BAB I PENDAHULUAN A. Rasionalisasi Pentingnya CJR Perkembangan ilmu pengetahuan yang minim disebabkan karena rendahnya minat baca mahasiswa/i pada saat ini. Mengkritik jurnal merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menaikkan ketertarikan minat membaca. Mengkritik Jurnal (Critical Journal Review) merupakan kegiatan mengulas suatu jurnal agar dapat mengetahui dan memahami apa yang disajikan dalam suatu jurnal.Pada dasarnya review jurnal menitikberatkan pada evaluasi (penjelasan, interpretasi dan analisis) mengenai keunggulan dan kelemahan, apa yang menarik, dan bagaimana jurnal tersebut bisa merubah persepsi dan cara berfikir serta menjadi pertimbangan apakah dari pengetahuan yang didapat mampu menambah pemahaman terhadap suatu bidang kajian tertentu. Selain itu mengkritik jurnal juga dapat melatih kemampuan kita dalam menganalisis dan mengevaluasi pembahasan yang disajikan penulis. Sehingga menjadi masukan berharga bagi proses kreatif kepenulisan lainnya. Mengkritik jurnal tidak dapat dilakukan apabila pengkritik tidak membaca keseluruhan jurnal tersebut. Dengan melakukan review tersebut pembaca dapat mengetahui kualitas jurnal dengan membandingkan terhadap karya dari penulis yang sama atau penulis lainnya serta dapat memberikan masukan kepada penulis jurnal berupa kritik dan saran terhadap sistematika penulisan, isi, dan substansi jurnal. Selain itu untuk para pembaca, Critical Journal Review ini mempunyai tujuan agar pembaca mendapat bimbingan dalam memilih buku. Setelah membaca hasil review jurnal ini diharapkan timbulnya minat untuk membaca atau mencocokkan seperti apa yang ditulis dalam hasil review. Dan apabila tidak memiliki waktu untuk membaca isi jurnal, maka ia dapat mengandalkan hasil review sebagai sumber informasi. B. Tujuan Penulisan CJR Tujuan dari penulisan CJR ini adalah untuk penyelesaian tugas dari matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang diampu oleh bapak Budi Ali Mukmin, S.IP, M.A. Selain itu tujuan saya untuk melakukan Critical Journal ini agar menambah wawasan tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di Indonesia, meningkatkan kemampuan dalam mengkritik dan berfikir kritis dan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat CJR. 1 2 C. Manfaat CJR Sebagai mahasiswa calon pendidik di masa yang akan datang jurnal-jurnal ini sangat bermanfaat dan sangat menambah wawasan tentang pendidikan. CJR ini juga sebagai latihan untuk siswa dalam pembuatan karya tulis ilmiah yang baik dan benar. D. Identitas Journal 1. Journal Utama 1 Judul \2 3 4 5 6 7 8 Tantangan globalisasi terhadap pembinaan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air disekolah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurnal Google Schoolar Download Volume dan Halaman Volume 3, Nomor 3 hal 49-55 2015 Tahun Yosaphat Haris Nusarastriya Penulis Johannes Lumban Gaol Reviewer 21 April 2018 Tanggal 2. Journal Pembanding pertama Pelaksanaan Undang-Undang No 15 1 Judul Tahun2003 Tentang Terorisme Dalam Upaya Menanggulagi Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia Peradilan dan Penyeleaian Sengketa Umum 2 Jurnal Google Schoolar 3 Download Vol 4 No. 2 Hal 154-163 4 Volume dan Halaman 2014 5 Tahun Clara Lintang Parisca 6 Penulis Johannes Lumban Gaol 7 Reviewer 21 April 2018 8 Tanggal BAB II RINGKASAN ISI JOURNAL A. Ringkasan Journal Utama 1. Latar Belakang Setiap negara-bangsa (nation-state) yang ingin tetap eksis selalu mendidik rakyatnya menjadi warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Oleh karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. pembinaan terhadap generasi muda menjadi warganegara yang baik menjadi perhatian utama. Tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan warganegara yang bertanggung jawab, efektif dan terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warganegara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warganegara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud. Oleh karena itu, tugas bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan anggota civil society lainnya, adalah mengkampanyekan pentingnya pendidikan kewarganegaraan kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintahan. Pembinaan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air melalui program pendidikan kewarganegaraan merupakan perkara yang perlu dilakukan secara berkelanjutan demi menjamin keberlangsungan kehidupan negara-bangsa. Dalam konteks ini pendidikan telah diberikan peranan yang besar oleh Indonesia. Dalam praktik, Pendidikan Kewarganegaraan dipahami sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; (2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; dan (4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Standar Isi, 2006). Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah dunia seakan-akan menjadi kampung dunia (global village). Dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, dapat pula memengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak seluruh masyarakat Indonesia. 3 4 2. Fokus Studi Persoalan pokok yang menjadi fokus studi dalam penelitian ini adalah kesenjangan antara upaya pembinaan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air di sekolah dengan tantangan globalisasi yang menghadirkan unsur unsur budaya baru yang dibawa agen budaya dari luar sekolah, terutama oleh media massa televisi. Selanjutnya masalah penelitian ini dirumuskan dalam sejumlah pertanyaan sebagai berikut. a. Sejauh mana persoalan yang muncul di sekolah-sekolah seiring derasnya arus globalisasi menerpa para siswa melalui media massa televisi? b. Bagaimana potret aktivitas para siswa di luar kegiatan sekolah di rumahnya, utamanya dalam aktivitas membaca dan menonton televisi? c. Seberapa kuat kebiasaan para siswa belajar di rumah sepulang sekolah, utamanya dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan rumah? d. Bagaimana aktivitas para siswa dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya masing-masing? e. Bagaimana format ideal pembelajaran PKn di sekolah menurut penilaian siswa dan guru? f. Sejauhmana para siswa menguasai kompetensi kewarganegaraan sebagai warganegara muda dan kendala-kendala yang menghambat pencapaiannya? g. Bagaimana sosok warganegara yang baik dan cerdas menurut penilaian para siswa dan guru? h. Seberapa besar kontribusi PKn, pelajaran lain, dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dalam membentuk warganegara yang baik dan cerdas? 3. Analisis Jurnal a. Sajian Topik 1) Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, kuantitatif dan kualitatif dengan pola “the dominant-less dominat design” dari Creswell (1994:177). 2) Pendekatan kuantitatif ini menggunakan metode survey 3) penelitian ini memiliki karakteristik sebagaimana diungkapkan Singleton & Straits (1999: 239) yaitu : 1) sejumlah besar responden dipilih melalui prosedur sampling untuk mewakili populasi; 2) kuesioner sistematik digunakan untuk bertanya mengenai sesuatu mengenai responden, dan mencatat jawaban-jawaban mereka; dan 3) jawaban-jawaban tersebut dikode secara numerik dan dianalisis. 5 4) penelitian ini menggunakan paradigma tambahan (kurang dominan) dengan pendekatan kualitatif untuk pendalaman. 5) Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMPN dan SMA/SMK di Jawa Barat dan Batam. b. Hasil Peneliti dan Pembahasan Berdasarkan analisis data diperoleh simpulan hasil penelitian sebagai berikut: 1) Globalisasi menantang kekuatan penerapan unsur jati diri bangsa Indonesia melalui agen budaya luar sekolah terutama media massa. Para siswa lebih tertarik dengan budaya baru yang ditawarkan agen budaya luar sekolah terutama media televisi dibandingkan dengan budaya kita sendiri yang ditanamkan di sekolah. Adanya pertentangan antara nilai-nilai yang bersumber dari budaya adiluhung bangsa Indonesia dengan nilai-nilai yang dibawa oleh agen globalisasi tersebut mengakibatkan terjadinya konflik nilai pada diri siswa. 2) Terpaan media massa televisi memporakporandakan nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, sehingga para siswa sering menampilkan perilaku yang menyimpang dari ukuran budaya kita. Gemerlapnya acara televisi, utamanya siaran televisi asing yang ditangkap oleh fasilitas parabola dan semacamnya, menyita perhatian dan waktu para pelajar sehingga kegiatan menekuni pelajaran menjadi terganggu. 3) Tayangan televisi banyak sekali mengajarkan nilai-nilai yang menantang pencapaian misi PKn dalam mendidik warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Tayangan televisi yang lebih mengutamakan aspek hiburan tidak berkontribusi positif terhadap pembinaan warganegara yang terdidik (educated citizen). Budaya konsumerisme yang dibawakan berbagai acara di televisi menggiring para pemirsa termasuk para pelajar menampilkan gaya hidup konsumtif. 