tax avoidance dapat didefinisikan sebagai suatu upaya mendeteksi celah dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan hingga ditemukan titik kelemahan dari perundangan tersebut yang memungkinkan untuk dilakukannya penghindaran pajak yang dapat menghemat besaran pajak yang dibayarkan. upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkannya pada transaksi yang bukan objek pajak. Mempercepat depresiasi sehingga diperoleh nilai penyusutan yang lebih besar substantive tax planning dapat dilakukan dengan memindahkan subjek pajak, objek pajak, atau subjek dan objek pajak sekaligus ke negara lain yang memberikan perlakuan pajak khusus dalam arti keringanan pajak. formal tax planning merupakan upaya menghindari pajak dengan tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi tetapi memilih jenis transaksi yang memiliki beban pajak rendah. Contoh: Pada jenis perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan secara final, untuk mengefisiensikan PPh Pasal 21 karyawan, dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pemberian natura pada perusahaan yang tidak terkena PPh final bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Misal pada saat perusahaan dalam kondisi secara fiskal atau memiliki kompensasi kerugian fiskal dalam jumlah yang relatif besar di tahun – tahun sebelumnya. tax evasion merupakan upaya yang dilakukan untuk menghindari pajak secara ilegal dengan tidak melaporkan penghasilan atau melaporkan tetapi bukan nilai penghasilan yang sebenarnya. Tidak melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) Melakukan kecurangan dengan merekayasa laporan keuangan dengan memperbesar biaya dan memperkecil penghasilan atau laba usaha bahkan wajib pajak seolah-olah mengalami kerugian Menyembunyikan atau menyelundupkan harta kekayaan yang menjadi objek pajak secara sengaja agar tidak dikenai beban pajak. Tax saving adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternative pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Contoh: Pemberian natura kepada karyawan pada umumnya tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya dalam menghitung PPh badan. Kebijakan pemberian natura dapat diubah menjadi pemberian tidak dalam bentuk natura dan dimasukkan sebagai penghasilan karyawan sehingga dapat dikurangkan sebagai biaya. Perlakuan ini akan mengakibatkan PPh badan turun, tetapi PPh Pasal 21 naik. Penurunan PPh badan akan lebih besar daripada kenaikan PPh Pasal 21. Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri. Berikut tarif pajak PPh 21 berdasarkan Tarif Pasal 17 Undang-undang (UU) PPh: Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp50.000.000, kena 5% Di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 kena tarif 15% Di atas Rp250.000.000 sampai dengan Rp500.000.000 sebesar 25% Di atas Rp500.000.000, tarif yang dipungut sebesar 30% Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan. Secara garis besar, penentuan tarif PPh Pasal 25 dibagi menjadi tiga kriteria. 1) Wajib Pajak kategori Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) Wajib Pajak OPPT adalah siapa saja yang menjalankan usaha penjualan barang (grosir ataupun eceran) dan usaha jasa dengan satu tempat usaha atau lebih. Bagi OPPT, akan dikenakan PPh Pasal 25 sebesar 0,75% x omzet bulanan pada tiap-tiap tempat usaha. 2) Wajib Pajak kategori Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) Wajib Pajak OPSPT adalah karyawan atau pekerja bebas yang tidak memiliki usaha sendiri. Bagi yang masuk dalam kategori OPSPT, akan dikenakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh pada UU PPh Pasal 17 ayat 1 Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah sebagai berikut. >Rp50 juta = 5%, Rp50 juta – Rp250 juta = 15%, Rp250 juta – Rp500 juta = 25%, >Rp500 juta = 30% 3) Wajib Pajak Badan Untuk WP Badan, tarif yang dikenakan adalah PKP x 25% Tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh seperti yang dijelaskan di atas dan Pasal 31 E UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Objek pajak bagi CV adalah dapat berupa laba usaha. Sebagaimana diketahui bahwa CV tidak berbadan hukum. Sehingga kekayaan atau aset usaha akan termasuk di dalamnya harta pribadi pendirinya. Oleh karena itu, pendiri CV baik sekutu aktif maupun pasif mendapatkan penghasilan atas usaha yang dijalankan, maka disebut dengan prive atau laba yang termasuk ke dalam objek pajak (pasal 4 huruf c). Berbeda dengan PT, karena aset perusahaan terbagi ke dalam saham-saham. Pemilik perusahaan tidak lain adalah para pemilik saham tersebut. Harta pribadi pemilik baik pengurus atau pemegang saham tidak terlibat dalam kegiatan perusahaan. Pemilik akan mendapatkan keuntungan berupa dividen atas keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan. Dividen merupakan salah satu objek pajak (pasal 4 huruf g). Pembagian ini akan mengurangi laba ditahan dan kas yang tersedia bagi perusahaan, tetapi distribusi keuntungan kepada para pemilik memang adalah tujuan utama suatu bisnis. Besarnya pajak dividen adalah sebesar 15% dari penghasilan bruto (pasal 23 ayat 1 huruf a). Namun ada dividen yang dikecualikan dari objek pajak yakni dividen yang diterima atau diperoleh PT sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat di Indonesia. Pada PT yang juga dapat dikenai pajak adalah penghasilan dari transaksi saham seperti hasil transaksi penjualan saham (pasal 4 ayat 2 