Uploaded by Mabruri Marzuki Al Qomry

7

advertisement
7
Makalah Rihlah ‘Illmiyah dan Waqaf Nasrul Hendri
MAKALAH
Rihlah ‘Illmiyah dan Waqaf
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH SEJARAH
PENDIDIKAN ISLAM
Disusun Oleh:
NASRUL HENDRI
NIM: 2142030688
Dosen Pembimbing;
Dr. H. Hery Noer Aly, MA
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
A. Latar Belakang.......... .................................................................................
B. Rumusan Masalah........... ............................................................................
A.
B.
C.
D.
E.
F.
BAB II PEMBAHASAN..... .................................................................................
Rihlah ‘Ilmiyyah ........................................................................................
Tujuan Dan Fungsi Rihlah Ilmiyah Dalam Pendidikan..............................
Waqaf dan Perannya dalam Pendidikan Pada Masa Islam Klasik...............
Pengelolaan Waqf Sebagai Pembiayaan Pendidikan Pada Masa Islam Klasik
Contoh Pengelolaan Waqf dalam Pendidikan Islam Klasik......................
Prospek Waqf dalam Pendidikan Islam Modern.......................................
BAB III PENUTUP ...............................................................................................
A. Kesimpulan................ .................................................................................
B. Saran............................... ............................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Djunaidi et.all, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok, Mumtaz Publishing, 2007
Ahmad Amin, Zuhr al- Islam, Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, jilid II. 1996
Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, 1997
Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 36
Az-Zirkli, Al-‘Alaam Qamus Tarajim li Asyhur ar-Rijal min al-‘Arb wa al-Musta‘ribiin wa alMustasyriqin, Vol.I, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1987
Azhari Akmal Tarigan & Agustianto (Ed), Wakaf Produktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat, h. 78
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta, Depag RI, 2007
Dra. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1991
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, Citapustaka Media: Bandung, 2006
Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, Juz: 2, h.285.
J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Yuliani
Lipuo, bandung: Mizan, 1996
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Hidakarya Agung: Jakarta, 1992
Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islami: Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf
Produktif , h. 24-30
Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islami: Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf
Produktif , h. 212-215
Ridha kahhalah, dirasaat al- Ijtima’iyyah fi al-‘ushur al-Islamiyyah, dimasyq: 1973
Umar Abu Faraj ibn al-Jauzi, Al-Muntazam:Fi Tarikh al- Muluk wa al-Umam, Vol.I, (Haydarabad: Da’irah
al-Maariif, 1983
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan taufik dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Sejarah Pendidikan Islam
yang berjudul Rihlah Illmiyah dan Peranan Waqaf dengan baik.
Penulisan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan
Islam dengan tujuan agar kita bisa dijadikan perbandingan dan referensi demi kemajuan
pendidikann Islam di masa yang akan datang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah sabar dan
telaten dalam membimbing sekaligus mengajarkan kepada kami berbagai hal yang belum bisa
kami ketahui.
Makalah ini membahas tentang Rihlah Illmiyah dan peranan waqaf dalam dunia
pendidikan Islam pada periode klasik. Dalam pembahasan ini tentu masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu mohon sumbang saran dan masukan dari para pembaca demi perbaikan penulisan
makalah ini di masa-masa yang akan datang. Mudah-mudahan apa yang ada di dalam makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin
Bengkulu, 30 Juli 2015
PENULIS
Nasrul Hendri
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan pendidikan Islam saat ini tidak lepas dari pengaruh sejarah, sejarah
berbicara perjalanan yang ditempuh pendidikan dengan segala perubahannya dari waktu ke waktu.
Saat ini, kita bukan hanya mengenal kurikulum, atau klasifikasi ilmu, bahkan kita sudah diajarkan
ilmu-ilmu baru dengan segala pendekatannya yang bertujuan meningkatkan, mengembangkan
pemikiran para pelajar untuk melahirkan peradaban baru yang lebih baik.
Rihlah Ilmiyah dan Waqaf pada masa Islam klasik, memegang peranan penting dan
berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, walau pada dasarnya Rihlah
ilmiyah dan waqf tidak ada perintah secara langsung dalam Al-Qur’an, tetapi Rasulullah dan para
sahabat melakukannya demi kepentingan dan kemaslahatan umat.
Makalah ini selanjutnya mencoba membahas secara sederhana tentang
permasalahan Rihlah Illmiyah dan peranan Waqaf dalam kaitannya dengan pendidikan Islam
klasik.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah;
a. Apa itu rihlah ‘ilmiyyah ?
b. Apa tujuan dan fungsi rihlah ilmiyah dalam pendidikan?
c. Apa itu Waqaf?
d. Bagaimana pengelolaan waqf sebagai pembiayaan pendidikan pada masa Islam klasik?
e. Bagaimana contoh pengelolaan waqf sebagai pembiayaan pendidikan Islam klasik?
f. Bagaimana prospek waqf dalam pendidikan islam modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIHLAH ‘ILMIYYAH
Rihlah ‘ilmiyyah berasal dari bahasa Arab yaitu rihlah dan
ilmiyyah. Rihlah yang berasal dari akar kata rahila- yarhilu- rihlatan yang berarti berpindah dari
satu
negara
ke
negara
lain
dengan
tujuan
tertentu. Makna
rihlah
ini diantaranya terdapat dalam QS. Al-Quraisy : 2
Rihlah yang
dimaksud pada ayat di atas adalah perjalanan ke luar negara dengan tujuan berdagang.
