Uploaded by User29850

65893034-Profil-Guru-Dan-Murid-Menurut-Al-ghazali

advertisement
“PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI”
SKRIPSI
Oleh :
Yanuar Hadi
(05110023)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
April, 2009
i
“PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI”
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar
Strata Satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh :
Yanuar Hadi
(05110023)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
April, 2009
ii
“PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI”
SKRIPSI
Oleh :
Yanuar Hadi
(05110023)
Telah Disetujui
Pada Tanggal: 7 April 2009
Oleh :
Dosen Pembimbing
Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I
NIP. 150 267 235
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Islam
Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I
NIP. 150 267 235
iii
“PROFIL GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI”
SKRIPSI
Dipersiapkan dan disusun oleh
Yanuar Hadi (05110023)
Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal
14 April 2009 dengan nilai A
dan telah dinyatakan diterima sebagai salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar strata satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
pada tanggal: 14 April 2009.
Panitia Ujian
Tanda Tangan
Ketua Sidang
Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I
NIP. 150 267 235
:__________________________
Sekretaris Sidang
Marno, M.Ag
NIP. 150 321 639
:__________________________
Pembimbing
Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I
NIP. 150 267 235
:__________________________
Penguji Utama
:__________________________
Dr. M. Zainuddin, M.A
NIP. 150 275 502
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Malang
Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony
NIP. 150 042 031
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kalaupun karya ini ibarat secawan tirta muksha
Maka biarkanlah orang-orang ini yang menenggaknya
:Ibu dan Bapakku
:Adikku
:Calon Isteriku
:dan Guruku
Siti Amnah dan Khairul Anwar, ibu bapakku, cintanya tiada hingga
Jika aku mati, aku yakin di hatinya adalah kuburku yang sebenarnya
Ria Rahmita, Fauziah & Naisa Hafiza; adik-adikkku, suadara seumur
hidup-Q
Mampu menyesatkan dahaga berabadku
Anifah, calon isteriku, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali mengajakku mendendangkan kidung sorga di garba malam
Sementara di taman Firdaus anak-anak bunga bergetar halus menahan
malu untuk merekah
Guru-Dosen-Q, di hatimu cahaya di atas cahaya merambati segenap tualang
panjangku
dan, Teman-temann-Q Tarbiyah UIN Malang
JIHAD FI SABILILLAH………..!!!
v
MOTTO
tβθãΖÏΒ÷σè?uρ Ìx6Ζßϑø9$# Çtã šχöθyγ÷Ψs?uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tβρâ ß∆ù's? Ĩ$¨Ψ=Ï9 ôMy_Ì÷zé& >π¨Βé& uöyz ΝçGΖä.
ãΝèδçsYò2r&uρ šχθãΨÏΒ÷σßϑø9$# ãΝßγ÷ΖÏiΒ 4 Νßγ©9 #Zöyz tβ%s3s9 É=≈tGÅ6ø9$# ã≅÷δr& š∅tΒ#u öθs9uρ 3 «!$$Î/
∩⊇⊇⊃∪ tβθà)Å¡≈xø9$#
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orangorang yang fasik.” (Q.S. Al-Imran: 10)
1 2& / % &1 0-/ '&. "- $# ,+*) ! $,+*) ( '&% $# " !
'&3 % *3
.= % <
; : 7 65 9 8" 7 65 4 (@7AB 8 %&)
“Dari Abu Darda’: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Kelebihan seorang
alim dari seorang abid (orang yang suka beribadah) seperti kelebihan bulan pada bintangbintang, dan sesungguhnya para ulama itu pewaris nabi-nabi, mereka (para nabi) tidak
mewariskan dinar, tetapi mewarisi ilmu, siapa yang mengambilnya, maka ambillah dengan
bagian yang cukup.”
(H.R Turrmudzi).Θ
Θ
Abi Isa Muhammad bin Surah at-Turmudzi, al-Jāmi’ al-Shahīh wa Huwa Sunan al-Turmuzī (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000),.hlm. 478.
vi
Drs. H. Moh. Padil, M.Pd.I
Dosen Fakultas Tarbiyah
Universitas Islam Negeri Malang
NOTA DINAS PEMBIMBING
Hal
: Skripsi Yanuar Hadi
Lampiran : 4 (Empat) Eksemplar
Malang, 7 April 2009
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
di
Malang
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan, baik dari segi isi, bahasa
maupun tehnik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa tersebut di bawah
ini:
Nama
: Yanuar Hadi
Nim
: 05110023
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi :Profil Guru dan Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali
maka selaku pembimbing, kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak
diajukan untuk diujikan.
Demikian, mohon dimaklumi adanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing,
Drs. H. Moh. Padil, M.Pd.I
NIP. 150 267 235
vii
Surat Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pasa suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar rujukan.
Malang, 7 April 2009
Yanuar Hadi
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya. Berkat rahmat dan petunjukNya, penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Judul Skripsi yang diangkat adalah
“Profil Guru dan Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali)”.
Shalawat serta salam, semoga tetap tercurahkan kepada junjungan
kita
baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang
telah membawa petunjuk kebenaran, untuk seluruh umat manusia, yang kita harapkan
syafaatnya di akhirat kelak.
Skripsi ini merupakan salah satu tugas yang wajib ditempuh oleh mahasiswa,
sebagai tugas akhir Studi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jurusan Pendidikan
Islam. Skripsi ini disusun dengan bekal ilmu pengetahuan yang sangat terbatas dan
amat jauh dari kesempurnaan, sehingga tanpa bantuan, bimbingan dan petunjuk dari
berbagai pihak, maka sulit bagi penulis untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa syukur, penulis berterima kasih kepada
:
1. Bapak Prof. Dr. H Imam Suprayogo, selaku Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang, beserta para staffnya.
ix
2. Bapak Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
3. Bapak Drs. H. Moh. Padil, M.Pd.I, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Islam UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus Dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan .
4. Ayahanda Khairul Anwar dan Ibunda Siti Amnah sebagai pendidik sejati bagi
penulis. Juga adik-adik penulis; Ria Rahmita, Fauziah & Naisa Hafiza.
5. Para Guru dan Dosen yang telah mendidik serta membimbing penulis hingga bisa
seperti saat sekarang ini
6. Teman-teman dari seluruh penjuru tanah air (khususnya Saokee “Coky” Hayitahe
from: “Negeri gajah putih” Thailand, you are my best friend) yang sama-sama
mengenyam pendidikan di campus tercinta UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
khususnya Fak. Tarbiyah, Jur. PAI.
7. Segenap pihak yang telah memberi banyak motivasi dan semangatnya dalam
pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadari, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saran dan kritik konstruktif dari berbagai pihak sangat diharapkan demi
terwujudnya karya yang lebih baik di masa mendatang.
Ya Allah SWT… Terima Kasih atas segala rahmat dan karuniaMU sehingga
hamba dapat menyelesaikan karya ini. Semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
telah membacanya. Kepada kalian semualah Ku-persembahkan karyaku ini.
Teman-teman Angkatan 2005 & Almamaterku Tercinta
x
Sebagai ungkapan terima kasih, penulis hanya mampu berdo’a, semoga segala
bantuan yang telah diberikan kepada penulis, diterima di sisi-Nya dan dijadikanNya
sebagai amal shaleh serta mendapatkan imbalan yang setimpal.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi penulis khususnya. Amin...
Malang, 7 April 2009
Penulis
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman
transliterasi berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987 yang
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
A.Konsonan Tunggal
Huruf
Arab
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ه‬
$
‫ي‬
Nama
Alif
Bā’
Tā’
Śā’
Jīm
Hā’
Khā’
Dāl
Żāl
Rā’
Zai
Sīn
Syīn
Sād
Dād
Tā’
Zā’
‘Ain
Gain
Fā’
Qāf
Kāf
Lām
Mīm
Nūn
Wāwu
Hā’
Hamzah
Yā’
Huruf Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan
B
T
Ś
J
H
Kh
D
Ż
R
Z
S
Sy
S
D
T
Z
‘
G
F
Q
K
L
M
N
W
H
’
Y
xii
Tidak dilambangkan
S (dengan titik di atas)
H (dengan titik di bawah)
Z (dengan titik di atas)
S (dengan titik di bawah)
D (dengan titik di bawah)
T (dengan titik di bawah)
Z (dengan titik di bawah)
Koma terbalik di atas
Apostrof
Y
B. Vokal
Vokal bahasa Arab seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau
monoftong dan fokal rangkap atau diftong.
1. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat yang
transliterasinya dapat diuraikan sebagai berikut:
Tanda
َ--ِ--ُ---
Nama
Fathah
Kasrah
Dammah
Huruf Latin
a
i
u
Nama
a
i
u
Contoh
Ditulis
(َ ِ)ُ+
Munira
2. Vokal Rangkap
Vokal rangkap Bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat
dan huruf, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda
‫َ ي‬--‫َ و‬---
Nama
Fathah dan ya
Kasrah
Huruf Latin
ai
i
Nama
a dan i
i
Contoh
,
َ ْ.َ‫آ‬
‫ل‬
َ ْ0َ‫ه‬
Ditulis
Kaifa
Haula
C. Maddah (vokal panjang)
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya sebagai berikut:
Fathah + Alif, ditulis ā
َfathah + Alif maksūr
ditulis ā
ِKasrah + Yā’ mati
ditulis ī
Dammah + Wau mati
ditulis ū
Contoh ‫ل‬
َ 1َ2 ditulis Sāla
Contoh 3َ4ْ5َ6 ditulis Yas‘ā
Contoh 7ْ.ِ8َ+ ditulis Majīd
Contoh ‫ل‬
ُ ْ0ُ9َ6 ditulis Yaqūlu
D.Ta’ Marbūta h
1. Bila dimatikan, ditulis h:
:;‫ه‬
:6<=
Ditulis hibah
Ditulis jizyah
xiii
2.
3. Bila dihidupkan karena berangkai dengan kata lain, ditulis t:
>‫ ا‬:?4@
E. Syaddah (Tasydīd)
Ditulis ni‘matullāh
Untuk konsonan rangkap karena syaddah ditulis rangkap:
‫ّة‬7C
Ditulis ‘iddah
F. Kata Sandang Alif + Lām
1. Bila diikuti huruf qamariyah atau syamsiyah ditulus alD=(E‫ا‬
F?GE‫ا‬
Ditulis al-rajulu
Ditulis al-Syams
G.Hamzah
Hamzah yang terletak di akhir atau di tengah kalimat ditulis apostrof.
Sedangkan hamzah yang terletak di awal kalimat ditulis alif. Contoh:
H.I
7JKL
‫(ت‬+‫أ‬
Ditulis syai’un
Ditulis ta’khużu
Ditulis umirtu
H. Huruf Besar
Huruf besar dalam tulisan Latin digunakan sesuai dengan ejaan yang
diperbaharui (EYD).
I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut bunyi atau
pengucapan atau penulisannya.
:)5E‫ ا‬D‫أه‬
J. Pengecualian
Ditulis ahlussunnah atau ahl al-sunnah
Sistem transliterasi ini tidak penulis berlakukan pada:
a. Kata Arab yang sudah lazim dalam bahasa Indonesia, seperti: al-Qur’an
b. Judul dan nama pengarang yang sudah dilatinkan, seperti Yusuf Qardawi
c. Nama pengarang Indonesia yang menggunakan bahasa Arab, seperti Munir
d. Nama penerbit Indonesia yang menggunakan kata Arab, misalnya al-bayan
xiv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Gambar b.1: Integrasi Ilmu-ilmu Allah ……………………………………... 69
Tabel 6.1: Konsep Belajar Perspektif Imam al-Ghazali .................................. 75
Tabel 6.2: Lanjutan ......................................................................................... 76
Tabel 6.3: Pendekatan Belajar Perspektif Barat .............................................. 77
Tabel 6.4 Pendekatan Belajar Perspektif Imam al-Ghazali ............................ 78
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Bukti Konsultasi .......................................................................
Lampiran II : Naskah Kitab Ihya’ Ulumuddin jilid I (Bab Ilmu)....................
Lampiran III : Naskah Kitab Ringkasan Ihya’ Ulumuddin (Bab Ilmu) ...........
Lampiran IV : Daftar Riwayat Hidup………………………………………...
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN JUDUL PENGAJUAN ……………………………………… ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
HALAMAN MOTTO ................................................................................... vi
HALAMAN NOTA DINAS .......................................................................... vii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................... ix
HALAMAN TRANSLITERASI .................................................................. xi
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
DAFTAR ISI .................................................................................................. xvi
ABSTRAK ..................................................................................................... xviii
BAB I
:PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 14
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 14
D. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................... 15
E. Penegasan Istilah ..................................................................... 15
F. Metode Penelitian .................................................................... 16
G. Sistematika Pembahasan …………………………………….. 19
BAB II
:KAJIAN PUSTAKA .................................................................. 21
A. Studi Terdahulu ....................................................................... 21
B. Pengertian Pendidik ................................................................. 24
C. Pengertian Anak Didik ............................................................ 27
xvii
D. Hubungan Guru dan Murid ..................................................... 29
E. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam ......................................... 32
BAB III
:PEMAPARAN HASIL PENELITIAN ..................................... 38
A. Biografi Imam al-Ghazali ........................................................ 38
1. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali .......................................... 38
2. Setting Sosial-politik dan Pengaruhnya bagi Pemikiran
Imam al-Ghazali ................................................................... 46
3. Karya-karya Imam al-Ghazali .............................................. 53
4. Klasifikasi Ilmu Perspektif Imam al-Ghazali ....................... 60
5. Pendidikan dalam Pemikiran Imam al-Ghazali .................... 65
6. Konsep pendidikan menururt al-ghazali……………………..70
7. Pengaruh Imam al-Ghazali dalam Dunia Pendidikan .......... 79
B. Profil Guru Dalam Perspektif Imam al-Ghazali ...................... 80
1. Pengertian Guru ................................................................... 80
2. Syarat Kepribadian Guru ..................................................... 82
3. Tugas dan Kewajiban Guru .................................................. 84
4. Kriteria Dalam Memilih Guru .............................................. 85
C. Profil Murid Dalam Perspektif al-Ghazali ................................ 86
1 Pengertian Murid ................................................................... 86
2. Tugas dan Kewajiban Murid ................................................ 86
3. Akhlak Murid Terhadap Guru .............................................. 89
BAB IV
:ANALISIS HASIL PENELITIAN ............................................ 90
A. Profil Guru Dalam Perspektif Imam al-Ghazali........................ 90
1. Pengertian Guru .................................................................. 90
2. Syarat Kepribadian Guru .................................................... 97
3. Tugas dan Kewajiban Guru ................................................. 107
xviii
4. Kriteria Dalam Memilih Guru ............................................. 111
B. Profil Murid Dalam Perspektif al-Ghazali ................................ 115
1 Pengertian Murid .................................................................. 115
2. Tugas dan Kewajiban Murid ............................................... 118
3. Akhlak Murid Terhadap Guru ............................................. 125
BAB V :PENUTUP ...................................................................................... 129
A. Kesimpulan ............................................................................. 129
B. Saran ........................................................................................ 131
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xix
ABSTRAK
Yanuar Hadi. Profil Guru dan Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali. Skripsi, Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang. Drs. H. Moh. Padil, M.Pd.I
Pendidikan merupakan masalah penting yang memperoleh prioritas utama
sejak awal kehidupan manusia. Bahkan Rasulullah Saw sendiri telah mengisyaratkan
bahwa proses belajar bagi setiap manusia adalah sejak ia masih dalam kandungan
ibunya, sampai ia sudah mendekati liang kuburnya. Sebagai agama yang
mengutamakan pendidikan, maka sepanjang kurun kehidupan umat Islam hingga
kini, telah muncul banyak ahli pendidikan yang menyumbangkan buah pikirannya
dalam bidang pendidikan. Dan pada umumnya sepakat menyatakan bahwa dari semua
unsur pendidikan yang ada, guru dan murid menempati unsur yang utama dan taratas
dari yang lain.
Penelitian ini memiliki rumusan masalah dan ruang lingkup yang akan
membahas mengenai bagaimana profil guru dan murid dalam perspektif Al-Ghazali,
sehingga bertujuan untuk mengetahui pandangan Al-Ghazali, tentang profil guru dan
profil murid tersebut, serta dapat pula dijadikan rujukan bagi para guru maupun anak
didik di masa sekarang ini.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dan lebih spesifiknya adalah
penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode pendekatan
historis dan filosofis serta content analisys sebagai pisau analisisnya, kemudian hasil
dari penelitian ini disajikan dalam bentuk deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; Al-Ghazali memiliki kontribusi
yang besar dalam rangka membangun profil guru dan murid yang baik dan sesuai
dengan syari’at Islam. Hal ini terlihat dari Bagaimana Imam al-Ghazali memberikan
pengertian, syarat, tugas dan kewajiban serta adab yang sejalan dengan tuntutan atau
ajaran agama Islam, baik bagi guru maupun murid. Sehingga secara operasional,
konsepnya dapat diaplikasikan dan dijadikan alternatif acuan bagi seorang guru
maupun murid di masa sekarang, khususnya dalam ruang lingkup pendidikan Islam
itu sendiri, namun harus tetap menggunakan bentuk pendekatan baru serta diperlukan
penyempurnaan yang searah dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Kata Kunci: profil Guru-Murid
xx
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak didik merupakan generasi masa depan, pada diri merekalah harapan dan
cita-cita baik bangsa maupun agama terletak. Murid atau anak didik adalah setiap
orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang
menjalankan kegiatan pendidikan. Murid bukanlah hewan, namun ia adalah
manusia yang mempunyai akal. Murid adalah salah satu unsur manusiawi yang
sangat penting dalam kegiatan interaksi edukatif. Ia dijadikan pokok persoalan
dalam semua gerak kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sebagai pokok
persoalan, murid memiliki kedudukan yang menempati posisi yang menentukan
dalam sebuah interaksi. Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran
murid sebagai subyek pembinaan. Jadi, dari penjelasan tersebut diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa, murid merupakan “kunci” yang menentukan untuk
mewujudkan terjadinya interaksi edukatif.1
Lapangan pendidikan dimana saja, kegiatan mendidik berlangsung dalam
masyarakat modern ini tidak hanya di lingkungan keluarga, namun disekolahpun
pendidikan terhadap anak dapat dilaksanakan oleh guru-guru yang bersangkutan.
Sekolah disini bahkan merupakan follow up dari pendidikan di lingkungan
1
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (suatu
pendekatan teoritis psiklogis). Jakarta: rineka cipta. 2005, hlm. 51.
1
1
2
keluarga. Pendidikan disekolah ini dapat disebut pendidikan formal, artinya
diselenggarakan atas dasar peraturan dan syarat-syarat tertentu serta alat-alat
tertentu pula. Di sekolah, pendidikan dan pengajaran dilaksanakan secara
bersama-sama,
menurut
pedoman-pedoman
yang
telah
ditentukan
oleh
pemerintah maupun pada lingkup yang lebih kecil, yakni pemimpin sekolah yang
bersangkutan. Misalnya pedoman mengenai: Kurikulumnya, Alat-alatnya,
Organisasi sekolahnya, Sistem serta Metode-Metodenya dan sebagainya.2
Kesemuanya itu diarahkan kepada cita-cita yang diidam-idamkan oleh tujuan
murni dari pendidikan itu sendiri. Maka dari itu bagi orang Islam yang
mendirikan sekolah, madrasah atau lembaga pendidikan lainnya sudah tentu
pedoman-pedomannya ditentukan ke arah usaha mencapai cita-cita yang mulia,
yaitu membentuk manusia muslim yang bertanggung jawab atas bangsa dan
agamanya untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.3
Dari keseluruhan perangkat pendidikan itu, maka menurut hemat penulis guru
dan murid dapat dikatakan menempati peringkat yang utama dari proses
pendidikan itu sendiri. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam dari
keduanya. Guru-guru yang menjalankan tugasnya mendidik anak sudah tentu
harus sanggup menjadi alat dari penyampaian cita-cita kepada anak yang telah
diamanahkan kepadanya. Malah bagi guru agama khususnya harus lebih dari itu
semua yakin harus sanggup menjadi pendukung sebanar-benarnya akan cita-cita
2
Dr. H. Samsul Nizar, M.A. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta:Ciputat Press, 2002), hlm. 25
3
Ibid., hlm. 26
2
3
itu sehingga dirinya dimata anak didiknya betul-betul merupakan personifikasi
dari agama yang diajarkannya. Itulah sebabnya guru sebagai pendidik haruslah
memenuhi syarat-syarat serta tugas dan tangung jawabnya bagi pendidikan yang
dilakukannya tersebut, baik dari segi jasmaniyah maupun rohaniyahnya,
sebagaimana yang juga akan diungkapkan oleh penulis pada skripsi ini dalam
perspektif al-Ghazali pada bab atau pembahasan selanjutnya.
Dalam
perspektif
pedagogis,
murid
adalah
sejenis
makhluk
yang
menghajatkan pendidikan. Dalam arti ini murid disebut dengan sejenis makhluk
“homo educandum”. Pendidikan merupakan keharusan yang diberikan kepada
anak didik, ia sebagai manusia berpotensi yang perlu dibina dan dibimbing
dengan perantaraan guru. Potensi anak didik yang bersifat laten perlu
diaktualisasikan agar mereka tidak lagi dikatakan sebagai “animal educable”,
yaitu sejenis hewan yang memungkinkan untuk dididik, tetapi anak didik disini
haruslah tetap dianggap sebagai manusia secara mutlak, sebab anak didik
memang sejatinya manusia. Ia adalah sejenis makhluk manusia yang terlahir dari
rahim seorang ibu. Anak didik adalah manusia yang memiliki potensi akal untuk
dijadikan kekuatan agar menjadi manusia susila yang cakap.4
Sebagai manusia yang berpotensi, maka didalam diri murid ada suatu daya
yang dapat tumbuh dan berkembang disepanjang usianya. Potensi murid sebagai
daya yang tersedia, sedangkan pendidikan sebagai alat ampuh untuk
mengembangkan daya tersebut. Bila murid adalah sebagai komponen inti dalam
4
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag, Op.cit, hlm. 52
3
4
kegiatan pendidikan, maka muridlah sebagai pokok persoalan dalam interaksi
edukatif.
Sebagai makhluk manusia, anak didik memiliki karekteristik. Menurut Sutari
Iman Barnadib, Suwarno, dan Siti Mechati,5 anak didik memiliki karekteristik
tertentu, yakni :
1. Belum memiliki pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung
jawab pendidik (guru) ; atau
2. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih
menjadi tangung jawab pendidik;
3. Memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu
yaitu kebutuhan biologis, rohani, social, inteligensi, emosi, kemampuan
berbicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari), latar belakang
sosial, latar belakang biologis (warna, kulit, bentuk tubuh, dan lainnya), serta
perbedaan individual.
Guru perlu memahami karekteristik anak didik sehingga mudah melaksanakan
interaksi edukatif, Kegagalan menciptakan interaksi edukatif yang kondusif,
berpangkal dari kedangkalan pemahaman guru terhadap karekteristik anak didik
sebagai individu. Bahan, metode, sarana/alat, dan evaluasi, tidak dapat berperan
lebih banyak, bila guru mengabaikan aspek anak didik. Sebaiknya sebelum guru
mempersiapkan tahapan-tahapan interaksi edukatif, guru memahami keadaan
5
. Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. Ibid, hlm. 52
4
5
anak didik. Ini penting agar apat mempersiapkan segala sesuatunya secara akurat,
sehingga tercipta interaksi edukatif yang kondusif, efektif, dan efisien.6
Namun sebagaimana yang kita ketahui pada saat sekarang ini banyak generasi
muda yang telah kehilangan arah yang benar, kehilangan identitas diri dan lain
sebagainya, yang nanti pada akhirnya akan merusak dan menghancurkan bangsa
maupun agama itu sendiri.
Sebagai contoh, hampir disetiap kelas disekolah selalu ada saja murid (peserta
didik) yang jahil, nakal, bandel, sulit untuk dikendalikan, bahkan terlibat dalam
aktivitas yang bernuansa kekerasan, baik itu pembentukan kelompok tertentu
(gank) dengan maksud yang sering tidak jelas, hingga aplikasi dilapangan dengan
adanya tawuran antar murid atau sekolah (sebagaimana yang diberitakan media
cetak maupun elektronik).
Hal serupa juga ternyata terjadi pada kalangan pendidik, penulis tidak
bermaksud memberikan steatmen buruk kepada guru, namun diakui atau tidak
bahwa pada fakta dilapangan memang terdapat penyimpangan yang dilakukan
sebagian pendidik, meskipun jumlahnya dapat dikatakan sedikit (minoritas), hal
ini juga terungkap dan diangkat di media baik cetak maupun elektronik,
sebagaimana kenakalan yang terjadi pada pesrta didik.
Hal ini sangat ironi, mengingat baik bangsa maupun agama itu sendiri tidak
mengingingkan akan terjadinya hal-hal seperti itu. Apabila hal-hal seperti ini
dibiarkan tanpa adanya usaha untuk memperbaikinya, maka perlahan-lahan,
6
Ibid., hlm. 53
5
6
lambat-laun baik disadari ataupun tidak akan menjadi suatu tradisi yang buruk
yang dapat menjadi permasalahan yang sangat serius bagi dunia pendidikan itu
sendiri. Oleh karenanya dibutuhkan usaha bersama dalam menanggulangi
persoalan ini agar dapat mencapai maksud dan tujuan pendidikan yang agung dan
sangat mulia.
Pendidikan sendiri sebagai proses transfer ilmu dan pengetahuan hendaknya
tidak hanya berkuantitas, namun juga berkualitas. Tidak hanya didomonasi oleh
pelajaran-pelajaran ilmu pengetahuan umum, tapi juga harus di ikuti atau di dasari
pengetahuan-pengetahuan mengenai akhlak, moral, budi pekerti, etika dan
khususnya dan paling utama adalah pendidikan agama. Untuk itu sebelumnya
dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai hakikat pendidik bagi siapa
saja yang menginginkan guru sebagai profesi dalam hidupnya, juga pemahaman
yang mendalam tentunya tentang hakikat peserta didik bagi siapa saja yang
hendak ataupun yang masih dan serta selalu menuntut ilmu, yang kesemuanya
dilandasi oleh ajaran agama, khususnya Islam. Karena pendidikan sendiri
merupakan salah satu aspek yang sangat sakral dan penting untuk membentuk
generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka
membangun masa depan.7 Karena itu tidak hanya guru (pendidik) yang
mempersiapkan diri dengan baik, namun bagi para murid (peserta didik) juga
harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
7
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel-Malang. Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Suatu Pengantar Ilmu
Pendidikan Islam, (Surabaya: karya abditama, 1996), hlm. 58.
