian
besar spesiesm, larva tidak dapat berkembang lebih lanjut di tubuh
manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis.2
Kontak dengan pasir atau tanah yang terkontaminasi dengan kotoran
hewan diperlukan untuk terjadi infeksi: infeksi dapat dicegah dengan
menghindari kontak kulit dengan tanah yang terkontaminasi oleh feses.
Larva menembus kulit manusia dan bermigrasi sampai beberapa
sentimeter per hari, biasanya antara stratum germinativum dan stratum
korneum. Ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik lokal. Kebanyakan
larva tidak dapat mengalami perkembangan lebih lanjut atau menyerang
jaringan yang lebih dalam, dan mati setelah hari ke bulan.3
2.4.
Gejala Klinis
Larva dapat menyebabkan dermatitis non-spesifik di lokasi penetrasi di
mana kulit telah melakukan kontak dengan tanah yang terinfeksi. Ini
umumnya terdapat di kaki, tangan, pantat dan alat kelamin. Masuknya
larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas.1
Gambar 2. Cutaneous Larva Migrans 9
Pruritus lokal pada daerah infeksi dan munculnya papula pada sisi
infeksi merupakan ciri awal.2 Mula-mula akan timbul papul kemudian
diikuti bentuk khas, yakni lesi berbentuk linier atau berkelok-kelok,
menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya
lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah
berada di kulit, selama beberapa jam atau hari.1
Gambar 3. Cutaneous Larva Migrans pada Bokong3
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar, menyerupai
benang
berkelok-kelok,
polisiklik,
serpinginosa,
menimbul,
dan
membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter.
Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari.1 CLM biasanya
ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah atau
pasir, tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus,
bokong, dan paha.
Gambar 4. Cutaneus Larva Migrans pada Kaki Pasien Selama 1 Minggu6
Lesi kulit yang khas muncul 1-5 hari setelah paparan. Karakteristik lesi
CLM adalah eritematosa, cerah, vesikel, linear, dan jalur yang berkelok.
Vesikular atau lesi bulosa dapat dilihat di sisi penetrasi kulit larva hingga
15% dari pasien dengan CLM. Lesi sekitar 3 mm lebar dan dapat
mencapai 15- 20 cm. Mereka bisa tunggal atau ganda, yang gatal dan
mungkin nyeri. Larva cacing tambang berkembang beberapa milimeter
sampai beberapa sentimeter setiap hari. Sisi anatomi yang paling umum
(biasanya 3-4 cm dari sisi penetrasi) termasuk kaki dan bokong, meskipun
sisi lain mungkin akan terpengaruh. Ekskoriasi dan impetiginization jarang
terjadi (10% kasus). Lesi kulit biasanya berlangsung antara 2 dan 8
minggu, tetapi telah dilaporkan berlangsung hingga 2 tahun. Tanda-tanda
dan gejala sistemik (mengi, batuk kering urtikaria) telah dilaporkan pada
beberapa pasien.3
Tanpa penanganan yang sesuai, larva ini akan mati diserap kembali
dalam jangka waktu beberapa minggu atau bulan dari saat invasi.
Seringkali, infeksi hanya terbatas pada kulit. Namun pernah dilaporkan
adanya infeksi sistemik akibat HrCLM. Pada kondisi sistemik, gejala yang
muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrate
pulmonal migratory dan peningkatan kadar immunoglobulin E, namun
kondisi ini jarang ditemui.2
2.5.
Diagnosis
Diagnosis CLM berdasarkan temuan klinis dengan adanya creeping
eruption.3 Berdasarkan bentuk khas, yakni terdapatnya kelainan seperti
benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau
vesikel di atasnya.1 Jika tidak, biopsi kulit mungkin diperlukan. Temuan
histopatologi meliputi larva terperangkap dalam kanal folikel, stratum
korneum,
atau
dermis,
bersama-sama
dengan
inflamasi
infiltrat
eosinophilia. Kerokan kulit pada pasien dengan folikulitis dapat
mengungkapkan larva hidup dan mati ketika diperiksa dengan mikroskop
cahaya dengan minyak mineral.3
Gambaran histopatologi yang dapat ditemukan respon inflamasi yang
ditandai dengan banyaknya eosinofil di epidermis dan dermis bagian atas.
