KASUS 1 ASUHAN KEPERAWATAN HIV PADA IBU HAMIL A. Definisi Ibu Hamil Dengan HIV/AIDS Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid, mual yang timbul pada pagi hari (morning sickness), pembesaran payudara dan pigmentasi puting, pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemeriksaan sinar-X atau USG. Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel- sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodefiency syndrome (AIDS). Hal ini dapat memekan waktu 10-15 tahun untuk orang yang terinfeksi HIV hingga berkembang menjadi AIDS, obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh. AIDS (acquired immunodefiency syndrome) adalah penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus tersebut. (Kamus Kedokteran Dorlan, 2002) Ibu hamil yang positif mengidap HIV berpotensi menularkan virus tersebut kepada bayi, baik pada masa kehamilan, persalinan, maupun pada saat menyusui. Dokter kandungan biasanya akan memberikan berbagai jenis obat antivirus khusus, salah satunya adalah obat ARV (antiretroviral) untuk menekan jumlah virus. Jika ibu mengonsumsi obatobatan secara rutin selama kehamilan hingga hari persalinan nanti, maka risiko penularan bisa ditekan sampai tinggal 7 persen. Karena itu penting bagi ibu hamil untuk melakukan tes HIV, agar virus HIV dapat terdeteksi lebih awal, sehingga program pencegahan HIV pun bisa dilakukan secepatnya. Dalam proses melahirkan, bayi akan terkena darah dan cairan Miss V ketika melewati saluran rahim yang dapat menjadi cara virus HIV dari ibu masuk ke dalam tubuhnya. Karena itu, ibu hamil pengidap HIV disarankan untuk tidak melahirkan secara normal melalui Miss V karena risiko bayi tertular lebih besar. Beberapa kondisi yang juga dapat mendukung penularan HIV ke bayi pada saat persalinan adalah air ketuban yang pecah terlalu awal, bayi mengalami keracunan ketuban dan kelahiran prematur. Bila ibu ingin melahirkan secara normal, peluang bayi tidak tertular pun masih ada. Namun, ada persyaratannya, yaitu: Telah mengonsumsi obat antivirus mulai dari usia kehamilan 14 minggu atau kurang. Jumlah viral load kurang dari 10.000 kopi/ml. Viral load adalah jumlah partikel virus dalam 1 ml atau 1 cc darah. Ibu akan berpotensi tinggi menularkan virus ke bayi dan mengalami komplikasi HIV jika ditemukan jumlah partikel virus yang banyak dalam darah ibu. Proses melahirkan harus berlangsung secepat mungkin, dan bayi harus segera dibersihkan setelah keluar. Ibu yang memiliki viral load yang tinggi biasanya akan diberikan infus berisi obat zidovudine pada saat melahirkan normal. Namun, ibu tetap perlu mendiskusikan kepada dokter kandungan mengenai pemilihan metode persalinan. Jika angka viral load ibu berada di atas 4000 kopi/ml, maka dokter akan menyarankan ibu untuk melahirkan secara caesar. B. Prevalensi Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada 2018 tes HIV pada ibu hamil hanya sekitar 13,38% (761.373) dari total jumlah ibu hamil di Indonesia sebanyak 5.291.143 orang. Dari jumlah yang menjalani tes tersebut, yang diketahui positif HIV tercatat 2.955 orang. Sementara itu, yang mendapatkan terapi obat ARV (antiretroviral) dalam upaya menekan jumlah virus (VL), lebih sedikit lagi, yakni hanya 893 ibu hamil. C. Patofisiologi Penularan HIV dari Ibu kepada Bayinya Penularan ini dapat terjadi dalam 3 periode: a. Periode kehamilan Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu: 1) 2) 3) 4) Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama kehamilan. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak. b. Periode persalinan Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusifetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria.Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke anak selama proses persalinan adalah:Lama robeknya membran. 1) Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya). 2) Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu misalnya, episiotomi. 3) Anak pertama dalam kelahiran kembar c. Periode Post Partum Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Risiko penularan melalui ASI tergantung dari: 1) Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang berisiko dibanding dengan pemberian campuran. 2) Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi payudara lainnya. 3) Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi. 4) Status gizi ibu yang buruk. D. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV : Tujuan pemeriksaan Diagnostik ialah bagi Wanita yang belum mengetahui kalau dirinya mengidap HIV. Test ini juga disebut dengan Voluntary Conseling and Testing (VCT) karena wanita yang belum atau sudah hamil mengajukan diri untuk melakukan pemeriksaan diri. Hal ini sangat membantu dalam menentukan langkah selanjutnya apabila memang wanita tersebut mengidap HIV. Ada sesi Konseling untuk menambah informasi seputar menjaga kehamilan dengan HIV. Hal ini juga mencegah terjadinya Mother To Child Transformation (MTCT). Berikut beberapa Test untuk diagnose infeksi HIV yang dapat dilakukan : a) Tes Serologi HIV ELISA ELISA dapat mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitive, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positive, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif. Western blot Tes Western Blot merupakan tes antibodi untuk konfirmasi HIV pada kasus yang sulit. Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negative. Sementara, bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti Western Blot positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulangi setelah enam bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negative. Pendeteksian HIV Dilakukan dengan pemeriksaan P24 antigen capture assay dengan kadar yang sangat rendah. Bisa juga dengan pemerikasaan kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif untuk mengevaluasi efek anti virus, dan pemeriksaan viremia plasma untuk mengukur beban virus (viral burden). b) Tes Virologi HIV Tes virologi dilakukan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Tes ini direkomendasikan untuk mendiagnosis HIV pada anak berusia kurang dari 18 bulan, meliputi: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS) dan HIV RNA kuantitatif mengunakan sampel plasma darah. 1) HIV DNA Kualitatif (EID) bertujuan mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan antibodi, digunakan untuk diagnosis pada bayi. 2) HIV RNA Kuantitatif, bertujuan memeriksa jumlah virus dalam darah dan memantau terapi ARV pada orang dewasa, atau diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia. 2. Tes untuk deteksi gangguan system imun Tujuan deteksi gangguan system imun ialah untuk melihat perkembangan imunitas wanita dengan kehamilan HIV. Apabila system imun terganggu dapat membahayakan ibu dan janin. Maka pemeriksaan rutin harus dilakukan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke janin, mencegah penyakit menyerang ibu dan janin, juga menentukan proses kehamilan ibu (apakah normal atausesar). Hal ini sangat berguna agar ibu dapat menjalani kehamilan dengan kondisi terbaiknya. Berikut test yang dapat dijalani ibu untuk mengetahui kondisi imunitasnya : a. Hematokrit b. CD4 limfosit c. Rasio CD4/CD limfosit d. Serum mikroglobulin B2 e. Hemoglobulin E. Penatalaksanaan Medis 1. 