6
7
Salah satu fungsi pendidikan adalah memindahkan nilai-nilai, ilmu dan
keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda untuk melanjutkan dan
memelihara identitas masyarakat tersebut. Dalam hal ini bisa dilalui dengan
proses pengajaran dan belajar. Dahulu orang menyangka bahwa mengajar
sebenarnya tidak lebih dari memindahkan isi kepala seseorang guru, kalaulah
ilmu itu ada di kepala, kepada kepala seseorang atau beberapa murid. Dengan
demikian terjadilah proses belajar. Dengan kata lain belajar sebenarnya, tidak
ubahnya seperti memindahkan isi suatu keranjang kepada keranjang-keranjang
lain.8
Hasan Langgulung menyebutkan bahwa dalam pendidikan mengandung dua
aspek, Pertama: Aspek mengajar dan Kedua: Aspek belajar. Aspek mengajar itu
hanyalah suatu cara untuk memantapkan proses belajar itu. Sedangkan proses
belajar berlaku apa sebanarnya yang terjadi pada manusia.9
Di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
pasal 37 ayat (1) ditegaskan bahwa:
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan
agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan
olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.10
8
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husana, 1988), hlm.
250
9
Ibid., hlm. 23
10
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS (Bandung: Citra
Umbara, 2003), hlm. 25-26.
7
8
Dalam masa sekarang ini, setiap sekolah memerlukan guru yang tidak hanya
profesional, namun juga memiliki spiritual (religius) yang baik, sehingga masingmasing anak didik akan mendapat pendidikan dan pembinaan dari berbagai orang
guru yang mempunyai kepribadian dan mental yang baik pula. Setiap guru akan
mempunyai pengaruh terhadap anak didik, pengaruh tersebut akan terjadi melalui
pendidikan dan pengajaran yang dilakukan baik dengan sengaja, maupun tidak
sengaja oleh guru, melalui sikap, gaya, dan macam-macam penampilan
kepribadian guru. Dapat dikatakan, bahwa kepribadian guru akan lebih besar
pengaruhnya dari pada kepandaian dan ilmunya, terutama bagi anak didik yang
masih dalam usia kanak-kanak dan masa meningkat remaja, yaitu tingkat
pendidikan dasar dan menengah, karena anak didik pada tingkat tersebut masih
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Oleh karena itu,
setiap guru hendaknya mempunyai kepribadian yang patut dicontoh dan
diteladani oleh anak didik, baik secara sengaja ataupun tidak.
Guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
yang ikut bertanggung jawab dalam mendidik dan mengajar, membantu anak
untuk mencapai kedewasaan.11 Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang
yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak terbatas di
lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, mushala, di rumah dan
sebagainya.
11
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 62.
8
9
Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Peranan
dan kewibawaan yang menyebabkan seorang guru dihormati, sehingga masyarakat
tidak
meragukan figur seorang guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang
mendidik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.
Guru adalah komponen yang penting dalam pendidikan, yakni orang yang
bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, dan bertanggung jawab
atas segala sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam rangka membina anak didik
agar menjadi orang yang bersusila yang cakap, berguna bagi nusa dan bangsa di
masa yang akan datang.
Pandangan tentang citra guru sebagai orang yang wajib digugu (dipatuhi) dan
ditiru (diteladani) seharusnya tidak perlu diragukan kebenarannya, konsep
keguruan
klasik tersebut mengandaikan pribadi guru serta perbuatan
kependidikan atau keguruan adalah tanpa cela, sehinga pantas hadir sebagai
manusia model yang ideal. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, guru
wajib digugu dan ditiru tersebut perlu disikapi secara kritis dan realistis. Benarlah
bahwa guru dituntut menjadi tauladan bagi siswa dan orang-orang sekelilingnya,
tetapi guru adalah orang yang tidak pernah bebas dari cela dan kelemahan, justru
salah satu keutamaan guru hendaknya diukur dari kegigihan usaha guru yang
bersangkutan untuk menyempurnakan diri dan karyanya. Guru yang sempurna,
ideal, selamanya tetap merupakan suatu cita-cita.
9
10
Atas pemikiran di atas, maka upaya menyiapkan tenaga guru merupakan
langkah utama dan pertama yang harus dilakukan. Dalam arti formal tugas
keguruan bersikap profesional, yaitu tugas yang tidak dapat diserahkan kepada
sembarang orang.12 Dalam artian, guru tersebut harus mempunyai kemampuan
untuk mengerahkan dan membina anak didiknya sesuai dengan nilai-nilai
kehidupan yang luhur dan bermanfaat menurut pandangan agama.
Pendidik yang pertama dan utama adalah orang tua (ayah dan ibu), karena
adanya pertalian darah yang secara langsung bertanggung jawab penuh atas
kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses anaknya merupakan
sukses orang tua juga. Orang tua disebut pendidik kodrati. Apabila orang tua tidak
punya kemampuan dan waktu untuk mendidik, maka mereka menyerahkan
sebagian tanggungjawabnya kepada orang lain atau lembaga pendidikan yang
berkompetensi untuk melaksanakan tugas mendidik.
Seorang guru dituntut mampu memainkan peranan dan funginya dalam
menjalankan tugas keguruannya. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, membagi tugas
guru ada dua; Pertama, membimbing anak didik mencari pengenalan terhadap
kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya. Kedua, menciptakan
situasi untuk pendidikan, yaitu suatu keadaan dimana tindakan pendidikan dapat
berlangsung dengan baik dan hasil memuaskan.
12
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.
10
11
Untuk menjadi guru yang profesional tidaklah mudah, karena ia harus
memiliki berbagai kompetensi keguruan. Kompetensi dasar bagi pendidik
ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan
yang dimilikinya. Pontensi dasar itu adalah milik individu sebagai hasil proses
yang tumbuh karena adanya inayah Allah SWT, personifikasi ibu waktu
mengandung dan situasi yang mempengaruhinya baik langsung maupun melalui
ibu waktu mengandung atau faktor keturunan. Hal inilah yang digunakan sebagai
pijakan bagi individu dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba
Allah.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dalam ajaran Islam, guru
mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang amat tinggi. Penghormatan dan
kedudukan yang tinggi ini amat logis diberikan kepadanya, karena dilihat dari
jasanya yang demikian besar dalam membimbing, mengarahkan, memberikan
pengetahuan, membentuk akhlak dan menyiapkan anak didik agar siap
menghadapi hari depan dengan penuh keyakinan dan percaya diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi dengan baik.
Sifat yang dimiliki guru adalah harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak sesuai
dengan pendapat Mohammad Athiyah Al-Abrosyi, salah satu dari mengutamakan
untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan
keridhaan Allah semata-mata. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
∩⊄⊇∪ tβρ߉tGôγ•Β Νèδuρ #\ô_r& ö/ä3é=t↔ó¡o„ ω tΒ (#θãèÎ7®?$#
11
12
Artinya: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepada-Mu, dan mereka
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Yasin: 21)13
Ini tidak berarti bahwa seorang guru harus hidup miskin, melarat, dan
sengsara, melainkan boleh ia memiliki kekayaan sebagaimana lazimnya orang
lain dan ini tidak berarti pula bahwa guru tidak boleh menerima pemberian atau
upah dari muridnya, melainkan ia boleh saja menerimanya pemberian upah
tersebut karena jasanya dalam mengajar, tetapi semua ini jangan diniatkan dari
awal tugasnya. Pada awal tugasnya hendaklah ia niatkan semata-mata karena
Allah. Dengan demikian, maka tugas guru akan dilaksanakan dengan baik, apakah
dalam keadaan punya uang atau tidak ada uang.
Penulis sendiri menjadikan Imam al-Ghazali sebagai tokoh central dalam
penelitian ini karena selain karena memiliki banyak karya (kitab/buku-buku
karangan beliau, maupun hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang beliau)
sehingga memudahkan peneliti dalam memperoleh informasi dan data, dan beliau
telah popular dikalangan umat Islam (termasuk dalam dunia pendidikan Islam
khususnya), kemudian Imam al-Ghazali juga memiliki pandangan yang berbeda
dengan para ahli pendidikan yang lain mengenai tujuan pendidikan. Menurutnya,
tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk
mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan
yang menghasilkan uang.14
13
14
DEPAG RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit., hlm 708.
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 162.
12
13
Selanjutnya Imam al-Ghazali juga mengklasifikasi ilmu menjadi beberapa
karakteristik, diantaranya ilmu menurut beliau dibagi dalam dua bagian besar,
yaitu: ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Ilmu sebagai obyek memiliki
tiga bagian, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji
dalam batas-batas tertentu. Dari ketiga ilmu ini kemudian Imam al-Ghazali
membagi lagi dalam dua kelompok: ilmu yang fardlu ‘ain dan ilmu yang fardlu
kifayah. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pada pembahasan/bab selanjutnya.
Kemudian dijumpai pula pendapat al-Ghazali bahwa hendaknya seorang guru
tidak mengharapkan imbalan, balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi
dengan mengajar itu bermaksud mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya.15 Mengenai masalah gaji guru, menurutnya, sosok guru ideal adalah
yang memiliki motivasi mengajar yang tulus ikhlas. Dalam mengamalkan
ilmunya semata-mata untuk bekal di akhirat bukan untuk dunianya, sehingga
tidak mengharapkan imbalan, dan menjadi panutan serta mengajak pada jalan
Allah dan mengajar itu harganya lebih tinggi dari pada harta benda.
Selanjutnya menurut pendapat al-Ghazali, untuk menjadi murid yang baik
yaitu yang dapat memenuhi tugas yang dibebankan padanya, salain bertakwa
kepada Allah, bersih jasmaninya, baik akhlaknya dan suci jiwanya, seorang juga
hendaknya menanamkan niat yang benar dalam metuntut ilmu.16
15
Al-Ghazali, Terj., Zeid Husein Al-Hamid, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Cet II, (Jakarta: Puastaka
Amani, 2007), hlm. 15.
16
Ibid., hlm. 11
13
14
Dengan melihat sekilas pemaparan atau uraian tentang profil guru, bahwa
sosok guru adalah hal yang paling penting serta yang utama dalam pendidikan,
begitu juga sosok murid sangat urgen dalam pandangan dan pemikiran AlGhazali. Oleh karena itu, sangat relevan kiranya untuk diuji keutamaannya,
karena masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda dalam
sebuah karya ilmiah yang bersifat analisis kritis dalam judul: “PROFIL GURU
DAN MURID DALAM PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang penulis ungkapkan
meliputi:
1. Bagaimana profil guru dalam perspektif Imam al-Ghazali ?
2. Bagaimana profil murid dalam perspektif Imam al-Ghazali ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelititan ini adalah:
1. Untuk mengetahui profil guru dalam perspektif al-Ghazali
2. Untuk mengetahui profil murid dalam perspektif al-Ghazali
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini antara lain:
1. Dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan atau masukan
sekaligus sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga pendidikan dalam
14
15
meningkatkan prestasi belajar murid maupun para guru itu sendiri dalam
pelaksanaan pendidikan (termasuk Pendidikan Agama Islam)
2. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai pijakan pendidikan Agama
Islam dalam pengembangan pendidikan Agama Islam khususnya bagi tenaga
pengajar dan peserta didik
3. Untuk menambah wawasan praktis sebagai pengalaman bagi penulis sesuai
dengan disipilin ilmu yang telah penulis tekuni selama ini
D. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan judul yang penulis angkat dalam karya ilmiah skripsi ini, maka
penelitian ini difokuskan pada obyek kajian tentang profil guru dan juga
pembahasan tantang profil murid dalam perspektif al-Ghazali.
E. Penegasan Istilah
Profil
: Keterangan / penjelasan diri, sosok, Figure (bahasa Inggris);
perawakan; postur; bangun badan; tipe; bentuk; wujud; sosok;
tokoh; gambar.17
Profil Guru
: Figur atau wujud (sosok) garis-garis besar sifat dan ciri
Atau keterangan/ penjelasan diri sosok seorang guru.
Profil Murid
: Figur atau wujud (sosok) garis-garis besar sifat dan ciri
keterangan / penjelasan diri sosok seorang murid.
Al-Ghazali
: Salah seorang tokoh pemikir di dalam dunia Islam yang
17
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Banny, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),
hlm. 177.
15
16
dikenal sebagai seorang teolog, filosof dan sufi, yang
hidup di pemerintahan Bani Saljuk. Dilahirkan tahun 1059
Masehi/450 Hijriyah di Thusia, yang nama lengkapnya
ialah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian Kualitatif
a. Pendekatan Historis, yaitu pendekatan untuk mengkaji biografi AlGhazali dalam karyanya, khususnya yang berkaitan dengan profil
seorang guru dan profil seorang murid.
b. Pendekatan Filosofis, yaitu pendekatan yang mengkaji pemikiran AlGhazali secara kritis, evaluatif reflektif yang berkaitan dengan profil
seorang guru dan profil seorang murid serta. Sehingga meskipun terdapat
dua pembahasan, dengan pendekatan ini akan ditemukan benang
merahnya, yakni hubungan timbal balik diantara guru dan murid tersebut.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu
penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku atau sumber kepustakaan
lain. Maksudnya, data dicari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari bukubuku yang relevan dengan pembahasan.
16
17
Kegiatan studi termasuk kategori penelitian kualitatif dengan prosedur
kegiatan dan teknik penyajian finalnya secara deskriptif.18 Maksudnya,
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran utuh dan jelas tentang
profil seorang guru profil seorang murid menurut Al-Ghazali.
3. Sumber dan Jenis Data
Yang dimaksud sumber data adalah subjek dimana data itu diperoleh,
dalam hal ini dibedakan menjadi dua jenis sumber data, yaitu;
1). Sumber Data Primer, yaitu berupa buku karya Imam Al-Ghazali yaitu:
“Ihya’ Ulumuddin” jilid pertama.
2). Sumber Data Sekunder, yaitu buku-buku karya lain yang ditulis oleh Imam
Al-Ghazali yang mendukung dari data primer yang disebutkan diatas.
Diantaranya adalah Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Menghidupkan Kembali
Ilmu-ilmu Agama, Fatihatul Ulum (Buat Pecinta Ilmu), Jalan Mudah
Menggapai Hidayah; 40 prinsip agama, Menuju Labuhan Akhirat.
3). Sumber Data Penunjang, yaitu buku-buku selain pada data primer dan
sekunder karya pengarang lainnya (selain Imam al-Ghazali) yang tentunya
masih relevan dengan pokok permasalahan yang menjadi kaitan dalam
skripsi ini, yaitu seperti. Menjadi Guru Profesional, Guru dan Anak Didik
Dalam Interaksi Edukatif, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru
dan Murid, Filsafat Islam, Asas-Asas Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan
18
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), Cet.
XIX, hlm. 6.
17
18
dalam Perspektif Islam, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Manusia dan
Pendidikan dan lain sebagainya.
4. Metode Pengumpulan Data
Sumber data baik data primer maupun sekunder diperoleh melalui
penelitian pustaka (library research) yaitu dengan menelusuri buku-buku atau
tulisan-tulisan tentang Al-Ghazali. serta buku-buku lain yang mendukung
pendalaman dan ketajaman analisis.
5. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang terpenting dalam metode ilmiah,
karena dengan analisislah data tersebut dapat berguna dalam memecahkan
masalah penelitian. Analisis data kualitatif yang digunakan dalam skripsi ini
berupa kata-kata bukan berupa angka-angka yang disusun dalam tema yang
luas.
Dalam menganalisis data setelah terkumpul penulis menggunakan
metode Content Analisys, yaitu analisis yang dilakukan langsung terhadap
satuan-satuan isi pada setiap data yang diperoleh atau digunakan,19 untuk
kemudian dipaparkan secara Diskriptif yaitu mendiskripsikan segala hal yang
berkaitan dengan pokok pembicaraan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai faktor-faktor sifat-sifat serta hubungan dua fenomena yang
19
Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. (Jakarta: Obor Indonesia, 2008); hlm. 31.
18
19
diselidiki. Dari sinilah akhirnya diambil sebuah kesimpulan umum yang
semula berasal dari data-data yang ada tentang obyek permasalahannya.20
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yaitu rangkaian pembahasan yang tercakup dalam isi
skripsi, dimana yang satu dengan yang lain saling berkaitan sebagai satu kesatuan
yang utuh, yang merupakan urutan-uruatan tiap bab.
Agar memperoleh gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh mengenai
pembahasan ini. Secara global akan penulis perinci dalam sistematika
pembahasan ini sebagai berikut:
Bab pertama, Pendahuluan, yaitu sebagai gambaran umum mengenai seluruh
isi skripsi yang dijabarkan dalam berbagai sub bab yaitu; latar belakang masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Pada bab dua akan memuat biografi Imam al-Ghazali, karya-karyanya dan
pemikiran Imam al-Ghazali tentang profil seorang guru.
Selanjutnya pada bab tiga akan memuat pemikiran atau pandangan Imam alGhazali tentang profil seorang murid .
Kemudian masuk pembahasan inti yaitu bab empat, membahas tentang
bagaimana hubungan timbal balik antara seorang guru dan murid menurut Imam
al-Ghazali, dan memuat pula tujuan pendidikan dalam perspektif beliau, yang
20
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM,
1987), hlm. 36-42.
19
20
pada prosesnya pendidikan tersebut adalah merupakan interaksi antara pendidik
(guru) dan anak didik (murid).
Akhirnya pembahasan seluruh skripsi ini ditutup dengan kesimpulan dan
saran-saran oleh penulis sendiri dalam bab lima.
20
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Beberapa Studi Tentang Pemikiran Imam al-Ghazali
Studi tentang pemikiran Imam al-Ghazali telah banyak dilakukan oleh
berbagai kalangan. Hal ini membuktikan bahwa Imam al-Ghazali (khususnya di
kalangan umat Islam) sangat berpengaruh, dicintai dan bahkan diagungagungkan, pada satu sisi.
Namun demikian, pada sisi lain, Imam al-Ghazali dituding sebagai salah satu
dari keterpurukan umat Islam saat itu. Sebab, menurut M. Zainuddin, sufisme
yang didengung-dengungkan oleh Imam al-Ghazali, dituduh sebagai penghambat
kemajuan zaman sehingga tidak mengherankan kalau kemudian beliau harus
bertanggung jawab atas ketertinggalan dan kemunduran umat Islam.21
Berkaitan dengan itu, terdapat beberapa literatur hasil penelitian yang dapat
dikemukakan di sini, antara lain: Visiting Post Doctorate Program Abuddin Nata
yang sudah dibukukan dengan judul Perspektif Islam tentang Pola Hubungan
Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali. Karya ini membahas tentang
pola hubungan guru-murid yang bernuansa moral-sufistik. Bahwa pola hubungan
guru-murid menurut al-Ghazali adalah pola hubungan yang bersifat kemitraan
21
M. Zainuddin, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm.
2-3.
21
21
22
yang didasarkan pada nilai-nilai demokratis, keterbukaan, kemanusiaan dan saling
pengertian.22
Siti Fatchurohmah dalam skripsinya berjudul: Sosok Guru menurut al-Ghazali
dan Zakiah Daradjat melihat bahwa seorang guru itu harus bertanggungjawab
dalam hal pendidikan dan pengajaran. Di samping itu, guru juga bertugas untuk
menyempurnakan, mensucikan, dan menjernihkan hati serta membimbing anak
didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Guru tidak boleh meminta
imbalan dalam arti bahwa motifasi yang harus dipegang adalah semata-mata
karena Allah.23
Sedangkan Rusdianto dalam skripsinya berjudul: Pendekatan Dalam Proses
Belajar Perspektif Imam al-Ghazali (Kajian Kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati alMuta‘allimīn wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min
Gayrihi) memandang bahwa pendekatan dalam proses belajar adalah pendekatan
yang penuh dengan nuansa teosentris.
Hal ini dibuktikan dengan pandangannya (yang mengutip dari al-Ghazali)
tentang belajar yang bernilai adalah apabila diniatkan untuk beribadah kepada
Allah, dan motivasi dalam belajar harus demi menghidupkan syari’at Nabi dan
menundukkan hawa nafsu. Kemudian, siswa juga harus memperhatikan kesucian
jiwanya, dan karena itu, ia harus menelaah ilmu agama dan ilmu tauhid, perkataan
22
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf AlGhazaliI (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 3.
23
Siti Fatchurohmah, “Sosok Guru Menurut al-Ghazali dan Zakiah Daradjat”, Skripsi, Fakultas
Tarbiyah UIN Malang, 2006, hlm. 131.
22
23
dan perbuatannya harus sama dengan syara’, lebih memilih fakir dan menjauhi
kehidupan dunia, ikhlas, tawakkal, dan tidak meninggalkan shalat tahajjud.
Siswa juga harus memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, bersikap
patuh dan tunduk terhadap guru dalam segala hal, tidak boleh berdebat, tidak
boleh menjadi juru mau’izah, tidak bergaul dengan kalangan eksekutif, serta
berbuat baik terhadap Allah dan sesama manusia. Di samping itu, siswa juga
harus mengamalkan ilmu yang diperolehnya sebab ilmu tanpa diamalkan adalah
kegilaan dan beramal yang tidak didasari oleh ilmu pengetahuan adalah sia-sia. 24
Sementara Syarkowi mengkaji arah sistem pendidikan Islam dalam perspektif
al-Ghazali dalam konteks saat ini. Dalam skripsinya Reorientasi Pendidikan
Islam (ke Arah Aktualisasi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali dalam Konteks
Pendidikan Masa Kini), ia mengatakan (menjelaskan) bahwa sistem pendidikan
Islam dalam konteks masa kini harus diarahkan pada pencarian fomat baru
menuju sistem ideal pendidikan Islam. Yaitu dengan menggunakan nilai-nilai
Islam sebagai sudut pandang secara menyeluruh: kebahagiaan dunia akhirat.25
Menurut hemat penulis, beberapa karya di atas saling mendukung satu sama
lain, sehingga penulis ingin menghimpun sekaligus melengkapinya sehingga
menjadi sebuah konsep yang jelas dan lengkap perihal pendidikan bagi anak didik
khususnya dalam menuntut ilmu atau belajar. Untuk itu, peneliti mencoba
24
Rusdianto, Pendekatan Dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali (Kajian Kitab Ayyuhā alWalad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min
Gayrihi)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2006, hlm. 120.
25
Syarkowi, Reorientasi Pendidikan Islam (ke Arah Aktualisasi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali
dalam Konteks Masa Kini)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2005, hlm. 154.
23
24
melakukan penelitian tentang konsep pendidikan dalam perspektif al-Ghazali.
khususnya yang terdapat dalam kitab-kitab karyanya seperti Ihya’ Ulumuddin
(jilid 1), dan beberapa kitab (buku) lain yang berkenaan dengannya . Dan karena
itu, topik penelitian dalam skripsi ini mempunyai kerangka dan bingkai tersendiri
yang memiliki perbedaan dengan kajian yang sebelumnya. Pada penelitian ini
dipaparkan tentang konsep pendidikan dalam perspektif al-Ghazali mulai dari
hakikat ilmu serta arti pentingnya ilmu yang bermanfaat dan tidak bermanfaat
(fardhu ‘ain dan fardhu kifayah), adab pelajar, adap pendidik, cara mendidik
dalam Islam. Selain itu juga akan dipaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi
dalam proses belajar.
B. Pengertian Pendidik
Dari segi bahasa, makna pendidik, sebagaimana dijelaskan oleh WJS.
Poerwadarmita adalah orang yang mendidik.26 Pengertian ini terlihat jelas
memberi kesan bahwa guru adalah orang yang melakukan kegiatan dengan
memberi atau mengajarkan sesuatu (ilmu pengetahuan) kepada obyek didik
(murid) dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Inggris dijumpai pula beberapa
kata yang berdekatan artinya dengan guru. Kata tersebut seperti teacher yang
diterjemahkan sebagai pendidik atau pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi
atau guru yang mengajar dirumah.27 Selanjutnya dalam bahasa Arab, sebagaimana
yang dijelaskan juga oleh Abuddin Nata, juga ditemui kata ustadz, mudarris,
26
WJS. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 250.
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 560608
27
24
25
mu’allim dan mu’addib. Kata ustadz jamaknya asatidz yang berarti teacher
(guru), professor dalam gelar akademik, jenjang di bidang intelektual, pelatih,
penulis dan penyair. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor
(pelatih) dan lecturer (dosen). Kemudian kata mu’allim yang juga berarti teacher
(guru), pengajar ilmu. Dan kata mu’addib yang berarti pembina adab (akhlak),
trainer (pemandu) dan educator in koranic school (guru dalam lembaga
pendidikan al-Qur’an).28
Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu
pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang
yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga
pendidikan formal, tapi bisa juga di masjid, surau atau mushala, di rumah dan
sebagainya.29
Menurut Hadari Nawawi, guru adalah orang yang kerjanya mengajar atau
memberikan pelajaran di sekolah atau di kelas. Secara lebih khusus lagi, ia
mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan
pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai
kedewasaan masing-masing.30
Beberapa kata tersebut di atas secara keseluruhan terhimpun dalam pengertian
pendidik (guru), karena seluruh kata tersebut mengacu kepada seseorang yang
28
Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.
61.
29
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta),
1999, hlm. 31.
30
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op.cit., hlm. 62.
25
26
memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan ataupun pengalaman kepada orang
lain (obyek didik). Kata-kata yang bervariasi tersebut sekaligus menunjukkan
adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan di mana ilmu pengetahuan,
keterampilan
dan
semacamnya
diberikan.
Jika
ilmu
pengetahuan
dan
keterampilan tersebut diberikan di sekolah disebut teacher, di perguruan tinggi
disebut lecturer atau professor, dirumah-rumah secara privat (pribadi) disebut
tutor, di pusat-pusat latihan instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga
pendidikan yang mengajarkan agama disebut eductor.
Adapun pengertian guru (pendidik) menurut istilah yang lazim digunakan di
masyarakat telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Ahmad Tafsir misalnya,
mengatakan bahwa pendidik dalam Islam, sama dengan teori di barat, yaitu siapa
saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Namun beliau
selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam, orang yang pertama paling
bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah-ibu) anak didik sendiri.
Tanggung jawab itu disebabkan sekurangnya oleh dua hal: pertama karena kodrat,
yakni karena orang tua ditakdirkan bertanggung jawab secara langsung mendidik
anak-anaknya, kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua
berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya
tersebut adalah juga merupakan keberhasilan orang tua.31 Dari penjelasan tersebut
31
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984), hlm.
74
26
27
berarti guru (pendidik) menempati posisi kedua setelah orang tua sebagai orang
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik.
Dengan demikian , dapat disimpulkan bahwa guru adalah semua orang yang
berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik,
baik secara individual maupun klasikal (kelompok-grup), disekolah maupun
diluar sekolah.
C. Pengertian Anak Didik
Dilihat dari segi kedudukannya, murid (anak didik) adalah makhluk yang
sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan menurut fitrahnya
masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten
menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya32.