4) Tayangan televisi nasional sangat miskin nuansa pengembangan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air. Untuk mengimbangi adanya penetrasi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan budaya bangsa yang dibawakan oleh tayangan televisi asing maupun nasional perlu dibuat tayangan tandingan yang sama menariknya yang sarat akan nilai-nilai kebangsaan. 5) Format ideal pembelajaaran PKn adalah diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri, ditopang oleh sejumlah mata pelajaran lain yang relevan untuk memperkuat aspek tanggung jawab warganegara, dan disempurnakan oleh berbagai program kegiatan ekstrakurikuler maupun ekstra mural yang diselenggarakan di sekolah maupun luar sekolah termasuk pendidikan interventif dengan keluarga, organisasi sosial politik, maupun media massa. 6) Pencapaian misi PKn dalam mendidik warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen) tidak hanya dilaksanakan dalam kegiatan kurikuler di kelas, akan tetapi harus didukung oleh berbagai kegiatan ekstrakurikuler di luar kelas. Kenyataan yang ada masih terjadi sebaliknya dimana pencapaian misi PKn dalam mendidik 6 warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen) masih dibebankan pada pundak guru PKn, belum menjadi tanggung jawab seluruh guru di sekolah. 7) Suasana kehidupan di sekolah belum kondusif bagi upaya mencapai misi PKn dalam mendidik warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Tata tertib sekolah belum menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan perilaku siswa sebagai warganegara muda (young citizen) yang santun dan berbudi pekerti luhur. 8) Beberapa kompetensi yang penting sebagai indikator seorang warganegara yang cerdas dan baik adalah : (1) memiliki kemampuan untuk melihat dan mendekati masalah sebagai anggota masyarakat global; memiliki kemampuan bekerja sama dengan orang lain dengan cara yang kooperatif dan menerima tanggung jawab atas peran/tugasnya di dalam masyarakat; (3) memiliki kemampuan memahami, menerima, menghargai dan dapat menerima perbedaan-perbedaan budaya; (4) memiliki kapasitas berpikir dengan cara yang kritis dan sistematis. Keinginan untuk menyelesaikan konflik dengan cara tanpa kekerasan; (5) memiliki keinginan untuk mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtif untuk melindungi lingkungan Kemampuan bersikap sensitif dan melindung hak asasi manusia (misalnya, hak wanita, hak etnis minoritas, dan lain-lain); (6) memiliki keinginan dan kemampuan untuk ikut serta dalam politik pada tingkat lokal, nasional dan internasional. B. Ringkasan Jurnal Pembanding 1. Latar belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undangundang. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pembukaan mengamanatkan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan demikian negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan. Perang melawan teroris merupakan kebutuhan mendesak untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Peraturan dilarang diberlakukan secara surut sudah menjadi pengetahuan umum. Tujuannya, dalam rangka menghormati prinsip negara hukum (Rechtstaat) dan melindungi hak asasi seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 (Amandemen kedua) yang berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. 7 Asas legalitas secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan”. Perumusan tersebut berarti aturan pidana diberlakukan ke depan, tidak surut ke belakang. Oleh karena itulah maka dalam Hukum Pidana tidak diperbolehkan diberlakukan surut (non retroaktif). Undang-Undang Terorisme nampaknya mengambil sikap berbeda dengan mengadakan penyimpangan asas non retroaktif. Penyimpangan asas non retroaktif ini dirumuskan dalam Pasal 46 yang menegaskan sebagai berikut : “Ketentuan dalam Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tersendiri” Berlandaskan pada ketentuan inilah lahir Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. KUHP juga merumuskan perihal kemungkinan berlakunya surut suatu aturan hukum pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, tetapi tidak semua aturan baru dapat diberlakukan surut kebelakang. Pasal tersebut merumuskan : “Jika sesudah perbuatan dilakukan, ada perubahan dalam perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”, dengan perumusan demikian maka dapat dimungkinkan adanya retroaktivitas apabila sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundang-undangan dan peraturan yang baru itu menguntungkan atau meringankan terdakwa. Hal ini berarti bahwa tidak setiap ada perubahan undang-undang berarti ada retroaktif, bisa jadiundang-undang lama tetap diberlakukan (tidak ada retroaktif) apabila undang-undang lama justru lebih meringankan terdakwa. 