HUBUNGAN PELAKSANAAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN KEPUASAN KLIEN AKAN PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP KELAS 3 SHOFA DAN MARWAH RSI HASANAH KOTA MOJOKERTO Heri Triwibowo, Nur Hamim ABSTRACT The application of therapeutic communication could affect the client's health progress. But until now, nurse rarely use therapeutic communication, thus affecting the satisfaction of client who receives nursing services. The research objective is to analyze the relationship between implementation of therapeutic communication with client satisfaction who receives nursing services in 3rd Class Shofa and Marwah Patient Room RSI Hasanah Mojokerto. This research design is analytic correlation with cross sectional approach. The population is all client who were treated in 3rd Class Shofa and Marwah Patient Room RSI Hasanah Mojokerto for about 71 people, with 54 people taken as the sample by using consecutive sampling. Independent variable is implementation of therapeutic communication and dependent variable is client satisfaction who receives nursing services. Datas are collected by using questionaire. Then analyzed using the Spearman Rho Test with SPSS version 17.0. Results showed most respondents consider therapeutic communication has been implemented and mostly dissatisfied. There is no relationship between the implementation of therapeutic communication with client satisfaction who receives nursing services at p (0.216) > α (0.05). It means there are two possible causes. First, respondents had less courageous to admit that nurse therapeutic communication has not implemented yet. Second, client satisfaction was affected by other factors outside therapeutic communication. Other possible factors include product quality, price, service quality but in terms of systems and technology, emotional factors, ease, and also management. Nurses should implement their skill on therapeutic communication. The management of this hospital should be aware that his policy must be pleasant to get client’s satisfaction. Keywords: therapeutic communication, client satisfaction, nursing services PENDAHULUAN Komunikasi profesional bagi perawat dikenal sebagai komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan atau pemulihan klien atau pasien (Damaiyanti, 2008: 11). Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan keperawatan mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan klien. Karena komunikasi Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 terapeutik meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien, sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Sundberg, 1989 dalam Palestin, 2006). Klien merasakan bahwa perawat prihatin terhadapnya, bahwa perawat memahami apa yang ia rasakan dan apa yang menyebabkan ia merasakan demikian (Riley, 2004 dalam Maramis, 2006: 236). Kondisi saling percaya yang telah dibangun diantara perawat dan klien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Sundeen S.J., et.al, 1994 dalam Palestin, 2006). Kelemahan dalam berkomunikasi merupakan masalah yang serius bagi perawat maupun klien. Bahkan prinsip dasar komunikasi terapeutik seringkali diabaikan oleh perawat. Diantara mereka ada yang beranggapan bahwa mereka tidak membutuhkan keahlian lain kecuali melakukan tindakan medis untuk menyembuhkan penyakit. Komunikasi perawat dengan pasien umumnya bersifat formal dan terbatas (Wahyudin, 2009). Komunikasi yang dilakukan perawat sebagai orang yang terdekat dan paling lama berada di dekat pasien cenderung mengarah pada tugas perawat daripada mengenali kondisi dan pandangan-pandangan klien (Faulkner, 1979; Mc Leod Clark, 1981; Melia, 1987 dikutip dari Ellis dkk, 1999 dalam Setiawan dan Tanjung, 2005). Perawat hanya berkomunikasi dengan klien saat akan melakukan tindakan dan tidak pernah bertanya atau memberikan komentar apabila tidak ditanya, termasuk tidak pernah memperkenalkan diri. Umumnya perawat melakukan komunikasi berdasarkan kebiasaan atau rutinitas dalam bekerja sehari-hari. Ada pula yang sudah melaksanakan komunikasi terapeutik, akan tetapi belum memperhatikan tehnik-tehnik dan tahapan komunikasi terapeutik yang baik dan benar. Hal ini dapat mempengaruhi kepuasan klien yang menerima tindakan keperawatan (Darmawan, 2009). RSI Hasanah