Full Text - EJournal Stikes PPNI Bina Sehat Mojokerto

advertisement
HUBUNGAN PELAKSANAAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN
KEPUASAN KLIEN AKAN PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUANG
RAWAT INAP KELAS 3 SHOFA DAN MARWAH RSI HASANAH KOTA
MOJOKERTO
Heri Triwibowo, Nur Hamim
ABSTRACT
The application of therapeutic communication could affect the client's health
progress. But until now, nurse rarely use therapeutic communication, thus affecting the
satisfaction of client who receives nursing services. The research objective is to analyze
the relationship between implementation of therapeutic communication with client
satisfaction who receives nursing services in 3rd Class Shofa and Marwah Patient Room
RSI Hasanah Mojokerto. This research design is analytic correlation with cross sectional
approach. The population is all client who were treated in 3rd Class Shofa and Marwah
Patient Room RSI Hasanah Mojokerto for about 71 people, with 54 people taken as the
sample by using consecutive sampling. Independent variable is implementation of
therapeutic communication and dependent variable is client satisfaction who receives
nursing services. Datas are collected by using questionaire. Then analyzed using the
Spearman Rho Test with SPSS version 17.0. Results showed most respondents consider
therapeutic communication has been implemented and mostly dissatisfied. There is no
relationship between the implementation of therapeutic communication with client
satisfaction who receives nursing services at p (0.216) > α (0.05). It means there are two
possible causes. First, respondents had less courageous to admit that nurse therapeutic
communication has not implemented yet. Second, client satisfaction was affected by other
factors outside therapeutic communication. Other possible factors include product
quality, price, service quality but in terms of systems and technology, emotional factors,
ease, and also management. Nurses should implement their skill on therapeutic
communication. The management of this hospital should be aware that his policy must be
pleasant to get client’s satisfaction.
Keywords: therapeutic communication, client satisfaction, nursing services
PENDAHULUAN
Komunikasi profesional bagi
perawat dikenal sebagai komunikasi
terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan dan
dilakukan
untuk
membantu
penyembuhan atau pemulihan klien atau
pasien
(Damaiyanti,
2008:
11).
Penerapan komunikasi terapeutik dalam
pelayanan keperawatan mempunyai
peran yang besar terhadap kemajuan
kesehatan klien. Karena komunikasi
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
terapeutik meningkatkan hubungan
interpersonal dengan klien, sehingga
akan tercipta suasana yang kondusif
dimana klien dapat mengungkapkan
perasaan
dan
harapan-harapannya
(Sundberg, 1989 dalam Palestin, 2006).
Klien merasakan bahwa perawat prihatin
terhadapnya, bahwa perawat memahami
apa yang ia rasakan dan apa yang
menyebabkan ia merasakan demikian
(Riley, 2004 dalam Maramis, 2006:
236). Kondisi saling percaya yang telah
dibangun diantara perawat dan klien
tersebut
akan
mempermudah
pelaksanaan dan keberhasilan program
pengobatan (Sundeen S.J., et.al, 1994
dalam Palestin, 2006).
Kelemahan dalam berkomunikasi
merupakan masalah yang serius bagi
perawat maupun klien. Bahkan prinsip
dasar komunikasi terapeutik seringkali
diabaikan oleh perawat. Diantara mereka
ada yang beranggapan bahwa mereka
tidak membutuhkan keahlian lain kecuali
melakukan tindakan medis untuk
menyembuhkan penyakit. Komunikasi
perawat dengan pasien umumnya
bersifat formal dan terbatas (Wahyudin,
2009). Komunikasi yang dilakukan
perawat sebagai orang yang terdekat dan
paling lama berada di dekat pasien
cenderung mengarah pada tugas perawat
daripada mengenali
kondisi
dan
pandangan-pandangan klien (Faulkner,
1979; Mc Leod Clark, 1981; Melia, 1987
dikutip dari Ellis dkk, 1999 dalam
Setiawan dan Tanjung, 2005). Perawat
hanya berkomunikasi dengan klien saat
akan melakukan tindakan dan tidak
pernah bertanya atau memberikan
komentar
apabila
tidak
ditanya,
termasuk tidak pernah memperkenalkan
diri. Umumnya perawat melakukan
komunikasi berdasarkan kebiasaan atau
rutinitas dalam bekerja sehari-hari. Ada
pula
yang
sudah
melaksanakan
komunikasi terapeutik, akan tetapi
belum memperhatikan tehnik-tehnik dan
tahapan komunikasi terapeutik yang baik
dan benar. Hal ini dapat mempengaruhi
kepuasan klien yang menerima tindakan
keperawatan (Darmawan, 2009).
RSI Hasanah Kota Mojokerto
merupakan rumah sakit yang cukup
dikenal
oleh
masyarakat
Kota
Mojokerto. Namun jumlah perawat di
rumah sakit ini masih kurang sebanding
dengan jumlah pasien yang ada, yaitu
1:8 artinya 1 perawat harus menangani 8
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
orang klien. Selain itu berdasarkan
observasi
dan
wawancara
yang
dilakukan peneliti di Ruang Rawat Inap
Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah
Kota Mojokerto, perawat belum
melaksanakan komunikasi terapeutik
sesuai tahapan dan teknik komunikasi
terapeutik.
