MAKNA PEMBUBARAN DAN RESTORASI SERIKAT YESUS Sebuah refleksi iman dalam terang Sejarah Serikat Yesus 1 Fl. Hasto Rosariyanto SJ 2 0. Pengantar Tanpa mengenal dalam konteks apa dan dari mana negara asalnya orang cukup mengenal atau paling tidak pernah mendengar nama Napoleon Bonaparte. Kalau ditelusuri lebih jauh, tokoh ini dikenal karena peran-nya di dalam Revolusi Perancis yang terjadi pada tahun 1789. Revolusi Perancis sendiri merupakan persitiwa yang amat penting bukan hanya bagi Perancis tetapi juga dalam kaitannya dengan pergulatan-pergulatan ide, gagasan, dan pemikiran di Eropa yang dampaknya akan terus berlangsung sampai di zaman kita; sejarah pemikiran manusia modern dan sejarah politik. Untuk Gereja Universal, Revolusi Perancis merupakan salah satu titik penting dalam kaitannya dengan relasi Gereja-Negara, AgamaPolitik. Orang mengatakan bahwa dengan Revolusi Perancis, relasi Gereja-Negara tidak pernah lagi terjadi seperti sebelumnya 3. Untuk Gereja Katolik di Indonesia sendiri, Revolusi Perancis ini juga penting karena berkat salah satu motto-nya, egalité 4, secara tidak langsung akan turut berperan dalam sejarah berdiri-nya Prefektur Apostolik Batavia pada tahun 1807. Dengan berdirinya Prefektur Apostolik Batavia inilah, Gereja Katolik secara legal boleh diijinkan kembali berkarya di bumi nusantara sampai di zaman kita ini. Pemahaman tentang Revolusi Perancis juga penting untuk memahami latar belakang jauh mengapa “pembubaran Serikat Jesus” terjadi. Revolusi Perancis sendiri bisa dimengerti sebagai titik kulminasi dari konflik antara pemikiran-pemikiran filsafat atau cara berpikir modern dengan kemapanan Gereja Katolik. Serikat Jesus sendiri dipandang sebagai bagian tidak terpisahkan dari Gereja Katolik, bahkan tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Jesuit itu “pembela utama”-nya. Oleh karena itu untuk memahami pembubaran Serikat Jesus, mau tidak mau dan bahkan harus menempatkannya dalam konteks Gereja Katolik secara lebih luas. Tulisan singkat ini bertujuan untuk memberi kerangka –frame- supaya pembaca dapat memahami dalam konteks historis mana persoalan-persoalan yang muncul itu terjadi. Tulisan ini membatasi diri pada latar belakang berkembangnya konflik yang semakin menajam antara “cara berpikir baru” dalam perjalanan sejarah Gereja Katolik sampai akhirnya Serikat Jesus dibubarkan. Yang diupayakan adalah pemaparan kronologis supaya tahap-tahap perkembangan perbedaan cara berpikir itu juga lebih mudah diikuti. 1. Zaman Renaissance Yang dimaksud dengan renaissance adalah sebuah gerakan kultural yang berawal di Italia dan waktunya terentang dari abad XIV sampai dengan abad XVII 5. Sekalipun gerakan ini tidak bisa dipisahkan dari suasana intelektual 6, sosial-politik, namun biasanya renaissance 1 Disampaikan dalam Seminar Perhati di Universistas Sanata Dharma. Sabtu, 22 Maret 2014. Dosen Sejarah Gereja di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma 3 Thomas Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church, New York, 2005, hlm. 280 4 Ada tiga motto perjuangan yang dikenal dalam Revolusi Perancis yaitu liberte, egalite, dan fraternite. Tiga motto ini kiranya mencerminkan motif perlawanan terhadap kondisi masyarakat yang ada pada saat itu. William Doodruff, A Concise History of the Modern World, London: Abacus, 2007, hlm. 56-57 5 William Doodruff, A Concise History of the Modern World, London: Abacus, 2007, hlm. 30 6 Nama-nama Desiderius Erasmus, Niccolo Machiavelli, William Shakespeare hanyalah sebagai contoh dari para pemikir zaman ini 2 lebih sering dikaitkan dengan karya-karya