Parasit ditemukan 1-2 cm dalam terowongan di epidermis. Selain larva,
pada lesi, yang kadang tidak diperhatikan, terdapat spongiosis dan vesikel
intradermal dimana dapat terlihat keratinosit yang nekrotik. Banyaknya
eosinofil di superficial dapat terlihat.10
Gambar 4. Histologi dari lesi menunjukkan orthokeratosis, multiple intraepidermal
bullae, spongiosis, dilatasi vaskular, lymphocytic exocytosis, dan banyak eosinofil 8
Eosinofilik perifer adalah sementara dan mungkin terkait dengan
migrasi infiltrat paru atau meningkat kadar serum IgE dari sedikit nilai
diagnostik.
Biopsi
kulit
tidak
membantu
dalam
diagnosis
dan
menunjukkan infiltrasi eosinofilik dominan, sedangkan larva jarang
terlihat karena akan naik di luar lesi kulit. Mikroskop epiluminencence
adalahmetode non-invasif yang efektif untuk konfirmasi diagnosis. Larva
tersebut divisualisasikan terbaik di pembesaran 40x sebagai tembus,
kecoklatan, tersegmentasi daerah linier, dan liang kosong seperti
pembuluh darah bertitik merah.11 Dapat pula dengan pemeriksaan darah
dengan menilai jumlah eosinophilia >3000/mm3 dapat menunjukkan
sedang berlangsung migrasi dari larva.3 Chest x-ray juga dapat
menunjukkan adanya infiltrasi pada Sindrom Loffler.8
2.6.
Diagnosis Banding
1. Skabies
Dengan melihat adanya terowongan harus dibedakan dengan
skabies.1 Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi
dan sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei.12
Gambar 5. Scabies dan Cutaneus Larva Migrans
Seseorang mengalami gejala scabies ketika tungau masuk ke dalam
lapisan kulitnya. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada
umumnya berupa terowongan yang berisi tungau, telur, dan hasil
metabolisme. Terowongan berwarna putih abu-abu, tipis dan kecil
seperti benang dengan struktur linear atau berkelok-kelok kurang lebih
1-10 mm yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam
stratum korneum. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau
papul kecil. Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi
sekunder. Ketika menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret
yang dapat melisiskan stratum korneum. Sekret dan eksret tersebut akan
menyebabkan sensitisasi sehingga menimbulkan lesi sekunder. Lesi
sekunder berupa papul, vesikel, pustul, dan terkadang bula. Selain itu
dapat pula terbentuk lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi, dan
pioderma. Meskipun dapat terbentuk lesi sekunder dan tersier, namun
tungau hanya
dapat ditemukan pada lesi primer.12 Pada skabies
terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti CLM.1
2. Insect Bites
Pada permulaan lesi berupa papul sehingga sering diduga insects
bite.1
Gambar 6. Lesi insect bites13
Sebagian besar gigitan serangga kecil bisa menyebabkan luka
tusukan dangkal ke kulit. Gigitan juga bisa menyebabkan luka yang
dalam dan terasa menyakitkan. Reaksi itu sendiri beragam dan sangat
bervariasi antar individu, dengan beberapa pasien tidak menunjukkan
reaksi sama sekali. Beberapa reaksi dapat berupa urtikaria papular yang
sangat pruritus dan biasanya berukuran 2-6 cm. Reaksi kutaneous
lainnya bisa dengan reaksi bulla dan hemoragik.13
Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papul-papul lesi dini
sering menyerupai herpes zoster stadium permulaan.1
2.7.
Tatalaksana
Sebelum tahun 1960, terapi CLM adalah dengan ethyl chloride spray
(disemprotkan sepanjang lesi), liquid nitrogen, phenol, carbon dioxide
snow (CO2snow dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua
hari berturut-turut), piperazine citrate, elektro-kauterisasi dan radiasi.
Pengobatan tersebut sering tidak berhasil karena kita tidak mengetahui
secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak
jaringan disekitarnya. Kemoterapi dengan chloroquine, antimony, dan
diethylcarbamazine juga tidak memuaskan.1
Walaupun dapat sembuh dengan sendirinya setelah beberapa bulan
tetapi rasa gatal yang ditimbulkan sangat mengganggu dan meningkatkan
resiko infeksi sekunder oleh bakteri yang dipicu karena garukan.