Perawat
berkomunikasi
dengan klien hanya saat akan melakukan
tindakan, seperti saat akan memberikan
suntikan atau tindakan perawatan lain
dan tidak pernah bertanya atau
memberikan komentar apabila tidak
ditanya oleh klien, termasuk tidak
pernah
memperkenalkan
diri.
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada tanggal 2-6 November
2010 di Ruang Rawat Inap Kelas 3
Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota
Mojokerto dengan teknik wawancara
pada 10 klien mendapatkan data: 7 klien
(70%) menyatakan kurang puas dengan
pelayanan keperawatan yang diberikan,
yang terdiri dari 4 klien (57%)
menyatakan tidak tersedianya fasilitas
bel panggil perawat sebagai alat
berkomunikasi,
perawat
kurang
menanggapi
keluhan
klien
atau
keluarganya, dan klien merasa kurang
mendapat pelayanan yang semestinya,
misalnya masih ada perawat yang tidak
memperkenalkan
diri,
maupun
menjawab pertanyaan klien dengan tidak
sopan atau bergurau. 3 klien (43%)
menyatakan bahwa tidak tersedianya
fasilitas bel panggil perawat sebagai alat
berkomunikasi, perawat kadang lupa
dengan kewajibannya (misalnya lupa
waktunya mengganti infus), perawat
susah dihubungi (sering tidak berada di
ruang perawat), kurang menanggapi
keluhan klien dan hanya mendengarkan
saja
saat
klien
mengeluhkan
penyakitnya, kurang ramah dan jarang
tersenyum, kasar dalam menjawab
pertanyaan klien, tidak berusaha
memberikan informasi yang dibutuhkan
klien. Sedangkan 3 klien (30%) lainnya
menyatakan
cukup
puas
dengan
pelayanan
keperawatan,
meski
mengeluhkan tidak adanya fasilitas bel
panggil untuk perawat.
Dalam pengelolaan rumah sakit,
perawat memegang faktor kunci
keberhasilan pelayanan rumah sakit
(Achiryani dalam Harmini, 2008: 35).
Dalam bekerja, perawatlah yang paling
banyak dan paling sering berhubungan
dengan pasien maupun keluarganya,
sehingga memungkinkan perawat sering
berkomunikasi dengan pasien maupun
keluarganya.
Kemampuan
perawat
dalam berkomunikasi dengan klien
merupakan hal yang mendasari dan
penting bagi penyelenggaraan proses
keperawatan (Tamsuri, 2005: 34). Mutu
pelayanan perawatan salah satunya
dipengaruhi oleh baik buruknya perawat
dalam melakukan komunikasi terapeutik
(Harmini, 2008: 36). Bahkan disebutkan
oleh Lois (2005: 119) bahwa komunikasi
terapeutik merupakan salah satu aspek
paling penting dalam
pelayanan
keperawatan.
Kompetensi
perawat
biasanya dinilai dari kemampuan mereka
dalam berkomunikasi. Kepuasan klien
akan meningkat jika perawat mampu
melakukan komunikasi yang baik dan
peningkatan kepuasan klien memiliki
nilai positif bagi proses perawatan
dirinya. Faktor kunci dalam penilaian
pelayanan kesehatan di mata klien
adalah komunikasi yang dilakukan oleh
perawat.
Kepuasan klien adalah suatu
keadaan dimana keinginan, harapan dan
kebutuhan klien dipenuhi. Suatu
pelayanan dinilai memuaskan bila
pelayanan tersebut dapat memenuhi
kebutuhan dan harapan klien (Triatmojo,
2007). Sabarguna (2003) dalam Harmini
(2008: 38) menyatakan kepuasan pasien
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
berorientasi pada mutu pelayanan
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu sarana
atau alat (fasilitas dan peralatan),
petugas (pengetahuan, sikap dan
perilaku), serta manajemen (kebijakan,
prosedur, maupun peraturan). Perawat
sebagai salah satu petugas harus
memperhatikan berbagai aspek, terutama
aspek komunikasi sebagai aspek yang
mendasari seluruh proses perawatan
klien. Sejalan dengan hal tersebut,
Oliver (1996) (Arief, 2007: 130)
menyatakan bahwa kualitas jasa menurut
persepsi pelanggan, sering berbeda
dengan apa yang dipersepsikan oleh
pihak manajemen. Pelanggan menilai
kualitas jasa bukan hanya dari kualitas
teknisnya saja, tetapi juga kualitas
fungsionalnya,
misalnya
perhatian
perawat pada dirinya. Perawat yang
memiliki ketrampilan berkomunikasi
secara terapeutik tidak saja akan mudah
menjalin hubungan rasa percaya dengan
klien, mencegah terjadinya masalah
legal, memberikan kepuasan profesional
dalam pelayanan keperawatan dan
meningkatkan citra profesi keperawatan
serta citra rumah sakit (Purba, 2003).
Jika komunikasi perawat kurang
baik, hal ini akan berimbas pada
penilaian klien terhadap perawat.
Penilaian negatif ini tentunya akan
berdampak
pada
profesionalisme
keperawatan (Asmadi, 2008: 80).
Menurut Astuti (2009), dampak yang
terjadi akibat rendahnya mutu pelayanan
kesehatan di rumah sakit adalah
munculnya berbagai keluhan klien dan
keluarga seperti kekecewaan dan
ketidakpuasan pelayanan kesehatan,
yang
lambat
laun
menurunkan
kepercayaan masyarakat. Maka dari itu,
setiap perawat pada saat sedang bekerja
perlu menghargai bahwa pelayanan
kesehatan yang diberikan adalah sebuah
bisnis (Potter dan Perry, 2005: 29).
