Uploaded by Indarti Ulfayani

Dasar Teoriiii

advertisement
Tujuan Percobaan
1. Memeriksa fungsi hati melalui tes kombinasi bilirubin.
2. Menginterpretasi hasil pemeriksaan yang diperoleh.
Dasar Teori
2.1
Hati
Hati merupakan organ yang sangat penting dalam pengaturan homeostasis
tubuh yang meliputi metabolisme, biotransformasi, sintesis, penyimpanan dan
imunologi. Dari sudut pandang anatomi dan fisiologi, hati adalah organ terbesar
dari sistem intestinal dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat
badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen
dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks.
Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas bawah
menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga IX kiri (Sudoyo et al, 2009).
2.2
Fungsi Hati
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada
beberapa fungsi hati yaitu (Sudoyo et al, 2009) :
1.
Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling
berkaitan satu sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari
usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu
ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa.
Proses pemecahan glikogen mjd glukosa disebut glikogenelisis. Karena prosesproses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati
mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa.
Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi,
biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis
senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus
krebs).
2.
Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES
2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan
gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi
kolesterol.
Dimana
serum
kolesterol
menjadi
standar
pemeriksaan
metabolisme lipid.
3.
Fungsi hati sebagai metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Dengan
proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen.
Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin
dan organ utama bagi produksi urea. Urea merupakan end product metabolisme
protein.∂ - globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan
sumsum tulang β – globulin hanya dibentuk di dalam hati. Albumin mengandung ±
584 asam amino dengan BM 66.000.
4.
Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V,
VII, IX, X. Benda asing menusuk terkena pembuluh darah yang berperan adalah
faktor ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung yang berperan adalah
faktor intrinsik. Fibrin harus isomer agar kuat pembekuannya dan ditambah dengan
faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan
beberapa faktor koagulasi.
5.
Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K.
6.
Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam
bahan seperti zat racun, obat over dosis.
7.
Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ - globulin
sebagai imun livers mechanism.
8.
Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500
cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ±
25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke
hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran
ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan
organ penting untuk mempertahankan aliran darah.
2.3
Macam – macam Penyakit Hati
2.3.1
Hepatitis
Istilah ini dipakai untuk semua peradangan yang terjadi pada hati. Penyebab
dari hepatitis berbagai macam, mulai dari virus sampai obat-obatan termasuk semua
jenis bat-obatan tradisional. Infeksi virus hepatitis B di Amerika Serikat menurut
CDC (The Centers for Disease Control and Prevention) sekitar 300.000 kasus.
Virus hepatitis terdiri dari banyak jenis: hepatitis A,B,C,D,E,F dan G. Kelanjutan
dari penyakit hepatitis karena virus bisa menjadi akut, kronik, bahkan menjadi
kanker hati. Virus-virus ini dapat dibedakan melalui penanda antigenetiknya,
namun virus-virus ini dapat menyebabkan penyakit yang serupa secara klinis dan
berakibat infeksi sub klinis asimtomatik hingga berakibat infeksi akut yang fatal
(Depkes RI, 2007):
a.
Hepatitis A ( HAV)
Hepatitis A disebabkan oleh virus yang terklasifikasi transmisi secara
enterik. Virus ini tidak terdiri dari selubung dan dapat bertahan hidup pada cairan
empedu. Virus hepatitis A berbentuk kubus simetris untai tunggal yang termasuk
pada golongan picornavirus, dengan sub klasifikasi hepatovirus. Masa inkubasi
virus hepatitis dalam RNA selama 4 minggu dan hanya berkembang biak pada hati,
empedu, feses dan darah. Penularan virus hepatitis A dapat melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi tinja penderita hepatitis A. Gejala dari penyakit
hepatitis A yang dirasakan oleh pasien dewasa berupa rasa lelah, demam, diare,
mual, nyeri perut, mata juling, hilangnya nafsu makan dan gejala tampak seperti flu
(Depkes RI, 2007). Antibodi terhadap virus hepatitis A dapat tampak atau muncul
selama masa akut dan saat nilai SGPT tinggi. Respon yang ditimbulkan oleh
antibodi berupa IgM anti virus hepatitis A. Vaksin adalah salah satu alternative
pengobatan untuk virus hepatitis A akan memberikan kekebalan selama 1 bulan
setelah suntikan pertama (Depkes RI, 2007).
b.
