Uploaded by novtjunirty

Osteoarthritis,gout,RA

advertisement
A. Osteoarthritis
1. Definisi
Osteoartritis adalah suatu kelainan sendi kronis dimana terjadi proses
pelemahan dan disintegrasi dari tulang rawan sendi yang disertai dengan pertumbuhan
tulang dan tulang rawan baru pada sendi. Kelainan ini merupakan suatu proses
degeneratif pada sendi yang dapat mengenai satu atau lebih sendi. (Pratiwi AI,2015 )
2. Epidemiologi
Di Indonesia, prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30%
pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun.5 Untuk osteoartritis lutut
prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. Insidensi
osteoartritis di Amerika pada usia 18-24 tahun, 7% laki-lakidan 2% perempuan
menggambarkan osteoarthritis pada tangan. Pada usia 55-64 tahun, 28% laki-laki dan
perempuan terkena osteoarthritis lutut dan 23% osteoarthritis panggul. Pada usia
antara 65-74, 39% laki-laki dan perempuan menggambarkan osteoarthritis pada lutut
dan 23% menggambarkan osteoarthritis pada panggul. Pada usia diatas 75 tahun,
sekitar 100% laki-laki dan perempuan mempunyai gejala-gejala osteoartritis.
Kejadian osteoartritis di Norwegia pada tahun 2008, 80% berusia lebih dari 55 tahun.
Angka keseluruhan prevalensi osteoartritis di Norwegia adalah 12,8% dan lebih tinggi
pada perempuan (14,7%) di banding lakilaki (10,5%). Prevalensi osteoarthritis
panggul adalah 5,5%, osteoarthritis lutut 7,1% dan osteoarthritis tangan 4,3%.
(Pratiwi AI,2015 )
3. Etiologi
Osteoartritis merupakan penyakit tersering yang menyebabkan timbulnya
nyeri dan disabilitas gerakan pada populasi usia lanjut. Osteoartritis merupakan
kelainan yang mengenai berbagai ras dan kedua jenis kelamin. Osteoartritis lebih
banyak ditemukan pada perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki yaitu 68,67%.
Osteoartritis dapat menyerang semua sendi, namun predileksi yang tersering adalah
pada sendi-sendi yang menanggung beban berat badan seperti panggul, lutut, dan
sendi tulang belakang bagian lumbal bawah. Faktor-faktor yang telah diteliti sebagai
faktor risiko OA lutut antara lain usia lebih dari 50 tahun, jenis kelamin perempuan,
ras/etnis, genetik, kebiasaan merokok, konsumsi vitamin D, obesitas, osteoporosis,
diabetes- mellitus, hipertensi, hiperurisemi, histerektomi, menisektomi, riwayat
trauma lutut, kelainan anatomis, kebiasaan bekerja dengan beban berat, aktivitas fisik
berat dan kebiasaan olah raga. (Pratiwi AI,2015 )
4. Patogenesis
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA
sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik adalah OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidakada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya
kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan dan imobilisasi yang lama. OA
primer lebih sering ditemukan dari pada OA sekunder. Penyakit ini bersifat progresif
lambat, umumnya terjadi pada usia lanjut, walaupun usia bukan satu-satunya faktor
risiko. Di beberapa referensi menyatakan bahwa angka insiden terjadinya OA
meningkat seiring bertambahnya usia terutama pada usia > 50 tahun, ini berkaitan
dengan adanya degenerasi tulang rawan. Faktor lain yang diduga menjadi pemicu
osteoartritis adalah faktor jenis kelamin, kegemukan, dan overuse. (Pratiwi AI,2015 )
5. Penatalaksanaan
Kebanyakan dokter merekomendasikan acetaminophen (Tylenol), karena
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat lain. Jika rasa sakit
berlanjut, dokter mungkin merekomendasikan obat antiinflammatory (OAINS). Obat
ini membantu meredakannyeri dan bengkak. Jenis OAINS termasuka spirin,
ibuprofen dan naproxen. Namun, penggunaan jangka panjang OAINS dapat
menyebabkan masalah lambung seperti ulkus dan pendarahan. Obat ini juga dapat
Meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke. (Pratiwi AI,2015 )
OAINS bekerja dengan cara menghambat jalur siklooksigenase (COX) pada
kaskade inflamasi. Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologik,
terdapat pada lambung, ginjal dan trombosit) danCOX-2 (berperan pada proses
inflamasi). OAINS tradisional bekerja dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2,
sehingga dapat mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi
cairan dan hiperkalemia. OAINS yang bersifat inhibitor COX-2 selektifakan
memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS
yang tradisional. (Pratiwi AI,2015 )
Bagi penderita dengan OA yang sudah parah, maka operasi merupakan
tindakan yang efektif.43 Operasi yang dapat dilakukan antara lain arthroscopic
debridement, joint debridement, dekompresi tulang, osteotomi dan artroplasti.
