“PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI” SKRIPSI Oleh : Yanuar Hadi (05110023) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG April, 2009 i “PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI” SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Strata Satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh : Yanuar Hadi (05110023) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG April, 2009 ii “PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI” SKRIPSI Oleh : Yanuar Hadi (05110023) Telah Disetujui Pada Tanggal: 7 April 2009 Oleh : Dosen Pembimbing Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I NIP. 150 267 235 Mengetahui, Ketua Jurusan Pendidikan Islam Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I NIP. 150 267 235 iii “PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI” SKRIPSI Dipersiapkan dan disusun oleh Yanuar Hadi (05110023) Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 14 April 2009 dengan nilai A dan telah dinyatakan diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada tanggal: 14 April 2009. Panitia Ujian Tanda Tangan Ketua Sidang Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I NIP. 150 267 235 :__________________________ Sekretaris Sidang Marno, M.Ag NIP. 150 321 639 :__________________________ Pembimbing Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I NIP. 150 267 235 :__________________________ Penguji Utama :__________________________ Dr. M. Zainuddin, M.A NIP. 150 275 502 Mengesahkan, Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Malang Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony NIP. 150 042 031 iv HALAMAN PERSEMBAHAN Kalaupun karya ini ibarat secawan tirta muksha Maka biarkanlah orang-orang ini yang menenggaknya :Ibu dan Bapakku :Adikku :Calon Isteriku :dan Guruku Siti Amnah dan Khairul Anwar, ibu bapakku, cintanya tiada hingga Jika aku mati, aku yakin di hatinya adalah kuburku yang sebenarnya Ria Rahmita, Fauziah & Naisa Hafiza; adik-adikkku, suadara seumur hidup-Q Mampu menyesatkan dahaga berabadku Anifah, calon isteriku, bidadari yang berselendang bianglala Sesekali mengajakku mendendangkan kidung sorga di garba malam Sementara di taman Firdaus anak-anak bunga bergetar halus menahan malu untuk merekah Guru-Dosen-Q, di hatimu cahaya di atas cahaya merambati segenap tualang panjangku dan, Teman-temann-Q Tarbiyah UIN Malang JIHAD FI SABILILLAH………..!!! v MOTTO tβθãΖÏΒ÷σè?uρ Ìx6Ζßϑø9$# Çtã šχöθyγ÷Ψs?uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tβρâ ß∆ù's? Ĩ$¨Ψ=Ï9 ôMy_Ì÷zé& >π¨Βé& uöyz ΝçGΖä. ãΝèδçsYò2r&uρ šχθãΨÏΒ÷σßϑø9$# ãΝßγ÷ΖÏiΒ 4 Νßγ©9 #Zöyz tβ%s3s9 É=≈tGÅ6ø9$# ã≅÷δr& š∅tΒ#u öθs9uρ 3 «!$$Î/ ∩⊇⊇⊃∪ tβθà)Å¡≈xø9$# Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orangorang yang fasik.” (Q.S. Al-Imran: 10) 1 2& / % &1 0-/ '&. "- $# ,+*) ! $,+*) ( '&% $# " ! '&3 % *3 .= % < ; : 7 65 9 8" 7 65 4 (@7AB 8 %&) “Dari Abu Darda’: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Kelebihan seorang alim dari seorang abid (orang yang suka beribadah) seperti kelebihan bulan pada bintangbintang, dan sesungguhnya para ulama itu pewaris nabi-nabi, mereka (para nabi) tidak mewariskan dinar, tetapi mewarisi ilmu, siapa yang mengambilnya, maka ambillah dengan bagian yang cukup.” (H.R Turrmudzi).Θ Θ Abi Isa Muhammad bin Surah at-Turmudzi, al-Jāmi’ al-Shahīh wa Huwa Sunan al-Turmuzī (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000),.hlm. 478. vi Drs. H. Moh. Padil, M.Pd.I Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang NOTA DINAS PEMBIMBING Hal : Skripsi Yanuar Hadi Lampiran : 4 (Empat) Eksemplar Malang, 7 April 2009 Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang di Malang Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan, baik dari segi isi, bahasa maupun tehnik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa tersebut di bawah ini: Nama : Yanuar Hadi Nim : 05110023 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Judul Skripsi :Profil Guru dan Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali maka selaku pembimbing, kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak diajukan untuk diujikan. Demikian, mohon dimaklumi adanya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing, Drs. H. Moh. Padil, M.Pd.I NIP. 150 267 235 vii Surat Pernyataan Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pasa suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar rujukan. Malang, 7 April 2009 Yanuar Hadi viii KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya. Berkat rahmat dan petunjukNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Judul Skripsi yang diangkat adalah “Profil Guru dan Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali)”. Shalawat serta salam, semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa petunjuk kebenaran, untuk seluruh umat manusia, yang kita harapkan syafaatnya di akhirat kelak. Skripsi ini merupakan salah satu tugas yang wajib ditempuh oleh mahasiswa, sebagai tugas akhir Studi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jurusan Pendidikan Islam. Skripsi ini disusun dengan bekal ilmu pengetahuan yang sangat terbatas dan amat jauh dari kesempurnaan, sehingga tanpa bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka sulit bagi penulis untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa syukur, penulis berterima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H Imam Suprayogo, selaku Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, beserta para staffnya. ix 2. Bapak Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 3. Bapak Drs. H. Moh. Padil, M.Pd.I, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus Dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan . 4. Ayahanda Khairul Anwar dan Ibunda Siti Amnah sebagai pendidik sejati bagi penulis. Juga adik-adik penulis; Ria Rahmita, Fauziah & Naisa Hafiza. 5. Para Guru dan Dosen yang telah mendidik serta membimbing penulis hingga bisa seperti saat sekarang ini 6. Teman-teman dari seluruh penjuru tanah air (khususnya Saokee “Coky” Hayitahe from: “Negeri gajah putih” Thailand, you are my best friend) yang sama-sama mengenyam pendidikan di campus tercinta UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, khususnya Fak. Tarbiyah, Jur. PAI. 7. Segenap pihak yang telah memberi banyak motivasi dan semangatnya dalam pembuatan skripsi ini. Penulis menyadari, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif dari berbagai pihak sangat diharapkan demi terwujudnya karya yang lebih baik di masa mendatang. Ya Allah SWT… Terima Kasih atas segala rahmat dan karuniaMU sehingga hamba dapat menyelesaikan karya ini. Semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang telah membacanya. Kepada kalian semualah Ku-persembahkan karyaku ini. Teman-teman Angkatan 2005 & Almamaterku Tercinta x Sebagai ungkapan terima kasih, penulis hanya mampu berdo’a, semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis, diterima di sisi-Nya dan dijadikanNya sebagai amal shaleh serta mendapatkan imbalan yang setimpal. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Amin... Malang, 7 April 2009 Penulis xi PEDOMAN TRANSLITERASI Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman transliterasi berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: A.Konsonan Tunggal Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه $ ي Nama Alif Bā’ Tā’ Śā’ Jīm Hā’ Khā’ Dāl Żāl Rā’ Zai Sīn Syīn Sād Dād Tā’ Zā’ ‘Ain Gain Fā’ Qāf Kāf Lām Mīm Nūn Wāwu Hā’ Hamzah Yā’ Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangkan B T Ś J H Kh D Ż R Z S Sy S D T Z ‘ G F Q K L M N W H ’ Y xii Tidak dilambangkan S (dengan titik di atas) H (dengan titik di bawah) Z (dengan titik di atas) S (dengan titik di bawah) D (dengan titik di bawah) T (dengan titik di bawah) Z (dengan titik di bawah) Koma terbalik di atas Apostrof Y B. Vokal Vokal bahasa Arab seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan fokal rangkap atau diftong. 1. Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat yang transliterasinya dapat diuraikan sebagai berikut: Tanda َ--ِ--ُ--- Nama Fathah Kasrah Dammah Huruf Latin a i u Nama a i u Contoh Ditulis (َ ِ)ُ+ Munira 2. Vokal Rangkap Vokal rangkap Bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya sebagai berikut: Tanda َ ي--َ و--- Nama Fathah dan ya Kasrah Huruf Latin ai i Nama a dan i i Contoh , َ ْ.َآ ل َ ْ0َه Ditulis Kaifa Haula C. Maddah (vokal panjang) Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya sebagai berikut: Fathah + Alif, ditulis ā َfathah + Alif maksūr ditulis ā ِKasrah + Yā’ mati ditulis ī Dammah + Wau mati ditulis ū Contoh ل َ 1َ2 ditulis Sāla Contoh 3َ4ْ5َ6 ditulis Yas‘ā Contoh 7ْ.ِ8َ+ ditulis Majīd Contoh ل ُ ْ0ُ9َ6 ditulis Yaqūlu D.Ta’ Marbūta h 1. Bila dimatikan, ditulis h: :;ه :6<= Ditulis hibah Ditulis jizyah xiii 2. 3. Bila dihidupkan karena berangkai dengan kata lain, ditulis t: > ا:?4@ E. Syaddah (Tasydīd) Ditulis ni‘matullāh Untuk konsonan rangkap karena syaddah ditulis rangkap: ّة7C Ditulis ‘iddah F. Kata Sandang Alif + Lām 1. Bila diikuti huruf qamariyah atau syamsiyah ditulus alD=(Eا F?GEا Ditulis al-rajulu Ditulis al-Syams G.Hamzah Hamzah yang terletak di akhir atau di tengah kalimat ditulis apostrof. Sedangkan hamzah yang terletak di awal kalimat ditulis alif. Contoh: H.I 7JKL (ت+أ Ditulis syai’un Ditulis ta’khużu Ditulis umirtu H. Huruf Besar Huruf besar dalam tulisan Latin digunakan sesuai dengan ejaan yang diperbaharui (EYD). I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut bunyi atau pengucapan atau penulisannya. :)5E اDأه J. Pengecualian Ditulis ahlussunnah atau ahl al-sunnah Sistem transliterasi ini tidak penulis berlakukan pada: a. Kata Arab yang sudah lazim dalam bahasa Indonesia, seperti: al-Qur’an b. Judul dan nama pengarang yang sudah dilatinkan, seperti Yusuf Qardawi c. Nama pengarang Indonesia yang menggunakan bahasa Arab, seperti Munir d. Nama penerbit Indonesia yang menggunakan kata Arab, misalnya al-bayan xiv DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Gambar b.1: Integrasi Ilmu-ilmu Allah ……………………………………... 69 Tabel 6.1: Konsep Belajar Perspektif Imam al-Ghazali .................................. 75 Tabel 6.2: Lanjutan ......................................................................................... 76 Tabel 6.3: Pendekatan Belajar Perspektif Barat .............................................. 77 Tabel 6.4 Pendekatan Belajar Perspektif Imam al-Ghazali ............................ 78 xv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I : Bukti Konsultasi ....................................................................... Lampiran II : Naskah Kitab Ihya’ Ulumuddin jilid I (Bab Ilmu).................... Lampiran III : Naskah Kitab Ringkasan Ihya’ Ulumuddin (Bab Ilmu) ........... Lampiran IV : Daftar Riwayat Hidup………………………………………... xvi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN JUDUL PENGAJUAN ……………………………………… ii HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v HALAMAN MOTTO ................................................................................... vi HALAMAN NOTA DINAS .......................................................................... vii HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... viii KATA PENGANTAR ................................................................................... ix HALAMAN TRANSLITERASI .................................................................. xi DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv DAFTAR ISI .................................................................................................. xvi ABSTRAK ..................................................................................................... xviii BAB I :PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................... 14 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 14 D. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................... 15 E. Penegasan Istilah ..................................................................... 15 F. Metode Penelitian .................................................................... 16 G. Sistematika Pembahasan …………………………………….. 19 BAB II :KAJIAN PUSTAKA .................................................................. 21 A. Studi Terdahulu ....................................................................... 21 B. Pengertian Pendidik ................................................................. 24 C. Pengertian Anak Didik ............................................................ 27 xvii D. Hubungan Guru dan Murid ..................................................... 29 E. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam ......................................... 32 BAB III :PEMAPARAN HASIL PENELITIAN ..................................... 38 A. Biografi Imam al-Ghazali ........................................................ 38 1. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali .......................................... 38 2. Setting Sosial-politik dan Pengaruhnya bagi Pemikiran Imam al-Ghazali ................................................................... 46 3. Karya-karya Imam al-Ghazali .............................................. 53 4. Klasifikasi Ilmu Perspektif Imam al-Ghazali ....................... 60 5. Pendidikan dalam Pemikiran Imam al-Ghazali .................... 65 6. Konsep pendidikan menururt al-ghazali……………………..70 7. Pengaruh Imam al-Ghazali dalam Dunia Pendidikan .......... 79 B. Profil Guru Dalam Perspektif Imam al-Ghazali ...................... 80 1. Pengertian Guru ................................................................... 80 2. Syarat Kepribadian Guru ..................................................... 82 3. Tugas dan Kewajiban Guru .................................................. 84 4. Kriteria Dalam Memilih Guru .............................................. 85 C. Profil Murid Dalam Perspektif al-Ghazali ................................ 86 1 Pengertian Murid ................................................................... 86 2. Tugas dan Kewajiban Murid ................................................ 86 3. Akhlak Murid Terhadap Guru .............................................. 89 BAB IV :ANALISIS HASIL PENELITIAN ............................................ 90 A. Profil Guru Dalam Perspektif Imam al-Ghazali........................ 90 1. Pengertian Guru .................................................................. 90 2. Syarat Kepribadian Guru .................................................... 97 3. Tugas dan Kewajiban Guru ................................................. 107 xviii 4. Kriteria Dalam Memilih Guru ............................................. 111 B. Profil Murid Dalam Perspektif al-Ghazali ................................ 115 1 Pengertian Murid .................................................................. 115 2. Tugas dan Kewajiban Murid ............................................... 118 3. Akhlak Murid Terhadap Guru ............................................. 125 BAB V :PENUTUP ...................................................................................... 129 A. Kesimpulan ............................................................................. 129 B. Saran ........................................................................................ 131 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xix ABSTRAK Yanuar Hadi. Profil Guru dan Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Drs. H. Moh. Padil, M.Pd.I Pendidikan merupakan masalah penting yang memperoleh prioritas utama sejak awal kehidupan manusia. Bahkan Rasulullah Saw sendiri telah mengisyaratkan bahwa proses belajar bagi setiap manusia adalah sejak ia masih dalam kandungan ibunya, sampai ia sudah mendekati liang kuburnya. Sebagai agama yang mengutamakan pendidikan, maka sepanjang kurun kehidupan umat Islam hingga kini, telah muncul banyak ahli pendidikan yang menyumbangkan buah pikirannya dalam bidang pendidikan. Dan pada umumnya sepakat menyatakan bahwa dari semua unsur pendidikan yang ada, guru dan murid menempati unsur yang utama dan taratas dari yang lain. Penelitian ini memiliki rumusan masalah dan ruang lingkup yang akan membahas mengenai bagaimana profil guru dan murid dalam perspektif Al-Ghazali, sehingga bertujuan untuk mengetahui pandangan Al-Ghazali, tentang profil guru dan profil murid tersebut, serta dapat pula dijadikan rujukan bagi para guru maupun anak didik di masa sekarang ini. Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dan lebih spesifiknya adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode pendekatan historis dan filosofis serta content analisys sebagai pisau analisisnya, kemudian hasil dari penelitian ini disajikan dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; Al-Ghazali memiliki kontribusi yang besar dalam rangka membangun profil guru dan murid yang baik dan sesuai dengan syari’at Islam. Hal ini terlihat dari Bagaimana Imam al-Ghazali memberikan pengertian, syarat, tugas dan kewajiban serta adab yang sejalan dengan tuntutan atau ajaran agama Islam, baik bagi guru maupun murid. Sehingga secara operasional, konsepnya dapat diaplikasikan dan dijadikan alternatif acuan bagi seorang guru maupun murid di masa sekarang, khususnya dalam ruang lingkup pendidikan Islam itu sendiri, namun harus tetap menggunakan bentuk pendekatan baru serta diperlukan penyempurnaan yang searah dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Kata Kunci: profil Guru-Murid xx 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak didik merupakan generasi masa depan, pada diri merekalah harapan dan cita-cita baik bangsa maupun agama terletak. Murid atau anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Murid bukanlah hewan, namun ia adalah manusia yang mempunyai akal. Murid adalah salah satu unsur manusiawi yang sangat penting dalam kegiatan interaksi edukatif. Ia dijadikan pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sebagai pokok persoalan, murid memiliki kedudukan yang menempati posisi yang menentukan dalam sebuah interaksi. Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran murid sebagai subyek pembinaan. Jadi, dari penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, murid merupakan “kunci” yang menentukan untuk mewujudkan terjadinya interaksi edukatif.1 Lapangan pendidikan dimana saja, kegiatan mendidik berlangsung dalam masyarakat modern ini tidak hanya di lingkungan keluarga, namun disekolahpun pendidikan terhadap anak dapat dilaksanakan oleh guru-guru yang bersangkutan. Sekolah disini bahkan merupakan follow up dari pendidikan di lingkungan 1 Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (suatu pendekatan teoritis psiklogis). Jakarta: rineka cipta. 2005, hlm. 51. 1 1 2 keluarga. Pendidikan disekolah ini dapat disebut pendidikan formal, artinya diselenggarakan atas dasar peraturan dan syarat-syarat tertentu serta alat-alat tertentu pula. Di sekolah, pendidikan dan pengajaran dilaksanakan secara bersama-sama, menurut pedoman-pedoman yang telah ditentukan oleh pemerintah maupun pada lingkup yang lebih kecil, yakni pemimpin sekolah yang bersangkutan. Misalnya pedoman mengenai: Kurikulumnya, Alat-alatnya, Organisasi sekolahnya, Sistem serta Metode-Metodenya dan sebagainya.2 Kesemuanya itu diarahkan kepada cita-cita yang diidam-idamkan oleh tujuan murni dari pendidikan itu sendiri. Maka dari itu bagi orang Islam yang mendirikan sekolah, madrasah atau lembaga pendidikan lainnya sudah tentu pedoman-pedomannya ditentukan ke arah usaha mencapai cita-cita yang mulia, yaitu membentuk manusia muslim yang bertanggung jawab atas bangsa dan agamanya untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.3 Dari keseluruhan perangkat pendidikan itu, maka menurut hemat penulis guru dan murid dapat dikatakan menempati peringkat yang utama dari proses pendidikan itu sendiri. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam dari keduanya. Guru-guru yang menjalankan tugasnya mendidik anak sudah tentu harus sanggup menjadi alat dari penyampaian cita-cita kepada anak yang telah diamanahkan kepadanya. Malah bagi guru agama khususnya harus lebih dari itu semua yakin harus sanggup menjadi pendukung sebanar-benarnya akan cita-cita 2 Dr. H. Samsul Nizar, M.A. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:Ciputat Press, 2002), hlm. 25 3 Ibid., hlm. 26 2 3 itu sehingga dirinya dimata anak didiknya betul-betul merupakan personifikasi dari agama yang diajarkannya. Itulah sebabnya guru sebagai pendidik haruslah memenuhi syarat-syarat serta tugas dan tangung jawabnya bagi pendidikan yang dilakukannya tersebut, baik dari segi jasmaniyah maupun rohaniyahnya, sebagaimana yang juga akan diungkapkan oleh penulis pada skripsi ini dalam perspektif al-Ghazali pada bab atau pembahasan selanjutnya. Dalam perspektif pedagogis, murid adalah sejenis makhluk yang menghajatkan pendidikan. Dalam arti ini murid disebut dengan sejenis makhluk “homo educandum”. Pendidikan merupakan keharusan yang diberikan kepada anak didik, ia sebagai manusia berpotensi yang perlu dibina dan dibimbing dengan perantaraan guru. Potensi anak didik yang bersifat laten perlu diaktualisasikan agar mereka tidak lagi dikatakan sebagai “animal educable”, yaitu sejenis hewan yang memungkinkan untuk dididik, tetapi anak didik disini haruslah tetap dianggap sebagai manusia secara mutlak, sebab anak didik memang sejatinya manusia. Ia adalah sejenis makhluk manusia yang terlahir dari rahim seorang ibu. Anak didik adalah manusia yang memiliki potensi akal untuk dijadikan kekuatan agar menjadi manusia susila yang cakap.4 Sebagai manusia yang berpotensi, maka didalam diri murid ada suatu daya yang dapat tumbuh dan berkembang disepanjang usianya. Potensi murid sebagai daya yang tersedia, sedangkan pendidikan sebagai alat ampuh untuk mengembangkan daya tersebut. Bila murid adalah sebagai komponen inti dalam 4 Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag, Op.cit, hlm. 52 3 4 kegiatan pendidikan, maka muridlah sebagai pokok persoalan dalam interaksi edukatif. Sebagai makhluk manusia, anak didik memiliki karekteristik. Menurut Sutari Iman Barnadib, Suwarno, dan Siti Mechati,5 anak didik memiliki karekteristik tertentu, yakni : 1. Belum memiliki pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik (guru) ; atau 2. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi tangung jawab pendidik; 3. Memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu yaitu kebutuhan biologis, rohani, social, inteligensi, emosi, kemampuan berbicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari), latar belakang sosial, latar belakang biologis (warna, kulit, bentuk tubuh, dan lainnya), serta perbedaan individual. Guru perlu memahami karekteristik anak didik sehingga mudah melaksanakan interaksi edukatif, Kegagalan menciptakan interaksi edukatif yang kondusif, berpangkal dari kedangkalan pemahaman guru terhadap karekteristik anak didik sebagai individu. Bahan, metode, sarana/alat, dan evaluasi, tidak dapat berperan lebih banyak, bila guru mengabaikan aspek anak didik. Sebaiknya sebelum guru mempersiapkan tahapan-tahapan interaksi edukatif, guru memahami keadaan 5 . Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. Ibid, hlm. 52 4 5 anak didik. Ini penting agar apat mempersiapkan segala sesuatunya secara akurat, sehingga tercipta interaksi edukatif yang kondusif, efektif, dan efisien.6 Namun sebagaimana yang kita ketahui pada saat sekarang ini banyak generasi muda yang telah kehilangan arah yang benar, kehilangan identitas diri dan lain sebagainya, yang nanti pada akhirnya akan merusak dan menghancurkan bangsa maupun agama itu sendiri. Sebagai contoh, hampir disetiap kelas disekolah selalu ada saja murid (peserta didik) yang jahil, nakal, bandel, sulit untuk dikendalikan, bahkan terlibat dalam aktivitas yang bernuansa kekerasan, baik itu pembentukan kelompok tertentu (gank) dengan maksud yang sering tidak jelas, hingga aplikasi dilapangan dengan adanya tawuran antar murid atau sekolah (sebagaimana yang diberitakan media cetak maupun elektronik). Hal serupa juga ternyata terjadi pada kalangan pendidik, penulis tidak bermaksud memberikan steatmen buruk kepada guru, namun diakui atau tidak bahwa pada fakta dilapangan memang terdapat penyimpangan yang dilakukan sebagian pendidik, meskipun jumlahnya dapat dikatakan sedikit (minoritas), hal ini juga terungkap dan diangkat di media baik cetak maupun elektronik, sebagaimana kenakalan yang terjadi pada pesrta didik. Hal ini sangat ironi, mengingat baik bangsa maupun agama itu sendiri tidak mengingingkan akan terjadinya hal-hal seperti itu. Apabila hal-hal seperti ini dibiarkan tanpa adanya usaha untuk memperbaikinya, maka perlahan-lahan, 6 Ibid., hlm. 53 5 6 lambat-laun baik disadari ataupun tidak akan menjadi suatu tradisi yang buruk yang dapat menjadi permasalahan yang sangat serius bagi dunia pendidikan itu sendiri. Oleh karenanya dibutuhkan usaha bersama dalam menanggulangi persoalan ini agar dapat mencapai maksud dan tujuan pendidikan yang agung dan sangat mulia. Pendidikan sendiri sebagai proses transfer ilmu dan pengetahuan hendaknya tidak hanya berkuantitas, namun juga berkualitas. Tidak hanya didomonasi oleh pelajaran-pelajaran ilmu pengetahuan umum, tapi juga harus di ikuti atau di dasari pengetahuan-pengetahuan mengenai akhlak, moral, budi pekerti, etika dan khususnya dan paling utama adalah pendidikan agama. Untuk itu sebelumnya dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai hakikat pendidik bagi siapa saja yang menginginkan guru sebagai profesi dalam hidupnya, juga pemahaman yang mendalam tentunya tentang hakikat peserta didik bagi siapa saja yang hendak ataupun yang masih dan serta selalu menuntut ilmu, yang kesemuanya dilandasi oleh ajaran agama, khususnya Islam. Karena pendidikan sendiri merupakan salah satu aspek yang sangat sakral dan penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan.7 Karena itu tidak hanya guru (pendidik) yang mempersiapkan diri dengan baik, namun bagi para murid (peserta didik) juga harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. 