Sedangkan kata ‘ilmiyyah merupakan bentuk mashdar shina’iyy yang berasal dari akar kata
‘alima- ya’lamu yang berarti mengetahui. Dengan demikian rihlah ‘ilmiyyah dapat diartikan
sebuah perjalanan yang di tempuh ke luar dari negara/daerah tempat tinggalnya dalam rangka
kegiatan keilmuan. Berdasarkan term ini dapat dilihat tujuan dari rihlah ‘ilmiyyah dari dua aspek
yaitu untuk menuntut ilmu (thalabaan lil-‘ilm) atau meningkatkan nilai ilmu pengetahuan (rasikh
fi’ilm) dan juga dengan tujuan untuk mengajarkan ilmu diberbagai daerah atau negara lain.[1]
Salah satu ciri yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa Klasik adalah sistem
rihlah ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu. Menurut Syalabi,
cara seperti ini telah berkembang dalam Islam sejak awal. Setelah wilayah Islam meluas, banyak
sahabat Nabi dikirim ke daerah-daerah yang telah ditaklukan. Di daerah masing-masing mereka
mendirikan lembaga pendidikan dan mengajarkan ajaran-ajaran agama, termasul al-Qur’an dan
hadits.
Kebanyakan pelajar Islam tidak puas dengan belajar kepada sedikit guru. Jika tidak puas
dengan pengetahuan yang diperoleh dari guru-guru mereka, mereka akan belajar kepada guru
lainnya, bahkan bila wilayah mereka tidak ada guru yang mereka kehendaki, mereka akan pergi
ke daerah atau wilayah lain untuk belajar kepada guru-guru yang dikehendaki sampai merasa puas.
Dengan adanya sistem rihlah ilmiyah, pendidikan Islam di masa Klasik tidak hanya dibatasi
dengan dinding kelas (school without wall). Pendidikan Islam memberi kebebasan kepada muridmurid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selain murid-murid, guru-guru
juga melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajar sekaligus
belajar. Dengan demikian, sistem rihlah ilmiyah disebut denagn learning society (mayarakat
belajar).
Perjalanan menuntut ilmu kadang-kadang memakan waktu bertahun-tahun. Pelajar atau
guru berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Panjangnya perjalanan (rihlah) diukur
dengan waktu dan jauhnya perjalan. Lama dan jauhnya perjalanan dapat digunakan sebagai bukti
luasnya ilmu seorang pelajar. Penilaian masyarakat terhadap para pelajar di masa ini tergantung
kepada banyaknya perjalannan ilmiah dan jumlah guru yang pernah mereka ikuti halaqahnya. Hal
ini mendorong pelajar-pelajar untuk menuntut ilmu kepada guru-guru yang mereka kehendaki.
Karenanya ketika itu para pelajar-pelajar itu memiliki jaringan guru dan sosial yang sangat luas.
Sistem perjalan ilmiah mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi umat Islam. Dengan
adanya perjalanan ilmiah guru-guru dan pelajar-pelajar ke berbagai daerah Islam yang terpisahpisah dan jauh jaraknya, akan terjadi jalinan budaya antara satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Kebebasan perjalannan ke berbagai daerah Islam menyebabkan pertukaran pemikiran
terus berlangsung antar sesama masyarakat Islam. Proses culture contact tersebut menyebabkan
dinamika sosial dan peradaban Islam terus berkembang.
Syalabi, dengan mengutip Nicholson, menjelaskan bahwa melakukan perjalanan ilmiah
laksana lebah yang mencari sari bunga ke tempat yang jauh. Kemudian, mereka kembali ke kota
kelahiran mereka dengan membawa madu manis. Selanjutnya, pelajar-pelajar tersebut menetap di
negeri mereka untuk memenuhi hasrat masyarakat yang telah lama menantikan kedatangan
mereka. Selain itu, ulama-ulama ini menulis ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari dari berbagai
daerah, kemudian dipersembahkan ke dalam bentuk karya-karya ilmiah, dan hal karya-karya itu
sangat berguna dan dapat dijadikan rujukan keberpijakan selanjutnya.
Disamping itu para pencari ilmu tersebut memperoleh istilah-istilah ataupun ungkapanungkapan baru baik dari para guru maupun dari teman-teman yang datang dari berbagai negara
sehingga hal tersebut dianggap sebagai bagian terpenting dari sebuah ilmu, maka hal tersebut
mendorong secara langsung munculnya berbagai metode dari para guru yang ditemui.[2]
Kekaguman kita akan muncul manakala melihat mobilitas para pencari ilmu dalam
melakukan rihlah ‘ilmiyyah ini. Mereka melakukan pengembaraan atau perjalanan jauh untuk
mencari ilmu.[3] Menurut Syalabi, cara seperti ini telah berkembang dalam Islam sejak awal.
Setelah wilayah Islam meluas, banyak sahabat Nabi dikirim ke daerah-daerah yang telah
ditaklukkan. Di daerah masing-masing mereka mendirikan lembaga pendidikan dan mengajarkan
ajaran-ajaran agama, termasuk al-Qur’an dan hadits karena pada masa itu terdapat hadits-hadits
Nabi yang hanya diketahui dan diriwayatkan oleh sahabat-sahabat tertentu, sedangkan umat Islam
membutuhkan hadits-hadits Nabi demi kepentingan agama. Kemudian mereka mengunjungi
sahabat-sahabat yang bisa meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah walaupun tempat sahabatsahabat tersebut sangat jauh untuk menuntut ilmu.