Sebagai makhluk manusia, anak didik memiliki karakteristik. Menurut Sutari
Iman Barnadib, Suwarno, dan Siti Mechati, anak didik memiliki karakteristik
tertentu, yaitu:
1. Belum memiliki pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung
jawab pendidik (guru); atau
2. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih
menjadi tanggung jawab pendidik.
3. Memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu,
yaitu kebutuhan biologis, rohani, social, intelegensi, emosi, kemampuan
berbicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari), latar belakang
32
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 144.
27
28
sosial, latar belakang biologis (warna kulit, bentuk tubuh dan lainnya), serta
perbedaan individual.33
Dalam bahasa Arab dikenal istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan
pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti
orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya)
talamidz yang berarti murid itu sendiri, dan thalib al-‘ilm yang menuntut ilmu,
pelajar ataupun mahasiswa34 ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada
seseorang yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada
penggunaannya. Pada sekolah yang tingkatannya rendah seperti Sekolah Dasar
(SD) digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangakan pada sekolah yang
tingkatannya lebih tinggi seperti SLTP, SLTA dan perguruan tinggi digunakan
istilah thalib al-‘alm.
Berdasarkan pengertian di atas, maka murid (anak didik) dapat dicirikan
sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan
pengarahan. Dalam pandangan Islam sendiri, hakikat ilmu berasal dari Allah Swt,
sedangkan proses untuk memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru
(pendidik). Karena ilmu itu dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya
seorang anak didik untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Swt dengan
beribadah, serta juga menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia, yang baik dan
disenangi oleh Allah Swt, sekaligus tentunya sedapat mungkin berusaha keras
33
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. 2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif: suatu
pendekatan teoritis psikologis. (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 52.
34
Dr. H. Abuddin Nata, M.A. op. cit., hlm.79
28
29
untuk menjauhi perbuatan buruk dan segala sesuatu yang dilarang (tidak di sukai)
oleh Allah Swt. Dalam hal ini muncullah aturan normative tentang perlunya
kesucian jiwa bagi seseorang yang akan atau sedang menuntut ilmu, sebab ia
sedang mengharapkan ilmu pengetahuan yang merupakan anugrah Allah Swt. Hal
ini pulalah yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali yang akan dibahas lebih lanjut
oleh penulis dalam pembahasan tentang profil murid dalam karya ilmiah skripsi
ini.
D. Hubungan Antara Guru dan Murid
Proses pendidikan pada dasarnya adalah merupakan interaksi antara pendidik
(guru) dan anak didik (murid) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan35. Dalam konteks umum tujuan pendidikan tersebut antara lain
mentrasmisikan ilmu dan pengalaman dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Pendidikan menekankan pengalaman dari seluruh masyarakat, bukan hanya
pengalaman pribadi perorangan. Pengalaman masyarakat tersebut dapat berupa
cerita rakyat, tradisi, adat-istiadat, syair ataupun dalam bentuk lainnya. Defenisi
ini sejalan dengan pendapat John Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan
merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman
hidup dan juga pembahasan pengalaman hidup itu sendiri36. Sedangkan dalam
konteks Islam, pendidikan dapat diartikan sebagai proses penyiapan generasi
muda untuk mengisi peranan yang akan ditinggalkan generasi tua, memindahkan
35
Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, (bandung:
remaja rosdakarya, 1997), hlm. 191.
36
Ibid, hlm. 41.
29
30
pengetahuan dan nilai-nilai ajaran agama yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan menuai hasilnya kelak di akhirat37. Dalam
redaksi yang lebih lengkap tujuan pendidikan Islam merupakan program
bimbingan
(pimpinan,
tuntutan,
usulan)
oleh
subyek
didik
terhadap
perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, intuisi dan sebagainya) dan raga obyek
didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan
metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kearah terciptanya pribadi
tertentu disertai evaluasi yang sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri38.
Dari semua pengertian pendidikan dan tujuannya sebagaimana disebutkan
diatas, terlihat adanya subyek didik (guru) yang memberikan bimbingan, arahan
dan ajaran tersebut. Guru berfungsi sebagai fasilitator dan penunjuk jalan kearah
penggalian potensi anak didik (murid), dan murid sebagai obyek yang diarahkan
dan digali potensi yang dimilikinya. Lebih lanjut menurut konsep pendidikan
klasik, guru atau pendidik adalah ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan juga
sebagai contoh atau model nyata dan pribadi yang ideal. Sedangkan murid
posisinya sebagai penerima bimbingan, arahan dan ajaran yang disampaikan oleh
guru.
Dengan penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa dalam proses pendidikan
intinya harus ada tiga unsur, yaitu pendidik (guru), anak didik (murid) dan tujuan
pendidikan. Ketiga hal tersebut membentuk suatu triangle, yang apabila hilang
37
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’araif, 1980),
hlm. 944.
38
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hlm. 23.
30
31
salah satu komponennya, hilang pulalah hakikat dari pendidikan Islam tersebut.
Sehingga ketiganyalah (terutama guru dan murid) yang mempunyai peranan
penting sekaligus juga kunci dalam kegiatan pendidikan. Meskipun tanpa kelas,
gedung serta peralatan khusus dan sebagainya, proses pendidikan masih tetap
dapat berjalan walau dalam keadaan darurat (kritis) sekalipun. Namun tanpa guru
dan murid, proses pendidikan hampir pasti tidak mungkin dapat berjalan.
Persoalan selanjutnya bagaimanakah agar proses pendidikan yang ada pada
intinya merupakan interaksi antara guru dan murid tersebut dapat berjalan dengan
baik dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan sejak awal. Untuk menjawab
masalah ini menurut hemat penulis adalah terletak pada kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan oleh keduanya, yakni guru dan murid tersebut.
Belajar mengajar sendiri adalah sebuah interaksi yang bernilai normatif.
Belajar mengajar adalah sesuatu proses dalam pendidikan yang dilakukan dengan
sadar dan bertujuan. Tujuan adalah sebagai pedoman kearah mana pendidikan
akan dibawa melalui proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar akan
disebut sukses bilamana hasilnya mampu membawa perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap, khususnya dalam diri
anak didik (murid)39.
Interaksi belajar mengajar dikatakan bernilai normatif karena didalamnya
terdapat sejumlah nilai-nilai. Jadi, adalah wajar apabila interaksi itu kemudian
39
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2005), hlm. 12.
31
32
dianggap bernilai edukatif. Bagaimana sikap dan tingkah laku guru yang
edukatif?, tentu guru yang dengan sadar berusaha sebaik mungkin untuk berupaya
mengubah akhlak, sikap, adab perilaku dan perbuatan anak didik menjadi lebih
baik, bermoral, beretika dan bersusila, serta membawa anak didiknya menjadi
lebih dekat kepada sang pencipta, yaitu Allah SWT. Inilah yang juga
dimaksudkan oleh Imam al-Ghazali sebagaimana yang telah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya tentang profil seorang pendidik (guru).
Pada akhirnya dalam interaksi edukatif tersebut, unsur guru dan murid
haruslah aktif, tidak akan terjadi dengan baik proses interaksi edukatif bila hanya
salah satu dari kedua unsur itu yang aktif. Aktif dalam arti sikap, mental, adab
perbuatan keduanya. Malah dalam sistem pengajaran dengan pendekatan
keterampilan proses yang diterapkan saat sekarang ini, anak didik (murid)
diharuskan lebih aktif dari pada guru. Guru hanya bertindak sebagai pembimbing
dan fasilitator. Dengan demikian hubungan guru dan murid dalam interaksi
kegiatan belajar mengajar yang dimaksudkan penulis disini dapatlah mencapai
tujuan dari pendidikan itu sendiri dengan baik dan benar, tentunya juga sesuai
serta sejalan dengan ajaran (syari’at) agama Islam.
E. Dasar Dan Tujuan Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim,
maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan
awal. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang
telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan
32
33
Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat
mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar
yang terpenting dari pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Saw (hadits).40
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan
hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata.
Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat
diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman
kemanusiaan. Sebagai pedoman, al-Qur’an tidak ada keraguan padanya (Q.S. AlBaqarah/2:2). Ia tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya (Q.S. ArRa’d/15:9), baik dalam pembinaan aspek kehidupan spiritual maupun aspek sosial
budaya dan pendidikan. Demikian pula dengan kebenaran hadits sebagai dasar
kedua bagi pendidikan islam. Secara umum, hadits difahami sebagai segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan
serta ketetapannya. Kepribadian rasul sebagai uswat al-hasanah yaitu sebagai
contoh suru tauladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab/33:21). Oleh karena itu,
perilakunya senantiasa terpelihara dan dikontrol oleh Allah Swt (Q.S. AnNajm/53:34).41
Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu:
pertama, menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an
40
Dr. H. Samsul Nizar, M.A. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta:Ciputat Press, 2002), hlm. 34
41
Ibid., hlm. 35
33
34
dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya. Kedua, menyimpulkan
metode pendidikan Islam dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat,
perlakuannya terhadap anak-anak, serta pendidikan keimanan yang pernah
dilakukan oleh beliau.42
Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut Sa’id Ismail Ali –
sebagiamana juga dikutip Langgulung dan Samsul Nizar- terdiri atas enam
macam, yaitu; al-Qur’an, sunnah, qaul al-shahabat, masalih al-mursalah, ‘urf,
dan pemikiran hasil ijtihad para intelektual muslim.43 Seluruh rangkaian dasar
tersebut secara hierarki menjadi acuan pelaksanaan sistem pendidikan Islam.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu;
1. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun
horizontal.
2. Sifat-sifat dasar manusia
3. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal islam. Dalam aspek ini, setidaknya ada tiga
macam dimensi ideal islam, yaitu;
a. Mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan
manusia di muka bumi.
42
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1992), hlm. 47
43
Dr. H. Samsul Nizar, M.A. Op.cit., hlm. 36
34
hidup
35
b. Mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik.
c. Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan
dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirat al-hasanah).44
Berdasarkan batasan di atas, para ahli pendidikan (muslim) mencoba
merumuskan tujuan pendidikan Islam. Diantaranya al-Syaibani, mengemukakan
bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia
dan akhirat.45 Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan
fitrah anak didik, baik ruh, fisik, kemauan dan akalnya secara dinamis, sehingga
akan terbentuk pribadi yang utuh, serta juga mendukung bagi pelaksanaan
fungsinya sebagai kahlifah fi al-ardh.46 Pendekatan tujuan ini memiliki makna,
bahwa upaya pendidikan islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang
mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai dengan syariat Islam,
serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat
sebagai tujuan utama pendidikannya.
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly –sebagaimana juga yang dikutip
Samsul Nizar-, tujuan pendidikan Islam berdasarkan al-Qur’an meliputi;
1. Menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah
lainnya dan tangungjawabnya dalam kehidupan ini.
44
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 120.
Omar Muhammad Al-Thoumy Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 410
46
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1989), hlm. 67
45
35
36
2. Menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggungjawabnya
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
3. Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui
hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta.
4. Menjelaskan hubungannya dengan Khaliq sebagai pencipta alam semesta.47
Konsepsi di atas secara global mengisyaratkan bahwa ada dua kematian yang
perlu direlisasikan dalam praktek pendidikan Islam, yaitu dimesti dialektika
dalam praktek pendidikan Islam, yaitu dimesti dialektika horizontal dan dimesti
ketundukan vertikal. Pada dimesti dialetika horizontal, pendidikan Islam
hendaknya mampu mengembangkan realitas kehidupan, baik yang menyangkut
dengan dirinya, masyarakat, mampu alam semesta beserta segala isinya.
Sementara dalam dimesti ketundukan vertikal mengisyaratkan bahwa, pendidikan
Islam selain sebagai alat untuk memelihara, memanfaaatkan, dan melestarikan
sumber daya alami, juga hendaknya menjadi jembatan untuuk memahami
fenomena dan misteri kehidupan dalam upayanya mencapai fenomina dan misteri
kehidupan dalam upayanya mencapai hubungan yang abadi dengan Khaliqnya.
Secara praktis, Mohammmad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa
tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu:
1. Membentuk akhlak mulia
2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya
47
Dr. H. Samsul Nizar, M.A.. Ibid., hlm. 37.
36
37
4. Menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik
5. Mempersiapkan tenaga profesional yang trampil.48
Kongres se-Dunia ke II tentang Pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad,
menyatakan bahwa :
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan
manusia (peserta didik pen.) secara menyeluruh dan seimbang yang
dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang
rasional; perasaan dan indera. Karenan itu, pendidikan hendaknya mencakup
pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual,
imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa,baik secara individual maupun kolektif;
dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
ketundukan yang sempurna kepada Allah Swt, baik secara pribadi, komunitas,
maupun seluruh umat manusia.49
Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat difahami bahwa pendidikan Islam
merupakan proses bimbingan dan membina fitrah anak didik secara maksimal dan
bermuara pada terciptanya pribadi anak didik sebagai muslim paripurna (insan alkamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, anak didik diharapkan mampu
memadukan fungsi iman, ilmu dan amal (Q.S. Al-Mujadallah/58:11) secara
integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik di dunia maupun di
akhirat.
48
Muhammmad Athiyah al-Abrasyi. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan, Terj. Bustami A. Gain dan
Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 1-4
49
Dr. H. Samsul Nizar, M.A.. Ibid., hlm. 38.
37
38
BAB III
PEMAPARAN HASIL PENELITIAN
B. Biografi Imam al-Ghazali
1. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali. Sebutan al-Ghazali bukan merupakan nama asli. Zainal Abidin
Ahmad mengungkapkan bahwa sejak kecil, beliau memiliki nama Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Kemudian sesudah ia berumah
tangga dan memiliki putra bernama Hamid, maka dia dipanggil Abu Hamid.50
Beliau terkenal dengan sebutan Hujjatu al-Islām atau argumentator Islam.
Ada dua macam penulisan mengenai nama sebutan al-Ghazali. Pertama
sebutan itu ditulis dengan satu huruf “z” yaitu al-Ghazali. Sedangkan yang
kedua ditulis dengan dua huruf “z” atau dengan tasydid yaitu al-Ghazzali.
Tantang hal ini Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi berpendapat bahwa
sebutan al-Ghazzali (dengan dua huruf “z”) dinisbatkan atau dikaitkan kepada
pekerjaan ayahnya sebagai pemintal wool.51
Abu Sa’ied Sam’an, sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin mengatakan
bahwa sebutan al-Ghazali (dengan satu huruf “z”) berasal dari nama desa
tempat lahirnya yaitu Gazalah. Adapun sebutan al-Ghazzali berasal dari
50
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali (Surabaya: Bulan Bintang, 1975), hlm. 27.
Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj., M. Arifin
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hlm. 131.
51
38
38
39
pekerjaan yang dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya, yaitu seorang
penenun dan penjual kain tenun yang dinamakan “Gazzal”.52
Imam al-Ghazali dilahirkan di suatu kampung kecil Gazalah, kota Thus,
propinsi Khurasan, wilayah Persi (sekarang Iran) pada tahun 450 H. atau
bertepatan dengan tahun 1058 M. dari dua ibu bapak yang miskin melarat.53
Ayahnya seorang pemintal wol yang hasilnya digunakan untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya dan para fuqaha dan orang-orang yang membutuhkan
pertolongannya, dan juga seorang pengamal tasawuf yang hidup sederhana.
Dalam beberapa tulisan tidak ditemukan tentang tanggal dan bulan kelahiran
beliau.
Sungguhpun keluarga al-Ghazali hidup dalam kedaan serba kekurangan,
tetapi sang ayah memiliki semangat keilmuan dan cita-cita yang tinggi. Dalam
waktu-waktu senggangnya setelah selesai bekerja, ia selalu mengunjungi
fuqaha, pemberi nasihat, duduk bersamanya, sehingga apabila ia mendengar
nasihat para ulama tersebut ia terkadang menangis dan lebih rendah hati dan
selalu memohon kepada Allah agar dikaruniai anak yang pintar dan memiliki
ilmu yang luas seperti para ulama tersebut. Pada akhirnya Allah mengabulkan
do’a ayahnya dan dia dikaruniai dua putra yaitu Imam al-Ghazali dan yang
kedua adalah Ahmad yang populer sebagai juru dakwah.
52
53
Zainal Abidin, Op. Cit., hlm. 28.
Ibid., hlm. 29.
39
40
Kebahagiaan yang dialami sang ayah tidak berlangsung lama. Saat kedua
anaknya masih kecil, dia kemudian wafat. Pada saat menjelang wafat, ia
berwasiat agar Imam al-Ghazali dan saudaranya diserahkan kepada temannya
yang dikenal sebagai ahli tasawuf dan orang yang baik, sesuai dengan
harapannya agar al-Ghazali kelak menjadi seorang faqih dan ulama besar. Dia
berkata kepada sahabatnya: “Nasib saya sangat malangnya, karena tidak
mempunyai ilmu pengetahuan. Saya ingin supaya kemalangan saya dapat
ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka, dan pergunakanlah sampai
habis segala harta warisan yang aku tinggalkan untuk mengajar mereka.54”
Sahabat ayahnya segera melaksanakan wasiat yang diterima dari ayah
Imam al-Ghazali. Kedua anak tadi dididik sedemikian rupa sampai akhirnya
harta peninggalan bapaknya habis dan sahabat ayahnya tadi menganjurkan
Imam al-Ghazali dan adiknya untuk tinggal di asrama (tanpa biaya) saja agar
pendidikannya tetap berlangsung. Asrama yang dimaksud didirikan oleh
Perdana Menteri Nizamul Mulk di kota Thus.
Sampai dengan usia dua puluh tahun, Imam al-Ghazali tetap tinggal di
kota kelahirannya, Thus. Dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari alRazkani. Kecuali itu, dia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj, seorang sufi
yang terkenal waktu itu. Kedua ilmu itu sangat berkesan di hati Imam alGhazali dan ia bertekad untuk lebih mendalami lagi di kota-kota lain.
54
Ibid., hlm. 30.
40
41
Selanjutnya ia pindah ke Jurjan pada tahun 479 H. namun tidak puas dengan
pelajaran yang diterimanya, akhirnya ia kembali ke Thus selama tiga tahun.55
Selanjutnya pada tahun 471 H. ia pergi ke Naisabur dan Khurasan yang
pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan
yang terpenting dalam dunia Islam. Di kota Naisabur, tepatnya di Universitas
Nizamiyah, Imam al-Ghazali belajar dan berguru kepada Imam al-Haramain
Abi al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama bermadzhab Syafi’i yang pada saat itu
menjadi guru besar di Naisabur.56
Di antara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali di kota tersebut adalah
teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.57 Sehingga
ia menjadi cerdas dan pandai mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan
penalaran yang jernih. Sehingga keahlian yang dimiliki oleh Imam al-Ghazali
diakui dapat mengimbangi keahlian guru yang sangat dihormati itu.58 Dan
bahkan al-Juwainy memberi gelar Imam al-Ghazali dengan “lautan yang dalam
dan menenggelamkan”.
Dengan bekal kecerdasan dan ilmu yang mendalam yang dimiliki oleh
Imam al-Ghazali, lalu ia diangkat sebagai dosen di Universitas Nizamiyah
tersebut. Bahkan tidak jarang ia menggantikan gurunya pada waktu berhalangan
dalam mengajar.
55
Ibid., hlm. 31-32.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 43.
57
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 159.
58
Zainal Abidin, Op. Cit., hlm. 33.
56
41
42
Karier Imam al-Ghazali tidak hanya berhenti di situ. Setelah Imam alHaromain wafat, oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di bawah pemerintahan
Khalifah Abbasiyah, untuk mengisi lowongan yang terbuka, ia diangkat untuk
menjadi rektor universitas Nizamiyah. Di mana pada waktu itu Imam al-Ghazali
baru berumur 28 (dua puluh delapan) tahun namun kecakapannya mampu
menarik perhatian seorang Perdana Menteri.
Begitu tertariknya seorang Perdana Menteri Nizamul Mulk sehingga ia
meminta Imam Ghazali untuk pindah ke tempat kediaman Perdana Menteri
(kota Mu’askar) dan pembesar-pembesar tinggi negara serta ulama-ulama besar
dari berbagai disiplin ilmu. Dia meminta Imam al-Ghazali untuk memberikan
kuliah dua kali seminggu di hadapan para pembesar dan para ahli, di samping
kedudukannya sebagai Penasehat Agung Perdana Menteri.
Kedekatan Imam al-Ghazali terhadap pemerintah pada waktu itu sangat
mempengaruhi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemerintahan Abbasiyah pada masa al-Ma’mun banyak dipengaruhi oleh aliran
Mu’tazilah serta filsafat Yunani, telah dapat dikembalikan oleh Imam alGhazali kepada ajaran Islam yang murni. Di lapangan aqidah diajarkan faham
Asy’ari, sedangkan di lapangan akhlak diperkuatnya ilmu tasawuf.59 Faham
Asy’ariyah diterima Imam al-Ghazali dari gurunya Imam al-Haramain. Bahkan
Imam al-Ghazali merupakan pemimpin Asy’ariyah yang menentukan bentuk
terakhir dari faham ini.
59
Ibid., hlm. 38.
42
43
Setelah sekitar lima tahun berada di kediaman Perdana Menteri, Mu’askar,
Imam al-Ghazali diminta pindah ke Baghdad untuk menjabat sebagai rektor
Universitas Nizamiyah yang menjadi pusat seluruh perguruan tinggi Nizamiyah.
Imam al-Ghazali diminta untuk menjabat sebagai rektor pada universitas
tersebut karena rektor sebelumnya meninggal dunia.
Semua
tugas
yang
dibebankan
kepada
Imam
al-Ghazali
dapat
dilaksanakan dengan baik, sehingga ia memperoleh sukses besar. Bahkan
kesuksesannya dapat menaruh simpati para pembesar Dinasti Saljuk untuk
meminta nasihat dan pendapatnya baik dalam bidang agama, maupun
kenegaraan
Walau demikian besarnya nikmat dan sukses yang telah diraih Imam alGhazali, namun kesemuanya itu tidak mampu mendatangkan ketenangan dan
kebahagiaan baginya. Bahkan selama periode Baghdad ia menderita
kegoncangan batin akibat sikap keragu-raguannya. Setelah empat tahun berada
di Baghdad, Imam al-Ghazali kemudian memutuskan untuk berhenti mengajar.
Beliau pergi menuju tanah Syam di Damaskus untuk menjalani hidup yang
penuh dengan ibadah, mengasingkan diri dari segala bentuk pertemuan dengan
manusia, meninggalkan segala bentuk kehidupan yang mewah untuk kemudian
menjalani masalah keruhanian dan penghayatan agama. Pada waktu ini dikenal
dengan masa skepticism dalam diri Imam al-Ghazali.
Demikianlah Imam al-Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan
agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga
43
44
beliau menjadi seorang filosof dan ahli tasawuf serta sebagai seorang
pemimipin yang besar di zamannya.
Kemudian, setelah menjalani khalwat, Imam al-Ghazali pulang ke
Baghdad dengan hati yang berbunga-bunga, senang, gembira, ibarat seorang
pahlawan yang meraih kemenangan dalam sebuah pertempuran. Di Baghdad
beliau kembali mengajar dengan penuh semangat. Kesadaran baru yang
dibawanya bahwa paham sufi adalah prinsip yang sejati dan peling baik,
diajarkannya kepada mahasiswanya.
Kitab pertamanya yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad adalah
kitab al-Munqiz min al-Dalāl (penyelamat dari kesesatan). Kitab ini disebut
sebagai salah satu buku referensi yang sangat penting. Kitab ini mengandung
keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya
tetang nila-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga beliau menjelaskan bagaimana
iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu
dapat tersingkap bagi umat manisia, bagaimana memperoleh pengetahuan sejati
(‘ilmu al-yaqīn) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara
ilham dan mukasyafah menurut ajaran tasawuf.
Setelah sekitar sepuluh tahun beliau berkhalwat, dan setelah sekembalinya
Imam al-Ghazali ke Baghdad, beliau pindah ke Naisabur sebagai rasa cintanya
terhadap keluarganya. Setelah itu beliau mendapat panggilan lagi dari Perdana
Menteri Nizamul Mulk untuk memimpin kembali Universitas Nizamiyah di
Naisabur yang ditinggalkannya.
44
45
Imam al-Ghazali kembali mengajar dengan penuh semangat. Hanya saja
beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dulu lagi yaitu
dengan mengajarkan tasawuf yang penuh dengan kehidupan asketik. Di
samping itu, beliau juga mendirikan suatu madrasah fiqih yang khusus
mempelajari ilmu hukum.60
Hidup di kampung halamannya sendiri membuat Imam al-Ghazali merasa
tenang. Dan di tengah-tengah ketenangan jiwanya, Imam al-Ghazali
memberikan sebuah pengakuan yang jujur yang dapat dijadikan pegangan bagi
segenap orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana dikutip oleh
Zainal Abidin Ahmad, yaitu:
“Dan aku sekarang meskipun aku bekerja lagi untuk menyebarkan ilmu
pengetahuan, tetapi tidaklah boleh dinamakan aku “kembali”, karena
kembali itu adalah berarti melanjutkan kerja lama. Karena di masa lalu itu,
aku menyebarkan ilmu pengetahuan adalah didorong oleh keinginan
mencari nama, dan untuk itu aku menjalankan dakwah-seruan dengan
ucapan dan dengan amal perbuatan. Memang demikianlah tujuanku dan
niatku di masa itu. Adapun sekarang sangatlah berbeda sekali. Aku
berdakwah dan menyebarakan ilmu adalah untuk melawan hawa nafsu dan
mencari nama dan untuk menghapuskan rasa megah diri dan
kesombongan. Inilah sekarang maksud tujuanku. Semoga Tuhan
mengetahui niatku ini.”61
Setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan sekian puluh tahun lamanya,
dan setelah memperoleh kebenaran yang sejati pada akhir hayatnya, maka pada
tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau bertepatan dengan 19 Desember 1111 M.
beliau meninggal dunia di Thus.
60
61
Ibid., hlm. 52.
Ibid., hlm. 53-54.
45
46
Demikianlah yang dapat kita amati mengenai riwayat hidup Imam alGhazali. Beliau dilahirkan di Thus dan kembali ke Thus setelah beliau melakoni
tualang panjang dalam mencari ketenangan bagi jiwanya.
Dari uraian di atas bisa dipahami dengan jelas bahwa Imam al-Ghazali
tergolong ulama yang ta’at berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah, ta’at
menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Beliau banyak
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, filsafat, fikih,
hukum, tasawuf, dan sebagainya. Namun demikian, beliau kemudian
menjatuhkan pilihannya untuk mendalami ilmu tasawuf yang sarat dengan
nuansa asketik.
Di samping itu, beliau juga termasuk pemerhati pendidikan sehingga tidak
mengherankan jika beliau memiliki berbagai konsep terkait dengan dunia
pendidikan. Termasuk dalam hal ini adalah konsep beliau tentang pendekatan
dalam proses belajar.
