Uploaded by Anisa Nur Rachma II

kpk 33

advertisement
Management Risiko K3 Di Dalam Gedung & Manegemen Risiko di Luar Gedung
Kelompok 5
Anggota:
1. Anisa Nur R.
P27220019210
2. Dita Prasetyawati
P27220019199
3. Junia Tri Astuti
P27220019213
4. Ockta Karunia P
P27220019226
5. Siti Warohmah
P27220019240
PROGRAM PROFESI NERS A
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat makalah yang berjudul “
managemen risiko di dalam gedung dan managemen risiko di luar gedung” ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Yeni Tutu Rohimah,
SKp.,M.Kes yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga makalah ini
dapat selesai. Penulis juga mengucapkan terimaksih kepada pihak yang telah
membantu secara langsung maupun tak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai risiko yang ada baik di dalam gedung maupun di luar
gedung serta penangananya.
Penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Surakarta, Agustus 2019
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................. i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Tinjauan Teori ................................................................................. 3
1. Pengertian ...................................................................................
BAB III Skenario Kasus
BAB IV Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan .....................................................................................
B. Soal ..................................................................................................
Daftar Pustaka .............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keselamatan pada dasarnya adalah kebutuhan setiap manusia dan
menjadi naluri dari setiap makhluk hidup. Kondisi perburuhan yang buruk dan
angka kecelakaan yang tinggi mendorong berbagai kalangan untuk berupaya
meningkatkan perlindungan bagi tenaga kerja. Salah satu diantaranya
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (Soehatman Ramli, 2010).
Data Internasional Labor Organization (ILO), dalam rentan waktu
rata-rata per tahun terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja dan 70% di
antaranya berakibat fatal yaitu kematian dan cacat seumur hidup. Berdasarkan
data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja di dunia
meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja
mengalami sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat
angka kematian disebabkan kecelakaan dan penyakit akibat Kerja (PAK)
sebanyak 2 juta kasus setiap tahun.Sedangkan Tingginya angka kecelakaan
kerja di Indonesia yang dikutip dari Badan Penyeleggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan yang masih tinggi terjadi tahun 2013-2017.
BPJS mencatat Kecelakaan kerja terjadi pada tahun 2013 sebanyak
97.144 kasus, pada tahun 2014 tercatat 40.696. Sedangkan data kecelakaan
kerja pada tahun 2015 tercatat 110.285,tahun 2016 tercatat 105.182 hingga
akhur tahun 2017 kecelakaan kerja mencapai 123.000. Penyebab utama
terjadinya kecelakaan kerja adalah masih rendahnya kesadaran akan
pentingnya penerapan K3 di kalangan pekerja dalam segala bidang. Selama
ini penerapan K3 seringkali dianggap sebagai beban biaya, bukan sebagai
investasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja (BPJS, 2017).
Tingginya kecelakaan kerja di dalam gedung rumah sakit maupun di
luar gedung rumah sakit dapat menurunkan kinerja pegawai. Hal tersebut
perlu ditindak lanjuti untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Salah satu
cara untuk menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan membuat
penerapan system managemen pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja
di dalam maupun diluar rumah sakit.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana managemen kesehatan keselamatan kerja di dalam gedung dan di
luar gedung?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui penerapan managemen system di dalam gedung rumah sakit.
2. Mengetahui factor – factor penyebab terjadinya KPK 3 di dalam gedung
3. Mengetahui penerapan managemen system di dalam gedung rumah sakit
maupun pelayanan kesehatan lain.
4. Mengetahui factor penyebab terjadinya KPK 3 di luar gedung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Keselamatan dan kesehatan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan, K3 adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi sumber daya manusia
fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pendamping pasien, pengunjung,
maupun masyarakat di sekitar lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan agar
sehat, selamat, dan bebas dari gangguan kesehatan dan pengaruh buruk yang
diakibatkan dari pekerjaan, lingkungan, dan aktivitas kerja ( PMK RI no 52
tahun 2018).
K3RS yaitu seluruh kegiatan yang dilakukan untuk menjamin dan melindungi
keselamatan dan kesehatan seluruh sumber daya manusia di rumah sakit
maupun lingkungan rumah sakit melalui suatu upaya pencegahan kecelakaan
kerja dan munculnya penyakit akibat kerja di rumah sakit (Kemenkes RI,
2015).
B. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (SMK3) di Fasilitas kesehatan
adalah bagian dari sistem
manajemen Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara keseluruhan dalam rangka
pengendalian risiko yang berkaitan dengan aktivitas proses kerja di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan guna terciptanya lingkungan kerja yang sehat, selamat,
aman dan nyaman (PMK RI no 52 tahun 2018).
SMK3RS merupakan bagian dari keseuruhan manajemen rumah sakit yang
dilakukan dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan proses
kerja di rumah sakit dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan
selamat serta aman dan nyaman bagi sumber daya manusia rumah sakit
(Kemenkes RI, 2015).
