Uploaded by dwihdnti97

Analisis Hukum

advertisement
A. Aliran penemuan hukum yang digunakan oleh Hakim
Banyak kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dimana kasus yang
timbul di tengah-tengah masyarakat tersebut belum ada aturan khusus yang secara
eksplisit mengatur mengenai kasus tersebut. Hakim sebagai aparat penegak hukum
yang memiliki kewenangan untuk menerima, mengadili dan memutuskan suatu kasus
permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat ini tidak boleh menolak suatu
perkara dengan alasan tidak ada aturan hukum yang mengatur mengenai kasus
tersebut. Hal ini tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, memberi pengertian bahwa apabila undangundang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat di pakai untuk
menyelesaikan suatu perkara yang timbul di tengah-tengah masyarakat, maka seorang
hakim mempunyai hak dan wewenang untuk membuat peraturan sendiri untuk
menyelesaikan perkara terrsebut, yang disebut yurisprudensi. Yurispudensi adalah
putusan hakim yang memuat peraturan tersendiri dan telah berkekuatan hukum yang
kemudian diikuti oleh hakim yang lain dalam peristiwa yang sama.
Hakim mempunyai kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid) dan
keterikatan yang bebas (vrijegebondenheid). Tugas hakim adalah untuk
menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman, dengan hal-hal yang konkret
yang terjadi dalam masyarakat dan bila perlu menambah undang-undang yang
disesuaikan pada asas-asas keadilan masyarakat
Hakim bisa menciptakan hukum sendiri, sehingga hakim mempunyai
kedudukan tersendiri sebagai pembentuk undang-undang selain Lembaga Pembuat
Undang-undang. Selanjutnya, keputusan hakim dalam memutuskan suatu perkara
yang terdahulu dijadikan dasar pada keputusan hakim lain pada kasus yang serupa.
Sehingga kemudian keputusan ini menjelma menjadi keputusan hakim yang tetap
terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu.
Putusan Nomor 1022 K/Pdt/2006 adalah suatu kasus yang timbul di tengahtengah masyarakat dan belum ada ketentuan hukum yang mengatur, sehingga hakim
berwenang memutuskan perkara tersebut dan menyatakan bahwa Tuan Purba sebagai
tergugat dinyatakan telah meakukan perbuatan melawan hukum karena menolak
untuk menebang pohon mangga miliknya.
Dalam melakukan penemuan hukum terdapat beberapa aliran yang dapat
dilakukan oleh seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara yg tidak diatur secara
jelas dalam peraturan perundang-undangan. Dalam aliran penemuan hukum terbagi
menjadi beberapa aliran. Aliran tersebut diantaranya yaitu aliran legisme, mahzab
historis, begriffsjurispridenz, interessenjurisprudenz, dan freirechtbewegung, dan
yang terbaru yaitu penemuan hukum modern.
Seperti yang terjadi sebuah kasus di wilayah Papua, Tuan Thalib sebagai
penggugat, menggugat Tuan H. Purba Tondang SE sebagai tergugat. Dimana duduk
perkawa awalnya yaitu penguggat membeli sebuah rumah semi permanent di atas
tanah garapan (tanah Negara) dari Bapak Syawal, yang diperoleh dari Bapak Maridy,
Anggota Komplex Polda Irja yang menggarap tanah Negara tersebut, sekitar tahun
1973/1974. Bahwa lokasi tanah dan halaman rumah Penggugat tersebut, sebelah Barat
berbatasan dengan Jalan Lingkungan (Jalan Krisno) tumbuh 2 (dua) buah pohon
mangga milik Tergugat. Sewaktu Penggugat menempati tempat tersebut tahun 1986, 2
(dua) buah pohon mangga milik Tergugat masih kecil, dan yang satu pohon baru
mulai berbuah. Bahwa pada tahun 1993, tanah yang Penggugat tempati telah sah
menjadi milik Penggugat, sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No.637, Surat
Ukur No.114/93, tanggal 9 Januari 1993 (bukti P.1) serta Surat Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) No.648/137/95 (bukti P.2), luas tanah 136 M2, berbatasan dengan
sebagaimana tersebut dalam gugatan. Oleh karena pohon mangga milik Tergugat
makin tahun semakin besar pertumbuhan semakin sulit untuk ditebang dan sangat
mengganggu, serta dikhawatirkan akan mendatangkan bahaya/ kerugian terhadap
bangunan rumah Penggugat dan Warga yang ada di sekitarnya, yang diakibatkan oleh
angina kencang, sehingga pohon mangga milik Tergugat tiba-tiba rubuh, apalagi
pohon dahan dan akar sudah mentiung 75% pada halaman/pekarangan Penggugat,
sebagian dahan ranting dan daun sudah menyatu dengan atap seng bangunan rumah
Penggugat.