seni-nya 7. Menilik asal-katanya, renaissance berarti kelahiran kembali, bangkit dari masa suram Abad Pertengahan. Dengan renaissance, Eropa merasa menemukan kembali kejayaan masa lampaunya dalam bidang seni, musik, sastra, arsitek, politik, pendidikan. Mereka yang memandang Abad Pertengahan secara negatif akan mengatakan bahwa renaissance tidak memiliki keterikatan dengan Abad Pertengahan (diskontinuitas). Mereka yang memandang Abad Pertengahan secara positif mengatakan bahwa renaissance merupakan kelanjutan dari “benih” yang sudah ada di Abad Pertengahan (kontinuitas) 8. Abad Pertengahan sendiri –dalam konteks ini- harus dimengerti sebagai periode atau masa di mana Gereja mendominasi segala bidang kehidupan. Lepas dari dua pandangan tersebut, dengan renaissance Eropa disadarkan akan kebesaran dirinya; manusia yang telah ditenggelamkan peran-nya oleh tirani Abad Pertengahan. Kesadaran ini muncul bersamaan dengan pelbagai penemuan 9, seperti alat cetak, alat-alat navigasi yang membuat manusia Eropa mampu mengarungi lautan yang tidak terbatas. Penemuan-penemuan tersebut membuat manusia merasa tidak lagi dapat dibatasi. Manusia-lah penguasa alam semesta ini. Dan inilah ciri utama dari zaman renaissance ini: anthroposentris. Manusia -bukan ajaran dan wewenang-wewenang Gereja- adalah pusat segalanya. Sekalipun demikian, tidak bisa dikatakan bahwa manusia pada zaman ini menolak dimensi ilahi 10. 2. Reformasi Protestan Gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther boleh dikatakan berseberangan dengan gerakan renaissance-humanis justru karena gerakan ini memberi tekanan pada kerapuhan manusia 11. Sekalipun demikian munculnya Gerakan Reformasi ini jauh lebih rumit dari sekedar perkembangan mentalitas baru, seperti renaissance. Realitas politik yang didominasi wangsa Habsburg dan Bourbon turut memperkeruh situasi. Belum lagi kondisi internal Gereja Katolik dan cara hidup para pimpinan-nya yang semakin jauh dari semangat Injil membuat Gereja semakin terkikis kredibiltas-nya. Kondisi sosial-politikreligius yang memprihatinkan ini kiranya bisa menjadi alasan mengapa Gerekan Reformasi yang diawali oleh Martin Luther ini mendapat tanggapan seluas Eropa. Kalau sebabnya hanya tunggal damapkanya pasti tidak akan sedahsyat itu 12. Dalam rentang waktu yang singkat gerakan ini telah berhasil membelah Eropa Kristen menjadi dua kubu: Gereja Katolik versus Gereja Lutheran. Pax Augusta yang ditandatangani pada tahun 1555 merupakan benih awal dari meruncingnya relasi Gereja dengan pemikiran modern. Dengan keputusannya cuius regio eius religio (agama rakyat mengikuti agama pemimpin-nya) Pax Augusta bermaksud menawarkan solusi bagi pecahnya perang agama antara Gereja Katolik Roma dengan Gereja Lutheran. Hanya saja, sebagai akibat dari keputusan ini segala perbedaan di suatu wilayah 7 Michel Angelo (dengan karya master piece-nya Pieta dan David) dan Leonardo da Vinci (Perjamuan Akhir) adalah produk dari gerakan ini sehingga sering disebut Renaissance Man 8 Battista Mondin, Storia della Teologia 3, Bologna, 1996, hlm 19-20 9 Johannes Gutenberg, Nicolaus Copernicus, Galileo Galilei adalah beberapa nama dari para penemu alat atau penemu teori baru yang berpangkal pada eksperimen-eksperimen. Thomas Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church, New York, 2005, hlm. 259-261; William Doodruff, A Concise History of the Modern World, London: Abacus, 2007, hlm. 138 10 Battista Mondin, Storia della Teologia 3, Bologna, 1996, hlm 19 11 Di lain pihak Martin Luther harus juga disebut sebagai gambaran dari roh rennaissance yang mendorong orang untuk kembali ke sumber asli (=Kitab Suci). 