Hepatitis B (HVB)
Virus Hepatitis B merupakan DNA virus (hepadna virus). Virus ini paling
sering dijumpai di seluruh dunia. Hepatitis B ditandai dengan peradangan kronik
pada hati dan berlangsung selama beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah
terjadi infeksi akut, karena berlangsung sangat lama penyakit ini dapat bersifat
persisten. Pasien yang telah menderita penyakit ini akan mambawa virus dan dapat
menjadi sumber penularan. Penularannya melalui darah atau transmisi seksual,
jaram suntik, tato, tindik, akupuntur, tranfusi darah. Hepatitis B sangat beresiko
terhadap pasien yang menggunakan narkotika dan mempunyai banyak pasangan
seksual. Gejala yang ditunjukkan oleh penyakit adalah lemah, lesu, sakit otot, mual
dan muntah namun jarang ditemukan demam (Depkes RI, 2007). Antigen yang
diperiksa dalam hepatitis B adalah HBsAg, HBcAg, dan HBeAg. HBsAg
ditemukan pada pasien hepatitis B akut dan sebagai penanda blood borne virus dan
status karier penyakit. Imunisasi hepatitis B terhadap bayi yang baru lahir,
menghindari hubungan badan dengan orang yang terinfeksi, menghindari
penyalahgunaan obat dan pemakaian bersama jarum suntik merupakan cara
pencegahan penularan hepatitis B (Depkes RI, 2007).
c.
Hepatitis C
Hepatitis C adalah infeksi penyakit yang bisa tak terdeteksi dan bisa
menyebabkan kerusakan perlahan-lahan pada organ hati. Penyakit ini tidak
menimbulkan gejala-gejala khusus biasanya pasien hanya terserang flu berupa
demam, rasa lelah, muntah, sakit kepala, sakit perut atau hilangnya selera makan
(Depkes RI, 2007).
d.
Hepatitis D
Hepatitis D ditandai dengan terdapatnya virus delta dan merupakan virus
yang unik, yakni virus RNA yang tidak lengkap. Virus ini memerlukan keberadaan
virus hepatitis B untuk ekspresi dan patogenisitasnya. Gejala yang dirasakan
bervariasi dan dapat dirasakan sebagai gejala yang ringan atau sangat progrsif
(Depkes RI, 2007).
e.
Hepatitis E
Hepatitis E merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya
kecuali terjadi pada saat kehamilan pada trimester 3 sehingga dapat menyebabkan
kematian. Gejala mirip dengan hepatitis A. Air yang terkontaminasi feces
merupakan penularan dari hepatitis E (Depkes RI, 2007).
f.
Hepatitis F
Sedikit kasus yang dilaporkan untuk hepatitis F. para pakar saat ini belum
sepakat mengenai hepatitis F sehingga merupakan penyakit hepatitis yang terpisah
dari hepatitis lainnya (Depkes RI, 2007).
g.
Hepatitis G
Serupa dengan hepatitis C seringkali infeksi bersamaan dengan hepatits B
namun hepatitis ini tidak menyebabkan masalah kronik. Penularan hepatitis G
melalui tranfusi darah dan jarum suntik (Depkes RI, 2007).
2.3.2
Sirosis Hati
Sirosis hati Istilah sirosis hati dicetuskan oleh Laennec tahun 1819 yang
berasal dari kata Khirros yang berarti warna kuning orange. Sirosis hati adalah suatu
penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh system
arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi jaringan ikat
(fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi (Urata, 2007).
Gejalanya berupa perdangan difus dan selama bertahun-tahun pada hati serta diikuti
dengan fibrosis, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati sehingga menimbulkan
kekacauan dalam susunan parenkim hati. Terdapat 3 pola khas yang biasanya
ditemukan pada sirosis hati yaitu:
a.
Mikronodular
Sirosis mikronodular ditandai dengan terbentuk septa tebal teratur yang
terdapat dalam parenkim hati, mengandung nodul halus dan kecil tersebar diseluruh
lobul. Sirosis mikronodular berukuran 3 mm (Lawrence, 2003).
b.
Makronodular
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa tebal, besarnya
bervariasi
dan terdapat nodul besar di dalamnya sehingga terjadi regenerasi
parenkim (Lawrence, 2003).
c.