Thiabendazole merupakan anthelmintik pilihan. Selain itu albendazole,
membendazole, ivermectin dapat dipakai sebagai alternatifnya.5
Antibiotik digunakan untuk infeksi sekunder, steroid topikal atau
sistemik mungkin diperlukan untuk mengobati pruritus parah. Biasanya,
resolusi migrasi dan gatal-gatal terjadi dalam waktu 2-3 hari setelah terapi
telah dimulai. Mungkin butuh seminggu atau lebih untuk lebih intens
menyelesaikan respon inflamasi alergi.8
Terapi topikal
1. Tiabendazole
Tiabendazole salep 10-15% 3x1 selama 5-10 hari,
Pada
kasus
dimana
pengobatan
oral
menjadi
kontraindikasi,
Tiabendazole 10-15% diaplikasikan 3 kali sehari selama 5-10 hari
setara dengan pengobatan oral CML.4
2. Albendazole salep 10% 3x1 selama 5-10 hari
Pada kasus dimana pengobatan oral menjadi kontraindikasi, maka obat
topikal albendazole 10% diaplikasikan 3 kali sehari selama 5-10 hari
setara dengan pengobatan oral CML.4
Terapi sistemik
1. Ivermectin 200 ug / kg, 12 mg dosis tunggal
Terapi lini pertama, umumnya diberikan sebagai dosis 12 mg
tunggal dan berulang pada hari berikutnya namun kontraindikasi pada
anak usia dibawah 5 tahun. Lesi sembuh dalam 5 hari setelah memulai
ivermectin putaran kedua pengobatan dengan dosis yang sama
diberikan untuk yang kambuh. 2,4,7
Ivermektin bertindak dengan mengikat secara selektif ke reseptor
neurotransmiter tertentu yang berfungsi pada sinapsis motorik perifer
dan menekan konduksi impuls saraf pada sinapsis interneuronik dari
parasit. Cara kerja obat ini juga memperkuat peranan GABA pada
proses transmisi di saraf tepi, sehingga cacing mati pada keadaan
paralisis.
Obat
berefek
pada
microfilaria
di
jaringan
dan
embryogenesis pada cacing betina. Microfilaria mengalami paralisis
sehingga
mudah
dihancurkan
oleh
sistem
retikuloendotelial.
Ivermectin juga efektif terhadap strongiloidosis dan merupakan obat
alternatuf untuk pasien yang tak tahan atau tak mempan dengan
thiabendazole. Ivermektin tidak memiliki efek makrofilaria bagi
filariasis bancrofty sehingga DEC (dietil
karbamazin) masih
diperlukan untuk membunuh cacing dewasanya.14
Efek samping ivermekrin umumnya ringan dan sebentar serta dapat
ditoleransi. Biasanya berupa demam, pruritus, sakit otot dan sendi,
sakit kepala, hipotensi, nyeri di kelenjar limfe. Gejala efek samping ini
biasanya cukup disembuhkan dengan pemberian antihistamin dan
antipiretik.14
2. Albendazole 400 mg / hari selama 3-7 hari atau 200 mg 2x1 selama 7
hari.
Efektif dan ditoleransi dengan baik. Kerjanya cepat, pruritus
menghilang dalam 3-5 hari, dan lesi kulit hilang setelah 6-7 hari
pengobatan.2,4,7
Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan β-tubulin parasit
sehingga menghambat polimerasi mikrotubulus dan memblok ambilan
glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan
glikogen menurun dan pembentukan ATP berkurang, akibatnya cacing
akan mati. Obat ini memiliki khasiat membunuh larva N. americanus,
juga dapat merusak telur cacing gelang, tambang dan trikuris.12 Efek
samping dapat berupa nyeri ulu hati, diare, sakit kepala, mual, lemah,
pusing, dan insomnia.14
3. Tiabendazole 25-50 mg / kgBB / hari 2x1 selama 2-5 hari.
Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh dapat diulangi
setelah beberapa hari.1 Jika masih ditemukan adanya lesi aktif, selang 2
hari kemudian dapat diberikan lagi satu rangkaian pengobatan.12 Obat
ini sukar didapat.1 Tiabendazole tidak direkomendasikan karena
memiliki efek samping yang tinggi; pusing, mual,muntah, dan kram
perut.4
Efek tiabendazole mempunyai daya antihelmintik yang luas.