Kota Mojokerto merupakan rumah sakit yang cukup dikenal oleh masyarakat Kota Mojokerto. Namun jumlah perawat di rumah sakit ini masih kurang sebanding dengan jumlah pasien yang ada, yaitu 1:8 artinya 1 perawat harus menangani 8 Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 orang klien. Selain itu berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto, perawat belum melaksanakan komunikasi terapeutik sesuai tahapan dan teknik komunikasi terapeutik. Perawat berkomunikasi dengan klien hanya saat akan melakukan tindakan, seperti saat akan memberikan suntikan atau tindakan perawatan lain dan tidak pernah bertanya atau memberikan komentar apabila tidak ditanya oleh klien, termasuk tidak pernah memperkenalkan diri. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 2-6 November 2010 di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto dengan teknik wawancara pada 10 klien mendapatkan data: 7 klien (70%) menyatakan kurang puas dengan pelayanan keperawatan yang diberikan, yang terdiri dari 4 klien (57%) menyatakan tidak tersedianya fasilitas bel panggil perawat sebagai alat berkomunikasi, perawat kurang menanggapi keluhan klien atau keluarganya, dan klien merasa kurang mendapat pelayanan yang semestinya, misalnya masih ada perawat yang tidak memperkenalkan diri, maupun menjawab pertanyaan klien dengan tidak sopan atau bergurau. 3 klien (43%) menyatakan bahwa tidak tersedianya fasilitas bel panggil perawat sebagai alat berkomunikasi, perawat kadang lupa dengan kewajibannya (misalnya lupa waktunya mengganti infus), perawat susah dihubungi (sering tidak berada di ruang perawat), kurang menanggapi keluhan klien dan hanya mendengarkan saja saat klien mengeluhkan penyakitnya, kurang ramah dan jarang tersenyum, kasar dalam menjawab pertanyaan klien, tidak berusaha memberikan informasi yang dibutuhkan klien. Sedangkan 3 klien (30%) lainnya menyatakan cukup puas dengan pelayanan keperawatan, meski mengeluhkan tidak adanya fasilitas bel panggil untuk perawat. Dalam pengelolaan rumah sakit, perawat memegang faktor kunci keberhasilan pelayanan rumah sakit (Achiryani dalam Harmini, 2008: 35). Dalam bekerja, perawatlah yang paling banyak dan paling sering berhubungan dengan pasien maupun keluarganya, sehingga memungkinkan perawat sering berkomunikasi dengan pasien maupun keluarganya. Kemampuan perawat dalam berkomunikasi dengan klien merupakan hal yang mendasari dan penting bagi penyelenggaraan proses keperawatan (Tamsuri, 2005: 34). Mutu pelayanan perawatan salah satunya dipengaruhi oleh baik buruknya perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik (Harmini, 2008: 36). Bahkan disebutkan oleh Lois (2005: 119) bahwa komunikasi terapeutik merupakan salah satu aspek paling penting dalam pelayanan keperawatan. Kompetensi perawat biasanya dinilai dari kemampuan mereka dalam berkomunikasi. Kepuasan klien akan meningkat jika perawat mampu melakukan komunikasi yang baik dan peningkatan kepuasan klien memiliki nilai positif bagi proses perawatan dirinya. Faktor kunci dalam penilaian pelayanan kesehatan di mata klien adalah komunikasi yang dilakukan oleh perawat. Kepuasan klien adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan kebutuhan klien dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan klien (Triatmojo, 2007). Sabarguna (2003) dalam Harmini (2008: 38) menyatakan kepuasan pasien Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 berorientasi pada mutu pelayanan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu sarana atau alat (fasilitas dan peralatan), petugas (pengetahuan, sikap dan perilaku), serta manajemen (kebijakan, prosedur, maupun peraturan). Perawat sebagai salah satu petugas harus memperhatikan berbagai aspek, terutama aspek komunikasi sebagai aspek yang mendasari seluruh proses perawatan klien. Sejalan dengan hal tersebut, Oliver (1996) (Arief, 2007: 130) menyatakan bahwa kualitas jasa menurut persepsi pelanggan, sering berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh pihak manajemen. Pelanggan menilai kualitas jasa bukan hanya dari kualitas teknisnya saja, tetapi juga kualitas fungsionalnya, misalnya perhatian perawat pada dirinya. Perawat yang memiliki ketrampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya masalah legal, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra profesi keperawatan serta citra rumah sakit (Purba, 2003). Jika komunikasi perawat kurang baik, hal ini akan berimbas pada penilaian klien terhadap perawat. Penilaian negatif ini tentunya akan berdampak pada profesionalisme keperawatan (Asmadi, 2008: 80). Menurut Astuti (2009), dampak yang terjadi akibat rendahnya mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah munculnya berbagai keluhan klien dan keluarga seperti kekecewaan dan ketidakpuasan pelayanan kesehatan, yang lambat laun menurunkan kepercayaan masyarakat. Maka dari itu, setiap perawat pada saat sedang bekerja perlu menghargai bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan adalah sebuah bisnis (Potter dan Perry, 2005: 29). Ketidakpuasan klien akhirnya mengakibatkan klien meninggalkan rumah sakit tersebut dan beralih ke pilihan lain (Arief, 2007: 165). Kepuasan pelanggan adalah hal utama yang harus diperhatikan oleh pelaku pelayanan jasa. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan klien akan pelayanan keperawatan adalah komunikasi terapeutik. Kemampuan perawat dalam menerapkan tehnik komunikasi terapeutik memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan. Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan faktor penunjang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik (Purba, 2003). METODE PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitian, desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh klien (pasien) yang dirawat di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto sebanyak 71 orang. sampel yang digunakan adalah sebagian klien (pasien) di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 54 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis consecutive sampling. Analisa data pada penelitian ini menggunakan program SPSS for Windows dengan memakai uji korelasi Spearman rho HASIL PENELITIAN 1. Pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh perawat di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. Tabel 1. Distribusi frekuensi pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh perawat di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto tanggal 4-18 Mei 2011 No 1. 2. Pelaksanaan komunikasi terapeutik Dilaksanakan Tidak dilaksanakan Total Frekuensi Prosentase 38 16 54 70,4 29,6 100 Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar dari responden menganggap komunikasi terapeutik telah dilaksanakan sebanyak 38 responden (70,4%). Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 2. Kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. Tabel 2 Distribusi frekuensi kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto tanggal 4-18 Mei 2011 No 1. 2. Frekuensi Prosentase Puas 23 42,6 Tidak puas 31 57,4 Total 54 100 Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar dari responden merasa tidak puas sebanyak 31 responden (57,4%). 3. Hubungan pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. Tabel 3 Tabulasi silang hubungan pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto tanggal 4-18 Mei 2011 Pelaksanaan komunikasi terapeutik Dilaksanakan Tidak dilaksanakan Total Kepuasan klien Kepuasan klien Puas Tidak puas F % f % 19 35,2 19 35,2 4 7,4 12 22,2 f 38 16 % 70,4 29,6 23 54 100 42,6 31 57,4 Total Berdasarkan uji Spearman’s rho didapatkan nilai p (0,126) > α (0,05), artinya H0 diterima sehingga tidak ada hubungan pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh perawat di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. Berdasarkan table 1 diketahui bahwa sebagian besar dari responden menganggap komunikasi terapeutik telah dilaksanakan sebanyak 38 responden (70,4%). Klien menganggap komunikasi terapeutik telah dilaksanakan yang disebabkan dua kemungkinan, yaitu pertama, klien merasa perawat cukup Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 memperhatikan dirinya, mengerti apa yang sedang dirasakan dan dialaminya dan berempati akan penderitaannya. Responden memandang dalam interaksi setiap harinya perawat cukup memperhatikan kebutuhan dirinya. Kedua, klien memiliki kekhawatiran jika ia menyatakan bahwa perawat belum melaksanakan komunikasi terapeutik akan mempengaruhi kinerja perawat dalam melakukan perawatan terhadap dirinya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Videbeck (2008: 123) bahwa komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dan klien, yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat-klien. Ketrampilan dalam menggunakan teknik komunikasi terapeutik membantu perawat memahami dan berempati terhadap pengalaman klien. Pelaksanaan komunikasi terapeutik dipengaruhi oleh umur, pekerjaan, jenis kelamin dan pendidikan. Rata- rata umur responden >35 tahun. Usia responden yang sudah matang menunjukkan kemampuan responden dalam memahami orang lain dan berkomunikasi lebih baik daripada yang berusia muda. Responden juga menyadari keberadaannya di rumah sakit karena membutuhkan perawatan kesehatan dengan segala keterbatasan ekonomi yang dimiliki. Melakukan penilaian tentang cara berkomunikasi perawat dianggapnya sesuatu yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerja perawat dalam melakukan perawatan pada dirinya, sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut ia menilai cara berkomunikasi perawat telah dilaksanakan dengan cukup baik. Hal ini sesuai dengan teori Lois (2005: 111) bahwa usia mempengaruhi proses komunikasi. Sebagai contoh, cara berkomunikasi dengan anak berbeda dengan cara berkomunikasi dengan orang dewasa dan sangat tergantung pada usia. Rata- rata responden bekerja. Dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, responden sering bertemu dengan orang lain, sehingga responden mengenal berbagai karakter Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 orang dan mengetahui cara berkomunikasi orang lain sesuai atau tidak. Selain itu, kelas perawatan responden yaitu kelas 3 merupakan strata ekonomi lemah yang seringkali menganggap wajar apapun perlakuan perawat terhadap dirinya. Kekhawatiran akan dampak penilaian terhadap kinerja pelayanan perawat pada dirinya menyebabkan responden menilai komunikasi terapeutik telah dilaksanakan perawat dengan cukup baik. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sunaryo (2004: 12) bahwa individu yang berbeda secara sosial ekonomi akan berbeda pula dalam memenuhi kebutuhan hidup serta cara pandangnya terhadap menanggapi suatu masalah. Rata- rata responden berjenis kelamin laki-laki. Meski sebagian besar responden adalah laki-laki, namun yang menyatakan bahwa komunikasi terapeutik telah dilaksanakan sebagian besar adalah responden perempuan. Hal ini disebabkan perempuan atau wanita lebih menginginkan menghindari konflik atau meminimalkan perbedaan. Karena kekhawatiran jika ia mengungkapkan keluhan akan mempengaruhi perawatan yang diberikan, sehingga ia menganggap komunikasi yang dijalankan oleh perawat sudah cukup baik. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Potter dan Perry (2005: 309) bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi proses komunikasi. Pria dan wanita memiliki gaya komunikasi yang berbeda dan satu sama lain saling mempengaruhi proses komunikasi secara unik. Wanita menggunakan bahasa untuk mencari konfirmasi, meminimalkan perbedaan dan menetapkan atau menguatkan keintiman. Sebaliknya laki-laki menggunakan bahasa untuk menetapkan kebebasan dan menegosiasikan aktifitas status dalam kelompok yang besar, meskipun ketika mereka ingin berteman, mereka umumnya melakukannya dengan adu otot. Ratarata responden berpendidikan SD. Pendidikan yang rendah menyebabkan kemampuan responden untuk menilai pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat juga terbatas. Hal ini membuat responden menilai bahwa cara berkomunikasi perawat sudah cukup baik. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Notoatmodjo (1997) dalam Hendra (2008), bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Kemampuan mengenal bahasa dapat meningkatkan kemampuan untuk berdiskusi dan memahami konsep serta ide-ide abstrak (Lois, 2005: 112). 2. Kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar dari responden merasa tidak puas sebanyak 31 responden (57,4%). Kurangnya kepuasan klien akan pelayanan keperawatan yang diberikan terjadi akibat adanya kesenjangan antara harapan klien akan pelayanan yang diberikan dengan kenyataan yang ada. Hal ini mungkin terjadi karena kelas perawatan klien adalah kelas 3 yang seringkali diremehkan karena merupakan strata ekonomi lemah yang dianggap tidak memerlukan pelayanan yang maksimal. Sedangkan di pihak klien sendiri berusaha untuk menerima pelayanan yang diberikan karena menyadari dirinya hanya mampu memilih perawatan di kelas tersebut. Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 Namun rasa ketidakpuasan tetap ada dan mendasari keputusan klien untuk menyatakan rasa tidak puas tersebut. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kotler (1997) bahwa kepuasan pelanggan adalah “…a person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s received performance (or outcome) in relations to the person’s expectation.” (Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja (hasil) suatu produk dan harapanharapannya). Jadi harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk (barang atau jasa). Sementara itu, kinerja yang dirasakan adalah persepsi pelanggan terhadap apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli. Kepuasan merupakan fungsi dari kesan kinerja (performance) dan harapan (expectation). Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas (dissatisfaction). Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas atau senang (delight) (Arief, 2007: 167-168). Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien (Riduwan, 2007: 35). Kepuasan klien dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya umur, pekerjaan, jenis kelamin, dan pendidikan. Rata- rata umur responden >35 tahun. Usia responden yang sebagian besar >35 tahun menunjukkan kemampuan responden dalam memahami dan menilai sudah cukup matang dan dewasa. Responden menyadari keberadaannya di rumah sakit karena membutuhkan perawatan kesehatan dengan segala keterbatasan ekonomi yang dimiliki. Kurang baiknya pelayanan yang diberikan pihak rumah sakit khususnya berkaitan dengan masalah komunikasi terapeutik perawat menyebabkan responden merasa kurang puas. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (1998) dalam Nursalam dan Pariani (2001: 134) bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat pengalaman dan kematangan jiwanya. Rata- rata umur responden bekerja. Meski bekerja, namun kondisi ekonomi responden masih cukup terbatas, sehingga hanya memiliki kemampuan untuk dirawat di kelas 3. Hal ini menyebabkan pelayanan keperawatan yang diberikan juga dirasa kurang maksimal, sehingga membuat responden merasa kurang puas. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Sunaryo (2004: 12), bahwa individu yang berbeda secara sosial ekonomi akan berbeda pula dalam memenuhi kebutuhan hidup serta cara pandangnya terhadap menanggapi suatu masalah. Rata- rata umur responden berjenis kelamin laki-laki. Meski responden sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, yang biasanya jarang mengungkapkan apa yang mereka rasakan, namun mungkin karena pengaruh lingkungan, sehingga mereka mampu menyatakan bahwa mereka kurang puas dengan pelayanan keperawatan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Rakhmad (2007: 46) bahwa persepsi kita tentang sejauh mana lingkungan Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 memuaskan atau mengecewakan kita, akan mempengaruhi perilaku kita dalam lingkungan tersebut. Lingkungan mempengaruhi hubungan komunikasi antar manusia. Selain itu lingkungan juga menciptakan struktur sosial yang terdiri dari sistem peranan dan normanorma kelompok yang sangat mempengaruhi pola komunikasi diantara kelompok tersebut dan selanjutnya mempengaruhi persepsi anggota kelompoknya. Rata- rata umur responden pendidikannya SD. Pendidikan SD menunjukkan pendidikan dasar yang paling rendah serta menunjukkan kemampuan responden dalam menganalisis sesuatu masih terbatas. Dalam menilai pelayanan keperawatan yang diberikan, responden mengkaitkannya dengan kelas perawatan dimana dirinya berada. Responden merasa pelayanan yang diberikan masih kurang maksimal, namun responden tidak mampu menyatakannya pada perawat akibat kurangnya kemampuan untuk menyampaikan kritikan atau saran karena kekhawatiran akan pelayanan yang diberikan akan semakin kurang maksimal. Hal ini sesuai dengan teori Rakhmad (2007: 58) yang menyatakan bahwa dalam mempersepsikan sesuatu dibutuhkan kerangka rujukan yang dapat memberi makna pada pesan yang diterima (stimulus) oleh seseorang. Jika orang tersebut tidak memiliki kerangka rujukan yang cukup memadai, maka pesan yang tersampaikan kepadanya tidak akan menimbulkan pengaruh apaapa. 