Oleh karena itu Penggugat mohon agar dua pohon mangga milik Tergugat
yang tumbuh pada halaman/pekarangan Penggugat dan badan Jalan Lingkungan
(Jalan Krisno) supaya memerintahkan Tergugat untuk segera dimatikan/musnahkan,
sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku, dengan biaya Tergugat,
bahwa sekitar tahun 1998, Penggugat pernah menghubungi RT setempat (Bapak Peltu
Polisi Ngadiman) agar Tergugat mau merelakan pohon mangga untuk ditebang dan
diganti kerugian, namun Tergugat menolak maksud baik Penggugat, akhirnya
Penggugat membuat surat tertanggal 14 September 1998, yang merupakan
laporan/pengaduan (bukti P.3) kepada Bapak Kapolda Irian Jaya, tapi tidak ada
realisasinya. Kemudian pada tanggal 2 Februari 1999, Penggugat membuat surat
permohonan kepada Bapak Walikotamadya Jayapura, dan setelah Tim Gabungan
Walikotamadya mengadakan peninjauan lokasi, dan melaporkan hasil peninjauan
kepada Bapak Walikotamadya Jayapura dengan surat tertanggal 2 Februari 1999.
Berdasarkan hasil peninjauan Tim Gabungan Walikotamadya jayapura,
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura, lalu membuat surat No.525.2/132
tanggal 2 Februari 1999 kepada Tergugat, namun Tergugat dengan suratnya
tertanggal Timika, 10 Maret 1999 secara tegas menolak, dan mempertahankan
kekhilafan Tergugat, yang sama sekali jauh dari fakta dan kenyataan, baik di lapangan
maupun fakta Peta Kelurahan Angkasapura, pada Kantor BPN Kodya Jayapura
ataupun keteranganketerangan dari rekan-rekan Tergugat sendiri.
Di dalam suratnya Tergugat menegaskan, demikian untuk menjadi maklum
dan diharapkan Bapak Asisten (Walikota) berjiwa Reformasi dalam penyelesaian
masalah ini. Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura setelah mempelajari
surat Tergugat tersebut di atas, akhirnya membuat surat kepada Tergugat tanggal 25
Maret 1999 No.593.7/170 secara tegas terhadap Tergugat, apabila di kemudian hari
terjadi suatu kerugian orang lain, adalah merupakan tanggungjawab Saudara Kapten
Polisi H. Purba Tondang, SE. (Tergugat). Dengan demikian Penggugat mohon apabila
Tergugat tidak menghendaki agar 2 (dua) pohon mangga ditebang/dimusnahkan, dan
ternyata di kemudian hari pohon mangga tersebut rubuh akibat angin kencang, serta
merusak bangunan rumah Penggugat dan rumah-rumah Warga yang ada di sekitar,
atau kecelakaan terhadap jiwa orang, maka adalah tanggungjawab Tergugat untuk
mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku.
Oleh karena sesuai fakta dan kenyataan, 2 (dua) mangga milik Tergugat
tumbuh pada badan Jalan Lingkungan (Jalan Krisno) dan sudah pada
halaman/pekarangan rumah Penggugat, dan bukan pada Peta G.S. No.8/1969 (atau
halaman Asrama), maka adalah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad),
oleh karena itu harus dimusnahkan/dimatikan, dengan biaya Tergugat. Oleh karena
gugatan ini berdasarkan fakta dan kenyataan, maka adalah beralasan hukum apabila
putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, walaupun ada upaya hukum lain.
Masuknya perkara adalah sebagai akibat perbuatan Tergugat selaku aparat keamanan
yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan orang banyak,
dan tugas Polri adalah sebagai Pengayom, Pembimbing dan Pelindung Masyarakat,
oleh karena itu harus berjiwa Reformasi dalam peneyelesaian permasalahan ini.
Dalam kasus tersebut, hakim melakukan sebuah penemuan hukum, yang
menggunakan aliran Legisme. Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum itu berasal
dari kehendak penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk undang-undang.
Jadi semua hukum terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan pandangan ini hakim
hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya
dengan bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal. Aliran ini juga
mengabaikan hukum kebiasaan dan yurisprudensi. Hal tersebut dikarenakan
pembentuk undang-undang ingin mencegah ketidakpastian dan ketidakseragaman
hukum. Usaha kearah kodifikasi ini hanya dapat dipahami melalui ajaran tentang
pembagian kekuasaan yang mendapat pengaruh dari Montesquieu dan harus dilihat
dengan latar belakang pandangan negara liberal.
