BAB I PENDAHULUAN Stroke masih merupakan penyebab utama invaliditas kecacatan sehingga orang yang mengalaminya memiliki ketergantungan pada orang lain–pada kelompok usia 45 tahun ke atas dan angka kematian yang diakibatnya cukup tinggi. [1] Perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 – 15% dari seluruh stroke dan memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi dari infark cerebral. Literature lain menyatakan 8 – 18% dari stroke keseluruhan yang bersifat hemoragik. Namun, pengkajian retrospektif terbaru menemukan bahwa 40,9% dari 757 kasus stroke adalah stroke hemoragik. Namun pendapat menyatakan bahwa peningkatan presentase mungkin dikarenakan peningkatan kualitas pemeriksaan seperti ketersediaan CT scan, taupun peningkatan penggunaan terapeutik agen platelet dan warfarin yang dapat menyebabkan perdarahan. [2] Stroke adalah penyebab kematian dan disabilitas utama. Dengan kombinasi seluruh tipe stroke secara keseluruhan, stroke menempati urutan ketiga penyebab utama kematian dan urutan pertama penyebab utama disabilitas. Morbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemik. Hanya 20% pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. [2] Penyakit gagal ginjal kronis dikaitkan dengan risiko tinggi untuk stroke. Hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis, anemia, penggunaan heparin, hyperlipidemias, hyperhomocystinemia, dan malnutrisi protein yang disebut-sebut sebagai faktor risiko untuk stroke oleh beberapa penelitian. Stroke dapat bermanifestasi sebagai infark, perdarahan, dan kadang-kadang, dalam kombinasi keduanya. Infark ditemukan timbul karena keterlibatan karotis atau vertibrobasilar sistem arteri. Pada stroke hemoragik, perdarahan ditemukan menjadi umum di thalamic dan basal daerah ganglia.[3] 1 BAB II STROKE 2.1. Definisi Stroke (Penyakit Serebrovaskuler) adalah kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik local maupun menyeluruh (global ), yang berlangsung dengan cepat lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskuler. [1] 2.3. Epidemiologi Stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan penyebab utama kecacatan.[2] Sekitar 0,2% dari populasi barat terkena stroke setiap tahunnya yang sepertiganyaakan meninggal pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan hidup dengan kekacauan, dan sepertiga sisanya dapat sembuh kembali seperti semula. Dari keseluruhan data di dunia, ternyata stroke sebagai penyebab kematian mencapai 9% (sekitar 4 juta)dari total kematian per tahunnya. [4] Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 pertahunnya dimana 10-15% merupakan stroke hemoragik khususnya perdarahan intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih berat dari pada stroke iskemik. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu ada sekitar 40-80% akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal pada 48 jam pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita stroke, ada 47%wanita dan 53% kali-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78%) berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan outcome yang lebih buruk. [2] 2 2.4. Klasifikasi Stroke umumnya dibagi dalam 2 bagian besar yaitu: 1. Stroke haemoragik a. Perdarahan intra serebral seperti intraparenkim dan intraventrikel b. Perdarahan subarakhnoid 2. Stroke non haemoragik a. Transient ischemic attack ( TIA) Serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam b. Reversible ischemic neurologic deficit ( RIND) Gejala defisit neurologis akan menghilang lebih dari 24 jam sampai 21 hari c. Progresif stroke atau stroke in evolution Kelumpuhan defisit neurologik berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat d. Stroke komplit atau completed stroke Kelainan neurologis sudah menetap dan tidak kembali lagi 2.5. Etiologi Penyebab stroke antara lain adalah aterosklerosis (trombosis), embolisme, hipertensi yang menimbulkan perdarahan intraserebral dan ruptur aneurisme sakular. Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah, diabetes mellitus atau penyakit vascular perifer, gagal ginjal kronis. 2.6 Patofisiologi Trombosis (penyakit trombo – oklusif) merupakan penyebab stroke yang paling sering. Arteriosclerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis selebral. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis serebral tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, 3 hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada beberapa jam atau hari. Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima arteria besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut , sedangkan sel – sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat – tempat yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat – tempat khusus tersebut. Pembuluh – pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan yang makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli, atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat dengan sempurna 1. Embolisme. Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah perwujudan dari penyakit jantung. Setiap bagian otak dapat mengalami embolisme, tetapi embolus biasanya embolus akan menyumbat bagian – bagian yang sempit.. tempat yang paling sering terserang embolus sereberi adalah arteria sereberi media, terutama bagian atas. 2. Perdarahan serebri : perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus GPDO (Gangguan Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau subaraknoid, sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteria di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan darah yang semula lunak menyerupai selai merah 4 akhirnya akan larut dan mengecil. Dipandang dari sudut histologis otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan mengalami nekrosis. 2.7 Gejala Klinis Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit (completed stroke). Kemudian stroke menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati (stroke in evolution). Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau terjadi beberapa perbaikan. Gejala stroke yang muncul pun tergantung dari bagian otak yang terkena. Beberapa gejala stroke berikut: Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma). Kesulitan berbicara atau memahami orang lain. Kesulitan menelan. Kesulitan menulis atau membaca. Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur, membungkuk, batuk, atau kadang terjadi secara tiba-tiba. Kehilangan koordinasi. Kehilangan keseimbangan. Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan motorik. Mual atau muntah. Kejang. Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan sensasi, baal atau kesemutan. Kelemahan pada salah satu bagian tubuh. 5 2.8 Diagnosis Stroke adalah suatu keadaan emergensi medis. Setiap orang yang diduga mengalami stroke seharusnya segera dibawa ke fasilitas medis untuk evaluasi dan terapi. Pertama-tama, dokter akan menanyakan riwayat medis pasien jika terdapat tanda-tanda bahaya sebelumnya dan melakukan pemeriksaan fisik. Jika seseorang telah diperiksa seorang dokter tertentu, akan menjadi ideal jika dokter tersebut ikut berpartisipasi dalam penilaian. Pengetahuan sebelumnya tentang pasien tersebut dapat meningkatkan ketepatan penilaian. Hanya karena seseorang mempunyai gangguan bicara atau kelemahan pada satu sisi tubuh tidaklah sinyal kejadian stroke. Terdapat banyak kemungkinan lain yang mungkin bertanggung jawab untuk gejala ini. Kondisi lain yang dapat serupa stroke meliputi: a. Tumor otak b. Abses otak c. Sakit kepala migrain d. Perdarahan otak baik secara spontan atau karena trauma e. Meningitis atau encephalitis f. Overdosis karena obat tertentu g. Ketidakseimbangan calcium atau glukosa dalam tubuh dapat juga menyebabkan perubahan sistem saraf yang serupa dengan stroke. Pada evaluasi stroke akut, banyak hal akan terjadi pada waktu yang sama. Pada saat dokter mencari informasi riwayat pasien dan melakukan pemeriksaan fisik, perawat akan mulai memonitor tanda-tanda vital pasien, melakukan tes darah dan melakukan pemeriksaan EKG (elektrokardiogram). Bagian dari pemeriksaan fisik yang menjadi standar adalah penggunaan skala stroke. The American Heart Association telah mempublikasikan suatu pedoman pemeriksaan sistem saraf untuk membantu penyedia perawatan menentukan berat ringannya stroke dan apakah intervensi agresif mungkin diperlukan. Untuk membedakan stroke tersebut termasuk jenis hemoragis atau non hemoragis. antara keduanya, dapat ditentukan berdasarkan anamnesis, 6 pemeriksaan klinis neurologis, algoritma dan penilaian dengan skor stroke, dan pemeriksaan penunjang. 1. Anamnesis Bila sudah ditetapkan sebagai penyebabnya adalah stroke, maka langkah berikutnya adalah menetapkan stroke tersebut termasuk jenis yang mana, stroke hemoragis atau stroke non hemoragis. Untuk keperluan tersebut, pengambilan anamnesis harus dilakukan seteliti mungkin.Berdasarkan hasil anamnesis, dapat ditentukan perbedaan antara keduanya, seperti tertulis pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan stroke infark berdasarkan anamnesis 2. Pemeriksaan klinis neurologis Pada pemeriksaan ini dicari tanda-tanda (sign) yang muncul, bila dibandingkan antara keduanya akan didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 2. Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Infark berdasarkan tanda-tandanya. 3. Algoritma dan penilaian dengan skor stroke. Terdapat beberapa algoritma untuk membedakan stroke antara lain dengan : a. Penetapan Jenis Stroke berdasarkan Algoritma Stroke Gadjah Mada 7 Gambar 1. Algoritma Stroke Gadjah Mada 8 b. Penetapan jenis stroke berdasarkan Djoenaedi stroke score Bila skor > 20 termasuk stroke hemoragik, skor < 20 termasuk stroke non-hemoragik. Ketepatan diagnostik dengan sistim skor ini 91.3% untuk stroke hemoragik, sedangkan pada stroke non-hemoragik 82.4%. Ketepatan diagnostik seluruhnya 87.5% 9 Terdapat batasan waktu yang sempit untuk menghalangi suatu stroke akut dengan obat untuk memperbaiki suplai darah yang hilang pada bagian otak. Pasien memerlukan evaluasi yang sesuai dan stabilisasi sebelum obat penghancur bekuan darah apapun dapat digunakan. c. Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj stroke score Catatan : 1. SSS> 1 = Stroke hemoragik 2. SSS < -1 = Stroke non hemoragik 4. Pemeriksaan Penunjang a. Computerized tomography (CT scan): untuk membantu menentukan penyebab seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang disebut CT scan otak sering dilakukan. b. MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang magnetik untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika CT scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat dilakukan kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk pembuatan keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti, pacemaker) atau metal lain di dalam 10 tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek pada daerah magneti kuat suatu MRI. c. Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau injeksi), suatu prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance angiogram). Metode MRI lain disebut dengan diffusion weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan. Teknik ini dapat mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian otak yang berhenti, dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai lebih dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak dapat mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali lagi, ini bukanlah test garis depan untuk mengevaluasi pasien stroke. d. Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna yang disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat memberikan informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti abnormalitas aliran darah otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan teknologi canggih, CT angiography menggeser angiogram konvensional. e. Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadangkadang digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan ke dalam arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-x secara bersamaan diambil. Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan hanya jika benar-benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-kadang dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan untuk dilakukan. f. Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa injeksi atau penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk 11 menampakkan penyempitan dan penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher yang mensuplai darah ke otak) g. Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering dilakukan pada pasien stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram adalah tes dengan gelombang suara yang dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone pada dada atau turun melalui esophagus (transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik jantung. Monitor Holter sama dengan electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada dada selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama jantung yang abnormal. h. Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami peradangan. Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan peluang terjadinya stroke karena pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu dipertimbangkan. 2.9 Penatalaksanaan Penderita stroke biasanya diberikan oksigen, dipasang infus untuk memasukkan cairan dan zat makanan, diberikan manitol atau kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan di dalam otak pada penderita stroke akut Jika mengalami serangan stroke, segera dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah penyebabnya bekuan darah atau perdarahan yang tidak bisa diatasi dengan obat penghancur bekuan darah. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelumpuhan dan gejala lainnya bisa dicegah atau dipulihkan jika recombinant tissue plasminogen activator (RTPA) atau streptokinase yang berfungsi menghancurkan bekuan darah diberikan dalam waktu 3 jam setelah timbulnya stroke. 12 Antikoagulan juga biasanya tidak diberikan kepada penderita tekanan darah tinggi dan tidak pernah diberikan kepada penderita dengan perdarahan otak karena akan menambah risiko terjadinya perdarahan ke dalam otak. Penderita stroke biasanya diberikan oksigen dan dipasang infus untuk memasukkan cairan dan zat makanan. Pada stroke in evolution diberikan antikoagulan (misalnya heparin), tetapi obat ini tidak diberikan jika telah terjadi completed stroke. Pada completed stroke, beberapa jaringan otak telah mati. Memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut tidak akan dapat mengembalikan fungsinya. Karena itu biasanya tidak dilakukan pembedahan. Pengangkatan sumbatan pembuluh darah yang dilakukan setelah stroke ringan atau transient ischemic attack, ternyata bisa mengurangi risiko terjadinya stroke di masa yang akan datang. Sekitar 24,5% pasien mengalami stroke berulang. Untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan di dalam otak pada penderita stroke akut, biasanya diberikan manitol atau kortikosteroid. Penderita stroke yang sangat berat mungkin memerlukan respirator (alat bantu bernapas) untuk mempertahankan pernafasan yang adekuat. Di samping itu, perlu perhatian khusus kepada fungsi kandung kemih, saluran pencernaan dan kulit (untuk mencegah timbulnya luka di kulit karena penekanan). Stroke biasanya tidak berdiri sendiri, sehingga bila ada kelainan fisiologis yang menyertai harus diobati misalnya gagal jantung, irama jantung yang tidak teratur, tekanan darah tinggi dan infeksi paru-paru. Setelah serangan stroke, biasanya terjadi perubahan suasana hati (terutama depresi), yang bisa diatasi dengan obat-obatan atau terapi psikis. 2.10 Prognosis Ada sekitar 30%-40% penderita stroke yang masih dapat sembuh secara sempurna asalkan ditangani dalam jangka waktu 6 jam atau kurang dari itu. Hal ini penting agar penderita tidak mengalami kecacatan. Kalaupun ada gejala sisa seperti jalannya pincang atau berbicaranya pelo, namun gejala sisa ini masih bisa disembuhkan. 13 Sayangnya, sebagian besar penderita stroke baru datang ke rumah sakit 4872 jam setelah terjadinya serangan. Bila demikian, tindakan yang perlu dilakukan adalah pemulihan. Tindakan pemulihan ini penting untuk mengurangi komplikasi akibat stroke dan berupaya mengembalikan keadaan penderita kembali normal seperti sebelum serangan stroke. Upaya untuk memulihkan kondisi kesehatan penderita stroke sebaiknya dilakukan secepat mungkin, idealnya dimulai 4-5 hari setelah kondisi pasien stabil. Tiap pasien membutuhkan penanganan yang berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan pasien. Proses ini membutuhkan waktu sekitar 6-12 bulan. . 14 BAB III STROKE PADA PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK 3.1 Gagal Ginjal Kronik Penyakit Ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatau keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti tertulis pada table 1. Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 1 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : Kelainan Patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests) 2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sana atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2 tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik. Di negara maju, penyakit kronik tidak menular terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga 15 dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer. 3.2 Penyebab Stroke Pada GGK Stroke adalah sindroma klinis yang awalnya timbul mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan sematamata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Stroke merupakan penyebab ketiga kematian dan penyebab pertama kecacatan pasien lanjut usia pada dunia Barat. Pasien stroke lanjut usia menunjukkan angka kematian dan kecacatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda. Selain faktor usia, kematian pada stroke juga berhubungan dengan banyak faktor seperti tingkat keparahan defisit neurologis, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, dan diabetes melitus. Penyebab utama stroke iskemik pada pasien penyakit ginjal kronik antara lain adalah tromboemboli, atherosklerosis, inflamasi, dan kardioemboli. Proses atherosklerosis, selain dapat merusak ginjal, juga dapat merusak otak karena keduanya memiliki struktur pembuluh darah yang tidak jauh berbeda, diperparah dengan adanya penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes melitus. Sedangkan penyebab utama stroke hemoragik pada pasien penyakit ginjal kronik antara lain adalah hipertensi, kelainan perdarahan akibat penggunaan heparin sebagai terapi antikoagulan selama hemodialisis. Sehingga pasien penyakit ginjal kronik memiliki risiko yang sama untuk mengalami perdarahan maupun trombosis. 