Ketidakpuasan
klien
akhirnya
mengakibatkan klien meninggalkan
rumah sakit tersebut dan beralih ke
pilihan lain (Arief, 2007: 165).
Kepuasan pelanggan adalah hal
utama yang harus diperhatikan oleh
pelaku pelayanan jasa. Salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi kepuasan
klien akan pelayanan keperawatan
adalah
komunikasi
terapeutik.
Kemampuan perawat dalam menerapkan
tehnik
komunikasi
terapeutik
memerlukan latihan dan kepekaan serta
ketajaman perasaan, karena komunikasi
terjadi tidak dalam kemampuan tetapi
dalam dimensi nilai, waktu dan ruang
yang turut mempengaruhi keberhasilan
komunikasi yang terlihat melalui
dampak terapeutiknya bagi klien dan
juga kepuasan. Hal lain yang cukup
penting diperhatikan adalah dimensi
hubungan. Dimensi ini merupakan faktor
penunjang yang sangat berpengaruh
dalam mengembangkan kemampuan
berhubungan terapeutik (Purba, 2003).
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian,
desain penelitian yang digunakan adalah
analitik korelasional. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh klien
(pasien) yang dirawat di Ruang Rawat
Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI
Hasanah Kota Mojokerto sebanyak 71
orang. sampel yang digunakan adalah
sebagian klien (pasien) di Ruang Rawat
Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI
Hasanah
Kota
Mojokerto
yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 54
orang. Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis
consecutive sampling. Analisa data pada
penelitian ini menggunakan program
SPSS for Windows dengan memakai uji
korelasi Spearman rho
HASIL PENELITIAN
1. Pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh perawat di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa
dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto.
Tabel 1. Distribusi frekuensi pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh perawat di
Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto
tanggal 4-18 Mei 2011
No
1.
2.
Pelaksanaan komunikasi
terapeutik
Dilaksanakan
Tidak dilaksanakan
Total
Frekuensi
Prosentase
38
16
54
70,4
29,6
100
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar dari responden menganggap
komunikasi terapeutik telah dilaksanakan sebanyak 38 responden (70,4%).
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
2. Kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan
Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto.
Tabel 2 Distribusi frekuensi kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang
Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto tanggal
4-18 Mei 2011
No
1.
2.
Frekuensi
Prosentase
Puas
23
42,6
Tidak puas
31
57,4
Total
54
100
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar dari responden merasa
tidak puas sebanyak 31 responden (57,4%).
3. Hubungan pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan kepuasan klien akan pelayanan
keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota
Mojokerto.
Tabel 3 Tabulasi silang hubungan pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan
kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3
Shofa dan Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto tanggal 4-18 Mei 2011
Pelaksanaan
komunikasi
terapeutik
Dilaksanakan
Tidak
dilaksanakan
Total
Kepuasan klien
Kepuasan klien
Puas
Tidak puas
F
%
f
%
19
35,2
19
35,2
4
7,4
12
22,2
f
38
16
%
70,4
29,6
23
54
100
42,6
31
57,4
Total
Berdasarkan uji Spearman’s rho didapatkan nilai p (0,126) > α (0,05), artinya H0
diterima sehingga tidak ada hubungan pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan
kepuasan klien akan pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa dan
Marwah RSI Hasanah Kota Mojokerto.
PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan komunikasi terapeutik
oleh perawat di Ruang Rawat Inap
Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI
Hasanah Kota Mojokerto.
Berdasarkan table 1 diketahui
bahwa sebagian besar dari responden
menganggap komunikasi terapeutik telah
dilaksanakan sebanyak 38 responden
(70,4%). Klien menganggap komunikasi
terapeutik telah dilaksanakan yang
disebabkan dua kemungkinan, yaitu
pertama, klien merasa perawat cukup
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
memperhatikan dirinya, mengerti apa
yang sedang dirasakan dan dialaminya
dan berempati akan penderitaannya.
Responden memandang dalam interaksi
setiap
harinya
perawat
cukup
memperhatikan
kebutuhan
dirinya.
Kedua, klien memiliki kekhawatiran jika
ia menyatakan bahwa perawat belum
melaksanakan komunikasi terapeutik
akan mempengaruhi kinerja perawat
dalam melakukan perawatan terhadap
dirinya.
Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan Videbeck (2008: 123)
bahwa komunikasi terapeutik adalah
suatu interaksi interpersonal antara
perawat dan klien, yang selama interaksi
berlangsung, perawat berfokus pada
kebutuhan
khusus
klien
untuk
meningkatkan pertukaran informasi yang
efektif
antara
perawat-klien.
Ketrampilan dalam menggunakan teknik
komunikasi
terapeutik
membantu
perawat memahami dan berempati
terhadap pengalaman klien. Pelaksanaan
komunikasi terapeutik dipengaruhi oleh
umur, pekerjaan, jenis kelamin dan
pendidikan.