12 Giacomo Martina, La chiesa dell’eta della riforma, Brescia, 1983, hlm 37-40 tidak mendapatkan tempat: satu raja, satu hukum, satu agama (unus rex, una lex, una religion). Kebebasan pribadi, yang termasuk di dalamnya kebebasan beragama, yang dijunjung tinggi di dalam pemikiran moderen berhadapan langsung dengan otoritas agama, baik Gereja Katolik maupun Gereja Lutheran. Toleransi sama sekali tidak mendapat tempat, bahkan dianggap sebagai tindak kriminal karena membahayakan kebenaran. Sekalipun demikian kondisi intelektual dan cara berpikir baru yang diawali oleh renaissance tidak lagi bisa dibendung. Muncullah mazhab-mazhab yang berpikiran bebas yang tidak lagi menempatkan ajaranajaran Gereja dan Kitab Suci sebagai acuan atau satu-satunya acuan. Inilah awal dari apa yang dikenal dengan lahirnya rasionalisme/enlightenment/Aufklarung/Fajar Budi 13. 3. Situasi Gereja Katolik Pasca Reformasi Di Konsili Trento (1545-1563) Gereja Katolik mencoba untuk menyelesaikan persoalan berkaitan dengan Gerakan Reformasi. Persatuan kembali tidak bisa dicapai karena persoalan menjadi lebih luas dari sekedar permasalahan gerejani; kepentingan politik sudah tercampur di dalamnya. Terselenggaranya Konsili Trento sendiri sudah mencerminkan pembaharuandiri Gereja Katolik. Paus dikelilingi oleh para pembantu yang bersemangat pembaharu, tarekat-tarekat religius juga memperbaharui diri, begitu pula pendidikan para calon imam diosesan ditangani dengan lebih baik 14. Singkat kata, Gereja Katolik mendapatkan kembali semangat pelayanan-nya, termasuk di dalamnya semangat misioner. Kehadiran Gereja Katolik tidak lagi terbatas di Eropa, tetapi juga hadir di Amerika 15 dan Asia 16. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa di dalam periode ini peran kelompok religius baru Serikat Jesus amat mewarnai sehingga dengan cepat pula dipandang sebagai kelompok Kontra-Reformasi. Terutama dengan sekolah-sekolahnya, kelompok ini banyak merebut kembali pengaruh Gereja Lutheran kembali ke pangkuan Gereja Katolik 17. Para Jesuit juga terlibat dalam peningkatan kualitas pendidikan para calon imam diosesan lewat seminari-seminari. Sekalipun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa pada waktu yang bersamaan aliran-aliran filsafat modern telah menempatkan dirinya sebagai pihak yang sering berlawanan dengan Gereja. Justru karena upayanya untuk membangun identitas kekatolikan yang baru –bukan Lutheran atau bukan Protestan- Gereja Katolik lantas tidak menerima begitu saja toleransi. Cuius regio eius religio berlaku tidak hanya untuk Gereja Protestan tetapi juga berlaku di wilayah Gereja Katolik. Benar bahwa Gereja Katolik telah memperbaharui diri –lebih Injili- tetapi tetap belum bisa menerima pandangan-pandangan filsafat sezaman. 13 Thomas Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church, New York, 2005, hlm. 260-268 Thomas Bokenkotter, A Concise History...., hlm. 239-256; Battista Mondin, Storia della Teologia 3, Bologna, 1996, hlm 250-253 15 Ekspedisi Christophorus Colombus segera diikuti dengan ekspedisi-ekspedisi lainnya, dan bersamaan dengan itu mulai pulalah karya misi di Amerika. Para Jesuit dari Perancis, Spanyol, Portugis akan menandai kehadiran Gereja Katolik di antara penduduk Indian. Demikian pula para misionaris Dominikan dan Fransiskan turut terlibat dan memperkuat penyebaran iman ini. Thomas Bokenkotter, A Concise History...., hlm. 365-378 16 Ekspedisi Vasco da Gama dengan bendera Portugis akan segera menandai kehadiran Portugis dan Gereja Katolik di Asia, secara khusus di India. Para