Uploaded by deysterlitha89

Biografi Tokoh sejarah indonesia

advertisement
NAMA/ NIM: IRENE EURILIYA TEMPOMONA / 19091101024
Biografi Sutan Takdir Alisjahbana
Tokoh Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 –
meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), adalah sastrawan Indonesia.
Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari sekolah tinggi di Jakarta (1942), dan
menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia
(1987).Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.
Pernah menjadi redaktur panji pustaka dan balai pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan
dan memimpin majalah pujangga baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina bahasa Indonesia
(1947-1952), dan konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (19281929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa
Indonesia, filsafat kesusastraan dan kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958),
guru besar tata bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar &
ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949),
anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia
menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of
the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors
of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak
1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda
(sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi
Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur
Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
- Masa Kecil
Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara.
Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani
pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain
itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Kakek STA dari garis ayah, Sutan
Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan
hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang
begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu
buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu,
STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa
ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia
menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar
Terkembang.
- Keterlibatan dengan Balai Pustaka
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di
Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada
saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang
merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan
di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada
saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan
intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.
- Sutan Takdir Alisjahbana dan Perkembangan Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama
pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi
bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru
Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai
sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru
yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada
akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui
majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir
adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi
Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa
Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967)
Direktur Cenfer for Malay Studies Universitas Malaya tahun 1060-1968
- Karya-karyanya
 Sebagai penulis :
1. Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
2. Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
3. Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
4. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
5. Layar Terkembang (novel, 1936)
6. Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
7. Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
8. Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
9. Pelangi (bunga rampai, 1946)
10. Pembimbing ke Filsafat (1946)
11. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
12. The Indonesian language and literature (1962)
13. Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
14. Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
15. Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
16. Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
17. The failure of modern linguistics (1976)
18. Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
19. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa
Modern (kumpulan esai, 1977)
20. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
21. Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
22. Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
23. Kalah dan Menang (novel, 1978)
24. Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
25. Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
26. Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world
(1983)
27. Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
28. Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
29. Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
30. Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
 Sebagai editor :
1. Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
2. Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Sebagai penerjemah
1. Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)
2. Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio
Sastrosatomo, 1944)
 Buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana :
1. Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994
(1999)
2. S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu
Abad S. Takdir Alisjahbana (2006)
Penghargaan
1. Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
2. STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan "Pujangga Baru".
3. Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
4. DR.HC dari Universitas Indonesia
5. DR.HC dari Universitas Sains Malaysia
 Lain-lain :
Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia
semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat
dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur
bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.
(By DJ Site | Blogger Serabutan 19.49 Kelahiran Dan Bangkitnya Nasionalisme Di Indonesia)
Biografi Armijn Pane - Sastrawan Angkatan Pujangga Baru
Armijn Pane adalah seorang Sastrawan Indonesia, ia termasuk ke dalam sastrawan angkatan
pujangga baru. Pada tahun 1933 bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah
mendirikan majalah Pujangga Baru yang mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung
lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme
sastra. Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel Belenggu (1940). Armijn
Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik yang pertama,
juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik. Armijn Pane menjadi guru Taman Siswa dan
Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.
Armijn Pane dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra
Utara. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah
seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok
Haleoan. Setelah lulus ELS di Bukittinggi, Armijn Pane melanjutkan pendidikannya di STOVIA,
Jakarta (1923) dan NIAS, Surabaya (1927) (STOVIA dan NIAS adalah sekolah dokter),
kemudian pindah ke AMS-A di Solo (lulus pada 1931). Di AMS A-1 (Algemene Middelbare
School), ia belajar tentang kesusastraan dan menulis, lulus dari jurusan sastra barat.
Sebagai pelajar di Solo, ia bergabung dengan organisasi pemuda nasional yakni Indonesia
Muda, namun politik tampaknya kurang menarik minatnya daripada kesusasteraan. Saat itu ia
memulai kariernya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa puisi nasionalis, dan dua tahun
kemudian menjadi salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru.
Armijn Pane pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya (1932),
mingguan Penindjauan (1934), surat kabar Bintang Timoer (1953), dan menjadi wartawan lepas.
