BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Islam tidak membiarkan begitu saja seseorang bekerja sesuka hati untuk mencapai tujuan dan keinginannya dengan menghalalkan segala cara seperti melakukan penipuan, kecurangan, sumpah palsu, riba, menyuap dan perbuatan batil lainnya. Tetapi dalam Islam diberikan suatu batasan atau garis pemisah antara yang boleh dan yang tidak boleh, yang benar dan salah serta yang halal dan yang haram. Batasan atau garis pemisah inilah yang dikenal dengan istilah etika. Prilaku dalam berbisnis atau berdagang juga tidak luput dari adanya nilai moral atau nilai etika bisnis. Penting bagi para pelaku bisnis untuk mengintegrasikan dimensi moral ke dalam kerangka/ ruang lingkup bisnis. Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi system dan hukum ekonomi,meningkatkan keterampilan memenihi tuntunan-tutunan etika piha-pihak luar untuk mecari aman, dan sebagainya. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan,kontrak sosial merupakan janji yang harus ditepati. Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik/buruk, dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-prinsip moralitas.kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada management ethics dan organizational ethics. Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Dalam ajaran Islam memberikan kewajiban bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan syariah (aturan). Islam di segala aspek kehidupan termasuk di dalamnya aturan bermuamalah (usaha dan bisnis) yang merupakan jalan dalam rangka mencari kehidupan. Pada hakikatnya 1 tujuan penerapan aturan (syariah) dalam ajaran Islam di bidang muamalah tersebut khususnya perilaku bisnis adalah agar terciptanya pendapatan (rizki) yang berkah dan mulia, sehingga akan mewujudkan pembangunan manusia yang berkeadilan dan stabilisasi untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, kesempatan kerja penuh dan distribusi pendapatan yang merata tanpa harus mengalami ketidakseimbangan yang berkepanjangan di masyarakat B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa Definisi Etika Bisnis dalam islam? 2. Bagaiman Etika Bisnis Rasullulah SAW? 3. Bagaimana Implementasi Etika Bisnis Islam? C. TUJUAN 1. Mengetahui definisi Etika Bisnis Islam 2. Mengetahui etika bisnis Rasulullah SAW 3. Mengetahui bagaimana implementasi etika bisnis Islam 2 BAB II PEMBAHASAN A. Etika Bisnis Islam 1. Definisi Etika Bisnis Islam Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik/buruk, dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-prinsip moralitas. Kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada management ethics dan organizational ethics. Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas disini, sebagaimana disinggung diatas berarti aspek buruk/baik, terpuji/tercela, benar/salah, pantas/tidak pantas dari perilaku manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis islam susunan adjective di atas ditambah dengan halal-haram, sebagaimana yang disilnyalir oleh Husein Sahatan, dimana beliau memaparkan sejumlah perilaku etis bisnis yang dibungkus dengan dhawabith syar’iyah (batasan syariah) atau general guideline menurut Rafik Issa Beekun. Etika memiliki dua pengertian; pertama, etika sebagaimana moralitas berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pedoman hidup manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, etika sebahgai refleksi kritis dan rasional. Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan keterampilan memenihi tuntunan-tutunan etika pihak-pihak luar untuk mecari aman, dan sebagainya. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga 3 kontrak sosial yang sudah berjalan, kontrak sosial merupakan janji yang harus ditepati. Bisnis Islam ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram Etika bisnis mengatur aspek hukum kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusian harta. Sehingga etika bisnis syariah yaitu : 1. Menolak monopoli 2. Menolak eksploitasi 3. Menolak diskriminasi 4. Menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban 5. Terhindar dari usaha tidak sehat Menurut Franz Magnis-Suseno (1999), etika merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia. Tim Penulis Rasda Karya (1995) mendefinisikan etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti: pertama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lainlain. Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara moral. Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam 4 pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk Dari beberapa definisi di atas dapat penulis tarik pemahaman dan memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Sedangkan secara umum bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien. Skinner mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti, bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and selling of goods and services”. Adapun dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit. Dalam Islam bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram). Pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Islam mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah Swt melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari rizki. 