7 Tim Dosen IAIN Sunan Ampel-Malang. Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: karya abditama, 1996), hlm. 58. 6 7 Salah satu fungsi pendidikan adalah memindahkan nilai-nilai, ilmu dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda untuk melanjutkan dan memelihara identitas masyarakat tersebut. Dalam hal ini bisa dilalui dengan proses pengajaran dan belajar. Dahulu orang menyangka bahwa mengajar sebenarnya tidak lebih dari memindahkan isi kepala seseorang guru, kalaulah ilmu itu ada di kepala, kepada kepala seseorang atau beberapa murid. Dengan demikian terjadilah proses belajar. Dengan kata lain belajar sebenarnya, tidak ubahnya seperti memindahkan isi suatu keranjang kepada keranjang-keranjang lain.8 Hasan Langgulung menyebutkan bahwa dalam pendidikan mengandung dua aspek, Pertama: Aspek mengajar dan Kedua: Aspek belajar. Aspek mengajar itu hanyalah suatu cara untuk memantapkan proses belajar itu. Sedangkan proses belajar berlaku apa sebanarnya yang terjadi pada manusia.9 Di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 37 ayat (1) ditegaskan bahwa: Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.10 8 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husana, 1988), hlm. 250 9 Ibid., hlm. 23 10 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS (Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm. 25-26. 7 8 Dalam masa sekarang ini, setiap sekolah memerlukan guru yang tidak hanya profesional, namun juga memiliki spiritual (religius) yang baik, sehingga masingmasing anak didik akan mendapat pendidikan dan pembinaan dari berbagai orang guru yang mempunyai kepribadian dan mental yang baik pula. Setiap guru akan mempunyai pengaruh terhadap anak didik, pengaruh tersebut akan terjadi melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukan baik dengan sengaja, maupun tidak sengaja oleh guru, melalui sikap, gaya, dan macam-macam penampilan kepribadian guru. Dapat dikatakan, bahwa kepribadian guru akan lebih besar pengaruhnya dari pada kepandaian dan ilmunya, terutama bagi anak didik yang masih dalam usia kanak-kanak dan masa meningkat remaja, yaitu tingkat pendidikan dasar dan menengah, karena anak didik pada tingkat tersebut masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Oleh karena itu, setiap guru hendaknya mempunyai kepribadian yang patut dicontoh dan diteladani oleh anak didik, baik secara sengaja ataupun tidak. Guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran, yang ikut bertanggung jawab dalam mendidik dan mengajar, membantu anak untuk mencapai kedewasaan.11 Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak terbatas di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, mushala, di rumah dan sebagainya. 11 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 62. 8 9 Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Peranan dan kewibawaan yang menyebabkan seorang guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragukan figur seorang guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang mendidik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia. Guru adalah komponen yang penting dalam pendidikan, yakni orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, dan bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam rangka membina anak didik agar menjadi orang yang bersusila yang cakap, berguna bagi nusa dan bangsa di masa yang akan datang. Pandangan tentang citra guru sebagai orang yang wajib digugu (dipatuhi) dan ditiru (diteladani) seharusnya tidak perlu diragukan kebenarannya, konsep keguruan klasik tersebut mengandaikan pribadi guru serta perbuatan kependidikan atau keguruan adalah tanpa cela, sehinga pantas hadir sebagai manusia model yang ideal. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, guru wajib digugu dan ditiru tersebut perlu disikapi secara kritis dan realistis. Benarlah bahwa guru dituntut menjadi tauladan bagi siswa dan orang-orang sekelilingnya, tetapi guru adalah orang yang tidak pernah bebas dari cela dan kelemahan, justru salah satu keutamaan guru hendaknya diukur dari kegigihan usaha guru yang bersangkutan untuk menyempurnakan diri dan karyanya. Guru yang sempurna, ideal, selamanya tetap merupakan suatu cita-cita. 9 10 Atas pemikiran di atas, maka upaya menyiapkan tenaga guru merupakan langkah utama dan pertama yang harus dilakukan. Dalam arti formal tugas keguruan bersikap profesional, yaitu tugas yang tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang.12 Dalam artian, guru tersebut harus mempunyai kemampuan untuk mengerahkan dan membina anak didiknya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang luhur dan bermanfaat menurut pandangan agama. Pendidik yang pertama dan utama adalah orang tua (ayah dan ibu), karena adanya pertalian darah yang secara langsung bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses anaknya merupakan sukses orang tua juga. Orang tua disebut pendidik kodrati. Apabila orang tua tidak punya kemampuan dan waktu untuk mendidik, maka mereka menyerahkan sebagian tanggungjawabnya kepada orang lain atau lembaga pendidikan yang berkompetensi untuk melaksanakan tugas mendidik. Seorang guru dituntut mampu memainkan peranan dan funginya dalam menjalankan tugas keguruannya. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, membagi tugas guru ada dua; Pertama, membimbing anak didik mencari pengenalan terhadap kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya. Kedua, menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu suatu keadaan dimana tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan hasil memuaskan. 12 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1. 10 11 Untuk menjadi guru yang profesional tidaklah mudah, karena ia harus memiliki berbagai kompetensi keguruan. Kompetensi dasar bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya. Pontensi dasar itu adalah milik individu sebagai hasil proses yang tumbuh karena adanya inayah Allah SWT, personifikasi ibu waktu mengandung dan situasi yang mempengaruhinya baik langsung maupun melalui ibu waktu mengandung atau faktor keturunan. Hal inilah yang digunakan sebagai pijakan bagi individu dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dalam ajaran Islam, guru mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang amat tinggi. Penghormatan dan kedudukan yang tinggi ini amat logis diberikan kepadanya, karena dilihat dari jasanya yang demikian besar dalam membimbing, mengarahkan, memberikan pengetahuan, membentuk akhlak dan menyiapkan anak didik agar siap menghadapi hari depan dengan penuh keyakinan dan percaya diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi dengan baik. Sifat yang dimiliki guru adalah harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak sesuai dengan pendapat Mohammad Athiyah Al-Abrosyi, salah satu dari mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: ∩⊄⊇∪ tβρ߉tGôγ•Β Νèδuρ #\ô_r& ö/ä3é=t↔ó¡o„ ω tΒ (#θãèÎ7®?$# 11 12 Artinya: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepada-Mu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Yasin: 21)13 Ini tidak berarti bahwa seorang guru harus hidup miskin, melarat, dan sengsara, melainkan boleh ia memiliki kekayaan sebagaimana lazimnya orang lain dan ini tidak berarti pula bahwa guru tidak boleh menerima pemberian atau upah dari muridnya, melainkan ia boleh saja menerimanya pemberian upah tersebut karena jasanya dalam mengajar, tetapi semua ini jangan diniatkan dari awal tugasnya. Pada awal tugasnya hendaklah ia niatkan semata-mata karena Allah. Dengan demikian, maka tugas guru akan dilaksanakan dengan baik, apakah dalam keadaan punya uang atau tidak ada uang. Penulis sendiri menjadikan Imam al-Ghazali sebagai tokoh central dalam penelitian ini karena selain karena memiliki banyak karya (kitab/buku-buku karangan beliau, maupun hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang beliau) sehingga memudahkan peneliti dalam memperoleh informasi dan data, dan beliau telah popular dikalangan umat Islam (termasuk dalam dunia pendidikan Islam khususnya), kemudian Imam al-Ghazali juga memiliki pandangan yang berbeda dengan para ahli pendidikan yang lain mengenai tujuan pendidikan. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang.14 13 14 DEPAG RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit., hlm 708. Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 162. 12 13 Selanjutnya Imam al-Ghazali juga mengklasifikasi ilmu menjadi beberapa karakteristik, diantaranya ilmu menurut beliau dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Ilmu sebagai obyek memiliki tiga bagian, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu. Dari ketiga ilmu ini kemudian Imam al-Ghazali membagi lagi dalam dua kelompok: ilmu yang fardlu ‘ain dan ilmu yang fardlu kifayah. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pada pembahasan/bab selanjutnya. Kemudian dijumpai pula pendapat al-Ghazali bahwa hendaknya seorang guru tidak mengharapkan imbalan, balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.15 Mengenai masalah gaji guru, menurutnya, sosok guru ideal adalah yang memiliki motivasi mengajar yang tulus ikhlas. Dalam mengamalkan ilmunya semata-mata untuk bekal di akhirat bukan untuk dunianya, sehingga tidak mengharapkan imbalan, dan menjadi panutan serta mengajak pada jalan Allah dan mengajar itu harganya lebih tinggi dari pada harta benda. Selanjutnya menurut pendapat al-Ghazali, untuk menjadi murid yang baik yaitu yang dapat memenuhi tugas yang dibebankan padanya, salain bertakwa kepada Allah, bersih jasmaninya, baik akhlaknya dan suci jiwanya, seorang juga hendaknya menanamkan niat yang benar dalam metuntut ilmu.16 15 Al-Ghazali, Terj., Zeid Husein Al-Hamid, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Cet II, (Jakarta: Puastaka Amani, 2007), hlm. 15. 16 Ibid., hlm. 11 13 14 Dengan melihat sekilas pemaparan atau uraian tentang profil guru, bahwa sosok guru adalah hal yang paling penting serta yang utama dalam pendidikan, begitu juga sosok murid sangat urgen dalam pandangan dan pemikiran AlGhazali. Oleh karena itu, sangat relevan kiranya untuk diuji keutamaannya, karena masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda dalam sebuah karya ilmiah yang bersifat analisis kritis dalam judul: “PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang penulis ungkapkan meliputi: 1. Bagaimana profil guru dalam perspektif Imam al-Ghazali ? 2. Bagaimana profil murid dalam perspektif Imam al-Ghazali ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelititan ini adalah: 1. Untuk mengetahui profil guru dalam perspektif al-Ghazali 2. Untuk mengetahui profil murid dalam perspektif al-Ghazali Sedangkan kegunaan dari penelitian ini antara lain: 1. Dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan atau masukan sekaligus sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga pendidikan dalam 14 15 meningkatkan prestasi belajar murid maupun para guru itu sendiri dalam pelaksanaan pendidikan (termasuk Pendidikan Agama Islam) 2. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai pijakan pendidikan Agama Islam dalam pengembangan pendidikan Agama Islam khususnya bagi tenaga pengajar dan peserta didik 3. Untuk menambah wawasan praktis sebagai pengalaman bagi penulis sesuai dengan disipilin ilmu yang telah penulis tekuni selama ini D. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan judul yang penulis angkat dalam karya ilmiah skripsi ini, maka penelitian ini difokuskan pada obyek kajian tentang profil guru dan juga pembahasan tantang profil murid dalam perspektif al-Ghazali. E. Penegasan Istilah Profil : Keterangan / penjelasan diri, sosok, Figure (bahasa Inggris); perawakan; postur; bangun badan; tipe; bentuk; wujud; sosok; tokoh; gambar.17 Profil Guru : Figur atau wujud (sosok) garis-garis besar sifat dan ciri Atau keterangan/ penjelasan diri sosok seorang guru. Profil Murid : Figur atau wujud (sosok) garis-garis besar sifat dan ciri keterangan / penjelasan diri sosok seorang murid. Al-Ghazali : Salah seorang tokoh pemikir di dalam dunia Islam yang 17 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Banny, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 177. 15 16 dikenal sebagai seorang teolog, filosof dan sufi, yang hidup di pemerintahan Bani Saljuk. Dilahirkan tahun 1059 Masehi/450 Hijriyah di Thusia, yang nama lengkapnya ialah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Kualitatif a. Pendekatan Historis, yaitu pendekatan untuk mengkaji biografi AlGhazali dalam karyanya, khususnya yang berkaitan dengan profil seorang guru dan profil seorang murid. b. Pendekatan Filosofis, yaitu pendekatan yang mengkaji pemikiran AlGhazali secara kritis, evaluatif reflektif yang berkaitan dengan profil seorang guru dan profil seorang murid serta. Sehingga meskipun terdapat dua pembahasan, dengan pendekatan ini akan ditemukan benang merahnya, yakni hubungan timbal balik diantara guru dan murid tersebut. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku atau sumber kepustakaan lain. Maksudnya, data dicari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari bukubuku yang relevan dengan pembahasan. 16 17 Kegiatan studi termasuk kategori penelitian kualitatif dengan prosedur kegiatan dan teknik penyajian finalnya secara deskriptif.18 Maksudnya, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran utuh dan jelas tentang profil seorang guru profil seorang murid menurut Al-Ghazali. 3. Sumber dan Jenis Data Yang dimaksud sumber data adalah subjek dimana data itu diperoleh, dalam hal ini dibedakan menjadi dua jenis sumber data, yaitu; 1). Sumber Data Primer, yaitu berupa buku karya Imam Al-Ghazali yaitu: “Ihya’ Ulumuddin” jilid pertama. 2). Sumber Data Sekunder, yaitu buku-buku karya lain yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali yang mendukung dari data primer yang disebutkan diatas. Diantaranya adalah Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, Fatihatul Ulum (Buat Pecinta Ilmu), Jalan Mudah Menggapai Hidayah; 40 prinsip agama, Menuju Labuhan Akhirat. 3). Sumber Data Penunjang, yaitu buku-buku selain pada data primer dan sekunder karya pengarang lainnya (selain Imam al-Ghazali) yang tentunya masih relevan dengan pokok permasalahan yang menjadi kaitan dalam skripsi ini, yaitu seperti. Menjadi Guru Profesional, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, Filsafat Islam, Asas-Asas Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan 18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), Cet. XIX, hlm. 6. 17 18 dalam Perspektif Islam, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Manusia dan Pendidikan dan lain sebagainya. 4. Metode Pengumpulan Data Sumber data baik data primer maupun sekunder diperoleh melalui penelitian pustaka (library research) yaitu dengan menelusuri buku-buku atau tulisan-tulisan tentang Al-Ghazali. serta buku-buku lain yang mendukung pendalaman dan ketajaman analisis. 5. Metode Analisis Data Analisis data merupakan bagian yang terpenting dalam metode ilmiah, karena dengan analisislah data tersebut dapat berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Analisis data kualitatif yang digunakan dalam skripsi ini berupa kata-kata bukan berupa angka-angka yang disusun dalam tema yang luas. Dalam menganalisis data setelah terkumpul penulis menggunakan metode Content Analisys, yaitu analisis yang dilakukan langsung terhadap satuan-satuan isi pada setiap data yang diperoleh atau digunakan,19 untuk kemudian dipaparkan secara Diskriptif yaitu mendiskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok pembicaraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor sifat-sifat serta hubungan dua fenomena yang 19 Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. (Jakarta: Obor Indonesia, 2008); hlm. 31. 18 19 diselidiki. Dari sinilah akhirnya diambil sebuah kesimpulan umum yang semula berasal dari data-data yang ada tentang obyek permasalahannya.20 G. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan yaitu rangkaian pembahasan yang tercakup dalam isi skripsi, dimana yang satu dengan yang lain saling berkaitan sebagai satu kesatuan yang utuh, yang merupakan urutan-uruatan tiap bab. Agar memperoleh gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh mengenai pembahasan ini. Secara global akan penulis perinci dalam sistematika pembahasan ini sebagai berikut: Bab pertama, Pendahuluan, yaitu sebagai gambaran umum mengenai seluruh isi skripsi yang dijabarkan dalam berbagai sub bab yaitu; latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Pada bab dua akan memuat biografi Imam al-Ghazali, karya-karyanya dan pemikiran Imam al-Ghazali tentang profil seorang guru. Selanjutnya pada bab tiga akan memuat pemikiran atau pandangan Imam alGhazali tentang profil seorang murid . Kemudian masuk pembahasan inti yaitu bab empat, membahas tentang bagaimana hubungan timbal balik antara seorang guru dan murid menurut Imam al-Ghazali, dan memuat pula tujuan pendidikan dalam perspektif beliau, yang 20 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1987), hlm. 36-42. 19 20 pada prosesnya pendidikan tersebut adalah merupakan interaksi antara pendidik (guru) dan anak didik (murid). Akhirnya pembahasan seluruh skripsi ini ditutup dengan kesimpulan dan saran-saran oleh penulis sendiri dalam bab lima. 20 21 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Beberapa Studi Tentang Pemikiran Imam al-Ghazali Studi tentang pemikiran Imam al-Ghazali telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Hal ini membuktikan bahwa Imam al-Ghazali (khususnya di kalangan umat Islam) sangat berpengaruh, dicintai dan bahkan diagungagungkan, pada satu sisi. Namun demikian, pada sisi lain, Imam al-Ghazali dituding sebagai salah satu dari keterpurukan umat Islam saat itu. Sebab, menurut M. Zainuddin, sufisme yang didengung-dengungkan oleh Imam al-Ghazali, dituduh sebagai penghambat kemajuan zaman sehingga tidak mengherankan kalau kemudian beliau harus bertanggung jawab atas ketertinggalan dan kemunduran umat Islam.21 Berkaitan dengan itu, terdapat beberapa literatur hasil penelitian yang dapat dikemukakan di sini, antara lain: Visiting Post Doctorate Program Abuddin Nata yang sudah dibukukan dengan judul Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali. Karya ini membahas tentang pola hubungan guru-murid yang bernuansa moral-sufistik. Bahwa pola hubungan guru-murid menurut al-Ghazali adalah pola hubungan yang bersifat kemitraan 21 M. Zainuddin, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm. 2-3. 21 21 22 yang didasarkan pada nilai-nilai demokratis, keterbukaan, kemanusiaan dan saling pengertian.22 Siti Fatchurohmah dalam skripsinya berjudul: Sosok Guru menurut al-Ghazali dan Zakiah Daradjat melihat bahwa seorang guru itu harus bertanggungjawab dalam hal pendidikan dan pengajaran. Di samping itu, guru juga bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan, dan menjernihkan hati serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Guru tidak boleh meminta imbalan dalam arti bahwa motifasi yang harus dipegang adalah semata-mata karena Allah.23 Sedangkan Rusdianto dalam skripsinya berjudul: Pendekatan Dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali (Kajian Kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati alMuta‘allimīn wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi) memandang bahwa pendekatan dalam proses belajar adalah pendekatan yang penuh dengan nuansa teosentris. Hal ini dibuktikan dengan pandangannya (yang mengutip dari al-Ghazali) tentang belajar yang bernilai adalah apabila diniatkan untuk beribadah kepada Allah, dan motivasi dalam belajar harus demi menghidupkan syari’at Nabi dan menundukkan hawa nafsu. Kemudian, siswa juga harus memperhatikan kesucian jiwanya, dan karena itu, ia harus menelaah ilmu agama dan ilmu tauhid, perkataan 22 Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf AlGhazaliI (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 3. 23 Siti Fatchurohmah, “Sosok Guru Menurut al-Ghazali dan Zakiah Daradjat”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2006, hlm. 131. 22 23 dan perbuatannya harus sama dengan syara’, lebih memilih fakir dan menjauhi kehidupan dunia, ikhlas, tawakkal, dan tidak meninggalkan shalat tahajjud. Siswa juga harus memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, bersikap patuh dan tunduk terhadap guru dalam segala hal, tidak boleh berdebat, tidak boleh menjadi juru mau’izah, tidak bergaul dengan kalangan eksekutif, serta berbuat baik terhadap Allah dan sesama manusia. Di samping itu, siswa juga harus mengamalkan ilmu yang diperolehnya sebab ilmu tanpa diamalkan adalah kegilaan dan beramal yang tidak didasari oleh ilmu pengetahuan adalah sia-sia. 24 Sementara Syarkowi mengkaji arah sistem pendidikan Islam dalam perspektif al-Ghazali dalam konteks saat ini. Dalam skripsinya Reorientasi Pendidikan Islam (ke Arah Aktualisasi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali dalam Konteks Pendidikan Masa Kini), ia mengatakan (menjelaskan) bahwa sistem pendidikan Islam dalam konteks masa kini harus diarahkan pada pencarian fomat baru menuju sistem ideal pendidikan Islam. Yaitu dengan menggunakan nilai-nilai Islam sebagai sudut pandang secara menyeluruh: kebahagiaan dunia akhirat.25 Menurut hemat penulis, beberapa karya di atas saling mendukung satu sama lain, sehingga penulis ingin menghimpun sekaligus melengkapinya sehingga menjadi sebuah konsep yang jelas dan lengkap perihal pendidikan bagi anak didik khususnya dalam menuntut ilmu atau belajar. Untuk itu, peneliti mencoba 24 Rusdianto, Pendekatan Dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali (Kajian Kitab Ayyuhā alWalad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2006, hlm. 120. 25 Syarkowi, Reorientasi Pendidikan Islam (ke Arah Aktualisasi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali dalam Konteks Masa Kini)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2005, hlm. 154. 23 24 melakukan penelitian tentang konsep pendidikan dalam perspektif al-Ghazali. khususnya yang terdapat dalam kitab-kitab karyanya seperti Ihya’ Ulumuddin (jilid 1), dan beberapa kitab (buku) lain yang berkenaan dengannya . Dan karena itu, topik penelitian dalam skripsi ini mempunyai kerangka dan bingkai tersendiri yang memiliki perbedaan dengan kajian yang sebelumnya. Pada penelitian ini dipaparkan tentang konsep pendidikan dalam perspektif al-Ghazali mulai dari hakikat ilmu serta arti pentingnya ilmu yang bermanfaat dan tidak bermanfaat (fardhu ‘ain dan fardhu kifayah), adab pelajar, adap pendidik, cara mendidik dalam Islam. Selain itu juga akan dipaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses belajar. B. Pengertian Pendidik Dari segi bahasa, makna pendidik, sebagaimana dijelaskan oleh WJS. Poerwadarmita adalah orang yang mendidik.26 Pengertian ini terlihat jelas memberi kesan bahwa guru adalah orang yang melakukan kegiatan dengan memberi atau mengajarkan sesuatu (ilmu pengetahuan) kepada obyek didik (murid) dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Inggris dijumpai pula beberapa kata yang berdekatan artinya dengan guru. Kata tersebut seperti teacher yang diterjemahkan sebagai pendidik atau pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi atau guru yang mengajar dirumah.27 Selanjutnya dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan juga oleh Abuddin Nata, juga ditemui kata ustadz, mudarris, 26 WJS. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 250. John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 560608 27 24 25 mu’allim dan mu’addib. Kata ustadz jamaknya asatidz yang berarti teacher (guru), professor dalam gelar akademik, jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis dan penyair. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih) dan lecturer (dosen). Kemudian kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), pengajar ilmu. Dan kata mu’addib yang berarti pembina adab (akhlak), trainer (pemandu) dan educator in koranic school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).28 Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tapi bisa juga di masjid, surau atau mushala, di rumah dan sebagainya.29 Menurut Hadari Nawawi, guru adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau di kelas. Secara lebih khusus lagi, ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.30 Beberapa kata tersebut di atas secara keseluruhan terhimpun dalam pengertian pendidik (guru), karena seluruh kata tersebut mengacu kepada seseorang yang 28 Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 61. 29 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta), 1999, hlm. 31. 30 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op.cit., hlm. 62. 