B. Metode penemuan hukum yang digunakan Hakim
Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak jelas dan
tidaklah lengkap. Oleh karena itu kita, harus diketemukan hukumnya dengan
menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya.
Untuk menemukan hukum maka digunakanlah metode penemuan hukum
dalam hal peraturan perundang-undangannya yang tidak jelas. Metode dalam
penemuan hukum terbagi menjadi dua, yaitu interpretasi hukum dan konstruksi
hukum. Interpretasi hukum yaitu penafsiran perkataan di dalam undang-undang, tetapi
tetap berpegang pada kata-kata atau bunyi dari peraturannya. Dalam metode
interpretasi hukum terdapat beberapa jenis, yaitu : interpretasi subsumptif, interpretasi
gramatikal, interpretasi ekstensif, interpretasi sistematif, interpretasi sosiologis,
interpretasi historis, triktif, dan interpretasi futuristis.
Sedangkan metode konstruksi mempunyai pengertian penalaran logis untuk
mengembangkan suatu ketentuan di dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang
pada kata-katanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem.
Dalam metode kontruksi pun terbagi lagi menjadi beberapa jenis metode yaitu
anallogi (argumentum peranalogian), argumentum a’contrario, rechtsvervijnings, dan
fiksi hukum.
Dalam kasus yang kami angkat, metode yang digunakan oleh hakim dalam
kasus yang terjadi di wilayah Papua dengan Putusan Nomor 1022 K/Pdt/2006 dimana
Tuan Thalib sebagai penggugat, menggugat Tuan H. Purba Tondang SE sebagai
tergugat dengan pasal 1365 KUHPerdata, hakim dalam kasus ini menggunakan
metode interpretasi dengan jenis interpretasi gramatikal. Interpretasi gramatikal yaitu
menafsirkan kata-kata yang ada di dalam undang-undang sesuai dengan kaidah tata
bahasa. Kata-kata atau teks dari suatu peraturan perundang-undangan dicari
maknanya yang oleh pembentuk undang-undang tersebut tersebut digunakan sebagai
simbol terhadap suatu peristiwa. Hukum memerlukan bahasa. Untuk mengetahui
makna ketentuan undang-undang maka ditafsirkan atau dijelaskan dengan
menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari.
Disamping itu hakim dalam kasus ini pun menggunakan metode interpretasi
teologis/sosiologis dimana hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
pembentuk undang-undang. Lebih diperhatikan tujuan dari undang-undang daripada
bunyi kata-kata saja. Disini hakim mencari tujuan peraturan perundang-undangan.
Interpretasi ssosiologis terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dimana peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang
yang sudah usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan
sengketa yang terjadi saat ini. Metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam
undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
Tuan Thalib menguggat dengan pasal 1365 KUHPerdata yaitu perbuatan
melawan hukum, yang menyatakan “Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.”
Apabila kita lihat dari kasus tersebut perbuatan Tuan Purba sebagai tergugat
dapat dikategorikan melakukan hal yang telah melanggar hak subjektif. Menurut
yurisprudensi yang dimaksud hak subjektif orang lain adalah hak-hak kebendaan
maupun hak-hak absolut lainnya; hak-hak pribadi (hak atas integritas dan integritas
badaniah, kehormatan serta nama baik, dsb); hak-hak khusus seperti hak penghunian
yang dimiliki penyewa, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih, dll.
Arti dari akibat perbuatan melawan hukum diperluas sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Sebab dalam putusan, akibatnya tertuang bahwa karena ada pohon
mangga yang besar tersebut, masyarakat menjadi resah ditakutkan jatuh menimpa
rumah milik Tuan Thalib.
Menafsirkan bukan merupakan kegiatan yang rasional logis. Dalam
menggunakan berbagai metode interpretasi hasilnya dapat berbeda. Hakim harus
mengambil pilihan dan menimbang karena ia memiliki kebebasan dalam menafsirkan
sesuai dengan pandangan dan penilaiannya yang ditentukan oleh pandangan
pribadinya tentang pertanyaan putusan manakah yang paling dapat diterima oleh
masyarakat. Karena putusannya haruslah mendasar pada kepatutan dan kelayakan.
Dalam pertimbangan putusannya, hakim tidak pernah mengemukakan alasan apakah
yang menentukan untuk memilih metode tertentu. Karena yang diutamakan adalah
hasilnya, penyelesaian masalah, dan putusan yang memuaskan yang dianggap adil
bagi masyarakat. Oleh karena itu, penafsiran hanyalah sebagai alat bantu dalam
melakukan sebuah penemuan hukum.
Download