2. Pelaksanaan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme a. Tinjauan Umum Terorisme 1) Pengertian Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 ayat (1), Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur 8 dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika : a) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6). b) Seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan ketentuan 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah : - Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. - Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu. - Menggunakan kekerasan. - Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah. - Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama. 2) Karakteristik Tindak Pidana Terorisme Menurut Drs Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik bahwa terorisme memiliki beberapa ciri yang mendasar, antara lain: a) Kegiatan terorisme dilakukan dengan cara-cara kekerasan (contoh pengeboman, penyanderaan, dan lain-lain) untuk memaksakan kehendaknya dan cara tersebut sebagai sarana (bukan merupakan tujuan); b) Sasaran serangannya adalah tempat-tempat umum atau obyek vital seperti pusat-pusat perbelanjaan, bandara, stasiun; c) Korbannya tidak pilih-pilih d) Kegiatannya sangat profesional dan rapi sehingga sulit untuk dilacak jejaknya 3) Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Terorisme diartikulasikan dalam tiga bentuk, yaitu : Pertama, terorisme yang bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan perorangan. Pengeboman mall-mall dan pusat perbelanjaan juga dapat dikategorikan sebagai terorisme yang dilakukan secara personal. Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Teknis melakukannya secara terencana. Biasanya, terorisme semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi, yang sering disebutsebut sebagai terorisme dalam kategori ini adalah jaringan Al-Qaeda. Sasaran terorisme dalam kategori ini adalah 1Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik,2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama,Ham dan Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, hlm 53 9 simbol-simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian. Ketiga, terorisme yang dilakukan oleh negara. Istilah ini tergolong baru, yang biasa disebut dengan “terorisme (oleh) negara” (state terrorism). Penggagasannya adalah Perdana Mentri Malaysia, Mahathir Muhammad dalam hajatan OKI terakhir. Menurutnya terorisme yang dikerahkan negara, tidak kalah dasyatnya dan terorisme personal maupun kolektif. Apabila kedua bentuk terdahulu dilaksanakan sembunyi-sembunyi, terorisme yang dilakukan negara dapat dilihat secara kasat mata. 4) Dampak Tindak Pidana Terorisme Beberapa dampak yang ditimbulkan dari tindak terorisme, antara lain: a) Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia Akibat dari adanya tindak terorisme juga dirasakan dampaknya dalam bidang ekonomi, menyebabkan menurunnya jumlah uang yang diterima oleh sektor-sektor ekonomi yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pengeluaran wisatawan, PMA yang sudah di Indonesia mencabut usahanya dan memindahkannya ke negara lain dan banyak pula pemutusan hubungan kerja (PHK). b) Dampak Terhadap Negara dan Masyarakat Dampak terorisme terhadap negara dan masyarakat yaitu dapat menurunkan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat baik dalam negara maupun dunia terhadap pemerintahan untuk menghadapi terorisme. c) Dampak Terhadap Harta Benda Aksi-aksi terorisme menimbulkan kerugian yang sangat besar dari segi benda (materi), seperti penghancuran dan perusakan bangunanbangunan, pusat perbelanjaan, fasilitas pendidikan, tempat hiburan bahkan tempat ibadah. d) Dampak Terhadap Nyawa Aksi-aksi terorisme telah banyak memakan korban, biasanya sasaran aksi terorisme lebih banyak ditujukan kepada masyarakat sipil yang tidak bersalah bila dibandingkan dengan aparat keamanan maupun militer. e) Dampak Psikologis Dampak psikologis yang sering terjadi dari aksi-aksi terorisme adalah rasa kekhawatiran, keresahan sosial dan ketakutan meluas dalam masyarakat sehingga menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kredibilitas dan kemampuan pemerintah dalam memerangi atau menumpas terorisme. f) Dampak Terhadap Kultur Akibat dari adanya tindak terorisme tersebut yaitu dapat menurunkan nilai budaya bangsa Indonesia yang sudah terkenal sebagai bangsa yang ramah, santun, beradap dan berkemanusiaan. g) Dampak Terhadap Agama Pengaruh negatif yang timbul akibat adanya masalah terorisme yang berkaitan dengan agama adalah menimbulkan rasa saling tidak percaya antar umat beragama. 