Management Risiko K3 Di Dalam Gedung & Manegemen Risiko di Luar Gedung Kelompok 5 Anggota: 1. Anisa Nur R. P27220019210 2. Dita Prasetyawati P27220019199 3. Junia Tri Astuti P27220019213 4. Ockta Karunia P P27220019226 5. Siti Warohmah P27220019240 PROGRAM PROFESI NERS A POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA 2019 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat makalah yang berjudul “ managemen risiko di dalam gedung dan managemen risiko di luar gedung” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Yeni Tutu Rohimah, SKp.,M.Kes yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga makalah ini dapat selesai. Penulis juga mengucapkan terimaksih kepada pihak yang telah membantu secara langsung maupun tak langsung dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mengenai risiko yang ada baik di dalam gedung maupun di luar gedung serta penangananya. Penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Surakarta, Agustus 2019 Penulis DAFTAR ISI Halaman Judul ............................................................................................. i Kata Pengantar ............................................................................................ ii Daftar Isi...................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan .................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2 C. Tujuan ............................................................................................ 2 BAB II Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Teori ................................................................................. 3 1. Pengertian ................................................................................... BAB III Skenario Kasus BAB IV Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan ..................................................................................... B. Soal .................................................................................................. Daftar Pustaka ............................................................................................. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keselamatan pada dasarnya adalah kebutuhan setiap manusia dan menjadi naluri dari setiap makhluk hidup. Kondisi perburuhan yang buruk dan angka kecelakaan yang tinggi mendorong berbagai kalangan untuk berupaya meningkatkan perlindungan bagi tenaga kerja. Salah satu diantaranya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (Soehatman Ramli, 2010). Data Internasional Labor Organization (ILO), dalam rentan waktu rata-rata per tahun terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja dan 70% di antaranya berakibat fatal yaitu kematian dan cacat seumur hidup. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian disebabkan kecelakaan dan penyakit akibat Kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun.Sedangkan Tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia yang dikutip dari Badan Penyeleggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang masih tinggi terjadi tahun 2013-2017. BPJS mencatat Kecelakaan kerja terjadi pada tahun 2013 sebanyak 97.144 kasus, pada tahun 2014 tercatat 40.696. Sedangkan data kecelakaan kerja pada tahun 2015 tercatat 110.285,tahun 2016 tercatat 105.182 hingga akhur tahun 2017 kecelakaan kerja mencapai 123.000. Penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja adalah masih rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di kalangan pekerja dalam segala bidang. Selama ini penerapan K3 seringkali dianggap sebagai beban biaya, bukan sebagai investasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja (BPJS, 2017). Tingginya kecelakaan kerja di dalam gedung rumah sakit maupun di luar gedung rumah sakit dapat menurunkan kinerja pegawai. Hal tersebut perlu ditindak lanjuti untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Salah satu cara untuk menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan membuat penerapan system managemen pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di dalam maupun diluar rumah sakit. B. Rumusan Masalah Bagaimana managemen kesehatan keselamatan kerja di dalam gedung dan di luar gedung? C. Tujuan Makalah 1. Mengetahui penerapan managemen system di dalam gedung rumah sakit. 