3. Hubungan pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. Berdasarkan uji Spearman’s rho didapatkan nilai p (0,126) > α (0,05), artinya H0 diterima sehingga tidak ada hubungan pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. Kepuasan klien adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan kebutuhan klien dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan klien (Triatmojo, 2007). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan keperawatan, berarti terdapat dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, responden kurang memiliki keberanian untuk mengungkapkan bahwa komunikasi terapeutik yang dijalankan perawat tidak dilaksanakan karena khawatir jika hal tersebut dapat mempengaruhi kinerja perawat dalam melakukan pelayanan keperawatan pada dirinya. Hal ini menunjukkan perawat sebenarnya memiliki kemampuan untuk melaksanakan komunikasi terapeutik, namun tidak mau melaksanakannya. Kedua, tidak puasnya responden akan pelayanan keperawatan yang diberikan dapat disebabkan oleh faktor lain selain komunikasi terapeutik. Artinya kepuasan klien akan pelayanan keperawatan dipengaruhi oleh faktor lain di luar komunikasi terapeutik. Faktor lain yang memungkinkan mempengaruhi kepuasan klien akan pelayanan keperawatan diantaranya kualitas produk, harga, service quality (kualitas pelayanan) namun dari sisi sistem dan teknologi, emotional factor, kemudahan, serta manajemen (kebijakan, prosedur, maupun peraturan). Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 Sabarguna (2003) dalam Harmini (2008: 38) menyatakan kepuasan pasien berorientasi pada mutu pelayanan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu sarana atau alat (fasilitas dan peralatan), petugas (pengetahuan, sikap dan perilaku), serta manajemen (kebijakan, prosedur, maupun peraturan). Ditinjau dari sisi manajemen dapat diketahui bahwa ketersediaan peralatan, sumber daya manusia, harga, dan pelayanan yang diberikan pada dasarnya sangat tergantung dari kebijakan manajemen yang bersangkutan. Jika petugas, khususnya dalam hal ini perawat merasa puas dengan kebijakan, prosedur, dan peraturan yang berlaku bagi mereka, maka mereka akan memberikan yang terbaik pula bagi klien, sebaliknya jika perawat tidak merasa puas dengan ketiga hal tersebut maka akan mempengaruhi pelayanan yang mereka berikan pada konsumen. Selain itu yang juga bersentuhan langsung dengan klien adalah masalah kualitas produk, harga, service quality (kualitas pelayanan) dari sisi sistem dan teknologi, emotional factor, kemudahan yang akan dibahas menggunakan teori Handy Irawan (2002). Menurut Irawan (2002: 37-39), terdapat ada 5 faktor pendorong kepuasan pelanggan, yaitu kualitas produk, harga, service quality (kualitas pelayanan) namun dari sisi sistem dan teknologi, emotional factor, serta kemudahan. Secara kualitas produk, setidaknya ada 6 elemen dari kualitas produk, yaitu performance, durability, feature, consistency, dan design. Ditinjau dari sisi kualitas produk, Rumah Sakit Hasanah masih memiliki beberapa kekurangan, misalnya tampilan rumah sakit yang masih memiliki banyak kekurangan, misalnya dalam hal fasilitas yang masih kurang nyaman dan konsistensi pelayanan. Jika ditinjau dari sisi harga, untuk responden dalam penelitian ini termasuk dalam responden yang cukup sensitif terhadap harga. Mungkin mereka merasa harga yang harus dibayar kurang sepadan dengan pelayanan yang diterima. Di sisi lain kualitas pelayanan (service quality) sangat bergantung pada tiga hal, yaitu sistem, teknologi dan manusia. Secara teknologi, masih terdapat beberapa kelemahan, sehingga dalam pemeriksaan tertentu, seperti CT scan masih memerlukan bantuan dari rumah sakit lainnya. Sedangkan dari sisi emosional, terlihat responden masih kurang memiliki keterikatan emosional dengan rumah sakit karena yang berobat di rumah sakit ini tidak hanya dari kalangan Muhammadiyah saja. Ditinjau dari segi kemudahan, sebenarnya responden cukup mudah menjangkau rumah sakit ini karena terletak di lokasi yang mudah dijangkau. Oliver (1996) (Arief, 2007: 130) menyatakan bahwa kualitas jasa menurut persepsi pelanggan, sering berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh pihak manajemen. Pelanggan menilai kualitas jasa bukan hanya dari kualitas teknisnya saja, tetapi juga kualitas fungsionalnya, misalnya perhatian perawat pada dirinya. Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan keperawatan, maka dari itu manajemen selaku pengatur kebijakan rumah sakit harus lebih memperhatikan segala keputusan yang dihasilkan karena berkaitan dengan dengan ketidakmauan karyawan atau petugas khususnya perawat untuk melakukan komunikasi terapeutik yang mempengaruhi pelayanan perawatan. Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 Menurut Astuti (2009), dampak yang terjadi akibat rendahnya mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah munculnya berbagai keluhan klien dan keluarga seperti kekecewaan dan ketidakpuasan pelayanan kesehatan, yang lambat laun menurunkan kepercayaan masyarakat. Ketidakpuasan klien akhirnya mengakibatkan klien meninggalkan rumah sakit tersebut dan beralih ke pilihan lain (Arief, 2007: 165). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh perawat di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto, sebagian besar dari responden menganggap telah dilaksanakan sebanyak 38 responden (70,4%). 2. Kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto, sebagian besar dari responden merasa tidak puas sebanyak 31 responden (57,4%). 3. Hasil Spearman rho test diketahui p = 0,126 > (0,05), artinya tidak ada hubungan antara pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto. Saran 1. Diharapkan klien untuk memberikan pendapat yang sebenarnya tentang pelaksanaan komunikasi terapeutik yang terjadi di rumah sakit. Karena dengan demikian, rumah sakit 2. 3. 4. 5. mengetahui kelemahan yang ada pada dirinya khususnya berkaitan dengan sumber daya manusia yang ada, sehingga ke depan dapat lebih meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang ada, termasuk tentang komunikasi terapeutik yang dijalankan oleh perawat. Diharapkan perawat dapat menerapkan ketrampilan berkomunikasinya secara terapeutik dengan lebih baik agar dapat meningkatkan kepuasan klien, sehingga mempercepat proses penyembuhan klien. Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelatihan bagi karyawan, khususnya perawat akan cara berkomunikasi terapeutik yang baik, dengan demikian akan meningkatkan pelayanan keperawatan di rumah sakit tersebut. Diharapkan manajemen rumah sakit dapat lebih memperhatikan kebijakan yang dihasilkan, yang sekiranya dapat mempengaruhi kinerja petugas, khususnya perawat. Karena kinerja perawat termasuk cara berkomunikasi secara terapeutik dapat mempengaruhi pelayanan keperawatan yang diberikan. Rumah sakit hendaknya juga menyediakan kuesioner kepuasan klien akan pelayanan keperawatan yang diterima, sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi kinerja karyawan. Diharapkan peneliti berikutnya untuk memperdalam penelitian dengan tema serupa namun mengarah pada faktorfaktor yang mempengaruhi kepuasan klien akan pelayanan keperawatan, sehingga dapat diketahui faktor apa yang paling dominan mempengaruhi kepuasan klien akan pelayanan keperawatan. Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 DAFTAR PUSTAKA Antai, Deborah dan Otong. (2006). Nurse-Client Communication: a Life Span Approach. New York: Jones & Bartlett Publishers Arief, Mts. (2007). Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan. Malang: Bayumedia Publishing Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Asmadi. (2008). Konsep Keperawatan. Jakarta: EGC Dasar Astuti, Tri. (2009). Pengaruh Pelatihan Komunikasi Terapeutik terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Ketrampilan Komunikasi Perawat di RSUI Kustati Surakarta. (Internet). 2009 Available from: (www.etd.eprints.ums.ac.id) (Accessed 23 Oktober 2010) Azwar, Syaifudin. (2008). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Jakarta: Pustaka Pelajar Damaiyanti, Mukhripah. (2008). Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung: PT Refika Aditama Darmawan, Ibnu. (2009). Hubungan Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik dengan Kepuasan Klien dalam Mendapatkan Pelayanan Keperawatan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Soedarso Pontianak Kalimantan Barat. (Internet). Efendi, 2009. Available from: (www.eprints.undip.ac.id) (Accessed 12 Desember 2010) Lois, White. (2005). Foundations of Nursing. Second Ed. New York: Thomson Delmar Achmad Faruch. (2009). Hubungan Tipe Kepribadian Perawat dengan Tingkat Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Islam Surakarta. (Internet). 