Walaupun tindakan operatif dapat menghilangkan nyeri pada sendi OA, tetapi
kadang-kadang fungsisendi tersebut tidak dapat diperbaiki secara adekuat, sehingga
terapifisik pre dan pasca operatif harus dipersiapkan dengan baik. (Pratiwi AI,2015 )
B. Reumathoid Artritis
1. Definisi
Penyakit rheumatoid arthritis (RA) merupakan salah satu penyakit autoimun
berupa inflamasi arthritis pada pasien dewasa. Rasa nyeri pada penderita RA pada
bagian sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa akan mengalami penebalan akibat
radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi. Namun
demikian, kebanyakan penyakit rematik berlangsung kronis, yaitu sembuh dan
kambuh kembali secara berulangulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara
menetap pada penderita RA. Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun
yang menyebabkan peradangan kronis pada sendi. Penyakit autoimun adalah
penyakit yang terjadi ketika jaringan-jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya
sendiri yang keliru. (Chabib L, Ikawati Z, Martien R, Ismail H,2016 )
2. Epidemiologi
Menurut Arthritis Foundation (2015), sebanyak 22% atau lebih dari 50 juta
orang dewasa di Amerika Serikat berusia 18 tahun atau lebih didiagnosa arthritis. Dari
data tersebut, sekitar 3% atau 1,5 juta orang dewasa mengalami RA. RA terjadi pada
0,5-1% populasi orang dewasa di negara maju. Prevalensi RA di Indonesia menurut
hasil penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2010), jumlah penderita RA di
Indonedsia tahun 2009 adalah 23,6% sampai 31,3%. (Chabib L, Ikawati Z, Martien R,
Ismail H,2016 )
3. Patofisiologi
Rheumatoid arthritis akibat reaksi autoimun dalam jaringan sinovial yang
melibatkan proses fagositosis. Dalam prosesnya, dihasilkan enzim-enzim dalam sendi.
Enzim-enzim tersebut selanjutnya akan memecah kolagen sehingga terjadi edema,
proliferasi membran sinovial dan akhirnya terjadi pembentukan pannus. Pannus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan
merasakan nyeri akibat serabut otot mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya kemampuan elastisitas pada otot dan kekuatan kontraksi otot. (Chabib
L, Ikawati Z, Martien R, Ismail H,2016 )
4. Manisfestasi Klinis
RA pada umumnya sering di tangan, sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan
lutut. Nyeri dan bengkak pada sendi dapat berlangsung dalam waktu terus-menerus
dan semakin lama gejala keluhannya akan semakin berat. Keadaan tertentu, gejala
hanya berlangsung selama beberapa hari dan kemudian sembuh dengan melakukan
pengobatan. Rasa nyeri pada persendian berupa pembengkakan, panas, eritema dan
gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis.
Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama
lebih dari 30 menit. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai
pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai
persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan
temporomandibular. Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat
serius terjadi pada lanjut usia yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari dan kekakuan
pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai
terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi
kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan
demam dan terjadi berulang dapat terjadi berulang. (Chabib L, Ikawati Z, Martien R,
Ismail H,2016 )
5. Terapi Farmakologi
Tujuan dari pengobatan rheumatoid arthritis tidak hanya mengontrol gejala
penyakit, tetapi juga penekanan aktivitas penyakit untuk mencegah kerusakan
permanen. Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri
sendi dan bengkak, serta meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien meringankan gejala tetapi juga
memperlambat kemajuan penyakit. Penderita RA memulai pengobatan mereka
dengan DMARDs (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti metotreksat,
sulfasalazin dan leflunomid. (Chabib L, Ikawati Z, Martien R, Ismail H,2016 )
a. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs) Disease Modifying
Anti Rheumatic Drugs (DMARDs) memiliki potensi untuk mengurangi
kerusakan pada sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi dan pada
akhirnya mengurangi biaya perawatan dan meningkatkan produktivitas pasien
RA. Obat-obat DMARDs yang sering digunakan pada pengobatan RA adalah
metotreksat (MTX), sulfasalazin, leflunomide, klorokuin, siklosporin dan
azatioprin. (Chabib L, Ikawati Z, Martien R, Ismail H,2016 )
b. Kortikosteroid Pengobatan farmakologi dengan kortikosteroid oral dalam
dosis rendah/sedang bisa menjadi bagian dari pengobatan RA, namun
sebaiknya dihindari pemberian bersama OAINS selagi menunggu efek terapi
dari DMARDs. Kortikosteroid diberikan dalam jangka waktu sesingkat
mungkin dan dosis rendah yang dapat mencapai efek klinis. Perlu diingatkan
bahwa OAINS tidak mempengaruhi perjalanan penyakit ataupun mencegah
kerusakan sendi. Pemilihan OAINS yang dipergunakan tergantung pada
pencegahan efek samping Kombinasi 2 atau lebih OAINS harus dihindari
karena tidak menambah efektivitas tetapi meningkatkan efek samping.