2. Mengetahui factor – factor penyebab terjadinya KPK 3 di dalam gedung 3. Mengetahui penerapan managemen system di dalam gedung rumah sakit maupun pelayanan kesehatan lain. 4. Mengetahui factor penyebab terjadinya KPK 3 di luar gedung BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Keselamatan dan kesehatan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan, K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi sumber daya manusia fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan agar sehat, selamat, dan bebas dari gangguan kesehatan dan pengaruh buruk yang diakibatkan dari pekerjaan, lingkungan, dan aktivitas kerja ( PMK RI no 52 tahun 2018). K3RS yaitu seluruh kegiatan yang dilakukan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan seluruh sumber daya manusia di rumah sakit maupun lingkungan rumah sakit melalui suatu upaya pencegahan kecelakaan kerja dan munculnya penyakit akibat kerja di rumah sakit (Kemenkes RI, 2015). B. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (SMK3) di Fasilitas kesehatan adalah bagian dari sistem manajemen Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan aktivitas proses kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan guna terciptanya lingkungan kerja yang sehat, selamat, aman dan nyaman (PMK RI no 52 tahun 2018). SMK3RS merupakan bagian dari keseuruhan manajemen rumah sakit yang dilakukan dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan proses kerja di rumah sakit dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan selamat serta aman dan nyaman bagi sumber daya manusia rumah sakit (Kemenkes RI, 2015). Risiko adalah potensi terjadinya kerugian yg dapat timbul dari proses kegiatan saat sekarang atau kejadian dimasa datang (ERM,Risk Management Handbook for Health Care Organization). b) Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan menyusun prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan dampaknya. Suatu proses penilaian untuk menguji sebuah proses secara rinci dan berurutan, baik kejadian yang aktual maupun yang potensial berisiko ataupun kegagalan dan suatu yang rentan melalui proses yang logis, dengan memprioritaskan area yang akan di perbaiki berdasarkan dampak yang akan di timbulkan baik aktual maupun potensial dari suatu proses perawatan, pengobatan ataupun pelayanan yang diberikan (PMK no 27 tahun 2017). C. Faktor – Faktor Penyebab KPK 3 1. Di dalam Gedung Keselamatan kerja, misalnya tidak memakai masker, tidak memakai sarung tangan, dan tidak memakai penutup kepala. Perusahaan juga telah bekerjasama dengan asuransi atau jaminan keselamatan dan kesehatan bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan di lingkungan kerja. Sedangkan Potensi bahaya di RS, selain penyakitpenyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan RS. 2. Di Luar Gedung a. Ruang bangunan dan halaman : semua ruang/unit dan halaman yang ada dalam batas pagar RS (bangunan fisik dan kelengkapannya ) yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan kegiatan RS. b. Lingkungan bangunan RS harus mempunyai batas yang jelas, dilengkapi dengan pagar yang kuat dan tidak memungkinkan orang atau binatang peliharaan keluar masuk dengan bebas c. Lingkungan bangunan RS harus bebas dari banjir, jika berlokasi di daerah rawan banjir harus menyediakan fasilitas/teknologi untuk mengatasinya. d. Lingkungan RS harus bebas dari asap rokok, tidak berdebu, tidak becek, atau tidak terdapat genangan air, dan dibuat landai menuju ke saluran terbuka atau tertutup, tersedia lubang penerima air masuk dan disesuiakan dengan luas halaman e. Pencahayaan : jalur pejalan kaki harus cukup terang, lingkungan bangunan RS harus dilengkapi penerangan dengan intensitas cahaya yang cukup terutama pada area dengan bayangan kuat dan yang menghadap cahaya yang menyilaukan f. Kebisingan : terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu atau membahayakan kesehatan. Dengan menanam pohon (green belt), meninggikan tembok dan meninggikan tanah (bukit buatan) yang berfungsi untuk penyekatan/ penyerapan bising g. Kebersihan : halaman bebas dari bahaya dan risiko minimum untuk terjadinya infeksi silang, masalah kesehatan dan keselamatan kerja h. Saluran air limbah domestic dan limbah medis harus tertutup dan terpisah, masing-masing dihubungkan langsung dengan instalasi pengolahan air limbah. i. Luas lahan bangunan dan halaman harus disesuaikan dengan luas lahan keseluruhan, sehingga tesedia tempat parkir yang memadai dan dilengkapi dengan rambu parkir j. Di tempat parkir, halaman, ruang tunggu dan tempat-tempat tertentu yang menghasilkan sampah harus disediakan tempat sampah k. Lingkungan, ruang, dan bangunan RS harus selalu dalam keadaan bersih dan tersedia fasilitas sanitasi secara kualitas dan kuantitas yang memenuhi persyaratan kesehatan sehingga tidak memungkinkan sebagai tempat berenang dan berkembang biaknya