2. Setting Sosial-politik dan Pengaruhnya bagi Pemikiran Imam al-Ghazali
Memahami pemikiran seorang tokoh sekaliber Imam al-Ghazali tanpa
terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural dan
politk masa hidupnya yang melingkari pertumbuhan ataupun mobilitas
pemikirannya, boleh jadi akan memberikan citra kurang baik, sebab pada
dasarnya ia merupakan produk sejarah masanya. Oleh karena itu situasi dan
kondisi yang berkembang ikut menentukan perkembangan dan corak pemikiran
Imam al-Ghazali.
46
47
Di lingkungan keluarga sendiri, Imam al-Ghazali banyak bersentuhan
dengan iklim keluarga yang penuh dengan nuansa keagamaan. Walaupun
ayahnya seorang pemintal wol, namun demikian, ia seorang yang cinta terhadap
ilmu pengetahuan dan ulama. Sesekali ia mengunjungi para fuqaha, berkumpul
dengan orang pemberi nasihat. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai
pengamal tasawuf yang hidup sederhana.
Pada waktu ayahnya menjelang wafat, ia berwasiat agar Imam al-Ghazali
dan adiknya, Ahmad, dititipkan kepada salah seorang temannya yang dikenal
sebagai orang yang baik dan ahli tasawuf. Tujuannya, agar anak-anak itu kelak
menjadi ulama besar dan memiliki ilmu yang banyak.
Setelah itu, Imam al-Ghazali kemudian melanjutkan studinya ke asrama
(sekolah yang menyediakan beasiswa bagi muridnya) dan di sana ia bertemu
dengan seorang seorang guru yang juga merupakan pengamal tasawuf atau ahli
sufi, Yusuf al-Nassaj, hingga ia berusia dua puluh tahun. Setelah tamat, ia
melanjutkan studinya lagi ke daerah Jurjan. Daerah Jurjan, dan juga Khurasan,
pada saat itu merupakan pusat kegiatan ilmiah.
Abuddin Nata mengungkapkan bahwa;
Di wilayah tersebut adalah wilayah pergerakan tasawuf dan pusat gerakan
anti kebangsaan Arab. Di samping itu, juga terjadi interaksi budaya yang
sangat intens. Filsafat Yunani telah digunakan sebagai pendukung agama
dan kebudayaan asing dengan ide-ide yang mendominasi literatur dan
pengajaran. Kontroversi keagamaan, setelah interpretasi sufi berkembang
ke arah yang lepas dari syari’ah, serta terjadinya kompetisi antara Kristen
47
48
dan Yahudi yang selanjutnya menimbulkan insiden Awlia dan gerakan
sufi.62
Tertarik untuk melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi, Imam alGhazali kemudian pergi ke Naisabur memasuki Madrasah Nizamiyah. Di
sinilah ia bertemu dengan ulama besar, Imam al-Haramain al-Juwaini, yang
merupakan ikon aliran Asy’ariyah. Madrasah Nizamiyah sendiri didirikan oleh
perdana menteri Nizamul Mulk yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah.
Pergolakan politik pada saat Dinasti Abbasiyah cukup tajam dan
meningkat, mulai dari pertarungan ideologi antara aliran Syi’ah dan Sunni
sampai perebutan kekuasaan antara orang-orang yang berkebangsaan Arab,
Persi, dan Turki. Periode pertama kekuasaan Dinasti Abbasiyah berada di
tangan khalifah secara penuh, sedangkan periode selanjutnya, kekuasaan itu
berada di bawah perintah orang atau kebangsaan lain.
Badri Yatim, mengutip pendapat Gajane, mengatakan bahwa,
Periode pemerintahan Bani Abbas, menurut para sejarawan, dibagi
menjadi lima periode. Periode pertama (132-232 H/750-847 M) disebut
pengaruh Persia pertama. Perode kedua (232-334 H/847-945 M), disebut
masa pengaruh Turki pertama. Periode ketiga (334-447 H/945-1055 M),
masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah
dan masa ini disebut masa pengaruh Persi kedua. Masa keempat (447-590
H/1055-1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam
pemerintahan Bani Abbasiyah, biasanya masa ini disebut dengan masa
pengaruh Turki kedua. Periode kelima (590-656 H/1194-1258 M) masa
khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya
efektif di sekitar kota Baghdad.63
62
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf alGhazali (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 56-57.
63
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 49-50.
48
49
Kembali pada persoalan di atas, sesuai dengan periode pemerintahan Bani
Abbas, Imam al-Ghazali hidup pada masa atau periode keempat (masa
disintegrasi) dari periode pemerintahan Abbasiyah yaitu pada masa dinasti Bani
Saljuk memegang kekuasaan. Adapun pusat pemerintahan Abbasiyah saat itu
berada di Baghdad.
Pada saat dinasti Bani Saljuk memegang kekuasaan pemerintahan
Abbasiyah, kewibawaan dalam bidang agama dikembalikan setelah sekian lama
“dirampas” oleh orang-orang Syi’ah, dinasti-dinasti kecil yang semula
memisahkan diri kembali mengakui kedudukan pemerintah pusat, Baghdad,
bahkan stabilitas dan keutuhan keamanan untuk membendung faham Syi’ah
terus dijaga. Keadaan tersebut tampak terutama pada saat Nizamul Mulk
menjadi perdana menteri.
Namun demikian, di tengah kemajuan yang menggembirakan itu,
terjadilah suatu peristiwa yang sangat menyedihkan, yaitu terbunuhnya perdana
menteri Nidzamul Mulk dan Sultan Malik Syah. Dua orang pentolan Dinasti
Saljuk itu mati di tangan pembunuh yang dibayar oleh Hasan Shabbah, salah
seorang pimpinan Syi’ah Bathiniyah dan merupakan teman satu sekolah dengan
Nizamul Mulk saat itu.
Tidak hanya itu, aliran Syi’ah Bathiniyah yang poliknya berkiblat pada
Negara Fatimiyah di Mesir, semakin melancarkan aksi teror pembunuhannya
pada saat Khalifah Muqtadi meninggal dunia dan digantikan oleh Khalifah
Mustadzir.
49
50
Zainal Abidin mengatakan bahwa,
Imam al-Ghazali hidup pada saat terjadi goncangan politik yang sangat
hebat. Pada tahun lahirnya, 450 H. terjadilah perebutan kekuasaan atas ibu
kota Baghdad antara jenderal Basasiri yang pro Syi’ah dengan Thogrol
Bey, sultan yang pertama dari pemerintahan Seljuk. Pada tahun 478 H.,
dalam usianya meningkat 28 tahun, terjadilah buat pertama kalinya
bentrokan bersenjata antara tentara Abbasiyah dengan laskar pemerintah
tandingan Fatimiyah di dalam pengepungan kota Damaskus, yang
berakhir dengan mundurnya tentara penyerbu ke Mesir. Dan akhrnya pada
tahun 485 H., sewaktu al-Ghazali menduduki jabatan sebagai penasihat
agung pemerintahan Saljuk dan presiden dari Universitas Nizamiyah
Baghdad, terjadi lagi pembunuhan gelap terhadap Perdana Menteri
Nidzamul Mulk dan kemudian diikuti dengan matinya sultan Malik alSyah yang semuanya dilakukan oleh golongan Bathiniyah dari partai
ilegal Syi’ah. Tidak lama kemudian pada tahun 487 H. terjadi pergantian
pimpinan Negara dari tangan khalifah ke XXVII Muqtadi yang meninggal
dunia kepada Khalifah Mustazhir. Dan dekrit pertama yang dikeluarkan
oleh khalifah adalah meminta Imam al-Ghazali supaya menulis buku
untuk mempertahankan pemerintahan Abbasiyah yang sah dan membasmi
partai ilegal Syi’ah yang telah mengacau Negara.64
Karena kegoncangan batinnya yang sangat hebat menghadapi peristiwaperistiwa yang berturut-turut maka Imam al-Ghazali jatuh sakit selama enam
bulan. Dengan alasan mengobati penyakitnya, ia meninggalkan Baghdad dan
seluruh jabatannya dengan hati yang kesal.
Bahkan Imam al-Ghazali mulai ragu dengan jalan yang ditempuhnya
selama itu. Ia bertanya apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau belum,
atau salah? Pada akhirnya ia kemudian menempuh jalan untuk mengasingkan
diri dari keramain manusia dan menfokuskan diri untuk berkhalwat dan
beribadah kepada Allah.
64
Zainal Abidin Ahmad, Op. Cit., hlm 165.
50
51
Selama sepuluh tahun Imam al-Ghazali berkhalwat dan menjalani hidup
yang penuh dengan nuansa asketik dan pada akhirnya ia menemukan jawaban
dari pertanyaan besar yang mengelayuti hatinya selama itu, tasawuf. Ia
berkesimpulan bahwa pengetahuan yang diperolehnya dengan panca indera
seringkali salah dan berdusta. Dan tasawuflah yang kemudian mampu
menghilangkan rasa syak yang menyelimuti hatinya. Pengetahuan yang
diperoleh melalui kalbu ternyata membuat ia merasa yakin mendapat
pengetahuan yang benar.
Nah, dari beberapa pemaparan singkat di atas terkait dengan keadaan
masyarakat Islam sudah mengalami kemunduran. Dalam bidang politik,
kerajaan Abbasiyah telah sedemikian rapuh. Dalam bidang kebudayaan dan
peradaban, meski pernah mengalami zaman kemajuan pada masa sebelumnya,
kini mengalami kemunduran, bahkan nyaris kehilangan kepribadiaannya.
Demikian pula dalam bidang ilmu-ilmu agama Islam dirasakan Imam alGhazali telah mati dalam jiwa umat Islam sehingga perlu dihidupkan kembali
sebagaimana tercermin dalam kitab Ihya’nya. Di bidang-bidang lain, seperti
bidang intelektual, moral dan agama secara umum juga mengalami kemerosotan
dan kemunduran.
Di samping itu, berkuasanya Bani Saljuk yang mengganti Dinasti Buwaihi
pada pertengahan abad XI Masehi, kendati sama-sama berpaham Sunni dengan
kekhalifahan di Baghdad, ternyata tidak mampu mengembalikan kekuatan
politik yang cukup berarti sebab hanya bertahan kurang lebih tiga puluh tahun.
51
52
Memang selama masa tersebut dapat dikatakan sebagai masa kejayaan Dinasti
Saljuk dan berhasil menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban yang
memungkinkan berkembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan, sehingga
rakyat dapat merasakan ketenangan dan ketentraman. Namun kekacauan
akhirnya timbul kembali yang bermula dari peristiwa terbunuhnya Perdana
Menteri Nizamul Mulk dan Sultan Malik Syah yang hanya berselang satu bulan.
Dengan tiadanya dua orang kuat Dinasti Saljuk ini, maka makin
berpeluang pada kelompok-kelompok oposan yang telah lama memusuhi
Dinasti Saljuk seperti kelompok ekstrimis Syi’ah yang berafiliasi dengan
khilafah Fatimiyah di Mesir. Hal itu kemudian menyebabkan lumpuhnya
kekuasaan Dinasti Saljuk, utamanya setelah dinasti itu terpecah-pecah menjadi
kekuatan-kekuatan kecil dampai akhirnya membawa pada kehancuran.
Pada saat Dinasti Saljuk sudah mengalami kemunduran dan lemahnya
kekuasaan politik serta goyahnya stabilitas nasional, Imam al-Ghazali hidup dan
berjihad menegakkan kembali nilai-nilai keIslaman dalam diri umat. Dengan
demikian tidak mengheranka apabila latar belakang kondisi sosial di atas
mewarnai pemikiran dan perjuangannya. Yang jelas, pada masa kehidupan dan
perjuangannya, kondisi umat telah mengalami kemunduran dalam berbagai
aspeknya.
Demikianlah beberapa kondisi obyektif yang mengitari masa hidup Imam
al-Ghazali. Sebagai seorang yang dikaruniakan padanya kepekaan dan
ketajaman nurani, ia senantiasa berdialog dan bersikap aspiratif dengan
52
53
zamannya yang penuh ketegangan dan fragmentasi sosial politk dan alam
pikiran yang tidak terkontrol dan kurangnya sikap tasamuh di antara sesama
muslim, Imam al-Ghazali dengan sikap kritis serta keberaniannya mengambil
keputusan untuk menentukan pilihan dengan sikap realistis dan mantap. Di
menempuh jalan tasawuf sebagai fondasi teologisnya.
3. Karya-Karya Imam al-Ghazali
Adalah sebuah keistimewaan yang besar dan luar biasa dari diri Imam alGhazali bahwa beliau merupakan seorang penulis yang sangat produktif. Di
dalam setiap masa hidupnya Imam al-Ghazali terus menerus menulis. Sehingga
ratusan kitab telah keluar sebagai hasil karyanya dan dijadikan pedoman oleh
sebagian umat Islam.
Namun demikian, karena keluasan ilmu yang dimiliki oleh beliau, maka
sangat sulit sekali untuk menentukan bidang dan spesialisasi apa yang
digelutinya. Zainal Abidin Ahmad mengatakan bahwa di dalam dunia karang
mengarang, Imam al-Ghazali terkenal sebagai seorang pengarang yang serba
ahli. Di dalam berbagai lapangan, dia menulis secara luas dan tepat, dan begitu
mendalamnya sehingga di merupakan orang ahlinya mengausai yang menguasai
persoalan itu di dalam segala hal.65
Adapun kitab-kitab Imam al-Ghazali yang paling terkenal, sebagaimana
diungkapkan oleh Zainal Abidin, adalah sebagai berikut:
65
Ibid., hlm. 173.
53
54
a. Dalam Bidang Filsafat
1) (D
EA
Sebagai karangannya yang pertama yang ditulisnya sewaktu pikirannya
masih segar dalam usia di sekitar 25-28 tahun. Isinya menerangkan soal-soal
filsafat menurut wajarnya, dengan tiada kecaman.
2) (D
(F
Dikarangnya sewaktu dia berada di Baghdad, dalam kekacauan oleh
paham skeptis yang sangat hebat, dalam usia 35-38 tahun. Buku ini berisi
kecaman yang sangat hebat terhadap ilmu filsafat yang sudah menggemparkan
ilmu pengetahuan.
3) (,
G& H
Naskah buku in terdapat dalam perpustakaan Lytton di Aligarh
University, India; perpustakaan Kotapraja di Iskandaiyah. Buku itu diterbitkan
oleh Darul Fikri di Damaskus pada tahun 1963 di bawah penelitian Abdul
Karim al-Utsman.
Sebagaimana namanya, buku ini berisi dan mengungkapkan asal-usul
ilmu yang rasional dan kemudian apa hakekatnya dan tujaun apa yang
dihasilkannya.
54
55
b. Dalam Bidang Pembangunan Agama
1) 4-
I $,J
Kitab ini dikarang setelah dia berada kembali di Naisabur dalam usia 50
tahun, sesudah skeptisnya habis dan jiwanya tenteram kembali. Kitab inilah
yang menjadi pegangan umat Islam sampai sekarang, merupakan jalan keluar
dari berbagai faham dan aliran.
2) KD
4A 70H
Kitab ini dikarang setelah tiga puluh tahun di dalam kebimbangan dan
merupakan sumber dari kehidupan Imam al-Ghazali. Sebuah kitab yang berisi
tentang autobiografi, tetapi tepatnya bukan hanya autobiografi. Ia memberikan
suatu analisa yang intelektuil mengenai perkembangan spirituilnya, dan juga
memberi alasan-alasan di dalam memberikan pandangan bahwa ada suatu
pengertian yang lebih tinggi dari pengertian rasional, yaitu kepada para nabi
ketika Tuhan mengungkapkan kebenaran kepadanya.
3) 4-
LM0A
Kitab ini merupakan kitab yang terakhir yang ditulis oleh Imam alGhazali yang berisi tentang nashihat yang terakhir untuk segenap manusia.
Kitab ini diterbitkan di Mesir berulang kali, ada tulisan tangan di Berlin,
55
56
Paris, dan al-Jazair. Kitab ini ada ringkasannya dan syarahnya yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
c. Dalam Bidang Akhlak dan Tasawuf
1) ! N,A
Kitab ini mendampingi kitab Ihya, bahkan isinya lebih teliti dan
merupakan
kesimpulan
dari
kitab
Ihya.
Imam
al-Ghazali
sendiri
mengungkapkan bahwa kebanyakan isi dari kitab ini adalah memakai sistem
tasawuf.
2) O/
P $,,
Dalam kitab ini terdapat beberapa persoalan etika yang dibicarakannya
dari perspektif praktis dan agama. Kitab ini telah banyak diterbitkan sebagai
ilmu moral Islam, tetapi sebenarnya mengandung lebih banyak uraian-uraian
secara praktis menurut hukum dari pada ilmu mural secara ilmiah atau filsafat.
3) R
&S QB
Kitab ini berisi tentang prinsip-prinsip agama tentang atau mengenai soalsoal akhlak-tasawuf.
4) UH
(:,W* T UP+H VB
56
57
Artinya, mas yang sudah ditata untuk menasihati para penguasa. Kitab ini
berisi soal akhlak di dalam hubungannya dengan pemerintahan.
5) KES
T WBPH
(keterangan yang sudah dipilih mengenai soal pokok-poko ilmu hukum).
6) & *S
OXA
Artinya lampu yang bersinar banyak. Kitab ini berisi tentang ilmu akhlak
dalam hubungannya dengan ilmu akidah dan keimanan.
7) KD
4A 0H
Pembebasan dari kesesatan. Kitab ini membahas akhlak dalam
hubungannya dengan ilmu psikologi.
8) M-5
Kitab ini berisi tentang nasihat yang ia tulis untuk seorang temannya yang
berisi tentang amal perbuatan dan tingkah laku sehari-hari serta banyak
mambahas tentang cara-cara dalam proses belajar.
9) 4-
T Q/S
Adab sopan keagamaan. Kitab ini mengupas tentang akhlak di dalam
hubungannya dengan etiket kehidupan manusia.
57
58
10) (,*
(
Risalah tentang soal-soal bathin. Kitab ini mengupas tantang hubungan
akhlak dengan soal-soal kerohanian, termasuk juga soal-soal wahyu, bisikan
kalbu, dan lainnya.
d. Dalam Bidang Politik
1) YMZBPH
Kitab ini dikarang pada tahun 488 H. di Baghdad atas kehendak dari
khalifah al-Muqtadi yang baru dinobatkan setahun sebelumnya. Isi kitab ini
adalah membongkar prinsip-prinsip politk yang berbahaya dari partai ilegal
Syi’ah Bathiniyah pada saat itu.
2) KD
4A 70H
Pembebasan dari kesesatan. Kitab ini berisi tentang autobiografi, namun
di dalamnya juga berisi tentang revolusi mental.
3)
4- I $,J
Kitab ini merupakan puncak arangan Imam al-Ghazali mempunyai fungsi
yang pemting pula tentang teori kenegaraan. Kitab ini pula merupakan
inspirasi yang diperoleh selama petualangan sebagai kesimpulan dari
pandangan revolusi yang sedang bergejolak di Asia.
58
59
4) UH
(:,W* T U+PH VB
Kitab ini dikarangnya sebagai suatu pegangan untuk Sultan Giyastuddin
yang mengantikan kedudukan ayahandanya, Sultan Malik Syah, sahabat
Imam al-Ghazali.
5) RH
Sebagaimana namanya, kitab ini berisi tentang perbedaan antara dua
dunia yang harus dipilih oleh para pembesar dan rakyat semuanya: antara
dunia keadilan dan kemakmuran yang menuju kepada akhirat, dan dunia
kezaliman dan kekacauan yang semata-mata keduniaan belaka.
6) I
([
Kitab ini pada hakikatnya adalah untuk membuka pintu kepada berbagai
ilmu pengetahuan, sebagai tercantum pada namanya. Namun dalam bagiannya
terdapat ilmu politik.
7) /B\
T /WB]\
Kitab inimenyatakan dasar-dasar keimanan yang harus dimiliki oleh
seorang pemegang pemerintahan. Kitab ini juga membahs tentang politik
pemerintahan terkait dengan soal-soal teologi.
59
60
8) N,^
Kitab ini menguraikan tentang hukum Islam secara praktis sehingga
dianggap sebagai kitab pegangan dalam ilmu hukum.
9) (0_P
U
Kitab ini berisi tentang bimbingan bagi kepala Negara dalam menjalankan
roda pemerintahannya.
10) (- `
(- Kitab ini berisi tentang ajaran adab dan kesopanan di dalam hidup
manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan,
maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat, termasuk soal pemerintahan.
4. Klasifikasi Ilmu Perspektif Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam bebearapa kelompok
yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara satu macam
dengan yang lain. Di samping itu, macam-macam ilmu dalam perspektif Imam
al-Ghazali tersebut dapat memberikan nilai-nilai sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan bagi pelajar.
Menurut Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan
Usman Said, Imam al-Ghazali memandang ilmu dari dua segi, yaitu ilmu
60
61
sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, ilmu dibagi menjadi
ilmu hissiyah, ilmu aqliyah, dan ilmu ladunni.66
Kemudian ilmu juga dapat dikatakan sebagai obyek. Ilmu-ilmu itu dibagi
dalam tiga golongan pokok yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu
yang terpuji dalam batas-batas tertentu.67
Ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak dapat mendatangkan faedah atau
tidak bermanfaat bagi manusia baik di dunia dan akhirat, misalnya ilmu sihir,
ilmu perbintangan, ilmu ramalan atau perdukunan. Bahkan, bila ilmu itu
diamalkan oleh manusia akan mendatangkan mudarat dan akan meragukan
terhadap kebenaran adanya Tuhan. Dan karenanya ilmu itu harus dijauhi.
Adapun ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan kebersihan
jiwa dari tipu daya dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan keridloannya. Ilmu dalam golongan ini
misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama.
Selanjutnya, ilmu yang terpuji dalam taraf tertentu, yang tidak boleh
diperdalam, adalah ilmu-ilmu yang apabila manusia mendalami pengkajiannya
pasti menyebabkan kekacauan pemikiran dan keragu-raguan, dan mungkin
mendatangkan kekufuran, seperti ilmu filsafat.
66
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangannya (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 140.
67
Imam al-Ghazali, Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, terj., Ismail Ya’kub (Semarang: CV.
Faizan, 1979), jilid 1, hlm. 126-127.
61
62
Indikasi dari ilmu yang tercela, sebagaimana dikutip oleh Hasan Sulaiman
adalah ada tiga:
Pertama, ilmu-ilmu ini kadang kala dapat menimbulkan mudarat pada
pemiliknya atau orang lain, seperti ilmu sihir, guna-guna yang bertujuan
mencelakakan orang lain. Ilmu sihir seringkali mencoba memisahkan
antara sesama manusia yang akrab atau saling mencintai, menebarkan rasa
untuk membengkitkan kejahatan, bukan untuk menimbulkan kebaikan.
Kedua, kadangkala ilmu itu merusak pemiliknya, seperti ilmu nujum, yang
oleh Imam al-Ghazali dibagi ke dalam dua kelompok; ilmu nujum yang
berdasarkan perhitungan (hisab) atau falak yang menurut pandangan
Imam al-Ghazali tidak tercela. Berikutnya ilmu nujum istidlaly, yaitu
semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Kata
Imam al-Ghazali, ilmu nujum jenis ini tercela oleh syara’ sebab bisa jadi
ia membuat manusia menjadi ragu pada Allah, lalu ia menjadi kafir.
Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan bakal terjadi
sesuatu di langit atau falak dengan berpedoman pada keyakinan langsung
atau melalui studi tentang bintang-bintang, kemudian pas pada waktu
terjadinya peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat
pada yang ditentukannya sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub
akan kemampuan tukang nujum itu. Ia karenanya akan percaya dengan
ucapan tukang nujum. Kesempatan ini, bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang
nujum untuk mengakaui diri sebagai nabi, memperluas pengaruhnya di
tengah-tengah umat, menunggangi mereka untuk melayani kepentingankepantingannya yang biasanya cenderung tidak baik, sehingga membuat
kekacauan dan kearifan meluas ke mana-mana.
Ketiga, ada kalanya menyelami sebagian ilmu itu tidak membawa
manfaat, karena ilmu itu dimaksudkan tidak terpuji. Ada kalanya pula
mempelajari ilmu seperti itu mengandung suatu bentuk kekufuran kepada
Allah. Contoh ilmu untuk tersebut, kata Imam al-Ghazali, adalah
memplajari bagian-bagian rumit dari suatu ilmu sebelum memahami
bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari rahasia-rahasia
ilahiyat, bagian dari ilmu filsafat, seperti ilmu metefisika.68
Jadi, dalam perspektif Imam al-Ghazali, ilmu itu tidak bebas nilai. Ilmu
pengetahuan apapun yang dipelajari harus dikaitkan dengan moral dan nilai
68
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang Aliran Pendidikan
Menurut al-Ghazali, terj., Said Agil Husin Al-Munawar dan Hadri Hasan (Semarang: Dina Utama,
1993), hlm. 21.
62
63
guna. Dan karena itu, selanjutnya melihat ilmu dalam perspektif nilai dan
membaginya dalam dua kelompok.
Berdasarkan ketiga kelompok ilmu tersebut, Imam al-Ghazali membagi
lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok dari segi moral dan manfaat, yaitu
ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim (fardlu ‘ain) dan ilmu yang fardlu
kifayah dalam arti tidak wajib diketahui oleh segenap orang Islam, tetapi harus
ada di antara orang Islam yang mempelajarinya.
Ilmu yang tergolong fardlu ‘ain adalah ilmu agama dan macammacamnya dengan memulai kitab-kitab Allah kemudian diikuti pokok-pokok
ibadah seperti masalah shalat, puasa, zakat, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu yang tergolong fardlu kifayah menurut Imam Ghazali adalah:
Segala ilmu yang digunakan untuk tegaknya perkara-perkara dunia seperti
ilmu kedokteran. Karena hal itu merupakan hajat yang pokok bagi kesehatan
badan. Ilmu hitung karena itu penting dalam mu’amalat, pembagian wasiat,
warisan dan lain-lain. Apabila negara tidak ada orang yang menegakkannya
maka berdosalah seluruh warga negara, bila salah seorang menegakkannya
maka dapat mencukupi dan gugurlah kewajiban yang lain.69
Adapun ilmu seperti tani, tenun, politik, dan kerja membekam serta kerja
menjahit atau keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat merupakan jenis
ilmu yang tergolong pada fardlu kifayah.70 Adapun mendalami ilmu hitung dan
kedokteran dan hal-hal lain yang tidak dibutuhkan, tidak merupakan fardlu,
tetapi utama, selanjutnya Imam al-Ghazali berkata, adapun yang terhitung
utama namun tidak fardlu adalah mendalami ilmu hitung secara mendetail dan
69
70
Imam al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 84.
Ibid., hlm. 84.