Ia pun pernah menjadi guru di Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur. Menjelang
kedatangan tentara Jepang, ia duduk sebagai redaktur Balai Pustaka. Pada zaman Jepang, Armijn
bersama kakaknya Sanusi Pane, bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho)
dan menjadi kepala bagian Kesusasteraan Indonesia Modern. Sesudah kemerdekaan, ia aktif
dalam bidang organisasi kebudayaan. Ia pun aktif dalam kongres-kongres kebudayaan dan
pernah menjadi anggota pengurus harian Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN)
(1950-1955). Ia juga duduk sebagai pegawai tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Bagian Bahasa) hingga pensiun.
Tahun 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya dan jasanya
dalam bidang sastra. Pada bulan Februari 1970, beberapa bulan setelah menerima penghargaan
tersebut, ia meninggal. Armijn Pane meninggal di Jakarta, pada 16 Februari 1970 pada umur 61
tahun.
- Meninggal dunia :
Armijn Pane meninggal dunia pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970, pukul 10.00, di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan
otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia diserang pneumonic bronchiale. Tempat
peristirahatannya yang terakhir ada di pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam
kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya.Armijn Pane meninggalkan
seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia enam tahun yang pada saat ia meninggal
beralamat di Jalan Setia Budi II No. 5 Jakarta.
- Nama-nama yang pernah digunakan Armijn Pane :
Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin
Ari, dan Aria Indra. Nama itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga
Baroe, dan Pandji Islam. Di samping itu, ia mempunyai nama samaran Adinata, A. Jiwa, Empe,
A. Mada, A. Panji, dan Kartono.
- Karya-karyanya :
Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang
terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat
luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana
dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane, kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan
tidak terlalu terpengaruhi suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir
Pujangga Baru menjadi sangat politis dan dikotomis.
Puisi : Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan,
pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
Cerpen : Kisah Antara Manusia. 1952
Novel : Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
Kumpulan Cerpen : Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
Drama : Ratna. 1943 (menyadur naskah Hendrik Ibsen, Nora)
Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.
Karya lainnya :
(Belanda) Kort Oversicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949). Sebuah tinjauan
tentang sastra Indonesia modern.
Sandjak-sandjak Muda Mr Muhammad Yamin. 1954. sebuah bahasan tentang sajak-sajak
Muhammad Yamin.
Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia. 1950. Studinya tentang gramatika bahasa
Indonesia.
Jalan Sejarah Dunia. 1952
Tiongkok Jaman Baru, Sejarahnya: Abad ke-19 - sekarang. 1953. sebuah terjemahan
Membangun Hari Kedua. 1956. Terjemahan novel Ilya Ehrenburg.
Habis Gelap Terbitlah Terang. 1968. Menerjemahkan surat-surat Raden Ajeng Kartini
(Muhamad Nurdin Fathurrohman Sunday, February 26, 2017 Sastrawan Angkatan Pujangga
Baru Armijn Pane)
Biografi Amir Hamzah
Amir Hamzah, merupakan seorang sastrawan Indonesia yang terkenal sebagai “Raja Penyair
Pujangga Baru”. Beliau lahir dalam lingkungan bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan
banyak berkecimpung dalam sastra dan kebudayaan Melayu. Beliau lahir pada 28 Februari 1911,
di Binjai, Langkat, Sumatra Utara. 1. Masa Kecil Amir Hamzah Tengku Muhammad Adil,
adalah ayah dari Amir Hamzah yang mempunyai gelar Datuk Paduka Raja. Ayahnya merupakan
Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Ibunya bernama Tengku
Mahjiwa. Amir hamzah bersaudara 11 orang. Keluarga besar itu amat taat menjalankan ajaran
Islam. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah merupakan
generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung
halamnnya. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan Tengku
Busu atau “tengku yang bungsu”. Sahabat Amir, Hoesny berkata bahwa di masa kecilnya Amir
Hamzah adalah anak manis yang menjadi kesayanga semua orang. Baca juga : Biografi Asrul
Sani, Sastrawan dan Sutradara Indonesia. 2. Pendidikan Amir Hamzah Amir Hamzah mulai
mengenyam bangku sekolah sejak berumur 5 tahun, yakni Langkatsche School di Tanjung Pura
tahun 1916. Sebagian besar guru di Langkatsche School adalah orang Belanda, hanya ada satu
orang saja guru Melayu. Setelah menamatkan studi disana selama 7 tahun, Amir Hamzah
melanjutkan ke MULO di Medan. Setahun kemudian, tahun 1924 Amir Hamzah pindah ke
Batavia, melanjutkan sekolahnya di Christelijk MULO Menjangan. Beliau lulus dari sekolah itu
tahun 1927. Kemudian, dari sana beliau meneruskan ke AMS di Solo, Jawa Tengah, dan
mengambil program studi Sastra Timur. Di Solo, Amir Hamzah tinggal di kompleks asrama
kediaman KRT Wreksodiningrat yang terletak di samping istana Kasunanan Surakarta.