25 26 memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan ataupun pengalaman kepada orang lain (obyek didik). Kata-kata yang bervariasi tersebut sekaligus menunjukkan adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan di mana ilmu pengetahuan, keterampilan dan semacamnya diberikan. Jika ilmu pengetahuan dan keterampilan tersebut diberikan di sekolah disebut teacher, di perguruan tinggi disebut lecturer atau professor, dirumah-rumah secara privat (pribadi) disebut tutor, di pusat-pusat latihan instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan agama disebut eductor. Adapun pengertian guru (pendidik) menurut istilah yang lazim digunakan di masyarakat telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Ahmad Tafsir misalnya, mengatakan bahwa pendidik dalam Islam, sama dengan teori di barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Namun beliau selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam, orang yang pertama paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah-ibu) anak didik sendiri. Tanggung jawab itu disebabkan sekurangnya oleh dua hal: pertama karena kodrat, yakni karena orang tua ditakdirkan bertanggung jawab secara langsung mendidik anak-anaknya, kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya tersebut adalah juga merupakan keberhasilan orang tua.31 Dari penjelasan tersebut 31 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984), hlm. 74 26 27 berarti guru (pendidik) menempati posisi kedua setelah orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dengan demikian , dapat disimpulkan bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal (kelompok-grup), disekolah maupun diluar sekolah. C. Pengertian Anak Didik Dilihat dari segi kedudukannya, murid (anak didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya32. Sebagai makhluk manusia, anak didik memiliki karakteristik. Menurut Sutari Iman Barnadib, Suwarno, dan Siti Mechati, anak didik memiliki karakteristik tertentu, yaitu: 1. Belum memiliki pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik (guru); atau 2. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik. 3. Memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu, yaitu kebutuhan biologis, rohani, social, intelegensi, emosi, kemampuan berbicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari), latar belakang 32 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 144. 27 28 sosial, latar belakang biologis (warna kulit, bentuk tubuh dan lainnya), serta perbedaan individual.33 Dalam bahasa Arab dikenal istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti murid itu sendiri, dan thalib al-‘ilm yang menuntut ilmu, pelajar ataupun mahasiswa34 ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaannya. Pada sekolah yang tingkatannya rendah seperti Sekolah Dasar (SD) digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangakan pada sekolah yang tingkatannya lebih tinggi seperti SLTP, SLTA dan perguruan tinggi digunakan istilah thalib al-‘alm. Berdasarkan pengertian di atas, maka murid (anak didik) dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan. Dalam pandangan Islam sendiri, hakikat ilmu berasal dari Allah Swt, sedangkan proses untuk memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru (pendidik). Karena ilmu itu dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang anak didik untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Swt dengan beribadah, serta juga menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia, yang baik dan disenangi oleh Allah Swt, sekaligus tentunya sedapat mungkin berusaha keras 33 Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. 2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif: suatu pendekatan teoritis psikologis. (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 52. 34 Dr. H. Abuddin Nata, M.A. op. cit., hlm.79 28 29 untuk menjauhi perbuatan buruk dan segala sesuatu yang dilarang (tidak di sukai) oleh Allah Swt. Dalam hal ini muncullah aturan normative tentang perlunya kesucian jiwa bagi seseorang yang akan atau sedang menuntut ilmu, sebab ia sedang mengharapkan ilmu pengetahuan yang merupakan anugrah Allah Swt. Hal ini pulalah yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali yang akan dibahas lebih lanjut oleh penulis dalam pembahasan tentang profil murid dalam karya ilmiah skripsi ini. D. Hubungan Antara Guru dan Murid Proses pendidikan pada dasarnya adalah merupakan interaksi antara pendidik (guru) dan anak didik (murid) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan35. Dalam konteks umum tujuan pendidikan tersebut antara lain mentrasmisikan ilmu dan pengalaman dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan menekankan pengalaman dari seluruh masyarakat, bukan hanya pengalaman pribadi perorangan. Pengalaman masyarakat tersebut dapat berupa cerita rakyat, tradisi, adat-istiadat, syair ataupun dalam bentuk lainnya. Defenisi ini sejalan dengan pendapat John Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup dan juga pembahasan pengalaman hidup itu sendiri36. Sedangkan dalam konteks Islam, pendidikan dapat diartikan sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan yang akan ditinggalkan generasi tua, memindahkan 35 Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, (bandung: remaja rosdakarya, 1997), hlm. 191. 36 Ibid, hlm. 41. 29 30 pengetahuan dan nilai-nilai ajaran agama yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan menuai hasilnya kelak di akhirat37. Dalam redaksi yang lebih lengkap tujuan pendidikan Islam merupakan program bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, intuisi dan sebagainya) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kearah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi yang sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri38. Dari semua pengertian pendidikan dan tujuannya sebagaimana disebutkan diatas, terlihat adanya subyek didik (guru) yang memberikan bimbingan, arahan dan ajaran tersebut. Guru berfungsi sebagai fasilitator dan penunjuk jalan kearah penggalian potensi anak didik (murid), dan murid sebagai obyek yang diarahkan dan digali potensi yang dimilikinya. Lebih lanjut menurut konsep pendidikan klasik, guru atau pendidik adalah ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan juga sebagai contoh atau model nyata dan pribadi yang ideal. Sedangkan murid posisinya sebagai penerima bimbingan, arahan dan ajaran yang disampaikan oleh guru. Dengan penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa dalam proses pendidikan intinya harus ada tiga unsur, yaitu pendidik (guru), anak didik (murid) dan tujuan pendidikan. Ketiga hal tersebut membentuk suatu triangle, yang apabila hilang 37 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’araif, 1980), hlm. 944. 38 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hlm. 23. 30 31 salah satu komponennya, hilang pulalah hakikat dari pendidikan Islam tersebut. Sehingga ketiganyalah (terutama guru dan murid) yang mempunyai peranan penting sekaligus juga kunci dalam kegiatan pendidikan. Meskipun tanpa kelas, gedung serta peralatan khusus dan sebagainya, proses pendidikan masih tetap dapat berjalan walau dalam keadaan darurat (kritis) sekalipun. Namun tanpa guru dan murid, proses pendidikan hampir pasti tidak mungkin dapat berjalan. Persoalan selanjutnya bagaimanakah agar proses pendidikan yang ada pada intinya merupakan interaksi antara guru dan murid tersebut dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan sejak awal. Untuk menjawab masalah ini menurut hemat penulis adalah terletak pada kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh keduanya, yakni guru dan murid tersebut. Belajar mengajar sendiri adalah sebuah interaksi yang bernilai normatif. Belajar mengajar adalah sesuatu proses dalam pendidikan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan. Tujuan adalah sebagai pedoman kearah mana pendidikan akan dibawa melalui proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar akan disebut sukses bilamana hasilnya mampu membawa perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap, khususnya dalam diri anak didik (murid)39. Interaksi belajar mengajar dikatakan bernilai normatif karena didalamnya terdapat sejumlah nilai-nilai. Jadi, adalah wajar apabila interaksi itu kemudian 39 Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 12. 31 32 dianggap bernilai edukatif. Bagaimana sikap dan tingkah laku guru yang edukatif?, tentu guru yang dengan sadar berusaha sebaik mungkin untuk berupaya mengubah akhlak, sikap, adab perilaku dan perbuatan anak didik menjadi lebih baik, bermoral, beretika dan bersusila, serta membawa anak didiknya menjadi lebih dekat kepada sang pencipta, yaitu Allah SWT. Inilah yang juga dimaksudkan oleh Imam al-Ghazali sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya tentang profil seorang pendidik (guru). Pada akhirnya dalam interaksi edukatif tersebut, unsur guru dan murid haruslah aktif, tidak akan terjadi dengan baik proses interaksi edukatif bila hanya salah satu dari kedua unsur itu yang aktif. Aktif dalam arti sikap, mental, adab perbuatan keduanya. Malah dalam sistem pengajaran dengan pendekatan keterampilan proses yang diterapkan saat sekarang ini, anak didik (murid) diharuskan lebih aktif dari pada guru. Guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator. Dengan demikian hubungan guru dan murid dalam interaksi kegiatan belajar mengajar yang dimaksudkan penulis disini dapatlah mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri dengan baik dan benar, tentunya juga sesuai serta sejalan dengan ajaran (syari’at) agama Islam. E. Dasar Dan Tujuan Pendidikan Islam Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan awal. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan 32 33 Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw (hadits).40 Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai pedoman, al-Qur’an tidak ada keraguan padanya (Q.S. AlBaqarah/2:2). Ia tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya (Q.S. ArRa’d/15:9), baik dalam pembinaan aspek kehidupan spiritual maupun aspek sosial budaya dan pendidikan. Demikian pula dengan kebenaran hadits sebagai dasar kedua bagi pendidikan islam. Secara umum, hadits difahami sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan serta ketetapannya. Kepribadian rasul sebagai uswat al-hasanah yaitu sebagai contoh suru tauladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab/33:21). Oleh karena itu, perilakunya senantiasa terpelihara dan dikontrol oleh Allah Swt (Q.S. AnNajm/53:34).41 Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama, menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an 40 Dr. H. Samsul Nizar, M.A. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:Ciputat Press, 2002), hlm. 34 41 Ibid., hlm. 35 33 34 dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya. Kedua, menyimpulkan metode pendidikan Islam dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, serta pendidikan keimanan yang pernah dilakukan oleh beliau.42 Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut Sa’id Ismail Ali – sebagiamana juga dikutip Langgulung dan Samsul Nizar- terdiri atas enam macam, yaitu; al-Qur’an, sunnah, qaul al-shahabat, masalih al-mursalah, ‘urf, dan pemikiran hasil ijtihad para intelektual muslim.43 Seluruh rangkaian dasar tersebut secara hierarki menjadi acuan pelaksanaan sistem pendidikan Islam. Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu; 1. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. 2. Sifat-sifat dasar manusia 3. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan 4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal islam. Dalam aspek ini, setidaknya ada tiga macam dimensi ideal islam, yaitu; a. Mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan manusia di muka bumi. 42 Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm. 47 43 Dr. H. Samsul Nizar, M.A. Op.cit., hlm. 36 34 hidup 35 b. Mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik. c. Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirat al-hasanah).44 Berdasarkan batasan di atas, para ahli pendidikan (muslim) mencoba merumuskan tujuan pendidikan Islam. Diantaranya al-Syaibani, mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.45 Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah anak didik, baik ruh, fisik, kemauan dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh, serta juga mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai kahlifah fi al-ardh.46 Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya. Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly –sebagaimana juga yang dikutip Samsul Nizar-, tujuan pendidikan Islam berdasarkan al-Qur’an meliputi; 1. Menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tangungjawabnya dalam kehidupan ini. 44 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 120. Omar Muhammad Al-Thoumy Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 410 46 Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), hlm. 67 45 35 36 2. Menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggungjawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. 3. Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta. 4. Menjelaskan hubungannya dengan Khaliq sebagai pencipta alam semesta.47 Konsepsi di atas secara global mengisyaratkan bahwa ada dua kematian yang perlu direlisasikan dalam praktek pendidikan Islam, yaitu dimesti dialektika dalam praktek pendidikan Islam, yaitu dimesti dialektika horizontal dan dimesti ketundukan vertikal. Pada dimesti dialetika horizontal, pendidikan Islam hendaknya mampu mengembangkan realitas kehidupan, baik yang menyangkut dengan dirinya, masyarakat, mampu alam semesta beserta segala isinya. Sementara dalam dimesti ketundukan vertikal mengisyaratkan bahwa, pendidikan Islam selain sebagai alat untuk memelihara, memanfaaatkan, dan melestarikan sumber daya alami, juga hendaknya menjadi jembatan untuuk memahami fenomena dan misteri kehidupan dalam upayanya mencapai fenomina dan misteri kehidupan dalam upayanya mencapai hubungan yang abadi dengan Khaliqnya. Secara praktis, Mohammmad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: 1. Membentuk akhlak mulia 2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat 3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya 47 Dr. H. Samsul Nizar, M.A.. Ibid., hlm. 37. 36 37 4. Menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik 5. Mempersiapkan tenaga profesional yang trampil.48 Kongres se-Dunia ke II tentang Pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad, menyatakan bahwa : Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan manusia (peserta didik pen.) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karenan itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa,baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah Swt, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.49 Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat difahami bahwa pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dan membina fitrah anak didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi anak didik sebagai muslim paripurna (insan alkamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, anak didik diharapkan mampu memadukan fungsi iman, ilmu dan amal (Q.S. Al-Mujadallah/58:11) secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik di dunia maupun di akhirat. 48 Muhammmad Athiyah al-Abrasyi. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan, Terj. Bustami A. Gain dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 1-4 49 Dr. H. Samsul Nizar, M.A.. Ibid., hlm. 38. 37 38 BAB III PEMAPARAN HASIL PENELITIAN B. Biografi Imam al-Ghazali 1. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Sebutan al-Ghazali bukan merupakan nama asli. Zainal Abidin Ahmad mengungkapkan bahwa sejak kecil, beliau memiliki nama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Kemudian sesudah ia berumah tangga dan memiliki putra bernama Hamid, maka dia dipanggil Abu Hamid.50 Beliau terkenal dengan sebutan Hujjatu al-Islām atau argumentator Islam. Ada dua macam penulisan mengenai nama sebutan al-Ghazali. Pertama sebutan itu ditulis dengan satu huruf “z” yaitu al-Ghazali. Sedangkan yang kedua ditulis dengan dua huruf “z” atau dengan tasydid yaitu al-Ghazzali. Tantang hal ini Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi berpendapat bahwa sebutan al-Ghazzali (dengan dua huruf “z”) dinisbatkan atau dikaitkan kepada pekerjaan ayahnya sebagai pemintal wool.51 Abu Sa’ied Sam’an, sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin mengatakan bahwa sebutan al-Ghazali (dengan satu huruf “z”) berasal dari nama desa tempat lahirnya yaitu Gazalah. Adapun sebutan al-Ghazzali berasal dari 50 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali (Surabaya: Bulan Bintang, 1975), hlm. 27. Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj., M. Arifin (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hlm. 131. 51 38 38 39 pekerjaan yang dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya, yaitu seorang penenun dan penjual kain tenun yang dinamakan “Gazzal”.52 Imam al-Ghazali dilahirkan di suatu kampung kecil Gazalah, kota Thus, propinsi Khurasan, wilayah Persi (sekarang Iran) pada tahun 450 H. atau bertepatan dengan tahun 1058 M. dari dua ibu bapak yang miskin melarat.53 Ayahnya seorang pemintal wol yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan para fuqaha dan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya, dan juga seorang pengamal tasawuf yang hidup sederhana. Dalam beberapa tulisan tidak ditemukan tentang tanggal dan bulan kelahiran beliau. Sungguhpun keluarga al-Ghazali hidup dalam kedaan serba kekurangan, tetapi sang ayah memiliki semangat keilmuan dan cita-cita yang tinggi. Dalam waktu-waktu senggangnya setelah selesai bekerja, ia selalu mengunjungi fuqaha, pemberi nasihat, duduk bersamanya, sehingga apabila ia mendengar nasihat para ulama tersebut ia terkadang menangis dan lebih rendah hati dan selalu memohon kepada Allah agar dikaruniai anak yang pintar dan memiliki ilmu yang luas seperti para ulama tersebut. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a ayahnya dan dia dikaruniai dua putra yaitu Imam al-Ghazali dan yang kedua adalah Ahmad yang populer sebagai juru dakwah. 52 53 Zainal Abidin, Op. Cit., hlm. 28. Ibid., hlm. 29. 39 40 Kebahagiaan yang dialami sang ayah tidak berlangsung lama. Saat kedua anaknya masih kecil, dia kemudian wafat. Pada saat menjelang wafat, ia berwasiat agar Imam al-Ghazali dan saudaranya diserahkan kepada temannya yang dikenal sebagai ahli tasawuf dan orang yang baik, sesuai dengan harapannya agar al-Ghazali kelak menjadi seorang faqih dan ulama besar. Dia berkata kepada sahabatnya: “Nasib saya sangat malangnya, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka, dan pergunakanlah sampai habis segala harta warisan yang aku tinggalkan untuk mengajar mereka.54” Sahabat ayahnya segera melaksanakan wasiat yang diterima dari ayah Imam al-Ghazali. Kedua anak tadi dididik sedemikian rupa sampai akhirnya harta peninggalan bapaknya habis dan sahabat ayahnya tadi menganjurkan Imam al-Ghazali dan adiknya untuk tinggal di asrama (tanpa biaya) saja agar pendidikannya tetap berlangsung. Asrama yang dimaksud didirikan oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di kota Thus. Sampai dengan usia dua puluh tahun, Imam al-Ghazali tetap tinggal di kota kelahirannya, Thus. Dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari alRazkani. Kecuali itu, dia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang terkenal waktu itu. Kedua ilmu itu sangat berkesan di hati Imam alGhazali dan ia bertekad untuk lebih mendalami lagi di kota-kota lain. 54 Ibid., hlm. 30. 40 41 Selanjutnya ia pindah ke Jurjan pada tahun 479 H. namun tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya, akhirnya ia kembali ke Thus selama tiga tahun.55 Selanjutnya pada tahun 471 H. ia pergi ke Naisabur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang terpenting dalam dunia Islam. Di kota Naisabur, tepatnya di Universitas Nizamiyah, Imam al-Ghazali belajar dan berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama bermadzhab Syafi’i yang pada saat itu menjadi guru besar di Naisabur.56 Di antara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.57 Sehingga ia menjadi cerdas dan pandai mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih. Sehingga keahlian yang dimiliki oleh Imam al-Ghazali diakui dapat mengimbangi keahlian guru yang sangat dihormati itu.58 Dan bahkan al-Juwainy memberi gelar Imam al-Ghazali dengan “lautan yang dalam dan menenggelamkan”. Dengan bekal kecerdasan dan ilmu yang mendalam yang dimiliki oleh Imam al-Ghazali, lalu ia diangkat sebagai dosen di Universitas Nizamiyah tersebut. Bahkan tidak jarang ia menggantikan gurunya pada waktu berhalangan dalam mengajar. 55 Ibid., hlm. 31-32. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 43. 57 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 159. 58 Zainal Abidin, Op. Cit., hlm. 33. 56 41 42 Karier Imam al-Ghazali tidak hanya berhenti di situ. Setelah Imam alHaromain wafat, oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di bawah pemerintahan Khalifah Abbasiyah, untuk mengisi lowongan yang terbuka, ia diangkat untuk menjadi rektor universitas Nizamiyah. Di mana pada waktu itu Imam al-Ghazali baru berumur 28 (dua puluh delapan) tahun namun kecakapannya mampu menarik perhatian seorang Perdana Menteri. Begitu tertariknya seorang Perdana Menteri Nizamul Mulk sehingga ia meminta Imam Ghazali untuk pindah ke tempat kediaman Perdana Menteri (kota Mu’askar) dan pembesar-pembesar tinggi negara serta ulama-ulama besar dari berbagai disiplin ilmu. Dia meminta Imam al-Ghazali untuk memberikan kuliah dua kali seminggu di hadapan para pembesar dan para ahli, di samping kedudukannya sebagai Penasehat Agung Perdana Menteri. Kedekatan Imam al-Ghazali terhadap pemerintah pada waktu itu sangat mempengaruhi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintahan Abbasiyah pada masa al-Ma’mun banyak dipengaruhi oleh aliran Mu’tazilah serta filsafat Yunani, telah dapat dikembalikan oleh Imam alGhazali kepada ajaran Islam yang murni. Di lapangan aqidah diajarkan faham Asy’ari, sedangkan di lapangan akhlak diperkuatnya ilmu tasawuf.59 Faham Asy’ariyah diterima Imam al-Ghazali dari gurunya Imam al-Haramain. Bahkan Imam al-Ghazali merupakan pemimpin Asy’ariyah yang menentukan bentuk terakhir dari faham ini. 59 Ibid., hlm. 38. 42 43 Setelah sekitar lima tahun berada di kediaman Perdana Menteri, Mu’askar, Imam al-Ghazali diminta pindah ke Baghdad untuk menjabat sebagai rektor Universitas Nizamiyah yang menjadi pusat seluruh perguruan tinggi Nizamiyah. Imam al-Ghazali diminta untuk menjabat sebagai rektor pada universitas tersebut karena rektor sebelumnya meninggal dunia. Semua tugas yang dibebankan kepada Imam al-Ghazali dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga ia memperoleh sukses besar. Bahkan kesuksesannya dapat menaruh simpati para pembesar Dinasti Saljuk untuk meminta nasihat dan pendapatnya baik dalam bidang agama, maupun kenegaraan Walau demikian besarnya nikmat dan sukses yang telah diraih Imam alGhazali, namun kesemuanya itu tidak mampu mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan baginya. Bahkan selama periode Baghdad ia menderita kegoncangan batin akibat sikap keragu-raguannya. Setelah empat tahun berada di Baghdad, Imam al-Ghazali kemudian memutuskan untuk berhenti mengajar. Beliau pergi menuju tanah Syam di Damaskus untuk menjalani hidup yang penuh dengan ibadah, mengasingkan diri dari segala bentuk pertemuan dengan manusia, meninggalkan segala bentuk kehidupan yang mewah untuk kemudian menjalani masalah keruhanian dan penghayatan agama. Pada waktu ini dikenal dengan masa skepticism dalam diri Imam al-Ghazali. Demikianlah Imam al-Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga 43 44 beliau menjadi seorang filosof dan ahli tasawuf serta sebagai seorang pemimipin yang besar di zamannya. Kemudian, setelah menjalani khalwat, Imam al-Ghazali pulang ke Baghdad dengan hati yang berbunga-bunga, senang, gembira, ibarat seorang pahlawan yang meraih kemenangan dalam sebuah pertempuran. Di Baghdad beliau kembali mengajar dengan penuh semangat. Kesadaran baru yang dibawanya bahwa paham sufi adalah prinsip yang sejati dan peling baik, diajarkannya kepada mahasiswanya. Kitab pertamanya yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad adalah kitab al-Munqiz min al-Dalāl (penyelamat dari kesesatan). Kitab ini disebut sebagai salah satu buku referensi yang sangat penting. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tetang nila-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga beliau menjelaskan bagaimana iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap bagi umat manisia, bagaimana memperoleh pengetahuan sejati (‘ilmu al-yaqīn) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukasyafah menurut ajaran tasawuf. Setelah sekitar sepuluh tahun beliau berkhalwat, dan setelah sekembalinya Imam al-Ghazali ke Baghdad, beliau pindah ke Naisabur sebagai rasa cintanya terhadap keluarganya. Setelah itu beliau mendapat panggilan lagi dari Perdana Menteri Nizamul Mulk untuk memimpin kembali Universitas Nizamiyah di Naisabur yang ditinggalkannya. 44 45 Imam al-Ghazali kembali mengajar dengan penuh semangat. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dulu lagi yaitu dengan mengajarkan tasawuf yang penuh dengan kehidupan asketik. Di samping itu, beliau juga mendirikan suatu madrasah fiqih yang khusus mempelajari ilmu hukum.60 Hidup di kampung halamannya sendiri membuat Imam al-Ghazali merasa tenang. Dan di tengah-tengah ketenangan jiwanya, Imam al-Ghazali memberikan sebuah pengakuan yang jujur yang dapat dijadikan pegangan bagi segenap orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Ahmad, yaitu: “Dan aku sekarang meskipun aku bekerja lagi untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, tetapi tidaklah boleh dinamakan aku “kembali”, karena kembali itu adalah berarti melanjutkan kerja lama. Karena di masa lalu itu, aku menyebarkan ilmu pengetahuan adalah didorong oleh keinginan mencari nama, dan untuk itu aku menjalankan dakwah-seruan dengan ucapan dan dengan amal perbuatan. Memang demikianlah tujuanku dan niatku di masa itu. Adapun sekarang sangatlah berbeda sekali. Aku berdakwah dan menyebarakan ilmu adalah untuk melawan hawa nafsu dan mencari nama dan untuk menghapuskan rasa megah diri dan kesombongan. Inilah sekarang maksud tujuanku. Semoga Tuhan mengetahui niatku ini.”61 Setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan sekian puluh tahun lamanya, dan setelah memperoleh kebenaran yang sejati pada akhir hayatnya, maka pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau bertepatan dengan 19 Desember 1111 M. beliau meninggal dunia di Thus. 60 61 Ibid., hlm. 52. Ibid., hlm. 53-54. 