serangga, binatang pengerat, dan binatang pengganggu lainnya. l. Jalur lalulintas pejalan kaki dan jalur kendaraan harus dipisahkan. Jalur pejalan kaki :lebar, tidak licin, mengakomodasi penyandang cacat, memiliki rambu atau marka yang jelas, bebas penghalang dan memiliki rel pemandu Jalur kendaraan : cukup lebar, konstruksi kuat, tidak berlubang, drainase baik, memiliki pembatas kecepatan (polisi tidur),marka jalan jelas, memiliki tanda petunjuk tinggi atau lebar maksimum, memungkinkan titik perlintasan dan parkir, menyediakan penyebrangan bagi pejalan kaki m. Ketetapan yang diatur oleh the environment protection act 1990 mendefenisikan : Polutan : limbah padat dibuang ke tanah,limbah cair dibuang ke tanah atau saluran air, dibuang ke atmosfir, bising dalam komunitas masyarakat Limbah terkendali : limbah rumah tangga, limbah industri, limbah usaha komersial Limbah khusus : limbah terkendali yang berbahaya sehingga membutuhkan prosedur pembuangan khusus. D. Fisiologi Lingkungan Kondisi lingkungan fisik ruang rawat inap juga mempengaruhi psikologis pasien. Ruang rawat inap yang bising, suhu udara terlalu panas, pencahayaan kurang, kebersihan dan kerapihan tidak terjaga akan meningkatkan stres pada pasien. Ruang rawat inap seharusnya membangkitkan optimisme sehingga dapat membantu proses penyembuhan pasien. 1). Penerangan Pencahayaan merupakan salah satu faktor penting dalam perancangan ruang. Ruang yang telah dirancang tidak dapat memenuhi fungsinya dengan baik apabila tidak disediakan akses pencahayaan. Pencahayaan di dalam ruang memungkinkan orang yang menempatinya dapat melihat benda-benda. Tanpa dapat melihat benda-benda dengan jelas maka aktivitas di dalam ruang akan terganggu. Sebaliknya, cahaya yang terlalu terang juga dapat mengganggu penglihatan (Santosa, 2006). Tata pencahayaan dalam ruang rawat inap dapat mempengaruhi kenyamanan pasien selama menjalani rawat inap, disamping juga berpengaruh bagi kelancaran paramedis dalam menjalankan aktivitasnya untuk melayani pasien (Santosa, 2006). Penerangan di rumah sakit, merupakan hal yang sangat penting. Hal ini, karena penerangan di rumah sakit berhubungan dengan keselamatan pasien yang sedang dirawat, petugas dan pengunjung rumah sakit. Selain itu penerangan yang mencukupi akan meningkatkan pencermatan, kesehatan yang lebih baik dan suasana yang nyaman (Sastrowinoto, 1985). Dalam Kepmenkes No 1204 tahun 2004, standar pencahayaan pada rumah sakit intensitas pencahayaan untuk ruang pasien saat tidak tidur sebesar 100200 lux dengan warna cahaya sedang, sementara pada saat tidur maksimum 50 lux dan toilet minimal 100 lux. Pencahayaan alam maupun buatan diupayakan agar tidak menimbulkan silau dan intensitasnya sesuai dengan peruntukannya Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan manusia untuk melihat objek secara jelas, cepat dan tanpa menimbulkan kesalahan. Kurangnya pencahayaan akan mengakibatkan mata menjadi cepat lelah karena mata akan berusaha untuk melihat jelas dengan membuka lebarlebar. Kelelahan mata akan mengakibatkan kelelahan mental dan kerusakan mata. Kemampuan mata untuk melihat objek secara jelas dipengaruhi oleh ukuran objek, derajat kekontrasan antara objek dengan sekelilingnya, luminansi (brightness), serta lamanya waktu untuk melihat objek tersebut. Untuk menghindari silau (glare) karena peletakan sumber cahaya yang kurang tepat, sebaiknya sumber cahaya diletakkan sedemikian rupa sehingga cahaya mengenai objek yang akan dilihat terlebih dahulu yang kemudian dipantulkan oleh objek tersebut ke mata kita (Wignjosoebroto,1995, hal.85). Menurut Zulmiar (1999), pencahayaan buatan umumnya menggunakan energi listrik yang disebut juga penerangan listrik. Pencahayaan buatan harus memiliki syarat sebagai berikut : 1. Penerangan listrik harus sesuai dengan pekerjaan yang dilaksanakan oleh tenaga kerja dengan intensitas yang cukup. 2. Penerangan listrik tidak boleh menimbulkan perubahan suhu udara yang berlebihan pada tempat kerja. Penerangan listrik harus memberikan penerangan dengan intensitas yang tepat, menyebar merata tidak berkedip, tidak menyilaukan dan tidak menimbulkan bayangan yang mengganggu. Untuk menghindarkan silau, Sastrowinoto (1985) memaparkan beberapa prinsip yang dapat diterangkan sebagai berikut: 1. Semakin pendek waktu menatap silau, tahap adaptasi asali semakin cepat tercapai. 2. Derajat dari silau tergantung pada cerah relatif dari sumbernya. Ia meningkat dengan meningkatnya area sumber sinar dan paling berbahaya jika sumber sinar itu dekat dengan garis pandang. 