2. Intervensi untuk Mencegah Progresifitas Penyakit Pada Ibu Hamil Highly active anti-retroviral therapy (HAART) adalah kemoterapi antivirus yang disarankan oleh WHO untuk ibu hamil sebagai pengobatan utama HIV selama masa kehamilan dan postpartum. Selain memperbaiki kondisi maternal, HAART terbukti dapat mencegah transmisi perinatal yaitu dengan mengurangi replikasi virus dan menurunkan jumlah viral load maternal. Obat pilihan pertama yang boleh digunakan untuk ibu hamil adalah lamivudine (3TC) 150 mg dan zidovudine (ZDV) 250 mg untuk golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), nevirapine (NVP) 200 mg untuk golongan non-NRTIs (NNRTIs), indinavir 800 mg dan nelfinavir 750 mg untuk golongan protease inhibitors (PI). Obat-obatan ini terbukti memiliki potensi teratogenik dan efek samping maternal yang sanagt minimal. Sasaran terapi ARV pada kehamilan adalah untuk menjaga viral load dibawah 1000 kopi/ml. Kombinasi terapi ARV dianjurkan untuk semua kasus yaitu 2 NRTIs/NNRTIs dengan 1 PI. Berhubung ZDV merupakan satu-satunya obat yang menunjukkan penurunan transmisi perinatal, obat ini harus digunakan kapan saja memungkinkan sebagai bagian dari HAART. Apabila viral load <10,000 kopi/mL, monoterapi ZDV 250 mg dapat diberikan secara oral 2x sehari, dimulai antara umur kehamilan 20 sampai 28 minggu. Jika wanita yang terinfeksi HIV ditemukan pada proses kelahiran, baik dengan status HIV positif sebelumnya atau dengan hasil rapidtest, lebih dari satu pilihan pengobatan tersedia, tetapi semua harus termasuk infus ZDV. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dan tidak pernah mendapatkan terapi ARV, HAART harus dimulai secepat mungkin, termasuk selama trimester pertama. Pada kasus dimana ibu hamil yang sebelumnya mengkonsumsi HAART untuk kesehatannya sendiri, harus melakukan konseling mengenai pemilihan obat yang tepat. Efek samping obat terlihat meningkat pada ibu hamil dengan jumlah sel T CD4+ <250/mL. Misalnya pada ibu dengan CD4 <200/ml yang sebelumnya mendapat pengobat single dose NVP, ritonavirboosted lapinavir ditambah tenofovir-emtricitabine, diganti dengan NVP ditambah tenofovir-emtricitabine sebagai terapi awal. Oleh karena itu, NVP sebaiknya bukan single dose karena berpotensi menimbulkan hepatotoksik yang fatal pada ibu hamil. Ibu hamil juga membutuhkan antibiotik profilaksis terhadap infeksi oportunistik yang dideritanya. Apabila CD4 <200/ml, profilaksis pilihan untuk PCP adalah Trimetrophine/sulfamethoxazole (TMX/SMX). Pada trimester pertama, sebaiknya obat ini diganti dengan pentamidine aerosol karena obat berpotensi teratogenik. TMX/SMX juga digunakan untuk mencegah toksoplasmik ensefalitis dan diberikan saat level CD4 <100/ml. Azithromycin menggantikan clarithromycin sebagai profilaksis MAC. Dosis seminggu sekali jika jumlah CD4 <50/ml. Wanita yang sebelumnya mengkonsumsi obat-obatan tersebut sebelum hamil sebaiknya tidak menghentikan pengobatannya. Intervensi untuk Mencegah Transmisi Perinatal (PMTCT) Selain terapi ARV dan profilaksis, pemilihan susu formula dibandingkan ASI terbukti dapat menurunkan transmisi HIV dari ibu ke anak dari 15-25% sampai kurang dari 2%. Persalinan dengan elektif seksio sesaria ternyata juga dapat menurunkan transmisi perinatal. Persalinan ini dinilai dapat meminimalkan terpaparnya janin terhadapa darah maternal, akibat pecahnya selaput plasenta dan sekresi 3. 