5 2. Etika bisnis Rasulullah Saw. Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran islam. Bahkan, Rasulullah saw. Sendiri pun telah menyatakan, bahwa 9 dari10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdangang (hadist). Artinya, melaui jalan perdagangan inilah, pinti-pintu rezeki akan dapat dibuka, sehingga karunia allah swt. Terpancar dari padanya, jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan, sebagaiman firman allah swt. Dalam surah al-baqoroh ayat 275 : ُاﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﺄْﻛُﻠُﻮنَ اﻟﺮِّﺑَﺎ ﻻَ ﯾَﻘُﻮﻣُﻮنَ إِﻻﱠ ﻛَﻤَﺎ ﯾَﻘُﻮمُ اﻟﱠﺬِي ﯾَﺘَﺨَﺒﱠﻄُﮫُ اﻟﺸﱠﯿْﻄَﺎنُ ﻣِﻦَ اﻟْﻤَﺲِّ ذَٰﻟِﻚَ ﺑِﺄَﻧﱠﮭُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﻤَﺎ اﻟْﺒَﯿْﻊُ ﻣِﺜْﻞ َﱠِ وَﻣَﻦْ ﻋَﺎد ﱠُ اﻟْﺒَﯿْﻊَ وَﺣَﺮﱠمَ اﻟﺮِّﺑَﺎ ﻓَﻤَﻦْ ﺟَﺎءَهُ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔٌ ﻣِﻦْ رَﺑِّﮫِ ﻓَﺎﻧْﺘَﮭَﻰٰ ﻓَﻠَﮫُ ﻣَﺎ ﺳَﻠَﻒَ وَأَﻣْﺮُهُ إِﻟَﻰ اﻟﺮِّﺑَﺎ وَأَﺣَﻞﱠ َﻓَﺄُوﻟَٰﺌِﻚَ أَﺻْﺤَﺎبُ اﻟﻨﱠﺎرِ ھُﻢْ ﻓِﯿﮭَﺎ ﺧَﺎﻟِﺪُون “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhmya jual beli itu sama dengan riba, padahal allah telah menghalalkan jual–beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datalam larangan) dan urusannya (terserah) kepada allah. Orang yang kembaali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghumi-penghuni neraka, mereka kekal didalamnnya.’’ Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) “Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan 6 penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: “Perhatikan olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggung jawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam. Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, di mana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71) Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalahnya dari unsur yang melampaui batas atau sia-sia. 3. Implementasi Etika Bisnis Islam Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama: (1) target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, (2) pertumbuhan, (3) keberlangsungan, (4) keberkahan. Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimahmadiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi 7 perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya. Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri. Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimahmadiyah. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni qimahinsaniyah, qimahkhuluqiyah, dan qimahruhiyah. Dengan qimahinsaniyah, berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya. Qimahkhuluqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekedar hubungan fungsional atau profesional. Sementara itu qimahruhiyah berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan menghalalkan segala cara. Keberlangsungan, target yang telah dicapai. (QS. At-Taubah (9):111). Bisnis dan Agama dengan pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan dapat eksis dalam kurun waktu yang lama. Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridla dari Allah Swt., dan bernilai ibadah. Islam memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melakukan usaha (bisnis), namun dalam Islam ada beberapa prinsip dasar yang menjadi 8 etika normatif yang harus ditaati ketika seorang muslim akan dan sedang menjalankan usaha, diantaranya: 1. Proses mencari rezeki bagi seorang muslim merupakan suatu tugas wajib. 2. Rezeki yang dicari haruslah rizki yang halal. 3. Bersikap jujur dalam menjalankan usaha. 4. Semua proses yang dilakukan dalam rangka mencari rezeki haruslah dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 5. Bisnis yang akan dan sedang dijalankan jangan sampai menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. 6. Persaingan dalam bisnis dijadikan sebagai sarana untuk berprestasi secara fair dan sehat (fastabikul al-khayrat). 7. Tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan 8. Menyerahkan setiap amanah kepada ahlinya, bukan kepada sembarang orang, sekalipun keluarga sendiri. Adapun landasan normatif etika bisnis menurut Islam yaitu; pertama, tauhid (kesatuan). Tauhid merupakan konsep serba eksklusif dan serba inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip perpaduan yang kuat sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada Bisnis dan Agama Allah semata. Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus horizontal yang memadukan segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia menjadi kebulatan yang homogen yang konsisten dari dalam dan luas sekaligus terpadu dengan alam luas.Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. 