Kemudian Amir tinggal bersama keluarga RT Sutijo Hadinegoro di Nggabel. Setelah
menyelesaikan sekolah di Solo, Amir Hamzah kembali ke Batavia guna melanjutkan pendidikan
di Sekolah Tinggi Hakim pada awal tahun 1934. Di masa-masa inilah beliau memperkaya
dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain. Selama
di Pulau Jawa, amir Hamzah juga banyak bergaul dengan tokoh pergerakan asal Jawa seperti
Mr.Raden Pandji Singgih dan K.R.T Wedyodi. Ibu Amir Hamzah meninggal dunia pada tahun
1931, sedangkan ayahnya meninggal dunia pada tahun 1933. Tetapi, Amir Hamzah masih dapat
melanjutkan studinya dengan bantuan pamannya, yakni Sultan Mahmud, yang menjadi Sultan
Langkat. Kisah Sastrawan : Pramoedya Ananta Toer. 3. Karir Amir Hamzah Amir Hamzah
bekerja pertama kali sebagai guru di Perguruan Rakyat (bagian dari Taman Siswa) Jakarta.
Namun, Amir Hamzah mulai mengasah karir dan minatnya pada sastra dan kepenyairan
semenjak tinggal di Solo. Disana beliau berteman dengan Amijn Pane dan Achdiat K. Mihardja.
Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo. Di kota itu pula Amir Hamzah
mulai menulis beberapa puisi pertamanya. Sajaknya yang berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” dimuat
dalam majalah Timbul Asuhan Sanusi Pane. Beberapa sastrawan yang hidup semasa dengan
Amir Hamzah yakni ; Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, Mohammad Yamin,
Soeman Hs, JE Tatengkeng, dan H.B Jassin. Amir Hamzah bersama dengan sastrawan Sutan
Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, mendirikan majalah Pujangga Baru tahun 1993. Majalah
tersebut kemudian oleh H.B Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan
Pujangga Baru. Kisah penyair : Chairil Anwar. 4. Karya Amir Hamzah Amir Hamzah
mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa,
dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Dua karya Amir
Hamzah yang paling terkenal adalah kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1973) dan Buah Rindu
(1941). Dalam Buah Rindu, yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935, terlihat jelas
perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Amir
Hamzah juga pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1993), Bagawat
Gita (1933), dan Syirul Asyar. Dalam kumpulan sajah Buah Rindu tahun 1941, terlihat jelas
perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Amir
Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi
penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangan
Amir Hamzah, bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga
zaman sekarang. Puisi-puisi Amir Hamzah sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya
sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan katakata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh
kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah
tertentu. Karya puisinya pada awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, sedangkan
karya-karya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Koleksi Nyanyi Sunyi umumnya
dianggap lebih maju. Amir mendapat gelar “Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe”, dan
termasuk satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra Revolusi Nasional
Indonesia. Baca juga : Biografi Buya Hamka. 5. Wafatnya Amir Hamzah Amir Hamzah
terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di
awal-awal Indonesia merdeka. Pemuda Sosialis Indonesia menangkapi sekitar 21 tokoh feodal
termasuk di antaranya Amir Hamzah, pada tanggal 7 Maret 1946. Pada 20 Maret 1946, orangorang yang ditangkapi itu dijatuhi hukuman mati. Amir wafat di Kuala Begumit dan
dimakamkan di pemakaman Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Beliau meninggalkan seorang
istri, Tengku Kamaliah, dan seorang putri, Tengku Tahura. Kemudian Amir Hamzah diangkat
menjadi Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 3 November 1975, berdasarkan SK Presiden
RI Nomor 106/tahun 1975. Biografi Tokoh Lainnya : WS Rendra. Demikianlah biografi Amir
Hamzah. Semoga dengan adanya rangkuman ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan
kita bersama. Terima kasih dan semoga bermanfaat.
