Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan (Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo) Ahmad Mahbub Subhani Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Achmad Yani Email: [email protected] Pendahuluan Sejak terpilihnya Presiden Joko Widodo pada pemilu 2014, muncul banyak pro dan kontra. Joko Widodo yang merupakan Wali Kota Solo selama dua periode harus rela meninggalkan kota Solo di pertengahan kariernya sebagai orang nomor satu di kota kelahirannya tersebut dikarenakan beliau terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017. Namun, di tengah-tengah ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang untuk kedua kalinya dicalonkan oleh PDI Perjuangan untuk maju pada pemilu 2014 sebagai calon presiden Republik Indonesia ditemani oleh Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Selama masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo telah banyak berpartisipasi dalam menangani kasus-kasus baik itu domestik maupun internasional. Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah dalam konflik Laut Cina Selatan. Konflik Laut Cina Selatan merupakan salah satu konflik dalam cakupan regional yang sampai saat ini belum juga dapat terselesaikan. Konflik yang seringkali menggangu stabilitas keamanan kawasan tersebut dimulai sejak Cina mengakui secara sepihak atas perluasan wilayah perairannya hingga menjangkau perairan Filipina, Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam dan Malaysia.1 Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan sebenarnya tidak memiliki kepentingan secara langsung, namun ada beberapa wilayah Zona Ekonomi Ekskulif (ZEE) Indonesia di Adityo Arifianto, “Politik Indonesia Dalam Konflik Laut Cina Selatan Blok Natuna”, Prosiding Konferensi Nasional Ke-7-Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (APPPTMA) (Jakarta, 23-25 Mei 2018), hal. 11, online, internet, 04 Januari 2019, asosiasipascaptm.or.id > phocadownload 1 1 Kepulauan Natuna yang tumpang tindih dengan garis putus-putus Cina.2 Indonesia yang tidak ikut serta mengklaim wilayah perairan dalam Laut Cina Selatan juga memainkan peran yang penting. Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara harus mampu ikut serta menjaga stabilitas keamanan kawasan di Asia Tenggara. Terlebih, konflik Laut Cina Selatan ini merupakan konflik yang melibatkan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam.3 Laut Cina Selatan memang sudah lama diperebutkan oleh banyak pihak. Konflik yang sampai sekarang belum menemui titik terang tersebut, menjadi semakin menarik untuk diteliti terutama oleh penstudi Hubungan Internasional. Ada setidaknya tiga alasan utama mengapa Laut Cina Selatan dipersengketakan banyak pihak, yaitu memiliki sumber daya alam yang sangat kaya, jalur perdagangan lintas laut yang strategis dan sebagai salah satu pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di Asia menjadikan negara besar seperti Cina dan Amerika berusaha menguasai dan mengontrol wilayah perairan tersebut.4 Penyelesaian konflik Laut Cina Selatan ini tidak terlepas dari kebijakan luar negeri yang dalam proses pengambilannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah keputusan dari pemimpin negara tersebut. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menjelaskan mengenai bagaimana keputusan atau cara-cara dari pemimpin suatu negara dalam mempengaruhi pembuatan suatu kebijakan luar negeri guna menyelesaikan suatu konflik. Indonesia dalam keikutsertaannya membantu menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan pasti tidak terlepas dari peran Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin. Dhiana Puspitawati (Eurasia Review), “Sengeketa Laut Cina Selatan dan Efeknya Bagi Indonesia”, diambil dari www.matamatapolitik.com/sengeketa-laut-cina-selatan-dan-efeknya-bagi-indonesia/, online, internet, 05 Januari 2019 3 Ali