Risiko adalah potensi terjadinya kerugian yg dapat timbul dari proses kegiatan
saat sekarang atau kejadian dimasa datang (ERM,Risk Management
Handbook for Health Care Organization). b) Manajemen risiko adalah
pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan menyusun prioritas
risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan dampaknya.
Suatu proses penilaian untuk menguji sebuah proses secara rinci dan
berurutan, baik kejadian yang aktual maupun yang potensial berisiko ataupun
kegagalan dan suatu yang rentan melalui proses yang logis, dengan
memprioritaskan area yang akan di perbaiki berdasarkan dampak yang akan di
timbulkan baik aktual maupun potensial dari suatu proses perawatan,
pengobatan ataupun pelayanan yang diberikan (PMK no 27 tahun 2017).
C. Faktor – Faktor Penyebab KPK 3
1. Di dalam Gedung
Keselamatan kerja, misalnya tidak memakai masker, tidak memakai
sarung tangan, dan tidak memakai penutup kepala. Perusahaan juga
telah bekerjasama dengan asuransi atau jaminan keselamatan dan
kesehatan bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan di
lingkungan kerja. Sedangkan Potensi bahaya di RS, selain penyakitpenyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang
mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan,
kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan
sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang
berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi.
Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa dan
kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para
pengunjung yang ada di lingkungan RS.
2. Di Luar Gedung
a. Ruang bangunan dan halaman : semua ruang/unit dan halaman yang
ada dalam batas pagar RS (bangunan fisik dan kelengkapannya ) yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan dan kegiatan RS.
b. Lingkungan bangunan RS harus mempunyai batas yang jelas,
dilengkapi dengan pagar yang kuat dan tidak memungkinkan orang
atau binatang peliharaan keluar masuk dengan bebas
c. Lingkungan bangunan RS harus bebas dari banjir, jika berlokasi di
daerah rawan banjir harus menyediakan fasilitas/teknologi untuk
mengatasinya.
d. Lingkungan RS harus bebas dari asap rokok, tidak berdebu, tidak
becek, atau tidak terdapat genangan air, dan dibuat landai menuju ke
saluran terbuka atau tertutup, tersedia lubang penerima air masuk dan
disesuiakan dengan luas halaman
e. Pencahayaan : jalur pejalan kaki harus cukup terang, lingkungan
bangunan RS harus dilengkapi penerangan dengan intensitas cahaya
yang cukup terutama pada area dengan bayangan kuat dan yang
menghadap cahaya yang menyilaukan
f. Kebisingan : terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga
mengganggu atau membahayakan kesehatan. Dengan menanam pohon
(green belt), meninggikan tembok dan meninggikan tanah (bukit
buatan) yang berfungsi untuk penyekatan/ penyerapan bising
g. Kebersihan : halaman bebas dari bahaya dan risiko minimum untuk
terjadinya infeksi silang, masalah kesehatan dan keselamatan kerja
h. Saluran air limbah domestic dan limbah medis harus tertutup dan
terpisah, masing-masing dihubungkan langsung dengan instalasi
pengolahan air limbah.
i. Luas lahan bangunan dan halaman harus disesuaikan dengan luas
lahan keseluruhan, sehingga tesedia tempat parkir yang memadai dan
dilengkapi dengan rambu parkir
j. Di tempat parkir, halaman, ruang tunggu dan tempat-tempat tertentu
yang menghasilkan sampah harus disediakan tempat sampah
k. Lingkungan, ruang, dan bangunan RS harus selalu dalam keadaan
bersih dan tersedia fasilitas sanitasi secara kualitas dan kuantitas yang
memenuhi persyaratan kesehatan sehingga tidak memungkinkan
sebagai tempat berenang dan berkembang biaknya serangga, binatang
pengerat, dan binatang pengganggu lainnya.
l. Jalur lalulintas pejalan kaki dan jalur kendaraan harus dipisahkan.
Jalur pejalan kaki :lebar, tidak licin, mengakomodasi penyandang
cacat, memiliki rambu atau marka yang jelas, bebas penghalang dan
memiliki rel pemandu Jalur kendaraan : cukup lebar, konstruksi kuat,
tidak berlubang, drainase baik, memiliki pembatas kecepatan (polisi
tidur),marka jalan jelas, memiliki tanda petunjuk tinggi atau lebar
maksimum, memungkinkan titik perlintasan dan parkir, menyediakan
penyebrangan bagi pejalan kaki
m. Ketetapan yang diatur oleh the environment protection act 1990
mendefenisikan : Polutan : limbah padat dibuang ke tanah,limbah cair
dibuang ke tanah atau saluran air, dibuang ke atmosfir, bising dalam
komunitas masyarakat Limbah terkendali : limbah rumah tangga,
limbah industri, limbah usaha komersial Limbah khusus : limbah
terkendali
yang
berbahaya
sehingga
membutuhkan
prosedur
pembuangan khusus.
D. Fisiologi Lingkungan
Kondisi lingkungan fisik ruang rawat inap juga mempengaruhi psikologis
pasien. Ruang rawat inap yang bising, suhu udara terlalu panas, pencahayaan
kurang, kebersihan dan kerapihan tidak terjaga akan meningkatkan stres pada
pasien. Ruang rawat inap seharusnya membangkitkan optimisme sehingga
dapat membantu proses penyembuhan pasien.
1). Penerangan
Pencahayaan merupakan salah satu faktor penting dalam perancangan ruang.
Ruang yang telah dirancang tidak dapat memenuhi fungsinya dengan baik
apabila tidak disediakan akses pencahayaan. Pencahayaan di dalam ruang
memungkinkan orang yang menempatinya dapat melihat benda-benda.
Tanpa dapat melihat benda-benda dengan jelas maka aktivitas di dalam ruang
akan terganggu. Sebaliknya, cahaya yang terlalu terang juga dapat
mengganggu penglihatan (Santosa, 2006).
Tata pencahayaan dalam ruang rawat inap dapat mempengaruhi kenyamanan
pasien selama menjalani rawat inap, disamping juga berpengaruh bagi
kelancaran paramedis dalam menjalankan aktivitasnya untuk melayani pasien
(Santosa, 2006).
Penerangan di rumah sakit, merupakan hal yang sangat penting. Hal ini,
karena penerangan di rumah sakit berhubungan dengan keselamatan pasien
yang sedang dirawat, petugas dan pengunjung rumah sakit. Selain itu
penerangan yang mencukupi akan meningkatkan pencermatan, kesehatan
yang lebih baik dan suasana yang nyaman (Sastrowinoto, 1985).
Dalam Kepmenkes No 1204 tahun 2004, standar pencahayaan pada rumah
sakit intensitas pencahayaan untuk ruang pasien saat tidak tidur sebesar 100200 lux dengan warna cahaya sedang, sementara pada saat tidur maksimum
50 lux dan toilet minimal 100 lux. Pencahayaan alam maupun buatan
diupayakan
agar
tidak
menimbulkan silau dan intensitasnya sesuai
dengan peruntukannya Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan
manusia untuk melihat objek secara jelas, cepat dan tanpa menimbulkan
kesalahan. Kurangnya pencahayaan akan mengakibatkan mata menjadi cepat
lelah karena mata akan berusaha untuk melihat jelas dengan membuka lebarlebar. Kelelahan mata akan mengakibatkan kelelahan mental dan kerusakan
mata. Kemampuan mata untuk melihat objek secara jelas dipengaruhi oleh
ukuran objek, derajat kekontrasan antara objek dengan sekelilingnya,
luminansi (brightness), serta lamanya waktu untuk melihat objek tersebut.
Untuk menghindari silau (glare) karena peletakan sumber cahaya yang
kurang tepat, sebaiknya sumber cahaya diletakkan sedemikian rupa sehingga
cahaya mengenai objek yang akan dilihat terlebih dahulu yang kemudian
dipantulkan oleh objek tersebut ke mata kita (Wignjosoebroto,1995, hal.85).
Menurut Zulmiar (1999), pencahayaan buatan umumnya menggunakan
energi listrik yang disebut juga penerangan listrik. Pencahayaan buatan harus
memiliki syarat sebagai berikut :
1. Penerangan listrik harus sesuai dengan pekerjaan yang dilaksanakan oleh
tenaga kerja dengan intensitas yang cukup.
2.
Penerangan listrik tidak boleh menimbulkan perubahan suhu udara yang
berlebihan pada tempat kerja.
Penerangan listrik harus memberikan penerangan dengan intensitas yang
tepat, menyebar merata tidak berkedip, tidak menyilaukan dan tidak
menimbulkan bayangan yang mengganggu. Untuk menghindarkan silau,
Sastrowinoto (1985) memaparkan beberapa prinsip yang dapat diterangkan
sebagai berikut:
1.
Semakin pendek waktu menatap silau, tahap adaptasi asali semakin
cepat tercapai.
2. Derajat dari silau tergantung pada cerah relatif dari sumbernya. Ia
meningkat dengan meningkatnya area sumber sinar dan paling
berbahaya jika sumber sinar itu dekat dengan garis pandang.
3. Sumber sinar di atas garis pandang tidak begitu mengganggu mata
daripada yang terletak di samping atau di bawahnya.
4. Bahaya silau semakin besar bila penerangan umum di bidang visual
bertingkat rendah, lampu besar tidak akan membutakan kalau terjadi di
waktu siang.
Dalam kaitannya dengan masalah penerangan, berarti standar penerangan yang
dapat digunakan sebagai tolok ukur pada ruang rawat inap ini adalah standar
pencahayaan orang pada umumnya, dimana standar untuk orang yang sakit
dianggap tidak berbeda dengan standar untuk orang yang sehat.
2.) Kebisingan.
Salah satu bentuk polusi adalah kebisingan (noise) yang tidak dikehendaki oleh
telinga kita. Kebisingan tidak dikehendaki karena dalam Kebisingan.
Salah satu bentuk polusi adalah kebisingan (noise) yang tidak dikehendaki oleh
telinga kita.