Rata- rata umur responden >35
tahun. Usia responden yang sudah
matang
menunjukkan
kemampuan
responden dalam memahami orang lain
dan berkomunikasi lebih baik daripada
yang berusia muda. Responden juga
menyadari keberadaannya di rumah sakit
karena
membutuhkan
perawatan
kesehatan dengan segala keterbatasan
ekonomi yang dimiliki. Melakukan
penilaian tentang cara berkomunikasi
perawat dianggapnya sesuatu yang
dikhawatirkan akan mempengaruhi
kinerja perawat dalam melakukan
perawatan pada dirinya, sehingga
berdasarkan pertimbangan tersebut ia
menilai cara berkomunikasi perawat
telah dilaksanakan dengan cukup baik.
Hal ini sesuai dengan teori Lois (2005:
111) bahwa usia mempengaruhi proses
komunikasi. Sebagai contoh, cara
berkomunikasi dengan anak berbeda
dengan cara berkomunikasi dengan
orang dewasa dan sangat tergantung
pada usia.
Rata- rata responden bekerja.
Dengan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, responden sering
bertemu dengan orang lain, sehingga
responden mengenal berbagai karakter
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
orang
dan
mengetahui
cara
berkomunikasi orang lain sesuai atau
tidak. Selain itu, kelas perawatan
responden yaitu kelas 3 merupakan
strata ekonomi lemah yang seringkali
menganggap wajar apapun perlakuan
perawat terhadap dirinya. Kekhawatiran
akan dampak penilaian terhadap kinerja
pelayanan
perawat
pada
dirinya
menyebabkan
responden
menilai
komunikasi
terapeutik
telah
dilaksanakan perawat dengan cukup
baik. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Sunaryo (2004: 12)
bahwa individu yang berbeda secara
sosial ekonomi akan berbeda pula dalam
memenuhi kebutuhan hidup serta cara
pandangnya terhadap menanggapi suatu
masalah.
Rata- rata responden berjenis
kelamin laki-laki. Meski sebagian besar
responden adalah laki-laki, namun yang
menyatakan
bahwa
komunikasi
terapeutik telah dilaksanakan sebagian
besar adalah responden perempuan. Hal
ini disebabkan perempuan atau wanita
lebih menginginkan menghindari konflik
atau meminimalkan perbedaan. Karena
kekhawatiran jika ia mengungkapkan
keluhan akan mempengaruhi perawatan
yang diberikan, sehingga ia menganggap
komunikasi yang dijalankan oleh
perawat sudah cukup baik. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh
Potter dan Perry (2005: 309) bahwa
perbedaan jenis kelamin mempengaruhi
proses komunikasi. Pria dan wanita
memiliki gaya komunikasi yang berbeda
dan satu sama lain saling mempengaruhi
proses komunikasi secara unik. Wanita
menggunakan bahasa untuk mencari
konfirmasi, meminimalkan perbedaan
dan menetapkan atau menguatkan
keintiman.
Sebaliknya
laki-laki
menggunakan bahasa untuk menetapkan
kebebasan dan menegosiasikan aktifitas
status dalam kelompok yang besar,
meskipun ketika mereka ingin berteman,
mereka umumnya melakukannya dengan
adu otot.
Ratarata
responden
berpendidikan SD. Pendidikan yang
rendah
menyebabkan
kemampuan
responden untuk menilai pelaksanaan
komunikasi terapeutik perawat juga
terbatas. Hal ini membuat responden
menilai bahwa cara berkomunikasi
perawat sudah cukup baik. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan
Notoatmodjo (1997) dalam Hendra
(2008), bahwa pendidikan adalah suatu
kegiatan atau proses pembelajaran untuk
mengembangkan atau meningkatkan
kemampuan tertentu sehingga sasaran
pendidikan itu dapat berdiri sendiri.
Kemampuan mengenal bahasa dapat
meningkatkan
kemampuan
untuk
berdiskusi dan memahami konsep serta
ide-ide abstrak (Lois, 2005: 112).
2. Kepuasan klien akan pelayanan
keperawatan di Ruang Rawat Inap
Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI
Hasanah Kota Mojokerto.
Berdasarkan tabel 2 diketahui
bahwa sebagian besar dari responden
merasa tidak puas sebanyak 31
responden
(57,4%).
Kurangnya
kepuasan
klien
akan
pelayanan
keperawatan yang diberikan terjadi
akibat adanya kesenjangan antara
harapan klien akan pelayanan yang
diberikan dengan kenyataan yang ada.
Hal ini mungkin terjadi karena kelas
perawatan klien adalah kelas 3 yang
seringkali
diremehkan
karena
merupakan strata ekonomi lemah yang
dianggap tidak memerlukan pelayanan
yang maksimal. Sedangkan di pihak
klien sendiri berusaha untuk menerima
pelayanan yang diberikan karena
menyadari dirinya hanya mampu
memilih perawatan di kelas tersebut.
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
Namun rasa ketidakpuasan tetap ada dan
mendasari keputusan klien untuk
menyatakan rasa tidak puas tersebut. Hal
ini
sesuai
dengan
teori
yang
dikemukakan oleh Kotler (1997) bahwa
kepuasan pelanggan adalah “…a
person’s feeling of pleasure or
disappointment
resulting
from
comparing a product’s received
performance (or outcome) in relations to
the person’s expectation.” (Kepuasan
pelanggan adalah perasaan senang atau
kecewa seseorang yang berasal dari
perbandingan antara kesannya terhadap
kinerja (hasil) suatu produk dan harapanharapannya). Jadi harapan pelanggan
merupakan perkiraan atau keyakinan
pelanggan tentang apa yang akan
diterimanya bila ia membeli atau
mengkonsumsi suatu produk (barang
atau jasa). Sementara itu, kinerja yang
dirasakan adalah persepsi pelanggan
terhadap apa yang ia terima setelah
mengkonsumsi produk yang dibeli.