63
64
hakikat kedokteran, dan lain-lain yang tidak dihajatkan, akan tetapi berfaedah
menambah kemampuan di dalam kadar yang dibutuhkan.71
Selanjutnya Imam al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan berdasarkan
spesialisasi menjadi dua bidang72, yaitu: ilmu syari’ah dan ilmu yang bukan
syari’ah. Adapun ilmu syari’ah semuanya terpuji, dan ia membaginya dalam
empat bagian, yaitu ushul, furu’ muqaddamat, dan mutammimat.
Ilmu ushul terbagi dalam empat bidang ilmu, yaitu al-Qur’an, Hadits,
Ijma’ ummah, dan atsar sahabat. Ilmu furu’ yaitu ilmu fiqih, akhlak, dan hal
ihwal hati. Ilmu muqaddamat terdiri dari ilmu bahasa dan nahwu yang
digunakan sebagai alat untuk mengkaji ilmu ushul.73
Ilmu mutammimat yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu alQur’an seperti ilmu tajwid, tafsir yang berkaitan dengan arti, nasikh mansukh,
‘am dan khas, dan dhahir dan cara untuk mempergunakannya, ilmu yang
mengkaji tentang khabar-khabar dan sejarah kehidupan sahabat.74
Sedangkan ilmu yang bukan syari’ah, Imam al-Ghazali membaginya
dalam tiga bagian, yaitu ilmu yang terpuji; ilmu mubahah; dan ilmu
madzmumah. Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang diperlukan dalam kehidupan
manusia, baik dalam penghidupan atau dalam pergaulannya. Seperti ilmu
kedokteran, ilmu hitung, dan ilmu keterampilan.
71
Ibid., hlm. 85.
Jalaluddin dan Usman Said, Op. Cit., hlm. 142-143.
73
Imam al-Ghazali, Loc. Cit.
74
Ibid., hlm. 86.
72
64
65
Ilmu-ilmu mubah yaitu ilmu-ilmu kebudayaan seperti sejarah, sastra dan
sya’ir-sya’ir yang tidak ada kelemahan di dalamnya seperti ilmu yang
mendorong pada keutamaan dan akhlak yang suci.
Ilmu-ilmu yang tercela yaitu ilmu yang merugikan dirinya dan merugikan
orang lain apabila mempelajari dan mempraktikkannya seperti ilmu sihir,
azimat dan permainan sulap, dan sebagian dari ilmu filsafat.
5. Pendidikan dalam Pemikiran Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak
menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang
banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Selain
itu, menurut Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Imam al-Ghazali memiliki
pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam
arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata-mata tetapi juga
keimanan, sosial, jasmaniah, dan sebagainya.75
Pandangan Imam al-Ghazali tentang pendidikan yang sarat dengan nuansa
sufistik itu bisa dilihat dari konsepsi dia mengenai tujuan, pendidik, anak didik,
dan kurikulum pendidikan.
Imam al-Ghazali mempunyai pandangan yang berbeda dengan para ahli
pendidikan yang lain mengenai tujuan pendidikan. Menurutnya, tujuan
pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari
75
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm.
235.
65
66
kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang
menghasilkan uang.76
Samsul Nizar mengatakan bahwa;
Pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada
tiga, yaitu: tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu
pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah; tujuan utama
pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak yang baik; tujuan
pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.77
Menurut Imam al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha
membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga
menjadi dekat dengan khaliqnya.78 Sedangkan seorang pendidik menurut Imam
al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh al-Jumbulati dituntut untuk memiliki sifatsifat keutamaan antara lain:
Guru harus mencintai muridnya, tidak boleh mencari bayaran, guru harus
mengingatkan muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, guru harus mendorong muridnya untuk
mencari ilmu yang bermanfaat, guru harus memberikan contoh yang baik,
guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual
dan daya serap anak didiknya, guru harus memperhatikan perbedaanperbedaan individual anak, guru hendaknya mampu mengamalkan
ilmunya agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya, dan guru harus
mempelajari keadaan psikologis murid-muridnya.79
Adapun konsep Imam al-Ghazali mengenai murid, sebagaimana
diungkapkan oleh Abuddin Nata, adalah murid harus memuliakan guru, merasa
76
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 162.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hlm. 87.
78
.Ibid., hlm 88.
79
Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Op. Cit., hlm. 137-143.
77
66
67
satu bangunan dengan murid lainnya, menjauhkan diri dari mempelajari
berbagai mazhab yang dapat mengacaukan pikirannya, mempelajari berbagai
jenis ilmu yang bermanfaat.80
Nizar mengungkapkan tugas dan kewajiban yang yang harus dimilki oleh
seorang murid, sebagaimana dikehendaki oleh Imam al-Ghazali, antara lain:
a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan
jiwanya dengan akhlak yang baik.
b. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi.
c. Bersikap rendah hati dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan.
d. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
f. Belajar dengan berharap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang
mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu-ilmu
fardlu ‘ain manuju ilmu fardlu kifayah
g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya,
sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i. Memperioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j. Mengenal nila-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang
dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, memsejahterakan, serta
memberi keselamatan hidup dunia akhirat.81
Selanjutnya, kurikulum yang dikehandaki Imam al-Ghazali dapat
dipahami dari pendangannya mengenai ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, bahwa ilmu dalam perspektif Imam al-Ghazali dibagai dalam
dua bagian besar: ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Ilmu sebagai
obyek memiliki tiga bagian, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan
ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu. Dari ketiga ilmu ini kemudian
80
81
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 165-166.
Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 89-90.
67
68
Imam al-Ghazali membagi lagi dalam dua kelompok: ilmu yang fardlu ‘ain dan
ilmu yang fardlu kifayah.
Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum juga diakui sebagai salah satu
faktor yang juga menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar. Dan yang
tak kalah pentingnya juga bahwa yang menjadi titik tekan Imam al-Ghazali
dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik adalah ilmu yang
mendatangkan kebersihan jiwa dari tipu daya dan kerusakan serta akan
mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah dan keridloannya,
seperti ilmu tauhid dan ilmu agama.
Menurut hemat penulis, kurikulum yang coba ditawarkan oleh Imam alGhazali sebagaimana tersebut di atas tidak diakomudir secara utuh yang pada
gilirannya akan menghasilkan anak didik yang memiliki kepribadian yang
pecah, yaitu anak didik yang hanya memiliki kedalaman spiritual tanpa
dibarengi dengan keluasan ilmu.
Pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisahpisahkan antara ilmu-ilmu yang bersifat duniawi dan ilmu-ilmu yang bersifat
ukhrawi. Dan karena itu, ilmu pengetahuan perlu dipelajari secara utuh dan
seimbang antara ilmu-ilmu yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan di
dunia maupun ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Sehingga,
pada gilirannya, akan melahirkan lulusan-lulusan yang yang memiliki pikiranpikiran kreatif dan terpadu, memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang
mendalam terhadap Islam.
68
69
Jadi, ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah satu dan berasal dari Allah
Swt., yang diwahyukan kepada orang yang dipilihnya melalui ayat-ayat
Qur’aniyah dan sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh
manusia dengan menggunakan akal, hati, dan inderanya. Untuk lebih jelasnya,
lihatlah skema di bawah ini:
Allah SWT
Ayat-ayat
Kauniyah
Saling
Menjelaskan
Ayat-ayat
Qur’aniyah
Interpretasi
Manusia
Ilmu
Pengetahuan
Gambar 5.1 Integrasi Ilmu-ilmu Allah
Menurut Mursi, sebagaimana dikutip Nizar, dari beberapa macam ilmu
yang telah disebutkan tadi, Imam al-Ghazali mengusulkan beberap ilmu
pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah, yaitu:
a. Ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqih, hadits dan tafsir.
b. Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu
ini berfungsi membantu ilmu agama.
c. Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi
yang beraneka ragam jenisnya termasuk juga ilmu politik.
69
70
d. Ilmu kebudayaan, seperti sya’ir, sejarah dan beberapa cabang filsafat..82
Jadi, kurikulum yang menjadi titik perhatian Imam al-Ghazali adalah
ilmu pengetahuan yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena model ini akan
bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat, karena dapat
menenangkan jiwa dan dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Jika diamati, corak pendidikan yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali
akan tampak nuansa pendidikan yang sangat kental dengan nilai-nilai tasawuf
yang ia gandrungi. Artinya, bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan oleh
Imam al-Ghazali sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang sufi.
Namun demikian, pendidikan yang coba diformulasikan oleh Imam alGhazali merupakan konsep yang ia kembangkan dari sebuah dialektika dengan
zaman yang dihadapinya pada waktu itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di
masa sekarang memerlukan sebuah penyempurnaan. Seperti posisi guru yang
menurut Imam al-Ghazali merupakan sentral dalam pendidikan. Pada zaman
sekarang guru dilihat sebagai fasilitator saja.
6. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Manusia sebagai makluk Tuhan, telah dikaruniai Allah kemampuankemampuan dasar yang bersifat rohaniyah dan jasmaniyah. Agar dengannya,
manusia mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraannya.
Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sejarah pertumbuhannya merupakan
modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang.
82
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 167.
70
71
Sarana utama yang dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan
manusia tidak lain adalah pendidikan, dalam dimensi yang setara dengan tingkat
daya cipta, daya rasa dan daya karsa masyarakat beserta anggota-anggotanya.
Oleh karena antara manusia dengan tuntutan hidupnya saling berpacu
berkat dorongan dari ketiga daya tersebut, maka pendidikan menjadi semakin
penting. Bahkan boleh dikatakan, pendidikan merupakan kunci dari segala
bentuk kemajuan hidup sepanjang sejarah.
Imam Ghazali menaruh perhatian yang besar akan penyebarluasan ilmu
dan pendidikan, karena beliau yakin bahwa pendidikan adalah sebagai sarana
untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media
untuk mendekatkan manusia kepada Allah Azza wa Jalla. Dengan itulah,
pendidikan menurut Al-Ghazali adalah suatu ibadah dan sarana kemashlahatan
untuk membina umat. Oleh sebab itu, disamping meningkatkan karirnya sebagai
filosof dan ahli agama, Imam Ghazali juga sebagai reformer masyarakat.
Demikianlah, Al-Ghazali berdiri dalam satu barisan bersama para filosof dan
reformer mayarakat (Sosiolog) sejajarnya yang dikenal sejarah, seperti Plato, J.J
Rousseau dan Pestalozzi yang juga berkeyakinan bahwa perbaikan masyarakat
itu hanya dapat dijangkau melalui pendidikan.83
Sisi pendidikan yang menarik perhatian dalam studi Al-Ghazali adalah
sikapnya yang sangat mengutamakan ilmu dan pengajaran; kekuatan
pendiriannya dalam mempertahankan pengajaran yang benar sebagai jalan
83
Fathiyah Hasan Sulaiman , Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 24.
71
72
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Dengan
ini
Al-Ghazali
telah
mengangkat
status
guru
dan
menumpukkan kepercayaannya pada guru yang dinilainya sebagai pemberi
petunjuk (mursyid) dan pembina rohani yang baik.
Mengenai keutamaan mencari ilmu, Al-Ghazali berkata dalam kitab
“Fatihatul Ulum”, sebagai berikut:
“………..Kesempurnaan umat manusia dalam mendekatkan diri kepada
Allah SWT hanya dapat dihampiri oleh ilmu pengetahuannya. Oleh karena
itu, selama ilmunya banyak lagi sempurna, maka dia dekat dengan Allah
SWT dan dia lebih mirip seperti malaikat-malaikatNya”.84
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh
perhatiannya yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang
banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Menurut
H.M. Arifin (Guru besar dalam dalam bidang pendidikan), mengatakan bila
dipandang dari segi filosofis, Al-Ghazali adalah penganut faham idealisme yang
konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah
pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara
lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap
peserta didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan siapa
yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang
amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.85 Al-Ghazali
84
85
Ibid., hlm. 23.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 161.
72
73
mengatakan, jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka
anak itu menjadi baik. Sebaliknya, jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang
jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.
Pemikiran pendidikan Al-Ghazali dapat dilihat dari dua segi, yaitu:86
1.
Teoritis
Sisi teoritis dari pemikiran ini terfokus pada konsep pengetahuan, yang
mana di sini Al-Ghazali menawarkan ide-ide yang cukup mendetail
tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, nilai ilmu
pengetahuan dan kemudian menawarkan klasifikasi ilmu pengetahuan.
Dalam sisi ini, Al-Ghazali melihat ilmu pengetahuan dari berbagai sudut;
nilai intrinsiknya, nilai etisnya dan nilai sosialnya.
2.
Praktis
Segi praktis dari pemikiran ini terpusat pada pola hubungan guru dengan
murid. Diskusinya tentang guru dan murid mencakup berbagai kewajiban
bagi kedua belah pihak, yang menurut Al-Ghazali akan menjamin
tercapainya tujuan pendidikan Islam. Bagi Al-Ghazali, tujuan akhir
pendidikan adalah hari akhirat, sebagaimana halnya hari akhirat juga
merupakan tujuan akhir dari kehidupan umat manusia. Konsekuensinya
adalah bahwa keseluruhan proses pendidikan harus menuju tercapainya
tujuan akhir.
86
Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik (Gagasan Pendidikan Al-Ghazali), (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 4.
73
74
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali, yaitu:87
1) Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan
untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan
kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan
diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat
menimbulkan
kedengkian,
kebencian
dan
permusuhan.
Hal
ini
mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali terhadap dunia, merasa qanaah
(merasa cukup dengan yang ada) dan banyak memikirkan kehidupan
akhirat dari pada kehidupan dunia.
2) Sarana yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Dalam hal ini, Al-Ghazali memandang bahwa dunia ini bukan merupakan
hal pokok, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan
kenikmatan setiap saat. Tujuan pendidikan Al-Ghazali tidak sama sekali
menistakan dunia, melainkan dunia ini hanya sebagai alat .88
Oleh karena itu, beliau bermaksud ingin mengajar umat manusia sehingga
mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang dimaksudkan.
Karena Imam Al-Ghazali tidak melupakan masalah-masalah duniawi,
maka beliau menyediakan porsinya dalam pendidikan Islam. Akan tetapi,
penyediaan urusan dan kebahagiaan hidup di akhirat yang dikatakan lebih
utama dan lebih abadi. Sebab dunia ini hanyalah sebagai ladang akhirat saja. Ia
87
88
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 24.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op.cit., hlm. 162-163.
74
75
merupakan sarana yang dapat mengantarkan kepada Allah Ta’ala, bagi orang
yang memfungsikan dunia ini sebagai tempat peristirahatan, bukan sebagai
tempat tinggal yang permanen dan tumpah darah yang abadi.
Jadi, dari beberapa uraian di atas, dapat diungkapkan bahwa kerangka
pendekatan dalam proses belajar menurut Imam al-Ghazali adalah bersifat
teosentris sedangkan dalam perspektif Barat bersifat antroposentris. Lebih
jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Tabel 6.1
Konsep Belajar Perspektif Imam al-Ghazali dan Barat
Aspek
Perspektif al-Ghazali
• Arti penting • Agar Allah tidak berpaling
belajar
Perspektif Barat
• Untuk memiliki kemampuan
dari orang tersebut dan agar
berubah dan melakukan
umur yang dimiliki tidak sia-
perubahan (proses
sia
perkembangan yang
berkualitas).
• Sebagai benteng pertahanan
dari pengaruh negatif hasil
belajar.
• Definisi
Belajar
• Perubahan tingkah laku atau
kecakapan afektif dan
• Perubahan tingkah laku atau
kecakapan kognitif, afektif,
75
76
• Ciri-ciri
psikomotorik yang relatif
dan psikomotorik yang relatif
menetap sebagai akibat dari
menetap sebagai akibat dari
latihan dan pengalaman.
latihan dan pengalaman.
• Intensional, Positif, Efektif,
• Intensional, Positif, Efektif,
Perubahan
dan Fungsional yang mengarah dan Fungsional.
Hasil Belajar
pada kehidupan asketik.
• Teori
• Behavior-Transendental
Belajar
• Tahapan
Belajar
• Behavioristik Kognitif, dan
teori Humanistik.
• Acquisition, Storage, dan
Retrieval yang sarat dengan
• Acquisition, Storage, dan
Retrieval.
nuansa isoterik.
• Pendekatan
Belajar
• Pendekatan Hukum Jost, dan
• Pendekatan Hukum Jost,
sebagian dari teori Ballard &
Ballard & Clanchy, dan
Clanchy (surface).
Pendekatan Biggs.
Tabel 6.2 Lanjutan
Faktor-faktor • Internal siswa (Jiwa yang
yang
mempengaruhi belajar
suci).
• Internal siswa (fisiologis,
psikologis, dan kematangan
• Eksternal siswa (lingkungan
sosial, dan faktor
fisiologis dan psikologis).
• Eksternal siswa (lingkungan
instrumental).
sosial, kondisi alam, dan
76
77
faktor instrumental).
Adapun pendekatan dalam proses belajar menurut Imam al-Ghazali dan
Barat dapat diringkas dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Tabel 6.3
Pendekatan Belajar Perspektif Barat
Komponen
Behavioristik
Kognitif
Humanistik
Proses
• Manusia
• Bagaikan Kertas
putih
• Pemproses
Informasi
• Memiliki
potensi yang
baik
• Makna Belajar • Stimulus-respon
• Proses internal
• Proses
memanusiakan
manusia
• Tujuan Belajar • Terbentuknya
• Peserta Didik
• Terciptanya
• Individu
kebiasaan sebagai
pengetahuan baru
memiliki
akibat dari
dalam rangka
kemampuan
stimulus-respon
memecahkan
mengaktualisa-
masalah
sikan dirinya
• Netral-pasif
• Aktif
• Aktif dan bisa
menentukan apa
77
78
yang bisa
dilakukan
• Pendidik
• Salah satu penentu • Fasilitator
• Fasilitator dan
mediator
• Perilaku
• Kebiasaan
• Insight
• Teori Belajar
• Koneksionisme,
• Gestalt, dan Teori
• Kesadaran
Medan
classical
conditioning,
systematic behavior
theory, contiguous
conditioning, dan
operant
conditioning
Tabel 6.4
Pendekatan Belajar Perspektif Imam al-Ghazali
Komponen
Perspektif Imam al-Ghazali
Proses
• Manusia
• Manusia adalah individu yang pasif dan memerlukan
bimbingan kepada jalan yang baik serta bisa diisi oleh apa
dan kapan saja.
78
79
• Makna Belajar • Perubahan tingkah laku atau kecakapan afektif dan
psikomotorik yang relatif menetap sebagai akibat dari latihan
dan pengalaman.
• Tujuan Belajar • Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Yaitu demi
menghidupkan syari’at Nabi dan untuk menundukkan hawa
nafsu yang senantiasa mengajak pada keburukan serta
menghindakan diri dari kehidupan dunia.
• Peserta Didik
• Anak didik sebagai individu yang pasif sehingga diperlukan
memiliki seorang guru yang dapat membimbing dan
mengarahkannya secara total.
• Pendidik
• Satu-satunya penentu keberhasilan peserta didik dalam
belajar.
• Perilaku
• Perilaku seseorang ditentukan oleh adanya kebiasaan.
• Teori Belajar
• Behavior-Transendental.
7. Pengaruh Imam al-Ghazali dalam Dunia Pendidikan
Imam al-Ghazali sebagai tokoh yang memiliki kemampuan multi
dimensional dalam arti beragam disiplin ilmu yang dia kembangkan. Ide-ide
yang dia sajikan secara kritis senantiasa dihubungkan atau dilihat dalam
perspektif agama. Pandangan-pandangannya sarat dengan nuansa sufistik. Hal
79
80
tersebut menyebabkan Imam al-Ghazali mempunyai arti tersendiri dalam dunia
pendidikan.
Di Indonesia, pengaruh dari pandangan dan ide-ide Imam al-Ghazali yang
sarat dengan nuansa sufistik itu, bisa dilacak dari lembaga-lembaga pendidikan
agama, khususnya pondok pesantren, yang banyak menggunakan referensi
karangannya dalam berbagai aktifitas pendidikannya. Salah satu karangannya
yang banyak dikonsumsi oleh kalangan pesantren adalah kitab 4- I $,J .
Paling tidak, pengaruh yang ditimbulkan oleh Imam al-Ghazali adalah
bahwa seseorang kemudian menganggap perlu membaca karya-karyanya,
terutama yang berkaitan dengan persoalan pendidikan. Dari hasil telaah tersebut
kemudian diinternalisasi dalam pola kognisi seseorang dan pada gilirannya,
pemikiran Imam al-Ghazali itu akan melandasi pola pikir, sikap, dan tingkah
laku seseorang sebagai hasil dari adanya pendidikan.
B. Profil Guru Dalam Perspektif Al-Ghazali
1. Pengertian Guru
Imam al-Ghazali berkata:
al-muallim (guru), al-mudarris (pendidik), dan al-walid (orang tua). yaitu
seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan
pengajaran. Menurutnya, guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas
pendidikan dan pengajaran, serta bertugas untuk menyempurnakan,
mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk
mendekatkan diri kepada Allah.89
89
Lihat Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, op. cit., hlm. 50.
80
81
“Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat,
yang dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan.
Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan
nanti. Karena dengan akal, manusia menerima amanah Allah. Dan dengan
akal akan sampai ke sisi Allah SWT. Adapun tentang umum kegunaannya,
maka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan keberhasilannya ialah
kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana
tersembunyi? Guru itu berpengaruh dalam hati dan jiwa manusia. Yang
termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh
manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan,
mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah Azza wa Jalla.
Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan
dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala. Dan itu adalah yang
termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang
berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifatNya yang teristimewa, maka dia
adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangannya yang termulia.
Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang
membutuhkannya.”90
“Maka seperti itu pulalah dengan ilmu pengetahuan, dapat disimpan seperti
menyimpan harta benda. Bagi ilmu pengetahuan ada keadaan mencari,
berusaha dan keadaan menghasilkan yang tidak memerlukan lagi kepada
bertanya. Keadaan meneliti (istibshar), yaitu berpikir mencari yang baru dan
mengambil faidah daripadanya. Dan keadaan memberi sinar cemerlang
kepada orang lain. Dan inilah keadaan yang semulia-mulianya. Maka barang
siapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar
dalam alam malakut tinggi. Dia laksana matahari yang menyinarkan
cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Dia
laksana kesturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan dia sendiripun
harum.”91
Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut ilmunya, adalah seumpama
suatu daftar yang memberi faidah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari
ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan
dia sendiri tidak dapat memotong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat
menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama
sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya dan dia sendiri terbakar,
sebagaimana kata pantun: ”Dia adalah laksana sumbu lampu yang dipasang,
memberi cahaya kepada orang lain, dia sendiri terbakar menyala.92
90
91
92
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 77.
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, MA. SH., op. cit., hlm. 44.
Ibid., hlm. 212.
81
82
Seluruh manusia itu akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu, seluruh
orang-orang yang berilmu akan binasa kecuali orang-orang yang
mempraktekkan ilmunya dan seluruh orang-orang yang mempraktekkan
ilmunya itu binasa kecuali orang-orang yang berhati tulus.93
2. Syarat Kepribadian Guru Menurut Al-Ghazali
Kepribadiaan bagi seorang guru menurut Al-Ghazali sangat penting.
Al-Ghazali berkata:
Guru itu harus mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya
membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal
dilihat dengan mata kepala. Yang mempunyai mata kepala adalah lebih
banyak.94
Perumpamaan guru dengan murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat
dan bayang-bayang dengan sepotong kayu. Maka bagaimanakah tanah itu bisa
terukir indah, padahal ia adalah material yang tidak sedia diukir dan
bagaimana pula bayang-bayang itu menjadi lurus, sedangkan kayu yang
tersinar itu bengkok.95
Kemudian Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian
seorang guru:96
1. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada anak didiknya dan harus
mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri.
2. Tidak menuntut upah dari murid-muridnya. Ia berpandangan bahwa
mengajar itu wajib bagi setiap orang yang berilmu, maka seorang guru
baginya, tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar dan
mengharapkan pujian, ucapan terima kasih atau balasan bagi muridmuridnya, karena ia melaksanakan kewajibannya.
3. Tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus
bersungguh-sungguh dan tampil sebagai penasehat, pembimbing para
pelajar ketika mereka membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu
yang sesuai dengan setiap tingkat kecerdasan para siswa. Guru harus
93
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 23.
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 222.
95
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazail, op. cit., hlm. 52.
96
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf
Al-Ghazali), op. cit., hlm. 98-101.
94
82
83
mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata peserta
didiknya..
4. Menjauhi akhlak yang tercela dengan cara menghindarinya sedapat
mungkin, dan harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus,
sopan, lapang dada, murah hati dan beraklak terpuji lainnya.
5. Tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan
kecenderungannya, dan hendaklah seorang guru mendorong muridnya
mencari pula ilmu dari yang lain dengan meninggalkan kefanatikan
kepada salah seorang guru sedang yang lain tidak. Kata Imam Ghazali:
Seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran,
tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain di hadapan muridnya.
Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih, guru fiqih
melecehkan ilmu-ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu
hadits dan tafsir itu adalah semata-mata menyalin dan mendengar. Cara
yang demikian adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran
padanya.97
6. Memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, dan memahami
potensi yang dimiliki anak didik Seorang guru harus mamahami minat,
bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam
mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru
dengan anak didiknya.
Al-Ghazali berkata:
Seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya
dan jangan diberi pelajaran yang belum sampai tingkat akal pikirannya
sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadikan tumpul otaknya.98
Selain itu, Al-Ghazali juga berkata:99
Sesungguhnya faktor yang mendorong membekasnya keraguan murid
pada guru adalah perasaan bahwa gurunya kikir ilmu dan tidak
melaksanakan kewajibannya, khusus apabila murid di satu sisi dibohongi
yang biasanya menyertai masa dewasa. Oleh karena itu,hendaklah guru
menyampaikan ilmu pada murid yang hendak kemampuannya secara jelas
yang sesuai dengan umurnya dan jangan menjelaskan bahwa di balik ini
ada rahasia yang tersimpan yang dapat merendahkan keinginannya pada
apa yang nyata dan meragukan hatinya dan menyangka guru kikir
padanya. Setiap orang akan menyangka bahwa dia ahli ilmu-ilmu yang
rahasia. Tiada seorangpun yang tidak memperoleh dari Allah
97
98
99
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 218.
Al-Ghazali, Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 219.
Dahlan Tamrin¸ Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya, (Malang: 1988), hal. 56.
83
84
kesempurnaan akalnya. Sebab sebodoh-bodoh dan selemah-lemah akal
mereka, mereka bangga dengan kesempurnaan akalnya.
7. Kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan
suatu pelajaran (ilmu pengetahuan).
8. Guru harus mengingatkan muridnya, agar tujuannya dalam menuntut ilmu
bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tapi untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Guru juga harus mendorong muridnya
agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada
kebahagiaan dunia dan akhirat.
9. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya,
sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
Seorang guru harus memegang dasar-dasar agama yang prinsip dan
berusaha merealisirnya, diantaranya adalah bersikap adil.