1. Kebisingan terputus-putus (intermitten), misalnya lalu lintas dan suara kapal
terbang di lapangan udara.
2. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti tembakan bedil,
meriam, ledakan, dan lain-lain.
3. Kebisingan impulsif berulang, misalnya pandai besi dan mesin tempa di
perusahaan.
Nilai Ambang Batas (NAB) adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan RS atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan
(KepMenKes
No.1204/
MenKes/SK/X/2004).
Dalam
peraturan
ini
pengertian bising sendiri adalah bunyi yang kehadirannya mengganggu
pendengaran. Standar kebisingan yang diperkanankan di ruang perawatan
pasien pada saat tidur adalah 40 dBA, sedangkan pada saat tidak tidur adalah
45 dBA.
3.) Suhu Udara
Tubuh manusia akan selalu berusaha mempertahankan kondisi normal
sistem tubuh dengan menyesuaikan diri terhadap perubahan- perubahan yang
terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
temperatur ruang adalah jika perubahan temperatur luar tubuh tidak melebihi
20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin. Tubuh manusia
bisa menyesuaikan diri karena kemampuannya untuk melakukan proses
konveksi, radiasi dan penguapan jika terjadi kekurangan atau kelebihan
panas yang membebaninya. Menurut penyelidikan, berbagai tingkat
temperatur akan berpengaruh yang berbeda-beda seperti berikut ini :
a. + 49 oC :Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh diatas
kemampuan fisik dan mental.
b. + 30 oC : Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan timbul
kelelahan fisik.
c. + 24 oC : Kondisi optimum.
d.+ 10 oC : Kekakuan fisik yang ekstrem mulai muncul.
Dari hasil penyelidikan didapatkan bahwa produktivitas manusia akan
mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 22-24 derajat\
Celcius (Wignjosoebroto,1995, hal.84).
Sastrowinoto juga mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak menyadari
tentang kondisi suasana nyaman di dalam ruangan. Hanya bila kondisi itu
menyimpang dari batas kenyamanan, orang akan mengalami ketidaknyamanan.
Perasaan tidak nyaman dapat bervariasi dari meng- ganggu sampai pada kesakitan,
bergantung pada derajat gangguan dari pengatur suhu. Terlalu panas dapat
menimbulkan perasaan capai dan kantuk, sedangkan terlalu dingin membuahkan
ketidaktegangan dan mengurangi daya atensi. Apabila masalah kenyamanan suhu ini
dihadap- kan pada berbagai suhu yang berbeda di dalam kamar maka akan dapat
ditemukan rentang suhu yang ekonomis seimbang. Rentang itu dinamakan Zona
Pengaturan Vasomotor (Zone of Vaso-motor Regulation), karena kekurangan panas
akan dijaga dengan jalan mengatur distribusi darah. Rentang suhu antara 22-24°C
(untuk negara tropis) dinamakan Zona Nyaman (Com-fort Zone).Selanjutnya jika
suhu naik sampai melewati batas nyaman, akan terjadi kelebihan panas dan panas itu
akan memanasi bagian pinggiran dari badan. Keringat akan keluar untuk mencegah
naiknya suhu inti, dan rentang itu disebut Zona Uapan pengendali (Zone of
Evaporation Con-trole). Batas atas dari zona ini merupakan nilai batas dari toleransi
panas, dan diatas batas ini suhu inti akan naik yang dapat mengakibatkan kematian
pada waktu yang pendek saja dikarenakan Sambar Panas (Heat Stroke).
Sementara suhu di bawah Zona Pengaturan Vasomotor mengakibatkan
kekurangan panas, hilang panas yang lebih banyak daripada laju produksi panas oleh
badan. Rentang suhu ini disebut Zona Pendinginan (Cooling Zone). Pada mulanya
hilang panas hanya akan mempengaruhi pinggiran badan yang dapat bertoleransi
dengan kekurangan panas untuk sementara. Akan tetapi kalau hilang panas atau
pendinginan itu terus berlanjut maka kematian akan terjadi karena pembekuan.
Sastrowinoto (1985: 237-240) memberikan catatan mengenai hal- hal yang perlu
dipahami berhubungan dengan suhu ruangan sebagai berikut:
a. Suhu bidang dari dinding terluar tergantung pada kapasitas isolasinya dan suhu
yang ada di dalam maupun di luar dinding. Dinding dengan kapasitas isolasi
yang tinggi akan mencegah hilang panas ataupun tambah panas. Kapasitas isolasi
tersebut sebaiknya dibuat tinggi agar suhu di dalam kamar tidak terlalu banyak
terombang-ambing oleh suhu luar ruang.
b. Ukuran jendela (terutama jendela kaca) besar pula peranannya terhadap
pengendalian suhu di dalam dan di luar ruang. Jendela yang besar mempersulit
pengendalian. Suhu luar yang dingin akan mengakibatkan suhu dalam ruang
menjadi dingin, dan sebaliknya bila suhu di luar panas ruanganpun akan menjadi
panas. Kaca merupakan sarana yang baik bagi radiasi, oleh karena itu agar suhu
ruangan tidak terombang- ambing sebaiknya dipasang tirai untuk menutupinya.