Efektivitasnya tinggi terhadao strongiloidiais, askariasis, okluriasis dan
larva migrans kulit. Cara kerjanya serupa dengan derivate benimidazol
lainnya, misalnya menghambat enzim fumanat reduktase cacing. Pada
cacing Strongykoides obat ini menghambat enzim asetilkolinesterase
cacing dan menyebabkan kematian cacing. Obat ini menekan
perkembangan dan migrasi larva Trichinella spiralis. Tiabendazole
dapat menghancurkan sebagian larva yang terdapat didalam otot.
Seperti levamisol, tiabendaczole, juga memiliki efek imunostimulan.
Efek antiinflamasi obat ini turut berperan dalam meringankan gejalagejala penyakit cacing.14
Obat ini memberikan efek samping anoreksia, mual, muntah dan
pusing. Dalam frekuensi yang lebih rendah juga terjadi diare, nyeri
epigastrium, sakit kepala, pusing, lelah, gatal dan kantuk. Karena itu,
dalam pengobatan dengan tiabendazole dianjurkan tidak melakukan
kegiatan yang memerlukan kewaspadaan mental. Perubahan fungsi
hati yang selintas dapat terjadi, maka penggunaannya harus hati-hati
pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Telah dilaporkan terjadinya
perianal rashes, tinnitus, hiperglikemi, konvulsi, lekopeni selintas,
hematuri, kristaluri, gangguan penglihata, kolestasis intrahepatik,
kerusakan sel parenkim hati, ikterus, dan gangguan fungsi hari.
Sindrom Stevens-Johnson yang fatal dan kerusakan hati yang
ireversibel juga telah dilaporkan.14
Terapi Lainnya
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni dengan menggunakan
CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit,
dua hari berturut-turut. Selain itu dapat juga dilakukan dengan
menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan kloretil sepanjang lesi.
Akan tetapi, ketiga cara tersebut tidak dianjurkan. Pembekuan tidak efektif
karena sulit untuk mengetahui pasti dimana larva berada. Larva biasanya
terletak beberapa sentimeter di atas ujung lesi dan larva mampu bertahan
pada suhu serendah -21oC selama lebih dari 5 menit. Disamping itu, cara
ini dapat menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ulserasi. Pengobatan
dengan cara ini sudah lama ditinggalkan.2
Pencegahan
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya creeping
eruption diantaranya adalah menghindarkan anak – anak bermain dengan
pasir atau tanah yang mungkin tercemar oleh larva cacing penular.
Kesadaran masyarakat akan kebersihan dan pentingnya memakai alas kaki
harus ditingkatkan. Dengan memakai alas kaki, akan dapat mengurangi
resiko masuknya larva cacing ke dalam tubuh. Juga keberadaan anjing dan
kucing liar sebaiknya dipantau, karena kedua hewan ini sangat berpeluang
untuk menularkan penyakit ini.5
2.8.
Prognosis dan Komplikasi
CLM tidak mengancam kehidupan, umumnya sembuh dengan terapi
antihelmintes ivermectin atau albendazole.1
Komplikasi lain yang dapat terjadi ialah vesikobullous yang berat atau
pompholyx (9%-15% dari semua kasus). Folliculitis, erytema multiforme,
dan eosinofilik enteritis mungkin dapat terjadi. Hanya sangat jarang
migrasi larva visceral menyebabkan sindrom Loffler.14
Sindrom Loffler ditandai dengan infiltrat paru bermigrasi dan
eosinofilia perifer. Gejala pernapasan minimal atau tidak ada dan malaise,
demam, dan batuk dapat terjadi. Penyebab infeksi termasuk infestasi
dengan protozoa, jamur, bakteri, atau cacing. Larva cacing memiliki tahap
paru pada siklus hidup mereka dan dapat bermigrasi ke paru-paru. Gejala
sindrom Loffler yang diduga disebabkan oleh reaksi hipersensivitas tipe 1
selama migrasi paru pada larva ini, mengakibatkan sejumlah peningkatan
eosinophilik di saluran napas atau parenkim paru, dengan atau tanpa
eosinofilia perifer. Radiografi dapat menunjukkan nodul milier halus atau
difus, daerah interstitial reticulonodular meningkatkan opasitas. Daerahdaerah tersebut dapat membesar sebagai perkembangan infestasi dan
kadang-kadang migrasi dari infiltrat eosinofil diamati pada serial
radiografi. Akhirnya, identifikasi larva filariform dalam specimen dahak,
pencucian bronkial, atau biopsi paru mungkin diperlukan untuk
mendiagnosis sindrom Loffler. Pengobatan mungkin termasuk penghilang
larva dengan anti-helmintes dan kortikosteroid oral atau inhalasi.14
BAB III
KESIMPULAN
Cutaneus larva migrans merupakan isitilah yang digunakaan pada
kelainan kulit berupa peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul
dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari feses
anjing dan kucing.