Biografi J. E. Tatengkeng
J.E. Tatengkeng atau lengkapnya Jan Engelbert Tatengkeng adalah penyair Pujangga Baru. Ia
biasa dipanggil Oom Jan oleh orang-orang dekatnya, panggilan yang lazim di kalangan
masyarakat Sulawesi Utara. Tatengkeng memang merupakan salah satu fam dari propinsi itu.
Oom Jan ini dilahirkan di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, pada tanggal 19 Oktober 1907.
J.E. Tatengkeng adalah satu-satunya penyair zaman Pujangga Baru yang membawa warna
kekristenan dalam karya-karyanya. Hal ini tidaklah ganjil jika ditelusuri latar belakang
kehidupannya. Ia adalah putra dari seorang guru Injil yang juga merupakan kepala sekolah
zending. Di samping itu, tanah kelahirannya, tempat ia dibesarkan oleh orang tuanya, adalah
sebuah pulau kecil di timur laut Sulawesi yang konon masyarakatnya hampir seluruhnya
beragama Kristen.
J.E. Tatengkeng memulai pendidikannya di sebuah sekolah Belanda, HIS, di Manganitu. Ia
kemudian meneruskannya ke Christelijk Middagkweekscool atau Sekolah Pendidikan Guru
Kristen di Bandung, Jawa Barat dan Christelijk Hogere Kweekschool atau Sekolah Menengah
Tinggi Pendidikan Guru Kristen di Solo, Jawa Tengah.
Di sekolah-sekolah itulah J.E. Tatengkeng mulai berkenalan dengan kesusastraan Belanda dan
gerakan Tachtigers “Angkatan 80-an”, yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya.
Meskipun banyak dipengaruhi Angkatan 80-an Belanda, J.E. Tatengkeng ternyata juga tidak
sependapat dengan Jacques Perk yang mempertaruhkan seni dalai segala-galanya. Dalam sebuah
tulisannya, “Penyelidikan dan Pengakuan (1935), Tatengkeng menulis, “Kita tidak boleh
menjadikan seni itu Allah. Akan tetapi, sebaliknya, janganlah kita menjadikan seni itu alat
semata-mata. Seni harus tinggal seni.”
Bagi Tatengkeng, seni adalah gerakan sukma, “Gerakan sukma yang menjelma ke indah kata!
Itulah seni bahasa!,” katanya. Sebagai penyair, J.E. Tatengkeng dikenal sebagai penyair yang
dekat dengan alam. Konon, kedekatan Tatengkeng dengan alam itu timbul sebagai akibat
kekecewaannya karena tidak dapat menemukan kebenaran di dunia barat yang masih alami.
Meskipun alam merupakan pelariannya dalam usaha menemukan kebenaran, alam baginya tetap
merupakan misteri. Di kawanan awan, di warna bunga yang kembang, pada gunung, dan pada
bintang, tetap saja Tatengkeng belum merasa berhasil menemukan kebenaran hakiki. Oleh
karena itu, setelah jiwanya lelah mencari kebenaran hakiki, ia menjadikan Tuhan sebagai
tempatnya berlabuh. Gelombang kehidupan Tatengkeng itu tergambar pada sebagian besar sajak-
sajaknya. Tentu saja sajak-sajaknya yang religius itu bernafaskan ke-Kristenan, agama yang
dianutnya.
Sejak tahun 1953, J.E. Tatengkeng mulai jarang menulis. Akan tetapi, krativitasnya sebagai
penyair tidak pernah hilang meskipun ia bergiat dalam bidang politik dan pemerintahan. Hal itu
dibuktikan dengan beberapa sajaknya yang dimuat pada beberapa majalah setelah tahun 1953.
J.E Tatengkeng meninggal pada tanggal 6 Maret 1968 dan dikebumikan di Ujung Pandang,
Sulawesi Selatan.