Kepuasan merupakan fungsi dari kesan
kinerja (performance) dan harapan
(expectation). Jika kinerja berada di
bawah harapan, pelanggan tidak puas
(dissatisfaction). Jika kinerja melebihi
harapan, pelanggan sangat puas atau
senang (delight) (Arief, 2007: 167-168).
Apabila pelanggan merasa tidak puas
terhadap
suatu
pelayanan
yang
disediakan, maka pelayanan tersebut
dapat dipastikan tidak efektif dan tidak
efisien (Riduwan, 2007: 35). Kepuasan
klien dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya umur, pekerjaan, jenis
kelamin, dan pendidikan.
Rata- rata umur responden >35
tahun. Usia responden yang sebagian
besar
>35
tahun
menunjukkan
kemampuan
responden
dalam
memahami dan menilai sudah cukup
matang dan dewasa. Responden
menyadari keberadaannya di rumah sakit
karena
membutuhkan
perawatan
kesehatan dengan segala keterbatasan
ekonomi yang dimiliki. Kurang baiknya
pelayanan yang diberikan pihak rumah
sakit khususnya berkaitan dengan
masalah komunikasi terapeutik perawat
menyebabkan responden merasa kurang
puas. Hal ini sesuai dengan teori
Hurlock (1998) dalam Nursalam dan
Pariani (2001: 134) bahwa semakin
cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berpikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan masyarakat, seseorang yang
lebih dewasa akan lebih dipercaya dari
orang yang belum cukup tinggi
kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat
pengalaman dan kematangan jiwanya.
Rata- rata umur responden
bekerja. Meski bekerja, namun kondisi
ekonomi responden masih cukup
terbatas, sehingga hanya memiliki
kemampuan untuk dirawat di kelas 3.
Hal ini menyebabkan pelayanan
keperawatan yang diberikan juga dirasa
kurang maksimal, sehingga membuat
responden merasa kurang puas. Hal ini
sesuai dengan teori yang dikemukakan
Sunaryo (2004: 12), bahwa individu
yang berbeda secara sosial ekonomi
akan berbeda pula dalam memenuhi
kebutuhan hidup serta cara pandangnya
terhadap menanggapi suatu masalah.
Rata- rata umur responden
berjenis kelamin laki-laki. Meski
responden sebagian besar berjenis
kelamin laki-laki, yang biasanya jarang
mengungkapkan apa yang mereka
rasakan, namun mungkin karena
pengaruh lingkungan, sehingga mereka
mampu menyatakan bahwa mereka
kurang
puas
dengan
pelayanan
keperawatan yang diberikan. Hal ini
sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh
Rakhmad (2007: 46) bahwa persepsi kita
tentang sejauh mana lingkungan
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
memuaskan atau mengecewakan kita,
akan mempengaruhi perilaku kita dalam
lingkungan
tersebut.
Lingkungan
mempengaruhi hubungan komunikasi
antar manusia. Selain itu lingkungan
juga menciptakan struktur sosial yang
terdiri dari sistem peranan dan normanorma
kelompok
yang
sangat
mempengaruhi pola komunikasi diantara
kelompok tersebut dan selanjutnya
mempengaruhi
persepsi
anggota
kelompoknya.
Rata- rata umur responden
pendidikannya SD. Pendidikan SD
menunjukkan pendidikan dasar yang
paling rendah serta menunjukkan
kemampuan
responden
dalam
menganalisis sesuatu masih terbatas.
Dalam menilai pelayanan keperawatan
yang
diberikan,
responden
mengkaitkannya dengan kelas perawatan
dimana dirinya berada. Responden
merasa pelayanan yang diberikan masih
kurang maksimal, namun responden
tidak mampu menyatakannya pada
perawat akibat kurangnya kemampuan
untuk menyampaikan kritikan atau saran
karena kekhawatiran akan pelayanan
yang diberikan akan semakin kurang
maksimal. Hal ini sesuai dengan teori
Rakhmad (2007: 58) yang menyatakan
bahwa dalam mempersepsikan sesuatu
dibutuhkan kerangka rujukan yang dapat
memberi makna pada pesan yang
diterima (stimulus) oleh seseorang. Jika
orang tersebut tidak memiliki kerangka
rujukan yang cukup memadai, maka
pesan yang tersampaikan kepadanya
tidak akan menimbulkan pengaruh apaapa.
3. Hubungan pelaksanaan komunikasi
terapeutik dengan kepuasan klien
akan pelayanan keperawatan di
Ruang Rawat Inap Kelas 3 Shofa
dan Marwah RSI Hasanah Kota
Mojokerto.
Berdasarkan uji Spearman’s rho
didapatkan nilai p (0,126) > α (0,05),
artinya H0 diterima sehingga tidak ada
hubungan
pelaksanaan komunikasi
terapeutik dengan kepuasan klien akan
pelayanan keperawatan di Ruang Rawat
Inap Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI
Hasanah Kota Mojokerto. Kepuasan
klien adalah suatu keadaan dimana
keinginan, harapan dan kebutuhan klien
dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai
memuaskan bila pelayanan tersebut
dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
klien (Triatmojo, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan
tidak ada hubungan antara pelaksanaan
komunikasi terapeutik dengan kepuasan
klien akan pelayanan keperawatan,
berarti terdapat dua kemungkinan
penyebabnya.
