BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Stakeholder
Saat ini filosofi pengelolaan organisasi entitas bisnis yang didasarkan pada
teori keagenan (agency theory) yaitu tanggung jawab perusahaan yang hanya
berorientasi kepada pengelola (agent) dan pemilik (principle), mengalami
perubahan kepada pandangan manajemen modern yang didasarkan pada teori
stakeholder. Teori stakeholder menjelaskan terdapatnya perluasan tanggung
jawab perusahaan dengan dasar pemikiran bahwa pencapaian tujuan perusahaan
berhubungan erat dengan pola (setting) lingkungan sosial dimana perusahaan
berada (Kholis dan Maksum, 2003).
Stakeholder mengacu pada setiap individu atau kelompok yang
mempertahankan andil/kepentingannya di sebuah organisasi sama seperti cara
shareholder yang memiliki saham/obligasi di organisasi tersebut (Fassin, 2008).
Setiap individu atau kelompok yang dimaksud termasuk karyawan, konsumen,
pemasok, pemodal, masyarakat, badan pemerintah, asosiasi perdagangan, serikat
buruh, bahkan pesaing bisa dianggap sebagai stakeholder dilihat dari kemampuan
pesaing tersebut untuk mempengaruhi perusahaan.
Teori Stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang
hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat
bagi stakeholdernya (Chariri, 2008). Menurut Wikipedia, Teori Stakeholder
11
diartikan sebagai: “a theory of organizational management and business ethics
that addresses morals and values in managing an organization”, atau dengan kata
lain teori stakeholder adalah teori etika manajemen dan bisnis organisasi yang
membahas moral dan nilai-nilai dalam mengelola organisasi. Menurut teori
stakeholder, meningkatkan CSR membuat perusahaan lebih menarik bagi
konsumen karena itu CSR harus dilakukan oleh semua perusahaan (Cheers, 2011
dalam Yoehana, 2013).
2.1.2 Teori Legitimasi
Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan
juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan
tempat perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan teori legitimasi yang
menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk
melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan
menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan
perusahaan. Teori legitimasi menyatakan bahwa organisasi harus secara terusmenerus mencoba untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai
dengan batasan dan norma-norma masyarakat (Rustiarini, 2010).
Perusahaan perlu memiliki legitimasi atau pengakuan untuk bisa
menjalankan usahanya. Dowling dan Preffer (1975) dalam Chariri (2008)
menjelaskan bahwa terdapat dua aspek agar perusahaan memperoleh dukungan
legitimasi. Pertama, aktivitas organisasi harus sesuai dengan sistem nilai di
12
masyarakat, dan kedua, pelaporan aktivitas perusahaan juga hendaknya
mencerminkan nilai sosial.
Hidayati
dan
Murni
(2009)
menyatakan
bahwa
untuk
bisa
mempertahankan kelangsungan hidupnya, perusahaan harus mengupayakan
legitimasi atau pengakuan baik dari investor, kreditor, konsumen, pemerintah
maupun masyarakat sekitar. Peruhasaan dapat memperoleh legitimasi dari
investor dengan senantiasa meningkatkan return saham bagi investor. Perusahaan
dapat memperoleh legitimasi dari kreditor dengan meningkatkan kemampuannya
mengembalikan hutang. Perusahaan dapat memperoleh legitimasi dari konsumen
dengan senantiasa meningkatkan mutu produk dan layanan. Perusahaan dapat
memperoleh legitimasi dari pemerintah dengan mematuhi segala peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Perusahaan dapat
memperoleh
legitimasi
dari
masyarakat
dengan
melakukan
aktivitas
pertanggungjawaban sosial. Cheers (2011) dalam Yoehana (2013) menambahkan
bahwa perusahaan besar akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada
perusahaan kecil.
