BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara berkembang dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Indonesia memiliki kekayaan alam yang cukup berlimpah diimbangi dengan letak geografis yang strategis untuk menjadi kawasan lalu lintas perdagangan dunia. Banyak perusahaan-perusahaan yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut berpengaruh pada pendapatan yang diperoleh negara berupa pajak. Pendapatan yang diperoleh negara, bersumber dari berbagai jenis sektor, baik itu sektor internal maupun sektor eksternal. Di negara-negara lain, pendapatan negara yang berasal dari pajak sangat penting perannya sebagai alat untuk melakukan pembangunan nasional dan sumber dana untuk mensejahterakan masyarakat (Jessica dan Toly, 2014). Tak terkecuali bagi Indonesia. Pajak digunakan sebagai sumber penerimaan bagi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan data dari Kementrian Keuangan Republik Indonesia, penerimaan pendapatan negara tahun 2017 yang bersumber dari pajak berkisar 85,6% atau Rp 1.498,9 T dari keseluruhan total pendapatan negara yakni Rp 1.750,3 T. Sehingga, pemerintah menekankan pendapatan negara yang berasal dari pajak karena digunakan sebagai sumber untuk mengalokasikan dana bagi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2017, pemerintah memasang target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun dengan realisasi sebesar Rp 1.151,5 triliun. Hal tersebut menunjukkan pemerintah hanya mampu memenuhi target penerimaan pajaknya sebesar 89,74%. Di Indonesia, sumber penerimaan pajak berasal dari wajib pajak orang pribadi maupun badan. Banyak perusahaan di Indonesia yang tergolong sebagai WP badan yang berasal dari berbagai sektor industri. Jumlah penghasilan yang diterima oleh masing-masing WP badan akan mempengaruhi jumlah pajak yang wajib dibayarkan kepada negara. Semakin banyak penghasilan yang diterima, maka semakin banyak kewajiban yang harus dibayar dalam bentuk pajak. Tingginya pajak terhutang yang harus dibayarkan perusahaan, memicu suatu tindakan yang diambil oleh perusahaan untuk meminimalkan beban pajak terhutang. Pendapatan negara yang berasal dari pajak harus dapat dimaksimalkan karena hasil penerimaan pajak akan digunakan untuk kepentingan pembiayaan tingkat pusat maupun 1 daerah. Selain itu, penerimaan tersebut nantinya akan digunakan dalam membangun berbagai infrastruktur untuk mengembangkan pembangunan nasional. Namun, realisasinya justru berbeda, dimana terdapat perbedaan kepentingan antara wajib pajak dengan pemerintah. pemerintah yang ingin memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak, bertentangan dengan tujuan perusahaan sebagai wajib pajak yang berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin karena dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis perusahaan (Suandy, 2011:1). Kondisi tersebut yang mendorong perusahaan sebagai wajib pajak badan melakukan minimalisasi biaya pajaknya. Self assessment merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang dilakukan di Indonesia. Cara kerja self assessment adalah dengan memberikan kewenangan kepada wajib pajak orang pribadi dan badan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) dan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pajak (Burton dan Ilyas, 2010). Menurut Mulyani (2014) dalam Dharma dan Ardiana (2016) bahwa secara tidak langsung, self assessment system yang diterapkan dalam pemungutan pajak akan menimbulkan peluang terjadinya penyelewengan dan pelanggaran. Penyelewengan dan pelanggaran tersebut merupakan salah satu tindakan penghindaran pajak. Fenomena penghindaran pajak di Indonesia dapat dilihat dari besarnya rasio pajak (tax ratio). Tax ratio menunjukkan apakah kemampuan pemerintah mengumpulkan pendapatan negara yang berasal dari pajak sudah dilakukan secara maksimal atau upaya untuk memperoleh kembali PDB yang berasal dari masyarakat dalam bentuk pajak. Semakin tinggi rasio pajak suatu negara, makasemakin baik kinerja pemungutan pajak negara tersebut (Darmawan dan Sukartha, 2014). Rendahnya penerimaan pajak menyebabkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia hanya mencapai 10,3% dan merupakan rasio terendah di dunia yang rata-rata 15%. Pemerintah menargetkan tax ratio sebesar 10,9% pada tahun 2017 (id.beritasatu.com). Pajak adalah salah satu komponen biaya yang dapat mengurangi laba perusahaan. Jumlah pajak yang harus dibayarkan untuk kas negara, dipengaruhi oleh jumlah laba yang diperoleh perusahaan selama satu tahun. Hal tersebut mengakibatkan munculnya tindakan yang diambil oleh perusahaan dengan tetap memaksimalkan keuntungannya, tetapi melakukan minimalisir terhadap biaya pajak yang harus dibayar (Ardyansyah, 2014). Kemampuan pemerintah yang masih terbatas dalam memenuhi target penerimaan pajak dirasa masih belum maksimal. Hal tersebut menyebabkan timbulnya pertanyaan apakah wajib pajak melakukan tindakan-tindakan berupa penghindaran pajak, penggelapan pajak, atau kurang tegasnya proses pemungutan yang dilakukan pemerintah kepada wajib pajak. 2 Beberapa tindakan yang dapat diambil perusahaan untuk meminimalkan biaya pajaknya adalah dengan tax planning atau agresivitas pajak. Menurut Frank, et al. (2009) dalam Suyanto dan Supramono (2012) agresivitas pajak perusahaan diartikan sebagai suatu langkah atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dengan merekayasa pendapatan kena pajak oleh perusahaan melalui tindakan perencanaan pajak, baik menggunakan cara yang legal (tax avoidance) ataupun cara ilegal (tax evasion). Penghindaran pajak tentunya akan berpengaruh terhadap berkurangnya penerimaan bagi kas negara, namun penghindaran pajak yang dilakukan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan karena dianggap sebagai suatu tindakan yang memanfaatkan kelonggaran yang ada dalam undangundang perpajakan (Puspita, 2014). Atas hal tersebut, pemerintah yang berwenang yakni Direktorat Jendral Pajak) tidak berhak memberikan sanksi hukum kepada perusahaan, walaupun tindakan mengurangi beban pajak tersebut dapat berpengaruh terhadap penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak (Mangoting, 1999). Semakin banyak celah yang digunakan untuk meminimalkan pajak yang dibayar, maka perusahaan dikatakan semakin agresif terhadap pajak (Gemilang, 2017). Menurut Zuber (2013) dalam Jessica (2014), dijelaskan bahwa terdapat grey area yang dapat digunakan untuk mendorong tindakan agresivitas pajak. Grey area tersebut muncul akibat dari adanya tax shelter, yakni suatu upaya meminimalkan pajak yang harus dibayar atas penghasilan yang diperoleh. Tindakan yang diambil perusahaan dalam bentuk agresivitas pajak untuk mengurangi beban pajaknya merupakan hal yang umum terjadi di kalangan perusahaanperusahaan di seluruh dunia (Lanis dan Richardson, 2011). Salah satu kasus agresivitas pajak yang terjadi di Indonesia adalah kasus Sinar Mas Group. Kasus ini bermula dari laporan masyarakat dan diperkuat temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pada januari 2014, disinyalir Sinar Mas Group telah melakukan penyelewengan pajak dana reboisasi melalui tiga anak perusahaannya atas lahan seluas 2.000 hektar sehingga merugikan Negara sebesar Rp. 181,7 miliar. Tiga anak perusahaan yang diduga melakukan pengemplangan pajak tersebut adalah PT. Wirakarya Sakti, PT. Rimba Hutani Mas dan PT. Tebo Multi Agro. Ketiga perusahaan milik sinar mas ini merupakan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang beroperasi di lima kabupaten di Jambi yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Batang Hari, Muaro Jambi Dan Tebo (Mustika, 2017). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi agresivitas pajak adalah pengungkapan informasi Corporate Social Responsibility (CSR). Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012 menyebutkan bahwa semua perusahaan selaku subjek hukum memiliki tanggungjawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR), perusahaan keluarga juga tidak lepas 3 dari tanggungjawab tersebut. CSR merupakan suatu konsep yang cukup baru dan telah menarik minat banyak peneliti. Menurut Andini (2016) Corporate Social Responsibility adalah suatu bentuk tanggungjawab sosial yang diberikan oleh organisasi dengan ruang lingkup yang cukup luas meliputi ekonomi, hukum, etika, dan harapan akan kepedulian organisasi terhadap masyarakat. CSR menjelaskan bahwa perusahaan memiliki tanggungjawab sosial baik itu kepada pihak internal maupun eksternal perusahaan yang terdiri atas konsumen, karyawan, investor, komunitas, lingkungan, dan segala aspek operasional perusahaan dengan tidak mengabaikan kemampuan yang dimiliki perusahaan. CSR telah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh perusahaan di dunia bisnis. Informasi-informasi yang disajikan oleh perusahaan diungkapkan melalui pengungkapan CSR. Pengungkapan informasi csr diartikan sebagai suatu proses dalam mengkomunikasikan efekefek sosial dan lingkungan sebagai akibat dari adanya tindakan ekonomi yang dilakukan perusahaan kepada masyarakat umum (Gray et. al., 1987 dalam Rosmasita, 2007). Pasal 66 ayat 2c Undang-undang No. 40 tahun 2007 menjelaskan bahwa semua perseroan wajib untuk melaporkan pelaksanaan tanggungjawab sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan tahunan (Jessica dan Toly, 2014). Peran CSR mengutamakan sebuah konsep bahwa perusahaan memberikan kompensasi dan jaminan kepada lingkungan dan masyarakat. Akibat dari adanya kompensasi tersebut, maka perusahaan secara langsung juga memberikan sinyal positif bagi para pemangku kepentingan, bahwa perusahaan telah berupaya memiliki itikad baik dan siap mempertanggung jawabkan segala bentuk dampak negatif yang mungkin timbul akibat dari aktivitas operasional perusahaan. Kondisi yang demikian akhirnya berpengaruh pada persepsi publik yang menganggap bahwa perusahaan telah melakukan berbagai usaha untuk mengatasi berbagai dampak yang timbul yang dapat merugikan masyarakan melalui berbagai macam kebijakan yang ditetapkan perusahaan (Hadi, 2011: 46). Perusahaan kemudian mengubah model pertanggungjawabannya melalui keberadaan konsep CSR. Pada awalnya pertanggungjawaban yang ditunjukkan perusahaan dilakukan hanya sebatas kepada stakeholders perusahaan yang bersangkutan (single bottom lines) dan kemudian berubah menjadi bentuk pertanggungjawaban triple bottom lines. Selain memberikan dampak positif kepada pihak internal yaitu perusahaan, atas pertanggungjawaban yang telah dilakukan, CSR juga harus mampu memberikan dampak positif dilihat dari pihak eksternal yaitu kondisi lingkungan dan sosial secara maksimal (Daniri, 2006 dalam Mumtahanah dan Septiani, 2017). Bentuk pertanggungjawaban triple bottom lines menyebabkan perusahaan dapat secara akuntabel memberikan informasi kepada masyarakat 4 bahwa tujuan utama perusahaan bukan hanya terfokus untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan sendiri, namun juga memberikan suatu imbas positif melalui peningkatan kondisi lingkungan dan sosial di sekitanya. Menurut Lanis dan Richardson (2012) agresivitas pajak dapat digolongkan sebagai aktivitas yang tidak bertanggungjawab secara sosial. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Watson (2011) yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki peringkat yang rendah dalam menerapkan CSR, dikategorikan sebagai perusahaan yang tidak memiliki tanggungjawab sosial, sehingga lebih berpeluang melakukan strategi pajak yang agresif, dibandingkan perusahaan yang memiliki kesadaran sosial. Besarnya kesadaran masing-masing perusahaan terkait penerapan CSR berbeda-beda satu sama lain. Semakin tinggi kepedulian perusahaan pada pentingnya CSR, maka kesadaran terhadap arti penting pajak bagi masyarakat akan semakin tinggi. Hubungan yang terjadi antara pengungkapan CSR dengan agresivitas pajak terlihat pada tujuan utama perusahaan untuk memperoleh keuntungan maksimum, dengan mengikutsertakan adanya tanggungjawab sosial dan lingkungan. Sehingga, semakin besar laba yang diperoleh perusahaan, maka akan semakin tinggi beban pajak tangguhan yang harus dibayarkan ke kas negara. Perusahaan yang melakukan agresivitas pajak, secara tidak langsung dianggap tidak membayarkan jumlah pajak sesungguhnya ke kas negara yang akan digunakan untuk menunjang perekonomian bagi masyarakat umum. Hal tersebut akan berdampak terhadap jumlah penerimaan negara yang diperoleh dari sektor perpajakan belum maksimal untuk pembangunan dan menyebabkan kerugian bagi masyarakat secara keseluruhan. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa, perusahaan yang melakukan agresivitas pajak disebut tidak bertanggung jawab secara sosial (Erle, 2008 dalam Jessica dan Toly, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Yoehana (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) maka semakin rendah agresivitas yang dilakukan perusahaan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lanis dan Richardson (2012), Pradipta dan Supriyadi (2015), serta Suprimarini dan Suprasto (2017) bahwa pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh negatif pada agresivitas pajak. Namun menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Jessica dan Toly (2014) mengungkapkan bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) tidak berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak. Kinerja perusahaan adalah salah satu faktor yang dapat berpengaruh pada agresivitas pajak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardyansah dan Zulaikha (2014) menggunakan lima jenis kinerja perusahaan sebagai variabel independen yaitu size, leverage, profitability, 5 capital intensity ratio, dan komisaris independen. Sedangkan Rohmansyah (2017) menggunakan empat variabel independen yang dapat digunakan untuk mengukur agresivitas pajak yaitu size, leverage, capital intensity ratio, dan kepemilikan manajerial. Pada penelitian ini hanya menggunakan tiga variabel independen yang diantaranya yaitu size, leverage, dan capital intensity ratio. Alasan peneliti menggunakan variabel ini karena masih terdapat hasil yang beragam dari penelitian sebelumnya. Ukuran perusahaan menggambarkan kestabilan dan kemampuan perusahaan dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya. Semakin besar ukuran suatu perusahaan, maka semakin tinggi kecenderungan untuk menjadi pusat perhatian pemerintah, sehingga akan menimbulkan suatu tindakan yang dilakukan oleh manajer, baik itu patuh (compliances) atau agresif (tax avoidance) dalam perpajakan (Kurniasih dan Sari, 2013). Jumlah aset yang dimiliki oleh perusahaan akan berpengaruh terhadap produktifitas dalam menjalankan kegiatan operasional, sehingga akan berpengaruh terhadap laba yang dihasilkan perusahaan. Laba yang didapatkan oleh perusahaan dengan jumlah aset yang besar, akan mempengaruhi jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan tersebut (Dharma dan Ardiana, 2016). Menurut Rodriguez dan Arias (2012) dalam Gemilang (2017), ukuran perusahaan dapat didefinisikan sebagai suatu skala untuk mengetahui besar kecilnya suatu perusahaan, yang salah satunya dapat digambarkan melalui besar kecilnya aset yang dimiliki perusahaan. Besar kecilnya ukuran suatu perusahaan, sangat bergantung pada aset yang dimiliki suatu perusahaan, dimana perusahaan yang besar cenderung memiliki aset yang besar. Terjadinya penyusutan pada aset perusahaan setiap tahunnya, dapat mengurangi jumlah laba bersih dan kemudian akan menyebabkan turunnya beban pajak perusahaan (Ardyansyah dan Zulaikha, 2014). Ukuran perusahaan dapat diklasifikasikan menurut berbagai cara seperti total aset perusahaan, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah penjualan. Terdapat 3 ukuran perusahaan pada umumnya yaitu large firm, medium firm, dan small firm (Machfoedz, 1994 dalam Kurniasih dan Sari, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih dan Sari (2013) menyatakan bahwa size berpengaruh negatif terhadap perencanaan pajak. Hasil ini sejalan dengan Ardyansyah dan Zulaikha (2014) yang menyatakan bahwa size memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ETR dengan arah negatif. Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh Mustika (2017) memperoleh hasil bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh pada agresivitas pajak. Selain hal di atas, adanya indikasi perusahaan dalam melakukan tindakan menghindari pajak dapat dilihat dari kebijakan pendanaan yang diambil perusahaan. Salah satu kebijakan pendanaan adalah leverage. Leverage adalah rasio yang menunjukkan besarnya modal yang 6 diperoleh dari pihak eksternal yang manfaatkan oleh perusahaan sebagai biaya untuk melakukan berbagai kegiatan operasionalnya. Rasio leverage menunjukkan hasil perhitungan mengenai seberapa besar aset yang dimiliki perusahaan yang bersumber dari modal pinjaman tersebut. Selain itu, pengertian leverage menurut Kieso et al, 2009:76, adalah suatu ukuran persentase total aset perusahaan yang diperoleh melalui kreditur. Perusahaan dengan sumber dana yang tinggi, namun berasal dari pinjaman, maka akan berdampak pada kenaikan beban bunga yang harus dibayarkan perusahaan, sehingga akan mengurangi laba perusahaan. Berkurangnya laba perusahaan akibat dari kenaikan beban bunga tersebut, menyebabkan berkurangnya pajak terutang yang dimiliki perusahaan dalam satu periode berjalan. Apabila tingkat leverage di suatu perusahaan tergolong tinggi, maka laba yang diperoleh perusahaan pada periode tersebut juga akan semakin rendah, dan akan berdampak pada beban pajak yang ikut mengalami penurunan (Menurut Brigham & Houston, 2010 dalam Adisamartha dan Noviari, 2015). Dengan kata lain, leverage adalah penambahan jumlah hutang perusahaan yang berakibat pada timbulnya pos biaya tambahan berupa bunga dan dapat mengurangi beban pajak penghasilan Wajib Pajak Badan (Kurniasih dan Sari, 2013). Teori akuntansi positif dengan menggunakan hipotesis debt covenant menyatakan bahwa semakin tinggi hubungan yang terjalin antara perusahaan dengan pihak ketiga yaitu kreditur, maka perusahaan memiliki insentif yang lebih baik untuk menjaga laba periode berjalan dengan tujuan agar terciptanya stabilitas kinerja perusahaan yang dapat digambarkan melalui laba dalam laporan keuangan. Semakin tinggi kepentingan perusahaan dengan kreditur, maka pengawasan yang dilakukan oleh kreditur kepada perusahaan akan semakin ketat dengan alasan kelangsungan pinjaman modal eksternal. Oleh sebab itu, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi cenderung tidak melakukan tindakan agresivitas pajak karena diharapkan mampu menjaga stabilitas laba periode berjalan, dengan cara mengalokasikan laba periode mendatang ke laba periode berjalan (Gemilang, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Tiaras dan Henryanto Wijaya (2015), serta Arianandini dan Rahmantha (2018) memperoleh hasil bahwa leverage tidak berpengaruh signifikan pada agresivitas pajak. Namun, hasil yang berbeda diperoleh oleh Suyanto dan Supramono (2012) serta Fadli (2016) yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh terhadap agresivitas pajak. Pengurangan beban pajak perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai tindakan, salah satunya dalam proporsi aset tetap perusahaan. Proporsi aset tetap diukur dengan menggunakan capital intensity ratio. Capital intensity ratio diartikan sebagai jumlah modal perusahaan yang tertanam dalam bentuk aktiva tetap serta besarnya persediaan yang dimiliki perusahaan (Putra dan Merkusiwati, 2016). Kondisi tersebut akan menimbulkan beban-beban bagi perusahaan 7 dari adanya persediaan tersebut. Dengan adanya beban-beban yang timbul dari persediaan, maka akan menurunkan jumlah laba bersih perusahaan, dan akan berpengaruh pada rendahnya beban pajak terhutang yang harus dibayar perusahaan. Di satu sisi, berbagai upaya akan dilakukan manajer dengan tujuan mengurangi munculnya beban tambahan akibat dari jumlah persediaan persediaan, agar tidak berdampak pada berkurangnya laba perusahaan. Namun di sisi lain, manajer akan memaksimalkan biaya tambahan yang muncul dari persediaan tersebut, untuk dapat meminimalisir beban pajak yang harus dibayar (Putri dan Lautania, 2016). Menurut Rodriguez dan Arias (2012) dalam Gemilang (2017), pajak terhutang yang dimiliki perusahaan akan berkurang karena adanya pengaruh dari aset tetap yang dimiliki perusahaan sebagai akibat dari adanya perhitungan depresiasi atas aset tetap tersebut. Oleh karena itu, perusahaan dengan jumlah aset tetap yang tinggi cenderung memiliki beban pajak yang lebih kecil, dibandingkan dengan perusahaan dengan jumlah aset tetap yang rendah. Beberapa penelitian yang menguji pengaruh capital intensity ratio pada agresivitas pajak dilakukan oleh Surbakti (2012) dan Sutatik dkk. (2015) menemukan bahwa capital intensity