10 b. Tinjauan Terhadap Undang-Undang Terorisme 1) Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme Peristiwa peledakan bom di Bali tahun 2002 sangat dikecam oleh dunia Internasional, hal tersebut diakibatkan karena dalam peristiwa peledakan Bom Bali I memakan banyak korban warga asing, merusak infrastuktur di Bali serta merusak hubungan bilateral negara. Kenyataan di Indonesia sampai dengan tahun 2002 masih belum mempunyai UndangUndang yang secara khusus mengatur Tentang Tindak Pidana Terorisme. Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Pada tanggal 4 April 2003 dengan persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan rakyat dan Presiden Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 diubah dan ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003. Diharapkan dengan telah diberlakukannya Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut dapat menjadi landasan hukum yang sesuai dan tepat dalam memberantas tindak pidana terorisme baik domestik maupun internasional. 2) Kejahatan Terorisme Sebagai “Ekstra Ordinary Crime” Hakekat kejahatan terorisme merupakan kejahatan kekerasan yang berdimensi khusus atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya dan sering disebut kejahatan kebiadaban dalam era keberadaban karena kejahatan ini mengorbankan manusia atau orang-orang yang tidak berdosa demi untuk mencapai tujuannya yakni menimbulkan ketakutan atau kengerian yang sangat mendalam terhadap manusia. Korban jiwa bukan merupakan sasaran, melainkan hanya sebagai sasaran perantara, untuk mencapai sasaran yang sebenarnya. 3) Kekhususan Undang-Undang Terorisme Beberapa hal yang menyimpang atau tidak diatur dalam KUHAP berkaitan dengan proses beracara terhadap tindak pidana terorisme : a) Jangka waktu penahanan Penangkapan dapat dilakukan oleh penyidik terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup, paling lama 7x24 jam. Hal ini berbeda dengan Pasal 19 KUHAP yang menyatakan bahwa lamanya penangkapan adalah satu hari. 11 b) Bukti permulaan yang cukup Menurut UU No 15 tahun 2003 bukti permulaan yang cukup dapat diperoleh dari setiap laporan intelijen. c) Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme Alat bukti yang dipergunakan disini tidak sebatas alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga dengan alat bukti elektronik lainnya. d) Pemblokiran terhadap harta kekayaan Penyidik, penuntut umum atau hakim dapat memerintahkan bank atau lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan terorisme. e) Penyadapan Penyidik diberi hak untuk menyadap pembicaraan lewat telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,merencanakan dan melakukan tindak pidana terorisme. f) Perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum dan hakim serta keluarganya yang berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana terorisme. Perlindungan diberikan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa atau hartanya, selama maupun sesudah proses pemeriksaan. g) Ketidakhadiran terdakwa Ketidakhadiran terdakwa meskipun telah dipanggil secara sah dan patut tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diberikan dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Apabila terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana terorisme maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah disita. Perampasan terhadap harta kekayaan tersebut tidak dapat dimohonkan upaya hukum. c. Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme 1. Penanggulangan Bersfat Preventif Pendekatan non penal dimaksudkan sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana (penal). Penanggulangan tindak pidana terorisme bersifat preventif diarahkan pada : a) Peningkatan kewaspadaan masyarakat atas tindakan teror, b) Masyarakat berani melaporkan pihak yang dicurigai sebagai pelaku terorisme kepada pihak berwajib, c) Pengentasan kemiskinan dan pengangguran terutama ditujukan pada pengangguran terpelajar, d) Mengurangi tingkat urbanisasi ke kota-kota atau negara-negara lain, e) Pendeteksian dini atas adanya ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada teror dan faham-faham fanatisme baru, f) Penghormatan dan menjamin kebebasan menjalankan keyakinan agamanya, 12 g) Densus 88 sebagai pasukan penanganan teror harus lebih siap dan h) siaga mengingat jaringan terorisme di Indonesia semakin meluas. 2. Penanggulangan Bersifat Represif Penanganan perkara tindak pidana terorisme di Indonesia dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-Undang ini memberi pedoman bagaimana menyelesaikan masalah tindak pidana terorisme yang terjadi diwilayah Indonesia. Penerapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dapat penulis kaji dalam proses hukum penyelesaian beberapa kasus peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu antara lain Bom Bali I tahun 2002, Bom JW Marriot tahun 2003 dan Bom Kedubes Australia tahun 2004. Vonis yang dijatuhkan dalam beberapa kasus yang penulis bahas dimuka menurut pendapat penulis sudah cukup sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tentu sudah banyak dilihat dari sudut penanggulangannya, penjatuhan vonis yang cukup berat mendekati dengan ancaman hukumannya. Hal ini mempunyai tujuan, baik bersifat pencegahan maupun bersifat penghukuman. Harapannya agar dapat berefek jera terhadap para pelaku terorisme, diupayakan dapat terus menjaring kejahatan terorisme di Indonesia serta pemberian hukuman yang setimpal mengingat dampak yang ditimbulkan oleh aksi terorisme sangat besar. BAB III ANALISIS JURNAL A. Analisis Jurnal 1. Kelebihan Jurnal Beberapa kelebihan dari penelitian yang dilakukan adalah : a. Jurnal utama menjelaskan pengaruh globalisasi dapat mengubah unsur jati apapun secara signifikan jika tidak diartikan dengan positif. b. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami bagi kalangan umum, jadi jurnal ini bisa dipakai untuk semua kalangan pendidikan. c. Pada jurnal pembanding menjelaskan tentang bagaimana cara mengantisipasi ancaman yang berintegral seperti terorisme.Selain itu jika kita memahami jurna ini dengan baik,kita dapat mengetahui cara mengantisipasi ancaman yang berasal dari luar maupun dari dalam terhadap negara kita.Bukan hanya perangkat negara yang dapat melindungi negaranya,tapi kita pun bisa. 2. Kelemahan Jurnal Jurnal ini secara keseluruhan sudah bagus,dalam bahasa juga sangat mudah dipahami sehingga semua orang di berbagai kalangan bisa menggunakannya sebaagai referensi tentang Globalisasi dan Ancaman Terorisme.Kelemahan jrunal ini terletak kesalahan penulisan subjudul pada jurnal pembanding. 13 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan mengenai globalisasi dan terorisme, dapat disimpulkan bahwa dalam pengaruhnya globalisasi memberikan pengaruh positif maupun dampak negatif yang melibatkan individu sebagai bagian dari fenomena global. Kemudian apabila diteliti lebih dalam, pada pengaruh globalisasi negatif merupakan salah satu penyebab munculnya terorisme. Terorisme dapat menjadi ancaman yang serius dalam globalisasi karena difasilitasi oleh revolusi informasi yang terjadi pada lapisan globalisasi 3.0 yang menjadikan dunia seperti percaturan politik layaknya lapangan permainan. Derasnya arus informasi sehingga dapat mengakses ke seluruh belahan dunia, menjembatani keberadaan kelompok terorisme berideologi radikal untuk melakukan kekerasan secara terencana. Kebanyakan dari mereka menginginkan perbaikan di bidang politik, ekonomi, dll, secara cepat dan cenderung memusuhi dunia Barat yang memunculkan paham kapitalisme. Bagi mereka, kapitalisme memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat khususnya di Indonesia dengan hilangnya nilai nasionalisme. Lebih kompleks, kelompok muslim radikal menginginkan dunia Barat dihancurkan. Studi kasus yang terungkap seperti pada peristiwa 9/11 di Gedung WTC (Work Trade Center), New York, Amerika Serikat. Peristiwa ini merupakan titik klimaks terorisme yang terjadi di kancah Internasional yang meyertakan agama Islam sebagai pelakunya. B. Saran Seharusnya jurnal ini memuat atau mencantumkan hasil dari penelitian serta seharusnya jurnal ini memberikan atau memasukkan bagan atau struktur sehingga pembaca dapat memahami jurnal tersebut. 14 15 DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundangan : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Azmi Muharom diakses pada 21 april 2017 17:37 wib http://azmihalo.blogspot.co.id/2011/03/globalisasi-dan-terorisme.html michrosoft edge