3. Sumber sinar di atas garis pandang tidak begitu mengganggu mata daripada yang terletak di samping atau di bawahnya. 4. Bahaya silau semakin besar bila penerangan umum di bidang visual bertingkat rendah, lampu besar tidak akan membutakan kalau terjadi di waktu siang. Dalam kaitannya dengan masalah penerangan, berarti standar penerangan yang dapat digunakan sebagai tolok ukur pada ruang rawat inap ini adalah standar pencahayaan orang pada umumnya, dimana standar untuk orang yang sakit dianggap tidak berbeda dengan standar untuk orang yang sehat. 2.) Kebisingan. Salah satu bentuk polusi adalah kebisingan (noise) yang tidak dikehendaki oleh telinga kita. Kebisingan tidak dikehendaki karena dalam Kebisingan. Salah satu bentuk polusi adalah kebisingan (noise) yang tidak dikehendaki oleh telinga kita. 1. Kebisingan terputus-putus (intermitten), misalnya lalu lintas dan suara kapal terbang di lapangan udara. 2. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti tembakan bedil, meriam, ledakan, dan lain-lain. 3. Kebisingan impulsif berulang, misalnya pandai besi dan mesin tempa di perusahaan. Nilai Ambang Batas (NAB) adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan RS atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (KepMenKes No.1204/ MenKes/SK/X/2004). Dalam peraturan ini pengertian bising sendiri adalah bunyi yang kehadirannya mengganggu pendengaran. Standar kebisingan yang diperkanankan di ruang perawatan pasien pada saat tidur adalah 40 dBA, sedangkan pada saat tidak tidur adalah 45 dBA. 3.) Suhu Udara Tubuh manusia akan selalu berusaha mempertahankan kondisi normal sistem tubuh dengan menyesuaikan diri terhadap perubahan- perubahan yang terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan temperatur ruang adalah jika perubahan temperatur luar tubuh tidak melebihi 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin. Tubuh manusia bisa menyesuaikan diri karena kemampuannya untuk melakukan proses konveksi, radiasi dan penguapan jika terjadi kekurangan atau kelebihan panas yang membebaninya. Menurut penyelidikan, berbagai tingkat temperatur akan berpengaruh yang berbeda-beda seperti berikut ini : a. + 49 oC :Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh diatas kemampuan fisik dan mental. b. + 30 oC : Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan timbul kelelahan fisik. c. + 24 oC : Kondisi optimum. d.+ 10 oC : Kekakuan fisik yang ekstrem mulai muncul. Dari hasil penyelidikan didapatkan bahwa produktivitas manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 22-24 derajat\ Celcius (Wignjosoebroto,1995, hal.84). Sastrowinoto juga mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak menyadari tentang kondisi suasana nyaman di dalam ruangan. Hanya bila kondisi itu menyimpang dari batas kenyamanan, orang akan mengalami ketidaknyamanan. Perasaan tidak nyaman dapat bervariasi dari meng- ganggu sampai pada kesakitan, bergantung pada derajat gangguan dari pengatur suhu. Terlalu panas dapat menimbulkan perasaan capai dan kantuk, sedangkan terlalu dingin membuahkan ketidaktegangan dan mengurangi daya atensi. Apabila masalah kenyamanan suhu ini dihadap- kan pada berbagai suhu yang berbeda di dalam kamar maka akan dapat ditemukan rentang suhu yang ekonomis seimbang. Rentang itu dinamakan Zona Pengaturan Vasomotor (Zone of Vaso-motor Regulation), karena kekurangan panas akan dijaga dengan jalan mengatur distribusi darah. Rentang suhu antara 22-24°C (untuk negara tropis) dinamakan Zona Nyaman (Com-fort Zone).Selanjutnya jika suhu naik sampai melewati batas nyaman, akan terjadi kelebihan panas dan panas itu akan memanasi bagian pinggiran dari badan. Keringat akan keluar untuk mencegah naiknya suhu inti, dan rentang itu disebut Zona Uapan pengendali (Zone of Evaporation Con-trole). Batas atas dari zona ini merupakan nilai batas dari toleransi panas, dan diatas batas ini suhu inti akan naik yang dapat mengakibatkan kematian pada waktu yang pendek saja dikarenakan Sambar Panas (Heat Stroke). Sementara suhu di bawah Zona Pengaturan Vasomotor mengakibatkan kekurangan panas, hilang panas yang lebih banyak daripada laju produksi panas oleh badan. Rentang suhu ini disebut Zona Pendinginan (Cooling Zone). Pada mulanya hilang panas hanya akan mempengaruhi pinggiran badan yang dapat bertoleransi dengan kekurangan panas untuk sementara. Akan tetapi kalau hilang panas atau pendinginan itu terus berlanjut maka kematian akan terjadi karena pembekuan. Sastrowinoto (1985: 237-240) memberikan catatan mengenai hal- hal yang perlu dipahami berhubungan dengan suhu ruangan sebagai berikut: a. Suhu bidang dari dinding terluar tergantung pada kapasitas isolasinya dan suhu yang ada di dalam maupun di luar dinding. Dinding dengan kapasitas isolasi yang tinggi akan mencegah hilang panas ataupun tambah panas. Kapasitas isolasi tersebut sebaiknya dibuat tinggi agar suhu di dalam kamar tidak terlalu banyak terombang-ambing oleh suhu luar ruang. b. Ukuran jendela (terutama jendela kaca) besar pula peranannya terhadap pengendalian suhu di dalam dan di luar ruang. Jendela yang besar mempersulit pengendalian. Suhu luar yang dingin akan mengakibatkan suhu dalam ruang menjadi dingin, dan sebaliknya bila suhu di luar panas ruanganpun akan menjadi panas. Kaca merupakan sarana yang baik bagi radiasi, oleh karena itu agar suhu ruangan tidak terombang- ambing sebaiknya dipasang tirai untuk menutupinya. c. Suhu yang diperkirakan cukup nyaman untuk ruang istirahat diberbagai keadaan ialah 24°C. d. Suhu dan kelembaban yang telah sesuai dengan standar yang diizinkan akan mengakibatkan kenyamanan tenaga kerja dan akan dapat meningkat produktifitas kerja dari tenaga kerja. Selain hal tersebut hal yang harus diperhatikan, rumah sakit adalah tempat orang sakit yang merupakan sumber dari terjadinya penularan penyakit. Jika suhu telah rendah dan kelembaban terlalu tinggi akan dapat mempermudah berkembangbiaknya bakteri, jamur, virus dan berbagai macam bibit penyakit yang lain. Dengan demikian, jika suhu dan kelembaban tidak diperhatikan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat rumah sakit (Suyatno,1981) Teknik pengendalian terhadap pemaparan tekanan panas di RS dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Mengurangi suhu dan kelembaban. Dengan cara melalui ventilasi pengenceran (dilution ventilation) atau pendinginan secara mekanis (mechanical cooling), karena dapat menghemat biaya dan meningkatkan pergerakan kenyamanan (Bernard, 1996). b. Meningkatkan pergerakan udara melalui ventilasi buatan dimaksudkan untuk memperluas pendinginan evaporasi, tetapi tidak boleh melebihi 0,2 m/det. Menurut KepMenKes No.1204/ MenKes/SK/X/2004 menetapkan standar mutu udara dalam ruang rawat inap sebagai berikut: a. Suhu ruang 22-24oC dengan kelembaban 45-60%. b. Untuk penghawaan alamiah, sistim ventilasi diupayakan sistem silang (Cross Ventilation) dan di jaga agar aliran udara tidak terhalang. c. Untuk penghawaan mekanis dengan exhaust fan dipasang pada ketinggian minimal 200cm dari lantai atau 50cm dari langit-langit. Dari uraian di atas, bahwa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam setiap desain atau redesain sistem ventilasi adalah adanya sirkulasi udara yang baik, sehingga terjadi pergantian udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar secara terusmenerus. 1). Siklus udara (ventilation) Udara disekitar kita mengandung sekitar 21% oksigen, 0,03% karbondioksida, dan 0,9% campuran gas-gas lain. Kotornya udara disekitar kita dapat mempengaruhi kesehatan tubuh dan mempercepat proses kelelahan. Sirkulasi udara akan menggantikan udara kotor dengan udara yang bersih. Agar sirkulasi terjaga dengan baik, dapat ditempuh dengan memberi ventilasi yang cukup (lewat jendela), dapat juga dengan meletakkan tanaman untuk menyediakan kebutuhan akan oksigen yang cukup (Wignjosoebroto,1995,hal.85). 1). Bau-bauan Adanya bau-bauan yang dipertimbangkan sebagai “polusi” akan dapat mengganggu konsentrasi pekerja. Temperatur dan kelembaban adalah dua faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian air conditioning yang tepat adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan bau-bauan yang mengganggu sekitar tempat kerja. (Wignjosoebroto, 1995) 2). Getaran Mekanis Getaran mekanis merupakan getaran–getaran yang ditimbulkan oleh peralatan mekanis yang sebagian dari getaran tersebut sampai ke tubuh dan dapat menimbulkan akibat–akibat yang tidak diinginkan pada tubuh kita. Besarnya getaran ini ditentukan oleh intensitas, frekuensi getaran dan lamanya getaran itu berlangsung. Sedangkan anggota tubuh manusia juga memiliki frekuensi alami apabila frekuensi ini beresonansi dengan frekuensi getaran akan menimbulkan gangguan. konsentrasi, Gangguan–gangguan mempercepat (Wignjosoebroto,1995, hal 87) tersebut kelelahan, diantaranya, gangguan pada mempengaruhi anggota tubuh. BAB III SKENARIO KASUS A. Analisa Jurnal Judul Manajemen Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di Rumah Sakit Jiwa Grhasia D.I. Yogyakarta 1. Population (P) Penelitian menggunakan meliputi seluruh aktifitas yang dilakukan daerah rumah sakit. Baik aktivitas pekerja, pasien, dan pengunjung Di RSJ Grhasia jogja. 