Pertama,
responden
kurang memiliki keberanian untuk
mengungkapkan bahwa komunikasi
terapeutik yang dijalankan perawat tidak
dilaksanakan karena khawatir jika hal
tersebut dapat mempengaruhi kinerja
perawat dalam melakukan pelayanan
keperawatan pada dirinya. Hal ini
menunjukkan
perawat
sebenarnya
memiliki
kemampuan
untuk
melaksanakan komunikasi terapeutik,
namun tidak mau melaksanakannya.
Kedua, tidak puasnya responden akan
pelayanan keperawatan yang diberikan
dapat disebabkan oleh faktor lain selain
komunikasi terapeutik. Artinya kepuasan
klien akan pelayanan keperawatan
dipengaruhi oleh faktor lain di luar
komunikasi terapeutik. Faktor lain yang
memungkinkan mempengaruhi kepuasan
klien akan pelayanan keperawatan
diantaranya kualitas produk, harga,
service quality (kualitas pelayanan)
namun dari sisi sistem dan teknologi,
emotional factor, kemudahan, serta
manajemen
(kebijakan,
prosedur,
maupun peraturan).
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
Sabarguna (2003) dalam Harmini
(2008: 38) menyatakan kepuasan pasien
berorientasi pada mutu pelayanan
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu sarana
atau alat (fasilitas dan peralatan),
petugas (pengetahuan, sikap dan
perilaku), serta manajemen (kebijakan,
prosedur, maupun peraturan). Ditinjau
dari sisi manajemen dapat diketahui
bahwa ketersediaan peralatan, sumber
daya manusia, harga, dan pelayanan
yang diberikan pada dasarnya sangat
tergantung dari kebijakan manajemen
yang bersangkutan. Jika petugas,
khususnya dalam hal ini perawat merasa
puas dengan kebijakan, prosedur, dan
peraturan yang berlaku bagi mereka,
maka mereka akan memberikan yang
terbaik pula bagi klien, sebaliknya jika
perawat tidak merasa puas dengan ketiga
hal tersebut maka akan mempengaruhi
pelayanan yang mereka berikan pada
konsumen. Selain itu yang juga
bersentuhan langsung dengan klien
adalah masalah kualitas produk, harga,
service quality (kualitas pelayanan) dari
sisi sistem dan teknologi, emotional
factor, kemudahan yang akan dibahas
menggunakan teori Handy Irawan
(2002).
Menurut Irawan (2002: 37-39),
terdapat ada 5 faktor pendorong
kepuasan pelanggan, yaitu kualitas
produk, harga, service quality (kualitas
pelayanan) namun dari sisi sistem dan
teknologi, emotional factor, serta
kemudahan. Secara kualitas produk,
setidaknya ada 6 elemen dari kualitas
produk, yaitu performance, durability,
feature, consistency, dan design.
Ditinjau dari sisi kualitas produk, Rumah
Sakit Hasanah masih memiliki beberapa
kekurangan, misalnya tampilan rumah
sakit yang masih memiliki banyak
kekurangan, misalnya dalam hal fasilitas
yang masih kurang nyaman dan
konsistensi pelayanan. Jika ditinjau dari
sisi harga, untuk responden dalam
penelitian ini termasuk dalam responden
yang cukup sensitif terhadap harga.
Mungkin mereka merasa harga yang
harus dibayar kurang sepadan dengan
pelayanan yang diterima. Di sisi lain
kualitas pelayanan (service quality)
sangat bergantung pada tiga hal, yaitu
sistem, teknologi dan manusia. Secara
teknologi, masih terdapat beberapa
kelemahan, sehingga dalam pemeriksaan
tertentu, seperti CT scan masih
memerlukan bantuan dari rumah sakit
lainnya. Sedangkan dari sisi emosional,
terlihat responden masih kurang
memiliki keterikatan emosional dengan
rumah sakit karena yang berobat di
rumah sakit ini tidak hanya dari
kalangan Muhammadiyah saja. Ditinjau
dari segi kemudahan, sebenarnya
responden cukup mudah menjangkau
rumah sakit ini karena terletak di lokasi
yang mudah dijangkau.
Oliver (1996) (Arief, 2007: 130)
menyatakan bahwa kualitas jasa menurut
persepsi pelanggan, sering berbeda
dengan apa yang dipersepsikan oleh
pihak manajemen. Pelanggan menilai
kualitas jasa bukan hanya dari kualitas
teknisnya saja, tetapi juga kualitas
fungsionalnya,
misalnya
perhatian
perawat pada dirinya. Penelitian ini
menunjukkan tidak ada hubungan antara
pelaksanaan komunikasi terapeutik
dengan kepuasan klien akan pelayanan
keperawatan, maka dari itu manajemen
selaku pengatur kebijakan rumah sakit
harus lebih memperhatikan segala
keputusan yang dihasilkan karena
berkaitan dengan dengan ketidakmauan
karyawan atau petugas khususnya
perawat untuk melakukan komunikasi
terapeutik
yang
mempengaruhi
pelayanan perawatan.