2.1.3 Profitabilitas
Setiap perusahaan akan melihat kinerja perusahaan yang dijalankan oleh
manajemennya pada setiap akhir suatu periode. Salah satu cara yang terpenting
untuk melihat kinerja manajemen adalah dari laporan keuangan yang telah
disusun pada periode yang bersangkutan. Dalam laporan keuangan akan terlihat
aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam suatu periode tertentu. Aktivitas yang
13
sudah dilakukan tersebut dituangkan dalam angka-angka, baik dalam bentuk mata
uang rupiah maupun mata uang asing. Angka-angka ini nantinya dapat
dibandingkan untuk memperoleh suatu rasio keuangan yang dapat digunakan
untuk menilai kinerja manajemen dalam periode tersebut.
Menurut James C. van Horne dalam Kasmir (2010:93), rasio keuangan
merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh
dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan
untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dari hasil rasio ini
akan terlihat kondisi kesehatan perusahaan yang bersangkutan.
Profitabilitas
adalah
kemampuan
perusahaan
dalam
memperoleh
keuntungan/laba (Wiagustini, 2010:76). Profitabilitas juga menunjukkan ukuran
efektifitas pengelolaan manajemen perusahaan. Kemampuan memperoleh laba
dapat diukur dari modal sendiri maupun dari seluruh dana yang diinvestasikan ke
dalam perusahaan. Rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengukur kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba. Terdapat beberapa jenis rasio profitabilitas
(Wiagustini, 2010:81), antara lain:
1) Profit Margin
Menurut Kasmir (2010:104), profit margin merupakan ukuran kemampuan
manajemen untuk mengendalikan biaya operasional dalam hubungannya
dengan penjualan. Rasio profit margin dapat pula menggambarkan
kemampuan perusahaan dalam menetapkan harga jual suatu produk, relatif
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk tersebut.
14
2) Return On Assets/Return On Investment (ROA/ROI)
Menurut Kasmir (2010:107), ROA adalah rasio keuntungan bersih setelah
pajak terhadap jumlah asset secara keseluruhan. Rasio ini merupakan suatu
ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian (%) dari asset
yang dimiliki. Apabila rasio ini tinggi berarti menujukkan adanya efisiensi
yang dilakukan oleh pihak manejemen.
3) Return On Equity (ROE)
Menurut Kasmir (2010:112), ROE merupakan rasio untuk mengukur lalu
bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini menunjukkan efisiensi
penggunaan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini, semaki baik. Artinya
posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya.
2.1.4 Corporate Social Responsibility (CSR)
Corporate Social Responsibility (CSR) pertama kali muncul sejak Howard
R. Bowen menerbitkan bukunya berjudul “Social Responsibilitity of the
Businessman” pada tahun 1953. Ide dasar CSR yang dikemukakan Bowen
mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya sejalan
dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat
perusahaannya beroperasi (Susiloadi, 2008).
Sejak pertengahan tahun1990-an gagasan CSR telah dikaitkan dengan hal
'corporate citizenship', 'keberlanjutan perusahaan' dan 'triple bottom line'. Istilah
corporate
citizenship
menggambarkan
keterlibatan
perusahaan
dengan
stakeholder daripada pemegang saham saja. Keberlanjutan perusahaan mengacu
15
pada perilaku perusahaan
yang mungkin
mempengaruhi
perkembangan
berkelanjutan. Triple bottom line mengacu pada keseimbangan dan kenaikan yang
sama dalam kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan dari sebuah bisnis
(Bichta, 2003 dalam Yoehana, 2013).
Istilah triple bottom line dipopulerkan oleh John Elkington melalui
bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of
Twentieth Century Bussiness” pada tahun 1997. Elkington mengembangkan
konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental
quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang
ingin berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit,
perusahaan
juga
harus
memperhatikan
dan
terlibat
dalam
pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet) (Wibisono, 2007). Aspek-aspek dalam triple
bottom line antara lain sebagai berikut:
1) Profit (Laba)
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap
kegiatan usaha. Tidak heran jika fokus utama dari seluruh kegiatan dalam
perusahaan adalah mengejar profit yang tinggi atau menaikkan harga saham
setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit
sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat
digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang
dapat dilakukan untuk menaikkan profit antara lain dengan meningkatkan
produktivitas
dan
melakukan
efisiensi
16
biaya,
sehingga
perusahaan
mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah
semaksimal mungkin.