2. Intervention (I) Penelitaan ini menggunakan form penelitian HIRADC (Hazard Indentification Risk Assesment and Determining Control) dan matriks penilaian risiko dengan acuan Manajemen Risiko K3 Fasilitas Pelayanan Kesehatan KEMENKES RI 2016 yang menggunakan matriks bersumber dari Australian Standar/New Zealand Standar 4360 : 2003 dan Australian Standar/New Zealand Standar ISO 31000 : 2009 dengan sedikit modifikasi yang dilakukan untuk mengidentifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko K3 di Rumah Sakit Grhasia, D.I Yogyakarta. 3. Comparism (C) a. Dalam gedung Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lee (2011) program kesehatan yang aktif di Korea wajib memberikan kontribusi besar untuk melindungi kesehatan para pekerja utama, bahkan bagi karyawan yang bukan tenaga medis. Oleh karena itu kontrol teknik manajemen risiko kerja yang meliputi pelindungan utama, pemantauan biologis, inspeksi secara berkala menggunakan matriks penilaian risiko dalam bidang kesehatan. Hal ini membuat perubahan pemikiran seluruh pekerja bahwa K3 perlu didahulukan sebelum keselamatan pasien. Melihat banyaknya potensi kecelakaan kerja di RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta maka perlu adanya pemantauan secara berkala agar semua pekerja paham benar dengan pentingnya penanganan risiko kerja. Setelah dilakukannya identifikasi potensi kecelakaan kerja, peneliti melakukan penilaian manajemen risiko untuk mengetahui tingkat potensi kecelakaan kerja di RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta. Penilaian manajemen risiko yang belum diterapkan di RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta juga menjadi pemicu kurangnya tanggung jawab pekerja pada setiap aktifitas yang dilakukannya terutama K3 bagi pekerja. Sejalan dengan penelitian Adrian (2004) bahwa setiap pekerjaan perlu diadakannya penilaian manajemen risiko yang mencakup setiap aktivitas dan mempertimbangkan setiap komponen aktifitas kerja, personil, tugas, peralatan, lingkungan hidup dalam bekerja yang mana manfaatnya adalah merekomendasikan keterlibatan karyawan dengan tanggung jawab khusus untuk keselamatan dan kesehatan kerja. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan dengan Nurjannah (2012) bahwa potensi bahaya dan risiko kecelakaan kerja yang ada di suatu instansi disebabkan oleh kurangnya kepedulian pihak instansi terkait terhadap seluruh pemicu bahaya kerja seperti beban load listrik yang dapat berakibat langsung terhadap tenaga kerja dan lingkungan. Penggantian kabel, dan perawatan instalasi listrik yang dilakukan secara berkala dapat meminimalisir terjadinya bahaya kerja akibat instalasi listrik. Bahaya tinggi lainnya adalah kebocoran gas yang terdapat pada pekerjaan yang menggunakan gas sebagai media penghasil energi. Seperti penggunaa gas di dapur RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta. Hal ini disebabkan karena pemasangan tabung gas banyak didapatkan tidak terpasang dengan kencang dan baik, sehingga saat petugas dapur menyalakan kompor terdapat bau menyengat yang berasal dari pemasangan gas yang tidak sesuai. Hal ini dapat memicu ledakan dan kebakaran. Sejalan dengan Hanim, dkk (2012) dalam analisis potensi risiko keselamatan Liquefied Potreleum Gas (LPG), rekuensi kecelakaan, kebakaran, dan ledakan pada tabung gas LPG tergolong cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan telah terjadinya sebanyak lebih dari 20 kali kecelakaan kerja setelah kebijakan pemerintah diterapkan. Kejadian tersebut terjadi di tingkat masyarakat pengguna tabung gas yang kurang teliti dalam pemasangan regulator. Potensi bahaya lainnya yang dapat terjadi adalah instalasi listrik pada setiap pekerjaan foto rontgen, penggunaan alat Ultrasonografi (USG), menghidupkan/mematikan genset, pencucian linen, pengeringan/setrika linen, sterilisasi linen. Sebagai contoh pada aktifitas pencucian linen yang dilihat berdasarkan hasil identifikasi bahwa penanganan instalasi listrik yang tidak memenuhi standar persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Instalasi Listrik (PUIL) dan peraturan-peraturan lain tentang keselamatan kerja listrik, adanya kulit kabel yang lecet atau kulit kabel terkelupas didekat proses pencucian sehingga dapat memicu adanya arus pendek (konsleting), keadaan kabel-kabel, baik dalam instalasi listrik maupun dalam peralatan listrik yang sudah rusak namun masih tetap digunakan. E. Luar gedung Potensi kecelakaan kerja berpengaruh lainnya adalah tertusuk benda tajam terdapat pada aktivitas penggunaan jarum suntik, jarum infus, gunting bedah, pinset dalam menunjang pemeriksaan