45 46 Demikianlah yang dapat kita amati mengenai riwayat hidup Imam alGhazali. Beliau dilahirkan di Thus dan kembali ke Thus setelah beliau melakoni tualang panjang dalam mencari ketenangan bagi jiwanya. Dari uraian di atas bisa dipahami dengan jelas bahwa Imam al-Ghazali tergolong ulama yang ta’at berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah, ta’at menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Beliau banyak mempelajari berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, filsafat, fikih, hukum, tasawuf, dan sebagainya. Namun demikian, beliau kemudian menjatuhkan pilihannya untuk mendalami ilmu tasawuf yang sarat dengan nuansa asketik. Di samping itu, beliau juga termasuk pemerhati pendidikan sehingga tidak mengherankan jika beliau memiliki berbagai konsep terkait dengan dunia pendidikan. Termasuk dalam hal ini adalah konsep beliau tentang pendekatan dalam proses belajar. 2. Setting Sosial-politik dan Pengaruhnya bagi Pemikiran Imam al-Ghazali Memahami pemikiran seorang tokoh sekaliber Imam al-Ghazali tanpa terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural dan politk masa hidupnya yang melingkari pertumbuhan ataupun mobilitas pemikirannya, boleh jadi akan memberikan citra kurang baik, sebab pada dasarnya ia merupakan produk sejarah masanya. Oleh karena itu situasi dan kondisi yang berkembang ikut menentukan perkembangan dan corak pemikiran Imam al-Ghazali. 46 47 Di lingkungan keluarga sendiri, Imam al-Ghazali banyak bersentuhan dengan iklim keluarga yang penuh dengan nuansa keagamaan. Walaupun ayahnya seorang pemintal wol, namun demikian, ia seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan dan ulama. Sesekali ia mengunjungi para fuqaha, berkumpul dengan orang pemberi nasihat. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai pengamal tasawuf yang hidup sederhana. Pada waktu ayahnya menjelang wafat, ia berwasiat agar Imam al-Ghazali dan adiknya, Ahmad, dititipkan kepada salah seorang temannya yang dikenal sebagai orang yang baik dan ahli tasawuf. Tujuannya, agar anak-anak itu kelak menjadi ulama besar dan memiliki ilmu yang banyak. Setelah itu, Imam al-Ghazali kemudian melanjutkan studinya ke asrama (sekolah yang menyediakan beasiswa bagi muridnya) dan di sana ia bertemu dengan seorang seorang guru yang juga merupakan pengamal tasawuf atau ahli sufi, Yusuf al-Nassaj, hingga ia berusia dua puluh tahun. Setelah tamat, ia melanjutkan studinya lagi ke daerah Jurjan. Daerah Jurjan, dan juga Khurasan, pada saat itu merupakan pusat kegiatan ilmiah. Abuddin Nata mengungkapkan bahwa; Di wilayah tersebut adalah wilayah pergerakan tasawuf dan pusat gerakan anti kebangsaan Arab. Di samping itu, juga terjadi interaksi budaya yang sangat intens. Filsafat Yunani telah digunakan sebagai pendukung agama dan kebudayaan asing dengan ide-ide yang mendominasi literatur dan pengajaran. Kontroversi keagamaan, setelah interpretasi sufi berkembang ke arah yang lepas dari syari’ah, serta terjadinya kompetisi antara Kristen 47 48 dan Yahudi yang selanjutnya menimbulkan insiden Awlia dan gerakan sufi.62 Tertarik untuk melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi, Imam alGhazali kemudian pergi ke Naisabur memasuki Madrasah Nizamiyah. Di sinilah ia bertemu dengan ulama besar, Imam al-Haramain al-Juwaini, yang merupakan ikon aliran Asy’ariyah. Madrasah Nizamiyah sendiri didirikan oleh perdana menteri Nizamul Mulk yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah. Pergolakan politik pada saat Dinasti Abbasiyah cukup tajam dan meningkat, mulai dari pertarungan ideologi antara aliran Syi’ah dan Sunni sampai perebutan kekuasaan antara orang-orang yang berkebangsaan Arab, Persi, dan Turki. Periode pertama kekuasaan Dinasti Abbasiyah berada di tangan khalifah secara penuh, sedangkan periode selanjutnya, kekuasaan itu berada di bawah perintah orang atau kebangsaan lain. Badri Yatim, mengutip pendapat Gajane, mengatakan bahwa, Periode pemerintahan Bani Abbas, menurut para sejarawan, dibagi menjadi lima periode. Periode pertama (132-232 H/750-847 M) disebut pengaruh Persia pertama. Perode kedua (232-334 H/847-945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama. Periode ketiga (334-447 H/945-1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah dan masa ini disebut masa pengaruh Persi kedua. Masa keempat (447-590 H/1055-1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan Bani Abbasiyah, biasanya masa ini disebut dengan masa pengaruh Turki kedua. Periode kelima (590-656 H/1194-1258 M) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.63 62 Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf alGhazali (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 56-57. 63 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 49-50. 48 49 Kembali pada persoalan di atas, sesuai dengan periode pemerintahan Bani Abbas, Imam al-Ghazali hidup pada masa atau periode keempat (masa disintegrasi) dari periode pemerintahan Abbasiyah yaitu pada masa dinasti Bani Saljuk memegang kekuasaan. Adapun pusat pemerintahan Abbasiyah saat itu berada di Baghdad. Pada saat dinasti Bani Saljuk memegang kekuasaan pemerintahan Abbasiyah, kewibawaan dalam bidang agama dikembalikan setelah sekian lama “dirampas” oleh orang-orang Syi’ah, dinasti-dinasti kecil yang semula memisahkan diri kembali mengakui kedudukan pemerintah pusat, Baghdad, bahkan stabilitas dan keutuhan keamanan untuk membendung faham Syi’ah terus dijaga. Keadaan tersebut tampak terutama pada saat Nizamul Mulk menjadi perdana menteri. Namun demikian, di tengah kemajuan yang menggembirakan itu, terjadilah suatu peristiwa yang sangat menyedihkan, yaitu terbunuhnya perdana menteri Nidzamul Mulk dan Sultan Malik Syah. Dua orang pentolan Dinasti Saljuk itu mati di tangan pembunuh yang dibayar oleh Hasan Shabbah, salah seorang pimpinan Syi’ah Bathiniyah dan merupakan teman satu sekolah dengan Nizamul Mulk saat itu. Tidak hanya itu, aliran Syi’ah Bathiniyah yang poliknya berkiblat pada Negara Fatimiyah di Mesir, semakin melancarkan aksi teror pembunuhannya pada saat Khalifah Muqtadi meninggal dunia dan digantikan oleh Khalifah Mustadzir. 49 50 Zainal Abidin mengatakan bahwa, Imam al-Ghazali hidup pada saat terjadi goncangan politik yang sangat hebat. Pada tahun lahirnya, 450 H. terjadilah perebutan kekuasaan atas ibu kota Baghdad antara jenderal Basasiri yang pro Syi’ah dengan Thogrol Bey, sultan yang pertama dari pemerintahan Seljuk. Pada tahun 478 H., dalam usianya meningkat 28 tahun, terjadilah buat pertama kalinya bentrokan bersenjata antara tentara Abbasiyah dengan laskar pemerintah tandingan Fatimiyah di dalam pengepungan kota Damaskus, yang berakhir dengan mundurnya tentara penyerbu ke Mesir. Dan akhrnya pada tahun 485 H., sewaktu al-Ghazali menduduki jabatan sebagai penasihat agung pemerintahan Saljuk dan presiden dari Universitas Nizamiyah Baghdad, terjadi lagi pembunuhan gelap terhadap Perdana Menteri Nidzamul Mulk dan kemudian diikuti dengan matinya sultan Malik alSyah yang semuanya dilakukan oleh golongan Bathiniyah dari partai ilegal Syi’ah. Tidak lama kemudian pada tahun 487 H. terjadi pergantian pimpinan Negara dari tangan khalifah ke XXVII Muqtadi yang meninggal dunia kepada Khalifah Mustazhir. Dan dekrit pertama yang dikeluarkan oleh khalifah adalah meminta Imam al-Ghazali supaya menulis buku untuk mempertahankan pemerintahan Abbasiyah yang sah dan membasmi partai ilegal Syi’ah yang telah mengacau Negara.64 Karena kegoncangan batinnya yang sangat hebat menghadapi peristiwaperistiwa yang berturut-turut maka Imam al-Ghazali jatuh sakit selama enam bulan. Dengan alasan mengobati penyakitnya, ia meninggalkan Baghdad dan seluruh jabatannya dengan hati yang kesal. Bahkan Imam al-Ghazali mulai ragu dengan jalan yang ditempuhnya selama itu. Ia bertanya apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau belum, atau salah? Pada akhirnya ia kemudian menempuh jalan untuk mengasingkan diri dari keramain manusia dan menfokuskan diri untuk berkhalwat dan beribadah kepada Allah. 64 Zainal Abidin Ahmad, Op. Cit., hlm 165. 50 51 Selama sepuluh tahun Imam al-Ghazali berkhalwat dan menjalani hidup yang penuh dengan nuansa asketik dan pada akhirnya ia menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang mengelayuti hatinya selama itu, tasawuf. Ia berkesimpulan bahwa pengetahuan yang diperolehnya dengan panca indera seringkali salah dan berdusta. Dan tasawuflah yang kemudian mampu menghilangkan rasa syak yang menyelimuti hatinya. Pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu ternyata membuat ia merasa yakin mendapat pengetahuan yang benar. Nah, dari beberapa pemaparan singkat di atas terkait dengan keadaan masyarakat Islam sudah mengalami kemunduran. Dalam bidang politik, kerajaan Abbasiyah telah sedemikian rapuh. Dalam bidang kebudayaan dan peradaban, meski pernah mengalami zaman kemajuan pada masa sebelumnya, kini mengalami kemunduran, bahkan nyaris kehilangan kepribadiaannya. Demikian pula dalam bidang ilmu-ilmu agama Islam dirasakan Imam alGhazali telah mati dalam jiwa umat Islam sehingga perlu dihidupkan kembali sebagaimana tercermin dalam kitab Ihya’nya. Di bidang-bidang lain, seperti bidang intelektual, moral dan agama secara umum juga mengalami kemerosotan dan kemunduran. Di samping itu, berkuasanya Bani Saljuk yang mengganti Dinasti Buwaihi pada pertengahan abad XI Masehi, kendati sama-sama berpaham Sunni dengan kekhalifahan di Baghdad, ternyata tidak mampu mengembalikan kekuatan politik yang cukup berarti sebab hanya bertahan kurang lebih tiga puluh tahun. 51 52 Memang selama masa tersebut dapat dikatakan sebagai masa kejayaan Dinasti Saljuk dan berhasil menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban yang memungkinkan berkembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan, sehingga rakyat dapat merasakan ketenangan dan ketentraman. Namun kekacauan akhirnya timbul kembali yang bermula dari peristiwa terbunuhnya Perdana Menteri Nizamul Mulk dan Sultan Malik Syah yang hanya berselang satu bulan. Dengan tiadanya dua orang kuat Dinasti Saljuk ini, maka makin berpeluang pada kelompok-kelompok oposan yang telah lama memusuhi Dinasti Saljuk seperti kelompok ekstrimis Syi’ah yang berafiliasi dengan khilafah Fatimiyah di Mesir. Hal itu kemudian menyebabkan lumpuhnya kekuasaan Dinasti Saljuk, utamanya setelah dinasti itu terpecah-pecah menjadi kekuatan-kekuatan kecil dampai akhirnya membawa pada kehancuran. Pada saat Dinasti Saljuk sudah mengalami kemunduran dan lemahnya kekuasaan politik serta goyahnya stabilitas nasional, Imam al-Ghazali hidup dan berjihad menegakkan kembali nilai-nilai keIslaman dalam diri umat. Dengan demikian tidak mengheranka apabila latar belakang kondisi sosial di atas mewarnai pemikiran dan perjuangannya. Yang jelas, pada masa kehidupan dan perjuangannya, kondisi umat telah mengalami kemunduran dalam berbagai aspeknya. Demikianlah beberapa kondisi obyektif yang mengitari masa hidup Imam al-Ghazali. Sebagai seorang yang dikaruniakan padanya kepekaan dan ketajaman nurani, ia senantiasa berdialog dan bersikap aspiratif dengan 52 53 zamannya yang penuh ketegangan dan fragmentasi sosial politk dan alam pikiran yang tidak terkontrol dan kurangnya sikap tasamuh di antara sesama muslim, Imam al-Ghazali dengan sikap kritis serta keberaniannya mengambil keputusan untuk menentukan pilihan dengan sikap realistis dan mantap. Di menempuh jalan tasawuf sebagai fondasi teologisnya. 3. Karya-Karya Imam al-Ghazali Adalah sebuah keistimewaan yang besar dan luar biasa dari diri Imam alGhazali bahwa beliau merupakan seorang penulis yang sangat produktif. Di dalam setiap masa hidupnya Imam al-Ghazali terus menerus menulis. Sehingga ratusan kitab telah keluar sebagai hasil karyanya dan dijadikan pedoman oleh sebagian umat Islam. Namun demikian, karena keluasan ilmu yang dimiliki oleh beliau, maka sangat sulit sekali untuk menentukan bidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Zainal Abidin Ahmad mengatakan bahwa di dalam dunia karang mengarang, Imam al-Ghazali terkenal sebagai seorang pengarang yang serba ahli. Di dalam berbagai lapangan, dia menulis secara luas dan tepat, dan begitu mendalamnya sehingga di merupakan orang ahlinya mengausai yang menguasai persoalan itu di dalam segala hal.65 Adapun kitab-kitab Imam al-Ghazali yang paling terkenal, sebagaimana diungkapkan oleh Zainal Abidin, adalah sebagai berikut: 65 Ibid., hlm. 173. 53 54 a. Dalam Bidang Filsafat 1) (D EA Sebagai karangannya yang pertama yang ditulisnya sewaktu pikirannya masih segar dalam usia di sekitar 25-28 tahun. Isinya menerangkan soal-soal filsafat menurut wajarnya, dengan tiada kecaman. 2) (D (F Dikarangnya sewaktu dia berada di Baghdad, dalam kekacauan oleh paham skeptis yang sangat hebat, dalam usia 35-38 tahun. Buku ini berisi kecaman yang sangat hebat terhadap ilmu filsafat yang sudah menggemparkan ilmu pengetahuan. 3) (, G& H Naskah buku in terdapat dalam perpustakaan Lytton di Aligarh University, India; perpustakaan Kotapraja di Iskandaiyah. Buku itu diterbitkan oleh Darul Fikri di Damaskus pada tahun 1963 di bawah penelitian Abdul Karim al-Utsman. Sebagaimana namanya, buku ini berisi dan mengungkapkan asal-usul ilmu yang rasional dan kemudian apa hakekatnya dan tujaun apa yang dihasilkannya. 54 55 b. Dalam Bidang Pembangunan Agama 1) 4- I $,J Kitab ini dikarang setelah dia berada kembali di Naisabur dalam usia 50 tahun, sesudah skeptisnya habis dan jiwanya tenteram kembali. Kitab inilah yang menjadi pegangan umat Islam sampai sekarang, merupakan jalan keluar dari berbagai faham dan aliran. 2) KD 4A 70H Kitab ini dikarang setelah tiga puluh tahun di dalam kebimbangan dan merupakan sumber dari kehidupan Imam al-Ghazali. Sebuah kitab yang berisi tentang autobiografi, tetapi tepatnya bukan hanya autobiografi. Ia memberikan suatu analisa yang intelektuil mengenai perkembangan spirituilnya, dan juga memberi alasan-alasan di dalam memberikan pandangan bahwa ada suatu pengertian yang lebih tinggi dari pengertian rasional, yaitu kepada para nabi ketika Tuhan mengungkapkan kebenaran kepadanya. 3) 4- LM0A Kitab ini merupakan kitab yang terakhir yang ditulis oleh Imam alGhazali yang berisi tentang nashihat yang terakhir untuk segenap manusia. Kitab ini diterbitkan di Mesir berulang kali, ada tulisan tangan di Berlin, 55 56 Paris, dan al-Jazair. Kitab ini ada ringkasannya dan syarahnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. c. Dalam Bidang Akhlak dan Tasawuf 1) ! N,A Kitab ini mendampingi kitab Ihya, bahkan isinya lebih teliti dan merupakan kesimpulan dari kitab Ihya. Imam al-Ghazali sendiri mengungkapkan bahwa kebanyakan isi dari kitab ini adalah memakai sistem tasawuf. 2) O/ P $,, Dalam kitab ini terdapat beberapa persoalan etika yang dibicarakannya dari perspektif praktis dan agama. Kitab ini telah banyak diterbitkan sebagai ilmu moral Islam, tetapi sebenarnya mengandung lebih banyak uraian-uraian secara praktis menurut hukum dari pada ilmu mural secara ilmiah atau filsafat. 3) R &S QB Kitab ini berisi tentang prinsip-prinsip agama tentang atau mengenai soalsoal akhlak-tasawuf. 4) UH (:,W* T UP+H VB 56 57 Artinya, mas yang sudah ditata untuk menasihati para penguasa. Kitab ini berisi soal akhlak di dalam hubungannya dengan pemerintahan. 5) KES T WBPH (keterangan yang sudah dipilih mengenai soal pokok-poko ilmu hukum). 6) & *S OXA Artinya lampu yang bersinar banyak. Kitab ini berisi tentang ilmu akhlak dalam hubungannya dengan ilmu akidah dan keimanan. 7) KD 4A 0H Pembebasan dari kesesatan. Kitab ini membahas akhlak dalam hubungannya dengan ilmu psikologi. 8) M-5 Kitab ini berisi tentang nasihat yang ia tulis untuk seorang temannya yang berisi tentang amal perbuatan dan tingkah laku sehari-hari serta banyak mambahas tentang cara-cara dalam proses belajar. 9) 4- T Q/S Adab sopan keagamaan. Kitab ini mengupas tentang akhlak di dalam hubungannya dengan etiket kehidupan manusia. 57 58 10) (,* ( Risalah tentang soal-soal bathin. Kitab ini mengupas tantang hubungan akhlak dengan soal-soal kerohanian, termasuk juga soal-soal wahyu, bisikan kalbu, dan lainnya. d. Dalam Bidang Politik 1) YMZBPH Kitab ini dikarang pada tahun 488 H. di Baghdad atas kehendak dari khalifah al-Muqtadi yang baru dinobatkan setahun sebelumnya. Isi kitab ini adalah membongkar prinsip-prinsip politk yang berbahaya dari partai ilegal Syi’ah Bathiniyah pada saat itu. 2) KD 4A 70H Pembebasan dari kesesatan. Kitab ini berisi tentang autobiografi, namun di dalamnya juga berisi tentang revolusi mental. 3) 4- I $,J Kitab ini merupakan puncak arangan Imam al-Ghazali mempunyai fungsi yang pemting pula tentang teori kenegaraan. Kitab ini pula merupakan inspirasi yang diperoleh selama petualangan sebagai kesimpulan dari pandangan revolusi yang sedang bergejolak di Asia. 58 59 4) UH (:,W* T U+PH VB Kitab ini dikarangnya sebagai suatu pegangan untuk Sultan Giyastuddin yang mengantikan kedudukan ayahandanya, Sultan Malik Syah, sahabat Imam al-Ghazali. 5) RH Sebagaimana namanya, kitab ini berisi tentang perbedaan antara dua dunia yang harus dipilih oleh para pembesar dan rakyat semuanya: antara dunia keadilan dan kemakmuran yang menuju kepada akhirat, dan dunia kezaliman dan kekacauan yang semata-mata keduniaan belaka. 6) I ([ Kitab ini pada hakikatnya adalah untuk membuka pintu kepada berbagai ilmu pengetahuan, sebagai tercantum pada namanya. Namun dalam bagiannya terdapat ilmu politik. 7) /B\ T /WB]\ Kitab inimenyatakan dasar-dasar keimanan yang harus dimiliki oleh seorang pemegang pemerintahan. Kitab ini juga membahs tentang politik pemerintahan terkait dengan soal-soal teologi. 59 60 8) N,^ Kitab ini menguraikan tentang hukum Islam secara praktis sehingga dianggap sebagai kitab pegangan dalam ilmu hukum. 9) (0_P U Kitab ini berisi tentang bimbingan bagi kepala Negara dalam menjalankan roda pemerintahannya. 10) (- ` (- Kitab ini berisi tentang ajaran adab dan kesopanan di dalam hidup manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat, termasuk soal pemerintahan. 4. Klasifikasi Ilmu Perspektif Imam al-Ghazali Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam bebearapa kelompok yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara satu macam dengan yang lain. Di samping itu, macam-macam ilmu dalam perspektif Imam al-Ghazali tersebut dapat memberikan nilai-nilai sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan bagi pelajar. Menurut Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Usman Said, Imam al-Ghazali memandang ilmu dari dua segi, yaitu ilmu 60 61 sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, ilmu dibagi menjadi ilmu hissiyah, ilmu aqliyah, dan ilmu ladunni.66 Kemudian ilmu juga dapat dikatakan sebagai obyek. Ilmu-ilmu itu dibagi dalam tiga golongan pokok yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu.67 Ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak dapat mendatangkan faedah atau tidak bermanfaat bagi manusia baik di dunia dan akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu perbintangan, ilmu ramalan atau perdukunan. Bahkan, bila ilmu itu diamalkan oleh manusia akan mendatangkan mudarat dan akan meragukan terhadap kebenaran adanya Tuhan. Dan karenanya ilmu itu harus dijauhi. Adapun ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan kebersihan jiwa dari tipu daya dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah dan keridloannya. Ilmu dalam golongan ini misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Selanjutnya, ilmu yang terpuji dalam taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, adalah ilmu-ilmu yang apabila manusia mendalami pengkajiannya pasti menyebabkan kekacauan pemikiran dan keragu-raguan, dan mungkin mendatangkan kekufuran, seperti ilmu filsafat. 66 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangannya (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 140. 67 Imam al-Ghazali, Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, terj., Ismail Ya’kub (Semarang: CV. Faizan, 1979), jilid 1, hlm. 126-127. 61 62 Indikasi dari ilmu yang tercela, sebagaimana dikutip oleh Hasan Sulaiman adalah ada tiga: Pertama, ilmu-ilmu ini kadang kala dapat menimbulkan mudarat pada pemiliknya atau orang lain, seperti ilmu sihir, guna-guna yang bertujuan mencelakakan orang lain. Ilmu sihir seringkali mencoba memisahkan antara sesama manusia yang akrab atau saling mencintai, menebarkan rasa untuk membengkitkan kejahatan, bukan untuk menimbulkan kebaikan. Kedua, kadangkala ilmu itu merusak pemiliknya, seperti ilmu nujum, yang oleh Imam al-Ghazali dibagi ke dalam dua kelompok; ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab) atau falak yang menurut pandangan Imam al-Ghazali tidak tercela. Berikutnya ilmu nujum istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Kata Imam al-Ghazali, ilmu nujum jenis ini tercela oleh syara’ sebab bisa jadi ia membuat manusia menjadi ragu pada Allah, lalu ia menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan bakal terjadi sesuatu di langit atau falak dengan berpedoman pada keyakinan langsung atau melalui studi tentang bintang-bintang, kemudian pas pada waktu terjadinya peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat pada yang ditentukannya sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub akan kemampuan tukang nujum itu. Ia karenanya akan percaya dengan ucapan tukang nujum. Kesempatan ini, bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang nujum untuk mengakaui diri sebagai nabi, memperluas pengaruhnya di tengah-tengah umat, menunggangi mereka untuk melayani kepentingankepantingannya yang biasanya cenderung tidak baik, sehingga membuat kekacauan dan kearifan meluas ke mana-mana. Ketiga, ada kalanya menyelami sebagian ilmu itu tidak membawa manfaat, karena ilmu itu dimaksudkan tidak terpuji. Ada kalanya pula mempelajari ilmu seperti itu mengandung suatu bentuk kekufuran kepada Allah. Contoh ilmu untuk tersebut, kata Imam al-Ghazali, adalah memplajari bagian-bagian rumit dari suatu ilmu sebelum memahami bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari rahasia-rahasia ilahiyat, bagian dari ilmu filsafat, seperti ilmu metefisika.68 Jadi, dalam perspektif Imam al-Ghazali, ilmu itu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan apapun yang dipelajari harus dikaitkan dengan moral dan nilai 68 Fathiyyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang Aliran Pendidikan Menurut al-Ghazali, terj., Said Agil Husin Al-Munawar dan Hadri Hasan (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 21. 62 63 guna. Dan karena itu, selanjutnya melihat ilmu dalam perspektif nilai dan membaginya dalam dua kelompok. Berdasarkan ketiga kelompok ilmu tersebut, Imam al-Ghazali membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok dari segi moral dan manfaat, yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim (fardlu ‘ain) dan ilmu yang fardlu kifayah dalam arti tidak wajib diketahui oleh segenap orang Islam, tetapi harus ada di antara orang Islam yang mempelajarinya. Ilmu yang tergolong fardlu ‘ain adalah ilmu agama dan macammacamnya dengan memulai kitab-kitab Allah kemudian diikuti pokok-pokok ibadah seperti masalah shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang tergolong fardlu kifayah menurut Imam Ghazali adalah: Segala ilmu yang digunakan untuk tegaknya perkara-perkara dunia seperti ilmu kedokteran. Karena hal itu merupakan hajat yang pokok bagi kesehatan badan. Ilmu hitung karena itu penting dalam mu’amalat, pembagian wasiat, warisan dan lain-lain. Apabila negara tidak ada orang yang menegakkannya maka berdosalah seluruh warga negara, bila salah seorang menegakkannya maka dapat mencukupi dan gugurlah kewajiban yang lain.69 Adapun ilmu seperti tani, tenun, politik, dan kerja membekam serta kerja menjahit atau keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat merupakan jenis ilmu yang tergolong pada fardlu kifayah.70 Adapun mendalami ilmu hitung dan kedokteran dan hal-hal lain yang tidak dibutuhkan, tidak merupakan fardlu, tetapi utama, selanjutnya Imam al-Ghazali berkata, adapun yang terhitung utama namun tidak fardlu adalah mendalami ilmu hitung secara mendetail dan 69 70 Imam al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 84. Ibid., hlm. 84. 63 64 hakikat kedokteran, dan lain-lain yang tidak dihajatkan, akan tetapi berfaedah menambah kemampuan di dalam kadar yang dibutuhkan.71 Selanjutnya Imam al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan berdasarkan spesialisasi menjadi dua bidang72, yaitu: ilmu syari’ah dan ilmu yang bukan syari’ah. Adapun ilmu syari’ah semuanya terpuji, dan ia membaginya dalam empat bagian, yaitu ushul, furu’ muqaddamat, dan mutammimat. Ilmu ushul terbagi dalam empat bidang ilmu, yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ummah, dan atsar sahabat. Ilmu furu’ yaitu ilmu fiqih, akhlak, dan hal ihwal hati. Ilmu muqaddamat terdiri dari ilmu bahasa dan nahwu yang digunakan sebagai alat untuk mengkaji ilmu ushul.73 Ilmu mutammimat yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu alQur’an seperti ilmu tajwid, tafsir yang berkaitan dengan arti, nasikh mansukh, ‘am dan khas, dan dhahir dan cara untuk mempergunakannya, ilmu yang mengkaji tentang khabar-khabar dan sejarah kehidupan sahabat.74 Sedangkan ilmu yang bukan syari’ah, Imam al-Ghazali membaginya dalam tiga bagian, yaitu ilmu yang terpuji; ilmu mubahah; dan ilmu madzmumah. Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang diperlukan dalam kehidupan manusia, baik dalam penghidupan atau dalam pergaulannya. Seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, dan ilmu keterampilan. 71 Ibid., hlm. 85. Jalaluddin dan Usman Said, Op. Cit., hlm. 142-143. 