Campuran
Terdapat mikro dan makronodular yang tampak (Lawrence, 2003).
Secara fungsional sirosis hati juga terbagi menjadi beberapa macam:
a. Sirosis hati kompensta atau sirosis hati laten
Sirosis ini tidak memiliki gejala spesifik. Skrining adalah cara untuk
mengetahui penyakit hati ini.
b. Sirosis hati dekompensata atau Active Liver Cirrhosis
Gejala dan tanda sirosis hati dekompensata seperti asites, edema dan icterus.
alkoholisme virus hepatic, kegagalan jantung, malnutrisi, penyakit Wilson,
hemokromotosis dan zat toksik lainnya merupakan beberapa penyakit lain yang
diduga dapat menyebabkan sirosis hati (Nurjanah, 2007).
2.3.3
Kanker Hati
Kanker pada hati yang banyak terjadi yaitu Hepatocellular carcinoma
(HCC) yang merupakan komplikasi dari hepatis kronis yang serius terutama karena
virus hepatitis B, C dan hemochromatosis (Depkes RI, 2007).
2.3.4
Perlemakan Hati
Terjadi penimbunan lemak yang melebihi berat hati sebesar 5% atau yang
mengenai lebih dari separuh jaringan dari sel hati. Alkohol Merupakan salah satu
penyebab dari sirosis hati (Depkes RI, 2007).
2.3.5
Kolestasis dan Jaundice
Kegagalan produksi atau pengeluaran empedu merupakan definisi dari
kolestasis. Kolestasis dapat menyebabkan gagalnya menyerap lemak, vitamin dan
juga terjadi penumpukan asam empedu, bilirubin, dan kolesterol di hati. Jaundice
adalah kelebihan bilirubin dalam sirkulasi aliran darah dan permukaan pigmen
empedu pada kulit, membran mukosa dan bola mata. Biasaya gejala yang timbul
setelah kadar bilirubin dalam darah melebihi 3mg/dL (Depkes RI, 2007).
2.3.6
Hemokromatosis
Hemocromatosis adalah keadaan kelainan metabolisme besi biasanya
ditandai dengan adanya pengendapan besi dalam jaringan. Penyakit ini bersifat
genetik atau keturunan (Depkes RI, 2007).
2.3.7
Abses Hati
Abses hati disebabkan oleh infeksi bakteri atau amuba. Abses hati
berkembang dengan baik dan cepat sehingga menimbulkan gejala demam dan
menggigil (Depkes RI, 2007).
2.4
Penyebab Penyakit Hati
Beberapa penyebab penyakit hati antara lain:
a.
Faktor keturunan dan malnutrisi
Kekurangan protein menjadi penyebab sirosis hepatis. Hal ini dikarenakan
beberapa asam amino seperti metionin yang berperan dalam metabolisme gugus
metil untuk mencegah perlemakan hati dan sirosis hepatis berkurang jumlahnya
dalam tubuh (Urata, 2007).
b.
Hepatis virus
Virus hepatis merupakan virus yang sering disebut menjadi penyebab sirosis
hati. Virus hepatitis B banyak memiliki kecenderungan menetap dan akan berlanjut
menjadi masalah yang kronis. Pasien dengan hepatitis kronis dapat menyebabkan
kelanjutan menjadi sirosis karena keadaan hati yang mengalami kerusakan parah
(Urata, 2007).
c.
Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati secara akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak sedangkan kerusakan hati kronik dapat
menyebabkan sirosis hepatis. Apabila obat-obatan yang bersifat hepatotoksik
digunakan secara berulang maka akan menyebabkan kerusakan secara setempat,
kemudian terjadi kerusakan hati yang merata dan akhirnya terjadi sirosis hepatis
(Urata, 2007).
d.
Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemui biasanya terdapat pada orang-orang
yang berusia muda yang ditandai dengan sirosis hepatis, degenerasi ganglia basalis
dari otak, dan terdapat cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijuan (Urata,
2007).
e.
Hemokromatosis
Hemakromatosis disebabkan karena 2 hal yaitu faktor keturunan dan
pengonsumsi alkohol. Faktor keturunan yang dimaksud adalah terjadinya kenaikan
absorbsi dari zat besi sejak lahir. Pada orang yang mengonsumsi alkohol terjadi
peningkatan absorpsi dari besi sehingga dapat menyebabkan sirosis hati (Urata,
2007).
2.5
Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan heme dari
hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikulo endotel. Disamping
itu sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan zat-zat lain. Sel retikulo endotel
membuat bilirudbin tidak larut dalam air; bilirubin yang disekresikan dalam darah
harus diikatkan pada albumin untuk diangkut dalam plasma untuk menuju hati. Di
dalam hati, sel hepatosit melepaskan ikatan itu dan mengkonjugasikannya dengan
asam glukoronat sehingga bersifat larut air, dimana reaksi ini melibatka enzim
glukoroni transferase (Joy ce, 2007).
Bilirubin terkonjugasi masuk ke saluran empedu dan dieksresikan ke usus.
Selanjutnya flora usus akan mengubahnya menjadi urobilinogen dan dibuang
melalui feses serta sebagian kecil dibuang melalui urine. Bilirubin yang
terkonjugasi akan dengan cepat bereaksi dengan asam sulfanil yang terdiazotasi
membentuk azobilirubin atau bilirubin langsung (direct bilirubin). Bilirubin
terkonjugasi yang merupakan bilirubin bebas yang terikat albumin harus terlebih
dahulu dicampur dengan alcohol, kafein, atau pelarut lain sebelum dapat bereaksi,
dan sering disebut sebagai bilirubin tidak langsung (indirect bilirubin) (Joy ce,
2007).
Peningkatan kadar bilirubin direct menunjukan adanya gangguan pada hati
berupa kerusakan pada sel hati atau kerusakan pada saluran empedu (batu atau
tumor). Bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dari empedu menuju usus sehinga
akan masuk kembali dan terabsorbsi ke dalam aliran darah. Sedangkan peningkatan
kadar bilirubin indirect sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit
(hemolisis), seperti pada penyakit hemolitik oleh autoimun, transfuse, atau
eritroblastosis fatalis. Peningkatan destruksi eritrosi tidak diimbangi dengan
kecepatan konjugasi dan ekresi ke saluiran empedu sehingga terjadi peningkatan
kadar bilirubin indirect (Joy ce, 2007).
2.6
Parameter Pemeriksaan Fungsi Hati
SGOT merupakan singkatan dari serum glutamic oxaloacetic transaminase.
Beberapa
laboratorium
sering
juga
memakai
istilah
AST
(aspartate
aminotransferase). SGOT merupakan enzim yang tidak hanya terdapat di hati,
melainkan juga terdapat di otot jantung, otak, ginjal dan otot-otot rangka. Adanya
kerusakan pada hati, otot jantung, otak, ginjal dan rangka bisa dideteksi dengan
mengukur kadar SGOT. Pada kasus seperti alkoholik, radang panckeas, malaria,
infeksi lever stadium akhir, adanya penyumbatan pada saluran empedu, kerusakan
otot jantung, orang-orang yang selalu mengonsumsi obat-obatan seperti antibiotik
dan obat TBC, kadar SGOT bisa meninggi, bahkan bisa menyamai kadar SGOT
pada penderita hepatitis.Kadar SGOT dianggap abnormal jika nilai yang didapat 23 kali lebih besar dari nilai normalnya (Bastiansyah, 2008)
SGPT adalah singkatan dari serum glutamic pyruvic transaminase, sering
juga disebut dengan istilah ALT (alanin aminotransferase). SGPT dianggap jauh
lebih spesifik untuk menilai kerusakan hati dibandingkan SGOT. SGPT meninggi
pada kerusakan lever kronis dan hepatitis. Sama halnya dengan SGOT, nilai SGPT
dianggap abnormal jika nilai hasil pemeriksaan 2-3 kali lebih besar dari nilai
normal. (Bastiansyah, 2008).
Enzim Transaminase atau disebut juga enzim aminotransferase adalah
enzim yang mengkatalisis reaksi transaminasi. Terdapat dua jenis enzim serum
transaminase yaitu serum glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT) dan serum
glutamat piruvat transaminase (SGPT). Pemeriksaan SGOT adalah indikator yang
lebih sensitif terhadap kerusakan hati dibanding SGPT. Hal ini dikarenakan enzim
GOT sumber utamanya di hati, sedangkan enzim GPT banyak terdapat pada
jaringan terutama jantung, otot rangka, ginjal dan otak (Cahyono, 2009).
Enzim aspartat aminotransferase (AST) disebut juga serum glutamat
oksaloasetat transaminase (SGOT) merupakan enzim mitokondria yang berfungsi
mengkatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke asam αoksaloasetat membentuk asam glutamat dan oksaloasetat (Price dan Wilson, 1995).
Dalam kondisi normal enzim yang dihasilkan oleh sel hepar konsentrasinya
rendah. Fungsi dari enzim-enzim hepar tersebut hanya sedikit yang diketahui. Nilai
normal kadar SGOT < 35 U/L dan SGPT < 41 U/L. (Daniel S. Pratt, 2010)
Enzim SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan atau intergrasi sel-sel
hati. Adanya peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat
kerusakan sel-sel hati. Makin tinggi peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT,
semakin tinggi tingkat kerusakan sel-sel hati (Cahyono, 2009).
Kerusakan membran sel menyebabkan enzim Glutamat Oksaloasetat
Transaminase (GOT) keluar dari sitoplasma sel yang rusak, dan jumlahnya
meningkat di dalam darah. Sehingga dapat dijadikan indikator kerusakan hati
(Ronald, 2004).
Serum Glutamat Oksalo Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamat
Piruvat Transaminase (SGPT) merupakan enzim transaminase. Enzim SGOT
banyak ditemukan di paru-paru, otot jantung, ginjal eritrosit, otot rangka, panckeas,
tulang dan otak. Sedangkan enzim SGPT banyak terdapat pada hepar dan sedikit
keberadaannya pada jantung, ginjal dan otot rangka. Apabila terjadi kerusakan pada
hepar akan secara langsung memicu peningkatan kadar SGOT dan SGPT.
Kerusakan pada sel-sel hepar menyebabkan pembengkakan inti dan sitoplasma selsel hepar sehingga isi keluar ke jaringan ekstraseluler. Proses tersebut
mengakibatkan keluarnya enzim SGPT dan SGOT ke aliran darah (Ellenc, E., 2006;
Edoardo, G. et al., 2005; dan Rini, 2012).
Aktivitas enzim AST dan ALT dapat ditentukan menggunakan metode
kinetika reaksi enzimatik. Reaksi kinetika enzimatik selain untuk menilai aktivitas
enzim dapat pula digunakan untuk mengukur kadar substrat. Metode reaksi kinetika
enzimatik yang digunakan sesuai dengan IFCC terdiri dari 2 macam. Pertama
disebut juga metode IFCC dengan penambahan reagen pirydoxal phosphate yang
biasa disebut dengan metode “ IFCC with PP” atau “substrat start”, yang kedua
adalah metoda IFCC tanpa penambahan reagen pirydoxal phosphate yang biasa
disebut dengan “sample start” (Lokakarya, 2005).
Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi
elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati
monokromatik dengan molekul atau atom dari suat zat kimia. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorpsi cahaya elektromagnetik jika
frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut.
Elektron yang terikat dan elektron yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu
daerah frekuensi, yang sesuai dengan cahaya ultra violet dan cahaya tampak (UVVis) (Roth et.al, 1994).
Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm dan
dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet (190 – 380 nm),
spektrum vis ( vis = visibel ) bagian sinar tampak (380-780 nm) (Hardjono, 1985).
Pembahasan
Pada pemeriksaan kadar bilirubin ini, percobaan dilakukan pada tiga data
yang dilabeli dengan reagen blank, sampel blank dan sampel. Pada tabung reaksi
yang dilabeli reagen blank, dimasukkan terlebih dahulu larutan reagen 2 lalu
ditambahkan reagen 1, larutan reagen 2 dimasukkan terlebih dahulu karena jumlah
reagen 2 lebih sedikit yaitu sebesar 30 μL daripada jumlah reagen 1 yaitu sebesar
900 μL. Kemudian beralih ke sampel blank yang berisi serum kemudia
ditambahkan reagen 1. Pada tabung reaksi yang dilabeli sampel didalamnya
dimasukkan serum terlebih dahulu dimana serum adalah bagian cair darah yang
tidak mengandung sel-sel darah dan faktor-faktor pembentukan darah. Proteinprotein koagulasi lainnya dan protein yang tidak terkait dengan hemostatis, tetap
berada dalam serum dengan kadar serupa dengan plasma. Apabila proses koagulasi
berlangsung secara abnormal, serum mungkin mengandung sisa fibrinogen dan
produk pemecahan fibrinogen atau protombin yang belum di konvensi (Sacher dan
McPerson, 2012). Kemudian ditambahkan reagen 2 yang jumlahnya lebih sedikit
baru kemudian ditambahkan reagen 2. Fungsi penambahan reagen ini adalah
sebagai akselerator guna mempercepat reaksi dengan membentuk zat warna azo.