2009 Available from: (www.etd.eprints.ums.ac.id) (Accessed 18 Oktober 2010) LP2M Harmini. (2008). Hubungan Penerapan Komunikasi Terapeutik dengan Kepuasan Mutu Pelayanan Perawatan di Ruang Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Jurnal Profesi (Internet). Edisi 03/FebruariAgustus 2008 Available from: (www.isjd.pdii.lipi.go.id) (Accessed 7 November 2010) Hendra AW. (2008). Pengetahuan. (Internet) 7 Juni 2008 Available from: (www.ajangberkarya.wordpress.c om) (Accessed 29 November 2010) Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika ____________________. (2008). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika Irawan, Handi (2002). 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PT Gramedia Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto. (2009). Buku Panduan Penyusunan Skripsi dan Karya Tulis Ilmiah. Mojokerto: Stikes Bina Sehat PPNI Mamik. (2010). Manajemen Kesehatan Surabaya: Publishing Organisasi dan Pelayanan dan Kebidanan. Prins Media Maramis, Willy F. (2006). Ilmu Perilaku dalam Pelayanan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press Meliono, Irmayanti, dkk. (2007). Pengetahuan. (Internet). 2007. Available from: (id.wikipedia.org/wiki/informasi) (Accessed 2 November 2010) Mundakir. (2006). Komunikasi Keperawatan: Aplikasi dalam Pelayanan. Yogyakarta: Graha Ilmu Murti, Bhisma. (2003). Mengembangkan Indikator Kualitas Pelayanan Kesehatan. (Internet). Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Volume 06/No. 02/2003 Available from: (www.ilib.ugm.ac.id) (Accessed 2 November 2010) Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta (Supervisi, Manajemen Mutu dan Resiko). (Internet). 11-16 Mei 2009 Available from: (www.pustaka.unpad.ac.id) (Accessed 8 Oktober 2010) Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Riduwan. (2007). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Jakarta: EGC Nursalam dan Siti Pariani. (2001). Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : CV. Sagung Seto Santoso, Edi dan Mite Setiansah. (2010). Teori Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu Palestin, Bondan. (2006). Penerapan Komunikasi Terapeutik untuk Mengoreksi Perilaku Klien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus. (Internet). 20 Oktober 2006 Available from: (www.bondanmanajemen.blogsp ot.com) (Accessed 21 November 2010) Setiawan dan M. Sukri Tanjung. (2005). Efek Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi D Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. (Internet). Jurnal Keperawatan Rufaidah Volume 1 Mei 2005 Available from: (www.repository.usu.ac.id) (Accessed 17 November 2010) Pohan, Imbalo S. (2007). Jaminan Mutu Layanan Kesehatan: Dasardasar Pengertian dan Penerapan. Jakarta: EGC Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4. Volume 1. Jakarta: EGC Purba, Jenny Marlindawani. (2003). Komunikasi dalam Keperawatan. (Internet). 2003 Available from: (www.repository.usu.ac.id) (Accessed 8 Oktober 2010) Rakhmad, Jalaludin. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya Rakhmawati, Windy. (2009). Pengawasan dan Pengendalian dalam Pelayanan Keperawatan Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2 Simatupang, Erna Juliana. (2008). Manajemen Pelayanan Kebidanan. Jakarta: EGC Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Jakarta: CV. Pustaka Setia Sugiyono. (2007). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC Supranto. (2006). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: PT Rineka Cipta Tamsuri, Anas. (2005). Konseling dalam Keperawatan. Jakarta: EGC Triatmojo. (2007). Mengukur Kepuasan Pelanggan. (Internet). 4 Mei 2007 Available from: (www.triatmojo.wordpress.com) (Accessed 27 Oktober 2010) Utama, Surya. (2003). Memahami Fenomena Kepuasan Pasien Rumah Sakit: Referensi Pendukung untuk Mahasiswa, Akademik, Pimpinan, Organisasi dan Praktisi Kesehatan. (Internet). 2003 Available from: (www.repository.usu.ac.id) (Accessed 15 Oktober 2010) Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Wahyudin, Uud. (2009). Membangun Komunikasi Terapeutik. (Internet). 29 Januari 2009 Available from: (www.m.kompas.com) (Accessed 18 Oktober 2010) Walgito, Bimo. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2