c. Suhu yang diperkirakan cukup nyaman untuk ruang istirahat diberbagai keadaan
ialah 24°C.
d. Suhu dan kelembaban yang telah sesuai dengan standar yang diizinkan akan
mengakibatkan kenyamanan tenaga kerja dan akan dapat meningkat produktifitas
kerja dari tenaga kerja. Selain hal tersebut hal yang harus diperhatikan, rumah
sakit adalah tempat orang sakit yang merupakan sumber dari terjadinya penularan
penyakit. Jika suhu telah rendah dan kelembaban terlalu tinggi akan dapat
mempermudah berkembangbiaknya bakteri, jamur, virus dan berbagai macam
bibit penyakit yang lain. Dengan demikian, jika suhu dan kelembaban tidak
diperhatikan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat rumah sakit (Suyatno,1981)
Teknik pengendalian terhadap pemaparan tekanan panas di RS dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Mengurangi suhu dan kelembaban. Dengan cara melalui ventilasi
pengenceran (dilution ventilation) atau pendinginan secara mekanis
(mechanical cooling), karena dapat menghemat biaya dan meningkatkan
pergerakan kenyamanan (Bernard, 1996).
b. Meningkatkan pergerakan udara melalui ventilasi buatan dimaksudkan untuk
memperluas pendinginan evaporasi, tetapi tidak boleh melebihi 0,2 m/det.
Menurut KepMenKes No.1204/ MenKes/SK/X/2004 menetapkan standar mutu
udara dalam ruang rawat inap sebagai berikut:
a. Suhu ruang 22-24oC dengan kelembaban 45-60%.
b. Untuk penghawaan alamiah, sistim ventilasi diupayakan sistem silang
(Cross Ventilation) dan di jaga agar aliran udara tidak terhalang.
c. Untuk penghawaan mekanis dengan exhaust fan dipasang pada
ketinggian minimal 200cm dari lantai atau 50cm dari langit-langit.
Dari uraian di atas, bahwa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam setiap desain
atau redesain sistem ventilasi adalah adanya sirkulasi udara yang baik, sehingga
terjadi pergantian udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar secara terusmenerus.
1).
Siklus udara (ventilation)
Udara disekitar kita mengandung sekitar 21% oksigen, 0,03% karbondioksida,
dan 0,9% campuran gas-gas lain. Kotornya udara disekitar kita dapat
mempengaruhi kesehatan tubuh dan mempercepat proses kelelahan. Sirkulasi
udara akan menggantikan udara kotor dengan udara yang bersih. Agar sirkulasi
terjaga dengan baik, dapat ditempuh dengan memberi ventilasi yang cukup
(lewat jendela), dapat juga dengan meletakkan tanaman untuk menyediakan
kebutuhan akan oksigen yang cukup (Wignjosoebroto,1995,hal.85).
1). Bau-bauan
Adanya bau-bauan yang dipertimbangkan sebagai “polusi” akan dapat
mengganggu konsentrasi pekerja. Temperatur dan kelembaban adalah dua faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian air
conditioning yang tepat adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk
menghilangkan
bau-bauan
yang
mengganggu
sekitar
tempat
kerja.
(Wignjosoebroto, 1995)
2). Getaran Mekanis
Getaran mekanis merupakan getaran–getaran yang ditimbulkan oleh peralatan
mekanis yang sebagian dari getaran tersebut sampai ke tubuh dan dapat
menimbulkan akibat–akibat yang tidak diinginkan pada tubuh kita. Besarnya
getaran ini ditentukan oleh intensitas, frekuensi getaran dan lamanya getaran itu
berlangsung. Sedangkan anggota tubuh manusia juga memiliki frekuensi alami
apabila frekuensi ini beresonansi dengan frekuensi getaran akan menimbulkan
gangguan.
konsentrasi,
Gangguan–gangguan
mempercepat
(Wignjosoebroto,1995, hal 87)
tersebut
kelelahan,
diantaranya,
gangguan
pada
mempengaruhi
anggota
tubuh.
BAB III
SKENARIO KASUS
A. Analisa Jurnal
Judul Manajemen Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di Rumah
Sakit Jiwa Grhasia D.I. Yogyakarta
1. Population (P)
Penelitian menggunakan meliputi seluruh aktifitas yang dilakukan
daerah rumah sakit. Baik aktivitas pekerja, pasien, dan pengunjung Di
RSJ Grhasia jogja.
2.
Intervention (I)
Penelitaan ini menggunakan form penelitian HIRADC (Hazard
Indentification Risk Assesment and Determining Control) dan matriks
penilaian risiko dengan acuan Manajemen Risiko K3 Fasilitas Pelayanan
Kesehatan KEMENKES RI 2016 yang menggunakan matriks bersumber dari
Australian Standar/New Zealand Standar 4360 : 2003 dan Australian
Standar/New Zealand Standar ISO 31000 : 2009 dengan sedikit modifikasi
yang dilakukan untuk mengidentifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian
risiko K3 di Rumah Sakit Grhasia, D.I Yogyakarta.