3.3. Faktor Resiko Stroke Pada GGK Penyakit gagal ginjal kronis (GGK) dikaitkan dengan risiko tinggi untuk stroke. Risiko stroke ditemukan lima kali lebih tinggi pada pasien GGK pada dialisis dibandingkan dengan populasi umum. Dibandingkan dengan populasi umum, tidak hanya kejadian stroke, tetapi juga tingkat kematian akibat stroke lebih tinggi pada GGK dan dialisis populasi. Dalam sebuah studi dari Jepang, 16 stroke ditemukan menjadi salah satu penyebab utama kematian untuk 12,7% dari total kematian terkait GGK. Pengelompokan faktor risiko vaskular pada pasien dengan GGK telah disarankan sebagai alasan penting yang diamati untuk hubungan disfungsi ginjal dengan stroke. Namun, beberapa penelitian melaporkan hubungan bergradasi dan independen antara taksiran laju filtrasi glomerulus (eGFR) dan risiko stroke. Sebuah meta-analisis menggabungkan data dari 33 penelitian melaporkan risiko 43% lebih besar independen stroke terkait dengan eGFR <60 ml / menit. Efek ini semakin dipengaruhi oleh etnis, dengan risiko stroke yang lebih tinggi terlihat di Asia dibandingkan dengan populasi nonAsia (risiko relatif 1,96 vs 1,26, p <0,001). Proteinuria sendiri merupakan faktor risiko penting untuk stroke bahkan tanpa adanya pengurangan eGFR dan setelah disesuaikan untuk faktor risiko vaskular lainnya. Mekanisme patofisiologis mediasi merupakan risiko stroke meningkat pada GGK tidak jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan faktor-faktor khusus untuk lingkungan uremik, seperti kalsifikasi dipercepat pembuluh darah, meningkatkan aterosklerosis karotid, kecenderungan prothrombotic dan gangguan autoregulasi cerebral. Klasifikasi arteri intrakranial, misalnya, dikaitkan dengan risiko stroke pada populasi umum dan peningkatan prevalensi pada pasien dengan GGK menyajikan dengan gejala strokei. Namun, sebuah penelitian di hemodialisis pasien (HD) yang melaporkan prevalensi tinggi kalsifikasi arteri intrakranial pada pasien HD tidak menemukan hubungan independen dengan stroke akut. 3.4 Risiko Stroke Pada Pasien Yang Menjalani Dialisis Pasien dengan end stage renal disease yang membutuhkan hemodialisis (HD) memiliki risiko tinggi mengalami stoke iskemik. Mekanisme yang mendasari selain adanya risiko vaskular pada pasien tersebut, malnutrisi, dan hemodialisis juga menimbulkan perubahan volume dan tekanan darah, hingga berbagai mekanisme lainnya. Penelitian lain menyebutkan bahwa stroke kardioembolik merupakan kasus yang sering terjadi pada pasien HD karena pasien hemodialisis memiliki risiko tinggi mengalami fibrilasi atrial (terkait perubahan elektrolit dan struktural jantung). Juga meningkatnya kasus bakteremia pada pasien hemodialisis. 17 Thrombus vena yang sering dialami pasien HD yang mungkin bisa menimbulkan emboli paradoksikal pada pasien dengan PFO (Patent Foramen Ovale). Jurnal stroke Januari 2014 melaporkan bahwa stroke kardioembolik dan stoke kriptogenik merupakan stroke yang sering dialami pasien HD, terkait juga sering ditemukannya kasus-kasus endocarditis infektif pada populasi pasien tersebut. Pasien dengan ESRD pada dialisis memiliki 8-10 kali lebih besar kejadian stroke dibandingkan dengan populasi umum, dengan tarif yang bervariasi di seluruh seri diterbitkan 10-33 per 1.000 pasien-tahun. Selain itu, ada prevalensi yang lebih tinggi dari stroke hemoragik dibandingkan dengan populasi umum (20% semua peristiwa), sebuah temuan yang khusus terjadi di awal studi Jepang yang melaporkan hemorrhagic stroke hingga 80% kasus. Hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat hypervolemia dan hipertensi terlihat pada pasien HD serta penggunaan rutin antikoagulan untuk mempertahankan patensi dari rangkaian extracorporeal. Inisiasi dialisis sendiri dikaitkan dengan risiko tinggi stroke. Dalam analisis hanya di bawah 21.000 pasien dialisis US berusia ≥67 tahun, tingkat stroke mulai meningkat sekitar 3 bulan sebelum inisiasi dialisis dan mencapai puncaknya selama 30 hari pertama dialisis. Pola ini dipelihara terlepas dari dialisis modalitas dan apakah pasien mulai dialisis dengan cara yang direncanakan. Muncul data dari inisiatif penelitian MONDO dialisis internasional menunjukkan bahwa variasi temporal yang sama dalam kejadian stroke terjadi juga di kelompok yang lebih muda dan bahwa