misionaris Jesuit akan hadir di beberapa tempat seperti Indonesia (Kepulauan Maluku), Jepang, Indochina, dan Cina. Para misionaris Spanyol akan hadir di Philippina. Di sinipun para Jesuit juga tidak sendiri. Sebagaimana yang di Amerika, terutama di Philippina Dominikan dan Fransiskan juga hadir. Nama-nama besar yang akan berpengaruh pada perkembangan misi dan pendekatannya, antara lain Fransiskus Xaverius, Alessandro Valignano, Matteo Ricci, Roberto de Nobili, Alexander de Rhodes. Thomas Bokenkotter, A Concise History..., hlm. 253-254 17 Nama Petrus Canisius menduduki tempat pertama dalam konteks ini, baik dengan kolese-kolese yang didirikannya maupun dengan karya Katekismus-nya. Thomas Bokenkotter, A Concise History, hlm. 248-249 14 Pandangan-pandangan filsafat atau cara-cara berpikir baru yang memiliki benihnya di zaman renaissance memang tidak menonjol sebagaimana prestasinya dalam bidang seni. Kalau humanisme-renaissance mulai berani memakai sumber-sumber lain di luar “yang kristiani”, setelah atau selama Reformasi Protestan cara-cara berpikir baru tadi lebih jauh melangkah. Mereka merasa independen, manusia itu otonom; mereka bisa dan mau menentukan masa depan mereka sendiri TANPA terikat lagi oleh Gereja. Rasio manusia itulah yang menentukan kebenaran (rasionalisme), rasio-budi manusia itulah yang memberi pencerahan (enlightenment, Aufklarung, Fajar Budi) 18. Oleh karena itu segala sesuatu yang menghalangi kebebasan pribadi manusia haruslah dilawan; kebebasan itu merupakan sesuatu yang inheren, yang ada bersama manusia. Rasio adalah penentu kebenaran. Oleh karena itu apapun yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara rasio bukanlah kebenaran. Pandangan ini tidak hanya berlaku untuk ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam membangun kehidupan bersama. Politik. Manusia tidak boleh dibatasi dalam mengupayakan dan mengekspresikan kebebasan-nya; juga dalam hal agama, karena agama itu adalah urusan pribadi. Gereja Katolik yang harus menghadapi Gerakan Reformasi, langsung juga harus berhadapan dengan cara berpikir baru itu. Bisa dipahami kalau Gereja Katolik bukan hanya dipandang sebagai musuh tetapi juga penghambat dari cara berpikir baru tersebut. Gereja Katolik cenderung bersikap curiga terhadap segala sesuatu yang baru karena Gereja merasa perlu untuk melindungi umatnya dari ajaran-ajaran sesat, yang tidak sesuai dengan kaidahkaidah kebenaran menurut Gereja. Dari dalam Gereja sendiri muncul beberapa gerakan nasionalis dan dari luar maraknya cara-cara berpikir baru 19. Dan persis kaidah-kaidah kebenaran Gereja itu yang sedang dipertanyakan. Di situlah titik temu itu justru tidak lagi ditemukan. Serikat Jesus dipandang sebagai pembela utama Gereja Katolik 20. Pada saat yang sama dari sekolah-sekolah Jesuit pulalah lahir para pemikir-pemikir filsafat yang berseberangan dengan pandangan Gereja bahkan tidak jarang menyerang pandanganpandangan Jesuit sendiri 21. Belum lagi di dalam pemerintahan atau kerajaan-kerajaan, tidak sedikit Jesuit yang terlibat sebagai penasehat atau “bapa pengakuan”; para Jesuit ada dalam inner circle pemerintahan. Padahal pemerintahan yang ada pada umumnya pemerintahan monarkis-absolut; memandang mereka yang memperjuangkan hak-hak pribadi dan kebebasan dipandang sebagai racun, subversif, dan kriminal. Persis inilah cara berpikir baru dan gerakan yang mereka perjuangkan. Dengan kata lain, Serikat Jesus merupakan bagiann yang tidak terpisahkan dari yang mau mempertahankan kemapanan itu. Kesimpulannya jelas: untuk meruntuhkan Gereja dan menumbangkan pemerintahan yang absolut itu, tidak bisa tidak Serikat Jesus harus dilumpuhkan lebih dahulu. 