dan penanganan pada pasien. Berdasarkan hasil identifikasi bahaya tertusuk benda tajam tersebut disebabkan karena kurangnya konsentrasi baik dokter, maupun perawat dalam melakukan penanganan tersebut. Selain itu, peletakkan jarum suntik, jarum infus dan benda tajam lainnya yang menunjang pemeriksaan masih terlihat tidak langsung di buang ke tempat sampah B3/infeksius. Masih banyaknya ditemukan perawat yang menaruh jarum bekas suntikkan di sembarang tempat sehingga timbul potensi pekerja lain tidak melihat ada benda tajam dan kemudian tertusuk. Posisi melakukan suntikkan, infus, pengambilan sampel darah juga menjadi potensi bahaya tertusuk. Upaya pengendalian yang telah dilakukan RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta diantaranya hanya penggunaan APD sarung tangan, masker, jas/baju pelindung, kaos kaki, dan sepatu tertutup tanpa adanya pengecekkan secara rutin dan berkala. Kemudian pemberian poster untuk membuang sampah infeksius ditempatnya. Namun, upaya pengendalian tersebut dirasa kurang efektif sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian tambahan diantaranya pengecekkan rutin dan berkala, inspeksi tahapan pekerjaan sesuai yang tertera pada Sarana Operasional Pekerjaan (SOP), perhatian dari manajemen rumah sakit yang sangat mendukung minimnya potensi kecelakaan kerja. Sejalan dengan penelitian Li- Ya-Lin, dkk (2014) tentang pengendalian risiko yang tidak maksimal jika hanya penggunaan APD tanpa adanya inspeksi rutin dalam perbaikan manajemen risiko. Serta seluruh pihak pekerja dapat mengembangkan program efektif lebh lanjut dalam hal pengendalian risiko kerja. 4. Outcome (O) Berdasarkan tujuan penelitian serta pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Hasil identifikasi pengendalian risiko yang dilakukan pada 4 gedung di RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta memiliki 1859 tingkat risiko setelah pengedalian, diantaranya 1347 rendah (72,46%), 465 sedang (25,01%) dari aspek keselamatan, kesehatan, dan lingkungan meliputi luka bakar oleh tumpahan bahan kimia, area yang sempit dan ruang gerak terbatas, pembuangan sampah infeksius da non infeksius, 26 bermakna (1,40%)dari aspek kesehatan yaitu postur janggal dan ergonomi dan mikroorganisme , 21 tinggi (1,13%) dari aspek keselamatan meliputi konsleting, ledakan, dan kebakaran, hingga kematika. Sumber bahaya dari hasil identifikasi berasal dari bahaya mekanis, bahaya listrik, bahaya kimiawi, dan bahaya fisik. 2) Hasil identifikasi dan penilaian di gedung RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta bila di klasifikasikan yakni: a) Gedung I memiliki 234 uraian aktivitas pada aspek keselamatan 85 uraian aktivitas, pada aspek kesehatan119 uraian aktivitas, pada aspek lingkungan 30 uraian aktivitas dengan jumlah tingkat risiko 139 rendah, 84 tingkat risiko sedang, 7 tingkat risiko bermakna, 4 tingkat risiko tinggi. b) Gedung II RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta memiliki 545 uraian aktivitas pada aspek keselamatan 198 uaraian aktivitas, pada aspek kesehatan 272 uraian aktivitas, pada aspek lingkungan 75 uraian aktivitas dengan jumlah tingkat risiko rendah 491, 75 tingkat risiko sedang, 8 tingkat risiko bermakna, 6 tingkat risiko tinggi. c) Gedung III RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta memiliki 712 uraian aktivitas pada aspek keselamatan 254 uraian aktivitas, pada aspek kesehatan 374 uraian aktivitas , pada aspek lingkungan 84 uraian aktivitas dengan jumlah tingkat risiko rendah 457, 204 tingkat risiko sedang, 5 tingkat risiko bermakna, 7 tingkat risiko tinggi. d) Gedung IV RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta memiliki 368 uraian aktivitas pada aspek kselamatan 115 uraian aktivitas, pada aspek kesehatan 203 uraian aktivitas, pada aspek lingkungan 50 uraian aktivitas dengan jumlah tingkat risiko rendah 260, 102 tingkat risiko sedang, 6 tingkat risiko bermakna, 4 tingkat risiko tinggi. 3) Hasil penilaian manajemen risiko eksisting/sebelum adanya pengendalian berdasarkan aktivitas di RSJ Grhasia D.I.Yogyakarta dapat diketahui bahwa gedung II dan gedung III merupakan gedung dengan tingkat aktifitas risiko paling tinggi dengan persentase tingkat risiko gedung II 29% dan gedung III 29%, kemudian gedung I 23%, Gedung IV sebesar 19%. Setelah dilakukan pengendalian manajemen risiko diketahui bahwa gedng III merupakan gedung dengan tingkat aktifitas risiko paling tinggi dengan persentase tingkat risiko 33%. 