2) People (Masyarakat)
Masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting
bagi perusahaan, karena dukungan masyakarat sekitar sangat diperlukan bagi
keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Perusahaan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat dan lingkungan,
perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya
kepada masyarakat. Selain itu perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan
berpotensi memberi dampak kepada masyarakat sekitar, maka perusahaan
perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan
masyarakat. Jadi, jika keberlangsungan perusahaan ingin tetap terjaga
perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab yang bersifat sosial.
3) Planet (Lingkungan)
Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan,
tetapi sayangnya sebagian besar perusahaan masih kurang peduli pada
lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan antara lain karena tidak ada
keuntungan langsung di dalamnya. Keuntungan merupakan inti dari dunia
bisnis dan itu adalah hal yang wajar, maka banyak pelaku industri yang hanya
mementingkan bagaimana menghasilkan laba yang tinggi tanpa melakukan
upaya untuk melestarikan lingkungan. Jika perusahaan melakukan upaya
untuk melestarikan lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan
17
yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, serta ketersediaan
sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya.
Beberapa faktor lain mempengaruhi perkembangan konsep CSR di era
tahun 1990-an hingga sekarang. Salah satu faktor tersebut adalah adanya
perubahan orientasi CSR dari suatu kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi
kewajiban perusahaan yang tidak memiliki kaitan dengan strategi dan pencapaian
tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan strategis yang memiliki keterkaitan
dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka panjang (Solihin, 2009:32).
Heal (2004) mengemukakan CSR adalah bagian penting dalam strategi
perusahaan dimana terjadi ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan
tujuan sosial. CSR merupakan suatu bentuk kepedulian sosial sebuah perusahaan
untuk melayani kepentingan organisasi eksternal dan publik. Kondisi dunia yang
tidak menentu seperti terjadinya global warming, kemiskinan yang semakin
meningkat serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk
melakukan tanggung jawabnya. CSR juga dapat diartikan sebagai komitmen
perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi
sosial, ekonomi serta lingkungan.
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3
menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen
perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Pengungkapan CSR telah diatur dalam undang-undang di Indonesia, oleh
18
karenanya banyak perusahaan yang melakukan pengungkapan mengenai CSR
dalam laporan tahunan walaupun tidak diwajibkan.
Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan
perusahaan semata, melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek
lingkungan. Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan
berkelanjutan (Siregar, 2007 dalam Yoehana, 2013). Implementasi CSR
merupakan perwujudan komitmen yang dibangun oleh perusahaan untuk
memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Ada banyak penafsiran tentang CSR. Menurut Baker (2003), CSR adalah
tentang bagaimana perusahaan mengelola proses bisnis untuk menghasilkan
dampak positif secara keseluruhan pada masyarakat. Sementara CSR menurut
Wikipedia Indonesia adalah “suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (bukan
hanya) perusahaan adalah memiliki tanggung jawab terhadap konsumen,
karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkunagn dalam segala aspek
operasional.”
Menurut Wibisono (2007), ada 10 keuntungan yang dapat diperoleh dalam
melakukan CSR, yaitu: mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan image
perusahaan, layak mendapatkan social license to operate, mereduksi resiko bisnis
perusahaan, melebarkan akses sumber daya, membentangkan akses menuju pasar,
mereduksi biaya, memperbaiki hubungan dengan stakeholder, memperbaiki
hubungan dengan pemerintah, meningkatkan semangat dan produktivitas
karyawan, serta peluang mendapatkan penghargaan.