3. Comparism (C)
a. Dalam gedung
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lee
(2011) program kesehatan yang aktif di Korea wajib memberikan
kontribusi besar untuk melindungi kesehatan para pekerja utama, bahkan
bagi karyawan yang bukan tenaga medis. Oleh karena itu kontrol teknik
manajemen risiko kerja yang meliputi pelindungan utama, pemantauan
biologis, inspeksi secara berkala menggunakan matriks penilaian risiko
dalam bidang kesehatan. Hal ini membuat perubahan pemikiran seluruh
pekerja bahwa K3 perlu didahulukan sebelum keselamatan pasien.
Melihat banyaknya potensi kecelakaan kerja di RSJ Grhasia
D.I.Yogyakarta maka perlu adanya pemantauan secara berkala agar
semua pekerja paham benar dengan pentingnya penanganan risiko kerja.
Setelah dilakukannya identifikasi potensi kecelakaan kerja,
peneliti melakukan penilaian manajemen risiko untuk mengetahui
tingkat potensi kecelakaan kerja di RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta.
Penilaian manajemen risiko yang belum diterapkan di RSJ Grhasia
D.I.Yogyakarta juga menjadi pemicu kurangnya tanggung jawab pekerja
pada setiap aktifitas yang dilakukannya terutama K3 bagi pekerja.
Sejalan dengan penelitian Adrian (2004) bahwa setiap pekerjaan perlu
diadakannya penilaian manajemen risiko yang mencakup setiap aktivitas
dan mempertimbangkan setiap komponen aktifitas kerja, personil, tugas,
peralatan, lingkungan hidup dalam bekerja yang mana manfaatnya
adalah merekomendasikan keterlibatan karyawan dengan tanggung
jawab khusus untuk keselamatan dan kesehatan kerja.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan dengan Nurjannah
(2012) bahwa potensi bahaya dan risiko kecelakaan kerja yang ada di
suatu instansi disebabkan oleh kurangnya kepedulian pihak instansi
terkait terhadap seluruh pemicu bahaya kerja seperti beban load listrik
yang dapat berakibat langsung terhadap tenaga kerja dan lingkungan.
Penggantian kabel, dan perawatan instalasi listrik yang dilakukan secara
berkala dapat meminimalisir terjadinya bahaya kerja akibat instalasi
listrik.
Bahaya tinggi lainnya adalah kebocoran gas yang terdapat pada
pekerjaan yang menggunakan gas sebagai media penghasil energi.
Seperti penggunaa gas di dapur RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta. Hal ini
disebabkan karena pemasangan tabung gas banyak didapatkan tidak
terpasang dengan kencang dan baik, sehingga saat petugas dapur
menyalakan kompor terdapat bau menyengat yang berasal dari
pemasangan gas yang tidak sesuai. Hal ini dapat memicu ledakan dan
kebakaran. Sejalan dengan Hanim, dkk (2012) dalam analisis potensi
risiko
keselamatan
Liquefied
Potreleum
Gas
(LPG),
rekuensi
kecelakaan, kebakaran, dan ledakan pada tabung gas LPG tergolong
cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan telah terjadinya sebanyak lebih
dari 20 kali kecelakaan kerja setelah kebijakan pemerintah diterapkan.
Kejadian tersebut terjadi di tingkat masyarakat pengguna
tabung gas yang kurang teliti dalam pemasangan regulator. Potensi
bahaya lainnya yang dapat terjadi adalah instalasi listrik pada setiap
pekerjaan foto rontgen, penggunaan alat Ultrasonografi (USG),
menghidupkan/mematikan genset, pencucian linen, pengeringan/setrika
linen, sterilisasi linen. Sebagai contoh pada aktifitas pencucian linen
yang dilihat berdasarkan hasil identifikasi bahwa penanganan instalasi
listrik yang tidak memenuhi standar persyaratan yang ditetapkan dalam
Peraturan Instalasi Listrik (PUIL) dan peraturan-peraturan lain tentang
keselamatan kerja listrik, adanya kulit kabel yang lecet atau kulit kabel
terkelupas didekat proses pencucian sehingga dapat memicu adanya arus
pendek (konsleting), keadaan kabel-kabel, baik dalam instalasi listrik
maupun dalam peralatan listrik yang sudah rusak namun masih tetap
digunakan.
E. Luar gedung
Potensi kecelakaan kerja berpengaruh lainnya adalah tertusuk benda
tajam terdapat pada aktivitas penggunaan jarum suntik, jarum infus,
gunting bedah, pinset dalam menunjang pemeriksaan dan penanganan
pada pasien. Berdasarkan hasil identifikasi bahaya tertusuk benda tajam
tersebut disebabkan karena kurangnya konsentrasi baik dokter, maupun
perawat dalam melakukan penanganan tersebut. Selain itu, peletakkan
jarum suntik, jarum infus dan benda tajam lainnya yang menunjang
pemeriksaan masih terlihat tidak langsung di buang ke tempat sampah
B3/infeksius. Masih banyaknya ditemukan perawat yang menaruh jarum
bekas suntikkan di sembarang tempat sehingga timbul potensi pekerja
lain tidak melihat ada benda tajam dan kemudian tertusuk. Posisi
melakukan suntikkan, infus, pengambilan sampel darah juga menjadi
potensi bahaya tertusuk.