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
Menurut Astuti (2009), dampak
yang terjadi akibat rendahnya mutu
pelayanan kesehatan di rumah sakit
adalah munculnya berbagai keluhan
klien dan keluarga seperti kekecewaan
dan ketidakpuasan pelayanan kesehatan,
yang
lambat
laun
menurunkan
kepercayaan masyarakat. Ketidakpuasan
klien akhirnya mengakibatkan klien
meninggalkan rumah sakit tersebut dan
beralih ke pilihan lain (Arief, 2007:
165).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pelaksanaan komunikasi terapeutik
oleh perawat di Ruang Rawat Inap
Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI
Hasanah Kota Mojokerto, sebagian
besar dari responden menganggap
telah dilaksanakan sebanyak 38
responden (70,4%).
2. Kepuasan klien akan pelayanan
keperawatan di Ruang Rawat Inap
Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI
Hasanah Kota Mojokerto, sebagian
besar dari responden merasa tidak
puas sebanyak 31 responden
(57,4%).
3. Hasil Spearman rho test diketahui
p = 0,126 >  (0,05), artinya tidak
ada hubungan antara pelaksanaan
komunikasi terapeutik dengan
kepuasan klien akan pelayanan
keperawatan di Ruang Rawat Inap
Kelas 3 Shofa dan Marwah RSI
Hasanah Kota Mojokerto.
Saran
1. Diharapkan klien untuk memberikan
pendapat yang sebenarnya tentang
pelaksanaan komunikasi terapeutik
yang terjadi di rumah sakit. Karena
dengan demikian, rumah sakit
2.
3.
4.
5.
mengetahui kelemahan yang ada pada
dirinya khususnya berkaitan dengan
sumber daya manusia yang ada,
sehingga ke depan dapat lebih
meningkatkan
mutu
pelayanan
keperawatan yang ada, termasuk
tentang komunikasi terapeutik yang
dijalankan oleh perawat.
Diharapkan
perawat
dapat
menerapkan
ketrampilan
berkomunikasinya secara terapeutik
dengan lebih baik agar dapat
meningkatkan
kepuasan
klien,
sehingga
mempercepat
proses
penyembuhan klien.
Diharapkan rumah sakit dapat
memberikan pelatihan bagi karyawan,
khususnya perawat akan cara
berkomunikasi terapeutik yang baik,
dengan demikian akan meningkatkan
pelayanan keperawatan di rumah
sakit tersebut.
Diharapkan manajemen rumah sakit
dapat lebih memperhatikan kebijakan
yang dihasilkan, yang sekiranya dapat
mempengaruhi
kinerja
petugas,
khususnya perawat. Karena kinerja
perawat termasuk cara berkomunikasi
secara
terapeutik
dapat
mempengaruhi
pelayanan
keperawatan yang diberikan. Rumah
sakit hendaknya juga menyediakan
kuesioner kepuasan klien akan
pelayanan
keperawatan
yang
diterima, sehingga dapat digunakan
sebagai bahan evaluasi kinerja
karyawan.
Diharapkan peneliti berikutnya untuk
memperdalam penelitian dengan tema
serupa namun mengarah pada faktorfaktor yang mempengaruhi kepuasan
klien akan pelayanan keperawatan,
sehingga dapat diketahui faktor apa
yang paling dominan mempengaruhi
kepuasan klien akan pelayanan
keperawatan.
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
DAFTAR PUSTAKA
Antai, Deborah dan Otong. (2006).
Nurse-Client Communication: a
Life Span Approach. New York:
Jones & Bartlett Publishers
Arief, Mts. (2007). Pemasaran Jasa dan
Kualitas Pelayanan. Malang:
Bayumedia Publishing
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta
Asmadi.
(2008).
Konsep
Keperawatan. Jakarta: EGC
Dasar
Astuti, Tri. (2009). Pengaruh Pelatihan
Komunikasi Terapeutik terhadap
Pengetahuan,
Sikap,
dan
Ketrampilan
Komunikasi
Perawat di RSUI Kustati
Surakarta.
(Internet).
2009
Available
from:
(www.etd.eprints.ums.ac.id)
(Accessed 23 Oktober 2010)
Azwar,
Syaifudin. (2008). Sikap
Manusia
Teori
dan
Pengukurannya. Jakarta: Pustaka
Pelajar
Damaiyanti,
Mukhripah.
(2008).
Komunikasi Terapeutik dalam
Praktik Keperawatan. Bandung:
PT Refika Aditama
Darmawan, Ibnu. (2009). Hubungan
Pelaksanaan
Komunikasi
Terapeutik dengan Kepuasan
Klien
dalam
Mendapatkan
Pelayanan
Keperawatan
di
Instalasi Gawat Darurat RSUD
Dr.
Soedarso
Pontianak
Kalimantan Barat. (Internet).
Efendi,
2009.
Available
from:
(www.eprints.undip.ac.id)
(Accessed 12 Desember 2010)
Lois, White. (2005). Foundations of
Nursing. Second Ed. New York:
Thomson Delmar
Achmad Faruch. (2009).
Hubungan Tipe Kepribadian
Perawat
dengan
Tingkat
Kepuasan
Pasien
terhadap
Pelayanan
Keperawatan
di
Rumah Sakit Islam Surakarta.
(Internet). 2009 Available from:
(www.etd.eprints.ums.ac.id)
(Accessed 18 Oktober 2010)
LP2M
Harmini. (2008). Hubungan Penerapan
Komunikasi Terapeutik dengan
Kepuasan
Mutu
Pelayanan
Perawatan di Ruang Rawat Inap
RS
PKU
Muhammadiyah
Surakarta.