Al-Ghazali berkata :
Bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara
sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan dengan
cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara
terus terang, merusakkan takut murid kepada guru dan mengakibatkan dia
lebih berani menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu.100
3. Tugas dan Kewajiban Guru menurut Al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazali seorang guru memiliki tugas-tugas tertentu
sebagai berikut:
1. Memberikan kasih sayang kepada anak didik.
Imam al-Ghazali berkata:
Guru hendaknya menunjukkan kasih sayang kepada pelajar dan
memperlakukannya seperti anak sendiri.101
2. Mengikuti jejak Rasulallah dalam tugas dan kewajibannya.
Al-Ghazali berpendapat:
100
101
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 217.
Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. (Jakarta: Pustaka Amani), hal. 14
84
85
seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak
mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah
dan mendekatkan diri kepadaNya.”102
3. Sebagai Pengarah dan Pembimbing
Imam al-Ghazali berkata:
Hendaklah guru menasihati pelajar (murid) dan melarangnya dari akhlak
tercela, dan tidak menyimpan sesuatu nasihat untuk hari esok; seperti
melarangnya dari mencari kedudukan sebelum patut memperolehnya dan
melarang murid belajar ilmu yang tersembunyi sebelum menyempurnakan
ilmu yang terang.103
4. Menjadi teladan yang baik bagi anak didik
Imam al-ghazali mengatakan:
Patutlah seorang guru bersikap lurus (istiqamah), kemudian menuntut si murid
bersikap lurus. Kalau tidak, maka nasihat itu tidak berguna, karena
meneladani perbuatan lebih kuat daripada meneladani perkataan.104
4.Kriteria Dalam Memilih Guru menurut Al-Ghazali
Dalam kitab Ihya’nya, Imam al-Ghazali mengatakan antara lain:
Orang yang menetapkan diri dan bertekad untuk mengambil pekerjaan sebagai
pengajar, ia harus menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai berikut:
pertama, harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri; kedua,
mengikuti teladan dan contoh Rasulullah dalam arti tidak boleh
mengharapkan imbalan dan upah dari pekerjaannya selain kedekatan diri
kepada Allah; ketiga, harus mengingatkan muridnya bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk kekuasaan dan
kebanggan diri; keempat, guru harus mencegah muridnya dari memiliki watak
dan perilaku jahat; kelima, tidak boleh merendahkan ilmu lain di hadapan
muridnya; keenam, mengajar murid-muridnya hingga batas kemampuan
pemahaman mereka; ketujuh, harus mengajarkan kepada murid yang
terbelakang dengan jelas dan sesuai dengan tingkat pemahamannya yang
102
103
104
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 214.
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub. Ibid., hlm. 216
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub Ibid., hlm. 218
85
86
terbatas; kedelapan, guru harus melakukan terlebih dahulu apa yang
diajarkannya dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya.105
C. Profil Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali
1. Pengertian Murid
Dalam hubungan ini Imam al-Ghazali mengatakan:
Al-Thalib adalah bukan kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri, dan
dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki
keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan mendahulukan sesuatu yang
bermanfaat bagi dirinya. Bahwasannya ia adalah seseorang yang telah
mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik dengan
menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seseorang yang sudah mampu
dimintai pertanggungjawaban dalam melaksanakan aktivitas kewajiban agama
yang dibebankan kepadanya sebagai fardu ‘ain. Seorang al-thalib adalah
manusia yang telah memiliki kesanggupan untuk memilih jalan
kehidupannya, menentukan apa yang dinilainya baik, dan tidak pula
dibebankan kepadanya untuk berusaha dalam mendapatkan ilmu dan
sungguh-sungguh dalam memperolehnya, sebagaimana pula sebaliknya ia
bisa menilai atas sesuatu sebagai yang buruk atau tidak baik untuk
ditinggalkan dan kemudian menyucikan dirinya.106
2. Tugas dan Kewajiban Murid menurut Al-Ghazali
1. Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah.
Imam al Ghazali mengatakan:
najasah tidak khusus mengenai baju. Maka, selama bathin tidak
dibersihkan dari hal-hal yang keji, ia pun tidak menerima ilmu yang
bermanfaat dalam agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu
Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi
ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati.
Seorang muhaqqiq berkata, “Kami belajar ilmu untuk selain allah, namun
ilmu itu menolak kecuali untuk allah. Yakni, ilmu itu menolak terhadap
105
106
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beyrut: Dar al-Fiqrah, 1995), jilid 1, hlm. 76-79.
Ibid., hlm. 51
86
87
kami sehingga kami tidak dapat mengetahui hakikatnya, melainkan hanya
kami dapatkan hadist dan lafal-lafalnya.107
2. Mengurangi kesenangan-kesenangan duniawinya dan menjauh dari
kampung halaman hingga hatinya terpusat pada ilmu.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa:
Allah tidak menjadikan dua hati bagi seseorang di dalam rongga
badannya. Oleh karena itu dikatakan, “Ilmu itu tidak memberikan
sebagiannya hingga engkau memberinya seluruh milikmu.” 108
3. Tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada
guru.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan contoh:
Seperti orang sakit yang gawat memberi kebebasan kepada dokter tanpa
berbuat sewenang-wenang terhadapnya, dengan sesuatu dalam menuntut
suatu macam obat tertentu. Patutlah ia terus berkhidmat kepada guru.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit menyalati jenazah, tibatiba datanglah seekor bagal (keledai) untuk dinaiki, maka ibnu abbas
datang dan memegang kendalinya. Zaid berkata, “Biarkan dia, wahai
putra paman Rasulullah Saw.” Ibnu Abbas berkata, “Demikianlah kami
disuruh memperlakukan para ulama dan orang-orang besar.” Kemudian
Zaid mencium tangannya seraya berkata, “Demikianlah kami disuruh
memperlakukan ahli bait (keluarga) Nabi kita Saw.”109
4. Menghindar dari mendengarkan perselisihan-perselisihan diantara ulama
atau sesama manusia,
Imam al-Ghazali berasumsi:
Hal yang seperti itu (perselisihan-perselisihan diantara ulama atau sesama
manusia) dapat menimbulkan prasangka yang buruk dan juga dapat
menimbulkan kebingungan, keragu-raguan serta kurang percaya terhadap
kemampuan guru. Pada pertama kali hatinya condong kepada segala yang
disampaikan kepadanya, terutama hal-hal yang menyebabkan kemalasan
107
Ibid., 11
Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Op.Cit., hlm. 11
109
Imam al-Ghazali. 2007. Op.Cit., hlm. 11-12
108
87
88
dan pengangguran, seperti ibadahnya para sufi. Para pemula tidak boleh
mengikuti perbuatan-perbuatan dari orang-orang yang sudah mendalam,
hingga sebagian mereka berkata, “Barangsiapa mengunjungi kami
pertama kali, ia pun menjadi teman. Dan siapa mengunjungi kami pada
akhirnya, ia pun menjadi zindiq.” Pada akhirnya mereka tidak bergerak
kecuali dalam mengerjakan amalan-amalan fardhu. Mereka mengganti
amalan sunnah dengan gerakan hati dan penyaksian yang kekal. Orang
yang lalai menganggapnya pengangguran dan kemalasan.110
5. Tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi ia menekuninya
hingga mengetahui maksudnya.
Imam al-Ghazali mengatakan:
Seorang pelajar hendaknya tidak berpindah dari suatu ilmu yang terpuji
kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran
sebelumnya, mengingat bahwa berbagai ilmu itu saling berkaitan satu
sama lain.
6. Mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
Imam al-Ghazali mengatakan:
Jika umur membantunya, ia pun menyempurnakannya (ilmu yang
dipelajarinya). Kalau tidak, ia memilih yang paling penting dan memilih
yang paling penting dapat dilakukan setelah mengetahui seluruhnya.111
7. Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya
dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala.
Imam al-Ghazali mengatakan:
Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya
dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala.dan kepada
derajat tertinggi diantara malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah).
Dan dengan ilmu itu ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta dan
pangkat.112
110
Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 12.
Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 13.
112
Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 14.
111
88
89
3. Akhlak Murid Terhadap Guru menurut Al-Ghazali
Imam al-Ghazali mengatakan:
Hendaknya (murid) tidak mendebat dan banyak argumentasi meski guru
keliru, tidak menggelar sajadah dihadapannya kecuali pada waktu shalat, tidak
memperbanyak shalat sunnah di hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang
diperintahkan oleh gurunya sebatas kemampuannya, tidak mengingkari apa
yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar
ia tidak dicap sebagai hipokrit.113
113
Ibid., hlm. 26
89
90
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Profil Guru Dalam Perspektif Al-Ghazali
1. Pengertian Guru
Imam al-Ghazali berkata:
al-muallim (guru), al-mudarris (pendidik), dan al-walid (orang tua). yaitu
seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan
pengajaran. Menurutnya, guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas
pendidikan dan pengajaran, serta bertugas untuk menyempurnakan,
mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk
mendekatkan diri kepada Allah.114
Dalam mempelajari Imam Al-Ghazali, sesuatu yang sangat penting untuk
dikatakan dari pendidikan adalah perhatiannya yang sangat dalam tentang ilmu
dan pendidikan maupun keyakinannya yang kuat bahwa pendidikan yang baik itu
merupakan suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan untuk
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya beliau memberikan
kedudukan yang tinggi bagi seorang guru dan menaruh kepercayaannya terhadap
seorang guru yang baik sebagai penasehat atau pembimbing yang baik. Sejalan
dengan itu Drs. Syiful Bahri Djamarah, M.Ag mengatakan:
Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat (sosial)
kewibawaan (keilmuan dan kedekatannya terhadap tuhanlah) yang
menyebabkan guru dihormati dan disegani, sehingga masyarakat tidak
114
Lihat Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, op. cit., hlm. 50.
90
91
meragukan figure guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat
mendidik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.115
Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar.
Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti pengajar. Selain itu
terdapat kata tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar
ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator, pendidik, ahli didik, lecturer,
pemberi kuliah, penceramah. Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada
pengertian guru, yaitu; al-Alim (jamaknya ulama) atau al-Mu’allim, yang berarti
orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk
menunjuk pada hati guru. Selain itu, adalah al-Mudarris (untuk arti orang yang
mengajar atau orang yang memberi pelajaran) dan al-Muaddib (yang merujuk
kepada guru yang secara khusus mengajar di istana) serta al-Ustadz (untuk
menunjuk kepada guru yang mengajar bidang pengetahuan agama Islam, dan
sebutan ini hanya dipakai oleh masyarakat Indonesia dan Malaysia). 116
Al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan berbagai kata, al-muallim
(guru), al-mudarris (pendidik), dan al-walid (orang tua).117 Sehingga guru dalam
arti umum, yaitu seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan
dan pengajaran. Menurutnya, guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas
pendidikan dan pengajaran, serta bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan
115
Drs. Syiful Bahri Djamarah, M.Ag. 2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif; suatu
pendekatan teoritis psikologis, (Jakarta: Rineka cipta), hlm. 31
116
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf
Al-Ghazali),(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal.41.
117
Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, op. cit., hlm. 50.
91
92
dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Al-Ghazali sering mengemukakan pendapatnya tentang ketinggian derajat dan
kedudukan para guru ini dalam beberapa tempat dikitabnya, Ihya’ Ulumuddin.
Misalnya beliau berkata:
“Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat,
yang dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan.
Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan
nanti. Karena dengan akal, manusia menerima amanah Allah. Dan dengan
akal akan sampai ke sisi Allah SWT. Adapun tentang umum kegunaannya,
maka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan keberhasilannya ialah
kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana
tersembunyi? Guru itu berpengaruh dalam hati dan jiwa manusia. Yang
termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh
manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan,
mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah Azza wa Jalla.
Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan
dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala. Dan itu adalah yang
termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang
berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifatNya yang teristimewa, maka dia
adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangannya yang termulia.
Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang
membutuhkannya.”118
Al-Ghazali menyamakan keberhasilan ilmu dengan terhimpunnya harta
kekayaan. Artinya, baik orang yang berhasil memperoleh ilmu maupun orang
berhasil mengumpulkan harta kekayaan berada di dalam salah satu dari empat
jenis berikut ini:
1. Orang yang berhasil memperoleh harta kekayaan atau ilmu lalu disimpannya,
tidak dimanfaatkan untuk kepentingan apapun juga.
118
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 77.
92
93
2. Orang yang menyimpan harta kekayaan atau ilmu sebanyak-banyaknya untuk
dimanfaatkan sendiri, sehingga ia tidak perlu untuk meminta-minta.
3. Orang yang berhasil memperoleh ilmu atau harta kekayaan untuk
dimanfaatkan atau dinafkahkan sendiri.
4. Orang yang berhasil memperoleh ilmu atau harta kekayaan untuk dinafkahkan
atau dengan menyebarkan ilmunya untuk menolong orang lain.119
Selanjutnya beliau berkata dalam Ihya’ Ulumuddin:
“Maka seperti itu pulalah dengan ilmu pengetahuan, dapat disimpan seperti
menyimpan harta benda. Bagi ilmu pengetahuan ada keadaan mencari,
berusaha dan keadaan menghasilkan yang tidak memerlukan lagi kepada
bertanya. Keadaan meneliti (istibshar), yaitu berpikir mencari yang baru dan
mengambil faidah daripadanya. Dan keadaan memberi sinar cemerlang
kepada orang lain. Dan inilah keadaan yang semulia-mulianya. Maka barang
siapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar
dalam alam malakut tinggi. Dia laksana matahari yang menyinarkan
cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Dia
laksana kesturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan dia sendiripun
harum.”120
Al-Ghazali menganggap orang termasuk dalam jenis keempat adalah orang
yang paling paling mulia. Karena, orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya
hingga orang lain dapat memanfaatkannya diibaratkan sebagai matahari yang
memancarkan sinarnya kepada makhluk lain, sedangkan dirinya sendiri tetap
bersinar dan juga sebagai minyak kasturi yang menyebarkan parfum kepada
sekitarnya, sedangkan dia sendiri masih tetap mempunyai bau yang harum itu.
Dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin beliau juga berkata sebagai berikut:
Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut ilmunya, adalah seumpama
suatu daftar yang memberi faidah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari
ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan
dia sendiri tidak dapat memotong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat
119
120
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 43.
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, MA. SH., op. cit., hlm. 44.
93
94
menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama
sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya dan dia sendiri terbakar,
sebagaimana kata pantun: ”Dia adalah laksana sumbu lampu yang dipasang,
memberi cahaya kepada orang lain, dia sendiri terbakar menyala.121
Dari keempat perumpamaan Al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa profesi
keguruan merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung dibandingkan
dengan profesi yang lain. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Drs.
Moh. Uzer Usman:
bahwa tugas dan peran guru tidaklah terbatas di dalam masyarakat, lebih dari
itu guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peran
yang sangat urgen dalam menentukan gerak maju kehidupan dan peradaban
bangsa.122
Dan yang utama menurut hemat penulis sendiri dengan profesinya itu pula
seorang guru menjadi perantara antara manusia dalam hal ini murid, dengan
penciptanya yaitu Allah SWT.
Sudah jelas seorang guru telah mengemban pekerjaan yang sangat penting,
karena pendidikan Islam adalah berintikan agama yang mementingkan akhlak,
meskipun ia mempunyai bermacam-macam cabang dan tujuan. Sebagaimana
yang dikatakan Oleh karena itu, ia dianggap sebagai bapak kerohanian, yaitu
seorang yang mempunyai tugas yang sangat tinggi dalam dunia ini, yaitu
memberikan ilmu sebagai makanannya, sebagai kebutuhan manusia yang tinggi,
disamping ia sebagai alat untuk sampai kepada Tuhan.
121
122
Ibid., hlm. 212.
Drs. Moh. Uzer Usman. Menjadi Guru Professional. (Bandung: Rosdakarya, 2007), hlm. 7.
94
95
Dengan ini Al-Ghazali telah mengangkat status guru dan menumpukkan
kepercayaannya kepada guru yang dinilainya sebagai pemberi petunjuk (mursyid)
dan pembina rohani yang terbaik. Guru adalah bekerja menyempurnakan,
mengangkat derajat, membersihkan dan menggiringnya untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan. Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Zakiyah Darajat:
Guru adalah orang yang menjadi perantara untuk membantu anak didiknya
memiliki ilmu pengetahuan sekaligus agar dekat kepada tuhan sebagai sang
pencipta.123
Jadi, mengajar ilmu termasuk pengabdian kepada Allah, sekaligus
mengemban amanah Allah SWT yang terbesar. Selanjutnya, ia jelaskan pula
keutamaan mengajar dan kewajiban melaksanakannya bagi orang berilmu. Ia
sebutkan bahwa orang yang mengetahui tapi tidak menyebarkan ilmunya, tidak ia
amalkan dan tidak pula ia ajarkan kepada orang lain, maka ia sama saja seperti
mengumpulkan harta untuk disimpan tanpa dapat dimanfaatkan siapapun.
Al-Ghazali juga menjelaskan arti pentingnya pengajaran dan kewajiban
melaksanakannya dengan keharusan berhati tulus. Dalam melukiskan pentingnya
pengajaran dan kewajiban serta keharusan ikhlas dalam mengajar, Al-Ghazali
berkata dalam Fatihatul Ulum sebagai berikut:
Seluruh manusia itu akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu, seluruh
orang-orang yang berilmu akan binasa kecuali orang-orang yang
123
Siti Fatchurohmah. 2006. “Sosok Guru Menurut al-Ghazali dan Zakiah Daradjat”, Skripsi, Fakultas
Tarbiyah UIN Malang. hlm. 73.
95
96
mempraktekkan ilmunya dan seluruh orang-orang yang mempraktekkan
ilmunya itu binasa kecuali orang-orang yang berhati tulus.124
Yang dimaksud dengan hati tulus adalah orang yang dalam perbuatannya itu
bersih dari campuran dan murni. Maksudnya adalah, bahwa pelakunya itu tidak
menghendaki imbalan atas perbuatnn itu. Jadi, dalam mengajar itu menurut AlGhazali harus dilandasi dengan keikhlasan tanpa mengharap imbalan dari
perbuatan itu.
Tugas guru adalah seperti tugas para utusan Allah, Rasulullah sebagai
mualllimul awwal fil Islam (guru pertama dalam Islam) bertugas membacakan,
menyampaikan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (Al-Quran) kepada manusia,
mensucikan diri dari jiwa dan dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang
haram, serta menceritakan tentang manusia di zaman yang silam, mengaitkan
dengan kehidupan pada zamannya dan memprediksikan pada kehidupan di zaman
yang akan datang.
Dengan demikian tampaklah bahwa secara umum guru bertugas dan
bertanggung jawab seperti Rasul tidaklah terikat dengan ilmu atau bidang studi
yang diajarkannya, yaitu menghantarkan murid dan manusia terdidik yang
mampu menjalankan tugas-tugas ketuhanan. Ia sekedar menyampaikan materi
pelajaran, tetapi bertanggung jawab pula memberikan wawasan kepada murid
agar menjadi manusia yang mampu menggali ilmu pengetahuan dan menciptakan
lingkungannya yang menarik dan menyenangkan. Pendidikan kesusilaan, budi
124
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, op. cit., hlm. 23.
96
97
pekerti, etika, moral maupun akhlak bagi murid bukan hanya menjadi tanggung
jawab guru bidang studi agama atau yang ada kaitannya dengan budi. Dengan
demikian, pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia menuntut adanya
kesamaan arah dari seluruh unsur yang ada, termasuk unsur pendidikannya.
Dari uraian di atas, tampak betapa berat tugas dan tanggung jawab seorang
guru. Jika kita teliti, barang kali jarang dijumpai seorang guru yang dapat
memenuhi segala persyaratan tersebut. Oleh karena itu, perlu penyaringan ketat
terhadap calon guru untuk mengetahui siapa yang berbakat dan memenuhi
persyaratan itu.
2. Syarat Kepribadian Guru Menurut Al-Ghazali
Kepribadiaan bagi seorang guru menurut Al-Ghazali sangat penting. AlGhazali berkata:
Guru itu harus mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya
membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal
dilihat dengan mata kepala. Yang mempunyai mata kepala adalah lebih
banyak.125
Dalam arti sederhana, kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin
pada sikap dan perbuatannya yang membedakan dirinya dari orang lain. Mc. Leod
(1989), mengartikan kepribadian (personality) sebagai sifat khas yang dimiliki
seseorang. Menurut tinjauan psikologi, kepribadian pada prinsipnya adalah
susunan atau kesatuan antara aspek perilaku mental (pikiran, perasaan dan
sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata). Aspek-aspek ini
125
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 222.
97
98
berkaitan secara fungsional dalam diri seorang individu, sehingga membuatnya
bertingkah laku secara khas dan tetap.126
Kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan
bahwa disamping ia berperan sebagai pembimbing dan pembantu anak didik
untuk mencapai kedewasaan, guru juga berperan sebagai panutan.
Setiap orang yang akan melaksanakan tugas guru harus mempunyai
kepribadian. Guru adalah seorang yang seharusnya dicintai dan disegani oleh
muridnya. Penampilannya dalam mengajar harus meyakinkan dan tindaktanduknya akan ditiru dan diikuti oleh muridnya. Penampilannya dalam mengajar
harus meyakinkan dan tindak-tanduknya akan ditiru dan diteladani.127 Dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, ia harus tabah dan tahu cara
memecahkan berbagai kesulitan dalam tugasnya sebagai pendidik. Ia juga harus
mau dan rela serta memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, terutama
masalah yang langsung berhubungan dengan proses belajar mengajar
Perkataan Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa amal perbuatan,
perilaku, akhlak dan kepribadian seorang guru adalah lebih penting dari pada ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Karena kepribadian seorang guru akan diteladani dan
ditiru oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Jadi, Al-Ghazali sangat menganjurkan
126
127
Muhibbin Syah, M.Ed. op.cit., hlm. 225.
Zakiah Daradjat, et. al., Metodologi Pengajaran Agama Islam, op. cit., hlm. 98.
98
99
agar seorang guru mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya
sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan kepada anak didiknya.
Antara guru dengan anak didik oleh Al-Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan
bayang-bayang. Bagaimana bayang-bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja
bengkok.
Kata Imam Al-Ghazali:
Perumpamaan guru dengan murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat
dan bayang-bayang dengan sepotong kayu. Maka bagaimanakah tanah itu bias
terukir indah, padahal ia adalah material yang tidak sedia diukir dan
bagaimana pula bayang-bayang itu menjadi lurus, sedangkan kayu yang
tersinar itu bengkok.128
Maka dari itu, kepribadian seorang guru dipandang sangat penting. Karena
tugas guru bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga harus mampu
melaksanakan atau memberi contoh sesuai dengan apa yang telah diberikan atau
yang diajarkan kepada anak didiknya. Sejalan dengan hal tersebut menurut
Fathiyah, syarat-syarat kepribadian (sifat-sifat terpenting) yang harus dimiliki
oleh seorang guru, antara lain:129
2) Jujur dan tulus dalam berkarya.
3) Santun dan sayang terhadap murid.
4) Toleran dan berlapang dada dalam hal-hal berkaitan dengan ilmu dan abdi
ilmu.
5) Tidak terpaut pada materi.
6) Berilmu luas dan bermakrifah yang dalam serta berpendirian kuat dan
berpegang teguh pada prinsip.
128
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazail, op. cit., hlm. 52.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran Pendidikan
Menurut Al-Ghazali), op. cit., hlm. 45.
129
99
100
Munurut Zainuddin, syarat-syarat kepribadian guru adalah sebagai berikut:130
1). Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima
baik, karena kepandaian murid itu mungkin berbeda-beda. Maka dari itu, guru
harus dapat mengukur kadar dan kemampuan muridnya, sehingga ia tidak
memberi pertanyaan yang terlalu mudah kepada mereka yang pandai, dan ia
bertanya materi yang terlalu sulit bagi mereka yang terlalu pandai. Dengan
demikian guru selalu menjadi pusat perhatian bagi murid, mereka tidak akan
menyepelekan dan tetap menghormatinya.
2). Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3). Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya’ atau pamer.
4). Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang dhalim, dengan maksud mencegah
dari tindakannya.
5). Bersikap tawadlu’ dalam pertemuan-pertemuan.
6). Sikap dan pembicaraannya tidak main-main.
7). Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8). Menyantuni serta tidak membentak-bemtak orang-orang bodoh.
9). Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaikbaiknya.
10). Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak dimengerti.
11). Menampilkan hujjah yang benar, apabila ia berada dalam hak yang salah,
bersedia ruju’ pada kebenaran.
Kemudian Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang
guru:131
1. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada anak didiknya dan harus mencintai
muridnya seperti mencintai anaknya sendiri.
Seorang yang akan berhasil melaksanakan tugasnya apabila memunyai rasa
tanggung jawab dan kasih sayang terhadap muridnya sebagaimana yang ia
lakukan terhadap anaknya sendiri.
130
Zainuddin, et. al., op. cit., hlm. 56-57.
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf
Al-Ghazali), op. cit., hlm. 98-101.
131
100
101
Dalam kaitan ini, Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan
dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua anak tersebut.
Menurutnya, orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak ke dunia yang
hanya sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan
kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh sebab itu, seorang guru memiliki posisi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua murid. Oleh sebab itu,
seorang guru wajib memperlakukan murid-murid dengan rasa kasih sayang dan
mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan di akhirat
yang kekal dan bahagia.
2. Tidak menuntut upah dari murid-muridnya. Ia berpandangan bahwa mengajar
itu wajib bagi setiap orang yang berilmu, maka seorang guru baginya, tidak
boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar dan mengharapkan pujian,
ucapan terima kasih atau balasan bagi murid-muridnya, karena ia
melaksanakan kewajibannya.
3. Tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus
bersungguh-sungguh dan tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar
ketika mereka membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu yang
sesuai dengan setiap tingkat kecerdasan para siswa. Guru harus mengamalkan
yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata peserta didiknya..
4. Menjauhi akhlak yang tercela dengan cara menghindarinya sedapat mungkin,
dan harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang
dada, murah hati dan beraklak terpuji lainnya.
101
102
Hal itu dikarenakan bahwa teladan yang dijadikan ikutan dan anutan oleh
murid-muridnya, maka kepribadian yang mulia dan kelapangan dada harus
diangkat sebagai sifat-sifat utama bagi seorang guru.
5. Tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan
kecenderungannya, dan hendaklah seorang guru mendorong muridnya
mencari pula ilmu dari yang lain dengan meninggalkan kefanatikan kepada
salah seorang guru sedang yang lain tidak. Kata Imam Ghazali:
Seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak
boleh melecehkan mata pelajaran lain di hadapan muridnya. Seumpama guru
bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih, guru fiqih melecehkan ilmu-ilmu
hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits dan tafsir itu adalah
semata-mata menyalin dan mendengar. Cara yang demikian adalah cara orang
yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya.132
6. Memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, dan memahami
potensi yang dimiliki anak didik Seorang guru harus mamahami minat, bakat
dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik,
juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak
didiknya.
Seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya
perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya
sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki murid. Dalam hubungan ini AlGhazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan
132
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 218.
102
103
batas pemahaman murid. Dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang
tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya. Al-Ghazali berkata:
Seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya
dan jangan diberi pelajaran yang belum sampai tingkat akal pikirannya
sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadikan tumpul otaknya.133
Jelaslah bahwa, seorang guru seharusnya dapat memperkirakan mata pelajaran
yang dapat dijangkau oleh pemahaman anak, yaitu memberikan pelajaran dan
sesuatu hakikat pada anak apabila diketahui bahwa anak itu akan sanggup
memahaminya dan menempatkan setiap anak pada tempat yang wajar sesuai
dengan kemampuan akal pikirannya serta memperhatikan tingkat kecerdasan dan
pengetahuan mereka, sehingga mereka dapat mengerti, memahami dan menguasai
mata pelajaran itu dengan sesungguhnya.
Imam Ghazali dalam pemikirannya telah sampai kepada tujuan yang telah
dicapai oleh para tokoh pendidik modern. Yakni, perlu adanya keharmonisan
antara bahan pelajaran dengan Intelligence Quotient (IQ) murid. Karena tanpa
adanya keserasian ini menyebabkan murid meninggalkan pelajaran dan kacau
pikirannya, yang berakhir dengan kecemasan dan kegagalan.
Selain itu, Al-Ghazali juga berkata:134
Sesungguhnya faktor yang mendorong membekasnya keraguan murid pada
guru adalah perasaan bahwa gurunya kikir ilmu dan tidak melaksanakan
kewajibannya, khusus apabila murid di satu sisi dibohongi yang biasanya
menyertai masa dewasa. Oleh karena itu,hendaklah guru menyampaikan ilmu
pada murid yang hendak kemampuannya secara jelas yang sesuai dengan
133
134
Al-Ghazali, Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 219.
Dahlan Tamrin¸ Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya, (Malang: 1988), hal. 56.
103
104
umurnya dan jangan menjelaskan bahwa di balik ini ada rahasia yang
tersimpan yang dapat merendahkan keinginannya pada apa yang nyata dan
meragukan hatinya dan menyangka guru kikir padanya. Setiap orang akan
menyangka bahwa dia ahli ilmu-ilmu yang rahasia. Tiada seorangpun yang
tidak memperoleh dari Allah kesempurnaan akalnya. Sebab sebodoh-bodoh
dan selemah-lemah akal mereka, mereka bangga dengan kesempurnaan
akalnya.
7. Kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan suatu
pelajaran (ilmu pengetahuan).
8. Guru harus mengingatkan muridnya, agar tujuannya dalam menuntut ilmu
bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tapi untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Guru juga harus mendorong muridnya agar
mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan
dunia dan akhirat.
9. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya,
sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
Seorang guru harus memegang dasar-dasar agama yang prinsip dan berusaha
merealisirnya, diantaranya adalah bersikap adil.
Guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya. Artinya, dia
tidak bepihak atau mengutamakan kelompok tertentu. Dalam hal ini dia harus
menyikapi setiap anak didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya.
Rasulallah SAW adalah teladan untuk seorang pendidik, sebagaimana perintah
Allah kepada beliau ini .
104
105
öΝà6¨ΖtΒÌôftƒ ωuρ ( Ÿ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (šu!#y‰pκà− ¬! ÏΒ≡§θs% #θçΡθä. #θãΨtΒ#u Ï%©!$# š $pκš‰r'¯≈tƒ
©!$# χÎ) 4 ' ©!$# (#θà)¨?$#uρ 3( “uθø)−G=Ï9 Ü>tø%r& θèδ #θä9ωôã$# (#θä9ω÷ès? ωr& #’n?tã BΘöθs% ãβ$t↔oΨx©
∩∇∪ šχθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ 7Î6yz
Artinya “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
135
kamu kerjakan”. (Q.S.. Al-Ma’idah: 8)
Dalam pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi
seorang guru meliputi berbagai aspek, yaitu:
1. Tabi’at dan perilaku pendidik.
2. Minat dan perhatian terhadap proses belajar-mengajar.
3. Kecakapan dan keterampilan mengajar.
4. Sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran.
Dalam suasana tertentu seorang guru pun juga harus berperan sebagai kawan
berani dalam rangka bimbingan ke arah terwujudnya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan. Disamping itu, kewibawaan juga sangat menunjang dalam
perannya sebagai pembimbing. Semua perkataan, sikap dan perbuatan yang baik
darinya akan memancar kepada muridnya. Oleh karena itu, seorang guru harus
mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi dan senantiasa memperhatikan
135
DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 159.
105
106
prinsip-prinsip mengajar seperti kasih sayang, tidak membesar-besarkan
kesalahan murid, tidak mengejek atau mencelanya, tidak menggunakan kekerasan
dalam mengubah perilaku murid yang tidak baik menjadi beraklak mulia.
Sedapat mengkin dalam memberi nasihat, seorang guru menggunakan kata-kata
kiasan atau sindiran, tidak secara langsung, karena cara yang kurang bijaksana
dalam mengubah perilaku dapat menyebabkan murid mungkin takut kepada guru,
sungkan, menentang atau berani kepadanya. Al-Ghazali berkata :
Bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran
selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan dengan cara kasih
sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang,
merusakkan takut murid kepada guru dan mengakibatkan dia lebih berani
menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu.136
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa sosok guru ideal adalah guru yang
memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan
ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya,
dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali
potensi yang dimiliki para siswa, dapat bekerja sama dengan para siswa dalam
memecahkan masalah. Ia menjadi idola di mata siswanya, sehingga siswa itu
mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. Di sini
terlihat bahwa pada akhirnya para siswa dibimbing menuju Allah, atau berbagai
upaya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dalam belajar, namun pada
akhirnya harus dapat membawa siswa menuju Allah. Atas dasar ini, terlihat jelas
136
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 217.
106
107
sekali pengaruh pemikiran Al-Ghazali sebagaimana disebutkan di atas. Demikian
pula sikap guru yang harus berniat ikhlas, tidak mengharapkan imbalan,
berakhlak mulia, mengamalkan ilmu yamg diajarkannya dan menjadi panutan
serta mengajak pada jalan Allah, adalah merupakan nilai-nilai ajaran tasawuf,
yaitu ajaran tentang zuhud, qana’ah, tawakkal, ikhlas dan ridla sebagaimana telah
diuraikan di atas.
3. Tugas dan Kewajiban Guru menurut Al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazali seorang guru memiliki tugas-tugas tertentu sebagai
berikut:
5. Memberikan kasih sayang kepada anak didik.
Imam al-Ghazali berkata:
Guru hendaknya menunjukkan kasih
memperlakukannya seperti anak sendiri.137
sayang
kepada
pelajar
dan
Seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak
didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya
sendiri. Jadi, hubungan psikologis antara guru dengan anak didiknya seperti
hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan
timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh ke dalam proses
pendidikan dan pengajaran. Rasa kasih sayang terhadap murid adalah sifat yang
terpenting yang harus dimiliki oleh seorang guru, dengan ikhlas dan
pengabdiannya.. Karena sifat ini akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan
137
Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. (Jakarta: Pustaka Amani), hal. 14
107
108
tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi:
Hendaknya sikap tulus ikhlas tampil dari hati yang rela berkurban untuk anak
didik, yang diwarnai juga dengan kejujuran, keterbukaan dan kesabaran.
Sebab tulus ikhlas, merupakan motivasi untuk melakukan pengabdian dalam
mengemban peranan sebagai pendidik.138
Dalam hal ini Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan
seorang anak, maka guru lebih utama dari orang tua tersebut. Menurutnya, orang
tua berperan sebagai penyebab adanya anak di dunia ini, sedangkan guru menjadi
penyebab bagi keberadaan kehidupan kekal di akhirat. Dengan demikian, seorang
guru memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua
murid. Demikian seorang guru wajib memperlakukan muridnya dengan penuh
kasih sayang, dan mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan
kehidupan di akhirat yang kekal dan bahagia..
6. Mengikuti jejak Rasulallah dalam tugas dan kewajibannya.
Al-Ghazali berpendapat:
seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak
mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan
mendekatkan diri kepadaNya.”139
Dengan demikian seorang guru hendaknya menjadi wakil dan pengganti
Rasulullah yang mewarisi ajaran-ajarannya dan memperjuangkan dalam
138
139
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan Dalam Islam. Op. Cit., hlm. 109
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 214.
108
109
kehidupan masyarakat. Demikian pula perilaku dan perbuatan, kepribadian
seorang guru harus mencerminkan ajaran-ajarannya, sesuai dengan akhlak
Rasulullah, karena beliau dilahirkan di dunia ini adalah sebagai “uswatun
khasanah atau figur ideal” bagi umat manusia pada umumnya dan bagi seorang
guru pada khususnya.. sebagaimana yang dikatakan pula oleh Zainuddin:
Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi pengganti Rasulalluh
Saw; dialah sebenar-benarnya ‘Alim (berilmu, intelektualen). Tetapi tidak
pulalah tiap-tiap orang yang alim itu layak menempati kedudukan sebagai
ganti rasulullah Saw itu.140
7. Sebagai Pengarah dan Pembimbing
Imam al-ghazali berkata:
Hendaklah guru menasihati pelajar (murid) dan melarangnya dari akhlak
tercela, dan tidak menyimpan sesuatu nasihat untuk hari esok; seperti
melarangnya dari mencari kedudukan sebelum patut memperolehnya dan
melarang murid belajar ilmu yang tersembunyi sebelum menyempurnakan
ilmu yang terang.141
Dari penjelasan diatas dapatlah difahami, bahwa seorang guru yang baik
hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di
hadapan
murid-muridnya.
Ia
tidak
boleh
membiarkan
murid-muridnya
mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai yang sebelumnya.
Dimana, seorang pelajar tidak boleh mendalami suatu bidang ilmu pengetahuan,
sebelum ia menyelesaikan bidang ilmu pengetahuan yang sebelumnya. Karena
ilmu pengetahuan itu berurutan secara jelas, sebagian menuju sebagian yang lain,
140
141
Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Ibid., hlm. 61.
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub. Ibid., hlm. 216
109
110
sehingga suatu pelajaran harus dipelajari secara berangsur-angsur. Sejalan dengan
hal tersebut Drs. Moh. User Usman mengatakan:
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih.
Mendidi berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar
berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada
murid.142
Mempelajari
ilmu
pengetahuan
memang
selayaknya
memperhatikan
kesesuaiannya, yaitu yang menuntut urutan dalam setiap mata pelajaran dengan
tujuannya yang jelas serta bertingkat menuju tingkat berikutnya, sehingga
diharapkan dapat menimbulkan suatu proses pertumbuhan akal pikiran dan
perkembangan mental yang baik.
8. Menjadi teladan yang baik bagi anak didik
Imam al-ghazali mengatakan:
Patutlah seorang guru bersikap lurus (istiqamah), kemudian menuntut si murid
bersikap lurus. Kalau tidak, maka nasihat itu tidak berguna, karena
meneladani perbuatan lebih kuat daripada meneladani perkataan.143
Mengingat guru sebagai teladan yang akan dicontoh dan ditiru murid, maka
seorang guru harus konsekuen dan mampu menjaga antara perkataan, ucapan,
perintah, dan larangan dengan amal perbuatan guru, karena yang lebih penting
perbuatannya bukan ucapannya. Seorang guru harus benar-benar dapat digugu
dan ditiru. Artinya, segala tutur katanya, segala anjurannya, segala nasehatnasehatnya harus benar-benar dapat dipercaya, harus benar-benar dapat
142
143
Drs. Moh. User Usman. 2007. Menjadi Guru Professional. (Bandung: Rosdakarya), hlm. 7
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub Ibid., hlm. 218
110
111
dipergunakan sebagai pegangan, sebagai pedoman dan segala gerak-geriknya,
segala tingkah lakunya, segala perbuatannya harus benar-benar menjadi contoh.
Karena segala tingkah laku dari pendidik selalu diamati benar-benar oleh anak
didik. Hal ini dengan tidak sadar ditirunya. Sebagaimana juga dikatakan oleh.
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi:
Kehidupan ini sebahagian terbesar dilalui dengan saling meniru atau
mencontoh oleh manusia yang satu pada manusia yang lain. Kecenderungan
mencontoh itu sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan anak didik
tersebut. 144
Dengan penjelasan tersebut diatas maka dalam proses pendidikan gurulah
yang menjadi teladan yang tepat bagi murid atau anak didiknya. Dalam rangka
membawa manusia menjadi manusiawi itu pulalah, Rasulullah dijadikan oleh
Allah, dalam pribadinya uswatun hasanah (teladan yang baik). Sebagaimana yang
kita ketahui bersama bahwa apa yang keluar dari lisannya sama dengan apa yang
ada didadanya. Seorang guru seharusnya juga demikian dalam mengamalkan
pengetahuannya, bertindak sesuai dengan apa yang dinasehatkan kepada murid.
Hal yang menonjol adalah berkaitan dengan tugas guru adalah masalah moral,
etika atau akhlak, dimana itu terhimpun dalam ajaran Islam.
4.Kriteria Dalam Memilih Guru menurut Al-Ghazali
Dalam kitab Ihya’nya, Imam al-Ghazali mengatakan antara lain:
Orang yang menetapkan diri dan bertekad untuk mengambil pekerjaan sebagai
pengajar, ia harus menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai berikut:
pertama, harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri; kedua,
mengikuti teladan dan contoh Rasulullah dalam arti tidak boleh
144
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas), hlm. 213.
111
112
mengharapkan imbalan dan upah dari pekerjaannya selain kedekatan diri
kepada Allah; ketiga, harus mengingatkan muridnya bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk kekuasaan dan
kebanggan diri; keempat, guru harus mencegah muridnya dari memiliki watak
dan perilaku jahat; kelima, tidak boleh merendahkan ilmu lain di hadapan
muridnya; keenam, mengajar murid-muridnya hingga batas kemampuan
pemahaman mereka; ketujuh, harus mengajarkan kepada murid yang
terbelakang dengan jelas dan sesuai dengan tingkat pemahamannya yang
terbatas; kedelapan, guru harus melakukan terlebih dahulu apa yang
diajarkannya dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya.145
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa guru dalam perspektif
Imam al-Ghazali adalah sebagai figur sentral, idola bahkan mempunyai kekuatan
spiritual, di mana murid sangat tergantung kepadanya. Dalam posisi yang
demikian, guru memegang peranan penting dalam belajar atau pendidikan.
Sebagaimana telah disinggung pula sebelumnya, bahwa guru yang
dikehendaki oleh Imam al-Ghazali adalah guru yang terdiri orang yang bisa
membuang akhlak tercela dari dalam diri anak didik dengan tarbiyah dan
menggantinya dengan akhlak yang baik, pintar (alim), tidak tergiur oleh
keindahan dunia dan kehormatan jabatan, memiliki guru yang waspada yang jelas
silsilahnya hingga Rasulullah Saw., memperbaiki diri dengan riyādah dengan
menyedikitkan dalam makan, bicara, tidur, serta memperbanyak melakukan
shalat, sedekah, dan puasa. Di samping itu, seorang guru harus menjadikan
akhlak-akhlak yang baik sebagai landasan perilaku kesehariannya seperti sabar,
membaca shalawat, syukur, tawakkal, yakin, qana’ah, ketentraman jiwa, lemah
lembut, rendah hati, ilmu, jujur, malu, menepati janji, berwibawa, tenang, tidak
145
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beyrut: Dar al-Fiqrah, 1995), jilid 1, hlm. 76-79.
112
113
terburu-buru, dan lain-lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dr. Ahmad Tafsir,
bahwa:
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung
(berkemampuan) terhadap perkembangan anak didik.146
jawab
Menurut hemat penulis, pemikiran Imam al-Ghazali tentang kriteria dalam
memilih guru perlu ditinjau ulang. Sebab, guru bukan merupakan satu-satunya
faktor penentu keberhasilan seseorang dalam belajar, masih ada orang tua yang
juga memiliki peranan penting bagi perkembangan anak didik. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Dr. Ahmad Tafsir:
Dalam Islam, orang yang paling utama (penting) dan bertanggung jawab
adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik.147
Sehingga meskipun dijelaskan arti pendidik secara umum adalah setiap orang
yang bertanggung jawab atas perkembangan anak didik, namun kedua orang tua
anak didiklah yang paling bertanggung jawab. Hal ini menurut Ahnad Tafsir
disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal:
Pertama, karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, karena itu
pula menjadi orang yang paling bertanggung jawab mendidik anaknya.
Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan
terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sebab sukses anak adalah juga
merupakan sukses orang tuanya.148
Selanjutnya, anak didik perlu dipandang sebagai manusia yang memiliki satu
kesatuan yang utuh. Artinya bahwa, anak didik merupakan individu yang
memiliki
kemampuan dalam mengatasi segala bentuk persoalan yang
146
Dr. Ahmad Tafsir. 2005. Pendidikan Dalam Islam, (Bandung: Rosdakarya), hlm. 74
Ibid., hlm. 74.
148
Ibid., hlm. 75.
147
113
114
melingkupinya. Dan karena itu, manusia adalah makhluk yang otonom dan
merdeka. Implikasi dari hal ini dalam hal belajar akan menghasilkan anak didik
yang memiliki bentuk pemikiran yang penuh dengan ide-ide cerdas dan
mencerdaskan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Drs. Syaiful Bahri Djamarah:
Anak yang baru lahir membawa sifat-sifat keturunan, tapi ia tak berdaya dan
tak mampu, baik secara fisik maupun mental. Bakat dan mental yang
diwariskan orang tuanya merupakan benih yang perlu dikembangkan. Semua
anggota jasmani membutuhkan bimbingan untuk tumbuh. Demikian juga
jiwanya, membutuhkan bimbingan untuk berkembang sesuai iramanya
masing-masing, sehingga suatu
waktu anak mampu membimbing
(menentukan) dirinya sendiri.
Selanjutnya, menurut hemat penulis, guru yang tidak boleh meminta upah
dalam mengajar dan bahkan niat mengajarnya adalah harus karena Allah (ikhlas),
memiliki dua makna. Pertama, guru harus mengajar dengan ikhlas karena Allah
dan kedua, orang tua yang menitipkan anak-anaknya juga harus ikhlas dalam arti
menggaji guru yang mengajar anak-anaknya tersebut. Sejalan dengan hal itu Prof.
Dr. H. Hadari Nawawi juga mengatakan bahwa:
Peranan sebagai pendidik bukan dijalankan karena terpaksa atau dipaksa,
tetapi didasari oleh kecintaan terhadap anak didik yang memang
membutuhkan bantuan dan bimbingan dalam mewujudkankedewasaannya.149
Dari pejelasan tersebut menguatkan bahwa dalam menjalankan tugas sebagai
pendidik hendaknya menghindari meminta upah atau imbalan. Sebaliknya
hendaklah berniat ikhlas lillahi ta’ala, tanpa perasaan terpaksa ataupun dipaksa,
meskipun memang hal itu dirasa sangat berat namun itulah dasar tugas dan
tanggung jawab sebagai seorang pendidik.
149
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi. Op. Cit., hlm 110
114
115
B. Profil Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali
1. Pengertian Murid
Kata murid berasal dari bahasa arab ‘arada, yuridu iradatan, muridan yang
berarti orang yang menginginkan (the willer), dan menjadi salah satu sifat Allah
SWT. yang berarti maha menghendaki. Pengertian seperti ini dapat dimengerti
karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal
hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang
sungguh-sungguh. Istilah murid ini digunakan dalam ilmu tasawuf sebagai orang
yang belajar mendalami ilmu tasawuf kepada seorang guru yang disebut
syaikh.150
Selain murid, dijumpai pula kata al-tilmidz yang juga berasal dari bahasa
Arab, namun tidak mempunyai akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan
untuk menunjuk kepada murid yang belajar di madrasah. Selanjutnya terdapat
pula kata al-mudarris, berasal dari kata darrasa yang berarti orang yang
mempelajari sesuatu.151 Kata ini dekat dengan kata madrasah, dan seharusnya
digunakan untuk arti pelajar pada suatu madrasah, namun dalam praktiknya tidak
demikian.
150
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf
Al-Ghazali), Op. Cit., hlm. 49
151
101
Ibid., 49.
115
116
Kemudian istilah lain yang berkenaan dengan murid (pelajar) adalah al-thalib,
berasal dari kata thalaba, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti orang yang
mencari sesuatu.152
Pengertian ini dapat difahami karena seorang pelajar adalah orang yang
tengah menuntut ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dan
pembentukan kepribadiannya untuk bekal kehidupannya di masa depan agar
berbahagia dunia dan akhirat. Ada juga istilah lainnya, yakni al-muta’allimin,
berasal dari kata allama, yuallimu ta’liman yang berarti orang yang mencari ilmu
pengetahuan153.
Imam al-Ghazali sendiri lebih sering menggunakan Istilah al-thalib -yang
juga banyak digunakan oleh para ahli pendidikan Islam sejak zaman klasik
sampai hingga zaman sekarang-, Dalam hubungan ini beliau mengatakan:
Al-Thalib adalah bukan kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri, dan
dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki
keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan mendahulukan sesuatu yang
bermanfaat bagi dirinya. Bahwasannya ia adalah seseorang yang telah
mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik dengan
menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seseorang yang sudah mampu
dimintai pertanggungjawaban dalam melaksanakan aktivitas kewajiban agama
yang dibebankan kepadanya sebagai fardu ‘ain. Seorang al-thalib adalah
manusia yang telah memiliki kesanggupan untuk memilih jalan
kehidupannya, menentukan apa yang dinilainya baik, dan tidak pula
dibebankan kepadanya untuk berusaha dalam mendapatkan ilmu dan
sungguh-sungguh dalam memperolehnya, sebagaimana pula sebaliknya ia
bisa menilai atas sesuatu sebagai yang buruk atau tidak baik untuk
ditinggalkan dan kemudian menyucikan dirinya.154
152
Ibid., hlm. 50.
Ibid, hlm. 50
154
Ibid., hlm. 51
153
116
117
Hal ini karena anak didik memiliki potensi, maka potensi baiknyalah yang
harus ditumbuh kembangkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Drs. Syiful Bahri
Djamarah, M.Ag:
Sebagai manusia yang berpotensi, maka di dalam diri anak didik ada suatu
daya yang dapat tumbuh dan berkembang di sepanjang usianya.
H. M. Arifin juga mengatakan:
Dilihat dari segi kedudukannya, murid (anak didik) adalah makhluk yang
sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan menurut
fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan
yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya155.
Selanjutnya sejalan dengan prinsip Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa
menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT. maka bagi murid beliau mengkehendaki hal-hal sebagai berikut:
a. Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabbur. Hal ini
diperjelas oleh beliau lagi yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah
merupakan perjuangan yang berat yang memerlukan kesungguhan yang tinggi
serta bimbingan dari guru.
b. Merasa satu bangunan dengan murid lainnya, sehingga satu sama lain dapat
menyatu dan saling menyayangi serta tolong menolong.
c. Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai macam mazhab ataupun sesuatu
yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran.
d. Mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu saja, melainkan juga mempelajari
berbagai ilmu bermanfaat lainnya dan berupaya sungguh-sungguh sehingga
mencapai tujuan dari tiap-tiap ilmu tersebut.156
Ciri-ciri murid yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali tersebut diatas
nampaknya masih dilihat dari perspektif tasawuf beliau yang menempatkan murid
sebagaimana murid tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri yang diungkapkan
155
156
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 144.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.165-167.
117
118
beliau ini untuk masa sekarang menurut hemat penulis tentunya masih perlu
ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreatifitas dan kegairahan
atau semangat dalam belajar.
2. Tugas dan Kewajiban Murid menurut Al-Ghazali
Selain syarat-syarat kepribadian yang harus dimiliki oleh murid sebagaimana
disebutkan di atas, seorang murid juga harus memiliki tugas-tugas dan kewajiban
tertentu yang dirinci oleh al-Ghazali
menjadi 7 point,157 diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah.
Imam al Ghazali mengatakan:
najasah tidak khusus mengenai baju. Maka, selama bathin tidak dibersihkan
dari hal-hal yang keji, ia pun tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam
agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata,
“Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah
cahaya yang dimasukkan ke dalam hati.
Seorang muhaqqiq berkata, “Kami belajar ilmu untuk selain allah, namun
ilmu itu menolak kecuali untuk allah. Yakni, ilmu itu menolak terhadap kami
sehingga kami tidak dapat mengetahui hakikatnya, melainkan hanya kami
dapatkan hadist dan lafal-lafalnya.158
Hal ini didasarkan pada pandangan beliau bahwa ilmu adalah ibadah hati dan
merupakan shalat secara rahasia dan dapat mendekatkan batin kepada Allah SWT.
Bukanlah yang dimaksud
kebersihan baju, tetapi di dalam hati. Hal itu
ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala:
157
158
Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. (Jakarta: Pustaka Amani), hlm. 11
Ibid., 11
118
119
y‰÷èt/ tΠ#tysø9$# y‰Éfó¡yϑø9$# (#θç/tø)tƒ Ÿξsù Ó§pgwΥ šχθä.Îô³ßϑø9$# $yϑ¯ΡÎ) (#þθãΖtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ
©!$# 'χÎ) 4 u!$x© βÎ) ÿÏ&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝä3‹ÏΖøóムt∃öθ|¡sù \'s#øŠtã óΟçFøÅz ÷βÎ)uρ 4 #x‹≈yδ öΝÎγÏΒ$tã
∩⊄∇∪ ÒΟŠÅ6ym íΟŠÎ=tæ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis159, Maka janganlah mereka mendekati
Masjidilharam160 sesudah tahun ini161 dan jika kamu khawatir
menjadi miskin162. Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan
kepadamu dari karuniaNya, jika dia menghendaki. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Hal ini dapat diperkuat dengan apa yang dikatakan oleh Dr. Mas’ud Haji
Zadeh:
dalam usia dini, pada awalnya anak didik akan mempelajari kepercayaan,
keyakinan atau keimanan secara sederhana yang untuk selanjutnya akan
menemukan pandangan yang lebih luas.163
Dengan penjesan diatas maka hal yang pertama harus dilakukan oleh murid
(penuntut ilmu) adalah membersihkan jiwanya dengan cara membiasakan,
melakukan dan meyakini hal-hal yang baik agar kemudian memudahkannya
dalam menerima pelajaran (ilmu pengetahuan).
159
Maksudnya: jiwa musyrikin itu dianggap kotor, Karena menyekutukan Allah.
Maksudnya: tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. menurut pendapat sebagian Mufassirin
yang lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk keperluan haji dan
umrah atau untuk keperluan yang lain.
161
maksudnya setelah tahun 9 Hijrah.
162
Karena tidak membenarkan orang musyrikin mengerjakan haji dan umrah, Karena pencaharian
orang-orang muslim boleh jadi berkurang.
