2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemon Laut Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon laut ditemukan hidup secara soliter (individual) dengan bentuk tubuh silinder. Organisme ini termasuk ke dalam filum Cnidaria (Fautin & Allen 1994) dan merupakan salah satu hewan pembentuk ekosistem terumbu karang. Hewan ini memiliki morfologi dan fisiologi yang mirip dengan hewan karang. Anemon memiliki tubuh seperti bunga sehingga disebut mawar laut (Hadi & Sumadiyo 1992). Anemon yang digunakan dalam penelitian ini adalah anemon pasir, Heteractis malu yang dapat dilihat pada Gambar 1. Anemon jenis ini memiliki nama dagang Delicate Sea Anemone. Heteractis malu termasuk dalam filum Cnidaria yang terdapat pada perairan tropis. Hewan ini berasal dari kelas Anthozoa dan berada pada subkelas yang yang sama dengan hewan karang yaitu Hexacorallia. Gambar 1 Anemon Pasir (Heteractis malu). 5 6 Berikut merupakan klasifikasi anemon pasir yang digunakan dalam penelitian yang terdapat pada Integrated Taxonomy Information System dengan nomor serial taksonomi 611996 . Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Sub Kelas : Hexacorallia Ordo : Actinaria Sub Ordo : Nyantheae Famili : Stichodactylidae Genus : Heteractis Spesies : Heteractis malu (Haddon dan Shackleton 1893) Tubuh anemon secara umum terdiri atas oral disk, coloum dan pedal disk. Struktur tubuh anemon dapat dilihat pada Gambar 2. Bagian atas anemon disebut oral disk. Mulut anemon terdapat pada oral disk yang juga berfungsi sebagai anus. Sekeliling mulut anemon memiliki tentakel yang berfungsi untuk menangkap makanan. Tentakel anemon mengandung sel knidosit atau sel penyengat yang menjadi ciri khas filum Cnidaria. Sel knidosit berfungsi untuk menyengat mangsa. Bagian yang menghubungkan mulut dengan coelenteron atau rongga perut adalah stomodaeum. Mesenteri filament terdapat di dalam rongga perut yang berfungsi sebagai usus. Bagian yang menempel pada substrat disebut basal disk. 7 Gambar 2 Struktur Umum Tubuh Anemon Laut Metridium dengan Bagian Tubuh Memotong untuk Menggambarkan Anatomi Internal (Fautin & Mariscal 1991). 2.2. Zooxanthellae Zooxanthellae merupakan alga simbion bersel tunggal dari kelas Dinoflagellata (Karako et al. 2001). Sel zooxanthellae berbentuk bulat berwarna coklat dengan ukuran diameter sel 5 µm – 15 µm (Stat et al. 2006). Sebagian besar zooxanthellae yang ditemukan berasal dari genus Symbiodinium (Stat et al. 2006; Rosenberg et al. 2007; Venn et al. 2008; Bouchard & Yamasaki 2008; Stambler 2011). Zooxanthellae dapat ditemukan hidup bebas di perairan atau hidup bersimbiosis dengan hewan invertebrata laut, seperti pada hewan karang, anemon laut, dan kima (Yellowlees et al. 2008). Gambar 3 menunjukkan zooxanthellae yang terdapat pada beberapa spesies. 8 Gambar 3 Symbiodinium- Bentuk seperti Sel yang Terdapat di dalam Gastrodermal pada Beberapa Inang Antipatharian. (a, b) Sayatan Melintang Tentakel A. Griggi, (c) Sayatan Membujur pada Rongga Tubuh Antiphates Grandis, dan (d) Sayatan Membujur pada Tentakel C. Cf. Anguina (Skala Bar = 10 mm; Tanda Panah Menunjukkan Symbiodinium) (Wagner et al. 2010). Zooxanthellae sebagai simbion pada tubuh inang dapat diturunkan secara maternal dari induknya ke generasi selanjutnya melalui telur atau larva. Selain itu alga simbion juga dapat diperoleh dari lingkungan perairan sekitar mereka (Yellowlees et al. 2008). 2.3. Hubungan Simbiosis Anemon dan Zooxanthellae Hubungan simbiosis anemon dan zooxanthellae merupakan simbiosis mutualisme (Trench 1979; 1987, dalam Gibbons 2008). Hubungan ini bersifat endosimbiotik dimana hewan simbion terdapat di dalam tubuh hewan inang. Zooxanthellae yang merupakan alga simbion dapat ditemukan di dalam vakuola 9 pada lapisan endodermis anemon (Trench 1987, dalam Gibbons 2008). Gambar 4 menunjukkan tempat zooxanthellae ditemukan pada jaringan tentakel anemon. Gambar 4 Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis Malu Menunjukkan Keberadaan Zooxanthellae pada Lapisan Endodermis. Hubungan simbiosis antara anemon dengan zooxanthellae sebagian besar adalah proses metabolis alga-invertebrata. Proses ini berupa pengangkutan nutrien inorganik melalui hewan inang invertebrata yang bersifat heterotrof kepada alga simbion yang autotrof (Yellowlees et al. 2008). Hubungan simbiosis ini didasari oleh kebutuhan energi yang diberikan zooxanthellae kepada hewan inang dari hasil fotosintesis dan sebaliknya hewan inang memberikan asupan nutrien berupa nitrogen dan fosfor yang dibutuhkan oleh zooxanthellae (Stambler 2010). Zooxanthellae menyumbang 95% dari hasil fotosintesisnya untuk memenuhi kebutuhan energi bagi hewan karang (Muscatine 1990, dalam HoeghGuldberg 1999). Sementara itu zooxanthellae mendapat keuntungan berupa perlindungan dari grazer dan ketersediaan nutrien. Nutrien yang disediakan diantaranya nitrogen, fosfor, dan karbondioksida sebagai bahan untuk fotosintesis. 10 2.4. Mekanisme Stres Stres merupakan suatu kondisi penurunan kualitas hidup yang disebabkan oleh adanya perubahan ekosistem atau adanya faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya produktivitas. Stres fisik, kimia, dan biologi yang diterima dapat berdampak terhadap salah satu pasangan simbiosis yakni hewan inang, zooxanthellae, keduanya, atau hubungan antara mereka (Stambler 2010). Stres dapat mempengaruhi laju pertumbuhan, reproduksi dan atau kelangsungan hidup holosimbion (Stambler 2010). Anemon yang mengalami stres akan mengalami perubahan dalam metabolisme, respon tingkah laku terhadap lingkungan dan biologi reproduksinya akibat faktor-faktor eksternal atau pun internal yang membatasi aktivitas biota ini. Hayes & Bush (1990 dalam Zamani 1995) mengemukakan bahwa hewan karang yang mengalami pemutihan akan menghasilkan mucus atau lendir, kerusakan lapisan gastroderm, dan gangguan vakuola yang di dalamnya terdapat zooxanthellae. Anemon akan melakukan adaptasi untuk mengurangi atau menghilangkan stres. Jika adaptasi yang dilakukan berhasil maka biota ini akan kembali dalam keadaan homeostatis. Namun apabila tidak berhasil maka biota ini akan mengalami stres kembali dengan kemungkinan stres yang bertambah besar (Sarwono 1992). Hewan karang menjaga keberadaan zooxanthellae dengan menyeimbangkan antara pengeluaran dan pertumbuhan zooxanthellae selama mitotis ketika keadaan lingkungan normal. Hoegh-Guldberg et al. (1987) menyatakan bahwa tingkat pengeluaran zooxanthellae kurang dari 4% dimana dalam populasi tersebut juga terjadi penambahan individu baru. Pengurangan populasi zooxanthellae dapat 11 terjadi dengan cepat bila kondisi fisik dan kimia lingkungan perairan dalam keadaan yang ekstrim atau tidak normal (Fitt & Warner 1995). Hal ini menyebabkan terjadinya pemutihan pada hewan karang. Selain hilangnya alga simbion pada hewan karang terjadi pengurangan klorofil a dan pigmen fotosintesis pada zooxanthellae (Hoegh-Guldberg 1999). Glynn (1996 dalam Gibbons 2008) melaporkan bahwa filum Cnidaria kehilangan 60% - 90% zooxanthellae ketika dalam keadaan pemutihan. Sementara itu setiap zooxanthellae kehilangan 50% - 80% pigmen fotosintesis selama pemutihan. 2.5. Dampak Peningkatan Suhu Air Laut terhadap Simbiosis Zooxanthellae dan Hewan Inang Suhu air sangat mempengaruhi metabolisme kehidupan biota air. Bagi simbiosis alga-cnidaria suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat penting (Davison 1991). Filum Cnidaria yang hidup di perairan tropis lebih sensitif dan rentan terhadap perubahan suhu yang ekstrim dibandingkan dengan kelompok Cnidaria yang hidup di perairan iklim sedang (Muller-Parker & Davy 2001). Hal ini dilihat dari nilai densitas zooxanthellae yang jauh lebih stabil pada anemon subtropis dibandingkan dengan anemon tropis. Sehingga disimpulkan bahwa anemon subtropis lebih tahan terhadap perubahan intensitas cahaya dan suhu dari pada anemon tropis. Oleh karena itu peningkatan suhu yang terjadi akibat pemanasan global dapat mempengaruhi hubungan simbiosis ini terutama pada anemon tropis. Davison (1991) menyatakan bahwa respon fotosintesis pada Cnidaria terhadap suhu memperlihatkan bahwa panas lingkungan memberikan dampak yang besar terhadap proses fotosintesis. Hal ini karena laju fotosintesis dan respirasi tergantung pada suhu. Naik atau turunnya suhu air laut dapat 12 mengakibatkan naik atau turunnya laju fotosintesis dan respirasi (Howe & Marshall 2001). Hasil penelitian yang dilakukan Iglesias-Prieto et al. (1992) berkesimpulan bahwa zooxanthellae mengalami dampak langsung dari peningkatan suhu terhadap kegiatan fotosintesis. Saat kegiatan fotosintesis terganggu terdapat indikasi pembelahan zooxanthellae juga berhenti. Brown (1997) juga menyatakan bahwa beberapa penelitian menunjukkan faktor utama yang menyebabkan fenomena pemutihan pada karang adalah peningkatan suhu global. Pengaruh peningkatan suhu ini menyebabkan pemutusan simbiosis hewan inang dengan zooxanthellae dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari jaringan sel hewan inang atau pemutihan. Penelitian Fang et al. (1998) juga mengemukakan bahwa karang yang mengalami stres terutama karena kenaikan suhu lingkungan dalam jangka waktu lama akan memproduksi suatu penanda berupa cytosolic calcium signal (CCS). Penanda ini digunakan untuk menggerakkan zooxanthellae mendekati dinding membran agar zooxanthellae dapat dikeluarkan dari sel setelah membran pada karang inang pecah.