- Karya-Karya:
Puisi : Rindu Dendam. 1934. Solo: Chr. Derkkerij “Jawi” (Buku ini memuat 32 buah sajak)
Dalam majalah Pujangga Baru :
“Hasrat Hati”
“Anak Kecil”
“Laut”
“Beethoven”
“Petang”
“Alice Nahon”
“O, Bintang”
“Gambaran”
“Sinar dan Bayang”
“Katamu Tuhan”
“Sinar di Balik”
“Willem Kloos”
“Tangis”
Dalam majalah lain :
“Anak Kecil”
“Penumpang Kelas 1”
“Gadis Bali”
“Aku Berjasa”
“Gua Gaja”
“Cintaku”
“Ke Balai”
“Mengheningkan Cipta”
“Sekarang Ini”
“Aku dan Temanku”
“Sinar dan Bayang”
“Kepada Dewan Pertimbangan Kebudayaan”
“Aku Dilukis”
“Sanga Pemimpin”
“Bertemu Setan”
Prosa : “Datuk yang Ketularan”
“Kemeja Pancawarna”
“Prawira Pers Tukang Nyanyi”
“Saya Masuk Sekolah Belanda”
“Sepuluh Hari Aku Tak Mandi”
Drama :
1. “Lena”. Sulawesi. No. 1. Tahun 1. 195
Biografi Asmara Hadi
Asmaea Hadi merupakan penyair tahun 1930-an yang sangat gigih semangat kebangsaannya.Dia
lahir di Talo,Bengkulu,tanggal 8 september 1915.Asmara Hadi berasal dari keluarga yang
terpelajar.Ibunya bernama Khamaria dan ayahnya Khobri bin Merah Hosen gelar”Raja Api”
yang berasal dari Bengkulu.
Asmara Hadi mempunyai tiga orang saudara,yaitu Hanafi,Arifin,dan Maimunah
Khamaria.Tahun 1935 ia menikah dengan seorang gadis bernama Ratna Juami Ningsi,anak
angkat ibu InggitGanarsi dan Bung Karno.Dari perkawinannya itu mereka dikaruniai delapan
anak,lima orang laki-laki dan tiga orang anak perempuan.
Pendidikan yang diperoleh Asmara Hadi adalah HIS Bengkulu kemudian MULO di Jakarta,dan
terakhir sekolah menengah taman siswa di Bandung.Latar belakang pekerjaan Asmara Hadi
cukup beragam.Di bidang politik ia aktif di partindo dan terakhir sebagai anggota MPRS sampai
tahun 1966.Ketika konstituante dibentuk,ia menjabat menteri negara dan wakil ketua
DPRGR.Pada masa penjajahan ia sering dihukum buang.Tahun1934-1935 ia dibuang di
Ende,Flores bersama Bung Karno.Dia juga beberapa kali dipenjara oleh pemerintah
Belanda.Selepas dari Ende,Asmara Hadi masih tetap berjuang bersama-sama Amir
Syariffudin.Dia harus meringkuk lagi dalam penjara tahun 1937.Dala berjuang Asmara Hadi
mempunyai kekuatan dan semangat yang diteladaninya dari Rosa Luxemburg,pejuang
revolusioner wanita berkebangsaan Jerman yang gigih,yang sebagian besar hidupnya untuk
perjuangan.Semangat itulah yang ikut memberi dorongan serta keteguhan Asmara Hadi dalam
berjuang.
Sebagai penyair pujangga baru pada umumnya,Asmara Hadi banyak menggunakan nama
samaran antara lain Ipih A. Nama samaran yang dipilihnya mempunyai makna baginya.Nama
Hadi adalah bahagian dari namanya yaitu Abdul Hadi.Ketika ia jatuh cinta kepada gadis yang
bernama Ratna Juami Ningsih,nama samarannya diganti lagi menjadi Hadi-Ratna sebagai
lambang persatuan antara Asmara Hadi dan Ratna Juami.Nama Hadi-Ratna menjadi populer dan
dipendekan menjadi HR.Ketika menulis di majalah Mandala,Asmara Hadi memakai nama
samaran lain,yaitu Ibnu Fatah.
Pengalamannya dibidang jurnalistik cukup banyak.Dia bekerja sebagai pemimpin redaksi
pikiran rakyat tahun 1938-1940 dan sebagai pemimpin majalah Toejoean Rakyat.Tahun1935
Asmara Hadi bekerja sebagai redaktur harian Bintang Timoer pimpina Parada Harahap,dan tahun
1939 sebagai reduktur majalah Efficiency yang terbit di Jakarta.Dia juga pernah bekerja di
Penerbit Pemandangan yang tidak lama kemudian berganti nama menjadi Penerbit
pembangunan.Karena berganti nama itu,tahun 1943 sejumlah karyawannya disalurkan ke Asia
Raja sebagai penulis khusus mengenai kebudayaan dan filsafat.
