A. Sejarah Perkembangan Peraturan Narkotika Di Indonesia Narkotika dalam pengertian opium telah dikenal dan dipergunakan masyarakat Indonesia khususnya warga Tionghoa dan sejumlah besar orang Jawa sejak tahun 1617. Selanjutnya diketahui bahwa mulai tahun 1960-an terdapat sejumlah kecil kelompok penyalahguna heroin dan kokain. Pada awal 1970-an mulai muncul penyalahgunaan narkotika dengan cara menyuntik. Orang yang menyuntik disebut morfinis. Sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1990an sebagian besar penyalahguna kemungkinan memakai kombinasi berbagai jenis narkoba (polydrug user), dan pada tahun 1990-an heroin sangat populer dikalangan penyalahguna narkotika. Pada saat ini, ancaman peredaran gelap maupun penyalahgunaan narkotika semakin meluas dan meningkat di Indonesia. Data dan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 telah berhasil disita narkotika seperti ganja dan derivatnya sebanyak 127,7 ton dan 787.259 batang; heroin sebanyak 93,9 kg; morfin sebanyak 244,7 gram; serta kokain sebanyak 84,7 kg. Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997. Ada beberapa revisi terhadap Undang- undang Nomor 22 Tahun 1997 tersebut karena masih ditemukan beberapa kelemahan selama pelaksanaan atau penerapannya sehingga Undang- undang tersebut diratifikasi pada tahun 2009 sehingga melahirkan Undang- undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mana ada beberapa perbedaan dengan undang- undang sebelumnya. Uraian masing- masing peraturan perundang-undangan tersebut yaitu ; 1 1. Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Sebelum Indonesia merdeka, pada masa pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan Ordonansi Obat Bius yang disebut Verdoovende Middellen Ordonantie, Staatsblad 1927 No. 278 jo. No. 536. Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium verpakkings Bepalingen, Staatsblad 1927 No. 514. Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul diberlakukan UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk: a. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional. b. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan c. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas. 2 Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menanggulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari undangundang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius. 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme (UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Hawana, Cuba. Resolusi ketigabelas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain dengan : a. meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika; b. program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan pengguna psikologis, psikiatris, (drug-dealers) maupun melalui pendekatan pendekatan hukum dalam medis, rangka pencegahan. 3 Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ESEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan : 1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkotika; 2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika ; 3. Membentuk badang koordinasi di tingkat nasional; dan 4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan internasional. Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN. Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Board dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IVyang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional. 4. Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Masih ada beberapa kesamaan esensi baik hukum materil maupun hukum formil antara undang-undang no.22 tahun 1997 dengan undang-undang no. 35 tahun 2009 , namun tetap ada beberapa perubahan. Pertimbangan Pemerintah dalam menyusun UU no. 35 tahun 2009 adalah : bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas 4 sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya; bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama; bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia; bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika. 5 Dasar hukum Pemerintah melahirkan UU No. 35 Tahun 2009 yaitu : a. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3085); c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 Pemberantasan (Konvensi Peredaran Perserikatan Gelap Narkotika Bangsa-Bangsa dan tentang Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673). Sedangkan Dasar atau prinsip dari UU No. 35 tahun 2009 itu sendiri adalah ; Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian asas-asas dalam UU No. 35 Tahun 2009 antara lain ; keadilan; pengayoman; kemanusiaan; ketertiban; perlindungan; keamanan; nilai-nilai ilmiah; dan kepastian hukum. Tujuan diberlakukannya UU No. 35 Tahun 2009 yaitu ; menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; 6 memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika. B. Faktor- faktor Penyebab Lahirnya Kebijakan Pemerintah Untuk Merevisi Undang- Undang No. 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Sebelum melihat faktor- fakto penyebab kebijakan pemerintah untuk merevisi Undang –undang No. 22 tahun 1997 dengan Undang- undang No. 35 tahun 2009, maka perlu diuraikan beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan antara kedua peraturan tersebut sebagai berikut : No. UU No. 22 Tahun 1997 UU No. 35 Tahun 2009 1. Penyidik : Penyidik Polri dan PPNS Penyidik Tertentu 2. Polri , PPNS Tertentu dan tambahan yaitu penyidik BNN Kewenangan Penyidik Menangkap dan menahan, kecuali PPNS : Menangkap dan menahan hanya memiliki kewenangan menangkap saja. 3. Lama waktu penagkapan : 1 x 24 2 x 24 jam, diperpanjang 3 x 24 jam jam, dapa diperpanjang 2 x 24 jam 4. Lama waktu penyadapan : 30 hari 3 bulan dapat diperpanjang maksimal 3 bulan 5. Ancaman pidana : hanya Pidana maksimum dan minimum maksimum 6. Pemberatan pidana : - Ada bagi yang membawa 5 gr atau lebih atau 5 tanaman/ lebih. 7. Alat bukti : sesuai KUHAP 8. Pemberlakuan Sesuai KUHAP, ditambah bukti elektronik pemidanaan Kepada masyarakat yang melanggar, :kepada masyarakat yang melanggar juga kepada penyidik, jaksa, dan petugas laboratorium selaku aparat penegak hukum yang ikut melanggar 7 Dari perbedaan diatas maka dapat diketahui ada faktor- faktor yang menjadi alasan , setidaknya ada 9 (sembilan) alasan yang berhasil ditemukan oleh penulis, yang menjadi dasar kebijakan pemerintah untuk melakukan revisi Undang- undang nomor 22 tahun 1997, yaitu faktor materiil Undang- undang yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kejahatan narkoba, juga secara tidak langsung adalah faktor aparat penegak hukum yang juga berpotensi melakukan pelanggaran dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika. Dari prespektif sosiologi hukum, selain karena faktor perundangundangan dan aparat penegak hukum, maka faktor kultur hukum (legal culture) masyarakat juga mempunyai peran yang signifikan dan menentukan apakah kinerja penegak hukum akan menjadi efektif atau tidak dalam penanggulangan tindak pidana narkotika. Hal ini karena unsur perundang-undangan (substance), aparat penegak hukum (structure), dan budaya hukum masyarakat (legal culture) merupakan tiga komponen pokok dalam sistem hukum (legal system) yang satu sama lain saling melengkapi dan mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dalam nasyarakat (Friedman, 1984). Jika faktor hukumnya lemah tetapi aparat penegak hukum konsisten dan tegas serta ditunjang dengan manajemen dan sarana yang memadai, kemudian ditunjang dengan kultur hukum masyarakat yang kondusif, maka kinerja oenegakan hukum akan berlangsung secara efektif. Tetapi, jika alemen hukumnya sudah baik tetapi faktor aparat penegak hukumnya tidak tegas dan inkonsisten, sarana dan manajemen tidak proporsional, ditambah lagi dengan kultur masyarakat yang tidak kondusif, maka kinerja penegakan hukum menjadi tidak efektif, dan demikian seterusnya. 8