19
2.1.5 Pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility Disclosure)
Pengungkapan CSR adalah bentuk pengungkapan tanggung jawab
perusahaan terhadap lingkungan sosial masyarakat tempat perusahaan tersebut
berada dan beroperasi, yang dilakukan secara transparan dan terbuka dengan
memperhatikan nilai-nilai moral yang berlaku. Menurut Pradnyadari (2015),
pengungkapan atau disclosure diartikan sebagai sebuah informasi yang dapat
diberikan kepada pihak-pihak yang memerlukan informasi tersebut dan informasi
tersebut harus bermanfaat, jika tidak bermanfaat tujuan dari pengungkapan
tersebut tidak akan tercapai.
Menurut Mathews (1995) dalam Yoehana (2013), pengungkapan CSR
yang sering disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, atau
social accounting, merupakan proses mengkomunikasikan dampak sosial dan
lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang
berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Pengungkapan CSR
perusahaan
melalui
berbagai
macam
media
dilakukan
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban kepada para stakeholder dan juga untuk menjaga reputasi
perusahaan. Dengan mengomunikasikan tanggung jawab sosial perusahaan, maka
semakin banyak masyarakat yang mengetahui investasi sosial perusahaan,
sehingga tingkat risiko perusahaan menghadapi gejolak sosial akan menurun.
Chariri (2008) menyatakan bahwa ada berbagai motivasi yang mendorong
manajer secara sukarela mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan.
Motivasi tersebut antara lain, keinginan untuk mematuhi persyaratan yang ada
dalam undang-undang, pertimbangan rasionalitas ekonomi (economic rationality),
20
keyakinan dalam proses akuntabilitas untuk melaporkan, keinginan untuk
mematuhi persyaratan peminjaman, untuk mematuhi harapan masayarakat dalam
“kontrak sosial”, sebagai konsekuensi dari ancaman terhadap legitimasi
perusahaan, untuk memanajemen kelompok stakeholder tertentu yang mempunyai
kekuatan, untuk menarik dana investasi, untuk mematuhi persyaratan tertentu,
serta untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu dengan harapan
memperbaiki image perusahaan.
Pelaksanaan dan pengungkapan CSR sudah mulai dilakukan di Indonesia
seiring telah disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroann Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, berbunyi
sebagai berikut:
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai
biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
21
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya pasal 25 (b) Undang-Undang Penanaman Modal menyatakan
bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan.
Terdapat beberapa standar pelaporan untuk pengimplementasian dan
pengungkapan CSR yang dikenal di dunia, salah satunya adalah G3 Global
Reporting yang merupakan guidelines yang paling banyak dipakai saat ini. Global
Reporting Initiatives (GRI) yang berdiri tahun 1997 adalah inisiatif antara
Coalition for Environmentally Responsible Economics (CERES) dengan United
Nation Environment Progamme (UNEP). G3 diterbitkan pada tahun 2006 dan
merupakan pengembangan dari G2. G3 guidelines memberikan petunjuk yang
universal mengenai laporan yang berkelanjutan. G3 guidelines dapat diterapkan
baik di perusahaan kecil, menengah, maupun besar serta dapat diterapkan di
sektor umum. G3 guidelines terdiri dari 6 aspek, yang terdiri dari 84 komponen.
Aspek tersebut diantaranya adalah economic, environmental, labor practices,
human right, society, dan product responsibility. Komponen dari masing-masing
aspek dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.1.6 Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur oleh Undang-Undang PPh, yaitu
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dikenakan terhadap subjek pajak
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun
22
pajak. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam
Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat
pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban
pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak (Undang-Undang No.
36, 2008).
Objek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk kegiatan konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk penghasilan dari
pekerjaan, penghasilan dari usaha atau kegiatan, penghasilan dari modal atau
penggunaan harta, dan penghasilan lainnya (Undang-Undang No. 36, 2008).
2.1.7 Wajib Pajak Badan
Sesuai dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang No. 28
Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) pasal 1 ayat
(1), yang dimaksud dengan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Dengan demikian, wajib pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu
Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan.