Pendidikan Islam memberi kebebasan kepada murid-murid untuk belajar kepada guru-guru
yang mereka kehendaki. Selain murid-murid, guru-guru juga melakukan perjalanan dan pindah
dari satu tempat ketempat lain untuk mengajar sekaligus belajar. Dengan demikian, sistem rihlah
‘ilmiyah disebut dengan Learning Soceity (masyarakat belajar).[4]
Diantara ulama yang pernah melakukan aktivitas tersebut dan mencatatkan kepada kita
suatu prestasi yang sangat tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan. Diantaranya adalah: Al Bukhari,
As Syafi’i, Ibn Jubayr, Muhyiddin Ibn ‘ArabiIbn ‘Arabi, Ibn Baythar, Nuruddin ar-Raniry, Abdur
Rauf as-Singkili, Abdushaamad Al-Palimbani. Dan banyak lagi yang lainnya.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
B. TUJUAN DAN FUNGSI RIHLAH ILMIYAH DALAM PENDIDIKAN
Masyarakat Muslim klasik yang melakukan rihlah ‘ilmiyyah pada priode klasik tidak
dibatasi oleh adanya sistem kewarganegaraan (citizenship) sehingga mereka bebas melakukan
rihlah ilmiyyah dengan menjelajahi berbagai negara tanpa terikat dengan kewajiban mengurus
paspor atau visa.
Namun demikian tujuan rihlah sebenarnya cukup beragam sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Diantaranya adalah :
Pada masa Rasulullah rihlah bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang hadis dan Al Quran serta untuk belajar tentang hukum langsung dari Nabi SAW.
Pada masa sahabat dan tabi’iin tujuan rihlah ilmiyyah lebih dititik beratkan untuk mencari sanad
hadis yang shahih dari sahabat yang memiliki nilai ketsiqahannya dalam meriwayatkan hadis.
Setelah ilmu hadis dibukukan maka lawatan ilmiah lebih ditujukan untuk mencari guru ataupun
mendengar hadis untuk selanjutnya diperbincangkan ataupun didiskusikan.
Selain mencari ilmu, lawatan ilmiah juga bertujuan memberikan pengajaran seperti Fasarqi ibn alQuthami seorang yang memiliki keahlian dalam bidang sastra dan mengetahui ilmu tentang
geneologi (nasab) diundang oleh Abu Ja’far al- Manshur untuk mengajarkan anaknya Al- Mahdi
tentang Adab.[5]
Sedangkan fungsi rihlah ilmiyyah, diantaranya;
Memperluas wawasan
Dengan rihlah ‘ilmiyyah seseorang dapat memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Pengalaman
ini adakalanya untuk mendengarkan ilmu pengetahuan dari guru-guru juga untuk mengadakan
penelitian sendiri, mereka mengumpulkan bahan-bahan ilmu bukan dari buku-buku atau dari lisan
guru mereka melainkan dari penyelidikan dan pembahasan mereka sendiri. Melakukan rihlah
‘ilmyyaah ke beberapa negeri untuk selanjutnya mencatat apa-apa yang dilihatnya dan selanjutnya
dibukukan apa yang telah diselidikinya. Dan buku-buku tersebut menjadi sumber yang asli yang
dapat dipertanggung jawabkan.[6]
Mencari seorang guru yang berkualitas.
Pada zaman klasik para pelajar pergi melakukan rihlah ‘ilmiyyah manakala dia mendengar bahwa
di suatu kota terdapat seorang guru yang baik di bidang kajian yang ditekuninya. Terkadang
seorang penuntut ilmu yang telah dinyatakan tamat dari bimbingan seorang guru,
direkomendasikan untuk melanjutkan perjalanannya di bawah bimbingan seorang guru lain yang
lebih otoritatif (seringkali guru atau teman dari guru pertama). Mengikuti rekomendasi semacam
ini, seorang penuntut ilmu kerap harus melakukan rihlah ‘ilmiyyah. Dalam pendidiakan klasik,
jumlah dan kaliber guru seseorang sangat diperhitungkan, biasanya melebihi apresiasi orang
terhadap lembaga tempat seseorang menjalani pendidikannya. Lawatan ilmiyyah ini dilakukan
untuk menambah kesempurnaan pengetahuannya.[7]
3. Sebagai upaya penyebaran ilmu pengetahuan.
Rihlah ‘ilmiyyah berperan besar dalam proses penyebaran informasi dalam tradisi intelektual
Muslim klasik. Perpindahan para ulama dari satu tempat ke tempat lain secara otomatis berarti
pula penyebaran ilmu pengetahuan.[8]
C. W A K A F
Dalam sistem pendidikan Islam di masa Klasik, tampaknya antara pendidikan Islam
dengan wakaf mempunyai hubungan yang erat. Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi
kegiatan pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam dapat berlangsung dengan baik dan lancar.
Adanya sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh sistem ekonomi Islam, yang menganggap
bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syari’at Islam dan adanya keseimbangan
antara ekonopmi dengan kemaslahatan masyarakat sehingga aktivitas ekonomi mempunyai tujuan
ibadah dan demi kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, disaat ekonomi Islam mencapai
kemajuan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya demi kepentingan agama dan
kesejahteraan umat Islam.