Upaya
pengendalian
yang
telah
dilakukan
RSJ
Grhasia
D.I.Yogyakarta diantaranya hanya penggunaan APD sarung tangan,
masker, jas/baju pelindung, kaos kaki, dan sepatu tertutup tanpa adanya
pengecekkan secara rutin dan berkala. Kemudian pemberian poster
untuk membuang sampah infeksius ditempatnya.
Namun, upaya pengendalian tersebut dirasa kurang efektif sehingga
perlu dilakukan upaya pengendalian tambahan diantaranya pengecekkan
rutin dan berkala, inspeksi tahapan pekerjaan sesuai yang tertera pada
Sarana Operasional Pekerjaan (SOP), perhatian dari manajemen rumah
sakit yang sangat mendukung minimnya potensi kecelakaan kerja.
Sejalan dengan penelitian Li- Ya-Lin, dkk (2014) tentang pengendalian
risiko yang tidak maksimal jika hanya penggunaan APD tanpa adanya
inspeksi rutin dalam perbaikan manajemen risiko. Serta seluruh pihak
pekerja dapat mengembangkan program efektif lebh lanjut dalam hal
pengendalian risiko kerja.
4. Outcome (O)
Berdasarkan tujuan penelitian serta pembahasan hasil penelitian, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1)
Hasil identifikasi pengendalian risiko yang dilakukan pada 4 gedung di
RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta memiliki 1859 tingkat risiko setelah
pengedalian, diantaranya 1347 rendah (72,46%), 465 sedang (25,01%) dari
aspek keselamatan, kesehatan, dan lingkungan meliputi luka bakar oleh
tumpahan bahan kimia, area yang sempit dan ruang gerak terbatas,
pembuangan sampah infeksius da non infeksius, 26 bermakna (1,40%)dari
aspek kesehatan yaitu postur janggal dan ergonomi dan mikroorganisme ,
21 tinggi (1,13%) dari aspek keselamatan meliputi konsleting, ledakan, dan
kebakaran, hingga kematika. Sumber bahaya dari hasil identifikasi berasal
dari bahaya mekanis, bahaya listrik, bahaya kimiawi, dan bahaya fisik.
2)
Hasil identifikasi dan penilaian di gedung RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta
bila di klasifikasikan yakni:
a)
Gedung I memiliki 234 uraian aktivitas pada aspek keselamatan 85
uraian aktivitas, pada aspek kesehatan119 uraian aktivitas, pada aspek
lingkungan 30 uraian aktivitas dengan jumlah tingkat risiko 139 rendah, 84
tingkat risiko sedang, 7 tingkat risiko bermakna, 4 tingkat risiko tinggi.
b)
Gedung II RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta memiliki 545 uraian aktivitas
pada aspek keselamatan 198 uaraian aktivitas, pada aspek kesehatan 272
uraian aktivitas, pada aspek lingkungan 75 uraian aktivitas dengan jumlah
tingkat risiko rendah 491, 75 tingkat risiko sedang, 8 tingkat risiko
bermakna, 6 tingkat risiko tinggi.
c)
Gedung III RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta memiliki 712 uraian aktivitas
pada aspek keselamatan 254 uraian aktivitas, pada aspek kesehatan 374
uraian aktivitas , pada aspek lingkungan 84 uraian aktivitas dengan jumlah
tingkat risiko rendah 457, 204 tingkat risiko sedang, 5 tingkat risiko
bermakna, 7 tingkat risiko tinggi.
d)
Gedung IV RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta memiliki 368 uraian aktivitas
pada aspek kselamatan 115 uraian aktivitas, pada aspek kesehatan 203
uraian aktivitas, pada aspek lingkungan 50 uraian aktivitas dengan jumlah
tingkat risiko rendah 260, 102 tingkat risiko sedang, 6 tingkat risiko
bermakna, 4 tingkat risiko tinggi.
3) Hasil
penilaian
manajemen
risiko
eksisting/sebelum
adanya
pengendalian berdasarkan aktivitas di RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta
dapat diketahui bahwa gedung II dan gedung III merupakan gedung
dengan tingkat aktifitas risiko paling tinggi dengan persentase tingkat
risiko gedung II 29% dan gedung III 29%, kemudian gedung I 23%,
Gedung IV sebesar 19%. Setelah dilakukan pengendalian manajemen
risiko diketahui bahwa gedng III merupakan gedung dengan tingkat
aktifitas risiko paling tinggi dengan persentase tingkat risiko 33%.