(Chabib L, Ikawati Z, Martien R, Ismail H,2016 )
C. Atrithis Gout
1. Definisi
Artritis gout adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di seluruh
dunia. Artritis gout atau dikenal juga sebagai artritis pirai, merupakan kelompok
penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan
atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler.(Widyanto FW,2014)
2. Epidemiologi
Artritis gout menyebar secara merata di seluruh dunia. Prevalensi bervariasi
antar negara yang kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan, diet,
dan genetik. Sedangkan jumlah kejadian artritis gout di Indonesia masih belum jelas
karena data yang masih sedikit. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki
berbagai macam jenis etnis dan kebudayaan, jadi sangat memungkinkan jika
Indonesia memiliki lebih banyak variasi jumlah kejadian artritis gout. (Widyanto
FW,2014 )
3. Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi,
obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih
tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout.
Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause, kemudian
resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level estrogen karena
estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan artritis gout jarang pada
wanita muda. Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin diduga
meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger
transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion cotransporter pada
brush border yang terletak pada membran ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan
adanya resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan pada proses fosforilasi
oksidatif sehingga kadar adenosin tubuh meningkat. Peningkatan konsentrasi
adenosin mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan air oleh ginjal.
Alkohol dapat mempercepat proses pemecahan adenosin trifosfat dan produksi asam
urat. Metabolisme etanol menjadi acetyl CoA menjadi adenin nukleotida
meningkatkan terbentuknya adenosin monofosfat yang merupakan prekursor
pembentuk asam urat. Alkohol juga dapat meningkatkan asam laktat pada darah yang
menghambat eksresi asam. Alasan lain yang menjelaskan hubungan alkohol dengan
artritis gout adalah alkohol memiliki kandungan purin yang tinggi sehingga
mengakibatkan over produksi asam urat dalam tubuh. (Widyanto FW,2014 )
4. Patologi
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir kristal
monosodium urat (MSU). Reaksi inflamasi di sekeliling kristal terutama terdiri dari
sel mononuklir dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar
tofus. Kapsul fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofus. Kristal dalam tofus
berbentuk jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok kecil secara radier.
Komponen lain yang penting dalam tofus adalah lipid glikosaminoglikan dan plasma
protein. Pada artritis gout akut cairan sendi juga mengandung kristal monosodium urat
monohidrat pada 95% kasus. Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada
saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di dalam lekosit. Hal ini
disebabkan karena terjadi proses fagositosis. (Widyanto FW,2014 )
5. Patogenesis
Monosodium urat akan membentuk kristal ketika konsentrasinya dalam
plasma berlebih, sekitar 7,0 mg/dl. Kadar monosodium urat pada plasma bukanlah
satu-satunya faktor yang mendorong terjadinya pembentukan kristal. Hal ini terbukti
pada beberapa penderita hiperurisemia tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang
lama sebelum serangan artritis gout yang pertama kali. Faktor-faktor yang mendorong
terjadinya serangan artritis gout pada penderita hiperurisemia belum diketahui pasti.
Diduga kelarutan asam urat dipengaruhi pH, suhu, dan ikatan antara asam urat dan
protein plasma. (Widyanto FW,2014 )
Kristal monosodium urat yang menumpuk akan berinteraksi dengan fagosit
melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah dengan cara mengaktifkan sel-sel
melalui rute konvensional yakni opsonisasi dan fagositosis serta mengeluarkan
mediator inflamasi. Mekanisme kedua adalah kristal monosodium urat berinteraksi
langsung dengan membran lipid dan protein melalui membran sel dan glikoprotein
pada fagosit. Interaksi ini mengaktivasi beberapa jalur transduksi seperti protein G,
fosfolipase C dan D, Srctyrosine-kinase, ERK1/ERK2, c-Jun N-terminal kinase, dan
p38 mitogen-activated protein kinase. Proses diatas akan menginduksi pengeluaran
interleukin (IL) pada sel monosit yang merupakan faktor penentu terjadinya
akumulasi neutrofil. (Widyanto FW,2014 )
6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis artritis gout terdiri dari artritis gout asimptomatik, artritis
gout akut, interkritikal gout, dan gout menahun dengan tofus. Nilai normal asam urat
serum pada pria adalah 5,1 ± 1,0 mg/dl, dan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl.
Nilai-nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/ dl pada seseorang dengan artritis gout.
