BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Stakeholder Saat ini filosofi pengelolaan organisasi entitas bisnis yang didasarkan pada teori keagenan (agency theory) yaitu tanggung jawab perusahaan yang hanya berorientasi kepada pengelola (agent) dan pemilik (principle), mengalami perubahan kepada pandangan manajemen modern yang didasarkan pada teori stakeholder. Teori stakeholder menjelaskan terdapatnya perluasan tanggung jawab perusahaan dengan dasar pemikiran bahwa pencapaian tujuan perusahaan berhubungan erat dengan pola (setting) lingkungan sosial dimana perusahaan berada (Kholis dan Maksum, 2003). Stakeholder mengacu pada setiap individu atau kelompok yang mempertahankan andil/kepentingannya di sebuah organisasi sama seperti cara shareholder yang memiliki saham/obligasi di organisasi tersebut (Fassin, 2008). Setiap individu atau kelompok yang dimaksud termasuk karyawan, konsumen, pemasok, pemodal, masyarakat, badan pemerintah, asosiasi perdagangan, serikat buruh, bahkan pesaing bisa dianggap sebagai stakeholder dilihat dari kemampuan pesaing tersebut untuk mempengaruhi perusahaan. Teori Stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (Chariri, 2008). Menurut Wikipedia, Teori Stakeholder 11 diartikan sebagai: “a theory of organizational management and business ethics that addresses morals and values in managing an organization”, atau dengan kata lain teori stakeholder adalah teori etika manajemen dan bisnis organisasi yang membahas moral dan nilai-nilai dalam mengelola organisasi. Menurut teori stakeholder, meningkatkan CSR membuat perusahaan lebih menarik bagi konsumen karena itu CSR harus dilakukan oleh semua perusahaan (Cheers, 2011 dalam Yoehana, 2013). 2.1.2 Teori Legitimasi Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan tempat perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan teori legitimasi yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Teori legitimasi menyatakan bahwa organisasi harus secara terusmenerus mencoba untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan batasan dan norma-norma masyarakat (Rustiarini, 2010). Perusahaan perlu memiliki legitimasi atau pengakuan untuk bisa menjalankan usahanya. Dowling dan Preffer (1975) dalam Chariri (2008) menjelaskan bahwa terdapat dua aspek agar perusahaan memperoleh dukungan legitimasi. Pertama, aktivitas organisasi harus sesuai dengan sistem nilai di 12 masyarakat, dan kedua, pelaporan aktivitas perusahaan juga hendaknya mencerminkan nilai sosial. Hidayati dan Murni (2009) menyatakan bahwa untuk bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya, perusahaan harus mengupayakan legitimasi atau pengakuan baik dari investor, kreditor, konsumen, pemerintah maupun masyarakat sekitar. Peruhasaan dapat memperoleh legitimasi dari investor dengan senantiasa meningkatkan return saham bagi investor. Perusahaan dapat memperoleh legitimasi dari kreditor dengan meningkatkan kemampuannya mengembalikan hutang. Perusahaan dapat memperoleh legitimasi dari konsumen dengan senantiasa meningkatkan mutu produk dan layanan. Perusahaan dapat memperoleh legitimasi dari pemerintah dengan mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Perusahaan dapat memperoleh legitimasi dari masyarakat dengan melakukan aktivitas pertanggungjawaban sosial. Cheers (2011) dalam Yoehana (2013) menambahkan bahwa perusahaan besar akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada perusahaan kecil. 2.1.3 Profitabilitas Setiap perusahaan akan melihat kinerja perusahaan yang dijalankan oleh manajemennya pada setiap akhir suatu periode. Salah satu cara yang terpenting untuk melihat kinerja manajemen adalah dari laporan keuangan yang telah disusun pada periode yang bersangkutan. Dalam laporan keuangan akan terlihat aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam suatu periode tertentu. Aktivitas yang 13 sudah dilakukan tersebut dituangkan dalam angka-angka, baik dalam bentuk mata uang rupiah maupun mata uang asing. Angka-angka ini nantinya dapat dibandingkan untuk memperoleh suatu rasio keuangan yang dapat digunakan untuk menilai kinerja manajemen dalam periode tersebut. Menurut James C. van Horne dalam Kasmir (2010:93), rasio keuangan merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dari hasil rasio ini akan terlihat kondisi kesehatan perusahaan yang bersangkutan. Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan/laba (Wiagustini, 2010:76). Profitabilitas juga menunjukkan ukuran efektifitas pengelolaan manajemen perusahaan. Kemampuan memperoleh laba dapat diukur dari modal sendiri maupun dari seluruh dana yang diinvestasikan ke dalam perusahaan. Rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Terdapat beberapa jenis rasio profitabilitas (Wiagustini, 2010:81), antara lain: 1) Profit Margin Menurut Kasmir (2010:104), profit margin merupakan ukuran kemampuan manajemen untuk mengendalikan biaya operasional dalam hubungannya dengan penjualan. Rasio profit margin dapat pula menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menetapkan harga jual suatu produk, relatif terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk tersebut. 14 2) Return On Assets/Return On Investment (ROA/ROI) Menurut Kasmir (2010:107), ROA adalah rasio keuntungan bersih setelah pajak terhadap jumlah asset secara keseluruhan. Rasio ini merupakan suatu ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian (%) dari asset yang dimiliki. Apabila rasio ini tinggi berarti menujukkan adanya efisiensi yang dilakukan oleh pihak manejemen. 3) Return On Equity (ROE) Menurut Kasmir (2010:112), ROE merupakan rasio untuk mengukur lalu bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini menunjukkan efisiensi penggunaan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini, semaki baik. Artinya posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya. 2.1.4 Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Responsibility (CSR) pertama kali muncul sejak Howard R. Bowen menerbitkan bukunya berjudul “Social Responsibilitity of the Businessman” pada tahun 1953. Ide dasar CSR yang dikemukakan Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaannya beroperasi (Susiloadi, 2008). Sejak pertengahan tahun1990-an gagasan CSR telah dikaitkan dengan hal 'corporate citizenship', 'keberlanjutan perusahaan' dan 'triple bottom line'. Istilah corporate citizenship menggambarkan keterlibatan perusahaan dengan stakeholder daripada pemegang saham saja. Keberlanjutan perusahaan mengacu 15 pada perilaku perusahaan yang mungkin mempengaruhi perkembangan berkelanjutan. Triple bottom line mengacu pada keseimbangan dan kenaikan yang sama dalam kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan dari sebuah bisnis (Bichta, 2003 dalam Yoehana, 2013). Istilah triple bottom line dipopulerkan oleh John Elkington melalui bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness” pada tahun 1997. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit, perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Wibisono, 2007). Aspek-aspek dalam triple bottom line antara lain sebagai berikut: 1) Profit (Laba) Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Tidak heran jika fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit yang tinggi atau menaikkan harga saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat dilakukan untuk menaikkan profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi 16 biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. 2) People (Masyarakat) Masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan masyakarat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Perusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat dan lingkungan, perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Selain itu perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat sekitar, maka perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Jadi, jika keberlangsungan perusahaan ingin tetap terjaga perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab yang bersifat sosial. 3) Planet (Lingkungan) Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan, tetapi sayangnya sebagian besar perusahaan masih kurang peduli pada lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan antara lain karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu adalah hal yang wajar, maka banyak pelaku industri yang hanya mementingkan bagaimana menghasilkan laba yang tinggi tanpa melakukan upaya untuk melestarikan lingkungan. Jika perusahaan melakukan upaya untuk melestarikan lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan 17 yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, serta ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya. Beberapa faktor lain mempengaruhi perkembangan konsep CSR di era tahun 1990-an hingga sekarang. Salah satu faktor tersebut adalah adanya perubahan orientasi CSR dari suatu kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi kewajiban perusahaan yang tidak memiliki kaitan dengan strategi dan pencapaian tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan strategis yang memiliki keterkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka panjang (Solihin, 2009:32). Heal (2004) mengemukakan CSR adalah bagian penting dalam strategi perusahaan dimana terjadi ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial. CSR merupakan suatu bentuk kepedulian sosial sebuah perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi eksternal dan publik. Kondisi dunia yang tidak menentu seperti terjadinya global warming, kemiskinan yang semakin meningkat serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk melakukan tanggung jawabnya. CSR juga dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta lingkungan. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Pengungkapan CSR telah diatur dalam undang-undang di Indonesia, oleh 18 karenanya banyak perusahaan yang melakukan pengungkapan mengenai CSR dalam laporan tahunan walaupun tidak diwajibkan. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata, melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan. Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (Siregar, 2007 dalam Yoehana, 2013). Implementasi CSR merupakan perwujudan komitmen yang dibangun oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Ada banyak penafsiran tentang CSR. Menurut Baker (2003), CSR adalah tentang bagaimana perusahaan mengelola proses bisnis untuk menghasilkan dampak positif secara keseluruhan pada masyarakat. Sementara CSR menurut Wikipedia Indonesia adalah “suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (bukan hanya) perusahaan adalah memiliki tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkunagn dalam segala aspek operasional.” Menurut Wibisono (2007), ada 10 keuntungan yang dapat diperoleh dalam melakukan CSR, yaitu: mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan image perusahaan, layak mendapatkan social license to operate, mereduksi resiko bisnis perusahaan, melebarkan akses sumber daya, membentangkan akses menuju pasar, mereduksi biaya, memperbaiki hubungan dengan stakeholder, memperbaiki hubungan dengan pemerintah, meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan, serta peluang mendapatkan penghargaan. 19 2.1.5 Pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility Disclosure) Pengungkapan CSR adalah bentuk pengungkapan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sosial masyarakat tempat perusahaan tersebut berada dan beroperasi, yang dilakukan secara transparan dan terbuka dengan memperhatikan nilai-nilai moral yang berlaku. Menurut Pradnyadari (2015), pengungkapan atau disclosure diartikan sebagai sebuah informasi yang dapat diberikan kepada pihak-pihak yang memerlukan informasi tersebut dan informasi tersebut harus bermanfaat, jika tidak bermanfaat tujuan dari pengungkapan tersebut tidak akan tercapai. Menurut Mathews (1995) dalam Yoehana (2013), pengungkapan CSR yang sering disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, atau social accounting, merupakan proses mengkomunikasikan dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Pengungkapan CSR perusahaan melalui berbagai macam media dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada para stakeholder dan juga untuk menjaga reputasi perusahaan. Dengan mengomunikasikan tanggung jawab sosial perusahaan, maka semakin banyak masyarakat yang mengetahui investasi sosial perusahaan, sehingga tingkat risiko perusahaan menghadapi gejolak sosial akan menurun. Chariri (2008) menyatakan bahwa ada berbagai motivasi yang mendorong manajer secara sukarela mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan. Motivasi tersebut antara lain, keinginan untuk mematuhi persyaratan yang ada dalam undang-undang, pertimbangan rasionalitas ekonomi (economic rationality), 20 keyakinan dalam proses akuntabilitas untuk melaporkan, keinginan untuk mematuhi persyaratan peminjaman, untuk mematuhi harapan masayarakat dalam “kontrak sosial”, sebagai konsekuensi dari ancaman terhadap legitimasi perusahaan, untuk memanajemen kelompok stakeholder tertentu yang mempunyai kekuatan, untuk menarik dana investasi, untuk mematuhi persyaratan tertentu, serta untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu dengan harapan memperbaiki image perusahaan. Pelaksanaan dan pengungkapan CSR sudah mulai dilakukan di Indonesia seiring telah disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroann Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, berbunyi sebagai berikut: 