Umumnya terdapat di kaki, tangan, pantat dan alat kelamin. Pruritus lokal
pada daerahinfeksi dan munculnya papula pada situs infeksi merupakan ciri awal.
Selanjutnya papul merah ini menjalar, menyerupai benang berkelok-kelok,
polisiklik, serpinginosa, menimbul, dan membentuk terowongan (burrow),
mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari.
Karakteristik dari penyakit ini adalah self limiting disease, namun gatal
yang hebat dan resiko dari infeksi sekunder tidak menjamin adanya terapi. Terapi
lini pertama ialah Ivermectin 200 ug/kg, umumnya diberikan sebagai dosis 12 mg
tunggal atau albendazole 400 mg/hari selama 3-7 hari, merupakan pengobatan
yang efektif. Tiabendazole tidak direkomendasikan karena memiliki efek samping
yang tinggi. Dengan menambahkan thiabendazole topikal sebagai suspensi 10%
atau krim 15% digunakan 3 kali sehari akan meringankan gatal dalam 3 hari, dan
saluran menjadi tidak aktif dalam 1 minggu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi, Sri Linuwih SW dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 141-142
2. Nareswari, Shinta. 2015. Cutaneus Larva Migrans yang Disebabkan
Cacing Tambang;Vol.5 No 9. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
3. Goldisth, Lowell A. et al. Helminthic Infections, Fitzpatrick's Dermatology
in General Medicine. USA: McGraw Hill. 8th ed; 2012; 3626, 3637-38
4. Tekely, E., et al. 2013. Cutaneous Larva Migrans Syndrome: a case
report. Department of Dermatology, Venereology and Peadiatric
Dermatology, Medical University of Lublin, Poland
5. Palgunadi, Bagus Uda. 2010. Cutaneus Larva Migrans ; vol.2 no.1.
Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
6. Global Health Divison of Parasitic Diseases, Centers For Disease Control
and Prevention (CDC). 2017. Parasites-Zoonotic Hookworm. Available at:
www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/biology.html
7. Robles, David T. 2016. Cutaneous larva migrans. Medscape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1108784-overview#showall
8. Habif, T. P., et al. Skin Disease: Diagnosis and Treatment. London:
Elsevier Health Sciences. 2011.
9. Jayanthi R,T. Deenadayalan. 2015. Stanley Medical Journal; Cutaneus
Larva Migrans ‘Creeping Eruption’, vol.2. Dept Of General Medicine ,
Govt.Stanley Medical College & Hospital , Chennai.
10. Karen J, Robins, P, Protozoan Diseases and Parasitic Infestations. 2016
11. Upendra Y, et al. Cutaneous larva migrans. Indian J Dermatol Venereol
Leprol 2013;79:418-19.
12. Syailindra Firza, Hanna Mutiara. 2016. Skabies; Vol.2 No.2. Bagian
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
13. Boyd
(Bo)
D
Burns,
et
al.
2017.
Insect
Bites.
http://emedicine.medscape.com
14. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2012. Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Jakarta; Badan Penerbit
FKUI.
15. Booij, M,et al.. Loffler syndrome caused by extensive cutaneous larva
migrans: A case report and review of the literature. Dermatology Online
Journal, 16(10). 2010.
Download