ratio berpengaruh positif pada penghindaran pajak. yang memberikan hasil bahwa capital intensity ratio berpengaruh Nugraha dan Meiranto (2015), Putra dan Merkusiwati (2016) yang menyatakan bahwa capital intensity ratio tidak berpengaruh pada agresivitas pajak. Agresivitas pajak pada intinya merupakan praktik yang dilakukan oleh manajemen perusahaan dalam rangka menekan tingkat pengeluaran pajak dengan menekan jumlah pendapatan dari perusahaan tersebut. Praktik ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan memperkecil pendapatan perusahaan, atau memperbesar pengeluaran. Pada intinya, kedua praktik baik penurunan pendapatan maupun peningkatan pengeluaran dilakukan agar selisih antara pendapatan dan pengeluaran menjadi semakin kecil sehingga beban pajak yang harus dikeluarkan oleh perusaha menjadi semakin kecil. Praktek CSR banyak dipergunakan oleh perusahaan untuk memanipulasi laba, karenanya laba perusahaan menjadi semakin kecil sehingga terjadi agresivitas pajak. Praktek ini dalam berbagai literatur penelitian telah terbukti banyak dilakukan oleh perusahaanperusahaan yang dimiliki oleh keluarga, dimana dewan direksi maupun komisaris perusahaan adalah anggota keluarga dari pemilik perusahaan. Selain itu, kepemilikan keluarga memiliki dorongan untuk melakukan pengawasan yang lebih baik sehingga menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik pula (Anderson dan Reeb, 2003; Lee, 2006; Villalonga dan Amit, 2006; Chrisman dkk., 2007 di Amerika Serikat; Kowalewski dkk., 2010 di Polandia; Mishra dkk., 2007 di Norwegia; Yammeesri dan Lodh, 8 2004 di Thailand; Piesse dkk., 2007; dan Chu, 2011 di Taiwan dalam Muttakin dkk., 2014). Namun, beberapa penelitian terdahulu juga menemukan bahwa kepemilikan keluarga memiliki dampak negatif pada kinerja dan perusahaan keluarga memiliki kinerja lebih buruk daripada pesaing mereka yang merupakan perusahaan nonkeluarga (Gursoy dan Aydogan, 2002 di Turki; Cronqvist dan Nilsson, 2003 dan Oreland, 2007 di Swedia dalam Muttakin dkk., 2014). Menurut mereka, pemilik yang merupakan anggota keluarga kurang termotivasi dalam pengawasan dan dengan demikian mengambil alih pemegang saham minoritas yang mengakibatkan kinerja perusahaan yang buruk. Penelitian yang dilakukan oleh Mutakkin dkk. (2014) menyebutkan bahwa terdapat pengaruh positif antara perusahaan kepemilikan keluarga terhadap kinerja perusahaan, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan keluarga memiliki kinerja yang lebih baik daripada perusahaan kepemilikan nonkeluarga. Akibatnya, dengan adanya kepemilikan keluarga yang dapat meningkatkan kinerja keuangan suatu perusahaan, maka akan berdampak pula pada peningkatan tindakan agresivitas pajak, dengan tujuan meminimalisir beban pajak yang harus dibayarkan perusahaan. Oleh karena adanya inkonsistensi hasil yang diperoleh peneliti-peneliti terdahulu, maka peneliti memasukkan kepemilikan keluarga sebagai variabel moderasi, untuk memperkuat atau memperlemah pengaruh Corporate Social and Responsibility dan kinerja perusahaan pada agresivitas pajak. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah disampaikan di atas, pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh Corporate Social Responsibility pada agresivitas pajak? 2. Bagaimana pengaruh kinerja perusahaan pada agresivitas pajak? 3. Bagaimana pengaruh Corporate Social Responsibility pada agresivitas pajak dengan kepemilikan keluarga sebagai variabel pemoderasi? 4. Bagaimana pengaruh kinerja perusahaan pada agresivitas pajak dengan kepemilikan keluarga sebagai variabel pemoderasi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalah yang telah diuraikan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis pengaruh Corporate Social Responsibility pada agresivitas pajak. 2. Untuk menganalisis pengaruh kinerja perusahaan pada agresivitas pajak. 9 3. Untuk menganalisis pengaruh Corporate Social Responsibility pada agresivitas pajak dengan kepemilikan keluarga sebagai variabel pemoderasi. 4. Untuk menganalisis pengaruh kinerja perusahaan pada agresivitas pajak dengan kepemilikan keluarga sebagai variabel pemoderasi. 1.4 Manfaat Penelitian 10