huruf c). Lebih lanjut pada pasal 21 ayat 1 dijelaskan bahwa pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Dengan kata lain, baik CV maupn PT harus memotong pajak atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan oleh pegawai, baik tetap maupun tidak tetap atau pekerja lepas. Bahkan sampai kepada jajaran Direksi atau Komisaris perusahaan (pada PT) sekalipun, maka akan tetap dikenakan pajak. Kemudian baik CV maupun PT melakukan penjualan atau penyewaan tanah dan/atau bangunan, maka harus memotong pajak atas penghasilan tersebut (pasal 4 ayat 2). Berdasarkan penjelasan di atas, besarnya pengenaan pajak penghasilan pajak bagi CV dan PT ditentukan oleh berapa besar penghasilan yang diperoleh dari objek pajaknya. Objek pajak CV dan PT tidaklah sama baik jenis maupun kuantitasnya. Namun secara umum pelaksanaan pengenaan pajak bagi kedua jenis badan usaha ini adalah sama. Kesimpulannya yang menjadi pembeda antara keduanya adalah banyaknya penghasilan yang diperoleh dari objek pajak masing-masing. KETENTUAN PERPAJAKAN TERKAIT CV SECARA UMUM (Sumber : ortax.org): CV merupakan subjek pajak badan dalam negeri. Dalam UU PPh dijelaskan bahwa subjek pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Karena CV merupakan subjek pajak badan, maka CV harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Selain harus mendaftarkan NPWP dan/atau PKP atas nama CV, CV juga harus menyelenggarakan pembukuan. Laba yang didistribusikan kepda sekutu tidak dikenai pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang menyebutkan bahwa bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi termasuk pemegang saham unit penyertaan kontrak investasi kolektif dikecualikan sebagai objek pajak. Gaji yang dibebankan oleh CV kepada para sekutu tidak dapat menjadi pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh. Dalam menghitung PPh nya CV menggunakan tarif tunggal 25% atau 12.5 % apabila memenuhi ketentuan pasal 31E UU PPh. KETENTUAN PERPAJAKAN TERKAIT PT SECARA UMUM (Sumber : ortax.org): Sama seperti CV, PT juga merupakan subjek pajak dalam negeri berbentuk badan. PT juga wajib meneyelenggarakan pembukuan. PT harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas nama PT. Pegenaan pajak pada PT terjadi dua kali, yaitu pada saat diakui sebagai laba usaha oleh PT dan pada saat laba usaha tersebut dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen, yang dikenai PPh Final sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh dan Pasal 17 ayat (2c) sebesar 10%. Gaji yang dibayarkan kepada para pemegang saham dan komisaris dapat dibiayakan oleh PT. Penghitungan PPh terhutang mengikuti tarif pasal 17 UU PPh atau Pasal 31E UU PPh. Sebagai pemula pastinya modal yang kita miliki masih cukup terbatas. Tapi jangan khawatir meskipun dengan modal yang cukup terbatas, kita masih bisa mendirikan CV, karena bentuk usaha yang satu ini tidak mensyaratkan minimal modal dasar seperti halnya pada PT. Dan yang paling penting informasi mengenai dasar pembebanan pajak yang dikenakan terhadap perusahaan yang berbentuk usaha CV ini pengenaan pajak nya hanya satu kali, yaitu pada badan usaha saja. Sedangkan untuk pembagian keuntungan atau laba yang diberikan kepada Persero Pasif tidak lagi dikenakan pajak penghasilan. Jadi kesimpulannya bagi para pemula yang masih merintis kariernya di dunia bisnis dengan modal yang masih pas-pas an. Tenang, ada CV yang dapat dipilih sebagai bentuk usaha yang cocok dari segi kondisi dan kemampuan perusahaan yang sedang kita jalani. Obyek Pajak Bentuk Usaha Tetap ( Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 ) 1) Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri). 2) Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oleh BUT di Indonesia (penghitungan berdasarkan pendekatan force of attraction). Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan kantor pusat di Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan kegiatan yang dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap. Misalnya: Sebuah bank di luar negeri yang memiliki cabang (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap kepada perusahaan di Indonesia. Dalam hal ini, penghasilan sehubungan dengan pemberian pinjaman oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penghasilan Bentuk Usaha Tetap. Sebuah perusahaan di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan yang dijual oleh BUT secara langsung tanpa melalui BUT-nya kepada pembeli di Indonesia. Dalam hal ini, penjualan yang dilakukan oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penjualannya BUT di Indonesia. 3) Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa (imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan, pensiunan/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut. Misalnya : Zenith Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi dengan PT Polar untuk mempergunakan merek dagang Zenith Inc. atas hak tersebut, Zenith Inc menerima royalti dari PT Polar. Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Zenith Inc memberikan jasa manajemen kepada PT Polar melalui BUT di Indonesia, dan dalam rangka pemasaran produk PT Polar yang menggunakan merek Zenith Inc tersebut. Dalam kasus di atas, penggunaan merek dagang oleh PT Polar memiliki hubungan efektif dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan Zenith Inc yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT.