2.1 Perekonomian Dua Faktor Perekonomian dua faktor adalah perekonomian yang terdiri dari faktor perusahaan dan faktor rumah tangga. Dalam perekonomian tidak terdapata pajak dan pengeluaran pemerintah. Perekonomian itu juga tidak melakukan perdagangan luar negeri dan dengan demikian perekonomian itu tidak melakukan kegiatan ekspor dan impor. Dalam perekonomian dua faktor sumber pendapatan yang diperoleh rumah tangga adalah dari perusahaan. Pendapatan ini meliputi gaji, upah, sewa, bunga dan keuntungan adalah sama nilainya dengan pendapatan nasional. Dan oleh karena itu pemerintah tidak memungut pajak maka pendapatan nasional (Y) adalah sama dengan pendapatan disposebel (Yd) atau Y = Yd. Pendapatan yang digunakan rumah tangga akan digunakan untuk dua tujuan yaitu untuk pengeluaran konsumsi dan ditabung. Tabungan ini akan dipinjamkan kepada penanam modal atau nvestor dan akan digunakan untuk memebeli barang – barang modal seperti mesin – mesin, peralatan produksi lain, mendirikan bangunan pabrik dan bangunan kantor. CIRI-CIRI ALIRAN PENDAPATAN DALAM PEREKONOMIAN DUA FAKTOR 1. Sebagai balas jasa kepada penggunaan faktor-faktor produksi yang dimiliki faktor rumah tangga oleh faktor perusahaan, faktor rumah tangga akan memperoleh aliran pendapatan berupa gaji, upah, sewa, bunga, dan untung. 2. Sebahagian besar dari berbagai jenis pendapatan yang diterima oleh faktor rumahtangga akan di gunakan untuk konsumsi, yaitu membeli barang-barang dan jasa-jasa yang di hasilkan oleh faktor perusahaan. 3. Sisa dari berbagai jenis pendapatan rumahtangga yang tidak di gunakan untuk pengeluaran konsumsi akan di tabung dala institusi-institusi keuangan. 4. Pengusaha-pengusaha yang memerlukan modal untuk melakukan investasi akan meminjam tabungan yang dikumpulkan oleh institusi-institusi keuangan dari faktor rumahtangga. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengeluaran Rumah Tangga. Diantara faktor-faktor tersebut, yang paling penting adalah pendapatan rumah tangga yang telah dikurangi pajak pendapatan. Karena dalam perekonomian dua faktor tidak terdapat kegiatan pemerintah, berarti tidak terdapat pajak pendapatan dan pajak-pajak lainnya, pendapatan disposebel adalah sama dengan pendapatan Nasional. Semakin tinggi pendapatan disposebel yang diterima oleh rumah tangga, semakin besar pula konsumsi yang akan mereka lakukan. Akan tetapi pertambahan konsumsi yang akan terjadi lebih rendah daripada pertambahan pendapatan yang berlaku. Maka makin lama kelebihan konsumsi rumah tangga yang wujud (kalau dibandingkan dengan pendapatan yang diterimanya) akan menjadi bertambah kecil Adapun hubungan diantara konsumsi dan pendapatan Yd = C + S Keterangan : Yd : Pendapatan disposebel C : Konsumsi rumah tangga S : Tabungan Fungsi Konsumsi Dan Fungsi Tabungan Konsumsi (Consumption) adalah Kegiatan mengurangi nilai guna barang dan jasa, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Alat untuk melakukan konsumsi adalah dengan menggunakan pendapatan, maka kossumsi juga sering dartikan bagian pendapatan masyarakat yang digunakan untuk membeli barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan. Bagi masyarakat yang berpenghasilan kecil seluruh pendapatannya akan habis dipergunakan untuk keperluan konsumsi.Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di antara tingkat komsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional (pendapatan disposebel) perekonomian tersebut. Jika dirumuskan Y=C Keterangan : Y = Yield (pendapatan) C = Consumption( konsumsi) Faktor yang mempengaruhi konsumsi ; pendapatan, komposisi keluarga, lingkungan, kepribadian, motivasi, sikap,budaya dan perkiraan masa depan. Tabungan (saving) adalah bagian pendapatan masyarakat yang tidak digunakan untuk konsumsi. Masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih besar dari kebutuhan konsumsi akan mempunyai kesempatan untuk menabung Dalam perekonomian sederhana Pendapatan Nasional akan digunakan untuk : Konsumsi dan Tabungan. Fungsi tabungan adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di antara tingkat tabungan rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional (pendapatan disposebel) perekonomian tersebut. Maka jika dirumuskan : Y=C+S Keterangan : Y = Yield (pendapatan) C = Consumption( konsumsi) S = Saving (tabungan) Faktor yang mempengaruhi tabungan ; pendapatan, tingkat bunga, motif berjaga-jaga. Fungsi Konsumsi Agregat Dan Fungsi Tabungan Agregat Dalam membahas mengenai pengeluaran konsumsi dan tabungan dari rumahtanggarumahtangga, yang lebih penting untuk diperhatikan bukanlah pengeluaran konsumsi dan tabungan sesuatu rumahtangga tetapi pengeluaran konsumsi dan tabungan dari seluruh rumahtangga. Pengeluaran konsumsi dan tabungan dari seluruh masyarakat dalam perekonomian dinamakan pengeluaran konsumsi agregat dan tabungan agregat. Pengeluaran konsumsi agregat adalah jumlah daripada pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh seluruh rumahtangga yang ada dalam perekonomian. Demikian juga, tabungan agregat adalah jumlah dari tabungan-tabungan yang dibuat oleh seluruh rumah tangga. Ciri-ciri daripada pengeluaran konsumsi agregat tidak berbeda dengan ciri-ciri pengeluaran konsumsi suatu rumahtangga, dan ciri-ciri tabungan agregat tidak berbeda dengan ciri-ciri tabungan suatu rumahtangga. Karena suatu perekonomian terdiri dari beribu-ribu atau berjuta-juta rumahtangga, kemungkinannya adalah kecil sekali bahwa fungsi konsumsi agregat adalah sama dengan fungsi konsumsi suatu rumahtangga. Bentuk fungsi konsumsi agregat bukan ditentukan oleh bentuk fungsi konsumsi suatu rumahtangga tetapi oleh fungsi konsumsi dari sebagian besar rumahtangga dalam perekonomian. Apabila banyak diantara mereka berkecondongan untuk menabung bagian yang cukup besar daripada pertambahan pendapatan mereka, maka fungsi konsumsi agregat tidak terlalu condong (lebih landai) bentuknya. Ini berarti kecondongan mengkonsumsi marginal adalah tidak terlalu besar. Akan tetapi apabila sebagian besar masyarakat membelanjakan hamper seluruh pendapatannya untuk konsumsi, maka fungsi konsumsi agregat bentuknya sangat condong, dan berarti bahwa kecondongan mengkonsumsi marginal sangat tinggi. Investasi Investasi (investment) adalah bagian dari tabungan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi menghasilkan barang dan jasa (produksi) yang bertujuan mendapatkan keuntungan. Jika tabungan besar, maka akan digunakan untuk kegiatan menghasilkan kembali barang dan jasa (produksi). Tabungan akan digunakan untuk investasi. Demikianlah, dari ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jika investasi neto positif (investasi bruto lebih besar daripada penyusutan), perekonomian itu mengalami kemajuan. Jika investasi neto bernilai nol (investasi bruto sama dengan penyusutan), dikatakan bahwa perekonomian yang bersangkutan berada dalam keadaan stasioner. Sementara itu, jika investasi neto bernilai negative (investasi bruto lebih kecil daripada penyusutan), perekonomian itu mengalami kemunduran. Investasi mempunyai dampak sangat besar terhadap bertambahnya pendapatan nasional. Bila dirumuskan : Y=C+S Y=C+I Sehingga I = S Keterangan: Y (yield) : pendapatan C (consumption) : konsumsi S (saving) : tabungan 2.2 Perdagangan Internasional antar dua perekonomian dalam model dua faktor Dalam asumsi model Heckscher-Ohlin perdagangan internasional terjadi ketika dua negara (Dalam dan Luar Negeri) yang memiliki: 1. Selera yang sama 2. Teknologi yang sama 3. Sumber daya berbeda 4. Negara tuan rumah memiliki rasio tenaga kerja lebih tinggi negara asing Harga Relatif dan Pola Perdagangan a. Faktor Kelangkaan Negara asal lebih banyak dibandingkan dengan negara asing (dan negara asing lebih banyak dibandingkan dengan negara asal) hanya jika rasio jumlah tenaga kerja total terhadap jumlah total lahan yang tersedia di negara asal lebih besar daripada di negara asing: L / T> L * / T * Contoh: jika Amerika memiliki 80 juta pekerja dan 200 juta hektar tanah, sementara Inggris memiliki 20 juta pekerja dan 20 juta hektar tanah, maka Inggris berlimpah tenaga kerja dan Amerika berlimpah tanah. Dalam hal ini, faktor kelangkaan di negara asal adalah tanah dan di negara Asing adalah tenaga kerja Ketika kedua negara berdagang satu sama lain, harga relatif mereka bertemu. Harga di negara tuan rumah akan meningkat dan menurun di negara asling Asing. Di negara asal, kenaikan harga relatif mengarah ke peningkatan produksi dan penurunan konsumsi relatif, sehingga negara tuan rumah menjadi pengekspor dan importir. Dalam Teorema Heckscher-Ohlin, suatu negara akan mengekspor komoditas yang menggunakan secara intensif faktor yang melimpah dan mengimpor komoditas yang menggunakan faktor langka secara intensif. b. Perdagangan dan Distribusi Pendapatan Perdagangan menghasilkan konvergensi harga relatif. Perubahan harga relatif memiliki efek kuat pada pendapatan relatif tenaga kerja dan pemilik lahan di kedua negara. Di negara tuan rumah, di mana harga relatif. Buruh menjadi lebih baik dan pemilik lahan merugi. Di negara Asing, di mana harga relatif jatuh, yang terjadi adalah sebaliknya: Buruh menjadi lebih buruk dan pemilik tanah lebih baik. Pemilik faktor yang melimpah di suatu negara memperoleh keuntungan dari perdagangan, tetapi pemilik faktor yang langka di suatu negara akan kalah. Perbedaan antara model faktor spesifik dan model Heckscher-Ohlin dalam hal efek distribusi pendapatan. Kekhususan faktor untuk industri tertentu seringkali hanya masalah sementara. Contoh: Pembuat garmen tidak dapat menjadi produsen komputer dalam semalam, tetapi saat ekonomi A.S. dapat mengalihkan pekerjaan manufakturnya dari sektor yang menurun ke sektor yang sedang berkembang. Sebaliknya, efek perdagangan pada distribusi pendapatan di antara lahan, tenaga kerja, dan modal lebih atau kurang permanen c. Pemerataan Harga Faktor Dengan tidak adanya perdagangan: tenaga kerja tidak akan menghasilkan apa-apa di negara tuan rumah daripada di negara Asing, dan pemilik tanah akan mendapat lebih banyak. Dalam Teorema Pemerataan Faktor-Harga, perdagangan internasional mengarah pada penyetaraan penuh dalam pengembalian relatif dan absolut untuk faktor-faktor homogen di seluruh negara. Ini menyiratkan bahwa perdagangan internasional adalah pengganti untuk mobilitas faktor internasional Tiga asumsi penting untuk prediksi penyamaan harga faktor ternyata tidak benar. Kedua negara menghasilkan barang. Kedua negara memiliki teknologi yang sama dalam produksi. Kedua negara memiliki harga barang yang sama karena perdagangan. Satu hal yang tidak dikatakan oleh teorema pemerataan harga-faktor adalah perdagangan internasional akan menghilangkan atau mengurangi perbedaan internasional dalam pendapatan per kapita 2.3 Keunggulan Komparatif dan Perdagangan Bebas Teori Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage Theory) Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo untuk melengkapi teori Adam Smith yang tidak mempersoalkan kemungkinan adanya negara-negara yang sama sekali tidak mempunyai keuntungan mutlak dalam memproduksi suatu barang terhadap negara lain, misalnya negara yang sedang berkembang terhadap negara yang sudah maju. Keunggulan komparatif (Comparative Advantages) adalah keuntungan atau keunggulan yang diperoleh suatu negara dari melakukan spesialisasi produksi terhadap suatu barang yang memiliki harga relatif (relative price) yang lebih rendah dari produksi negara lain. Atau, dengan kata lain, suatu negara hanya akan mengekspor barang yang mempunyai keunggulan komparatif tinggi dan mengimpor barang yang mempunyai keunggulan komparatif rendah. Menurutnya, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Untuk melengkapi kelemahan-kelemahan dari teori Adam Smith, Ricardo membedakan perdagangan menjadi dua keadaan yaitu: 1. Perdagangan dalam negeri. 2. Perdagangan luar negeri. Menurut Ricardo, keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku di dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar biaya tenaga kerja, karena adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi tenaga kerja dan modal. Karena itu masing-masing tempat akan melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang tertentu apabila memiliki biaya tenaga kerja yang paling kecil. Sedangkan untuk perdagangan luar negeri tidak dapat didasarkan pada keuntungan atau biaya mutlak. Karena faktor-faktor produksi di dalam perdagangan luar negeri tidak dapat bergerak bebas sehingga barang-barang yang dihasilkan oleh suatu negara mungkin akan ditukarkan dengan barang-barang dari negara lain meskipun ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang tersebut berlainan. Teori Keunggulan Komparatif ini berlandaskan pada asumsi: 1. Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya. 2. Perdagangan internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang. 3. tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran 4. Produksi dijalankan dengan biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak berpengaruh. 5. Faktor produksi sama sekali tidak mobile antar negara. Oleh karena itu, suatu negara akan melakukan spesialisasi dalam produksi barang-barang dan mengekspornya bilamana negara tersebut mempunyai keuntungan dan akan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan jika mempunyai kerugian dalam memproduksi. David Ricardo berpendapat bahwa meskipun suatu negara mengalami kerugian mutlak (dalam artian tidak mempunyai keunggulan mutlak dalam memproduksi kedua jenis barang bila dibandingkan dengan negara lain), namun perdagangan internasional yang saling menguntungkan kedua belah pihak masih dapat dilakukan, asalkan negara tersebut melakukan spesialisasi produksi terhadap barang yang memiliki biaya relatif terkecil dari negara lain. Dengan kata lain, setiap negara akan memperoleh keuntungan jika masing-masing melakukan spesialisasi pada produksi dan ekspor yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih murah, dan mengimpor apa yang dapat diprosukdinya pada biaya yang relatif lebih mahal. Ini menjelaskan bahwa mengapa suatu negara yang memiliki sumber daya sangat lengkap, negara tersebut memilih mengimpor atau mengekspor daripada memproduksi untuk digunakan sendiri. Menurut hukum keunggulan komparatif, meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua jenis komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor barang yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian komparatif). Teori yang dikemukakan oleh Kaum Klasik dalam teori perdagangan internasional, berdasarkan atas asumsi berikut ini : a. Memperdagangkan dua barang dan yang berdagang dua negara. b. Tidak ada perubahan teknologi. c. Teori nilai atas dasar tenaga kerja. d. Ongkos produksi dianggap konstan. e. Ongkos transportasi diabaikan (= nol). f. Kebebasan bergerak faktor produksi di dalam negeri, tetapi tidak dapat berpindah melalui batas negara. g. Persaingan sempurna di pasar barang maupun pasar faktor produksi. h. Distribusi pendapatan tidak berubah. i. Perdagangan dilaksanakan atas dasar barter. Untuk mempertegas teorinya, David Ricardo memberlakukan beberapa asumsi, yaitu : 1) Hanya ada 2 negara yang melakukan perdagangan internasional. 2) Hanya ada 2 barang (komoditi) yang diperdagangkan. 3) Masing-masing negara hanya mempunyai 1 faktor produksi (tenaga kerja) 4) Skala produksi bersifat “constant return to scale”, artinya harga relatif barang-barang tersebut adalah sama pada berbagai kondisi produksi. 5) Berlaku labor theory of value (teori nilai tenaga kerja) yang menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu barang (komoditi) dapat dihitung dari jumlah waktu (jam kerja) tenaga kerja yang dipakai dalam memproduksi barang tersebut. 6) Tidak memperhitungkan biaya pengangkutan dan lain-lain dalam pemasaran. Selain itu, David Ricardo (1772-1823) juga menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau barang tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang tersebut dapat digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu barang, karena barang itu memiliki nilai guna yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David Ricardo juga membuat perbedaan antara barang yang dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai dengan kemauan orang, di lain pihak ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang monopoli (misalnya lukisan dari pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh di lereng gunung tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang sifatnya terbatas tersebut nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai dengan kerelaan membayar dari para calon pembeli. Sedangkan untuk barang yang dapat ditambah produksinya sesuai dengan keinginan maka nilai penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang diperlukan. Contoh Bentuk Kegiatan Perdagangan Berdasarkan Teori Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage Theory) Berikut ini tabel berdasarkan keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo : Tabel Hasil Kerja Satu Orang Per Hari. Negara Produksi kain Produksi anggur Inggris 40 yard 30 botol Portugal 50 yard 75 botol Dari tabel di atas dapat dilihat ternyata Inggris tidak memiliki keunggulan mutlak baik dalam produksi kain maupun produksi anggur, tetapi menurut David Ricardo antara Inggris dan Portugal tetap bisa melakukan perdagangan yang saling menguntungkan dengan cara membandingkan biaya relatif masing-masing produk. Berdasarkan perhitungan efisiensi biaya relatif, terbukti bahwa : - Inggris memiliki keunggulan komparatif pada produksi kain. - Portugal memiliki keunggulan komparatif pada produksi anggur. Perhitungan tabel: - Di Inggris, 1 yard kain = 0,75 anggur (30 botol : 40 yard) yang ternyata lebih murah dibandingkan dengan harga kain di Portugal yaitu 1 yard kain = 1,5 anggur (75 botol : 50 yard). - Di Portugal, 1 botol anggur = 0,67 yard kain (50 yard : 75 botol), yang ternyata lebih murah dibandingkan dengan harga anggur di Inggris yaitu 1 botol anggur = 1,33 yard kain (40 yard : 30 botol). Perhitungan Keuntungan: 1. Inggris Spesialisasi Produk Kain Data Dasar Tukar Kain Negara Produksi Kain Produksi Anggur DTDN Inggris 40 yard 30 botol 1 yard kain = 30/40 = 0,75 botol anggur Portugal 50 yard 75 botol 1 yard kain = 75/50 = 1,5 botol anggur Keuntungan Inggris menjual kain ke Portugal : DTLN (Portugal) : 1 yard kain = 1,5 botol anggur DTDN (Inggris) : 1 yard kain = 0,75 botol anggur Keuntungan Inggris menjual 1 yard kain adalah sebanyak 0,75 botol anggur. 2. Portugal Spesialisasi Produk Anggur Data Dasar Tukar Anggur Negara Produksi Kain Produksi Anggur DTDN Inggris 40 yard 30 botol 1 botol anggur = 40/30 = 1,33 yard kain Portugal 50 yard 75 botol 1 botol anggur = 50/75 = 0,67 yard kain Keuntungan Portugal menjual anggur ke Inggris : DTLN ( Inggris ) : 1 botol anggur = 1,33 yard kain DTDN ( Portugal ) : 1 botol anggur = 0,67 yard kain Keuntungan Portugal menjual 1 botol anggur adalah sebanyak 0,67 yard kain Berdasarkan ilustrasi diatas, dapat dilihat bahwa spesialisasi kain di Inggris 1 yard kain = 0,75 anggur, sedangkan di Portugal 1 yard kain = 1,5 anggur. Jika Inggris menukarkan kain dengaan anggur di Portugal, maka akan mendapatkan keuntungan sebesar 0,75 anggur yang diperoleh dari (1,5 anggur - 0,75 anggur = 0,75 anggur ). Sementara untuk spesialisasi di Portugal 1 botol anggur = 0,67 yard kain, sedangkan di Inggris 1 botol anggur = 1,33 yard kain. Jika Portugal menukarkan anggur dengan kain, maka akan mendapatkan keuntungan sebesar 0,67 yard yang diperoleh dari (1,33 yard - 0,67 yard = 0,67 yard) Terdapat beberapa kelemahan Teori Keunggulan Komparatif, antara lain : 1. Perbedaan fungsi faktor produksi (tenaga kerja) menimbulkan terjadinya perbedaan produktivitas ataupun perbedaan efisiensi. Akibatnya, terjadi perbedaan harga barang sejenis diantara dua negara 2. Jika fungsi faktor produksi (tenaga kerja) atau produktivitas dan efisiensi di dua negara sama, maka tentu tidak akan terjadi perdagangan internasional karena harga barang sejenis akan menjadi sama di dua negara 3. Tidak dapat dijelaskan mengapa terjadi perbedaan harga untuk barang atau produk sejenis walaupun fungsi faktor produksi (produktivitas dan efisiensi) di kedua negara sama. 4. Adanya perbedaan jumlah faktor produksi yang dimiliki oleh masing-masing negara Terdapat suatu pengecualian terhadap hukum keunggulan komparatif. Hal ini terjadi jika kerugian absolut (mutlak) yang dimiliki oleh suatu negara pada kedua komoditi sama besarnya. Sebagai contoh, disajikan dalam tabel berikut ini: GANDUM AMERIKA SERIKAT INGGRIS 6 3 KAIN 4 2 Apabila di Inggris dalam satu jam kerja dapat memproduksi 3 karung gandum, maka produktivitas Inggris dalam memproduksi kain dan gandum adalah setengahnya dari produktivitas Amerika (6 x ½ = 3). Inggris (dan Amerika) oleh karenanya tidak akan memiliki keunggulan komparatif pada kedua komoditi tersebut sehingga tidak akan terjadi perdagangan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Alasan mengapa terjadi hal seperti ini adalah Amerika Serikat hanya akan melakukan perdagangan hanya jika negara ini dapat menukarkan 6 karung gandum dengan lebih dari 4 meter kain. Namun, saat ini Inggris tidak akan bersedia untuk menukarkan 4 meter kain untuk memperoleh 6 karung gandum dari Amerika Serikat karena Inggris dapat memproduksi sendiri sebesar 6 karung gandum maupun 4 meter kain dengan menggunakan 2 jam kerja. Dalam situasi seperti ini, tidak akan ada perdagangan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Dasar pemikiran Ricardo mengenai penyebab terjadinya perdagangan antarnegara pada prinsipnya sama dengan dasar pemikiran dari Adam Smith (Teori Keunggulan Mutlak), namun berbeda pada cara pengukuran keunggulan suatu negara, yakni dilihat komparatif biayanya, bukan perbedaan absolutnya. Kelemahan-kelemahan dari teori keunggulan komparatif antara lain timbulnya ketergantungan dari Dunia Ketiga terhadap negara-negara maju karena keterbelakangan teknologi. Fakta lain, saat ini negara-negara maju pun bisa membuat sendiri apa yang menjadi spesialisasi negara berkembang (misalnya pertanian) dan melakukan proteksionisme. Alih teknologi-produksi yang terjadi, misalnya barang-barang spesialisasi dari Indonesia yang dijual ke Jepang akan dijual lagi ke Indonesia dengan harga dan bentuk yang lebih bagus, seperti karet menjadi ban dan juga membuat negara-negara berkembang sulit bersaing keuntungan. Perusahaan seperti Honda membuat bahan motor di negara-negara spesialisasi. Dengan adanya kelemahankelemahan tersebut, teori ini sebenarnya hanya cocok untuk perdagangan internasional antar negara maju. Sebenarnya melalui konteks sejarah kita bisa mengetahui hal tersebut karena Ricardo hanya melihat Inggris dan negara-negara maju plus Amerika Latin dalam penyusunan teorinya tersebut. Pada masa Ricardo, belum ada pengamatan serius dan mendalam yangmengarah pada negara-negara di Dunia Ketiga. Wajar jika ketika negara-negara di Dunia Ketiga mulai masuk dalam struktur ekonomi-politik internasional, ada beberapa hal dari teori perbandingan komparatif Ricardo yang menimbulkan berbagai kerugian di pihak negara-negara Dunia Ketiga. 2.4 Bukti Empiris Model Heckscher-Ohlin Uji empiris pertama terhadap keberlakuan atau validitas teori Heckscher-Ohlin dilakukan oleh Wassily Leontief pada tahun 1951. Dalam penelitiannya, Leontief menggunakan data-data perdagangan Amerika Serikat untuk tahun 1947. Mengingat pada dasarnya Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang melimpah faktor produksi modalnya, maka Leontief menduga, atas dasar apa yang dikemukan oleh model Heckscher-Ohlin, bahwa negara ini tentunya akan mengekspor komoditi-komoditi padat modal dan mengimpor komoditi padat tenaga kerja yang merupakan faktor produksi langka di negara itu. Sejak usianya Perang Dunia Kedua sampai sekarang ini, Amerika Serikat merupakan negara yang lebih makmur dibandingkan dengan hampir semua negara lain di dunia. Pekerja- pekerja di Amerika Serikat bisa bekerja dengan nisbah modal terhadap tenaga kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja-pekerja di negara lain. Meskipun beberapa negara di Eropa Barat dan Jepang dewasa ini telah mampu menandingi keperkaasaan ekonomi Amerika, namun Amerika Serikat masih merupakan negara yang memiliki peringkat tinggi dalam nisbah modal kerja. Atas dasar kenyataan itu pula, maka sesuai model yang baru kita pelajari wajar saja kalau kita memperkirakan bahwa Amerika Serikat merupakan pengekspor barang-barang yang padat modal dan pengimpor barang-barang padat karya. Namun, yang mengejutkan, kenyataanya tidaklah demikian. Dari penelitian itu Leontief (peraih Hadiah Nobel Bidang Ekonomi di tahun 1973) menemukan bahwa Amerika Serikat itu ternyata banyak sekali mengekspor barang-barang yang justru kurang padat modal kalau dibandingkan dengan barang-barang yang diimpornya. Hasil temuan ini, yang tetap menjadi sumber kontroversi selama bertahun-tahun, dikenal sebagai Paradoks Leontief (Leontief Paradoks). Ini adalah bukti tunggal terbesar yang menggoyahkan keberlakuan atau kesahihan teori proporsi faktor Heckscher-Ohlin. Untuk keperluan pengujiannya, Leontief menggunakan tabel Input-Output dari perekonomian Amerika Serikat untuk mengkalkulasikan jumlah tenaga kerja dan modal dalam satuan “himpunan Perwakilan” yang melambangkan ekspor impor Amerika Serikat senilai $1 juta untuk tahun 1947. (catatan: tabel input-uotput adalah sebuah tabel yang memperlihatkan asal dan tujuan sebuah produk dalam perekonomian. Leontief sendiri memberikan kontribusi penting bagi perkembangan konsep tabel ini, dan atas jasanya itulah maka ia memenangkan hadiah nobel untuk ilmu ekonomi pada tahun 1973) Hal penting lainnya yang perlu dicatat adalah Leontief menggunakan rasio K/L untuk substitusi impor Amerika Serikat, bukan impornya sendiri. Ada pun yang dimaksud dengan substitusi impor (impor substitution) itu adalah berbagai komoditi yang diproduksi di dalam negeri namun juga diimpor dari negara lain (misalnya mobil); pola seperti lazim terjadi sehubungan dengan berlakunya prinsip spesialisasi yang tidak lengkap dalam produksi. Leontief terpaksa menggunakan data substitusi impor Amerika Serikat karena data perdagangan dari negar-negara lain yang mencatat impor actual Amerika Serikat tidak tersediaa Namun itu tidak menjadi masalah karena Leonttief dapat memberi penjelasan yang masuk akal bahwa sekalipun substitusi impor Amerika Serikat cenderung lebih padat modal ketimbang impor aktualnya (karena modal merupakan faktor produksi yang relatif murah di Amerika Serikat bila dibandingkan dengan yang ada diluar negeri), tetap saja substitusi impor itu tidak bersifat tenaga kerja kalau dibandingkan dengan ekspornya. Seandainya hal tersebut terlihat dalam analisis empirisnya, maka model Heckscher-Ohlin pun memperoleh bukti empiris yang kuat. Tentu saja penggunaan data-data Amerika Serikat mengenai substitusi impor, bukanya data dari negara lain mengenai impor aktual Amerika Serikat, akan menimbulkan sedikit bias dalam kalkulasi komoditi. Artinya komoditi-komoditi yang sama sekali tidak diproduksikan di dalam negeri oleh para produsen Amerika Serikat (sehingga tidak termasuk dalam kategori substitusi impor), seperti kopi dan pisang, tidak akan muncul dalam analisis. Hasil pengujian Leontief itu sungguh mengejutkan. Ternyata substitusi impor Amerika Serikat tidak memberikan gambaran seperti apa yang dikemukakan oleh model Heckscher-Ohlin. Ternyata hanya sekitar 30% subtitusi impor negara itu yang bersifat lebih padat modal ketimbang ekspornya. Itu berarti Amerika Serikat ternyata cenderung mengekspor komoditi yang padat tenaga kerja dan mengimpor komoditi yang padat modal. Ini bertentangan atau merupakan kebalikan dari apa yang telah diprediksikan oleh model Heckscher-Ohlin (menurut model ini, seharusnya Amerika Serikat mengekspor aneka produk yang padat modal dan mengimpor komoditi padat tenaga kerja). Paradoks Leontief (silahkan lihat studi kasus) ini merupakan sumber perdebatan dalam kepustakaan teori perdagangan yang terus berlangsung hingga saat ini. Dalam penelitian berikutnya, Leontief yang juga merasa heran atas penemuannya itu mencoba untuk merasionalisasikan dan meninjau kembali hasil penelitiannya itu. Jadi Leontief sendiri tidak langsung menolak keberlakuan model Heckscher-Ohlin. Selanjutnya ia mengatakan bahwa apa yang terungkap tersebut sekedar meerupaka “ilusi optik”, dan bukan merupakan kenyataan yang sebenarnya. Sejak tahun 1947 tenaga kerja Amerika Serikat rata-rata memiliki tingkat produktivitas tiga kali lipat lebih tinggi ketimbang tenaga kerja yang ada di negara- negara lain. Jika dilihat dari sudut pandang itu, maka seolah-olah Amerika Serikat bisa pula dipandang sebagai sebuah negara yang melimpah tenaga kerjanya. Betapa tidak, kalau kita hendak membandingkan jumlah tenaga kerjanya (jika diukur berdasarkan tingkat produktivitas secara keseluruhan, bukannya sekedar dilihat jumlah manusia pekerjanya) maka kita harus mengalihkan tiga jumlah pekerja yang ada di Amerika Serikat. Hal yang sama juga harus dilakukan jika kita ingin membandingkan pengusaan tenaga kerja relatif Amerika Serikat (keberadaan tenaga kerja itu dibandingkan dengan ketersediaan modal dinegara tersebut). Dengan demikian, tidaklah aneh apabila ekspor Amerika Serikat nampak padat tenaga kerja bila dikaitkan dengan substitusi impornya. Namun penjelasan ini ternyata kurang memuaskan, dan pada akhirnya Leontief sendiri membatalkannya. Lebih lanjut Leontief menyatakan bahwa hasil analisisnya itu sekedar merupakan suatu penyimpangan dari keberlakuan model Heckscher- Ohlin. Sepintas lalu penjelasan yang diberikan Leontief atas Paradoks tersebut sesungguhnya masuk akal. Namun mengapa dianggap tidak memuaskan? Karena keunggulan produktivitas tenaga kerja yang dikemukan oleh Leontief itu tidak cukup besar untuk menjelaskan Paradoks tersebut, mengingat modal di Amerika Serikat juga memiliki tingkat produktivitas yang jauh lebih tinggi ketimbang di negara-negara lain. Jadi kalau jumlah pekerja di Amerika Serikat harus dikalikan dengan kelipatan produktivitasnya, maka faktor produksi modalnya juga harus diperlakukan demikian. Sedangkan dari hasil perhitungan itu terungkap bahwa Amerika Serikat tetap merupakan sebuah negara yang lebih banyak memiliki modal ketimbang tenaga kerja. Artinya, prediksi Heckscher-Ohlin terhadap negara itu seharusnya tetap berlaku. Paradoks tersebut juga tidak dapat dijelaskan melalui konsep perbedaan selera. Ekonom lainnya yang mencoba memahami terjadinya paradoks tersebut mengatakan bahwa selera konsumen Amerika Serikat cenderung mengarah pada komoditi-komoditi yang padat modal sehingga harga relatifnya menjadi lebih tinggi. Karena itulah Amerika Serikat mendatangkan komoditi serupa yang harga relatifnya lebih murah dari negara-negara lain dan sebagai pengimbangnya ia pun mengekspor komoditi-komoditi yang padat tenaga kerja. Studi Kasus : Persyaratan Modal dan Tenaga Kerja Komoditi Andalan dalam Perdagangan Amerika Serikat. Dari tabel dibawah ini kita dapat mengetahui persyaratan atau kebutuhan modal dan tenaga kerja perjutaan dolar ekspor dan substitusi impor Amerika Serikat, serta rasio modal/tenaga kerja per tahun atas impornya, dibandinkan dengan rasio-rasio faktor-faktor produksi yang terkandung dalam komoditi-komoditi ekspornya. Sebagai contoh, dengan membagi nilai rasio modal/tenaga kerja tahunan yang digunakan dalam analisis Leontief (18.180 dolar) oleh nilai substitusi impor Amerika dalam satuan rasio modal/tenaga kerja tahun (yakni sebesar 14.010 dolar, berdasarkan data tahun 1947), Leontief menemukan bahwa nilai rasio kebutuhan modal/tenaga kerja tahunan untuk impor bila dihubungkan dengan ekspornya adalah 1,30. Karena Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang melimpah modalnya, sedangkan substitusi impornya cenderung lebih bersifat padat modal ketimbang ekkspornya, maka jelas kita mendapati suatu paradoks. Namun jika data yang digunakan kita ambil tahun 1951, maka rasio K/L untuk impor/ekspor tersebut turun menjadi 1,06. TABEL : Persyaratan atau Kebutuhan Modal dan Tenaga Kerja Per Jutaan Dolar Ekspor dan Substitusi Impor Amerika Serikat. Penelitian Ekspor Substitusi Impor Impor ekspor Leontief (data persyaratan input dari tahun 1947; data perdagangan tahun 1947) $2.550.780 $3.091.339 182 170 $14.010 $18.180 $2.256.800 $2.303.400 Padat modal 174 168 Padat tenaga kerja (jumlah pekerja/ tahun) $12.977 $13.726 Padat modal Padat tenaga kerja (orang per tahun) Padat modal (per orang per tahun) 1,30 Leontief (data persyaratan input dari tahun 1947; data perdagangan tahun 1951) 1,06 Padat modal (per pekerja/tahun) 0,88 Padat modal (per pekerja/tahun), kecuali sektor yang padat sumber daya alam Baldwin (data persyaratan input dari tahun 1958; data perdagangan tahun 1962) Padat modal $1. 876.000 $2.132.000 131 119 $14.200 $18.000 1,27 Padat tenaga kerja (jumlah pekerja/tahun) Padat modal (per pekerja/tahun) 1,04 Padat modal (per pekerja/tahun), kecuali sektor yang padat sumber daya alam Padat modal (per pekerja/tahun), kecuali sektor yang padat sumber daya alam, namun modal manusia dihitung Sumber: Leontief (1951); Leontief (1956); dan Baldwin (1971). 0.92 Namun sebuah penelitian yang dilakukan oleh Houthakker pada tahun 1957 mengenai pola-pola konsumsi rumah tangga diberbagai negara mengungkapkan bahwa elastisitas pendapatan atas permintaan makanan, pakaian, perumahan dan berbagai kategori produk lainnya kurang lebih sama besarnya diseluruh negara yang menjadi objek penelitiannya. Artinya, preferensi konsumen terhadap komoditi yang padat modal sama besarnya dengan preferensi mereka terhadap komoditi padat tenaga kerja. Dengan demikian, penjelasan atas paradoks Leontief yang didasarkan pada perbedaan selera itu juga tidak bisa diterima. Lebih jauh lagi, seandainya sektor-sektor industri atau jenis-jenis komoditi yang padat dengan sumber daya alam kita sisihkan dari perhitungan, maka rasio itu turun lagi menjadi 0,88 (seandainya angka ini yang berlaku, maka paradoks tadi pun lenyap dan tidak perlu dipersoalkan lagi). Selanjutnya jika kita menggunakan data persyaratan input dan data perdagangan pada tahun 1962, maka kita akan mendapati rasio K/L untuk impor/ekspor sebesar 1,27 (ini merupakan hasil penelitian Baldwin). Kemudian jika komoditi-komoditi atau sektor-sektor industri yang padat sumber daya alam disisihkan dari kalkulasi, maka rasio itu turun menjadi 1,04 dan jika industri atau komoditi yang padat tenaga kerja juga dihilangkan, maka rasio tersebut kembali turun menjadi 0,92 (sehingga paradoks tadi hilang). Leontief berusaha secara sungguh-sungguh dalam meninjau kembali penelitiannya dengan menggunakan data-data tahun 1962 sebagai pijakan untuk membandingkan faktorfaktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang ekspor Amerika Serikat senilai satu juta dolar dengan nilai yang sama atas berbagai barang yang diimpornya. Dari perhitungan ini, ternyata paradoks Leontief masih tetap berlaku: komoditi ekspor Amerika Serikat banyak yang diproduksi dengan nisbah modal-tenaga kerja yang lebih rendah dari pada barang-barang impornya. Produk Amerika Serikat ternyata memang lebih bersifat padat tenaga kerja terampil apabila dibandingkan dengan impornya. Amerika juga cenderung mengekspor barang-barang yang “padat teknologi”, yang banyak membutuhkan lebih banyaka cucuran keringat ilmuwan dan teknisi per unit penjualannya. Pengamatan ini sejalan dengan kedudukan Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki ketrampilan yang tinggi, dengan keunggulan komparatif pada barang-barang yang canggih. Lantas mengapa paradoks Leontief tersebut bisa terjadi? Tidak ada seorangpun yang dapat memberikan alasan yang tepat. Penjelasan yang masuk akal bisa jadi adalah sebagai berikut: Amerika Serikat memiliki keunggulan khusus dalam memproduksi produk-produk baru atau jenis-jenis barang yang dibuat dengan teknologi inovatif. Produk-produk seperti ini boleh jadi tidak begitu bersifat padat modal dibandingkan dengan produk-produk yang teknologinya dari waktu ke waktu kian mantap dan makin banyak dipoles serta disesuaikan untuk teknikteknik produksi massal. Oleh karena itu, mungkin dan wajar-wajar saja kalau Amerika Serikat mengekspor barang-barang yang sekilas seperti barang sederhana, akan tetapi sesungguhnya produk itu harus diproduksi dengan menggunakan tenaga kerja yang sangat terampil dan digerakkan oleh kelompok wirausaha yang inovatif, dan disisi lain mengimpor sebagian besar jenis barang yang diproduksi seacara padat modal. DAFTAR PUSTAKA Sukirno, Sadono. 2011. Pengantar Teori Makro Ekonomi, Lembaga Penerbit FEUI. Rosyidi, Suherman. 2009. Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Rajawali Pers. Boediono. 2009. Ekonomi Makro. BPFE Yogyakarta.