Pengelolaan benda-benda wakaf tidak langsung ditangani oleh lembaga yang
bersangkutan, tetapi dikelola secara formal oleh orang-orang yang ditunjuk untuk mengurusinya.
Harta-harta wakaf biasanya diserahkan secara tertulis dalam bentuk dokumen dengan didampingi
oleh saksi. Dokumen tersebut menerangkan ketentuan-ketentuan untuk mengelola harta wakaf dan
untuk apa uang hasil wakaf atau benda wakaf dimanfaatkan. Selain itu, dalam dokumen juga
dijelaskan siapa yang akan mengawasi atau mengelola harta wakaf.
Peranan wakaf sangat besar dalam menunjang pelaksanaan pendidikan. Dengan wakaf,
umat Islam mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Karena wakaf, pendidikan Islam tidak
terlalu menuntut banyak biaya bagi pelajar-pelajar sehingga mereka baik miskin atau kaya
mendapat kesempatan belajar yang sama.[9]
Berdasarkan hukum wakaf, seseorang dapat membentuk satu wakaf yang
assetnya dapat mendukung lembaga yang ia pilih. Menyumbangkan materi untuk kepentingan
umum adalah satu perbuatan yang sangat mulia yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin dan
pengembangan agama Islam. Pada masa awal-awal Islam, bagi hartawan muslim memberikan
bantuan material kepada usaha-usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat merupakan perbuatan
yang sangat mulia dan dihormati.[10]
Pada sistem pendidikan Islam masa klasik, antara pendidikan Islam dan waqf memiliki
hubungan yang sangat erat. Kedudukan waqf sebagai lembaga adalah sumber keuangan bagi
terlaksananya kegiatan pendidikan Islam secara baik. Sistem waqf sendiri adalah salah satu bagian
dari sistem ekonomi Islam karena adanya hubungan antara ekonomi dengan akidah dan syari’ah
Islam, dan dengan terciptanya keseimbangan ekonomi untuk kemaslahatan umat, maka akan
melahirkan kesejahteraan. Mensejahterakan umat dalam aktivitas ekonomi merupakan ibadah.
Sistem wakaf mencapai zaman kegemilangannya pada zaman keemasan Islam. Pada masa
ini banyak sekali wakaf-wakaf yang diserahkan, seperti tanah-tanah pertanian, toko-toko, kantorkantor, perpustakaan, dan sarana-sarana publik lainnya seperti rumah sakit, mesjid, dan jembatan.
Harta-harta wakaf biasanya diserahkan secara tertulis dalam bentuk dokumen dengan didampingi
oleh saksi. Dokumen tersebut menggambarkan materi kekayaan yang menjadi wakaf dan
menerangkan ketentuan-ketentuan untuk mengelola harta wakaf serta untuk apa uang hasil wakaf
atau benda wakaf dimanfaatkan. Selain itu dalam dokumen yang dijelaskan siapa yang akan
mengawasi dan mengelola harta wakaf.[11]
Kebutuhan dalam dunia pendidikan pada masa itu, terpenuhi secara baik oleh waqf.
Kebutuhan yang dipenuhi meliputi seluruh unsur pendidikan, baik itu pengadaan gedung
pendidikan, fasilitas lain yang mendukung majunya pengetahuan, seperti perpustakaan, gaji bagi
pengajar dan beasiswa bagi pelajar, sampai kepada penyediaan asrama bagi pelajar dari luar
daerah. Gambaran yang luar biasa pada masa ini adalah para pelajar mendapat hak istimewa, yaitu
mereka hanya fokus belajar saja tanpa memikirkan biayanya, bahkan para pelajar diberi beasiswa
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bangunan sistem waqf yang ditujukan pada bidang pendidikan, telah sukses menghasilkan
para ilmuan dan cendikiawan, dalam membangun peradaban Islam. Maka dengan ini dapat
disimpulkan bahwa waqf memiliki andil dalam sejarah pemikiran, sejarah peradaban, dan sejarah
sosial pendidikan Islam.
D. PENGELOLAAN WAQF SEBAGAI PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM KLASIK
Pengelolaan harta waqf menurut hukum Islam, waqf dapat dibedakan menjadi dua macam;
1. Waqf ahli (dzurri) yaitu waqf yang hasilnya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, yang
umumnya terdiri dari keluarga dan keturunan wakif.
2. Waqf umum (khairi), yaitu waqf yang ditujukan untuk kepentingan umum atau kemaslahatan
umat.
Dan untuk mengurus serta mengelola harta waqf maka ditunjuklah seorang nazir, yang
dapat berbentuk individu ataupun kelompok yang berbadan hukum. Pendapat Muhammad Daud
Ali yang dikutip oleh Sugianto mengatakan : Pada dasarnya wakif berhak menunjuk siapa saja
yang diiginkannya untuk menjadi nazir asal mempunyai kecakapan yang diperlukan dan mampu
mengurus harta wakaf sesuai dengan tujuannya.[12]
Dikemukakan oleh Sugianto dalam buku yang berjudul Wakaf dan Pendidikan Islam
Klasik, ia menuliskan beberapa pendapat, yaitu :
1. Hanun Asrohah mengatakan :
Rasa cinta umat Islam akan ilmu pengetahuan, yang didorong dengan motivasi agama yang
memberikan tempat terhormat, menimbulkan kebutuhan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan mendirikan institusi-institusi pendidikan yang mengajarkan ilmu
pengetahuan. Dengan dukungan penguasa-penguasa Islam yang cinta ilmu seperti Harun al-Rasyid
dan al Makmun, kegiatan ilmu meningkat sehingga didirikanlah Bait al-Hikmah. Pada
perkembangan selanjutnya, kebutuhan akan lembaga pendidikan melahirkan ide tentang perlunya
lembaga wakaf yang bertujuan sebagai sumber keuangan bagi institusi-institusi pendidikan.