23
Pengertian “Badan” menurut Undang-Undang KUP pasal 1 ayat (3),
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
2.1.8 Agresivitas Pajak
Pembayaran pajak perusahaan seharusnya memiliki implikasi bagi
masyarakat dan sosial karena membentuk fungsi yang penting dalam membantu
mendanai penyediaan barang publik dalam masyarakat, termasuk hal-hal seperti
pendidikan, pertahanan nasional, kesehatan masyarakat, transportasi umum, dan
penegakan hukum (Friese, et al. 2008 dalam Lanis dan Richardson, 2012). Namun
perusahaan umumnya menganggap pajak sebagai sebuah tambahan beban biaya
yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan, oleh karena itu perusahaan
diprediksi melakukan tindakan yang dapat mengurangi beban pajak perusahaan.
Pajak adalah faktor pendorong dalam banyak pengambilan keputusan
perusahaan, karena itu tindakan manajerial yang dirancang semata-mata untuk
meminimalkan kewajiban pajak perusahaan diduga menjadi fitur yang semakin
penting dari aktivitas perusahaan (Desai dan Dharmapala, 2005). Tax planning
adalah suatu peralatan dan sebagai tahap awal dari manajemen pajak (tax
24
management) untuk mengurangi beban pajak (Pohan, 2011:3). Secara definitif tax
management memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax planning.
Tax planning atau tax management memiliki banyak pengertian menurut para
ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Lyons Susan M. dalam bukunya Internasional Tax Glossary mengutarakan
bahwa, perencanaan pajak (tax planning) adalah pengaturan yang dilakukan
oleh barang siapa yang melakukan usaha perseorangan atau bisnis, yang
tujuannya untuk meminimalisir kewajiban pajaknya.
2) Dr. Mohammad Zain dalam bukunya yang berjudul Manajemen Perpajakan
mendefinisikan bahwa, secara garis besar perencanaan pajak adalah proses
mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian
rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak
lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal itu
dimungkinkan
baik
oleh
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakkan maupun secara komersial.
3) Sophar Lumbantoruan dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Pajak
mengemukakan secara umum bahwa, manajemen pajak (tax management)
adalah strategi untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi
jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk
memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.
4) John Hutagaol dalam bukunya yang berjudul Perpajakan Isu-Isu Kontemporer
mengartikan
bahwa,
manajemen
25
pajak
adalah
proses
perencanaan,
implementasi serta pengendalian kewajiban dan hak di bidang perpajakan
sehingga pemenuhannya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa,
manajemen pajak (tax management) adalah upaya menyeluruh yang dilakukan
oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha melalui proses perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian kewajiban dan hak perpajakannya agar hal-hal
yang berhubungan dengan perpajakan dari orang pribadi, perusahaan atau
organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan efektif, sehingga dapat
memberikan kontribusi yang maksimum bagi perusahaan dalam artian
peningkatan laba. Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi
usaha wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan
memanfaatkan berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan
dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku, agar perusahaan
dapat membayar pajak dalam jumlah minimum (Pohan, 2011:4).
Selain perencanaan pajak, wajib pajak juga dapat melakukan perlawanan
pajak. Menurut R. Santoso Brotodiharjo dalam Pohan (2011:13), pada dasarnya
terdapat dua bentuk perlawanan pajak yang dilakukan, yakni perlawanan aktif dan
perlawanan pasif. Dalam kaitannya dengan perlawanan aktif, ada beberapa modus
yang biasanya digunakan wajib pajak untuk menghindari pajak yaitu:
1) Tax avoidance (penghindaran pajak) adalah upaya penghindaran pajak yang
dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku dimana metode dan teknik yang
digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang
26
terdapat dalam Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan itu sendiri untuk
memperkecil jumlah pajak yang terutang.
2) Tax evasion (penggelapan/penyelundupan pajak) adalah upaya penghindaran
pajak yang dilakukan secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan
yang sebenarnya, dimana metode dan teknik yang digunakan tidak dalam
koridor Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan, sehingga tidak aman bagi
wajib pajak.