Jurnal
Profesi
(Internet). Edisi 03/FebruariAgustus 2008 Available from:
(www.isjd.pdii.lipi.go.id)
(Accessed 7 November 2010)
Hendra
AW. (2008). Pengetahuan.
(Internet) 7 Juni 2008 Available
from:
(www.ajangberkarya.wordpress.c
om) (Accessed 29 November
2010)
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007).
Metode Penelitian dan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika
____________________.
(2008).
Pengantar Ilmu Keperawatan
Anak 1. Jakarta: Salemba Medika
Irawan, Handi (2002). 10 Prinsip
Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PT
Gramedia
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
Stikes Bina Sehat PPNI
Mojokerto.
(2009).
Buku
Panduan Penyusunan Skripsi
dan
Karya
Tulis
Ilmiah.
Mojokerto: Stikes Bina Sehat
PPNI
Mamik. (2010).
Manajemen
Kesehatan
Surabaya:
Publishing
Organisasi
dan
Pelayanan
dan
Kebidanan.
Prins
Media
Maramis, Willy F. (2006). Ilmu Perilaku
dalam Pelayanan Kesehatan.
Surabaya: Airlangga University
Press
Meliono, Irmayanti, dkk. (2007).
Pengetahuan. (Internet). 2007.
Available
from:
(id.wikipedia.org/wiki/informasi)
(Accessed 2 November 2010)
Mundakir.
(2006).
Komunikasi
Keperawatan: Aplikasi dalam
Pelayanan. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Murti, Bhisma. (2003). Mengembangkan
Indikator Kualitas Pelayanan
Kesehatan. (Internet). Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan
Volume
06/No.
02/2003
Available
from:
(www.ilib.ugm.ac.id)
(Accessed
2
November 2010)
Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. (2002).
Metodologi Penelitian. Jakarta:
Bumi Aksara
Notoatmodjo,
Soekidjo.
(2005).
Metodologi
Penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
(Supervisi, Manajemen Mutu dan
Resiko). (Internet). 11-16 Mei
2009
Available
from:
(www.pustaka.unpad.ac.id)
(Accessed 8 Oktober 2010)
Nursalam.
(2008).
Konsep
dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Riduwan. (2007). Skala Pengukuran
Variabel-variabel Penelitian. Jakarta:
EGC
Nursalam dan Siti Pariani. (2001).
Metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta : CV. Sagung Seto
Santoso, Edi dan Mite Setiansah. (2010).
Teori Komunikasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Palestin, Bondan. (2006). Penerapan
Komunikasi Terapeutik untuk
Mengoreksi
Perilaku
Klien
Rawat Jalan dengan Diabetes
Mellitus. (Internet). 20 Oktober
2006
Available
from:
(www.bondanmanajemen.blogsp
ot.com) (Accessed 21 November
2010)
Setiawan dan M. Sukri Tanjung. (2005).
Efek Komunikasi Terapeutik
Terhadap Tingkat Kecemasan
Pasien Pre Operasi D Rumah
Sakit Haji Adam Malik Medan.
(Internet). Jurnal Keperawatan
Rufaidah Volume 1 Mei 2005
Available
from:
(www.repository.usu.ac.id)
(Accessed 17 November 2010)
Pohan, Imbalo S. (2007). Jaminan Mutu
Layanan Kesehatan: Dasardasar
Pengertian
dan
Penerapan. Jakarta: EGC
Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar
Fundamental
Keperawatan.
Edisi 4. Volume 1. Jakarta: EGC
Purba, Jenny Marlindawani. (2003).
Komunikasi dalam Keperawatan.
(Internet). 2003 Available from:
(www.repository.usu.ac.id)
(Accessed 8 Oktober 2010)
Rakhmad, Jalaludin. (2007). Psikologi
Komunikasi.
Bandung:
Rosdakarya
Rakhmawati,
Windy.
(2009).
Pengawasan dan Pengendalian
dalam Pelayanan Keperawatan
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
Simatupang, Erna Juliana. (2008).
Manajemen
Pelayanan
Kebidanan. Jakarta: EGC
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum.
Jakarta: CV. Pustaka Setia
Sugiyono. (2007). Statistika untuk
Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk
Keperawatan. Jakarta : EGC
Supranto. (2006). Pengukuran Tingkat
Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan
Pangsa Pasar. Jakarta: PT Rineka Cipta
Tamsuri, Anas. (2005). Konseling dalam
Keperawatan. Jakarta: EGC
Triatmojo. (2007). Mengukur Kepuasan
Pelanggan. (Internet). 4 Mei
2007
Available
from:
(www.triatmojo.wordpress.com)
(Accessed 27 Oktober 2010)
Utama,
Surya. (2003). Memahami
Fenomena Kepuasan Pasien
Rumah
Sakit:
Referensi
Pendukung untuk Mahasiswa,
Akademik, Pimpinan, Organisasi
dan
Praktisi
Kesehatan.
(Internet). 2003 Available from:
(www.repository.usu.ac.id)
(Accessed 15 Oktober 2010)
Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Wahyudin, Uud. (2009). Membangun
Komunikasi
Terapeutik.
(Internet). 29 Januari 2009
Available
from:
(www.m.kompas.com) (Accessed
18 Oktober 2010)
Walgito, Bimo. (2003). Psikologi Sosial
(Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Andi Offset
Jurnal Keperawatan Bina Sehat Vol. 5 No. 2
Download