4. maternal, saat janin melewati jalan lahir. Indikasi persalinan dengan elktif seksio sesaria adalah wanita tanpa pengobatan antiviral, wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load >50kopi/mL, wanita yang hanya mengkonsumsi monoterapi ZDV, wanita dengan HIV positif dan koinfeksi virus hepatitis, termasuk HBV dan HCV. HIV dengan koinfeksi dapat meningkatkan resiko transmisi HBV dan HCV para perinatal. Oleh sebab itu, kombinasi 3 obat antivirus sangat direkomendasikan tanpa memperdulikan level viral load. Misalnya pada wanita dengan koinfeksi HBV/HIV, obat yang digunakan adalah kombinasi dual NRTI tenofovir dengan 3TC/emitricitabine. Pasien juga harus sadar akan gejala dan tanda dari toksisitas hati dan pemeriksaan transamninase dilakukan setiap 2- 4minggu. Selain ibu, bayi juga harus menerima imunoglobulin hepatitis B dan memulai vaksinnya pada 12 jam pertama kelahiran. Seperti HIV, PROM juga dapat meningkatkan transmisi HCV pada perinatal. Persalinan dengan elektif seksio sesaria merupakan indikasi pada kasus ini. Bayi harus dievaluasi dengan tes HCV RNA pada umur 2 dan 6 tahun atau HCV antibodi setelah umur 15 bulan. Tata Laksana Komplikasi Obstetrik Wanita dengan HIV positif yang menjadi lemah mendadak pada masa kehamilannya, harus segera dievaluasi oleh tim multidisiplin (dokter obstetrik, pediatrik dan penyakit dalam) untuk mencegah kegagalan diagnostik. Komplikasi yang berhubungan dengan HIV sebaiknya dianggap sebagai penyebab dari penyakit akut pada ibu hamil dengan status HIV tidak diketahui. Pada keadaan ini, tes diagnostik HIV harus segera dikerjakan. HAART dapat meningkatkan resiko lahir prematur. Oleh sebab itu, pemilihan dan penggunaan terapi ARV yang tepat berperan penting dalam hal ini. Wanita yang terancam lahir prematur baik dengan atau tanpa PROM harus melakukan skrining infeksi, khususnya infeksi genital sebelum persalinan. Bayi premature <32 minggu tidak dapat mentoleransi medikasi oral, sehingga pemberian terapi ARV pada ibu sesudah dan saat persalinan akan memberikan profilaksis pada janinnya. Apabila bayi lahir prematur dengan PROM terjadi pada umur kehamilan >34 minggu, persalinan harus dipercepat. Augmentation dapat dipertimbangkan jika viral load <50 kopi/mL dan tidak ada kontraindikasi obstetrik. Pertimbangan tersebut termasuk pemberian antibiotik intravena spektrum luas, jika pasien terbukti ada infeksi genital atau korioamnionitis. Lain halnya pada umur kehamilan <34 minggu, penatalaksanaannya sama tetapi obat antibiotik oral yang diberikan adalah eritromisin.Semua ibu hamil, baik yang terinfeksi HIV maupun tidak sangat memungkinkan untuk menderita anemia. Untuk itu pemeriksaan darah lengkap wajib dikerjakan. Tata Laksana Persalinan Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART harus mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan, sesudah persalinan. Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Infus ZDV diberikan secara intravena selama persalinan elektif seksio sesaria dengan dosis 2 mg/kg selama 1 jam, diikuti dengan 1 mg/kg sepanjang proses kelahiran. Pada persalinan ini, infus ZDV dimulai 4 jam sebelumnya dan dilanjutkan sampai tali pusar sudar terjepit. National Guidelines menyarankan pemberian antibiotik peripartum pada saat persalinan untuk mencegah terjadinya infeksi. Ruangan operasi juga harus dibuat senyaman mungkin untuk mencegah PROM sampai kepala dilahirkan melalui operasi insisi. Kelompok meta-analisis Internasional Perinatal HIV, menemukan bahwa resiko transmisi vertikal meningkat 2% setiap penambahan 1 jam durasi PROM. Jika persalinan sesaria dikerjakan setelah terjadi PROM, keuntungan operasi jelas tidak ada. Pada kasus ini, pemilihan jalan lahir harus disesuaikan secara individu. Oleh karena itu, usahakan agar membran tetap intak selama mungkin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ACOG pada tahun 2000, pasien HAART dengan viral load >1000 kopi/mL, harus konseling berkenaan dengan keuntungan yang didapat dari persalinan dengan elektif seksio sesaria dalam menurunkan resiko transmisi vertikal pada perinatal. Persalinan pervaginama yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load <50 kopi/mL. Jika pasien ini tidak ingin melakukan persalinan 5. lewat vagina, seksio sesaria harus dijadwalkan pada umur kehamilan 39+ minggu, untuk meminimalkan resiko transient tachypnea of the newborn (TTN). Prosedur invasif seperti pengambilan sampel darah fetal dan penggunaan eletrode kulit kepala fetal merupakan kontraindikasi.Pada persalinan pervaginam, amniotomi harus dihindari, tetapi tidak jika proses kelahiran kala 2 memanjang. Jika terdapat indikasi alat bantu persalinan, forsep dengan kavitas rendah lebih disarankan untuk janin karena insiden trauma fetal lebih kecil. Tata Laksana Posnatal Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Dosis terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali. Indikasipenggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP 200 mg dengan 3TC 150 mg tiap 12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari pospartum untuk mencegah resistensi NVP. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga diindikasikan, jika jumlah limfosit CD4 diatas 200 dan 400. Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan seksual. Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV.Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi. Menurut penelitian yang dilakukan di Eropa, semua wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk mengkonsumsi kabergolin 1 mg oral dalam 24 jam setelah melahirkan, untuk menekan laktasi. F. Asuhan Keperawatan Seorang ibu berusia 36 tahun, datang ke poliklinik sebuah rumah sakit untuk memeriksa kehamilan 25 minggu. Saat ini Ny. H sedang menjalani kehamilannya yang ketiga. Anaknya yang pertama perempuan, kini berusia 12 tahun. Kehamilan kedua berlangsung 9 tahun lalu, namun bayi meninggal setelah lahir. Suami pasien bekerja diluar negeri dan pulang setiap 6 bulan sekali. Pasien mengeluh sering demam, menggigil, banyak berkeringat pada malam hari, nafsu makan turun dan berat badan juga semakin menurun disertai diare dan sariawan pada rongga mulut. Ibu juga mengatakan batuk sudah 3 minggu belum sembuh juga. Hasil pemeriksaan TD : 110/60 mmHg, Nadi : 74/mnt, suhu : 36,5 ºC. Ibu selama ini tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Hasil pemeriksaan ibu dinyatakan positif terkena virus HIV. DATA FOKUS DATA SUBJEKTIF DATA OBJEKTIF a) Hasil Pemeriksaan : HIV (+) b) TTV : Pasien mengeluh : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Demam Berkeringat pada malam hari TD : 110/60 mmHg HR : 74/mnt Nafsu makan menurun Suhu : 36,5 ºC Menggigil BB menurun Data Objektif Tambahan : Diare Sariawan Batuk selama 3 minggu terakhir Data Subjektif tambahan: 1. Pasien mengatakan letih, lesu mudah lelah, c) d) e) f) Wajah pasien tampak pucat g) h) i) j) k) l) Tonus otot melemah Kulit kering Turgor kulit pasien terlihat buruk Membran pucat mukosa pasien tampak TB 155 cm BB 38 kg Viral load >10.000 /ml CD4 < 350 sel/mm3 Hb : 8,0 gr/dL ANALISA DATA NO dx. 1 DATA Data Subjektif Pasien mengeluh : a) BB turun b) Diare c) Demam d) Menggigil e) Berkeringat pada malam hari Data Subjektif tambahan: Pasien mengatakan : a) Mudah lelah, letih, lesu Data Objektif : a) Hasil pemeriksaan ibu : HIV (+) b) TTV : TD : 110/60 mmHg HR : 74/mnt Suhu : 36,5 ºC MASALAH Kekurangan cairan volume ETIOLOGI Kehilangan aktif cairan Data Objektif Tambahan : a) Wajah pasien tampak pucat b) Kulit kering c) Turgor kulit pasien terlihat buruk 2 Data Subjektif: Klien mengatakan : a) BB turun b) Pasien mengatakan makan menurun c) Sariawan pada rongga mulut d) Diare Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh nafsu Data Objektif: a) Hasil pemeriksaan ibu : HIV (+) b) TTV : TD : 110/60 mmHg HR : 74/mnt Suhu : 36,5 ºC Factor biologis (HIV/AIDS)