Maksum, ”Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan”, Jurnal Sospol, Vol.3, No.1 (Januari-Juni 2017), hal. 7, online, internet, 05 Januari 2019, https://www.researchgate.net/publications/323048909_Regionalisme_dan_Kompleksitas_Laut_China_Selatan 4 Adityo Arifianto, “Politik Indonesia Dalam Konflik Laut Cina Selatan Blok Natuna”, Prosiding Konferensi Nasional Ke-7-Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (APPPTMA) (Jakarta, 23-25 Mei 2018), hal. 11, online, internet, 04 Januari 2019, asosiasipascaptm.or.id > phocadownload 2 2 Pemimpin suatu negara masuk ke dalam tingkat analisis individual. Dimana tingkat analisis individual tersebut termasuk ke dalam first image/level of analysis.5 Presiden Joko Widodo sebagai Pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu sangat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia terkait dengan Konflik Laut Cina Selatan Konsep Kepemimpinan Tulisan ini akan menggunakan konsep kepemimpinan dalam melihat peran serta Indonesia terkait konflik Laut Cina Selatan. Dalam tingkat analisis individu, ada dua hal yang dapat dibahas yaitu kapabilitas individu dan personalitasnya.6 Dua hal tersebut dapat dijadikan sebagai batasan bagi seorang pemimpin dalam merumuskan suatu kebijakan luar negeri negaranya. Dalam proses pengambilan suatu kebijakan luar negeri tentu pemimpin tidak bisa terlepas dari subjektifitasnya. Pemimpin suatu negara memiliki andil yang sangat besar dalam proses perumusan kebijakan luar negeri negaranya. Mengapa kemudian penulis memilih untuk menganalisasi kasus ini dengan menggunakan level analisis individu adalah penulis memiliki pandangan bahwa pemimpin suatu negara sangatlah berpengaruh dan penting untuk diteliti dalam hal perannya ikut serta merumuskan kebijakan luar negeri suatu negara. Sifat atau perilaku pemimpin juga akan mencerminkan citra negaranya dalam dunia internasional. Margareth G. Hermann menyatakan bahwa ada empat karakteristik personal atau pribadi suatu pemimpin yang berhubungan atau berdampak pada kebijakan luar negeri, yaitu kepercayaan, motif, decision style dan interpersonal style.7 Pertama, kepercayaan merujuk pada pandangan atau asumsi seorang pemimpin dalam melihat dunia. Pada umumnya, 5 Dijelaskan pada Mata Kuliah Politik Luar Negeri oleh Bapak Yohanes Sulaiman (13 September 2018) Ibid. 7 Margareth G. Hermann, “Explaining Foreign Policy Behaviour Using the Personal Characterictics of Political Leader”, International Studies Quarterly, Vol. 24, No. 1, (Maret, 1980), hal. 8, online, internet, 05 Januari 2019, moodle.stoa.usp.br>resource>view 6 3 sebagian besar kejadian di dunia termasuk konflik, dapat diprediksi melalui interaksi antar individu yang terlibat. Kepercayaan merujuk pada interpretasi pemimpin politik yang mampu memengaruhi lingkungannya, perannya dan strategi yang sedang diusahakannya. 8 Kedua adalah motif, yakni alasan atau poin utama kenapa seorang pemimpin melakukan tindakan apa.9 Motif seorang pemimpin kerap sangat sulit sekali untuk diidentifikasi. Motif yang dilakukan oleh seorang pemimpin dapat memengaruhi tipe perilaku pemimpin dalam menghadapi kepentingan negaranya terkait dengan urusan luar negeri. Motif yang dilakukan oleh seorang pemimpin juga dapat didasarkan atau latar belakang pemimpin itu sendiri atau latar belakang negaranya. Ketiga, decision style adalah metode atau bagaimana cara pemimpin mengambil suatu keputusan dimana pemimpin akan mencari kemungkinan-kemungkinan lewat keterbukaan atas informasi terbaru, pertimbangan terhadap tingkat resiko, kompleksitas struktur dan proses perolehan informasi serta toleransi atas ambiguitas.10 Keempat, interpersonal style atau karakteristik personal yaitu cara yang dilakukan pembuat kebijakan berinteraksi dengan pembuat kebijakan yang lainnya.11 Dalam artikel lain yang ditulis oleh Margareth G. Hermann dan Joe D. Hagan bahwa dalam menentukan suatu kebijakan luar