4) Pengendalian risiko yang ditemukan di lapangan dapat dikatakan telah berjalan namun kuran maksimal dan pengendalian tersebut harus diimbangi dengan kesadaran setiap individu untuk konsisten melaksanakan setiap kegiatan sesuai dengan Standar Operasional Pekerjaan (SOP). 5. Time (T) Penelitian ini dalam pencarian literatur yang komprehensif dengan menggunakan google, cendikiawan dan dibuat pada tahun 2009-2016 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Jadi, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko keselamatan, kesehatan, kerja di dalam gedung meliputi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan di lingkungan kerja. Sedangkan manajemen risiko keselamatan, keselamatan, kerja di luar gedung meliputi; Ruang bangunan dan halaman : semua ruang/unit dan halaman yang ada dalam batas pagar RS (bangunan fisik dan kelengkapannya ) yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan kegiatan RS; Lingkungan bangunan RS harus mempunyai batas yang jelas, dilengkapi dengan pagar yang kuat dan tidak memungkinkan orang atau binatang peliharaan keluar masuk dengan bebas; Lingkungan bangunan RS harus bebas dari banjir, jika berlokasi di daerah rawan banjir harus menyediakan fasilitas/teknologi untuk mengatasinya; Lingkungan RS harus bebas dari asap rokok, tidak berdebu, tidak becek, atau tidak terdapat genangan air, dan dibuat landai menuju ke saluran terbuka atau tertutup, tersedia lubang penerima air masuk dan disesuiakan dengan luas halaman; Pencahayaan : jalur pejalan kaki harus cukup terang, lingkungan bangunan RS harus dilengkapi penerangan dengan intensitas cahaya yang cukup terutama pada area dengan bayangan kuat dan yang menghadap cahaya yang menyilaukan; Kebisingan : terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu atau membahayakan kesehatan. Dengan menanam pohon (green belt), meninggikan tembok dan meninggikan tanah (bukit buatan) yang berfungsi untuk penyekatan/ penyerapan bising; halaman bebas dari bahaya dan risiko minimum untuk terjadinya infeksi silang, masalah kesehatan dan keselamatan kerja; Saluran air limbah domestic dan limbah medis harus tertutup dan terpisah, masing-masing dihubungkan langsung dengan instalasi pengolahan air limbah; Luas lahan bangunan dan halaman harus disesuaikan dengan luas lahan keseluruhan, sehingga tesedia tempat parkir yang memadai dan dilengkapi dengan rambu parkir; Di tempat parkir, halaman, ruang tunggu dan tempat-tempat tertentu yang menghasilkan sampah harus disediakan tempat sampah; Lingkungan, ruang, dan bangunan RS yang tersedia sanitas; Jalur lalulintas pejalan kaki dan jalur kendaraan harus dipisahkan. B. SARAN 1. Bagi Perawat Untuk perawat dan staf medis lainnya agar lebih memperhatikan aturan manajemen risiko kesehatan, keselamatan kerja yang berlaku di RS agar lebih aman dalam bekerja 2. Bagi RS Untuk manajemen di luar dan gedung RS sebaiknya diperhatikan lagi erutama tahun peraturan yang berlaku di RS agar lebih baik dalam memanajemen. DAFTAR PUSTAKA A. Ria (2016). Managemen Kesehatan Keselamatan Kerja. http://eprints.polsri.ac.id/3085/3/BAB%20II.pdf Fitriana,L & Wahyuningsih.(2017). Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (Smk3) Di Pt. Ahmadaris https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/14004/7645 Kardina,dkk.(2018). Manajemen Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di Rumah Sakit Jiwa Grhasia D.I. Yogyakarta. https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10119/08%20NASKAH% 20PUBLIKASI.pdf?sequence=17&isAllowed=y http://repositori.uin-alauddin.ac.id/3641/1/Firman%20Alimudin.pdf Salim Emil, 2002. ”Green Company”, Pedoman Pengelolaan Lingkungan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Astra International Tbk. Santosa Adi, 2006. Pencahayaan Pada Interior Rumah Sakit: Studi Kasus Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Skripsi tidak dipublikasikan Sasongko, D.P., Hadiyarto A. 2000. Kebisingan Lingkungan.: Univ.Diponegoro. Semarang. Sugiarto, 1999. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah Sakit http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kepuasan-pasien-terhadap- pelayananrumah-sakit, diakses tanggal 01 Januari 2009. Sugiyono, 2007. Statistika Untuk Penelitian, cetakan ke-11, CV Alfa Beta, Bandung. Suma’mur P.K., 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV. Haji Masagung. Supranto, 2001. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah Sakit http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kepuasan-pasien-terhadap- pelayananrumah-sakit, diakses tanggal 01 Januari 2009. Siswowardojo Widodo, 2003. Norma Perlindungan Ketenagakerjaan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Yogyakarta: Andi