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 21 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya pasal 25 (b) Undang-Undang Penanaman Modal menyatakan bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Terdapat beberapa standar pelaporan untuk pengimplementasian dan pengungkapan CSR yang dikenal di dunia, salah satunya adalah G3 Global Reporting yang merupakan guidelines yang paling banyak dipakai saat ini. Global Reporting Initiatives (GRI) yang berdiri tahun 1997 adalah inisiatif antara Coalition for Environmentally Responsible Economics (CERES) dengan United Nation Environment Progamme (UNEP). G3 diterbitkan pada tahun 2006 dan merupakan pengembangan dari G2. G3 guidelines memberikan petunjuk yang universal mengenai laporan yang berkelanjutan. G3 guidelines dapat diterapkan baik di perusahaan kecil, menengah, maupun besar serta dapat diterapkan di sektor umum. G3 guidelines terdiri dari 6 aspek, yang terdiri dari 84 komponen. Aspek tersebut diantaranya adalah economic, environmental, labor practices, human right, society, dan product responsibility. Komponen dari masing-masing aspek dapat dilihat pada Lampiran 1. 2.1.6 Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur oleh Undang-Undang PPh, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun 22 pajak. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak (Undang-Undang No. 36, 2008). Objek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk kegiatan konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk penghasilan dari pekerjaan, penghasilan dari usaha atau kegiatan, penghasilan dari modal atau penggunaan harta, dan penghasilan lainnya (Undang-Undang No. 36, 2008). 2.1.7 Wajib Pajak Badan Sesuai dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, wajib pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. 23 Pengertian “Badan” menurut Undang-Undang KUP pasal 1 ayat (3), adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 2.1.8 Agresivitas Pajak Pembayaran pajak perusahaan seharusnya memiliki implikasi bagi masyarakat dan sosial karena membentuk fungsi yang penting dalam membantu mendanai penyediaan barang publik dalam masyarakat, termasuk hal-hal seperti pendidikan, pertahanan nasional, kesehatan masyarakat, transportasi umum, dan penegakan hukum (Friese, et al. 2008 dalam Lanis dan Richardson, 2012). Namun perusahaan umumnya menganggap pajak sebagai sebuah tambahan beban biaya yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan, oleh karena itu perusahaan diprediksi melakukan tindakan yang dapat mengurangi beban pajak perusahaan. Pajak adalah faktor pendorong dalam banyak pengambilan keputusan perusahaan, karena itu tindakan manajerial yang dirancang semata-mata untuk meminimalkan kewajiban pajak perusahaan diduga menjadi fitur yang semakin penting dari aktivitas perusahaan (Desai dan Dharmapala, 2005). Tax planning adalah suatu peralatan dan sebagai tahap awal dari manajemen pajak (tax 24 management) untuk mengurangi beban pajak (Pohan, 2011:3). Secara definitif tax management memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax planning. Tax planning atau tax management memiliki banyak pengertian menurut para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Lyons Susan M. dalam bukunya Internasional Tax Glossary mengutarakan bahwa, perencanaan pajak (tax planning) adalah pengaturan yang dilakukan oleh barang siapa yang melakukan usaha perseorangan atau bisnis, yang tujuannya untuk meminimalisir kewajiban pajaknya. 2) Dr. Mohammad Zain dalam bukunya yang berjudul Manajemen Perpajakan mendefinisikan bahwa, secara garis besar perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal itu dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakkan maupun secara komersial. 3) Sophar Lumbantoruan dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Pajak mengemukakan secara umum bahwa, manajemen pajak (tax management) adalah strategi untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. 4) John Hutagaol dalam bukunya yang berjudul Perpajakan Isu-Isu Kontemporer mengartikan bahwa, manajemen 25 pajak adalah proses perencanaan, implementasi serta pengendalian kewajiban dan hak di bidang perpajakan sehingga pemenuhannya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa, manajemen pajak (tax management) adalah upaya menyeluruh yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha melalui proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kewajiban dan hak perpajakannya agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan dari orang pribadi, perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan efektif, sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi perusahaan dalam artian peningkatan laba. Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku, agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimum (Pohan, 2011:4). Selain perencanaan pajak, wajib pajak juga dapat melakukan perlawanan pajak. Menurut R. Santoso Brotodiharjo dalam Pohan (2011:13), pada dasarnya terdapat dua bentuk perlawanan pajak yang dilakukan, yakni perlawanan aktif dan perlawanan pasif. Dalam kaitannya dengan perlawanan aktif, ada beberapa modus yang biasanya digunakan wajib pajak untuk menghindari pajak yaitu: 1) Tax avoidance (penghindaran pajak) adalah upaya penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang 26 terdapat dalam Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan itu sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. 2) Tax evasion (penggelapan/penyelundupan pajak) adalah upaya penghindaran pajak yang dilakukan secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, dimana metode dan teknik yang digunakan tidak dalam koridor Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan, sehingga tidak aman bagi wajib pajak. 3) Tax saving (penghematan pajak) adalah upaya wajib pajak mengelakkan utang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produkproduk yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar. Menurut Frank, et al. (2009) tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mengurangi pendapatan kena pajak melalui perencanaan pajak (tax planning) baik secara legal (tax avoidance) maupun ilegal (tax evasion) disebut dengan agresivitas pajak perusahaan. Walaupun tidak semua tindakan perencanaan pajak melanggar hukum, akan tetapi semakin banyak celah yang digunakan maka perusahaan tersebut dianggap semakin agresif. Sedikit berbeda dengan pendapat Frank, et al. (2009), Guenther, et al. (2013) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai sejauh mana perusahaan mengambil posisi pajak yang mungkin tidak akan ditentang oleh pemerintah. Penghindaran pajak berbeda dari agresivitas pajak dimana perusahaan dapat 27 menurunkan pembayaran pajak mereka saat masih mengambil posisi pajak tersebut. Misalnya, dengan membuka anak perusahaan di negara yang tarif pajaknya rendah atau mengambil keuntungan dari pemotongan depresiasi yang dipercepat, akan memungkinkan perusahaan untuk menghindari membayar pajak penghasilan dengan cara yang umumnya tidak akan ditentang oleh pemerintah. Hal itu tidak akan membuat perusahaan berada di posisi dimana perusahaan agresif terhadap pajak. Di sisi lain, jika perusahaan mengurangi pembayaran pajak mereka dengan terlibat dalam kegiatan yang tidak mungkin untuk dibenarkan, mereka menunjukkan agresivitas pajak. Hlaing (2012) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai semua kegiatan perencanaan pajak perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat pajak yang efektif. Slemrod (2004) berpendapat bahwa agresivitas pajak merupakan kegiatan yang lebih spesifik, yaitu mencakup transaksi yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan kewajiban pajak perusahaan. Balakrishnan, et. al. (2012) menyatakan bahwa perusahaan yang agresif terhadap pajak ditandai dengan transparansi yang lebih rendah. Beberapa peneliti seperti Balakrishnan, et al. (2012), serta Lanis dan Richardson (2012) menggunakan Effective Tax Rate (ETR) untuk mengukur agresivitas pajak. Proksi ETR adalah proksi yang paling banyak digunakan dalam literatur, dan nilai yang rendah dari ETR dapat menjadi indikator adanya agresivitas pajak. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang menghindari pajak perusahaan dengan mengurangi penghasilan kena pajak mereka dengan tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang lebih rendah. 28 Jadi, apabila suatu perusahaan memiliki agresivitas pajak yang tinggi maka perusahaan tersebut akan memiliki nilai ETR yang rendah. Dengan demikian, ETR digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur agresivitas pajak. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Agresivitas Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan/laba (Wiagustini, 2010:76). Kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba sangat dipengaruhi oleh konsumen. Jika konsumen tidak memiliki minat terhadap produk yang diproduksi perusahaan, perusahaan akan mendapat laba yang kecil atau bahkan merugi. Perusahaan tidak hanya perlu meningkatkan kualitas produk untuk bisa menarik minat konsumen, tetapi juga perlu untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap konsumen. Hal ini sesuai dengan teori stakeholder yang menyatakan bahwa perusahaan hendaknya mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkena dampak dari aktivitas perusahaan dalam menjalankan usahanya. Sama halnya dengan tanggung jawab perusahaan dalam membayar pajak. Perusahaan yang membayar pajak dengan jujur sesuai dengan besarnya laba perusahaan, secara tidak langsung telah berkontribusi terhadap kepentingan umum. Hal ini dapat meningkatkan image perusahaan di mata para stakeholder, sehingga pada akhirnya mampu membantu meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba atau profitabilitas perusahaan. Hal ini juga sejalan dengan teori legitimasi yang menyatakan bahwa perusahaan hendaknya senantiasa selalu 29 mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran dalam melakukan aktivitasnya, sehingga mampu mempertahankan legitimasi perusahaan dari konsumen, pemerintah, maupun para pemangku kepentingan lainnya. Mustikasari (2007) membuktikan dalam penelitiannya bahwa profitabilitas mempengaruhi agresivitas pajak perusahaan. Perusahaan dengan profitabilitas tinggi cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur daripada perusahaan yang mempunyai profitabilitas rendah. Hasil yang sama juga diperoleh Noor (2010) dan Agusti (2014), yang dalam penelitiannya membuktikan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kemampuan menghasilkan laba perusahaan dengan tindakan agresif perusahaan terhadap pajak. Perusahaan yang mampu menghasilkan laba yang tinggi, cenderung tidak melakukan tindakan agresivitas pajak. Hal ini disebabkan oleh perusahaan yang tidak melakukan tindakan efisiensi dalam pembayaran pajaknya. H1 : Profitabilitas berpengaruh terhadap agresivitas Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. 2.2.2 Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Agresivitas Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Lingkungan dan masyarakat cukup mempengaruhi kinerja suatu perusahaan. Salah satu bentuk hubungan komunikasi antara lingkungan masyarakat dengan perusahaan adalah melalui tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR, sesuai dengan teori legitimasi (Pradnyadari, 2015). Legitimasi menuntut agar perusahaan mampu memenuhi harapan masyarakat melalui pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan serta pengungkapannya. 30 Salah satu bentuk kewajiban sosial perusahaan adalah membayar pajak. Dengan membayar pajak, perusahaan turut serta berkontribusi dalam melakukan pembangunan nasional. Namun apabila perusahaan menghindari pembayaran pajak yang seharusnya, maka perusahaan dapat dikenakan sanksi. Pembayaran pajak merupakan salah satu bentuk penerapan teori legitimasi untuk mendapatkan simpati masyarakat dan untuk menumbuhkan image positif bahwa perusahaan telah melakukan tanggung jawab sosialnya dengan baik (Pradnyadari, 2015). Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan dalam melakukan kegiatan operasinya harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam aktivitas perusahaan. Kepentingan semua pihak yang dimaksud disini termasuk kepentingan masyarakat, pemerintah, konsumen, pemasok, dan lain sebagainya. Tindakan penghindaran pajak pada dasarnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan memiliki dampak negatif terhadap masyarakat karena mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam menyediakan barang publik (Lanis dan Richardson, 2012). Watson (2011) menambahkan bahwa dampak buruk yang diperoleh perusahaan karena melanggar norma sosial adalah jumlah penjualan yang turun karena masyarakat yang memahami pentingnya CSR memboikot produk perusahaan dan cenderung enggan untuk membeli produk tersebut. Yoehana (2013) menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa pengungkapan CSR memiliki hubungan negatif terhadap agresivitas pajak, dimana semakin luas pengungkapan CSR suatu perusahaan maka perusahaan tersebut tidak agresif terhadap pajak. Hasil serupa juga ditunjukkan dalam penelitian Pradnyadari (2015) dan Purwanggono (2015), yang menunjukkan bahwa 31 pengungkapan CSR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap agresivitas pajak. Perusahaan dengan agresivitas pajak yang rendah, akan mengungkapkan CSR yang lebih luas. H2 : Pengungkapan CSR berpengaruh terhadap agresivitas Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. 32