3) Tax saving (penghematan pajak) adalah upaya wajib pajak mengelakkan
utang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produkproduk yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi
jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya
menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak
penghasilan yang besar.
Menurut Frank, et al. (2009) tindakan yang dilakukan perusahaan untuk
mengurangi pendapatan kena pajak melalui perencanaan pajak (tax planning) baik
secara legal (tax avoidance) maupun ilegal (tax evasion) disebut dengan
agresivitas pajak perusahaan. Walaupun tidak semua tindakan perencanaan pajak
melanggar hukum, akan tetapi semakin banyak celah yang digunakan maka
perusahaan tersebut dianggap semakin agresif.
Sedikit berbeda dengan pendapat Frank, et al. (2009), Guenther, et al.
(2013) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai sejauh mana perusahaan
mengambil posisi pajak yang mungkin tidak akan ditentang oleh pemerintah.
Penghindaran pajak berbeda dari agresivitas pajak dimana perusahaan dapat
27
menurunkan pembayaran pajak mereka saat masih mengambil posisi pajak
tersebut. Misalnya, dengan membuka anak perusahaan di negara yang tarif
pajaknya rendah atau mengambil keuntungan dari pemotongan depresiasi yang
dipercepat, akan memungkinkan perusahaan untuk menghindari membayar pajak
penghasilan dengan cara yang umumnya tidak akan ditentang oleh pemerintah.
Hal itu tidak akan membuat perusahaan berada di posisi dimana perusahaan
agresif terhadap pajak. Di sisi lain, jika perusahaan mengurangi pembayaran pajak
mereka dengan terlibat dalam kegiatan yang tidak mungkin untuk dibenarkan,
mereka menunjukkan agresivitas pajak.
Hlaing (2012) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai semua kegiatan
perencanaan pajak perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat
pajak yang efektif. Slemrod (2004) berpendapat bahwa agresivitas pajak
merupakan kegiatan yang lebih spesifik, yaitu mencakup transaksi yang tujuan
utamanya adalah untuk menurunkan kewajiban pajak perusahaan. Balakrishnan,
et. al. (2012) menyatakan bahwa perusahaan yang agresif terhadap pajak ditandai
dengan transparansi yang lebih rendah.
Beberapa peneliti seperti Balakrishnan, et al. (2012), serta Lanis dan
Richardson (2012) menggunakan Effective Tax Rate (ETR) untuk mengukur
agresivitas pajak. Proksi ETR adalah proksi yang paling banyak digunakan dalam
literatur, dan nilai yang rendah dari ETR dapat menjadi indikator adanya
agresivitas pajak. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang menghindari
pajak perusahaan dengan mengurangi penghasilan kena pajak mereka dengan
tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang lebih rendah.
28
Jadi, apabila suatu perusahaan memiliki agresivitas pajak yang tinggi maka
perusahaan tersebut akan memiliki nilai ETR yang rendah. Dengan demikian, ETR
digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur agresivitas pajak.
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Agresivitas Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Badan
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam memperoleh
keuntungan/laba
(Wiagustini,
2010:76).
Kemampuan
perusahaan
dalam
memperoleh laba sangat dipengaruhi oleh konsumen. Jika konsumen tidak
memiliki minat terhadap produk yang diproduksi perusahaan, perusahaan akan
mendapat laba yang kecil atau bahkan merugi. Perusahaan tidak hanya perlu
meningkatkan kualitas produk untuk bisa menarik minat konsumen, tetapi juga
perlu untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap konsumen. Hal ini sesuai
dengan teori stakeholder yang menyatakan bahwa perusahaan hendaknya
mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkena dampak dari aktivitas
perusahaan dalam menjalankan usahanya.
Sama halnya dengan tanggung jawab perusahaan dalam membayar pajak.