2. Menurut Syalabi ( dikutip oleh Hanun )
Khalifah Makmun adalah orang yang pertama kali
mengemukakan pendapat tentang
pembentukan badan wakaf. Ia berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak
tergantung pada subsidi dari pemerintah dan kedermawanan penguasa-penguasa, tetapi juga
membutuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama dengan negara menanggung biaya
pelaksanaan pendidikan.
3. Hasan Langgulung dan pendapat yang senada dari Stanton
Sudah menjadi kebiasaan para sultan ketika mendirikan sekolah atau kantor kemudian
diberinya wakaf yang banyak untuk kelangsungan sekolah tersebut. Para guru dan murid diberikan
fasilitas yang penuh, bukan hanya pendidikan gratis, tetapi makan-minun dan sarana tempat
tinggal juga disediakan. Tidak hanya itu, mereka juga mendapat gaji setiap bulannya da
mendapatkan pakaian-pakaian untuk musim perayaan seperti pada hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha. Hal ini dilakukan agar para guru dan murid dapat bekerja dan belajar dengan sepenuh waktu
tanpa harus memikirkan kebutuhannya.
4. Stanton berpendapat :
Adanya konsep yang diterima secara umum oleh patron-patron hartawan yang mendukung
institusi-institusi pendidikan, menyebabkan berkembangannya pengkajian-pengkajian yang
dilakukan dengan sokongan dana dari lembaga-lembaga wakaf. Pada abad ke-10, seorang
bangsawan kaya raya Badr ibn Hasanawayh al-Kurni (w.1015), yang mempunyai reputasi
melegenda, karena bantuan-bantuannya keapda lembaga pendidikan. Ia membantu para ilmuan
dan membangun masjid akademis, dan mendirikan asrama untuk para mahasiswa. Ia juga telah
mendirikan 3000 masjid akademis yang masing-masing memiliki asrama.
Pemberian wakaf bukan hanya dilakukan oleh orang-orang bangsawan, tetapi juga para
ulama, yang banyak memberikan harta mereka kepada lembaga-lembaga pendidikan dan
pengkajian ilmiah seperi kuttab, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Seperti Syaykh Ali
Sulaiman al-Absyadi misalnya, mewakafkan kepada ruwaq riyafah di Jam’I al-Azhar sebuah
perpustakaan yang lengkap yang memuat 600 buah buku dalam berbagai cabang pengetahuan yang
doajarkan di al-Azhar. Ahmad bin Ibrahim bi Nasrullah al-Askallani al-Qohiri al-Azhari,
mendirikan masjid, sekolah, rumah tetamu dan tanki air minum di Syubra. Dan masih banyak lagi
nama-nama yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.[13]
Fakta sejarah juga memberikan bukti bahwa waqf nya para penguasa dan orang-orang
kaya, sehingga kenikmatan belajar dapat dirasakan oleh para pelajar, hal ini disebabkan
pendidikan yang tidak memungut bayaran, pelajar diberikan beasiswa, makanan, dan tempat
tinggal. Dengan pelayanan tersebut para pengajar dan pelajar dapat belajar secara total,
konsentrasi, dan dapat memanfaat waktu, tanpa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, dalam buku Fiqh Wakaf, menuliskan: Praktek
wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah. Semua orang
berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan
miskin saja, tetapi wakaf dapat dijadikan modal untuk membangun lembaga pendidikan,
membangun perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk
para siswa dan mahasiswanya. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik
perhatian Negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas
social dan ekonomi masyarakat. [14]
Di masa Dinasti Abbasiyah, wakaf telah dikembangakan sedemikan rupa sehingga menjadi
sumber pendapatan Negara. Ketika itu wakaf yang pada awalnya meliputi berbagai asset semacam
masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, kantor, gedung
pertemuan, tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dan lain-lain pada
akhirnya bisa diambil manfaatnya sebagai instrument pendapatan Negara.[15]
E. CONTOH PENGELOLAAN WAQF DALAM PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Syalabi memaparkan tentang wakaf pada sekolah Asy-Syamiyyah Al-Zhawaniyyah.
Sekolah ini telah runtuh. Namun, masih terdapat peninggalannya yaitu pintu masuk yang masih
dipakai oleh pemiliknya, di pintu itu terdapat tulisan catatan wakaf atau piagam wakaf yang tertulis
secara rinci, baik tentang pembelanjaan wakaf, dan keuntungan-keuntungan yang dihasilkan oleh
wakaf tersebut. Syalabi mendapatkan informasi ini dari buku Sejarah Sekolah-Sekolah di
Damaskus, karangan An-Nua’aimy, sekolah ini terdapat pada tahun 628 H/ 1249 M. Antara lain
isi dari piagam wakaf itu adalah untuk guru-guru, dibagikan sekarung gandum hinthan, sekarung
gandum sya’ir, dan uang perak Nasyiriah sejumlah 130 dirham (Rp.3.900.000*/Rp.64.179.900’).