negeri, pemimpin menafsirkan batasan domestik dan batasan internasional.12 Para pemimpin menafsirkan batasan-batasan tersebut dengan menggunakan persepsi serta interpretasi mereka yang kemudian para pemimpin tersebut akan membangun harapan, menyusun strategi dan mendesak pemerintahan agar melakukan suatu Margareth G. Hermann, “Explaining Foreign Policy Behaviour Using the Personal Characterictics of Political Leader”, International Studies Quarterly, Vol. 24, No. 1, (Maret, 1980), hal. 8, online, internet, 05 Januari 2019, moodle.stoa.usp.br>resource>view 9 Ibid, hal. 9 10 Ibid, hal. 9 11 Ibid, hal 10 12 Margareth G. Hermann dan Joe D. Hagan, “International Desicion Making: Leadership Matters”, Foreign Policy, No. 11, Special Edition: Frontiers of Knowledge (Spring 1998), hal. 126 8 4 tindakan yang sesuai dengan pemikiran mereka mengenai apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin untuk dilakukan.13 Begitupun dengan Presiden Joko Widodo yang membawa Indonesia kedalam Konflik Laut Cina Selatan dengan pemikirannya sendiri. Keputusan Presiden Joko Widodo dilihat melalui Konsep Kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang memandang bahwa Indonesia tidak perlu ikut terlibat dalam Konflik Laut Cina Selatan apabila manfaat dari keterlibatan dan keikutsertaan tersebut tidak ada.14 Namun, jika dilihat dari posisi Indonesia di dalam ASEAN, dimana Indonesia merupakan negara terbesar maka peran Indonesia sangatlah dibutuhkan dalam proses penyelesaian konflik kawasan ini. Dikutip dari TEMPO.CO, Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan terus mendorong tercapainya Code of Conduct (COC) yang sampai saat ini masih dibahas bersama negara-negara di ASEAN.15 Tindakan Presiden Joko Widodo yang hanya membuat Indonesia ikut serta sebagai negara ASEAN yang mendorong dicapainya Code of Conduct (COC) untuk membantu menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan dapat diakibatkan oleh orientasi politik luar negeri Jokowi-JK yang low profile.16 Orientasi politik luar negeri yang low profile tersebut membuat Indonesia setidaknya mengurangi keaktifannya di luar negeri dan berusaha untuk fokus ke dalam masalah-masalah dalam negeri guna membenahi dan memperkuat negara Indonesia dari dalam.17 Selain itu, Presiden Joko Widodo juga mengatakan apabila kita tidak memiliki 13 Ibid. Anna Yulia Hartati, “Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan (Era Presiden Soearto sampai Presiden Jokowi)”, Staff Pengajar Prodi Hubungan Internasional Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim (Semarang, 2016), hal. 19, online, internet, 05 Januari 2019, https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id 15 Dewi Rina, “Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan, Ini Kata Jokowi”, TEMPO.CO (Jakarta, 16 Februari 2016), online, internet, 06 Januari 2019, https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/745367/penyelesaian-konflik-laut-cina-selatan-ini-katajokowi 16 Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan JokowiJK”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Vol. 11, No. 1 (2015), hal. 69, online, internet, 06 Januari 2019, journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalIlmiahHubunganInternasional/article/view/1442 17 Ibid. 14 5 hubungan langsung dengan suatu konflik tersebut maka lebih baik kita tidak ikut serta kedalamnya.18 Jika dilihat dari konsep kepemimpinan yang dinyatakan oleh Margareth G. Hermann dan Joe D. Hagan bahwa dalam melakukan suatu tindakan atas negaranya, pemimpin akan menafsirkan batasan-batasan guna mengetahui apa yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan.19 Dalam studi kasus kebijakan luar negeri Indonesia terkait Konflik Laut Cina Selatan ini, presiden Joko Widodo yang membuat Indonesia tidak banyak ikut serta dalam konflik Laut Cina Selatan ini dapat dikaitkan dengan orientasi politik luar negerinya. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa Jokowi-JK lebih mengedepankan masalah-masalah internal Indonesia dibanding dengan ikut serta dalam membantu menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Masalah-masalah internal tersebutlah yang akhirnya menjadi batasan bagi Presiden Joko Widodo untuk tidak atau mengurangi partisipasinya dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan. Sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia, keputusan Joko Widodo yang memandang Indonesia tidak terlibat secara langsung dalam konflik Laut Cina Selatan tentu banyak menuai kritikan. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa keterlibatan Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan haruslah memberikan manfaat bagi Indonesia, apabila tidak ada manfaat yang didapatkan lebih baik Indonesia tidak ikut campur ke dalam konflik Laut Cina Selatan.20 Presiden Joko Widodo juga menanggapi kritikan tersebut dengan menyatakan Zulhidayat Siregar, “Sikap Jokowi Terkait Konflik Laut China Selatan Tak Tepat”, Kantor Berita PolitikRMOL.CO (24 Juni 2014), online, internet, 06 Januari 2019, https://www.google.com/amp/s/rmol.co/amp/2014/06/24/160819/Sikap-Jokowi-Terkait-Konflik-Laut-ChinaSelatan-Tak-Tepat19 Margareth G. Hermann dan Joe D. Hagan, “International Desicion Making: Leadership Matters”, Foreign Policy, No. 11, Special Edition: Frontiers of Knowledge (Spring 1998), hal. 126 20 Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan JokowiJK”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Vol. 11, No. 1 (2015), hal. 74, online, internet, 06 Januari 2019, journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalIlmiahHubunganInternasional/article/view/1442 18 6 bahwa Indonesia akan tetap melakukan diplomasi dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.21 Orientasi kebijakan politik luar negeri Presiden Joko Widodo yang low profile atau ingin lebih fokus kepada masalah-masalah internal juga dapat disebabkan dari latar belakang Presiden Joko Widodo. Faktor ideosinkretik atau identitas suatu aktor juga berpengaruh dalam perumusan atau pengambilan suatu kebijakan luar negeri. Presiden Joko Widodo berasal dari keluarga Jawa yang memang dari kecil sampai saat ini, diajarkan untuk hidup sederhana dan bekerja keras. Presiden Joko Widodo tumbuh dengan pribadi yang merakyat, terbukti dari saat ia menjabat menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan sampai sekarang menjadi Presiden pun masih banyak media atau berita yang menyatakan hal tersebut. Pola pikir Presiden Joko Widodo yang merakyat ini juga dapat dijadikan sebagai batasan kenapa Indonesia tidak terlalu banyak ikut campur dalam konflik Laut Cina Selatan. Presiden Joko Widodo lebih memilih untuk memikirkan kesejahteraan rakyatnya terlebih dahulu. Argumen-argumen di atas sudah cukup menjelaskan mengapa pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia tidak banyak ikut campur dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan. Konsep kepemimpinan yang dikemukanan oleh Margareth dan Hagan juga telah menyebutkan bahwa pemimpin suatu negara akan melihat batasan-batasan baik itu domestik maupun luar negeri. Batasan-batasan yang ada tersebut akan menjadi suatu acuan seorang pemimpin dalam mengambil kebijakan luar negeri negaranya. Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa pemimpin dan kepemimpinannya sangat berpengaruh dan mengambil peran yang besar dalam proses perumusan kebijakan luar 21 Ibid 7 negeri negaranya. Presiden Joko Widodo yang tidak mau membawa Indonesia jauh ikut campur ke dalam konflik Laut Cina Selatan tidak terlepas dari jiwa kepemimpinannya yang lebih mementingkan masalah domestik Indonesia. Penulis juga mengetahui bahwa batasanbatasan seperti orientasi politik luar negeri Presiden Joko Widodo yang low profile atau inward-looking (berorientasi ke dalam)22 sampai sifat merakyatnya yang berusaha melindungi dan menyejahterakaan masyarakat Indonesia itulah yang menjadikan Presiden Joko Widodo tidak ingin Indonesia banyak terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan. Penulis berpendapat ada alasan lain yang mungkin menjadikan Presiden Joko Widodo tidak ingin Indonesia terlalu terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan. Jika dikaitkan dengan kepentingan nasional yaitu stabilitas politik dan tatanan kehidupan negara lainnya adalah bahwa apabila Presiden Joko Widodo terlalu membawa Indonesia jauh kedalam konflik Laut Cina Selatan yang mana konflik tersebut melibatkan negara-negara besar seperti Cina dan Amerika Serikat yang sekarang sudah mulai melirik konflik ini, hal tersebut akan membuat Indonesia mengalami ketidakstabilan struktur domestik apabila Indonesia tidak benar-benar bisa menyikapi dan melakukan tindakan dalam konflik Laut Cina Selatan tersebut. Terlebih dari awal Presiden Joko Widodo tidak menginginkan Indonesia ikut campur langsung apabila memang tidak ada manfaat yang dapat diambil bagi Indonesia. Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan JokowiJK”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Vol. 11, No. 1 (2015), hal. 69, online, internet, 06 Januari 2019, journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalIlmiahHubunganInternasional/article/view/1442 22 8 Daftar Pustaka Arifianto, Adityo. 2018. “Politik Indonesia Dalam Konflik Laut Cina Selatan Blok Natuna”, Prosiding Konferensi Nasional Ke-7-Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (APPPTMA). Jakarta. Online. internet. diambil dari asosiasipascaptm.or.id > phocadownload, 04 Januari 2019. Hartati, Anna Yulia. 2016. “Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan (Era Presiden Soearto sampai Presiden Jokowi)”. Staff Pengajar Prodi Hubungan Internasional Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim. Semarang. Online. internet. Diambil dari https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id, 05 Januari 2019. Hermann, Margareth G. 1980. “Explaining Foreign Policy Behaviour Using the Personal Characterictics of Political Leader”. International Studies Quarterly. Vol. 24. No. 1. Online. internet. Diambil dari moodle.stoa.usp.br>resource>view, 05 Januari 2019. Hermann, Margareth G. dan Joe D. Hagan. 1998. “International Desicion Making: Leadership Matters”. Foreign Policy. No. 11. Special Edition: Frontiers of Knowledge. Maksum, Ali. 2017. ”Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan”, Jurnal Sospol, Vol.3. No.1. online. internet. Diambil dari https://www.researchgate.net/publications/323048909_Regionalisme_dan_Kompleksitas_Laut_China_Selatan, 05 Januari 2019. Puspitawati, Dhiana (Eurasia Review). 2018 “Sengeketa Laut Cina Selatan dan Efeknya Bagi Indonesia”. diambil dari www.matamatapolitik.com/sengeketa-laut-cina-selatan-danefeknya-bagi-indonesia/. online. internet. 05 Januari 2019. Rina, Dewi. 2016. “Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan, Ini Kata Jokowi”, TEMPO.CO. Jakarta. Online. internet. Diambil dari https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/745367/penyelesaian-konfliklaut-cina-selatan-ini-kata-jokowi, 06 Januari 2019. Siregar, Zulhidayat. 2014. “Sikap Jokowi Terkait Konflik Laut China Selatan Tak Tepat”, Kantor Berita Politik-RMOL.CO. online. internet. Diambil dari https://www.google.com/amp/s/rmol.co/amp/2014/06/24/160819/Sikap-JokowiTerkait-Konflik-Laut-China-Selatan-Tak-Tepat-, 06 Januari 2019. Situmorang, Mangadar. 2015 “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi-JK”. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional. Vol. 11, No. 1. online, internet. Diambil dari journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalIlmiahHubunganInternasional/article/view/1442 , 06 Januari 2019. Sulaiman, Yohanes. 2018. Mata Kuliah Politik Luar Negeri Indonesia. 9