Reagen 1 berisi Asam sulfanilat dan HCl sedangkan reagen 2 berisi Natrium nitrit.
Prinsip reaksi yang terjadi pada reagen adalah dimana asam sulfanilat yang
merupakan zat yang digunakan pada pemeriksaan direct bilirubin atau pengukuran
kadar bilirubin terkonjugasi dan direaksikan dengan natrium nitrit menjadi
diazotised sulphanilic acid (DSA) yang nantinya akan bereaksi dengan bilirubin.
Setelah semua tabung isinya tercampurkan, ketiga tabung kemudian didiamkan
selama 5 menit yang tujuannya agar enzim-enzim yang digunakan dalam reaksi
dapat bekerja secara optimal (Sacher dan McPerson, 2012). Lalu setelah 5 menit
tabung reaksi yang dilabeli reagen blank yang merupakan blangko dimana hanya
berisi reagen dan tidak mengandung serum yang digunakan sebagai pembanding
dan bertujuan untuk menghilangkan pengaruh pelarut, sehingga hasil yang didapat
adalah hasil yang sebenarnya, tidak ada pengaruh dari pelarut yang digunakan.
(Sacher
dan
McPerson,
2012).
Reagen
blank
diukur
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 546-550 nm. Kemudian diukur kembali
menggunakan spektrofotometer pada tabung reaksi yang dilabeli sampel blank dan
disusul dengan tabung reaksi yang dilabeli sampel yang berisi serum, reagen 1 dan
reagen 2.
DAFTAR PUSTAKA
Bastiansyah, Eko. (2008). Panduan lengkap : Membaca Hasil Tes Kesehatan.
Penebar Plus: Jakarta.
Cahyono, J.B.S.B. (2009). Gaya Hidup & Penyakit Modern, Kanisius. Yogyakarta
Depkes RI. (2007). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
Edoardo, G. et al. (2005). Liver Enzym Alteration Guide for Clinicans. CMAJ.
Ellenc, E. (2006). Hypoxic Liver Injury. Mayo Clin Proc J.Lokakarya Pendidikan
Berkesinambungan Patologi Klinik. (2005). Departemen Patologi Klinik.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Green, W, Lawrence.et.al. (2003). Health Education Planing A Diagnostik
Approach. The Johns Hapkins University: Mayfield Publishing Company.
Joyce LeFever. (2007). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik.
Edisi 6. EGC: Jakarta.
Nurjanah S. Sirosis hati. (2007). Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pratt, Daniel.S. (2010). Liver Chemistry and function test. In:Feldma M, Friedma,
L.S., Brandt, L.J., eds. Scheisenger and Fordtran’s Gastrointestinal and
Liver disease. Saunders Elsevier, Philadelphia, PA.
Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. Penebit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
Rini. (2012). Aktivitas Hepatoprotektor Dan Toksisitas Akut Ekstrak Akar Alangalang (Imperata cylindrical). Institut Pertanian Bogor Univ: Bogor.
Roth, H.J., et.al. (1994). analisis Farmasi, cetakan kedua, diterjemahkan oleh
Sardjono Kisman dan Slamet Ibrahim. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Sacher, Ronald. A dan Richard A. McPherson. (2004). Tinjauan Klinis Hasil
Pemeriksaan Laboratorium. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Sacher, Ronald A dan Richard A. McPherson. (2012). Tinjauan Klinis Hasil
Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11. EGC: Jakarta.
Sastroamidjojo, Hardjono. (1985). Spektroskopi, Edisi I. Liberty:Yogyakarta.
Sudoyo, A.W. Dkk, (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, ed.IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Urata, Y., Okita, K., Korenaga, K., Uchida, K., Yamasaki, T., Sakaida, I., (2007).
The effect of supplementation with branched chain amino acids in patients
with liver cirrhosis. Hepatol Res.
Download