9 Atas dasar pandangan ini maka pengusaha muslim dalam melakukan aktivitas bisnis harus memperhatikan tiga hal: (1), tidak diskriminasi terhadap pekerja, penjual, pembeli, mitra kerja atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama.15 (2), Allah yang paling ditakuti dan dicintai.16 (3), tidak menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah. Kedua, keseimbangan (Keadilan). Ajaran Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang memiliki sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemodernan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus dilakukan dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu yang dapat membinasakan diri. Harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar. Dijelaskan juga bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah. Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi syarat-syarat berikut: (1), produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2), setiap 10 kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial, karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai sosial marginal dan individual dalam masyarakat. (3), tidak mengakui hak milik yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali. Ketiga, Kehendak Bebas. Manusia sebagai khalifah di muka bumi sampai batas-batas tertentu mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan yang akan dicapainya. Manusia dianugerahi kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian atau tidak, melaksanakan bentuk aktivitas bisnis tertentu, berkreasi mengembangkan potensi bisnis yang ada. Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua konsekuensi yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang dapat dilakukan dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekuensi baik yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekuensi baik dan buruk sebagai Bisnis dan Agama bentuk risiko dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak pada pahala dan dosa. Keempat, Pertanggungjawaban. Segala kebebasan dalam melakukan bisnis oleh manusia tidak lepas dari pertanggungjawaban yang harus diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an ”Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya mesti memiliki batas-batas tertentu, dan tidak digunakan sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi oleh koridor hukum, norma dan etika yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang harus dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam menggunakan potensi sumber daya yang dikuasai. Tidak kemudian digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang terlarang atau yang diharamkan, seperti judi, riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang 11 jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal bagi semua komponen masyarakat yang secara kontributif ikut mendukung dan terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan. Pertanggunjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada tiga hal, yaitu: (1), dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. (2), economicreturn bagi pemberi pinjaman modal harus dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak dapat diramalkan dengan probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem bunga). (3), Islam melarang semua transaksi alegotoris yang dicontohkan dengan istilah gharar (penipuan). 12 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Etika bisnis dalam Islam adalah sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaq al Islamiyah) yang dibungkus dengan nilai-nilai syariah yang mengedepankan halal dan haram. Jadi perilaku yang etis itu ialah perilaku yang mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangnya. Dalam Islam etika bisnis ini sudah banyak dibahas dalam berbagai literatur dan sumber utamanya adalah Al-Quran dan sunnaturrasul. Pelaku-pelaku bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam berbagai aktivitasnya. Kepercayaan, keadilan dan kejujuran adalah elemen pokok dalam mencapai suksesnya suatu bisnis di kemudian hari. Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, di mana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. 13 DAFTAR PUSTAKA Alma Buchari. Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam. Bandung: Alfabeta, 2003. Badroen Faisal dkk. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2006. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: 1990. Fauroni, Muhammad dan Lukman. Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002. Mardani. Hukum Bisnis Islam. Jakarta : kencana, 2014. Muslich. Etika Bisnis Islami. Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif. Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomin UII, 2004. Raharjo, Dawam. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999. Rival, Veithzal dan Buchhari Andi. Islamic Economics. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013. Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1997. Wijaya, Yahya dan Nina Mariani Noor. Etika Ekonomi dan Bisnis. Perspektif Agama-Agama di Indonesia Economic and Business Perspectives in Indonesia. Geneva: Globethics.net, 2014. 14 Ethics. Religious