Perusahaan yang membayar pajak dengan jujur sesuai dengan besarnya laba
perusahaan, secara tidak langsung telah berkontribusi terhadap kepentingan
umum. Hal ini dapat meningkatkan image perusahaan di mata para stakeholder,
sehingga pada akhirnya mampu membantu meningkatkan kemampuan perusahaan
dalam memperoleh laba atau profitabilitas perusahaan. Hal ini juga sejalan dengan
teori legitimasi yang menyatakan bahwa perusahaan hendaknya senantiasa selalu
29
mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran dalam melakukan aktivitasnya, sehingga
mampu mempertahankan legitimasi perusahaan dari konsumen, pemerintah,
maupun para pemangku kepentingan lainnya.
Mustikasari (2007) membuktikan dalam penelitiannya bahwa profitabilitas
mempengaruhi agresivitas pajak perusahaan. Perusahaan dengan profitabilitas
tinggi cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur daripada perusahaan yang
mempunyai profitabilitas rendah. Hasil yang sama juga diperoleh Noor (2010)
dan Agusti (2014), yang dalam penelitiannya membuktikan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara kemampuan menghasilkan laba perusahaan dengan
tindakan
agresif
perusahaan
terhadap
pajak.
Perusahaan
yang
mampu
menghasilkan laba yang tinggi, cenderung tidak melakukan tindakan agresivitas
pajak. Hal ini disebabkan oleh perusahaan yang tidak melakukan tindakan
efisiensi dalam pembayaran pajaknya.
H1 : Profitabilitas berpengaruh terhadap agresivitas Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Badan.
2.2.2 Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
Terhadap Agresivitas Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Lingkungan dan masyarakat
cukup mempengaruhi kinerja suatu
perusahaan. Salah satu bentuk hubungan komunikasi antara lingkungan
masyarakat dengan perusahaan adalah melalui tanggung jawab sosial perusahaan
atau CSR, sesuai dengan teori legitimasi (Pradnyadari, 2015). Legitimasi
menuntut agar perusahaan mampu memenuhi harapan masyarakat melalui
pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan serta pengungkapannya.
30
Salah satu bentuk kewajiban sosial perusahaan adalah membayar pajak.
Dengan membayar pajak, perusahaan turut serta berkontribusi dalam melakukan
pembangunan nasional. Namun apabila perusahaan menghindari pembayaran
pajak yang seharusnya, maka perusahaan dapat dikenakan sanksi. Pembayaran
pajak merupakan salah satu bentuk penerapan teori legitimasi untuk mendapatkan
simpati masyarakat dan untuk menumbuhkan image positif bahwa perusahaan
telah melakukan tanggung jawab sosialnya dengan baik (Pradnyadari, 2015).
Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan dalam melakukan
kegiatan operasinya harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang
terlibat dalam aktivitas perusahaan. Kepentingan semua pihak yang dimaksud
disini termasuk kepentingan masyarakat, pemerintah, konsumen, pemasok, dan
lain sebagainya. Tindakan penghindaran pajak pada dasarnya tidak sesuai dengan
harapan masyarakat dan memiliki dampak negatif terhadap masyarakat karena
mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam menyediakan barang publik (Lanis
dan Richardson, 2012). Watson (2011) menambahkan bahwa dampak buruk yang
diperoleh perusahaan karena melanggar norma sosial adalah jumlah penjualan
yang turun karena masyarakat yang memahami pentingnya CSR memboikot
produk perusahaan dan cenderung enggan untuk membeli produk tersebut.
Yoehana
(2013)
menunjukkan
dalam
hasil
penelitiannya
bahwa
pengungkapan CSR memiliki hubungan negatif terhadap agresivitas pajak, dimana
semakin luas pengungkapan CSR suatu perusahaan maka perusahaan tersebut
tidak agresif terhadap pajak. Hasil serupa juga ditunjukkan dalam penelitian
Pradnyadari (2015) dan Purwanggono (2015), yang menunjukkan bahwa
31
pengungkapan CSR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap agresivitas pajak.
Perusahaan dengan agresivitas pajak yang rendah, akan mengungkapkan CSR
yang lebih luas.
H2 : Pengungkapan CSR berpengaruh terhadap agresivitas Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Badan.
32
Download