Bagi Asmara Hadi buku merupakan barang berharga.Sewaktu tinggal di Yogyakarta,tahun
1943,Asmara Hadi bekerja di kantor Kementerian Pemuda.Ketika meninggalkan Yogyakarta ia
mengutamakan membawa buku,sementara pakaiannya hanya secukupnya.
Selain menulis puisi,ia juga menulis cerita pendek.Cerita pendek yang ditulisnya,antara lain
adalah “Yang Tidak Dapat Dihilangkan” yang ditulisnya ketika ia pindah dari Yogyakarta ke
Bandung.Cerpen ini berisi riwayat seorang temannya selama perjuangan yang telah kehilangan
semua harta bendanya.Cerpen yang kedua adalah “Dibelakng Kawat Berduri” berisi kisah
pengalamannya selam ditawan Belanda.Cerpen tersebut kemudian diterbitkan oleh Penerbit
Pemandangan tahun 1942.
Sebagia besar puisi Asmara Hadi penuh dengan warna kesedihan karena kekasihnya yang
pertama meninggal.Perasaan sedih karena kekasihnya dijadikannya sebagai cambuk dalam
berjuang.Kegagalan cinta baginya menimbulkan semangat perjuangan yang tak kunjung
padam.Semangat yang tak kunjung padam itulah yang,antara lain,melahirkan sajak “Kepada
Diponegoro”.Asmara Hadi merasa terhina oleh ejekan orang Belanda,Vermijs,yang mengatakan
bahwa Indonesia tidk akan merdeka.Hatinya terasa mendidi sehingga lahirlah sajak tersebut.
Semangat kebangsaan dalam puisinya terlihat melalui unsur-unsur ronamtik yang terpadu
dengan patriotisme.Hal ini memberikan isi pada puisi-puisinya yang penuh harapan untuk masa
depan bangsa Indonesia.Kejayaan tanah air selalu membayang di pelupuk matanya,kejayaan
yang baru akan tercapai dalam alam kemerdekaan.Dia sadar bahwa kemerdekaan memerlukan
perjuangan.
Puisi-puisinya yang menggambarkan semangat kebangsaan,antara lain adalah (1) ”Bangsaku
Bersatulah”,(2) ”Chandra Bhirawa”,dimuat dalam pikiran rakyat,No.31,Januari 1938,(3)
“Sengsara Doenia”,dimuat dalam Tudjuan Rakyat,Th.I,No.1,oktober 1938,dan (4) “Kemenangan
Pasti” dimuat dalam Poedjangga Baroe,No.1,juli 1938.
Para kritikus yang berbicara tentang Asmara Hadi,antara lain Teeuw dan J.U. Nasution.Teeuw
(1970) menilai Asmara Hadi sebagai pembaharu dam pemodernan bentuk dan isi sajak,termasuk
penganjur realisme masyarakat (sosialis).
Sementara itu,J.U. Nasution menyatakan bahwa Asmara Hadi banyak menyuarakan semangat
kebangsaan melalui puisi-puisinyasehingga puisi-puisinya itu disebut api nasionalisme.Selain
itu,dalam puisi-puisinya juga tergambar cita-cita yang penuh harapan untuk masa depan
bangsa.Bahasa puisi Asmara Hadi tergolong lugas dan sederhana.
Puisi Asmara Hadi yang pernah dimuat dalam pikiran rakyat,poedjangga baroe,tudjuan
rakyat,dan pandji poestaka oleh J.U. Nasution dikumpulkan dan diterbitkan pada tahun 1965
dengan judul Asmara Hadi Penjair Api Nasionalisme.Buku ini melukiskan cahaya kemenangan
yang terpancar dalam suramnya perjuangan.
Asmara Hadi meninggal dunia di rumahnya,Jalan Cilantah No.24 Bandung,hari jumat,3
september 1976 dalam usia 62 tahun.Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Muslimin
Sirnaraga,Jawa Barat.
Download