73 Imam al-Ghazali, Loc. Cit. 74 Ibid., hlm. 86. 72 64 65 Ilmu-ilmu mubah yaitu ilmu-ilmu kebudayaan seperti sejarah, sastra dan sya’ir-sya’ir yang tidak ada kelemahan di dalamnya seperti ilmu yang mendorong pada keutamaan dan akhlak yang suci. Ilmu-ilmu yang tercela yaitu ilmu yang merugikan dirinya dan merugikan orang lain apabila mempelajari dan mempraktikkannya seperti ilmu sihir, azimat dan permainan sulap, dan sebagian dari ilmu filsafat. 5. Pendidikan dalam Pemikiran Imam al-Ghazali Imam al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Selain itu, menurut Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Imam al-Ghazali memiliki pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata-mata tetapi juga keimanan, sosial, jasmaniah, dan sebagainya.75 Pandangan Imam al-Ghazali tentang pendidikan yang sarat dengan nuansa sufistik itu bisa dilihat dari konsepsi dia mengenai tujuan, pendidik, anak didik, dan kurikulum pendidikan. Imam al-Ghazali mempunyai pandangan yang berbeda dengan para ahli pendidikan yang lain mengenai tujuan pendidikan. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari 75 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 235. 65 66 kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang.76 Samsul Nizar mengatakan bahwa; Pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu: tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah; tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak yang baik; tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.77 Menurut Imam al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya.78 Sedangkan seorang pendidik menurut Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh al-Jumbulati dituntut untuk memiliki sifatsifat keutamaan antara lain: Guru harus mencintai muridnya, tidak boleh mencari bayaran, guru harus mengingatkan muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat, guru harus memberikan contoh yang baik, guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya serap anak didiknya, guru harus memperhatikan perbedaanperbedaan individual anak, guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya, dan guru harus mempelajari keadaan psikologis murid-muridnya.79 Adapun konsep Imam al-Ghazali mengenai murid, sebagaimana diungkapkan oleh Abuddin Nata, adalah murid harus memuliakan guru, merasa 76 Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 162. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 87. 78 .Ibid., hlm 88. 79 Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Op. Cit., hlm. 137-143. 77 66 67 satu bangunan dengan murid lainnya, menjauhkan diri dari mempelajari berbagai mazhab yang dapat mengacaukan pikirannya, mempelajari berbagai jenis ilmu yang bermanfaat.80 Nizar mengungkapkan tugas dan kewajiban yang yang harus dimilki oleh seorang murid, sebagaimana dikehendaki oleh Imam al-Ghazali, antara lain: a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak yang baik. b. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. c. Bersikap rendah hati dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan. d. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi. f. Belajar dengan berharap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu-ilmu fardlu ‘ain manuju ilmu fardlu kifayah g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. i. Memperioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. j. Mengenal nila-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, memsejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.81 Selanjutnya, kurikulum yang dikehandaki Imam al-Ghazali dapat dipahami dari pendangannya mengenai ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa ilmu dalam perspektif Imam al-Ghazali dibagai dalam dua bagian besar: ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Ilmu sebagai obyek memiliki tiga bagian, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu. Dari ketiga ilmu ini kemudian 80 81 Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 165-166. Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 89-90. 67 68 Imam al-Ghazali membagi lagi dalam dua kelompok: ilmu yang fardlu ‘ain dan ilmu yang fardlu kifayah. Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum juga diakui sebagai salah satu faktor yang juga menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar. Dan yang tak kalah pentingnya juga bahwa yang menjadi titik tekan Imam al-Ghazali dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik adalah ilmu yang mendatangkan kebersihan jiwa dari tipu daya dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah dan keridloannya, seperti ilmu tauhid dan ilmu agama. Menurut hemat penulis, kurikulum yang coba ditawarkan oleh Imam alGhazali sebagaimana tersebut di atas tidak diakomudir secara utuh yang pada gilirannya akan menghasilkan anak didik yang memiliki kepribadian yang pecah, yaitu anak didik yang hanya memiliki kedalaman spiritual tanpa dibarengi dengan keluasan ilmu. Pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisahpisahkan antara ilmu-ilmu yang bersifat duniawi dan ilmu-ilmu yang bersifat ukhrawi. Dan karena itu, ilmu pengetahuan perlu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan di dunia maupun ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Sehingga, pada gilirannya, akan melahirkan lulusan-lulusan yang yang memiliki pikiranpikiran kreatif dan terpadu, memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam. 68 69 Jadi, ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah satu dan berasal dari Allah Swt., yang diwahyukan kepada orang yang dipilihnya melalui ayat-ayat Qur’aniyah dan sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh manusia dengan menggunakan akal, hati, dan inderanya. Untuk lebih jelasnya, lihatlah skema di bawah ini: Allah SWT Ayat-ayat Kauniyah Saling Menjelaskan Ayat-ayat Qur’aniyah Interpretasi Manusia Ilmu Pengetahuan Gambar 5.1 Integrasi Ilmu-ilmu Allah Menurut Mursi, sebagaimana dikutip Nizar, dari beberapa macam ilmu yang telah disebutkan tadi, Imam al-Ghazali mengusulkan beberap ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah, yaitu: a. Ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqih, hadits dan tafsir. b. Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama. c. Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka ragam jenisnya termasuk juga ilmu politik. 69 70 d. Ilmu kebudayaan, seperti sya’ir, sejarah dan beberapa cabang filsafat..82 Jadi, kurikulum yang menjadi titik perhatian Imam al-Ghazali adalah ilmu pengetahuan yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena model ini akan bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat, karena dapat menenangkan jiwa dan dapat mendekatkan diri kepada Allah. Jika diamati, corak pendidikan yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali akan tampak nuansa pendidikan yang sangat kental dengan nilai-nilai tasawuf yang ia gandrungi. Artinya, bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang sufi. Namun demikian, pendidikan yang coba diformulasikan oleh Imam alGhazali merupakan konsep yang ia kembangkan dari sebuah dialektika dengan zaman yang dihadapinya pada waktu itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang memerlukan sebuah penyempurnaan. Seperti posisi guru yang menurut Imam al-Ghazali merupakan sentral dalam pendidikan. Pada zaman sekarang guru dilihat sebagai fasilitator saja. 6. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali Manusia sebagai makluk Tuhan, telah dikaruniai Allah kemampuankemampuan dasar yang bersifat rohaniyah dan jasmaniyah. Agar dengannya, manusia mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraannya. Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang. 82 Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 167. 70 71 Sarana utama yang dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan, dalam dimensi yang setara dengan tingkat daya cipta, daya rasa dan daya karsa masyarakat beserta anggota-anggotanya. Oleh karena antara manusia dengan tuntutan hidupnya saling berpacu berkat dorongan dari ketiga daya tersebut, maka pendidikan menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikatakan, pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup sepanjang sejarah. Imam Ghazali menaruh perhatian yang besar akan penyebarluasan ilmu dan pendidikan, karena beliau yakin bahwa pendidikan adalah sebagai sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media untuk mendekatkan manusia kepada Allah Azza wa Jalla. Dengan itulah, pendidikan menurut Al-Ghazali adalah suatu ibadah dan sarana kemashlahatan untuk membina umat. Oleh sebab itu, disamping meningkatkan karirnya sebagai filosof dan ahli agama, Imam Ghazali juga sebagai reformer masyarakat. Demikianlah, Al-Ghazali berdiri dalam satu barisan bersama para filosof dan reformer mayarakat (Sosiolog) sejajarnya yang dikenal sejarah, seperti Plato, J.J Rousseau dan Pestalozzi yang juga berkeyakinan bahwa perbaikan masyarakat itu hanya dapat dijangkau melalui pendidikan.83 Sisi pendidikan yang menarik perhatian dalam studi Al-Ghazali adalah sikapnya yang sangat mengutamakan ilmu dan pengajaran; kekuatan pendiriannya dalam mempertahankan pengajaran yang benar sebagai jalan 83 Fathiyah Hasan Sulaiman , Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 24. 71 72 untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ini Al-Ghazali telah mengangkat status guru dan menumpukkan kepercayaannya pada guru yang dinilainya sebagai pemberi petunjuk (mursyid) dan pembina rohani yang baik. Mengenai keutamaan mencari ilmu, Al-Ghazali berkata dalam kitab “Fatihatul Ulum”, sebagai berikut: “………..Kesempurnaan umat manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT hanya dapat dihampiri oleh ilmu pengetahuannya. Oleh karena itu, selama ilmunya banyak lagi sempurna, maka dia dekat dengan Allah SWT dan dia lebih mirip seperti malaikat-malaikatNya”.84 Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatiannya yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Menurut H.M. Arifin (Guru besar dalam dalam bidang pendidikan), mengatakan bila dipandang dari segi filosofis, Al-Ghazali adalah penganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap peserta didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan siapa yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.85 Al-Ghazali 84 85 Ibid., hlm. 23. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 161. 72 73 mengatakan, jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya, jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pemikiran pendidikan Al-Ghazali dapat dilihat dari dua segi, yaitu:86 1. Teoritis Sisi teoritis dari pemikiran ini terfokus pada konsep pengetahuan, yang mana di sini Al-Ghazali menawarkan ide-ide yang cukup mendetail tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, nilai ilmu pengetahuan dan kemudian menawarkan klasifikasi ilmu pengetahuan. Dalam sisi ini, Al-Ghazali melihat ilmu pengetahuan dari berbagai sudut; nilai intrinsiknya, nilai etisnya dan nilai sosialnya. 2. Praktis Segi praktis dari pemikiran ini terpusat pada pola hubungan guru dengan murid. Diskusinya tentang guru dan murid mencakup berbagai kewajiban bagi kedua belah pihak, yang menurut Al-Ghazali akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan Islam. Bagi Al-Ghazali, tujuan akhir pendidikan adalah hari akhirat, sebagaimana halnya hari akhirat juga merupakan tujuan akhir dari kehidupan umat manusia. Konsekuensinya adalah bahwa keseluruhan proses pendidikan harus menuju tercapainya tujuan akhir. 86 Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik (Gagasan Pendidikan Al-Ghazali), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 4. 73 74 Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali, yaitu:87 1) Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Hal ini mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali terhadap dunia, merasa qanaah (merasa cukup dengan yang ada) dan banyak memikirkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. 2) Sarana yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dalam hal ini, Al-Ghazali memandang bahwa dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Tujuan pendidikan Al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia ini hanya sebagai alat .88 Oleh karena itu, beliau bermaksud ingin mengajar umat manusia sehingga mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang dimaksudkan. Karena Imam Al-Ghazali tidak melupakan masalah-masalah duniawi, maka beliau menyediakan porsinya dalam pendidikan Islam. Akan tetapi, penyediaan urusan dan kebahagiaan hidup di akhirat yang dikatakan lebih utama dan lebih abadi. Sebab dunia ini hanyalah sebagai ladang akhirat saja. Ia 87 88 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 24. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op.cit., hlm. 162-163. 74 75 merupakan sarana yang dapat mengantarkan kepada Allah Ta’ala, bagi orang yang memfungsikan dunia ini sebagai tempat peristirahatan, bukan sebagai tempat tinggal yang permanen dan tumpah darah yang abadi. Jadi, dari beberapa uraian di atas, dapat diungkapkan bahwa kerangka pendekatan dalam proses belajar menurut Imam al-Ghazali adalah bersifat teosentris sedangkan dalam perspektif Barat bersifat antroposentris. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Tabel 6.1 Konsep Belajar Perspektif Imam al-Ghazali dan Barat Aspek Perspektif al-Ghazali • Arti penting • Agar Allah tidak berpaling belajar Perspektif Barat • Untuk memiliki kemampuan dari orang tersebut dan agar berubah dan melakukan umur yang dimiliki tidak sia- perubahan (proses sia perkembangan yang berkualitas). • Sebagai benteng pertahanan dari pengaruh negatif hasil belajar. • Definisi Belajar • Perubahan tingkah laku atau kecakapan afektif dan • Perubahan tingkah laku atau kecakapan kognitif, afektif, 75 76 • Ciri-ciri psikomotorik yang relatif dan psikomotorik yang relatif menetap sebagai akibat dari menetap sebagai akibat dari latihan dan pengalaman. latihan dan pengalaman. • Intensional, Positif, Efektif, • Intensional, Positif, Efektif, Perubahan dan Fungsional yang mengarah dan Fungsional. Hasil Belajar pada kehidupan asketik. • Teori • Behavior-Transendental Belajar • Tahapan Belajar • Behavioristik Kognitif, dan teori Humanistik. • Acquisition, Storage, dan Retrieval yang sarat dengan • Acquisition, Storage, dan Retrieval. nuansa isoterik. • Pendekatan Belajar • Pendekatan Hukum Jost, dan • Pendekatan Hukum Jost, sebagian dari teori Ballard & Ballard & Clanchy, dan Clanchy (surface). Pendekatan Biggs. Tabel 6.2 Lanjutan Faktor-faktor • Internal siswa (Jiwa yang yang mempengaruhi belajar suci). • Internal siswa (fisiologis, psikologis, dan kematangan • Eksternal siswa (lingkungan sosial, dan faktor fisiologis dan psikologis). • Eksternal siswa (lingkungan instrumental). sosial, kondisi alam, dan 76 77 faktor instrumental). Adapun pendekatan dalam proses belajar menurut Imam al-Ghazali dan Barat dapat diringkas dalam bentuk bagan sebagai berikut: Tabel 6.3 Pendekatan Belajar Perspektif Barat Komponen Behavioristik Kognitif Humanistik Proses • Manusia • Bagaikan Kertas putih • Pemproses Informasi • Memiliki potensi yang baik • Makna Belajar • Stimulus-respon • Proses internal • Proses memanusiakan manusia • Tujuan Belajar • Terbentuknya • Peserta Didik • Terciptanya • Individu kebiasaan sebagai pengetahuan baru memiliki akibat dari dalam rangka kemampuan stimulus-respon memecahkan mengaktualisa- masalah sikan dirinya • Netral-pasif • Aktif • Aktif dan bisa menentukan apa 77 78 yang bisa dilakukan • Pendidik • Salah satu penentu • Fasilitator • Fasilitator dan mediator • Perilaku • Kebiasaan • Insight • Teori Belajar • Koneksionisme, • Gestalt, dan Teori • Kesadaran Medan classical conditioning, systematic behavior theory, contiguous conditioning, dan operant conditioning Tabel 6.4 Pendekatan Belajar Perspektif Imam al-Ghazali Komponen Perspektif Imam al-Ghazali Proses • Manusia • Manusia adalah individu yang pasif dan memerlukan bimbingan kepada jalan yang baik serta bisa diisi oleh apa dan kapan saja. 78 79 • Makna Belajar • Perubahan tingkah laku atau kecakapan afektif dan psikomotorik yang relatif menetap sebagai akibat dari latihan dan pengalaman. • Tujuan Belajar • Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Yaitu demi menghidupkan syari’at Nabi dan untuk menundukkan hawa nafsu yang senantiasa mengajak pada keburukan serta menghindakan diri dari kehidupan dunia. • Peserta Didik • Anak didik sebagai individu yang pasif sehingga diperlukan memiliki seorang guru yang dapat membimbing dan mengarahkannya secara total. • Pendidik • Satu-satunya penentu keberhasilan peserta didik dalam belajar. • Perilaku • Perilaku seseorang ditentukan oleh adanya kebiasaan. • Teori Belajar • Behavior-Transendental. 7. Pengaruh Imam al-Ghazali dalam Dunia Pendidikan Imam al-Ghazali sebagai tokoh yang memiliki kemampuan multi dimensional dalam arti beragam disiplin ilmu yang dia kembangkan. Ide-ide yang dia sajikan secara kritis senantiasa dihubungkan atau dilihat dalam perspektif agama. Pandangan-pandangannya sarat dengan nuansa sufistik. Hal 79 80 tersebut menyebabkan Imam al-Ghazali mempunyai arti tersendiri dalam dunia pendidikan. Di Indonesia, pengaruh dari pandangan dan ide-ide Imam al-Ghazali yang sarat dengan nuansa sufistik itu, bisa dilacak dari lembaga-lembaga pendidikan agama, khususnya pondok pesantren, yang banyak menggunakan referensi karangannya dalam berbagai aktifitas pendidikannya. Salah satu karangannya yang banyak dikonsumsi oleh kalangan pesantren adalah kitab 4- I $,J . Paling tidak, pengaruh yang ditimbulkan oleh Imam al-Ghazali adalah bahwa seseorang kemudian menganggap perlu membaca karya-karyanya, terutama yang berkaitan dengan persoalan pendidikan. Dari hasil telaah tersebut kemudian diinternalisasi dalam pola kognisi seseorang dan pada gilirannya, pemikiran Imam al-Ghazali itu akan melandasi pola pikir, sikap, dan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari adanya pendidikan. B. Profil Guru Dalam Perspektif Al-Ghazali 1. Pengertian Guru Imam al-Ghazali berkata: al-muallim (guru), al-mudarris (pendidik), dan al-walid (orang tua). yaitu seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran, serta bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah.89 89 Lihat Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, op. cit., hlm. 50. 80 81 “Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat, yang dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan. Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan nanti. Karena dengan akal, manusia menerima amanah Allah. Dan dengan akal akan sampai ke sisi Allah SWT. Adapun tentang umum kegunaannya, maka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan keberhasilannya ialah kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana tersembunyi? Guru itu berpengaruh dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala. Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifatNya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangannya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya.”90 “Maka seperti itu pulalah dengan ilmu pengetahuan, dapat disimpan seperti menyimpan harta benda. Bagi ilmu pengetahuan ada keadaan mencari, berusaha dan keadaan menghasilkan yang tidak memerlukan lagi kepada bertanya. Keadaan meneliti (istibshar), yaitu berpikir mencari yang baru dan mengambil faidah daripadanya. Dan keadaan memberi sinar cemerlang kepada orang lain. Dan inilah keadaan yang semulia-mulianya. Maka barang siapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar dalam alam malakut tinggi. Dia laksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Dia laksana kesturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan dia sendiripun harum.”91 Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut ilmunya, adalah seumpama suatu daftar yang memberi faidah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan dia sendiri tidak dapat memotong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya dan dia sendiri terbakar, sebagaimana kata pantun: ”Dia adalah laksana sumbu lampu yang dipasang, memberi cahaya kepada orang lain, dia sendiri terbakar menyala.92 90 91 92 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 77. Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, MA. SH., op. cit., hlm. 44. Ibid., hlm. 212. 81 82 Seluruh manusia itu akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu, seluruh orang-orang yang berilmu akan binasa kecuali orang-orang yang mempraktekkan ilmunya dan seluruh orang-orang yang mempraktekkan ilmunya itu binasa kecuali orang-orang yang berhati tulus.93 2. Syarat Kepribadian Guru Menurut Al-Ghazali Kepribadiaan bagi seorang guru menurut Al-Ghazali sangat penting. Al-Ghazali berkata: Guru itu harus mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal dilihat dengan mata kepala. Yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.94 Perumpamaan guru dengan murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat dan bayang-bayang dengan sepotong kayu. Maka bagaimanakah tanah itu bisa terukir indah, padahal ia adalah material yang tidak sedia diukir dan bagaimana pula bayang-bayang itu menjadi lurus, sedangkan kayu yang tersinar itu bengkok.95 Kemudian Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang guru:96 1. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada anak didiknya dan harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri. 2. Tidak menuntut upah dari murid-muridnya. Ia berpandangan bahwa mengajar itu wajib bagi setiap orang yang berilmu, maka seorang guru baginya, tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar dan mengharapkan pujian, ucapan terima kasih atau balasan bagi muridmuridnya, karena ia melaksanakan kewajibannya. 3. Tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus bersungguh-sungguh dan tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika mereka membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu yang sesuai dengan setiap tingkat kecerdasan para siswa. Guru harus 93 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 23. Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 222. 95 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazail, op. cit., hlm. 52. 96 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali), op. cit., hlm. 98-101. 94 82 83 mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata peserta didiknya.. 4. Menjauhi akhlak yang tercela dengan cara menghindarinya sedapat mungkin, dan harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan beraklak terpuji lainnya. 5. Tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya, dan hendaklah seorang guru mendorong muridnya mencari pula ilmu dari yang lain dengan meninggalkan kefanatikan kepada salah seorang guru sedang yang lain tidak. Kata Imam Ghazali: Seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain di hadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih, guru fiqih melecehkan ilmu-ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits dan tafsir itu adalah semata-mata menyalin dan mendengar. Cara yang demikian adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya.97 6. Memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, dan memahami potensi yang dimiliki anak didik Seorang guru harus mamahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya. Al-Ghazali berkata: Seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberi pelajaran yang belum sampai tingkat akal pikirannya sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadikan tumpul otaknya.98 Selain itu, Al-Ghazali juga berkata:99 Sesungguhnya faktor yang mendorong membekasnya keraguan murid pada guru adalah perasaan bahwa gurunya kikir ilmu dan tidak melaksanakan kewajibannya, khusus apabila murid di satu sisi dibohongi yang biasanya menyertai masa dewasa. Oleh karena itu,hendaklah guru menyampaikan ilmu pada murid yang hendak kemampuannya secara jelas yang sesuai dengan umurnya dan jangan menjelaskan bahwa di balik ini ada rahasia yang tersimpan yang dapat merendahkan keinginannya pada apa yang nyata dan meragukan hatinya dan menyangka guru kikir padanya. Setiap orang akan menyangka bahwa dia ahli ilmu-ilmu yang rahasia. Tiada seorangpun yang tidak memperoleh dari Allah 97 98 99 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 218. Al-Ghazali, Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 219. Dahlan Tamrin¸ Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya, (Malang: 1988), hal. 56. 83 84 kesempurnaan akalnya. Sebab sebodoh-bodoh dan selemah-lemah akal mereka, mereka bangga dengan kesempurnaan akalnya. 7. Kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan suatu pelajaran (ilmu pengetahuan). 8. Guru harus mengingatkan muridnya, agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tapi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Guru juga harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 9. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu. Seorang guru harus memegang dasar-dasar agama yang prinsip dan berusaha merealisirnya, diantaranya adalah bersikap adil. Al-Ghazali berkata : Bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru dan mengakibatkan dia lebih berani menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu.100 3. Tugas dan Kewajiban Guru menurut Al-Ghazali Menurut Imam al-Ghazali seorang guru memiliki tugas-tugas tertentu sebagai berikut: 1. Memberikan kasih sayang kepada anak didik. Imam al-Ghazali berkata: Guru hendaknya menunjukkan kasih sayang kepada pelajar dan memperlakukannya seperti anak sendiri.101 2. Mengikuti jejak Rasulallah dalam tugas dan kewajibannya. Al-Ghazali berpendapat: 100 101 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 217. Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. (Jakarta: Pustaka Amani), hal. 14 84 85 seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepadaNya.”102 3. Sebagai Pengarah dan Pembimbing Imam al-Ghazali berkata: Hendaklah guru menasihati pelajar (murid) dan melarangnya dari akhlak tercela, dan tidak menyimpan sesuatu nasihat untuk hari esok; seperti melarangnya dari mencari kedudukan sebelum patut memperolehnya dan melarang murid belajar ilmu yang tersembunyi sebelum menyempurnakan ilmu yang terang.103 4. Menjadi teladan yang baik bagi anak didik Imam al-ghazali mengatakan: Patutlah seorang guru bersikap lurus (istiqamah), kemudian menuntut si murid bersikap lurus. Kalau tidak, maka nasihat itu tidak berguna, karena meneladani perbuatan lebih kuat daripada meneladani perkataan.104 4.Kriteria Dalam Memilih Guru menurut Al-Ghazali Dalam kitab Ihya’nya, Imam al-Ghazali mengatakan antara lain: Orang yang menetapkan diri dan bertekad untuk mengambil pekerjaan sebagai pengajar, ia harus menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai berikut: pertama, harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri; kedua, mengikuti teladan dan contoh Rasulullah dalam arti tidak boleh mengharapkan imbalan dan upah dari pekerjaannya selain kedekatan diri kepada Allah; ketiga, harus mengingatkan muridnya bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk kekuasaan dan kebanggan diri; keempat, guru harus mencegah muridnya dari memiliki watak dan perilaku jahat; kelima, tidak boleh merendahkan ilmu lain di hadapan muridnya; keenam, mengajar murid-muridnya hingga batas kemampuan pemahaman mereka; ketujuh, harus mengajarkan kepada murid yang terbelakang dengan jelas dan sesuai dengan tingkat pemahamannya yang 102 103 104 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 214. Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub. Ibid., hlm. 216 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub Ibid., hlm. 218 85 86 terbatas; kedelapan, guru harus melakukan terlebih dahulu apa yang diajarkannya dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya.105 C. Profil Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali 1. Pengertian Murid Dalam hubungan ini Imam al-Ghazali mengatakan: Al-Thalib adalah bukan kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan mendahulukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Bahwasannya ia adalah seseorang yang telah mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seseorang yang sudah mampu dimintai pertanggungjawaban dalam melaksanakan aktivitas kewajiban agama yang dibebankan kepadanya sebagai fardu ‘ain. Seorang al-thalib adalah manusia yang telah memiliki kesanggupan untuk memilih jalan kehidupannya, menentukan apa yang dinilainya baik, dan tidak pula dibebankan kepadanya untuk berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam memperolehnya, sebagaimana pula sebaliknya ia bisa menilai atas sesuatu sebagai yang buruk atau tidak baik untuk ditinggalkan dan kemudian menyucikan dirinya.106 2. Tugas dan Kewajiban Murid menurut Al-Ghazali 1. Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah. Imam al Ghazali mengatakan: najasah tidak khusus mengenai baju. Maka, selama bathin tidak dibersihkan dari hal-hal yang keji, ia pun tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati. Seorang muhaqqiq berkata, “Kami belajar ilmu untuk selain allah, namun ilmu itu menolak kecuali untuk allah. Yakni, ilmu itu menolak terhadap 105 106 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beyrut: Dar al-Fiqrah, 1995), jilid 1, hlm. 76-79. Ibid., hlm. 51 86 87 kami sehingga kami tidak dapat mengetahui hakikatnya, melainkan hanya kami dapatkan hadist dan lafal-lafalnya.107 2. Mengurangi kesenangan-kesenangan duniawinya dan menjauh dari kampung halaman hingga hatinya terpusat pada ilmu. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa: Allah tidak menjadikan dua hati bagi seseorang di dalam rongga badannya. Oleh karena itu dikatakan, “Ilmu itu tidak memberikan sebagiannya hingga engkau memberinya seluruh milikmu.” 108 3. Tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru. Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan contoh: Seperti orang sakit yang gawat memberi kebebasan kepada dokter tanpa berbuat sewenang-wenang terhadapnya, dengan sesuatu dalam menuntut suatu macam obat tertentu. Patutlah ia terus berkhidmat kepada guru. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit menyalati jenazah, tibatiba datanglah seekor bagal (keledai) untuk dinaiki, maka ibnu abbas datang dan memegang kendalinya. Zaid berkata, “Biarkan dia, wahai putra paman Rasulullah Saw.” Ibnu Abbas berkata, “Demikianlah kami disuruh memperlakukan para ulama dan orang-orang besar.” Kemudian Zaid mencium tangannya seraya berkata, “Demikianlah kami disuruh memperlakukan ahli bait (keluarga) Nabi kita Saw.”109 4. Menghindar dari mendengarkan perselisihan-perselisihan diantara ulama atau sesama manusia, Imam al-Ghazali berasumsi: Hal yang seperti itu (perselisihan-perselisihan diantara ulama atau sesama manusia) dapat menimbulkan prasangka yang buruk dan juga dapat menimbulkan kebingungan, keragu-raguan serta kurang percaya terhadap kemampuan guru. Pada pertama kali hatinya condong kepada segala yang disampaikan kepadanya, terutama hal-hal yang menyebabkan kemalasan 107 Ibid., 11 Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Op.Cit., hlm. 11 109 Imam al-Ghazali. 2007. Op.Cit., hlm. 11-12 108 87 88 dan pengangguran, seperti ibadahnya para sufi. Para pemula tidak boleh mengikuti perbuatan-perbuatan dari orang-orang yang sudah mendalam, hingga sebagian mereka berkata, “Barangsiapa mengunjungi kami pertama kali, ia pun menjadi teman. Dan siapa mengunjungi kami pada akhirnya, ia pun menjadi zindiq.” Pada akhirnya mereka tidak bergerak kecuali dalam mengerjakan amalan-amalan fardhu. Mereka mengganti amalan sunnah dengan gerakan hati dan penyaksian yang kekal. Orang yang lalai menganggapnya pengangguran dan kemalasan.110 5. Tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi ia menekuninya hingga mengetahui maksudnya. Imam al-Ghazali mengatakan: Seorang pelajar hendaknya tidak berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran sebelumnya, mengingat bahwa berbagai ilmu itu saling berkaitan satu sama lain. 6. Mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Imam al-Ghazali mengatakan: Jika umur membantunya, ia pun menyempurnakannya (ilmu yang dipelajarinya). Kalau tidak, ia memilih yang paling penting dan memilih yang paling penting dapat dilakukan setelah mengetahui seluruhnya.111 7. Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala. Imam al-Ghazali mengatakan: Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala.dan kepada derajat tertinggi diantara malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah). Dan dengan ilmu itu ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta dan pangkat.112 110 Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 12. Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 13. 112 Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 14. 111 88 89 3. Akhlak Murid Terhadap Guru menurut Al-Ghazali Imam al-Ghazali mengatakan: Hendaknya (murid) tidak mendebat dan banyak argumentasi meski guru keliru, tidak menggelar sajadah dihadapannya kecuali pada waktu shalat, tidak memperbanyak shalat sunnah di hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya sebatas kemampuannya, tidak mengingkari apa yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar ia tidak dicap sebagai hipokrit.113 113 Ibid., hlm. 26 89 90 BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Profil Guru Dalam Perspektif Al-Ghazali 1. Pengertian Guru Imam al-Ghazali berkata: al-muallim (guru), al-mudarris (pendidik), dan al-walid (orang tua). yaitu seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran, serta bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah.114 Dalam mempelajari Imam Al-Ghazali, sesuatu yang sangat penting untuk dikatakan dari pendidikan adalah perhatiannya yang sangat dalam tentang ilmu dan pendidikan maupun keyakinannya yang kuat bahwa pendidikan yang baik itu merupakan suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya beliau memberikan kedudukan yang tinggi bagi seorang guru dan menaruh kepercayaannya terhadap seorang guru yang baik sebagai penasehat atau pembimbing yang baik. Sejalan dengan itu Drs. Syiful Bahri Djamarah, M.Ag mengatakan: Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat (sosial) kewibawaan (keilmuan dan kedekatannya terhadap tuhanlah) yang menyebabkan guru dihormati dan disegani, sehingga masyarakat tidak 114 Lihat Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, op. cit., hlm. 50. 90 91 meragukan figure guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.115 Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti pengajar. Selain itu terdapat kata tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator, pendidik, ahli didik, lecturer, pemberi kuliah, penceramah. Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada pengertian guru, yaitu; al-Alim (jamaknya ulama) atau al-Mu’allim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada hati guru. Selain itu, adalah al-Mudarris (untuk arti orang yang mengajar atau orang yang memberi pelajaran) dan al-Muaddib (yang merujuk kepada guru yang secara khusus mengajar di istana) serta al-Ustadz (untuk menunjuk kepada guru yang mengajar bidang pengetahuan agama Islam, dan sebutan ini hanya dipakai oleh masyarakat Indonesia dan Malaysia). 116 Al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan berbagai kata, al-muallim (guru), al-mudarris (pendidik), dan al-walid (orang tua).117 Sehingga guru dalam arti umum, yaitu seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran, serta bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan 115 Drs. Syiful Bahri Djamarah, M.Ag. 2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif; suatu pendekatan teoritis psikologis, (Jakarta: Rineka cipta), hlm. 31 116 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali),(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal.41. 117 Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, op. cit., hlm. 50. 91 92 dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Al-Ghazali sering mengemukakan pendapatnya tentang ketinggian derajat dan kedudukan para guru ini dalam beberapa tempat dikitabnya, Ihya’ Ulumuddin. Misalnya beliau berkata: “Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat, yang dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan. Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan nanti. Karena dengan akal, manusia menerima amanah Allah. Dan dengan akal akan sampai ke sisi Allah SWT. Adapun tentang umum kegunaannya, maka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan keberhasilannya ialah kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana tersembunyi? Guru itu berpengaruh dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala. Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifatNya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangannya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya.”118 Al-Ghazali menyamakan keberhasilan ilmu dengan terhimpunnya harta kekayaan. Artinya, baik orang yang berhasil memperoleh ilmu maupun orang berhasil mengumpulkan harta kekayaan berada di dalam salah satu dari empat jenis berikut ini: 1. Orang yang berhasil memperoleh harta kekayaan atau ilmu lalu disimpannya, tidak dimanfaatkan untuk kepentingan apapun juga. 118 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 77. 92 93 2. Orang yang menyimpan harta kekayaan atau ilmu sebanyak-banyaknya untuk dimanfaatkan sendiri, sehingga ia tidak perlu untuk meminta-minta. 3. Orang yang berhasil memperoleh ilmu atau harta kekayaan untuk dimanfaatkan atau dinafkahkan sendiri. 4. Orang yang berhasil memperoleh ilmu atau harta kekayaan untuk dinafkahkan atau dengan menyebarkan ilmunya untuk menolong orang lain.119 Selanjutnya beliau berkata dalam Ihya’ Ulumuddin: “Maka seperti itu pulalah dengan ilmu pengetahuan, dapat disimpan seperti menyimpan harta benda. Bagi ilmu pengetahuan ada keadaan mencari, berusaha dan keadaan menghasilkan yang tidak memerlukan lagi kepada bertanya. Keadaan meneliti (istibshar), yaitu berpikir mencari yang baru dan mengambil faidah daripadanya. Dan keadaan memberi sinar cemerlang kepada orang lain. Dan inilah keadaan yang semulia-mulianya. Maka barang siapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar dalam alam malakut tinggi. Dia laksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Dia laksana kesturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan dia sendiripun harum.”120 Al-Ghazali menganggap orang termasuk dalam jenis keempat adalah orang yang paling paling mulia. Karena, orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya hingga orang lain dapat memanfaatkannya diibaratkan sebagai matahari yang memancarkan sinarnya kepada makhluk lain, sedangkan dirinya sendiri tetap bersinar dan juga sebagai minyak kasturi yang menyebarkan parfum kepada sekitarnya, sedangkan dia sendiri masih tetap mempunyai bau yang harum itu. Dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin beliau juga berkata sebagai berikut: Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut ilmunya, adalah seumpama suatu daftar yang memberi faidah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan dia sendiri tidak dapat memotong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat 119 120 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 43. Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, MA. SH., op. cit., hlm. 44. 93 94 menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya dan dia sendiri terbakar, sebagaimana kata pantun: ”Dia adalah laksana sumbu lampu yang dipasang, memberi cahaya kepada orang lain, dia sendiri terbakar menyala.121 Dari keempat perumpamaan Al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa profesi keguruan merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung dibandingkan dengan profesi yang lain. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Drs. Moh. Uzer Usman: bahwa tugas dan peran guru tidaklah terbatas di dalam masyarakat, lebih dari itu guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peran yang sangat urgen dalam menentukan gerak maju kehidupan dan peradaban bangsa.122 Dan yang utama menurut hemat penulis sendiri dengan profesinya itu pula seorang guru menjadi perantara antara manusia dalam hal ini murid, dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Sudah jelas seorang guru telah mengemban pekerjaan yang sangat penting, karena pendidikan Islam adalah berintikan agama yang mementingkan akhlak, meskipun ia mempunyai bermacam-macam cabang dan tujuan. Sebagaimana yang dikatakan Oleh karena itu, ia dianggap sebagai bapak kerohanian, yaitu seorang yang mempunyai tugas yang sangat tinggi dalam dunia ini, yaitu memberikan ilmu sebagai makanannya, sebagai kebutuhan manusia yang tinggi, disamping ia sebagai alat untuk sampai kepada Tuhan. 121 122 Ibid., hlm. 212. Drs. Moh. Uzer Usman. Menjadi Guru Professional. (Bandung: Rosdakarya, 2007), hlm. 7. 94 95 Dengan ini Al-Ghazali telah mengangkat status guru dan menumpukkan kepercayaannya kepada guru yang dinilainya sebagai pemberi petunjuk (mursyid) dan pembina rohani yang terbaik. Guru adalah bekerja menyempurnakan, mengangkat derajat, membersihkan dan menggiringnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Zakiyah Darajat: Guru adalah orang yang menjadi perantara untuk membantu anak didiknya memiliki ilmu pengetahuan sekaligus agar dekat kepada tuhan sebagai sang pencipta.123 Jadi, mengajar ilmu termasuk pengabdian kepada Allah, sekaligus mengemban amanah Allah SWT yang terbesar. Selanjutnya, ia jelaskan pula keutamaan mengajar dan kewajiban melaksanakannya bagi orang berilmu. Ia sebutkan bahwa orang yang mengetahui tapi tidak menyebarkan ilmunya, tidak ia amalkan dan tidak pula ia ajarkan kepada orang lain, maka ia sama saja seperti mengumpulkan harta untuk disimpan tanpa dapat dimanfaatkan siapapun. Al-Ghazali juga menjelaskan arti pentingnya pengajaran dan kewajiban melaksanakannya dengan keharusan berhati tulus. Dalam melukiskan pentingnya pengajaran dan kewajiban serta keharusan ikhlas dalam mengajar, Al-Ghazali berkata dalam Fatihatul Ulum sebagai berikut: Seluruh manusia itu akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu, seluruh orang-orang yang berilmu akan binasa kecuali orang-orang yang 123 Siti Fatchurohmah. 2006. “Sosok Guru Menurut al-Ghazali dan Zakiah Daradjat”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang. hlm. 73. 95 96 mempraktekkan ilmunya dan seluruh orang-orang yang mempraktekkan ilmunya itu binasa kecuali orang-orang yang berhati tulus.124 Yang dimaksud dengan hati tulus adalah orang yang dalam perbuatannya itu bersih dari campuran dan murni. Maksudnya adalah, bahwa pelakunya itu tidak menghendaki imbalan atas perbuatnn itu. Jadi, dalam mengajar itu menurut AlGhazali harus dilandasi dengan keikhlasan tanpa mengharap imbalan dari perbuatan itu. Tugas guru adalah seperti tugas para utusan Allah, Rasulullah sebagai mualllimul awwal fil Islam (guru pertama dalam Islam) bertugas membacakan, menyampaikan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (Al-Quran) kepada manusia, mensucikan diri dari jiwa dan dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, serta menceritakan tentang manusia di zaman yang silam, mengaitkan dengan kehidupan pada zamannya dan memprediksikan pada kehidupan di zaman yang akan datang. Dengan demikian tampaklah bahwa secara umum guru bertugas dan bertanggung jawab seperti Rasul tidaklah terikat dengan ilmu atau bidang studi yang diajarkannya, yaitu menghantarkan murid dan manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas ketuhanan. Ia sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi bertanggung jawab pula memberikan wawasan kepada murid agar menjadi manusia yang mampu menggali ilmu pengetahuan dan menciptakan lingkungannya yang menarik dan menyenangkan. Pendidikan kesusilaan, budi 124 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 23. 96 97 pekerti, etika, moral maupun akhlak bagi murid bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bidang studi agama atau yang ada kaitannya dengan budi. Dengan demikian, pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia menuntut adanya kesamaan arah dari seluruh unsur yang ada, termasuk unsur pendidikannya. Dari uraian di atas, tampak betapa berat tugas dan tanggung jawab seorang guru. Jika kita teliti, barang kali jarang dijumpai seorang guru yang dapat memenuhi segala persyaratan tersebut. Oleh karena itu, perlu penyaringan ketat terhadap calon guru untuk mengetahui siapa yang berbakat dan memenuhi persyaratan itu. 2. Syarat Kepribadian Guru Menurut Al-Ghazali Kepribadiaan bagi seorang guru menurut Al-Ghazali sangat penting. AlGhazali berkata: Guru itu harus mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal dilihat dengan mata kepala. Yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.125 Dalam arti sederhana, kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatannya yang membedakan dirinya dari orang lain. Mc. Leod (1989), mengartikan kepribadian (personality) sebagai sifat khas yang dimiliki seseorang. Menurut tinjauan psikologi, kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan antara aspek perilaku mental (pikiran, perasaan dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata). Aspek-aspek ini 125 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 222. 97 98 berkaitan secara fungsional dalam diri seorang individu, sehingga membuatnya bertingkah laku secara khas dan tetap.126 Kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan bahwa disamping ia berperan sebagai pembimbing dan pembantu anak didik untuk mencapai kedewasaan, guru juga berperan sebagai panutan. Setiap orang yang akan melaksanakan tugas guru harus mempunyai kepribadian. Guru adalah seorang yang seharusnya dicintai dan disegani oleh muridnya. Penampilannya dalam mengajar harus meyakinkan dan tindaktanduknya akan ditiru dan diikuti oleh muridnya. Penampilannya dalam mengajar harus meyakinkan dan tindak-tanduknya akan ditiru dan diteladani.127 Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, ia harus tabah dan tahu cara memecahkan berbagai kesulitan dalam tugasnya sebagai pendidik. Ia juga harus mau dan rela serta memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang langsung berhubungan dengan proses belajar mengajar Perkataan Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seorang guru adalah lebih penting dari pada ilmu pengetahuan yang dimiliki. Karena kepribadian seorang guru akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi, Al-Ghazali sangat menganjurkan 126 127 Muhibbin Syah, M.Ed. op.cit., hlm. 225. Zakiah Daradjat, et. al., Metodologi Pengajaran Agama Islam, op. cit., hlm. 98. 98 99 agar seorang guru mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan kepada anak didiknya. Antara guru dengan anak didik oleh Al-Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan bayang-bayang. Bagaimana bayang-bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok. Kata Imam Al-Ghazali: Perumpamaan guru dengan murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat dan bayang-bayang dengan sepotong kayu. Maka bagaimanakah tanah itu bias terukir indah, padahal ia adalah material yang tidak sedia diukir dan bagaimana pula bayang-bayang itu menjadi lurus, sedangkan kayu yang tersinar itu bengkok.128 Maka dari itu, kepribadian seorang guru dipandang sangat penting. Karena tugas guru bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga harus mampu melaksanakan atau memberi contoh sesuai dengan apa yang telah diberikan atau yang diajarkan kepada anak didiknya. Sejalan dengan hal tersebut menurut Fathiyah, syarat-syarat kepribadian (sifat-sifat terpenting) yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain:129 2) Jujur dan tulus dalam berkarya. 3) Santun dan sayang terhadap murid. 4) Toleran dan berlapang dada dalam hal-hal berkaitan dengan ilmu dan abdi ilmu. 5) Tidak terpaut pada materi. 6) Berilmu luas dan bermakrifah yang dalam serta berpendirian kuat dan berpegang teguh pada prinsip. 128 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazail, op. cit., hlm. 52. Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali), op. cit., hlm. 45. 129 99 100 Munurut Zainuddin, syarat-syarat kepribadian guru adalah sebagai berikut:130 1). Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik, karena kepandaian murid itu mungkin berbeda-beda. Maka dari itu, guru harus dapat mengukur kadar dan kemampuan muridnya, sehingga ia tidak memberi pertanyaan yang terlalu mudah kepada mereka yang pandai, dan ia bertanya materi yang terlalu sulit bagi mereka yang terlalu pandai. Dengan demikian guru selalu menjadi pusat perhatian bagi murid, mereka tidak akan menyepelekan dan tetap menghormatinya. 2). Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih. 3). Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya’ atau pamer. 4). Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang dhalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya. 5). Bersikap tawadlu’ dalam pertemuan-pertemuan. 6). Sikap dan pembicaraannya tidak main-main. 7). Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya. 8). Menyantuni serta tidak membentak-bemtak orang-orang bodoh. 9). Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaikbaiknya. 10). Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak dimengerti. 11). Menampilkan hujjah yang benar, apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’ pada kebenaran. Kemudian Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang guru:131 1. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada anak didiknya dan harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri. Seorang yang akan berhasil melaksanakan tugasnya apabila memunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap muridnya sebagaimana yang ia lakukan terhadap anaknya sendiri. 130 Zainuddin, et. al., op. cit., hlm. 56-57. Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali), op. cit., hlm. 98-101. 131 100 101 Dalam kaitan ini, Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua anak tersebut. Menurutnya, orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak ke dunia yang hanya sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh sebab itu, seorang guru memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua murid. Oleh sebab itu, seorang guru wajib memperlakukan murid-murid dengan rasa kasih sayang dan mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan di akhirat yang kekal dan bahagia. 2. Tidak menuntut upah dari murid-muridnya. Ia berpandangan bahwa mengajar itu wajib bagi setiap orang yang berilmu, maka seorang guru baginya, tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar dan mengharapkan pujian, ucapan terima kasih atau balasan bagi murid-muridnya, karena ia melaksanakan kewajibannya. 3. Tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus bersungguh-sungguh dan tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika mereka membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu yang sesuai dengan setiap tingkat kecerdasan para siswa. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata peserta didiknya.. 4. Menjauhi akhlak yang tercela dengan cara menghindarinya sedapat mungkin, dan harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan beraklak terpuji lainnya. 