Yang menarik dalam wakaf ini, pemberi wakaf memberi syarat yaitu para fuqoha, pelajar, guru,
muazzin, dan pelayan, haruslah orang baik, teguh beragama, shaleh, suci hati, berkelakukan
baik, memiliki kepercayaan yang bersih, dan menganut aliran ahlu sunnah wal jama’ah, dan
jumlahnya tidak lebih dari dua puluh orang.
Pada bab situasi keuangan guru, Syalabi menjelaskan tentang perbedaan gaji-gaji yang
diterima guru baik pada tingkat anak-anak, muaddib, maupun guru yang mengajar di sekolahsekolah. Syalabi menuliskan setelah sekolah-sekolah dibangun dan guru-gurunya diangkat, maka
guru-guru ini mendapat gaji bulanan yang teratur, yang diambil dari kantor pembendaharaan
umum, atau dari badan-badan wakaf, yang biasa diberi tugas untuk membiayai lembaga-lembaga
tersebut. Gaji guru-guru tersebut berbeda menurut tingkatan mereka, dan juga tergantung pada
hasil yang diperoleh oleh badaan wakaf. Akan tetapi pada umumnya gaji tersebut adalah tinggi.
Ketika Imam Syafi’i berkunjung ke Mesir, ia disambut dengan hormat oleh Khalifah Ibnu
Abdul Hakam. Ia memberi Imam Syafi’i uang sebesar 3000 dinar (Rp.4.500.000.000*/Rp.
6.417.990.000’). Uang yang diberikannya tidak dijelaskan oleh Syalabi apakah dari wakaf atau
tidak, akan tetapi jumlah uang yang besar memberikan gambaran penghormatan terhadap Imam
Syafi’i sebagai guru.
Catatan berikut berupa keterangan tentang gaji yang diterima setiap bulannya oleh para pembesar,
guru, pejabat-pejabat pada masa Dinasti Fathimiyah, yaitu :
No
1
Jabatan
Menteri
Jumlah
Dinar
5000
Konversi 1
Rp.7.500.000.000
Konversi 2
Rp.10.696.650.000
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Anak Menteri
Sekretaris
Ajudan
Qadhi
Da’i
Guru Senior
Kepala Baitul Mal
Deputi
Pemimpin Arsip
Penyimpan Pedang
Penyimpan Tombak
Ka. Dewan
Dokter Pribadi
Ka. Dewan Peneliti Ka.
Dewan Majlis
Khatib Masjid
Penyair Khalifah
Dokter Lain di Istana
200
150
120
100
100
100
100
100
100
70
70
70
50
50
50
10 - 20
10 - 20
10
Rp.
Rp
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
300.000.000
225.000.000
180.000.000
150.000.000
150.000.000
150.000.000
150.000.000
150.000.000
150.000.000
105.000.000
105.000.000
105.000.000
75.000.000
75.000.000
75.000.000
15 – 30 Juta
15 – 30 Juta
15.000.000
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
427.866.000
320.899.500
256.719.600
213.933.000
213.933.000
213.933.000
213.933.000
213.933.000
213.933.000
149.753.100
149.753.100
149.753.100
106.966.500.
106.966.500.
106.966.500
20– 40 Juta
20– 40 Juta
21.393.300
Pada masa pemerintahan Bani Ayyubiyah, pemberian gaji secara teratur seperti di atas
tidak lagi dijumpai, hal ini dikarenakan pemberian besar kecilnya gaji dipengaruhi beberapa hal
seperti besar kecilnya jumlah wakaf yang diberikan untuk sekolah-sekolah, serta kedudukan dan
kemasyhuran guru dalam masyarakat, di sisi lain pemberian gaji juga tergantung kebaikan dari
penguasa sendiri. Walaupun pendapatan wakaf besar, apabila penguasa orang kikir dan serakah
maka serta merata gaji yang diberikanpun kecil dan tidak memandang syarat dari wakif ataupun
kemasyhuran seorang guru.
Abdul Mukti (2007:181) menuliskan : Pembangunan Madrasah Nizhamiyah menelan dana
dalam jumlah cukup besar. Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan pendidikan Islam
berkebangsaan Mesir, mencatat bahwa Nizham al-Mulk telah menghabiskan dana
sebanyak 200.000 dinar ( 3 Triliyun */ Rp. 42.786.600.000.’) untuk biaya pembangunan
Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang keseluruhannya berasal dari pembendaharaan negara. Ia
menambahkan bahwa Nizham al-Mulk juga telah memberikan wakaf yang menghasilkan 15.000
dinar setiap tahunnya yang digunakan untuk kepentingan biaya operasional pendidikannya yang
jumlah keseluruhannya mencapai 60.000 dinar pertahun. Kekurangannya diambil dari anggaran
belanja pendidikan. Adapun total dana yang dikeluarkan Menteri Nizham al-Mulk untuk biaya
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran semua Madrasah Nizhamiyah sebesar 600.000 ribu
dinar (9 Triliyun*/Rp. 128.359.800.000.’) pertahunnya.
F. PROSPEK WAQF DALAM PENDIDIKAN ISLAM MODERN
Bagaimana prospek waqf dalam pendidikan Islam modern ? maka cara menjawab yang
tepat adalah kita harus mengetahui bentuk waqf apa yang dapat secara langsung menyentuh
pendidikan, atau dengan kata lain bentuk waqf apa yang tepat sasaran untuk mendukung
pendidikan ?