18 William Woodruff, A Concise.., hlm 137-144; Thomas Bokenkotter, A Concise History, hlm. 259-268 Sekedar sebagai contoh: di Perancis muncul Jansenisme dan Gallikanisme, di Austria muncul Josephisme. Gerekan-gerakan ini antara lain mau membatasi pengaruh dan wewenang Roma terhadap Gereja-gereja lokal. Thomas Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church, New York, 2005, hlm. 269-280 20 Thomas Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church, New York, 2005, hlm 319 21 Voltaire (Jesuit College Louis-Le-Grand – Paris), Denis Diderot (Jesuit College – Langre), Rene Descartes (Jesuit College Royal Henry-Le-Grand et La Fleche) 19 4. Pembubaran Serikat Jesus Seperti telah disebutkan di atas, dibubarkannya Serikat Jesus tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan relasi Gereja-Negara (Kerajaan), situasi internal Gereja Katolik sendiri yang sedang membangun identitas-diri setelah dikoyak oleh pelbagai persoalan Dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan filsafat atau cara berpikir modern yang secara langsung atau tidak banyak bertabrakan dengan wewenang dan kepentingan Gereja. Dilihat dari sudut pandang Jesuit sebagai kelompok, pembubaran Serikat Jesus juga bisa dilihat sebagai konsekuensi dari “komitmen-total” mereka pada perutusan yang mereka terima. Kita lihat satu demi satu. 4a. MISI ASIA: Kontroversi ritus-iman Hasil langsung dari penemuan dan perkembangan alat-alat navigasi adalah perluasan wilayah di luar Eropa. Spanyol dan Portugal, sebagai contoh, langsung memperluas wilayah pengaruh di Amerika dan Asia. Di samping perdagangan, kedua kerajaan ini juga melakukan karya penginjilan. Jesuit pun terlibat di dalamnya bersama dengan kelompok-kelompok imam lainnya: diosesan, Fransiskan, Agustinian, Dominikan, dll 22. Dalam perjalanan waktu, perbedaan pendekatan karya misi di antara para misionaris ini tidak jarang menimbulkan salah paham dan bahkan konflik. Dari sekian banyak konflik itu, pendekatan misi yang dikembangkan para misionaris Jesuit di Cina, Jepang, dan India boleh dikata menimbulkan kontroversi yang serius. Pendekatan budaya yang dirintis oleh para misionaris Jesuit –yang dalam istilah misi disebut akomodasi 23- dinilai “tidak sesuai lagi dengan iman Katolik” atau bahkan dikatakan bahwa “para Jesuit menggandaikan iman demi baptis”. Di masing-masing tempat, ada tokoh-nya yang menonjol dengan kisah pendekatan masing-masing. Secara singkat bisa dikatakan bahwa persoalan muncul sewaktu pendekatan misi itu mulai bersentuhan dengan masalah ritus –yang di zaman kita dikenal dengan inkulturasi-: boleh atau tidak Gereja memakai budaya lokal untuk mengungkapkan iman mereka? Tahta Suci terpaksa turun tangan untuk menengahi kontroversi ini. Pada tahun 1704 Paus Clemens XI melarang pendekatan Jesuit ini dan diulanginya lagi larangan tersebut dengan Ex illa die pada tanggal 19 Maret 1715 24. Larangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kekaisaran sekalipun masih mengijinkan Jesuit berkarya di tempat-tempat tertentu. Larangan ini dikonfirmasi Paus Benediktus XIV pada tahun 1742. Baru di tahun 1939 Paus Pius XII mengakui praktek ini. 4b. MISI AMERIKA: Kontroversi “reduccion” Kehadiran Jesuit di benua Amerika dimulai sejak awal keberadaan-nya. Di sini para Jesuit yang berkarya tidak terbatas dari Spanyol dan Portugal tetapi juga dari Perancis dan Inggris. Karya-karya mereka meliputi kolese, pueblos 25 , dan reduccion. Dua bentuk karya pertama tidak menimbulkan gejolak dan persoalan. Mereka mendidik orang-orang Indian “yang berbudaya”, untuk hidup sebagaimana budaya Eropa. 22 William V. Bangert, A History of the Society of Jesus, 2nd ed. St. Louis: The Institute of Jesuit Resources, 1986, hlm 85 23 Khususnya yang dikembangkan di Asia, metode akomodasi ini tidak bisa dipisahkan dari seorang tokoh besar Jesuit di Asia Alessandro Valignano. 24 J.N.D. Kelly, The Oxford Dictionary of Popes, Oxford University Press, 1986, hlm 292 25 Dengan pueblos mau dikatakan bahwa dalam karya misi ini –setelah ditaklukkan oleh para conquistadorespara misionaris datang dan masuk di tengah-tengah perkampungan mereka untuk memberikan pelayanan. Yang menimbulkan masalah adalah pembentukan reduccion 26. Berbeda dengan pueblos. Yang dimaksud dengan reduccion adalah perkampungan yang dibangun oleh para misionaris Jesuit. Para penduduk asli Indian “dipindahkan” dan dikumpulkan untuk hidup bersama. Di sini mereka dididik untuk menguasai pelbagai ketrampilan supaya mampu hidup mandiri: pertanian, peternakan, perkayuan, karya seni. Mereka juga diajar ber-liturgi termasuk dengan ketrampilan menyanyi dan menguasai instrumen musik. Mereka menjadi komunitas yang mandiri dan self-support. Perkampungan ini lintas-batas, bisa ditemukan di wilayah-wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Paraguay, Brasilia, dll. Yang dibuat oleh para misionaris Jesuit ini menimbulkan soal. Para pemburu budak27 mendapat perlawanan dari orang-orang Indian ini. Bisa dimengerti kalau mereka membenci para misionaris Jesuit karena secara tidak langsung telah merugikan mereka. Penguasa Spanyol/Portugal pun merasa kehilangan. Justru karena mereka ini self-support, mereka merasa sebagai kelompok yang merdeka; tidak mau patuh begitu saja. Para Jesuit dituduh telah membangun “negara di dalam negara” karena Jesuit memang tinggal di antara mereka ini. Justru karena para Indian itu merasa bisa menjadi seperti sekarang ini adalah berkat Jesuit, kelompok Indian ini lebih patuh kepada Jesuit daripada kepada penguasa politik. Relasi “penjajah-Indian-Jesuit” yang sudah tidak harmonis ini diperburuk sewaktu pada tahun 1750 ada policy dari “atas” berkaitan dengan perubahan status 28. Spanyol dan Portugal bertukar tanah jajahan. Konsekuensi dari policy tersebut penduduk harus pindah. Misionaris Jesuit ada di pusaran konflik dan jalan bersimpang: taat pada penguasa akan dipandang sebagai pengkhianat oleh para Indian, dan sebaliknya. Pater Jendral Ignatio Visconti (1751-1755) menganjurkan para Jesuit untuk menaati pemerintah 29. Tidak semua Jesuit di tanah misi menerima perintah ini. Pemberontakan tidak terelakkan 30 dan akan berlangsung selama tujuh tahun. Para Indian akhirnya kalah dan akan menjadi budak kembali. Jesuit pun akan segera diusir dari wilayah ini... 4c. EROPA: Regalisme - Enlightenment Pertentangan Jesuit dengan pihak lain yang terjadi baik di tanah misi Asia maupun Amerika dapat dengan mudah ditunjuk. Tidak begitu halnya dengan di Eropa. Di Eropa, mereka yang mengingini “bubarnya” Serikat Jesus adalah justru mereka yang selama itu mengalami pelayanan Jesuit. Sulit untuk menemukan benang merah dari alasan permusuhan mereka, karena masing-masing tampaknya memang memiliki alasan yang berbeda. a). September 1759. Jesuit diusir keluar dari Portugal. Portugal yang pemerintahan-nya praktis ada di tangan Pombal menuduh Jesuit telah merencanakan makar melawan 26 Film The Mission memberikan gambaran naratif-visual tentang model pendekatan para misionaris Jesuit di wilayah Amerika ini; Rafael Carbonell de Massy, “The Paraguay ‘Reductions’: Option for the Poor and Religious Obedience”, dalam History and Spirituality of the Society of Jesus, CIS XXIV, 1999, hlm 24-26 27 Konteks pemikiran harus kita masukkan di sini. Bagi orang Eropa, orang Indian ini dipandang tidak lebih dari binatang, seperti anjing dan babi; dalam literatur para pemburu budak ini dikenal dengan nama Paulistas; William V. Bangert, A History of the Society of Jesus...., hlm. 255 28 Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Madrid 1750 29 John W. Padberg, Martin D. O’Keefe, John L. McCarthy, For Matters of Greater Moment. The first thirty Jesuit General Congregations. A Brief History and a Translation of the Decrees, St. Louis: The Institute of Jesuit Resources, 1994 30 Dalam kenyataan, soalnya lebih pelik karena pelbagai kepentingan yang tersangkut di dalamnya. Salah satu tokoh yang pantas dicatat adalah Marquis Pombal. Inilah tokoh pemikir pencerahan tapi juga berperan penting dalam pemerintahan Portugal. Raja Joseph I31. Namun kalau dikaitkan dengan soal yang muncul di tanah misi Amerika dan “kotbah” Pater Malagrida 32, ketidak-sukaan Pombal terhadap Jesuit bisa dimengerti. b). November 1764, Louis XV membubarkan Serikat Jesus di kerajaan-nya setelah Jesuit menolak untuk melepaskan diri dari Serikat universal. Mereka tetap boleh tinggal di wilayah Perancis, tidak sebagai Jesuit dan di bawah izin uskup tertentu. Di Perancis memang bisa ditemukan lebih banyak alasan untuk melawan Jesuit. Keterlibatan seorang Jesuit dalam soal perdagangan; konflik terus-menerus antara Jesuit dan Jansenis 33, Jesuit dan Gallikanis 34 bisa jadi memicu kebencian. Masih ada sebab lain yang non-gerejani. Konflik pemikiran antara Jesuit dengan Pencerahan. Maksudnya, Jesuit itu menguasai pendidikan di Perancis tetapi metode-nya kolot, mempertahankan Ratio Studiorum yang dinilai sudah usang dengan ilmu yang berkembang. c). April 1767, Raja Carlos III mengusir Jesuit dari Spanyol, termasuk di tanah-tanah jajahan dan kekuasaan-nya seperti Amerika, Filipina, Sicilia, Parma 35. Di Spanyol, persoalan pengusiran bisa jadi lebih dikarenakan ketidaksukaan para klerus terhadap privelese-privelese gerejani yang dimiliki Serikat. Dan sebagaimana yang terjadi dengan Portugal, relasi Jesuit-Spanyol kiranya juga diwarnai oleh kondisi di tanah misi-jajahan Amerika. Satu-satunya tempat yang kiranya dapat dan mau menerima mereka kiranya Negara Kepausan; ke sanalah mereka diungsikan. Hanya saja nasib mereka tidaklah sama. Mereka yang di bawah kuasa Spanyol masih beruntung karena beaya hidup mereka masih ditanggung Spanyol. Tidak begitu halnya yang dari Portugal. Penguasa Portugal lepas tangan. Di wilayah-wilayah penampungan mereka melakukan kegiatan sebisanya sampai akhirnya Paus Clemens XIV dengan Breve Dominus ac Redemptor membubarkan Serikat Jesus pada tanggal 21 Juli 1773. 5. Penutup Peristiwa pembubaran Serikat Jesus sepertinya sebuah peristiwa yang penuh dengan hal yang kontadiktoris. Ordo yang anggota-anggotanya mengucapkan kaul ketaatan kepada Bapa Suci, justru dibubarkan oleh Paus. Kelompok religius yang anggota-anggotanya dikenal sebagai penasehat raja, bapa pengakuan raja, justru diusir atau dibubarkan oleh mereka yang selama itu mereka layani. Kelompok religius yang dikenal dengan pendidikan-nya dan sekolah-sekolahnya justru ditantang dan dimusuhi oleh para alumni-nya. Kelompok religius yang dikenal semangat misioner-nya, justru diusir dan dibubarkan karena pendekatan dan cara ber-misi-nya dinilai tidak lagi sesuai dengan ajaran-ajaran Gereja. Masih kontradiktif juga karena kelompk religius ini justru diterima dan dibiarkan tetap berkarya di daerah yang tidak di bawah kuasa Paus. 31 Dalam Sejarah Portugis bahkan periode ini dikenal dengan sebutan The Age of Pombal Seorang Jesuit yang dalam bencana gempa bumi berkotbah supaya penduduk Lisbon berbalik dari dosa mereka; pernyataan yang tentu saja melukai “budi” Pombal. Robert E. Scully, “The Suppression.., hlm 7 33 Thomas Bokenkotter, A Concise History..., hlm 269-273 34 Thomas Bokenkotter, A Concise History..., hlm 274-279 35 Robert E. Scully, “The Suppression.., hlm 1 32 DAFTAR PUSTAKA Arturo Reynoso, “The Exiled Jesuits in the Papal States”, in Jesuits: Yearbook of the Society of Jesus, 2014,hlm 25-28 Battista Mondin, Storia della Teologia 3, Bologna, 1996 Giacomo Martina, La chiesa dell’eta della riforma, Brescia, 1983 J.N.D. Kelly, The Oxford Dictionary of Popes, Oxford University Press, 1986 Martin M. Morales, “The Suppression: a Historiographic Challenge”, in Jesuits: Yearbook of the Society of Jesus, 2014, hlm 16-19 Pedro Miguel Lamet, “The Calvary of the Spanish Jesuits in 1767”, in Jesuits: Yearbook of the Society of Jesus, 2014,hlm 20-24 Rafael Carbonell de Massy, “The Paraguay ‘Reductions’: Option for the Poor and Religious Obedience”, dalam History and Spirituality of the Society of Jesus, CIS XXIV, 1999, hlm 24-26 Robert E. Scully, “The Suppression of the Society of Jesus. A Perfect Storm in the Age of the ‘Enlightenment’”, Studies in the Spirituality of Jesuits, 45/2, 2013 Sabina Pavone, “The Society of Jesus in the storm”, in Jesuits: Yearbook of the Society of Jesus, 2014, hlm 12-15 Thomas Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church, New York, 2005 William V. Bangert, A History of the Society of Jesus, 2nd ed. St. Louis: The Institute of Jesuit Resources, 1986 William Doodruff, A Concise History of the Modern World, London: Abacus, 2007 BAGAN PERISTIWA-PERISTIWA PENTING DI SEKITAR PEMBUBARAN DAN RESTORASI SERIKAT JESUS TAHUN 1517 1555 1570 1622 1650 1704 PERISTIWA-PERISTIWA PENTING Reformasi Protestan; Eropa tidak lagi identik dengan kekristenan Pax Augusta cuius regio eius religio satu raja, satu hukum, satu agama Matteo Ricci di Cina akan disusul dengan kontroversi ritus Confusianus (SJ vs Roma/OFM/OP) Pendirian Propaganda Fide; upaya Gereja Katolik melepas diri dari citra evangelisasi // kolonialisasi Roberto de Nobili; kontroversi ritus Malabar Paus Clement XI melarang pendekatan akomodatif misionaris Jesuit di tanah misi Cina (dan pada umumnya) 1742 Paus Benediktus XIV meng-konfirmasi posisi Clement XI soal ritus 1753 regalisme Charles III, Spanyol 1758 soal tritorial dengan Portugal, Pombal; diusir 1764 soal perdagangan, disuir dari Perancis 1763 diusir dari Spanyol, juga berlaku untuk jajahan Spanyol – misi 1768 diusir dari Parma 1773, 21 dibubarkan oleh Paus Clemens XIV dengan bulla Dominus Juli: ac Redemptor 1789 Revolusi Perancis; politik ekspansi; bukan hanya antiGereja tapi juga anti-monarki 1814 1870 Kongres Wina sebagai penutup dari Revolusi Perancis - suasana politik kembali ke monarki seperti sebelum RP 1789 - 7 Agustus: dengan Solicitudo Omnium Paus Pius VII merestorasi Serikat Jesus Konsili Vatikan I PAUS Absolutisme: Negara//Gereja Rationalismeenlightenment Jansenisme Gallikanisme Clement XI 1700-1721 Innocent XIII 1721-1724 Benedict XIII 1724-1730 Clement XII 1730-1740 Benedict XIV 1740-1758 Menguatnya kontrol Negara atas Gereja lement XIII 1758-1769 Clement XIV 1769-1774 Pius VI 1775-1799 Pius VII 1800-1823 1801: Traktat Napoleon-Pius VII Leo XII 1823-1829 Gregory XVI 1831-1846 Pius IX 1846-1878 Berkembangnya Katolik Liberal Mirari Vos: mengutuk KL Syllabus Errorum; Infallibilitas