(Widyanto FW,2014 )
Pada tahap pertama hiperurisemia bersifat asimptomatik, kondisi ini dapat
terjadi untuk beberapa lama dan ditandai dengan penumpukan asam urat pada
jaringan yang sifatnya silent. Tingkatan hiperurisemia berkolerasi dengan terjadinya
serangan artritis gout pada tahap kedua. (Widyanto FW,2014 )
Serangan artritis gout akut terjadi ditandai dengan nyeri pada sendi yang berat
dan biasanya bersifat monoartikular. Pada 50% serangan pertama terjadi pada
metatarsophalangeal1 (MTP-1) yang biasa disebut dengan podagra. Semakin lama
serangan mungkin bersifat poliartikular dan menyerang ankles, knee, wrist, dan sendisendi pada tangan. (Widyanto FW,2014 )
Stadium interkritikal merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi
periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda
radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan
bahwa proses peradangan tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat
terjadi satu atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan
akut. (Widyanto FW,2014 )
Stadium gout menahun ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri
sehingga dalam waktu lama tidak berobat secara teratur pada dokter. Artritis gout
menahun biasanya disertai tofus yang banyak dan terdapat poliartikuler. Tofus
terbentuk pada masa artritis gout kronis akibat insolubilitas relatif asam urat. Awitan
dan ukuran tofus secara proporsional mungkin berkaitan dengan kadar asam urat
serum. Bursa olekranon, tendon achilles, permukaan ekstensor lengan bawah, bursa
infrapatelar, dan heliks telinga adalah tempat-tempat yang sering dihinggapi tofus.
Secara klinis tofus ini mungkin sulit dibedakan dengan nodul rematik. Pada masa kini
tofus jarang terlihat dan akan menghilang dengan terapi yang tepat. (Widyanto
FW,2014 )
7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada penderita artritis gout adalah untuk mengurangi rasa
nyeri, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah terjadinya kelumpuhan. Terapi
yang diberikan harus dipertimbangkan sesuai dengan berat ringannya artrtitis gout.
Penatalaksanaan utama pada penderita artritis gout meliputi edukasi pasien tentang
diet, lifestyle, medikamentosa berdasarkan kondisi obyektif penderita, dan perawatan
komorbiditas. (Widyanto FW,2014 )
Pengobatan artritis gout bergantung pada tahap penyakitnya. Hiperurisemia
asiptomatik biasanya tidak membutuhkan pengobatan. Serangan akut artritis gout
diobati dengan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid atau kolkisin. Obat-obat ini
diberikan dalam dosis tinggi atau dosis penuh untuk mengurangi peradangan akut
sendi. (Widyanto FW,2014 )
Beberapa lifestyle yang dianjurkan antara lain menurunkan berat badan,
mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, menghindari merokok, dan konsumsi air
yang cukup. Modifikasi diet pada penderita obesitas diusahakan untuk mencapai
indeks masa tubuh yang ideal, namun diet yang terlalu ketat dan diet tinggi protein
atau rendah karbohidrat (diet atkins) sebaiknya dihindari. (Widyanto FW,2014 )
Tujuan terapi serangan artritis gout akut adalah menghilangkan gejala, sendi
yang sakit harus diistirahatkan dan terapi obat dilaksanakan secepat mungkin untuk
menjamin respon yang cepat dan sempurna. Ada tiga pilihan obat untuk artritis gout
akut, yaitu NSAID, kolkisin, kortikosteroid, dan memiliki keuntungan dan kerugian.
Pemilihan untuk penderita tetentu tergantung pada beberapa faktor, termasuk waktu
onset dari serangan yang berhubungan dengan terapi awal, kontraindikasi terhadap
obat karena adanya penyakit lain, efikasi serta resiko potensial.NSAID biasanya lebih
dapat ditolerir dibanding kolkhisin dan lebih mempunyai efek yang dapat diprediksi.
(Widyanto FW,2014 )
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya pengobatan serangan
artritis gout diobati dalam 24 jam pertama serangan, salah satu pertimbangan
pemilihan obat adalah berdasarkan tingkatan nyeri dan sendi yang terkena. Terapi
kombinasi dapat dilakukan pada kondisi akut yang berat dan serangan artritis gout
terjadi pada banyak sendi besar. Terapi kombinasi yang dilakukan adalah kolkisin
dengan NSAID, kolkisin dan kortikosteroid oral, steroid intraartikular dan obat
lainnya. Untuk kombinasi NSAID dengan kortikosteroid sistemik tidak disarankan
karena dikawatirkan menimbulkan toksik pada saluran cerna. Obat golongan NSAID
yang di-rekomendasikan sebagai lini pertama pada kondisi artritis gout akut adalah
indometasin, naproxen, dan sulindak. Ketiga obat tersebut dapat menimbulkan efek
samping serius pada saluran cerna, ginjal, dan perdarahan saluran cerna. Obat
golongan cyclooxigenase 2 inhibitor (COX 2 inhibitor) seperti celecoxib merupakan
pilihan pada penderita artritis gout dengan masalah pada saluran cerna. (Widyanto
FW,2014 )
Download