Sugianto dalam tulisannya Wakaf dan Pendidikan Islam Klasik, mengatakan : Masa depan
pendidikan Islam disadari atau tidak, sangat bergantung pada kekuatan ekonomi yang
melingkarinya, karena tidak dapat disangkal bahwa aktivitas pendidikan tidak lepas dari sokongan
a.
b.
c.
a.
b.
a.
b.
dana yang memadai untuk melakukan pengkajian dan penyelidikan ilmu pengetahuan. Bahkan
kemerosotan pendidikan Islam yang saat ini sedang kita rasakan, diduga keras bahkan mungkin
pasti karena kurangnya dana yang diberikan.[16]
Lebih lanjut Sugianto mengatakan: sebenarnya perkembangan dan kemajuan pendidikan
pada masa kejayaan Islam bukanlah berkat dukungan dana yang sangat besar dari pemerintah,
tetapi kemajuan itu dikarenakan besarnya partisipasi masyarakat dalam mendukung
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal pendanaan. Dukungan pendanaan ini
mereka wujudkan dalam bentuk wakaf. Wakaf inilah yang digunakan kemudian untuk seluruh
pembiayaan bagi kepentingan pengembangan dan kemajuan pendidikan di masa itu.[17]
Kembali pada pertanyaan terhadap bentuk waqf yang produktif bagi perkembangan
pendidikan. Maka sebelum menjawabnya akan diuraikan terlebih dahulu macam-macam wakaf.
Mundzir Qahaf menerangkan bahwa waqf menjadi beberapa macam berdasarkan tujuan, batasan
waktu, dan penggunaan barangnya[18]. Penjelasannya sebagai berikut :
1. Berdasarkan tujuannya, terbagi menjadi tiga macam :
Wakaf sosial untuk kebaikan masyarakat (khairi), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk
kepentingan umum.
Wakaf keluarga (dzurri) : yaitu apabila tujuan wakaf untuk memberi manfaat kepada wakif,
keluarganya, keturunannya, dan orang-orang tertentu, tanpa melihat apakah kaya atau miskin, sakit
atau sehat, dan tua atau muda.
Wakaf gabungan (musytarak), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum dan keluarga secara
bersamaan.
2. Berdasarkan batasan waktunya, terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Wakaf abadi : apabila wakafnya berbentuk barang yang bersifat abadi, seperti tanah dan bangunan
dengan tanahnya, atau barang yang brgerak yang ditentukan oleh wakif sebagai wakaf abadi dan
produktif.
Wakaf sementara : apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah rusak ketika
dipergunakan tanpa memberi syarat untuk mengganti bagian yang rusak.
3.
Berdasarkan penggunaannya, wakaf dapat dibagi menjadi dua macam :
Wakaf langsung, yaitu wakaf yag pokok barangnya digunakan untuk mencapai tujuannya, seperti
masjid untuk shalat. Dll.
Wakaf produktif, yaitu wakaf dan pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi dan
hasilnya diberikan untuk tujuan wakaf.
Dari penjelasan di atas, kita menemukan bahwa wakaf produktif adalah salah satu wakaf
yang dilakukan berdasarkan penggunaannya dan kecendrungannya wakaf produktif lebih dekat
kepada wakaf benda bergerak. Dengan alasan yang didasarkan kepada tabiat benda, yaitu rusak
dan punah. Dalam hal ini Mazhab Syafi’i, memberikan pendapat bahwa wakaf bangunan,
binatang, perabot rumah tangga dan senjata, hukumnya sah. Dan Mazhab
Hanafi, membolehkan barang bergerak
boleh
diwakafkan
apabila menyatu
dengan
tanah, hukumnya sah jika barangnya termasuk yang dikenal dan dipergunakan manusia.
Dari keseluruhan benda waqf yang bergerak, waqf yang paling produktif adalah waqf
dalam bentuk uang. Hal ini berdasarkan pemanfaatannya dapat dirasakan secara langsung serta
digunakan dalam banyak hal. Sebaiknya wakaf uang dilakukan dengan cara menjadikannya
sebagai modal usaha, sehingga wujud uang dapat terpelihara dan tersimpan di lembaga Syari’ah,
dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai wakaf.
Sugianto kembali memberikan pernyataan: Indonesia yang penduduknya mayoritas
Muslim, yang jumlahnya tidak kurang dari 190 juta umat Islam. Kalau 10 juta orang dari jumlah
ini mau berwakaf masing-masing 200 ribu/tahun, maka tidak kurang 2 triliun dana akan terkumpul
dalam satu tahun. Dana ini kemudian dikelola dengan professional, didepositokan disalah satu
bank misalnya dengan bagi hasil 9 persen, maka tahun kedua dana tersebut akan bertambah senilai
180 milyar. Dengan demikian dua tahun pertama akan terkumpul dana wakaf tidak kurang dari 4,2
triliun, dan ini merupakan potensi yang luar biasa bagi umat Islam Indonesia yang
seharusnya merespon dan dikembangkan. Hal ini dapat terwujud jika kita mampu mengatur dan
mengkondisikan lembaga-lembaga ini serta mendorong masyarakat, khususnya para dermawan
dan orang-orang kaya di negeri ini untuk mengeluarkan harta mereka bukan hanya untuk
kepentingan peribadahan tetapi juga untuk pendanaan pendidikan. [19]
Hal itu bisa terwujud jika pengetahuan masyarakat tentang wakaf dan fungsinya lebih baik
dari saat ini. Selama ini masyarakat hanya membatasi diri dengan mewakafkan hartanya untuk
kepentingan peribadatan dan fasilitas sosial saja, sementara untuk masalah pendidikan kurang
mendapat perhatian.