101 102 Hal itu dikarenakan bahwa teladan yang dijadikan ikutan dan anutan oleh murid-muridnya, maka kepribadian yang mulia dan kelapangan dada harus diangkat sebagai sifat-sifat utama bagi seorang guru. 5. Tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya, dan hendaklah seorang guru mendorong muridnya mencari pula ilmu dari yang lain dengan meninggalkan kefanatikan kepada salah seorang guru sedang yang lain tidak. Kata Imam Ghazali: Seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain di hadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih, guru fiqih melecehkan ilmu-ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits dan tafsir itu adalah semata-mata menyalin dan mendengar. Cara yang demikian adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya.132 6. Memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, dan memahami potensi yang dimiliki anak didik Seorang guru harus mamahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya. Seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki murid. Dalam hubungan ini AlGhazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan 132 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 218. 102 103 batas pemahaman murid. Dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya. Al-Ghazali berkata: Seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberi pelajaran yang belum sampai tingkat akal pikirannya sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadikan tumpul otaknya.133 Jelaslah bahwa, seorang guru seharusnya dapat memperkirakan mata pelajaran yang dapat dijangkau oleh pemahaman anak, yaitu memberikan pelajaran dan sesuatu hakikat pada anak apabila diketahui bahwa anak itu akan sanggup memahaminya dan menempatkan setiap anak pada tempat yang wajar sesuai dengan kemampuan akal pikirannya serta memperhatikan tingkat kecerdasan dan pengetahuan mereka, sehingga mereka dapat mengerti, memahami dan menguasai mata pelajaran itu dengan sesungguhnya. Imam Ghazali dalam pemikirannya telah sampai kepada tujuan yang telah dicapai oleh para tokoh pendidik modern. Yakni, perlu adanya keharmonisan antara bahan pelajaran dengan Intelligence Quotient (IQ) murid. Karena tanpa adanya keserasian ini menyebabkan murid meninggalkan pelajaran dan kacau pikirannya, yang berakhir dengan kecemasan dan kegagalan. Selain itu, Al-Ghazali juga berkata:134 Sesungguhnya faktor yang mendorong membekasnya keraguan murid pada guru adalah perasaan bahwa gurunya kikir ilmu dan tidak melaksanakan kewajibannya, khusus apabila murid di satu sisi dibohongi yang biasanya menyertai masa dewasa. Oleh karena itu,hendaklah guru menyampaikan ilmu pada murid yang hendak kemampuannya secara jelas yang sesuai dengan 133 134 Al-Ghazali, Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 219. Dahlan Tamrin¸ Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya, (Malang: 1988), hal. 56. 103 104 umurnya dan jangan menjelaskan bahwa di balik ini ada rahasia yang tersimpan yang dapat merendahkan keinginannya pada apa yang nyata dan meragukan hatinya dan menyangka guru kikir padanya. Setiap orang akan menyangka bahwa dia ahli ilmu-ilmu yang rahasia. Tiada seorangpun yang tidak memperoleh dari Allah kesempurnaan akalnya. Sebab sebodoh-bodoh dan selemah-lemah akal mereka, mereka bangga dengan kesempurnaan akalnya. 7. Kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan suatu pelajaran (ilmu pengetahuan). 8. Guru harus mengingatkan muridnya, agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tapi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Guru juga harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 9. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu. Seorang guru harus memegang dasar-dasar agama yang prinsip dan berusaha merealisirnya, diantaranya adalah bersikap adil. Guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya. Artinya, dia tidak bepihak atau mengutamakan kelompok tertentu. Dalam hal ini dia harus menyikapi setiap anak didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya. Rasulallah SAW adalah teladan untuk seorang pendidik, sebagaimana perintah Allah kepada beliau ini . 104 105 öΝà6¨ΖtΒÌôftƒ ωuρ ( Ÿ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (šu!#y‰pκà− ¬! ÏΒ≡§θs% #θçΡθä. #θãΨtΒ#u Ï%©!$# š $pκš‰r'¯≈tƒ ©!$# χÎ) 4 ' ©!$# (#θà)¨?$#uρ 3( “uθø)−G=Ï9 Ü>tø%r& θèδ #θä9ωôã$# (#θä9ω÷ès? ωr& #’n?tã BΘöθs% ãβ$t↔oΨx© ∩∇∪ šχθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ 7Î6yz Artinya “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang 135 kamu kerjakan”. (Q.S.. Al-Ma’idah: 8) Dalam pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang guru meliputi berbagai aspek, yaitu: 1. Tabi’at dan perilaku pendidik. 2. Minat dan perhatian terhadap proses belajar-mengajar. 3. Kecakapan dan keterampilan mengajar. 4. Sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran. Dalam suasana tertentu seorang guru pun juga harus berperan sebagai kawan berani dalam rangka bimbingan ke arah terwujudnya tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Disamping itu, kewibawaan juga sangat menunjang dalam perannya sebagai pembimbing. Semua perkataan, sikap dan perbuatan yang baik darinya akan memancar kepada muridnya. Oleh karena itu, seorang guru harus mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi dan senantiasa memperhatikan 135 DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 159. 105 106 prinsip-prinsip mengajar seperti kasih sayang, tidak membesar-besarkan kesalahan murid, tidak mengejek atau mencelanya, tidak menggunakan kekerasan dalam mengubah perilaku murid yang tidak baik menjadi beraklak mulia. Sedapat mengkin dalam memberi nasihat, seorang guru menggunakan kata-kata kiasan atau sindiran, tidak secara langsung, karena cara yang kurang bijaksana dalam mengubah perilaku dapat menyebabkan murid mungkin takut kepada guru, sungkan, menentang atau berani kepadanya. Al-Ghazali berkata : Bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru dan mengakibatkan dia lebih berani menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu.136 Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa sosok guru ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, dapat bekerja sama dengan para siswa dalam memecahkan masalah. Ia menjadi idola di mata siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. Di sini terlihat bahwa pada akhirnya para siswa dibimbing menuju Allah, atau berbagai upaya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dalam belajar, namun pada akhirnya harus dapat membawa siswa menuju Allah. Atas dasar ini, terlihat jelas 136 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 217. 106 107 sekali pengaruh pemikiran Al-Ghazali sebagaimana disebutkan di atas. Demikian pula sikap guru yang harus berniat ikhlas, tidak mengharapkan imbalan, berakhlak mulia, mengamalkan ilmu yamg diajarkannya dan menjadi panutan serta mengajak pada jalan Allah, adalah merupakan nilai-nilai ajaran tasawuf, yaitu ajaran tentang zuhud, qana’ah, tawakkal, ikhlas dan ridla sebagaimana telah diuraikan di atas. 3. Tugas dan Kewajiban Guru menurut Al-Ghazali Menurut Imam al-Ghazali seorang guru memiliki tugas-tugas tertentu sebagai berikut: 5. Memberikan kasih sayang kepada anak didik. Imam al-Ghazali berkata: Guru hendaknya menunjukkan kasih memperlakukannya seperti anak sendiri.137 sayang kepada pelajar dan Seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya sendiri. Jadi, hubungan psikologis antara guru dengan anak didiknya seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh ke dalam proses pendidikan dan pengajaran. Rasa kasih sayang terhadap murid adalah sifat yang terpenting yang harus dimiliki oleh seorang guru, dengan ikhlas dan pengabdiannya.. Karena sifat ini akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan 137 Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. (Jakarta: Pustaka Amani), hal. 14 107 108 tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. H. Hadari Nawawi: Hendaknya sikap tulus ikhlas tampil dari hati yang rela berkurban untuk anak didik, yang diwarnai juga dengan kejujuran, keterbukaan dan kesabaran. Sebab tulus ikhlas, merupakan motivasi untuk melakukan pengabdian dalam mengemban peranan sebagai pendidik.138 Dalam hal ini Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan seorang anak, maka guru lebih utama dari orang tua tersebut. Menurutnya, orang tua berperan sebagai penyebab adanya anak di dunia ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan kekal di akhirat. Dengan demikian, seorang guru memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua murid. Demikian seorang guru wajib memperlakukan muridnya dengan penuh kasih sayang, dan mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan di akhirat yang kekal dan bahagia.. 6. Mengikuti jejak Rasulallah dalam tugas dan kewajibannya. Al-Ghazali berpendapat: seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepadaNya.”139 Dengan demikian seorang guru hendaknya menjadi wakil dan pengganti Rasulullah yang mewarisi ajaran-ajarannya dan memperjuangkan dalam 138 139 Prof. Dr. H. Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan Dalam Islam. Op. Cit., hlm. 109 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 214. 108 109 kehidupan masyarakat. Demikian pula perilaku dan perbuatan, kepribadian seorang guru harus mencerminkan ajaran-ajarannya, sesuai dengan akhlak Rasulullah, karena beliau dilahirkan di dunia ini adalah sebagai “uswatun khasanah atau figur ideal” bagi umat manusia pada umumnya dan bagi seorang guru pada khususnya.. sebagaimana yang dikatakan pula oleh Zainuddin: Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi pengganti Rasulalluh Saw; dialah sebenar-benarnya ‘Alim (berilmu, intelektualen). Tetapi tidak pulalah tiap-tiap orang yang alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti rasulullah Saw itu.140 7. Sebagai Pengarah dan Pembimbing Imam al-ghazali berkata: Hendaklah guru menasihati pelajar (murid) dan melarangnya dari akhlak tercela, dan tidak menyimpan sesuatu nasihat untuk hari esok; seperti melarangnya dari mencari kedudukan sebelum patut memperolehnya dan melarang murid belajar ilmu yang tersembunyi sebelum menyempurnakan ilmu yang terang.141 Dari penjelasan diatas dapatlah difahami, bahwa seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan murid-muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai yang sebelumnya. Dimana, seorang pelajar tidak boleh mendalami suatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum ia menyelesaikan bidang ilmu pengetahuan yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu berurutan secara jelas, sebagian menuju sebagian yang lain, 140 141 Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Ibid., hlm. 61. Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub. Ibid., hlm. 216 109 110 sehingga suatu pelajaran harus dipelajari secara berangsur-angsur. Sejalan dengan hal tersebut Drs. Moh. User Usman mengatakan: Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidi berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada murid.142 Mempelajari ilmu pengetahuan memang selayaknya memperhatikan kesesuaiannya, yaitu yang menuntut urutan dalam setiap mata pelajaran dengan tujuannya yang jelas serta bertingkat menuju tingkat berikutnya, sehingga diharapkan dapat menimbulkan suatu proses pertumbuhan akal pikiran dan perkembangan mental yang baik. 8. Menjadi teladan yang baik bagi anak didik Imam al-ghazali mengatakan: Patutlah seorang guru bersikap lurus (istiqamah), kemudian menuntut si murid bersikap lurus. Kalau tidak, maka nasihat itu tidak berguna, karena meneladani perbuatan lebih kuat daripada meneladani perkataan.143 Mengingat guru sebagai teladan yang akan dicontoh dan ditiru murid, maka seorang guru harus konsekuen dan mampu menjaga antara perkataan, ucapan, perintah, dan larangan dengan amal perbuatan guru, karena yang lebih penting perbuatannya bukan ucapannya. Seorang guru harus benar-benar dapat digugu dan ditiru. Artinya, segala tutur katanya, segala anjurannya, segala nasehatnasehatnya harus benar-benar dapat dipercaya, harus benar-benar dapat 142 143 Drs. Moh. User Usman. 2007. Menjadi Guru Professional. (Bandung: Rosdakarya), hlm. 7 Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub Ibid., hlm. 218 110 111 dipergunakan sebagai pegangan, sebagai pedoman dan segala gerak-geriknya, segala tingkah lakunya, segala perbuatannya harus benar-benar menjadi contoh. Karena segala tingkah laku dari pendidik selalu diamati benar-benar oleh anak didik. Hal ini dengan tidak sadar ditirunya. Sebagaimana juga dikatakan oleh. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi: Kehidupan ini sebahagian terbesar dilalui dengan saling meniru atau mencontoh oleh manusia yang satu pada manusia yang lain. Kecenderungan mencontoh itu sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan anak didik tersebut. 144 Dengan penjelasan tersebut diatas maka dalam proses pendidikan gurulah yang menjadi teladan yang tepat bagi murid atau anak didiknya. Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi itu pulalah, Rasulullah dijadikan oleh Allah, dalam pribadinya uswatun hasanah (teladan yang baik). Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa apa yang keluar dari lisannya sama dengan apa yang ada didadanya. Seorang guru seharusnya juga demikian dalam mengamalkan pengetahuannya, bertindak sesuai dengan apa yang dinasehatkan kepada murid. Hal yang menonjol adalah berkaitan dengan tugas guru adalah masalah moral, etika atau akhlak, dimana itu terhimpun dalam ajaran Islam. 4.Kriteria Dalam Memilih Guru menurut Al-Ghazali Dalam kitab Ihya’nya, Imam al-Ghazali mengatakan antara lain: Orang yang menetapkan diri dan bertekad untuk mengambil pekerjaan sebagai pengajar, ia harus menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai berikut: pertama, harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri; kedua, mengikuti teladan dan contoh Rasulullah dalam arti tidak boleh 144 Prof. Dr. H. Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas), hlm. 213. 111 112 mengharapkan imbalan dan upah dari pekerjaannya selain kedekatan diri kepada Allah; ketiga, harus mengingatkan muridnya bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk kekuasaan dan kebanggan diri; keempat, guru harus mencegah muridnya dari memiliki watak dan perilaku jahat; kelima, tidak boleh merendahkan ilmu lain di hadapan muridnya; keenam, mengajar murid-muridnya hingga batas kemampuan pemahaman mereka; ketujuh, harus mengajarkan kepada murid yang terbelakang dengan jelas dan sesuai dengan tingkat pemahamannya yang terbatas; kedelapan, guru harus melakukan terlebih dahulu apa yang diajarkannya dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya.145 Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa guru dalam perspektif Imam al-Ghazali adalah sebagai figur sentral, idola bahkan mempunyai kekuatan spiritual, di mana murid sangat tergantung kepadanya. Dalam posisi yang demikian, guru memegang peranan penting dalam belajar atau pendidikan. Sebagaimana telah disinggung pula sebelumnya, bahwa guru yang dikehendaki oleh Imam al-Ghazali adalah guru yang terdiri orang yang bisa membuang akhlak tercela dari dalam diri anak didik dengan tarbiyah dan menggantinya dengan akhlak yang baik, pintar (alim), tidak tergiur oleh keindahan dunia dan kehormatan jabatan, memiliki guru yang waspada yang jelas silsilahnya hingga Rasulullah Saw., memperbaiki diri dengan riyādah dengan menyedikitkan dalam makan, bicara, tidur, serta memperbanyak melakukan shalat, sedekah, dan puasa. Di samping itu, seorang guru harus menjadikan akhlak-akhlak yang baik sebagai landasan perilaku kesehariannya seperti sabar, membaca shalawat, syukur, tawakkal, yakin, qana’ah, ketentraman jiwa, lemah lembut, rendah hati, ilmu, jujur, malu, menepati janji, berwibawa, tenang, tidak 145 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beyrut: Dar al-Fiqrah, 1995), jilid 1, hlm. 76-79. 112 113 terburu-buru, dan lain-lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dr. Ahmad Tafsir, bahwa: Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung (berkemampuan) terhadap perkembangan anak didik.146 jawab Menurut hemat penulis, pemikiran Imam al-Ghazali tentang kriteria dalam memilih guru perlu ditinjau ulang. Sebab, guru bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan seseorang dalam belajar, masih ada orang tua yang juga memiliki peranan penting bagi perkembangan anak didik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Ahmad Tafsir: Dalam Islam, orang yang paling utama (penting) dan bertanggung jawab adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik.147 Sehingga meskipun dijelaskan arti pendidik secara umum adalah setiap orang yang bertanggung jawab atas perkembangan anak didik, namun kedua orang tua anak didiklah yang paling bertanggung jawab. Hal ini menurut Ahnad Tafsir disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: Pertama, karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, karena itu pula menjadi orang yang paling bertanggung jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sebab sukses anak adalah juga merupakan sukses orang tuanya.148 Selanjutnya, anak didik perlu dipandang sebagai manusia yang memiliki satu kesatuan yang utuh. Artinya bahwa, anak didik merupakan individu yang memiliki kemampuan dalam mengatasi segala bentuk persoalan yang 146 Dr. Ahmad Tafsir. 2005. Pendidikan Dalam Islam, (Bandung: Rosdakarya), hlm. 74 Ibid., hlm. 74. 148 Ibid., hlm. 75. 147 113 114 melingkupinya. Dan karena itu, manusia adalah makhluk yang otonom dan merdeka. Implikasi dari hal ini dalam hal belajar akan menghasilkan anak didik yang memiliki bentuk pemikiran yang penuh dengan ide-ide cerdas dan mencerdaskan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Drs. Syaiful Bahri Djamarah: Anak yang baru lahir membawa sifat-sifat keturunan, tapi ia tak berdaya dan tak mampu, baik secara fisik maupun mental. Bakat dan mental yang diwariskan orang tuanya merupakan benih yang perlu dikembangkan. Semua anggota jasmani membutuhkan bimbingan untuk tumbuh. Demikian juga jiwanya, membutuhkan bimbingan untuk berkembang sesuai iramanya masing-masing, sehingga suatu waktu anak mampu membimbing (menentukan) dirinya sendiri. Selanjutnya, menurut hemat penulis, guru yang tidak boleh meminta upah dalam mengajar dan bahkan niat mengajarnya adalah harus karena Allah (ikhlas), memiliki dua makna. Pertama, guru harus mengajar dengan ikhlas karena Allah dan kedua, orang tua yang menitipkan anak-anaknya juga harus ikhlas dalam arti menggaji guru yang mengajar anak-anaknya tersebut. Sejalan dengan hal itu Prof. Dr. H. Hadari Nawawi juga mengatakan bahwa: Peranan sebagai pendidik bukan dijalankan karena terpaksa atau dipaksa, tetapi didasari oleh kecintaan terhadap anak didik yang memang membutuhkan bantuan dan bimbingan dalam mewujudkankedewasaannya.149 Dari pejelasan tersebut menguatkan bahwa dalam menjalankan tugas sebagai pendidik hendaknya menghindari meminta upah atau imbalan. Sebaliknya hendaklah berniat ikhlas lillahi ta’ala, tanpa perasaan terpaksa ataupun dipaksa, meskipun memang hal itu dirasa sangat berat namun itulah dasar tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pendidik. 149 Prof. Dr. H. Hadari Nawawi. Op. Cit., hlm 110 114 115 B. Profil Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali 1. Pengertian Murid Kata murid berasal dari bahasa arab ‘arada, yuridu iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer), dan menjadi salah satu sifat Allah SWT. yang berarti maha menghendaki. Pengertian seperti ini dapat dimengerti karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Istilah murid ini digunakan dalam ilmu tasawuf sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasawuf kepada seorang guru yang disebut syaikh.150 Selain murid, dijumpai pula kata al-tilmidz yang juga berasal dari bahasa Arab, namun tidak mempunyai akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada murid yang belajar di madrasah. Selanjutnya terdapat pula kata al-mudarris, berasal dari kata darrasa yang berarti orang yang mempelajari sesuatu.151 Kata ini dekat dengan kata madrasah, dan seharusnya digunakan untuk arti pelajar pada suatu madrasah, namun dalam praktiknya tidak demikian. 150 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali), Op. Cit., hlm. 49 151 101 Ibid., 49. 115 116 Kemudian istilah lain yang berkenaan dengan murid (pelajar) adalah al-thalib, berasal dari kata thalaba, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti orang yang mencari sesuatu.152 Pengertian ini dapat difahami karena seorang pelajar adalah orang yang tengah menuntut ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal kehidupannya di masa depan agar berbahagia dunia dan akhirat. Ada juga istilah lainnya, yakni al-muta’allimin, berasal dari kata allama, yuallimu ta’liman yang berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan153. Imam al-Ghazali sendiri lebih sering menggunakan Istilah al-thalib -yang juga banyak digunakan oleh para ahli pendidikan Islam sejak zaman klasik sampai hingga zaman sekarang-, Dalam hubungan ini beliau mengatakan: Al-Thalib adalah bukan kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan mendahulukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Bahwasannya ia adalah seseorang yang telah mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seseorang yang sudah mampu dimintai pertanggungjawaban dalam melaksanakan aktivitas kewajiban agama yang dibebankan kepadanya sebagai fardu ‘ain. Seorang al-thalib adalah manusia yang telah memiliki kesanggupan untuk memilih jalan kehidupannya, menentukan apa yang dinilainya baik, dan tidak pula dibebankan kepadanya untuk berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam memperolehnya, sebagaimana pula sebaliknya ia bisa menilai atas sesuatu sebagai yang buruk atau tidak baik untuk ditinggalkan dan kemudian menyucikan dirinya.154 152 Ibid., hlm. 50. Ibid, hlm. 50 154 Ibid., hlm. 51 153 116 117 Hal ini karena anak didik memiliki potensi, maka potensi baiknyalah yang harus ditumbuh kembangkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Drs. Syiful Bahri Djamarah, M.Ag: Sebagai manusia yang berpotensi, maka di dalam diri anak didik ada suatu daya yang dapat tumbuh dan berkembang di sepanjang usianya. H. M. Arifin juga mengatakan: Dilihat dari segi kedudukannya, murid (anak didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya155. Selanjutnya sejalan dengan prinsip Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. maka bagi murid beliau mengkehendaki hal-hal sebagai berikut: a. Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabbur. Hal ini diperjelas oleh beliau lagi yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah merupakan perjuangan yang berat yang memerlukan kesungguhan yang tinggi serta bimbingan dari guru. b. Merasa satu bangunan dengan murid lainnya, sehingga satu sama lain dapat menyatu dan saling menyayangi serta tolong menolong. c. Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai macam mazhab ataupun sesuatu yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran. d. Mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu saja, melainkan juga mempelajari berbagai ilmu bermanfaat lainnya dan berupaya sungguh-sungguh sehingga mencapai tujuan dari tiap-tiap ilmu tersebut.156 Ciri-ciri murid yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali tersebut diatas nampaknya masih dilihat dari perspektif tasawuf beliau yang menempatkan murid sebagaimana murid tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri yang diungkapkan 155 156 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 144. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.165-167. 117 118 beliau ini untuk masa sekarang menurut hemat penulis tentunya masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreatifitas dan kegairahan atau semangat dalam belajar. 2. Tugas dan Kewajiban Murid menurut Al-Ghazali Selain syarat-syarat kepribadian yang harus dimiliki oleh murid sebagaimana disebutkan di atas, seorang murid juga harus memiliki tugas-tugas dan kewajiban tertentu yang dirinci oleh al-Ghazali menjadi 7 point,157 diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah. Imam al Ghazali mengatakan: najasah tidak khusus mengenai baju. Maka, selama bathin tidak dibersihkan dari hal-hal yang keji, ia pun tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati. Seorang muhaqqiq berkata, “Kami belajar ilmu untuk selain allah, namun ilmu itu menolak kecuali untuk allah. Yakni, ilmu itu menolak terhadap kami sehingga kami tidak dapat mengetahui hakikatnya, melainkan hanya kami dapatkan hadist dan lafal-lafalnya.158 Hal ini didasarkan pada pandangan beliau bahwa ilmu adalah ibadah hati dan merupakan shalat secara rahasia dan dapat mendekatkan batin kepada Allah SWT. Bukanlah yang dimaksud kebersihan baju, tetapi di dalam hati. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala: 157 158 Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. (Jakarta: Pustaka Amani), hlm. 11 Ibid., 11 118 119 y‰÷èt/ tΠ#tysø9$# y‰Éfó¡yϑø9$# (#θç/tø)tƒ Ÿξsù Ó§pgwΥ šχθä.Îô³ßϑø9$# $yϑ¯ΡÎ) (#þθãΖtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ ©!$# 'χÎ) 4 u!$x© βÎ) ÿÏ&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝä3‹ÏΖøóムt∃öθ|¡sù \'s#øŠtã óΟçFøÅz ÷βÎ)uρ 4 #x‹≈yδ öΝÎγÏΒ$tã ∩⊄∇∪ ÒΟŠÅ6ym íΟŠÎ=tæ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis159, Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam160 sesudah tahun ini161 dan jika kamu khawatir menjadi miskin162. Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Hal ini dapat diperkuat dengan apa yang dikatakan oleh Dr. Mas’ud Haji Zadeh: dalam usia dini, pada awalnya anak didik akan mempelajari kepercayaan, keyakinan atau keimanan secara sederhana yang untuk selanjutnya akan menemukan pandangan yang lebih luas.163 Dengan penjesan diatas maka hal yang pertama harus dilakukan oleh murid (penuntut ilmu) adalah membersihkan jiwanya dengan cara membiasakan, melakukan dan meyakini hal-hal yang baik agar kemudian memudahkannya dalam menerima pelajaran (ilmu pengetahuan). 159 Maksudnya: jiwa musyrikin itu dianggap kotor, Karena menyekutukan Allah. Maksudnya: tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. menurut pendapat sebagian Mufassirin yang lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain. 161 maksudnya setelah tahun 9 Hijrah. 162 Karena tidak membenarkan orang musyrikin mengerjakan haji dan umrah, Karena pencaharian orang-orang muslim boleh jadi berkurang. 163 Dr. Mas’ud Haji Zadeh. 2006. Membimbing Anak Mengenal. (Jakarta: LDU Al-Husainy&LKAB), hlm. 147 160 119 120 2. Mengurangi kesenangan-kesenangan duniawinya dan menjauh dari kampung halaman hingga hatinya terpusat pada ilmu. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa Allah tidak menjadikan dua hati bagi seseorang di dalam rongga badannya. Oleh karena itu dikatakan, “Ilmu itu tidak memberikan sebagiannya hingga engkau memberinya seluruh milikmu.” 164 Dari perkataan beliau tersebut seorang murid hendaknya mengorbankan apa yang dimilikinya dengan bersungguh-sungguh dan bekerja keras dalam menuntut ilmu, meskipun harus jauh dari keluarga dan kampung halamannya. Hal ini diperkuat oleh Abuddin Nata yang mengatakan: Dikarenakan banyak berhubungan dengan yang lainnya dalam menuntut ilmu, dapat menyibukkan hati dan fikirannya, dan apabila hal-hal yang tidak ada hubungannhya dengan ilmu itu dilakukan, maka di khawatirkan akan hilangnya semangat dalam menuntut ilmu tersebut dan tujuannya tidak akan tercapai.165 3. Tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru. Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan contoh: Seperti orang sakit yang gawat memberi kebebasan kepada dokter tanpa berbuat sewenang-wenang terhadapnya, dengan sesuatu dalam menuntut suatu macam obat tertentu. Patutlah ia terus berkhidmat kepada guru. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit menyalati jenazah, tiba-tiba datanglah seekor bagal (keledai) untuk dinaiki, maka ibnu abbas datang dan memegang kendalinya. Zaid berkata, “Biarkan dia, wahai putra paman Rasulullah Saw.” Ibnu Abbas berkata, “Demikianlah kami disuruh memperlakukan para ulama dan orang-orang besar.” Kemudian Zaid mencium tangannya seraya berkata, “Demikianlah kami disuruh memperlakukan ahli bait (keluarga) Nabi kita Saw.”166 164 Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Op.Cit., hlm. 11 Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali), Op. Cit., hlm. 106 166 Imam al-Ghazali. 2007. Op.Cit., hlm. 11-12 165 120 121 Dari ungkapan beliau diatas dapat difahami bahwa sesorang yang menuntut ilmu hendaknya tidak menombongakan dirinya kepada orang lain, terlebih kepada gurunya sendiri, sebab guru ibarat dokter yang memberikan obat untuk kebaikan pada pasiennnya, maka murid (sebagai “pasien” guru) hendaknya juga menerima tanpa harus membangkang. Ilmu itu sendiri enggan kepada orang yang sombong seperti air yang enggan mengalir ke tempat yang tinggi Sebaliknya seorang murid haruslah menjaga akhlak (etika), terlebih lagi dihadapan gurunya. Sejalan dengan hal tersebut Abuddin Nata yang mengatakan: Murid memerlukan petunjuk guru menuju keberhasilan dan menjaganya dari celaka, dan semua itu dapat dicapai dengan ilmu, dan jangan mendahului suatu pertanyaan, terhadap masalah yang belum dijelaskan oleh guru.167 4. Menghindar dari mendengarkan perselisihan-perselisihan diantara ulama atau sesama manusia, Imam al-Ghazali berasumsi: Hal yang seperti itu (perselisihan-perselisihan diantara ulama atau sesama manusia) dapat menimbulkan prasangka yang buruk dan juga dapat menimbulkan kebingungan, keragu-raguan serta kurang percaya terhadap kemampuan guru. Pada pertama kali hatinya condong kepada segala yang disampaikan kepadanya, terutama hal-hal yang menyebabkan kemalasan dan pengangguran, seperti ibadahnya para sufi. Para pemula tidak boleh mengikuti perbuatan-perbuatan dari orang-orang yang sudah mendalam, hingga sebagian mereka berkata, “Barangsiapa mengunjungi kami pertama kali, ia pun menjadi teman. Dan siapa mengunjungi kami pada akhirnya, ia pun menjadi zindiq.” Pada akhirnya mereka tidak bergerak kecuali dalam mengerjakan amalan-amalan fardhu. Mereka mengganti amalan sunnah dengan gerakan 167 Abuddin Nata. 2001. Op. Cit., hlm. 106 121 122 hati dan penyaksian yang kekal. Orang yang lalai menganggapnya pengangguran dan kemalasan.168 Disini terlihat bahwa beliau tidak menghendaki seorang yang masih menuntut ilmu (pelajar) terlibat mendengarkan persilisihan diantara para ulama (cendikiawan), karena dapat mempengaruhi kepercayaannya atas suatu ilmu. Dapat pula menimbulkan keraguan, terlebih apabila murid meyakini tata cara ibadahnya para sufi yang bisa mereka anggap sebagai suatu kemalasan, padahal tingkatan ilmu antara keduanya (sufi dan murid) sangat jauh berbeda. 5. Tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi ia menekuninya hingga mengetahui maksudnya. Imam al-Ghazali mengatakan: Seorang pelajar hendaknya tidak berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran sebelumnya, mengingat bahwa berbagai ilmu itu saling berkaitan satu sama lain. Pada hal ini Imam al-Ghazali memaksudkan bahwa seorang murid janganlah berpindah atau meninggalkan suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabang ataupun ilmu lainnya, kecuali ia telah memahami ilmu sebelumnya tersebut, sebab mengingat bahwa berbagai macam ilmu itu satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan. Itulah salah pesan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali untuk para pelajar atau penuntut ilmu. 6. Mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Imam al-Ghazali mengatakan: 168 Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 12. 122 123 Jika umur membantunya, ia pun menyempurnakannya (ilmu yang dipelajarinya). Kalau tidak, ia memilih yang paling penting dan memilih yang paling penting dapat dilakukan setelah mengetahui seluruhnya.169 Imam al-Ghazali memaksudkan pernyataan tersebut yaitu mengenai muamalat dan mukasyafah. Muamalat dapat mendorong kepada mukasyafah sedangkan mukasyafah adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Itu adalah cahaya yang dimasukkan Allah Ta’ala di dalam hati yang bersih dengan ibadah dan mujahadah. Inilah kedudukan yang mencapai tingkat keimanan Abu Bakar ra. Sebagaimana tersebut dalam hadist, “Andaikata keimanan penduduk bumi ditimbang dengan keimanan Abu Bakar ra, niscaya unggullah keimanan Abu Bakar.” Hal itu disebabkan rahasia yang terdapat di dalam dadanya, bukan karena pengajuan bukti-bukti dan hujjah-hujjah.170 Sejalan dengan hal itu Abuddin Nata juga mengatakan: Seorang pelajar jangan hanya menenggelamkan diri pada satu bidang ilmu saja, melainkan harus mengusai ilmu pendukung lainnya, dan tentu memulai dengan ilmu yang paling penting, baru mendalami bidang ilmu tertentu.171 Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa hendaknya para penuntut ilmu (murid), harus dapat memilah mana ilmu yang paling dasar dan penting bagi kehidupan, tidak hanya didunia namun juga diakhirat, sehingga ilmu yang paling penting tersebut tentunya dapat diprioritaskan terlebih dahulu, setelah itu baru kemudian ilmu pendukung lainnya. 169 Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 13. Ibid., hlm. 13 171 Abuddin Nata. 2001. Ibid., 107. 170 123 124 sebab jika kita sadari sesungguhnya umur atau usia yang tersedia yang kita miliki tidaklah cukup untuk menguasai semua bidang ilmu. 7. Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala. Imam al-Ghazali mengatakan: Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala.dan kepada derajat tertinggi diantara malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah). Dan dengan ilmu itu ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta dan pangkat.172 Hal ini didasarkan Iman al-Ghazali pada tujuan belajar untuk memperoleh kehidupan yang baik di akhirat. Dengan ilmu itu ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta dan pangkat (kedudukan). Hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan membersihkan jiwa, menghiasi diri dengan keutamaan dan akhlak yang terpuji, dengan demikian akan memudahkannya mendekatkan diri kepada Sang pencipta, menjadi hamba Allah yang baik lagi benar. Inilah yang kemudian menjadi tujuan universal dari pendidikan Islam, sebagaimana yang dikutip Ahmad Tafsir dari Abdul Fattah Jalal yang mengatakan: Tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah, yang hanya mengabdi kepada Allah Swt.173 Oleh sebab itu sebelum murid memulai sesuatu hendaknya ia terlebih dahulu memperhatikan masalah bathin yang merupakan pokok penting sekaligus asas perbuatan akhlak. Oleh karenanya tujuan dari belajar pada hakikatnya adalah 172 173 Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 14. Lihat Ahmad Tafsir. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Op. Cit., hlm46 124 125 untuk mencapai kebaikan hidup kekal di akhirat, sehingga bukan tujuan duniawi semata, seperti mengejar atau memperoleh harta dan kekuasaan. 3. Akhlak Murid Terhadap Guru menurut Al-Ghazali Imam al-Ghazali mengatakan: Hendaknya (murid) tidak mendebat dan banyak argumentasi meski guru keliru, tidak menggelar sajadah dihadapannya kecuali pada waktu shalat, tidak memperbanyak shalat sunnah di hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya sebatas kemampuannya, tidak mengingkari apa yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar ia tidak dicap sebagai hipokrit.174 Dalam kitab Ilmu wa Adab al-Alim wa al-Muta’allim karangan Abdullah Badran, sebagaimana juga yang dijelaskan Abuddin Nata, disebutkan bahwa; Sikap atau akhlak murid hampir sama dengan sikap guru, yaitu sikap murid sebagai pribadi dan juga sebagai penuntut ilmu.175 Dengan demikian seorang murid haruslah bersih hatinya dari kotoran dan dosa agar dapat dengan mudah dan benar dalam menangkap pelajaran, menghafal dan mengamalkannya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: ا ان ا اذا ! واذا ت ! اوه ا Artinya: “Ingatlah bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging, jika segumpal daging tersebut sehat, maka sehatlah seluruh perbuatannya, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh awalnya (perbuatannya). Ingatlah bahwa segumpal daging itu adalah hati”176 Selanjutnya seorang murid juga harus bersikap rendah hati terhadap ilmu dan guru. Karena dengan cara demikian akan memudahkan dalam tercapainya cita174 Ibid., hlm. 26 Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid. Op. Cit., hlm. 102 176 Imam Nawawi. Riyadu as-Shalihin 175 125 126 cita. Ia juga harus menjaga keridhaan sekaligus memuliakan gurunya, dengan tidak menggunjing gurunya, juga hendaknya jangan menunjukkan perbuatan yang buruk, bahkan sebisa mungkin mencegah orang lain dari menggunjing gurunya. Selanjutnya pandai dalam membagi waktu, memahami tata karma dalam majelis ilmu, berupaya dekat dan menyenangkan hati sang guru, tidak menunjukkan sikap yang dapat memancing ketidaksenangan atau kemarahan guru, giat belajar serta sabar dalam menuntut ilmu. Sehingga ia dapat mencapai dari pada tujuan pendidikan yang dilakukannya. Sebagaimana Prof. Dr. H. Hadari Nawawi mengatakan: Tujuan umum pendidikan secara universal adalah mewujudkan kedewasaan subyek (anak) didik itu sendiri.177 Akhlak yang harus dimiliki oleh murid (anak didik), menurut Imam alGhazali sendiri, sebagaimana disebutkan sebelumnya diatas adalah dengan tidak mendebat dan banyak argumentasi meskipun guru sudah jelas-jelas keliru, tidak menggelar sajadah dihadapannya kecuali pada waktu shalat, tidak memperbanyak shalat sunnah di hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya sebatas kemampuannya, tidak mengingkari apa yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar ia tidak dicap sebagai hipokrit. Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa pandangan Imam alGhazali terhadap akhlak pelajar juga bersifat sufistik, seperti terlihat pada 177 Prof. Dr. H. Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan Dalam Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas), hlm. 120 126 127 keharusan berniat mencari ilmu semata-mata untuk beribadah atau dekat dengan Allah SWT, bersikap zuhud dan memuliakan ilmu akhirat. Selain itu ilmu tersebut dipelajari secara sistematik, integrated, dimulai dari yang umum (penting) kemudian yang khusus (lebih spesifik). Namun Imam al-Ghazali kurang menekankan kepada pelajar untuk terlalu mematuhi syaikh atau guru secara berlebihan sebagaimana yang biasa terjadi dalam dunia tasawuf, yang menempatkan syaikh sederajat dengan Nabi bahkan melampauinya. Ibnu Jama’ah misalnya mengatakan: Murid harus menaati syaikh, mengagungkan, menempuh cara-cara yang ditempuh syaikh, sopan dalam majlis ilmu.178 Dalam hal ini, Imam al-Ghazali memposisikan murid sebagai obyek yang bisa diisi oleh apa dan kapan saja. Sebagaimana yang dikatakan Drs. Syaiful Bahri Djamarah: Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.179 Sehingga terlihat Imam al-Ghazali masih saja melihat murid sebagai murid tasawuf di depan gurunya. Hal tersebut sangat membahayakan dan bahkan akan membunuh terhadap karakter dan kreatifitas pola pikir anak didik. Di masa sekarang, anak didik sudah bukan lagi merupakan obyek yang pasif yang bisa diisi oleh apa dan kapan saja. Akan tetapi, anak didik adalah pribadi-pribadi yang 178 179 Lihat Abuddin Nata, ibid. hlm. 108. Drs. Syaiful Bahri Djamarah. 2005. Guru dan Anak Didik. Op. Cit., hlm. 51 127 128 mempunyai peranan sebagai subyek yang aktif dalam proses pembelajaran. Sehingga, menurut hemat penulis, murid dalam perspektif Imam al-Ghazali perlu dikembangkan kepada yang lebih membawa kreatifitas dan gairah dalam belajar. 128 129 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, dapat diambil kesimpulan bahwa menurut Imam al-Ghazali sebagai berikut: 1. Profil guru menurut Imam al-Ghazali yaitu seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran, serta bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Yang memiliki Syarat-syarat kepribadian sebagai berikut: a). Bersikap lembut dan kasih sayang kepada anak didiknya dan harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri. b). Tidak menuntut upah dari murid-muridnya. c). Tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. d). Menjauhi akhlak yang tercela dengan cara menghindarinya sedapat mungkin, dan harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan beraklak terpuji lainnya. e). Tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya, dan hendaklah seorang guru mendorong muridnya mencari pula ilmu dari yang lain dengan meninggalkan kefanatikan kepada salah seorang guru sedang yang lain tidak. f). Memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, dan memahami 129 129 130 potensi yang dimiliki anak didik Seorang guru harus mamahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya. g). Kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan suatu pelajaran (ilmu pengetahuan). h). Guru harus mengingatkan muridnya, agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tapi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Guru juga harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat. i). Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu. Seorang guru harus memegang dasar-dasar agama yang prinsip dan berusaha merealisirnya, diantaranya adalah bersikap adil. Kemudian menurut beliau, guru memiliki tugas dan tangung jawab sebagai berikut: a). Memberikan kasih sayang kepada anak didik. b). Mengikuti jejak Rasulallah dalam tugas dan kewajibannya. c). Menjadi teladan yang baik bagi anak didik. d). Sebagai Pengarah dan Pembimbing. 2. Profil murid menurut Imam Al-Ghazali yaitu seseorang yang telah mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seseorang yang sudah mampu dimintai pertanggungjawaban dalam melaksanakan aktivitas kewajiban agama yang dibebankan kepadanya sebagai fardu ‘ain. Seorang al-thalib adalah manusia 130 131 yang telah memiliki kesanggupan untuk memilih jalan kehidupannya, menentukan apa yang dinilainya baik, dan tidak pula dibebankan kepadanya untuk berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam memperolehnya, sebagaimana pula sebaliknya ia bisa menilai atas sesuatu sebagai yang buruk atau tidak baik untuk ditinggalkan dan kemudian menyucikan dirinya.. Kemudian menurut beliau, murid memiliki tugas dan kewajiban sebagai berikut: a). Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah. b). Mengurangi kesenangan-kesenangan duniawinya dan menjauh dari kampung halaman hingga hatinya terpusat pada ilmu. c). Tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru, tetapi memberinya kebebasan. d). Menghindar dari mendengarkan perselisihanperselisihan diantara sesame manusia, karena hal itu menimbulkan kebingungan. e). Tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi ia menekuninya hingga mengetahui maksudnya. f). Mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. g). Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala dan kepada derajat tertinggi diantara malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah). Dan dengan ilmu itu ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta dan pangkat (kedudukan). B. Saran-saran 1. Studi pemikiran mengenai pendidikan Islam dari Imam al-Ghazali pada khususnya dan sarjana-sarjana muslim pada umumnya masih perlu terus 131 132 dilanjutkan, mengingat masih banyak problema pendidikan yang krusial yang sangat perlu untuk segera diatasi, salah satunya bagaimana kurikulum pendidikan yang baik dalam ajaran Islam?, sebab kurikulum umum yang diterapkan saat ini dirasa belum dapat membawa pada tujuan dari hakikat pendidikan itu sendiri. Penulis disini hanya mengungkapkan sebagian unsur dari pendidikan tersebut yakni yang terfokus tentang guru dan murid. Dalam literatur-literatur keIslaman ternyata banyak sekali pemikiran kependidikan yang dimajukan para filosof Islam dan para ulama yang hingga saat ini belum digali sepenuhnya. Untuk itu menurut hemat penulis, perlu sekiranya ada mata kuliah studi naskah tentang sejarah pemikiran pendidikan dari para filosof, ilmuan dan ulama Islam, sehingga dapat mempermudah nantinya dalam melakukan kajian atau penelitian yang berhubungan dengan hal tersebut, terutama pada mahasiswa program pascasarjana sebagai calon “next generation” pemikir dan mujtahid Islam dimasa yang akan datang. 2. Profil guru dan murid yang bernuansa sufistik atau tasawuf dari Imam alGhazali maupun sarjana muslim lainnya perlu diterapkan, namun tentu dibarengi dengan penyesuaian-penyesuaian yang ada dimasa sekarang, terutama dalam membentuk sikap mental kepribadian keagamaan dan akhlak yang mulia yang merupakan inti tujuan dari pendidikan Islam. Hal ini bagi penulis, menilai sangatlah penting mengingat sebagian besar pelajar dan juga para pendidik yang akhir-akhir ini semakin menurun adab dan moralitasnya, sehingga semakin terasa dampaknya bagi kehidupan bersosial, dan 132 133 kekhawatiran dalam menyiapkan kader “khalifatu fil ard” pemimpin bangsa dimasa depan. 3. Perlu adanya klarifikasi bagi para pengikut Imam al-Ghazali, yaitu bahwa sebagai sufi, Imam al-Ghazali ternyata amat bersikap terbuka dalam menerima paham dari kalangan luar sepanjang tidak bertentangan dengan alQur’an dan as-Sunnah. Imam al-Ghazali tidak anti terhadap logika, filsafat dan ilmu pengetahuan serta pendapat lainnya yang baik. Namun tentu berbagai pemikiran dan pandangan dari luar yang kita terima haruslah disesuaikan dengan syari’at Islam, dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan sosial maupun keberagamaanya. 133 DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub. 1979. Ihya’ Ulumuddin, Cet VI. Semarang: C.V. Faizan. ____________. 1979. Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, terj., Ismail Ya’kub, Semarang: CV. Faizan. ____________, Terj. Zaid Husein Al-Hamid. 1995. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani. ____________, Terj. Ma’ruf Asrori, 2002. Fatihatul Ulum (Buat Pecinta Ilmu), Surabaya: Pustaka Progressif. ____________, Terj. Masyhur Abadi dan Husein Aziz. 2002. Menuju Labuhan Akhirat, Surabaya: Pustaka Progressif. ____________, Terj. Rojaya. 2008. Jalan Mudah Menggapai Hidayah; 40 prinsip agama, Bandung: Pustaka Hidayah. Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, Surabaya: Bulan Bintang Athiyah al-Abrasyi, Muhammmad. 1984. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan, Terj. Bustami A. Gain dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang. A. Partanto, Pius dan M. Dahlan Al-Banny. 1994. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, Al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Ali. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam, terj., M. Arifin, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Al-Zarnuji, Burhanuddin, Ta’līm al-Muta’allim Tarīq al-Ta’allum, Syarh. Ibrahim bin Isma’il, Surabaya: al-Hidayah, t.t Asari, Hasan. 1999. Nukilan Pemikiran Islam Klasik (Gagasan Pendidikan Al-Ghazali), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya DEPAG RI, Al-Quran dan Terjemahnya. (Semarang: Toha Putra) Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (suatu pendekatan teoritis psiklogis). Jakarta: rineka cipta. D. Marimba, Ahmad, 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif. Fatchurohmah, Siti. 2006. “Sosok Guru Menurut al-Ghazali dan Zakiah Daradjat”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang. 134 Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Hasan Sulaiman, Fathiyyah. 1993. Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang Aliran Pendidikan Menurut al-Ghazali, terj., Said Agil Husin Al-Munawar dan Hadri Hasan, Semarang: Dina Utama. Hasan Sulaiman, Fathiyah, 1995. Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, Semarang: Dina Utama. Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. 2001. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia. Jalaluddin dan Usman Said. 1996. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangannya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada J. Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. XIX. Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: AlMa’araif. ____________. 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husana. ____________. 1989. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna. M. Echols, John dan Hasan Shadily. 1980. Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia. M. Arifin. 1987. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara. M. Zainuddin. 2004. Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Muhammad Al-Thoumy Syaibani, Omar. 1979. Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Nasution, Harun, 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Nata, Abuddin, 1997. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. ____________. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta:Ciputat Press. 135 Pedoman Penulisan Skripsi. 2009. Fakultas Terbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Rusdianto. 2006. Pendekatan Dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali (Kajian Kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang. Suryabrata, Sumadi. 1989. Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Andi Offset. Syah, Muhibbin 1999. Psikologi Belajar, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Syaodih Sukmadinata, Nana. 1997. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, , Bandung: remaja rosdakarya. Syarkowi. 2005. “Reorientasi Pendidikan Islam (ke Arah Aktualisasi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali dalam Konteks Masa Kini)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang. Tafsir, Ahmad, 1984. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya. Tamrin, Dahlan. 1988. Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya, Malang Tim Dosen IAIN Sunan Ampel-Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Abditama. Uzer Usman, Moh. dan Lilis Setiawati. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya. WJS. Poerwadarmita, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. ________. 1991. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. An-Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro. Yatim, Badri, 1993. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers. Zainuddin. 2003. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Obor Indonesia 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, Bandung: Citra Umbara. 136 DEPARTEMEN AGAMA UNVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG FAKULTAS TARBIYAH Jl. Gajayana 50 Malang Telp. (0341) 551354 Fax (0341) 572533 BUKTI KONSULTASI 1. Nama : Yanuar Hadi 2. NIM/Jurusan : 05110023/Pendidikan Agama Islam 3. Pembimbing : Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I 4. Judul : Profil Guru dan Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali No Tanggal Hal yang dikonsultasikan 1 10 - 02 – 2009 - Proposal skripsi, perbaikan judul 2 14 – 02 – 2009 - Persetujuan proposal skripsi 3 23 – 02 - 2009 - Bab I, II, 4 02 – 03 - 2009 - Revisi Bab I, II dan ACC 5 15 – 03 - 2009 - Bab III, IV 6 30 – 03 - 2009 - Revisi Bab III, IV dan ACC 7 06 – 04 - 2009 - Bab V 8 07 – 04 - 2009 - Persetujuan skripsi dan ACC keseluruhan Bab I, II, III, IV, & V Tanda Tangan Malang, 7 April 2009 Mengetahui, Dekan Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony NIP.150 042 031 137 Daftar Riwayat Hidup (Biografi) Nama NIM : Yanuar Hadi : 05110023 Tempat/Tanggal Lahir: Medan, 10 Januari 1987 Alamat : Simpang Psr II, Sei Sijenggi, Kec. Perbaungan, Kab. Bedagai, Kota Serdang Madya. Medan, Sumatera Utara. Riwayat Pendidikan : 1.1993-1998 : M.I. Al-Washliyah Sei Sijenggi 2.1993-1999 : SDN Sei Sijenggi 105367 3.1999-2002 : M.Ts. Al-Washliyah Perbaungan 4.2002-2005 : M.A.N. Lubuk Pakam 5.2005-2009 : Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Pengalaman Organisasi: 1. Pramuka (SD-Anggota), 2. OSIS (MTs-Bidang Olah Raga) 3. OSIS (MAN-Wakil Ketua Bidang Seni&Da’wah), 4. UKM (Campus-Anggota), 5. LDK (Campus-Anggota), 6. FK3 (Campus-Anggota) 138