163
Dr. Mas’ud Haji Zadeh. 2006. Membimbing Anak Mengenal. (Jakarta: LDU Al-Husainy&LKAB),
hlm. 147
160
119
120
2. Mengurangi kesenangan-kesenangan duniawinya dan menjauh dari kampung
halaman hingga hatinya terpusat pada ilmu.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa
Allah tidak menjadikan dua hati bagi seseorang di dalam rongga badannya.
Oleh karena itu dikatakan, “Ilmu itu tidak memberikan sebagiannya hingga
engkau memberinya seluruh milikmu.” 164
Dari perkataan beliau tersebut seorang murid hendaknya mengorbankan apa
yang dimilikinya dengan bersungguh-sungguh dan bekerja keras dalam menuntut
ilmu, meskipun harus jauh dari keluarga dan kampung halamannya. Hal ini
diperkuat oleh Abuddin Nata yang mengatakan:
Dikarenakan banyak berhubungan dengan yang lainnya dalam menuntut ilmu,
dapat menyibukkan hati dan fikirannya, dan apabila hal-hal yang tidak ada
hubungannhya dengan ilmu itu dilakukan, maka di khawatirkan akan
hilangnya semangat dalam menuntut ilmu tersebut dan tujuannya tidak akan
tercapai.165
3. Tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan contoh:
Seperti orang sakit yang gawat memberi kebebasan kepada dokter tanpa
berbuat sewenang-wenang terhadapnya, dengan sesuatu dalam menuntut suatu
macam obat tertentu. Patutlah ia terus berkhidmat kepada guru. Sebagaimana
diriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit menyalati jenazah, tiba-tiba datanglah
seekor bagal (keledai) untuk dinaiki, maka ibnu abbas datang dan memegang
kendalinya. Zaid berkata, “Biarkan dia, wahai putra paman Rasulullah Saw.”
Ibnu Abbas berkata, “Demikianlah kami disuruh memperlakukan para ulama
dan orang-orang besar.” Kemudian Zaid mencium tangannya seraya berkata,
“Demikianlah kami disuruh memperlakukan ahli bait (keluarga) Nabi kita
Saw.”166
164
Imam al-Ghazali. 2007. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Op.Cit., hlm. 11
Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran
Tasawuf Al-Ghazali), Op. Cit., hlm. 106
166
Imam al-Ghazali. 2007. Op.Cit., hlm. 11-12
165
120
121
Dari ungkapan beliau diatas dapat difahami bahwa sesorang yang menuntut
ilmu hendaknya tidak menombongakan dirinya kepada orang lain, terlebih kepada
gurunya sendiri, sebab guru ibarat dokter yang memberikan obat untuk kebaikan
pada pasiennnya, maka murid (sebagai “pasien” guru) hendaknya juga menerima
tanpa harus membangkang. Ilmu itu sendiri enggan kepada orang yang sombong
seperti air yang enggan mengalir ke tempat yang tinggi Sebaliknya seorang murid
haruslah menjaga akhlak (etika), terlebih lagi dihadapan gurunya. Sejalan dengan
hal tersebut
Abuddin Nata yang mengatakan:
Murid memerlukan petunjuk guru menuju keberhasilan dan menjaganya dari
celaka, dan semua itu dapat dicapai dengan ilmu, dan jangan mendahului
suatu pertanyaan, terhadap masalah yang belum dijelaskan oleh guru.167
4. Menghindar dari mendengarkan perselisihan-perselisihan diantara ulama atau
sesama manusia,
Imam al-Ghazali berasumsi:
Hal yang seperti itu (perselisihan-perselisihan diantara ulama atau sesama
manusia) dapat menimbulkan prasangka yang buruk dan juga dapat
menimbulkan kebingungan, keragu-raguan serta kurang percaya terhadap
kemampuan guru. Pada pertama kali hatinya condong kepada segala yang
disampaikan kepadanya, terutama hal-hal yang menyebabkan kemalasan dan
pengangguran, seperti ibadahnya para sufi. Para pemula tidak boleh mengikuti
perbuatan-perbuatan dari orang-orang yang sudah mendalam, hingga sebagian
mereka berkata, “Barangsiapa mengunjungi kami pertama kali, ia pun
menjadi teman. Dan siapa mengunjungi kami pada akhirnya, ia pun menjadi
zindiq.” Pada akhirnya mereka tidak bergerak kecuali dalam mengerjakan
amalan-amalan fardhu. Mereka mengganti amalan sunnah dengan gerakan
167
Abuddin Nata. 2001. Op. Cit., hlm. 106
121
122
hati dan penyaksian yang kekal. Orang yang lalai menganggapnya
pengangguran dan kemalasan.168
Disini terlihat bahwa beliau tidak menghendaki seorang yang masih menuntut
ilmu
(pelajar)
terlibat
mendengarkan
persilisihan
diantara
para
ulama
(cendikiawan), karena dapat mempengaruhi kepercayaannya atas suatu ilmu.
Dapat pula menimbulkan keraguan, terlebih apabila murid meyakini tata cara
ibadahnya para sufi yang bisa mereka anggap sebagai suatu kemalasan, padahal
tingkatan ilmu antara keduanya (sufi dan murid) sangat jauh berbeda.
5. Tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi ia menekuninya hingga
mengetahui maksudnya.
Imam al-Ghazali mengatakan:
Seorang pelajar hendaknya tidak berpindah dari suatu ilmu yang terpuji
kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran
sebelumnya, mengingat bahwa berbagai ilmu itu saling berkaitan satu sama
lain.
Pada hal ini Imam al-Ghazali memaksudkan bahwa seorang murid janganlah
berpindah atau meninggalkan suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabang
ataupun ilmu lainnya, kecuali ia telah memahami ilmu sebelumnya tersebut,
sebab mengingat bahwa berbagai macam ilmu itu satu sama lain saling berkaitan
dan berhubungan. Itulah salah pesan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali
untuk para pelajar atau penuntut ilmu.
6. Mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
Imam al-Ghazali mengatakan:
168
Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 12.
122
123
Jika umur membantunya, ia pun menyempurnakannya (ilmu yang
dipelajarinya). Kalau tidak, ia memilih yang paling penting dan memilih yang
paling penting dapat dilakukan setelah mengetahui seluruhnya.169
Imam al-Ghazali memaksudkan
pernyataan tersebut yaitu mengenai
muamalat dan mukasyafah. Muamalat dapat mendorong kepada mukasyafah
sedangkan mukasyafah adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Itu adalah cahaya
yang dimasukkan Allah Ta’ala di dalam hati yang bersih dengan ibadah dan
mujahadah. Inilah kedudukan yang mencapai tingkat keimanan Abu Bakar ra.
Sebagaimana tersebut dalam hadist, “Andaikata keimanan penduduk bumi
ditimbang dengan keimanan Abu Bakar ra, niscaya unggullah keimanan Abu
Bakar.” Hal itu disebabkan rahasia yang terdapat di dalam dadanya, bukan karena
pengajuan bukti-bukti dan hujjah-hujjah.170
Sejalan dengan hal itu Abuddin Nata juga mengatakan:
Seorang pelajar jangan hanya menenggelamkan diri pada satu bidang ilmu
saja, melainkan harus mengusai ilmu pendukung lainnya, dan tentu memulai
dengan ilmu yang paling penting, baru mendalami bidang ilmu tertentu.171
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
hendaknya para penuntut ilmu (murid), harus dapat memilah mana ilmu yang
paling dasar dan penting bagi kehidupan, tidak hanya didunia namun juga
diakhirat, sehingga ilmu yang paling penting tersebut tentunya dapat
diprioritaskan terlebih dahulu, setelah itu baru kemudian ilmu pendukung lainnya.
169
Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 13.
Ibid., hlm. 13
171
Abuddin Nata. 2001. Ibid., 107.
170
123
124
sebab jika kita sadari sesungguhnya umur atau usia yang tersedia yang kita miliki
tidaklah cukup untuk menguasai semua bidang ilmu.
7. Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya
dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala.
Imam al-Ghazali mengatakan:
Hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya
dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala.dan kepada derajat
tertinggi diantara malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah). Dan
dengan ilmu itu ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta dan pangkat.172
Hal ini didasarkan Iman al-Ghazali pada tujuan belajar untuk memperoleh
kehidupan yang baik di akhirat. Dengan ilmu itu ia tidak mengharapkan
kepemimpinan, harta dan pangkat (kedudukan). Hal itu tidak akan tercapai
kecuali dengan membersihkan jiwa, menghiasi diri dengan keutamaan dan akhlak
yang terpuji, dengan demikian akan memudahkannya mendekatkan diri kepada
Sang pencipta, menjadi hamba Allah yang baik lagi benar. Inilah yang kemudian
menjadi tujuan universal dari pendidikan Islam, sebagaimana yang dikutip
Ahmad Tafsir dari Abdul Fattah Jalal yang mengatakan:
Tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba
Allah, yang hanya mengabdi kepada Allah Swt.173
Oleh sebab itu sebelum murid memulai sesuatu hendaknya ia terlebih dahulu
memperhatikan masalah bathin yang merupakan pokok penting sekaligus asas
perbuatan akhlak. Oleh karenanya tujuan dari belajar pada hakikatnya adalah
172
173
Imam al-Ghazali. Ibid., hlm. 14.
Lihat Ahmad Tafsir. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Op. Cit., hlm46
124
125
untuk mencapai kebaikan hidup kekal di akhirat, sehingga bukan tujuan duniawi
semata, seperti mengejar atau memperoleh harta dan kekuasaan.
3. Akhlak Murid Terhadap Guru menurut Al-Ghazali
Imam al-Ghazali mengatakan:
Hendaknya (murid) tidak mendebat dan banyak argumentasi meski guru
keliru, tidak menggelar sajadah dihadapannya kecuali pada waktu shalat, tidak
memperbanyak shalat sunnah di hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang
diperintahkan oleh gurunya sebatas kemampuannya, tidak mengingkari apa
yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar
ia tidak dicap sebagai hipokrit.174
Dalam kitab Ilmu wa Adab al-Alim wa al-Muta’allim karangan Abdullah
Badran, sebagaimana juga yang dijelaskan Abuddin Nata, disebutkan bahwa;
Sikap atau akhlak murid hampir sama dengan sikap guru, yaitu sikap murid
sebagai pribadi dan juga sebagai penuntut ilmu.175
Dengan demikian seorang murid haruslah bersih hatinya dari kotoran dan
dosa agar dapat dengan mudah dan benar dalam menangkap pelajaran, menghafal
dan mengamalkannya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:
‫ا ان ا اذا ! واذا ت ! اوه ا‬
Artinya: “Ingatlah bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging, jika
segumpal daging tersebut sehat, maka sehatlah seluruh
perbuatannya, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak
pulalah seluruh awalnya (perbuatannya). Ingatlah bahwa segumpal
daging itu adalah hati”176
Selanjutnya seorang murid juga harus bersikap rendah hati terhadap ilmu dan
guru. Karena dengan cara demikian akan memudahkan dalam tercapainya cita174
Ibid., hlm. 26
Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid. Op. Cit., hlm. 102
176
Imam Nawawi. Riyadu as-Shalihin
175
125
126
cita. Ia juga harus menjaga keridhaan sekaligus memuliakan gurunya, dengan
tidak menggunjing gurunya, juga hendaknya jangan menunjukkan perbuatan yang
buruk, bahkan sebisa mungkin mencegah orang lain dari menggunjing gurunya.
Selanjutnya pandai dalam membagi waktu, memahami tata karma dalam majelis
ilmu, berupaya dekat dan menyenangkan hati sang guru, tidak menunjukkan sikap
yang dapat memancing ketidaksenangan atau kemarahan guru, giat belajar serta
sabar dalam menuntut ilmu. Sehingga ia dapat mencapai dari pada tujuan
pendidikan yang dilakukannya. Sebagaimana Prof. Dr. H. Hadari Nawawi
mengatakan:
Tujuan umum pendidikan secara universal adalah mewujudkan kedewasaan
subyek (anak) didik itu sendiri.177
Akhlak yang harus dimiliki oleh murid (anak didik), menurut Imam alGhazali sendiri, sebagaimana disebutkan sebelumnya diatas adalah dengan tidak
mendebat dan banyak argumentasi meskipun guru sudah jelas-jelas keliru, tidak
menggelar sajadah dihadapannya kecuali pada waktu shalat, tidak memperbanyak
shalat sunnah di hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh
gurunya sebatas kemampuannya, tidak mengingkari apa yang ia dengar dan
terima darinya, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar ia tidak dicap sebagai
hipokrit.
Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa pandangan Imam alGhazali terhadap akhlak pelajar juga bersifat sufistik, seperti terlihat pada
177
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan Dalam Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas), hlm. 120
126
127
keharusan berniat mencari ilmu semata-mata untuk beribadah atau dekat dengan
Allah SWT, bersikap zuhud dan memuliakan ilmu akhirat. Selain itu ilmu
tersebut dipelajari secara sistematik, integrated, dimulai dari yang umum
(penting) kemudian yang khusus (lebih spesifik). Namun Imam al-Ghazali kurang
menekankan kepada pelajar untuk terlalu mematuhi syaikh atau guru secara
berlebihan sebagaimana yang biasa terjadi dalam dunia tasawuf, yang
menempatkan syaikh sederajat dengan Nabi bahkan melampauinya. Ibnu Jama’ah
misalnya mengatakan:
Murid harus menaati syaikh, mengagungkan, menempuh cara-cara yang
ditempuh syaikh, sopan dalam majlis ilmu.178
Dalam hal ini, Imam al-Ghazali memposisikan murid sebagai obyek yang bisa
diisi oleh apa dan kapan saja. Sebagaimana yang dikatakan Drs. Syaiful Bahri
Djamarah:
Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau
sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.179
Sehingga terlihat Imam al-Ghazali masih saja melihat murid sebagai murid
tasawuf di depan gurunya. Hal tersebut sangat membahayakan dan bahkan akan
membunuh terhadap karakter dan kreatifitas pola pikir anak didik. Di masa
sekarang, anak didik sudah bukan lagi merupakan obyek yang pasif yang bisa
diisi oleh apa dan kapan saja. Akan tetapi, anak didik adalah pribadi-pribadi yang
178
179
Lihat Abuddin Nata, ibid. hlm. 108.
Drs. Syaiful Bahri Djamarah. 2005. Guru dan Anak Didik. Op. Cit., hlm. 51
127
128
mempunyai peranan sebagai subyek yang aktif dalam proses pembelajaran.
Sehingga, menurut hemat penulis, murid dalam perspektif Imam al-Ghazali perlu
dikembangkan kepada yang lebih membawa kreatifitas dan gairah dalam belajar.
128
129
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, dapat diambil kesimpulan bahwa
menurut Imam al-Ghazali sebagai berikut:
1. Profil guru menurut Imam al-Ghazali yaitu seseorang yang bertugas dan
bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, guru adalah
seseorang yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran, serta
bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta
membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Yang
memiliki Syarat-syarat kepribadian sebagai berikut: a). Bersikap lembut dan
kasih sayang kepada anak didiknya dan harus mencintai muridnya seperti
mencintai anaknya sendiri. b). Tidak menuntut upah dari murid-muridnya. c).
Tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. d). Menjauhi
akhlak yang tercela dengan cara menghindarinya sedapat mungkin, dan harus
memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada,
murah hati dan beraklak terpuji lainnya. e). Tidak mewajibkan kepada para
pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya, dan hendaklah
seorang guru mendorong muridnya mencari pula ilmu dari yang lain dengan
meninggalkan kefanatikan kepada salah seorang guru sedang yang lain tidak.
f). Memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, dan memahami
129
129
130
potensi yang dimiliki anak didik Seorang guru harus mamahami minat, bakat
dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik,
juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak
didiknya. g). Kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan
menjelaskan
suatu
pelajaran
(ilmu
pengetahuan).
h).
Guru
harus
mengingatkan muridnya, agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk
kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tapi untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Guru juga harus mendorong muridnya agar mencari ilmu
yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan
akhirat. i). Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak
didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh
keimanan itu. Seorang guru harus memegang dasar-dasar agama yang prinsip
dan berusaha merealisirnya, diantaranya adalah bersikap adil. Kemudian
menurut beliau, guru memiliki tugas dan tangung jawab sebagai berikut: a).
Memberikan kasih sayang kepada anak didik. b). Mengikuti jejak Rasulallah
dalam tugas dan kewajibannya. c). Menjadi teladan yang baik bagi anak didik.
d). Sebagai Pengarah dan Pembimbing.
2. Profil murid menurut Imam Al-Ghazali yaitu seseorang yang telah mencapai
usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal
pikirannya.
Ia
adalah
seseorang
yang
sudah
mampu
dimintai
pertanggungjawaban dalam melaksanakan aktivitas kewajiban agama yang
dibebankan kepadanya sebagai fardu ‘ain. Seorang al-thalib adalah manusia
130
131
yang telah memiliki kesanggupan untuk memilih jalan kehidupannya,
menentukan apa yang dinilainya baik, dan tidak pula dibebankan kepadanya
untuk berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam
memperolehnya, sebagaimana pula sebaliknya ia bisa menilai atas sesuatu
sebagai yang buruk atau tidak baik untuk ditinggalkan dan kemudian
menyucikan dirinya.. Kemudian menurut beliau, murid memiliki tugas dan
kewajiban sebagai berikut: a). Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak
yang rendah. b). Mengurangi kesenangan-kesenangan duniawinya dan
menjauh dari kampung halaman hingga hatinya terpusat pada ilmu. c). Tidak
sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru, tetapi
memberinya kebebasan. d). Menghindar dari mendengarkan perselisihanperselisihan diantara sesame manusia, karena hal itu menimbulkan
kebingungan. e). Tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi ia
menekuninya hingga mengetahui maksudnya. f). Mengalihkan perhatian
kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. g). Hendaknya tujuan pelajar
dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya dengan sifat yang
menyampaikannya kepada Allah Ta’ala dan kepada derajat tertinggi diantara
malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah). Dan dengan ilmu itu ia tidak
mengharapkan kepemimpinan, harta dan pangkat (kedudukan).
B. Saran-saran
1. Studi pemikiran mengenai pendidikan Islam dari Imam al-Ghazali pada
khususnya dan sarjana-sarjana muslim pada umumnya masih perlu terus
131
132
dilanjutkan, mengingat masih banyak problema pendidikan yang krusial yang
sangat perlu untuk segera diatasi, salah satunya bagaimana kurikulum
pendidikan yang baik dalam ajaran Islam?, sebab kurikulum umum yang
diterapkan saat ini dirasa belum dapat membawa pada tujuan dari hakikat
pendidikan itu sendiri. Penulis disini hanya mengungkapkan sebagian unsur
dari pendidikan tersebut yakni yang terfokus tentang guru dan murid. Dalam
literatur-literatur keIslaman ternyata banyak sekali pemikiran kependidikan
yang dimajukan para filosof Islam dan para ulama yang hingga saat ini belum
digali sepenuhnya. Untuk itu menurut hemat penulis, perlu sekiranya ada mata
kuliah studi naskah tentang sejarah pemikiran pendidikan dari para filosof,
ilmuan dan ulama Islam, sehingga dapat mempermudah nantinya dalam
melakukan kajian atau penelitian yang berhubungan dengan hal tersebut,
terutama pada mahasiswa program pascasarjana sebagai calon “next
generation” pemikir dan mujtahid Islam dimasa yang akan datang.
2. Profil guru dan murid yang bernuansa sufistik atau tasawuf dari Imam alGhazali maupun sarjana muslim lainnya perlu diterapkan, namun tentu
dibarengi dengan penyesuaian-penyesuaian yang ada dimasa sekarang,
terutama dalam membentuk sikap mental kepribadian keagamaan dan akhlak
yang mulia yang merupakan inti tujuan dari pendidikan Islam. Hal ini bagi
penulis, menilai sangatlah penting mengingat sebagian besar pelajar dan juga
para pendidik yang akhir-akhir ini semakin menurun adab dan moralitasnya,
sehingga semakin terasa dampaknya bagi kehidupan bersosial, dan
132
133
kekhawatiran dalam menyiapkan kader “khalifatu fil ard” pemimpin bangsa
dimasa depan.
3. Perlu adanya klarifikasi bagi para pengikut Imam al-Ghazali, yaitu bahwa
sebagai sufi, Imam al-Ghazali ternyata amat bersikap terbuka dalam
menerima paham dari kalangan luar sepanjang tidak bertentangan dengan alQur’an dan as-Sunnah. Imam al-Ghazali tidak anti terhadap logika, filsafat
dan ilmu pengetahuan serta pendapat lainnya yang baik. Namun tentu
berbagai pemikiran dan pandangan dari luar yang kita terima haruslah
disesuaikan dengan syari’at Islam, dan digunakan untuk hal-hal yang
bermanfaat dalam kehidupan sosial maupun keberagamaanya.
133
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub. 1979. Ihya’ Ulumuddin, Cet VI. Semarang: C.V. Faizan.
____________. 1979. Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, terj., Ismail Ya’kub,
Semarang: CV. Faizan.
____________, Terj. Zaid Husein Al-Hamid. 1995. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Jakarta:
Pustaka Amani.
____________, Terj. Ma’ruf Asrori, 2002. Fatihatul Ulum (Buat Pecinta Ilmu),
Surabaya: Pustaka Progressif.
____________, Terj. Masyhur Abadi dan Husein Aziz. 2002. Menuju Labuhan Akhirat,
Surabaya: Pustaka Progressif.
____________, Terj. Rojaya. 2008. Jalan Mudah Menggapai Hidayah; 40 prinsip
agama, Bandung: Pustaka Hidayah.
Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, Surabaya: Bulan Bintang
Athiyah al-Abrasyi, Muhammmad. 1984. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan, Terj. Bustami
A. Gain dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang.
A. Partanto, Pius dan M. Dahlan Al-Banny. 1994. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola,
Al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Ali. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam,
terj., M. Arifin, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Al-Zarnuji, Burhanuddin, Ta’līm al-Muta’allim Tarīq al-Ta’allum, Syarh. Ibrahim bin
Isma’il, Surabaya: al-Hidayah, t.t
Asari, Hasan. 1999. Nukilan Pemikiran Islam Klasik (Gagasan Pendidikan Al-Ghazali),
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
DEPAG RI, Al-Quran dan Terjemahnya. (Semarang: Toha Putra)
Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (suatu
pendekatan teoritis psiklogis). Jakarta: rineka cipta.
D. Marimba, Ahmad, 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif.
Fatchurohmah, Siti. 2006. “Sosok Guru Menurut al-Ghazali dan Zakiah Daradjat”,
Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang.
134
Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM.
Hasan Sulaiman, Fathiyyah. 1993. Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang Aliran
Pendidikan Menurut al-Ghazali, terj., Said Agil Husin Al-Munawar dan Hadri
Hasan, Semarang: Dina Utama.
Hasan Sulaiman, Fathiyah, 1995. Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, Semarang: Dina
Utama.
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. 2001. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Jalaluddin dan Usman Said. 1996. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Perkembangannya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
J. Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda
Karya, Cet. XIX.
Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: AlMa’araif.
____________. 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husana.
____________. 1989. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna.
M. Echols, John dan Hasan Shadily. 1980. Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia.
M. Arifin. 1987. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara.
M. Zainuddin. 2004. Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Muhammad Al-Thoumy Syaibani, Omar. 1979. Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang.
Nasution, Harun, 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
Nata, Abuddin, 1997. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
____________. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, Jakarta:Ciputat Press.
135
Pedoman Penulisan Skripsi. 2009. Fakultas Terbiyah Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
Rusdianto. 2006. Pendekatan Dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali (Kajian
Kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa Maw‘izatihim
Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi)”, Skripsi, Fakultas
Tarbiyah UIN Malang.
Suryabrata, Sumadi. 1989. Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi, Yogyakarta:
Andi Offset.
Syah, Muhibbin 1999. Psikologi Belajar, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Syaodih Sukmadinata, Nana. 1997. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, ,
Bandung: remaja rosdakarya.
Syarkowi. 2005. “Reorientasi Pendidikan Islam (ke Arah Aktualisasi Pemikiran
Pendidikan al-Ghazali dalam Konteks Masa Kini)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah
UIN Malang.
Tafsir, Ahmad, 1984. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tamrin, Dahlan. 1988. Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya, Malang
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel-Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Suatu
Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Abditama.
Uzer Usman, Moh. dan Lilis Setiawati. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar
Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
WJS. Poerwadarmita, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
________. 1991. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan
Islam, Bandung: CV. Diponegoro.
Yatim, Badri, 1993. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
Zainuddin. 2003. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Obor Indonesia
2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS,
Bandung: Citra Umbara.
136
DEPARTEMEN AGAMA
UNVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Gajayana 50 Malang Telp. (0341) 551354 Fax (0341) 572533
BUKTI KONSULTASI
1. Nama
: Yanuar Hadi
2. NIM/Jurusan
: 05110023/Pendidikan Agama Islam
3. Pembimbing
: Drs. H. Moh. Padil, M. Pd.I
4. Judul
: Profil Guru dan Murid Dalam Perspektif Al-Ghazali
No
Tanggal
Hal yang dikonsultasikan
1
10 - 02 – 2009
- Proposal skripsi, perbaikan judul
2
14 – 02 – 2009
- Persetujuan proposal skripsi
3
23 – 02 - 2009
- Bab I, II,
4
02 – 03 - 2009
- Revisi Bab I, II dan ACC
5
15 – 03 - 2009
- Bab III, IV
6
30 – 03 - 2009
- Revisi Bab III, IV dan ACC
7
06 – 04 - 2009
- Bab V
8
07 – 04 - 2009
- Persetujuan skripsi dan ACC
keseluruhan Bab I, II, III, IV, &
V
Tanda Tangan
Malang, 7 April 2009
Mengetahui,
Dekan
Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony
NIP.150 042 031
137
Daftar Riwayat Hidup (Biografi)
Nama
NIM
: Yanuar Hadi
: 05110023
Tempat/Tanggal Lahir: Medan, 10 Januari 1987
Alamat
: Simpang Psr II, Sei Sijenggi,
Kec.
Perbaungan,
Kab.
Bedagai,
Kota
Serdang
Madya.
Medan,
Sumatera
Utara.
Riwayat Pendidikan : 1.1993-1998 : M.I. Al-Washliyah Sei Sijenggi
2.1993-1999 : SDN Sei Sijenggi 105367
3.1999-2002 : M.Ts. Al-Washliyah Perbaungan
4.2002-2005 : M.A.N. Lubuk Pakam
5.2005-2009 : Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang.
Pengalaman Organisasi: 1. Pramuka (SD-Anggota),
2. OSIS (MTs-Bidang Olah Raga)
3. OSIS (MAN-Wakil Ketua Bidang Seni&Da’wah),
4. UKM (Campus-Anggota),
5. LDK (Campus-Anggota),
6. FK3 (Campus-Anggota)
138
Download