M. Yasir Nasution dalam tulisannya Rekonstruksi Fiqh Waqf Berwawasan Ekonomi
Syari’ah, beliau mengatakan; Wakaf dalam bentuk uang tunai memiliki beberapa keuntungan;
antara lain terbukanya secara luas kesempatan berwakaf kepada semua orang sesuai dengan
kemampuan dan keikhlasannya. Seseorang tidak harus mempunyai sebidang tanah atau sejumlah
modal mendirikan bangunan untuk bisa berwakaf. Di samping itu ada keleluasaan dalam
akumulasi harta wakaf dan dalam pilihan penggunaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan real
ummat. Namun demikian sifat keabadian status tetap menjadi karakteristik wakaf yang tidak
dapat diobah, karena telah ditegaskan bahwa harta wakaf tidak boleh diperjualbelikan,
dihibahkan,dan diwariskan.[20]
Prospek waqf dalam pendidikan Islam sangat positif, dan harus dikelola secara
professional untuk peningkatan kualitas dan kemajuan pendidikan di masa depan. M. Dawam
Rahardjo dalam tulisannya, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif, ia
mengungkapkan: Salah satu gagasan yang muncul akhir-akhir ini adalah membentuk dua lembaga
nasional, yaitu pertama Institute Wakaf Indonesia (IWI) berfungsi mengembangkan konsepkonsep wakaf dalam system ekonomi syari’ah, dan penyiapan SDM dan pengembangan (realisasi)
wakaf itu sendiri dalam masyarakat. Kedua Lembaga Wakaf Nasional (LWN) adalah pusat
pengelolaan wakaf dengan cabang-cabangnya di tingkat kabupaten dan desa. LWN ini perlu
didukung oleh sebuah bank kustodian, yang merupakan bank syari’ah, misalnya ditunjuk Bank
Muamalat Indonesia (BMI).[21]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Rihlah ‘ilmiyyah dapat diartikan sebuah perjalanan yang di tempuh ke luar dari
negara/daerah tempat tinggalnya dalam rangka kegiatan keilmuan. Ada dua aspek tujuan rihlah
‘ilmiyyah yaitu; pertama untuk menuntut ilmu (thalabaan lil-‘ilm) atau meningkatkan nilai ilmu
pengetahuan (rasikh fi’ilm) dan kedua dengan tujuan untuk mengajarkan ilmu
diberbagai daerah atau negara lain.
Sistem menuntut ilmu seperti ini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi umat Islam.
Dengan adanya perjalanan ilmiah guru-guru dan pelajar-pelajar ke berbagai daerah Islam yang
terpisah-pisah dan jauh jaraknya, akan terjadi jalinan budaya antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya sehingga dapat menyebabkan dinamika sosial dan peradaban Islam terus
berkembang.
Pendidikan Islam di masa klasik mengalami perkembangan yang luar biasa dengan
keberadaan waqf, di mana waqf memiliki kedudukan yang sangat penting untuk mendukung
perkembangan ilmu pengetahuan, terkhusus dalam bidang pendidikan. Sejarah juga membuktikan
banyaknya lembaga pendidikan dan instituti yang hidup dari sokongan dana waqf, jumlah
dana waqf ini sangat menakjubkan karena mampu membiayai seluruh beban pendidikan, bahka
n menggaji pengajar dan memberikan beasiswa kepada pelajar, selain itu terpenuhi
kebutuhan
hidup dan tempat tinggal. Akhirnya para pengajar dan pelajar dapat melakukan kegiatan
pembelajaran dengan penuh konsentrasi, tanpa harus disibukan dengan pemikiran terhadap
pemenuhan kebutuhan hidup, dan hal ini menghantarkan pendidikan pada puncaknya yaitu
lahirnya para ilmuan beserta karya-karyanya yang handal dan menakjubkan.
[1] Umar Ridha kahhalah, dirasaat al- Ijtima’iyyah fi al-‘ushur al-Islamiyyah,(dimasyq: 1973), h.54.
[2] Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, Juz: 2, h.285.
[3] Ahmad Amin, Zuhr al- Islam, Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1996, jilid II, hal:87
[4] Ibid, hal:88
[5] Umar Ridha kahhalah, dirasaat al- Ijtima’iyyah fi al-‘ushur al-Islamiyyah,(dimasyq: 1973), h.45.
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Hidakarya Agung: Jakarta, 1992), h.125.
[7] Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, (Citapustaka Media: Bandung, 2006), h.208.
[8] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Yuliani Lipuo
(bandung: Mizan, 1996), h.36
[9] Dra. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1991, hal:89-91
[10] Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 39
[11] Ibid, h. 40
[12] Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 36
[13] Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 40-42
[14] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta, Depag RI, 2007)h. 7
[15] Achmad Djunaidi et.all, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok, Mumtaz Publishing, 2007) h.31
[16] Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 42
[17] Ibid, h. 43
[18] Lihat Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islami: Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf
Produktif , h. 24-30
[19] Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 43
[20] Azhari Akmal Tarigan & Agustianto (Ed), Wakaf Produktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat, h. 78
[21] Ibid, h. 66
Download