temuan ini merupakan fenomena global. Dalam satu penelitian di Jepang, 39% dari iskemik dan 35% dari stroke hemoragik terjadi selama atau dalam waktu 30 menit dari menyimpulkan HD, menunjukkan bahwa pengobatan itu sendiri dapat memediasi risiko stroke. Faktor risiko tambahan yang terkait dengan stroke pada pasien ESRD termasuk usia yang lebih tua, hipertensi, serum albumin rendah, diabetes mellitus dan penyakit serebrovaskular didirikan (yaitu stroke yang sebelumnya atau transient ischemic attack, TIA). Prevalensi AF pada populasi HD hingga 10 kali lebih besar daripada populasi umum. Ada data yang bertentangan mengenai peran AF sebagai faktor 18 risiko stroke pada kohort ini. Dalam studi epidemiologi terbesar sampai saat ini, AF kronis secara independen terkait dengan risiko sederhana stroke iskemik. 3.5. Pencegahan Pengendalian hipertensi merupakan hal terpenting dalam pencegahan stroke primer dan sekunder pada populasi umum serta pada pasien dengan nondialisis. Sampai saat ini, tidak ada data percobaan menarik untuk merekomendasikan satu kelas antihipertensi atas yang lain. Meskipun penelitian retrospektif telah menunjukkan bahwa hipertensi yang tidak terkontrol pada pasien dialisis adalah terkait dengan stroke tidak ada studi mendefinisikan target optimal tekanan darah. Pedoman klinis menganjurkan penggunaan terapi antiplatelet untuk pencegahan stroke iskemik dan ada bukti yang mendukung kemanjurannya pada pasien dengan non-dialisis GGK. Risiko perdarahan dengan agen antiplatelet ditambah di ESRD (end-stage renal disease) disarankan dengan hati-hati. Stroke thromboprophylaxis dengan antikoagulan oral (warfarin dan, baru-baru ini, dengan agen baru seperti dabigatran atau rivaroxaban) dianjurkan pada pasien dengan AF. Sekali lagi, tidak ada uji coba terkontrol secara acak di GGK atau pasien ESRD, tetapi keberhasilan dalam non-dialisis GGK didukung oleh data dari sebuah studi Denmark. Pengobatan dengan antikoagulan oral perlu dengan risiko yang lebih tinggi dari perdarahan terlihat pada pasien dengan gangguan ginjal dan terutama pada mereka dengan ESRD . Paradoksnya, penggunaan warfarin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke pada pasien HD mungkin karena kalsifikasi vaskular dipercepat terjadi sebagai akibat dari vitamin K antagonis. Kajian cepat dan modifikasi faktor risiko pada pasien dengan TIA telah terbukti mengurangi insiden stroke akut berikutnya. Hubungan antara TIA dan stroke akut pada pasien dengan gangguan ginjal akut tidak jelas dan dampak seperti intervensi multifaktorial di ESRD belum diteliti. Dalam sebuah studi dari Inggris, gejala sistematis skrining untuk TIA pada pasien HD tidak menimbulkan pemastian lebih baik dari sindrom ini juga tidak mengidentifikasi pasien yang kemudian memiliki stroke akut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara 19 kardinal TIA dan stroke mungkin tidak kuat pada pasien HD atau diagnosis sendiri mungkin dikaburkan oleh beban gejala yang signifikan dari kelompok ini. Endarterektomi karotis dianjurkan untuk pasien dengan gejala, bermutu tinggi (> 70%) karotis stenosis untuk mengurangi risiko stroke berikutnya. Endarterektomi mengurangi risiko stroke sebesar 82% pada 2 tahun pada pasien dengan stadium 3. 20 DAFTAR PUSTAKA 1. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007. 2. Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview. Access on : September 1, 2015. 3. Sami Khella, and Melissa B. Bleicher, 2007, CJASN Journal Vol. 2 No.6. Available at : http://cjasn.asnjournals.org/content/2/6/1343.full, Access on: September 1, 2015. 4. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6.EGC, Jakarta. 2006 1. Sjahrir, Hasan. Stroke Iskemik. Yandira Agung: Medan, 2003 2. Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. BAB 4. Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular Disease. McGraw Hill: New York.2005 3. Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.New York. Thieme Stuttgart. 2000. 4. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC: Jakarta, 2007. 5. MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. Available at: http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086d.html. 6. Mesiano, Taufik. Perdarahan Subarakhnoid Traumatik. FK UI/RSCM, 2007. Diunduh dari: http://images.omynenny.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R@u uzQoKCrsAAFbxtPE1/SAH%20traumatik%20Neurona%20by%20Taufik %20M.doc?nmid=88307927 7. Poungvarin, N. Skor Siriraj stroke dan studi validasi untuk membedakan perdarahan intraserebral supratentorial dari infark. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/. 21