Uploaded by ikaal1418

Makalah Agraria

advertisement
MAKALAH
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Hukum Agraria
Prodi : HukumPidana Islam
Dosen Pengampu: Dr.Hj.Dewi Sulastri. S.H, M.H
Di Susun Oleh :
Bila Ardia Pratama
NIM : 1163060014
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG
2018
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat tantangan dan hambatan. Akan tetapi
dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari
Tuhan Yang Maha Esa. Laoran Akhir ini berjudul “ Penyelasian sengketa tanah”
Saya menyadari bahwa Laporan Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan menjadi informasi kepada kita sekalian.
Bandung, Desember 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I
: PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................................... 2
BAB II
: PEMBAHASAN
A.
Pengertian hukum agraria............................................................................... ......... 3
B.
Pengertian sengketa tanah.............................................................................. ......... 4
C.
Contoh dalam masyarakat tentang sengketa tanah.................................................. 6
BAB III
A.
: PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................... .......... 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum. Semua yang menyangkut kesejahteraan umum sudah
diatur dalam undang-undang dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dengan begitu sebuah
kepastian hukum untuk seseorang sejahtera hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada
di Indonesia.
Hukum di Indonesia tidak bisa berdiri secara netral, pasti ada beberapa kepentingankepentingan yang menyangkut didalamnya seperti kepentingan negara. Dengan begitu maka
politik untuk hukum bisa dikatakan sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan
oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa
dan tujuan negara.
Jadi perlunya hukum untuk negara kita yaitu untuk mengatur supaya bisa mencapai citacita bangsa dan tujuan negara, untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan suatu kejelasan atau
kepastian hukum di dalamnya. Seseorang yang sudah memliki kepastian hukum pasti akan
lebih mudah dalam melakukan lalulintas hukum atau kegiatan-kegiatan hukum, misalnya
dalam kepemilikan tanah.
Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber penghasilan negara juga
sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan
maupun pajak-pajak yang lain misalnya sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.
Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik atau berpenghuni
karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi lama-kelamaan tanah kita habis dan
semua untuk dimanfaatkan sudah tidak ada lahan yang kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan hidup
kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam
masyarakat. Hukum tersebut haruslah berupa hukum yang jelas demi memberi kepastian
hukum untuk pemilik-pemilih sah dari tanah-tanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah
satu cara untuk meminimalisasi konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang
dilator belakangi oleh sengketa tanah.
B.
Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang akan dibahas untuk kelengkapan suatu
tulisan yang dibuat oleh penulis.
1.
Pengertian dari Hukum Agraria,
2.
Pengertian dari sengketa tanah,
3.
Contoh dalam masyarakat secara nyata
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa latin agre berarti tanah
atau sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus
besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan
pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha
pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam
batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur yang mengatur
mengenai hak-hak penguasaan tanah.
Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang hukum yang masing-masing
mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang meliputi;
1. Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang mengatur penguasaan atas tanah(permukaan
bumi),
2. Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas air,
3. Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
bahan-bahan galian,
4. Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan
dan hasil hutan,
5. Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air,
6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu bidang
hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa.
B.
Pengertian sengketa tanah
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok
yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang
berada dibatas tanah yang bersangkutan.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah antara
lain :
1. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah
atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai
dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang
kurang atau tidak benar.\Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek
social.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal
baru. Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa
kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
1.
Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
2.
Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
3.
Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4.
Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
5.
Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari
persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam kesenjangan.
Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan nilai
(kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau gambaran obyektif kondisi
pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada
kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis
merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah
adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi tentang keberatankeberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah
dikelompokkan yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan
yang ditelantarkan dan lain-lain.
2.
Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3.
Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4.
Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5.
Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari
sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan oleh
karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat
permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu
sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat
dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan
kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah
pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara
bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas, perjajian,
dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun waktu 52 tahun usia
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, masalah tanah bagi manusia tidak
ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat
signifikan. Berdasarkan laju penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan
tanah seperti untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun
pariwisata juga terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak bertambah atau lebih
tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-konflik pertanahan secara horizontal
maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab terjadinya konflik
di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam
struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara
mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian.
Maka dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah
yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari penggunaan
tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk peraturan
pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan dan Badan
Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas tanah-tanah hak.
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga
kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah. Permasalahan tanah yang
dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan
terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong
era perdagangan bebas.
Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan
dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen
antara satu kebijakan dengan yang lain, atau bahkan tidak jarang berbau politis. Struktur hukum
tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960
yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi
tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya
berbagai peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya
dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara
substansial undang-undang tersebut tidak integratif.
Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya sengketa
tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan masyarakat. Dengan
memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan menganggap tanah itu tanah negara dan
mereka juga menjalankan tugas negara maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu
tetapi dari masyarakat juga dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun keluarganya
sudah memakai tanah tersebut.
C.
Contoh Dalam Masyarakat Tentang Sengketa Tanah Yang Terjadi
Yang pertama yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 13
tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga dan TNI. Salah
satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga
Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap
lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga
mengklaim lahan tersebut milik warga setempat, sementara TNI menyatakan milik negara.
Akibat peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD
mengalami luka di kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik
itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya
bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari
Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah
yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform.
Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa
Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan
dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2
Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara
Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke
negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut.
Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut Fathurozi, warga
Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat
Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyekland reform
dengan verponding (tanda hak milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga
di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan
Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Departemen
Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan negara dalam melaksanakan
tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini
adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk
kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah
merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi
perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang
pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai komponen utama,
komponen cadangan dan komponen pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama
pertahanan negara adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk
melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya
nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah
sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan
komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah sumber
daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya
pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak masyarakat dan
pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang
hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan
tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokokpokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)
sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu sumber
peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih terdapat
perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah
yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan
yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status
tanah TNI terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas
tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut
maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang digunakannya.
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu antara TNI
Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dengan bupati Ujang
Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar yang berada di sekitar tanah milik Lanud
Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang diangkat dan
setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun sebuah kompleks pertokoan,
tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu yaitu TNI dengan akta tanah tahun
1980an serta terdapat beberapa patok tanah yang masih menancap milik Lanud. Karena
keadaan lokasi yang semi hutan, di Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti
hutan dan seperti alam liar yang tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa menjadi seperti
tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan mendapat nomor pendaftaran akta
tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung di lokasi yang di sengketakan tersebut.
Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang
tidak serta merta mengecek lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan
kelalaian tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas
tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka fihak-fihak yang bersangkutan
dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang
dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang
ada diatas tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu melalui notaris
didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi pegawai pembuat akta tanah
tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak teliti dalam mengecek apakah tanah itu
sudah ada yang punya atau belum, begitu juga pihak lanud yang tidak serta merta dengan
merawat tanah tersebut dan alasannya yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum
mampu untuk selalu merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi
para prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan sebagai lahan
untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas negara sudah ada
kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah dari negara untuk memperkuat
kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari TNI menggugat di pengadilan untuk
memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI adalah
hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak menggunakan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau
pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
·
Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
·
Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
·
TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas tanahtanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan yang dibebankan
atas benda orang lain, untuk “dengan memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan
maksudnya“ memakai sendiri benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi
sekedar buat keperluan sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan
kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta
siapa subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang
berbeda-beda pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam
penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI
maka, di sini jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak
milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak
milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas
tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap
keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah
seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa tersebut yang
melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang
pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan
negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini
bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga dengan kasus
diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan haruslah
kembali pada negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan
negara.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,
2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka,
2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005
Download