4) Pengendalian risiko yang ditemukan di lapangan dapat dikatakan telah
berjalan namun kuran maksimal dan pengendalian tersebut harus
diimbangi
dengan
kesadaran
setiap
individu
untuk
konsisten
melaksanakan setiap kegiatan sesuai dengan Standar Operasional
Pekerjaan (SOP).
5. Time (T)
Penelitian ini dalam pencarian literatur yang komprehensif dengan
menggunakan google, cendikiawan dan dibuat pada tahun 2009-2016
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Jadi, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen
risiko keselamatan, kesehatan, kerja di dalam gedung meliputi tenaga kerja
yang mengalami kecelakaan di lingkungan kerja. Sedangkan manajemen
risiko keselamatan, keselamatan, kerja di luar gedung meliputi; Ruang
bangunan dan halaman : semua ruang/unit dan halaman yang ada dalam batas
pagar RS (bangunan fisik dan kelengkapannya ) yang dipergunakan untuk
berbagai keperluan dan kegiatan RS; Lingkungan bangunan RS harus
mempunyai batas yang jelas, dilengkapi dengan pagar yang kuat dan tidak
memungkinkan orang atau binatang peliharaan keluar masuk dengan bebas;
Lingkungan bangunan RS harus bebas dari banjir, jika berlokasi di daerah
rawan banjir harus menyediakan fasilitas/teknologi untuk mengatasinya;
Lingkungan RS harus bebas dari asap rokok, tidak berdebu, tidak becek, atau
tidak terdapat genangan air, dan dibuat landai menuju ke saluran terbuka atau
tertutup, tersedia lubang penerima air masuk dan disesuiakan dengan luas
halaman; Pencahayaan : jalur pejalan kaki harus cukup terang, lingkungan
bangunan RS harus dilengkapi penerangan dengan intensitas cahaya yang
cukup terutama pada area dengan bayangan kuat dan yang menghadap cahaya
yang menyilaukan; Kebisingan : terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki
sehingga mengganggu atau membahayakan kesehatan. Dengan menanam
pohon (green belt), meninggikan tembok dan meninggikan tanah (bukit
buatan) yang berfungsi untuk penyekatan/ penyerapan bising; halaman bebas
dari bahaya dan risiko minimum untuk terjadinya infeksi silang, masalah
kesehatan dan keselamatan kerja; Saluran air limbah domestic dan limbah
medis harus tertutup dan terpisah, masing-masing dihubungkan langsung
dengan instalasi pengolahan air limbah; Luas lahan bangunan dan halaman
harus disesuaikan dengan luas lahan keseluruhan, sehingga tesedia tempat
parkir yang memadai dan dilengkapi dengan rambu parkir; Di tempat parkir,
halaman, ruang tunggu dan tempat-tempat tertentu yang menghasilkan sampah
harus disediakan tempat sampah; Lingkungan, ruang, dan bangunan RS yang
tersedia sanitas; Jalur lalulintas pejalan kaki dan jalur kendaraan harus
dipisahkan.
B. SARAN
1.
Bagi Perawat
Untuk perawat dan staf medis lainnya agar lebih memperhatikan
aturan manajemen risiko kesehatan, keselamatan kerja yang berlaku di
RS agar lebih aman dalam bekerja
2.
Bagi RS
Untuk manajemen di luar dan gedung RS sebaiknya diperhatikan
lagi erutama tahun peraturan yang berlaku di RS agar lebih baik dalam
memanajemen.
DAFTAR PUSTAKA
A. Ria (2016). Managemen Kesehatan Keselamatan Kerja.
http://eprints.polsri.ac.id/3085/3/BAB%20II.pdf
Fitriana,L & Wahyuningsih.(2017). Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan
Dan Keselamatan Kerja (Smk3) Di Pt. Ahmadaris
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/14004/7645
Kardina,dkk.(2018). Manajemen Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
(K3) Di Rumah Sakit Jiwa Grhasia D.I. Yogyakarta.
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10119/08%20NASKAH%
20PUBLIKASI.pdf?sequence=17&isAllowed=y
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/3641/1/Firman%20Alimudin.pdf
Salim Emil, 2002. ”Green Company”, Pedoman Pengelolaan Lingkungan,
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Astra International Tbk.
Santosa Adi, 2006. Pencahayaan Pada Interior Rumah Sakit: Studi Kasus
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Skripsi tidak
dipublikasikan
Sasongko, D.P., Hadiyarto A. 2000. Kebisingan Lingkungan.: Univ.Diponegoro.
Semarang.
Sugiarto, 1999. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah Sakit
http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kepuasan-pasien-terhadap- pelayananrumah-sakit, diakses tanggal 01 Januari 2009.
Sugiyono, 2007. Statistika Untuk Penelitian, cetakan ke-11, CV Alfa Beta,
Bandung.
Suma’mur P.K., 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:
CV. Haji Masagung.
Supranto, 2001. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah Sakit
http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kepuasan-pasien-terhadap- pelayananrumah-sakit, diakses tanggal 01 Januari 2009.
Siswowardojo Widodo, 2003.
Norma Perlindungan Ketenagakerjaan,
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Yogyakarta: Andi
Download