Uploaded by User15079

Penerapan Authentic Asassment dalam Pembelajaran

advertisement
Penerapan Penilaian Otentik
Posted by Hadi Susanto on 20 Desember 2015
Posted in: Pembelajaran. 1 Komentar
A. Pendahuluan
Penilaian otentik memiliki relevansi terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai
tuntutan Kurikulum 2013 yang mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik
dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. Penilaian otentik
bertujuan untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi di
dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Penilaian otentik dalam
implementasi kurikulum 2013 mengacu kepada penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian
diri, penilaian teman sejawat (peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal, pengetahuan melalui tes
tulis, tes, lisan, dan penugasan, keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut
peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, proyek,
dan penilaian portofolio.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mengamanatkan kepada pemerintah agar mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 3 menyebutkan sebagai berikut.
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Inovasi di bidang pendidikan telah banyak diupayakan oleh pemerintah, baik dalam pendidikan
dasar, menengah sampai pendidikan tinggi guna meningkatkan kualitas pendidikan. Misalnya,
meningkatkan kualitas guru melalui penataran-penataran, seminar pendidikan, dan pendidikan lanjutan.
Di samping itu, inovasi dalam pembelajaran telah banyak dilakukan seperti pembelajaran melalui simulasi
komputer, cara belajar siswa aktif atau pendekatan keterampilan proses. Namun belum menampakkan
peningkatan hasil secara signifikan
Sesungguhnya telah banyak usaha yang ditempuh pemerintah dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan khususnya di tingkat sekolah dasar, antara lain berupa alokasi dana pendidikan,
perubahan kurikulum, peningkatan kualitas guru sekolah dasar, pengadaan sarana dan prasarana
pembelajaran serta sumber belajar. Di samping itu, terdapat beberapa faktor penentu keberhasilan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah dasar antara lain: proses pembelajaran, guru, siswa, sarana
dan prasarana pembelajaran dan cara evaluasi guru, lingkungan sosial siswa di sekolah, kurikulum sekolah,
dan sumber belajar (Dimyanti dan Moedjiono, 1994:248) Dari faktor penentu keberhasilan itu, proses
pembelajaran merupakan salah satu faktor yang paling penting. Jika proses pembelajaran berjalan baik
dengan didukung oleh faktor penentu keberhasilan yang lainnya, akan menghasilkan anak didik yang
bermutu yang dapat bersaing dalam era globalisasi.
Guru hendaknya secara ideal melaksanakan pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi intertaksi
antara guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa-guru. Untuk itu, antara siswa dan guru menjalankan perannya
masing-masing. Guru membelajarkan siswa dan siswa belajar bagaimana belajar. Dengan kata lain dalam
pembelajaran harus terjadi interaksi yang bersifat multi arah (Dimyanti dan Mudjiono, 1994:120) Interaksi
multi arah akan terjadi bila guru telah mempersiapkan administrasi, materi, dan media pembelajaran yang
refresentatif yang akan digunakan dalam melaksanakan pembelajarannya. Saat melaksanakan
pembelajaran guru telah terampil menggunakan delapan keterampilan mengajar dan pada akhir
pembelajaran guru telah menemukan dasar.
Guru memiliki peran dan kedudukan yang cukup signifikan dalam proses penilaian, yakni orang
yang mengetahui hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar peserta didik merupakan sesuatu yang
sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Maka dari itu dengan penilaian hasil belajar dapat
diketahui seberapa besar keberhasilan peserta didik dalam menguasai kompetensi atau materi yang telah
diajarkan oleh guru.
Penilaian dapat dijadikan acuan untuk melihat tingkat keberhasilan atau efektivitas guru dalam
pembelajaran. Oleh karena itu, penilaian hasil belajar harus dilakukan dengan baik mulai dari penentuan
instrumen, penyusunan instrumen, telaah instrumen, pelaksanaan penilaian, analisis hasil penilaian dan
program tindak lanjut hasil penilaian. Penilaian hasil belajar yang baik akan memberikan informasi yang
bermanfaat dalam perbaikan kualitas proses belajar mengajar. Sebaliknya, jika terjadi kesalahan dalam
penilaian hasil belajar maka akan terjadi salah informasi tentang kualitas proses belajar mengajar dan
pada akhirnya tujuan pendidikan tidak akan tercapai.
Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sistem penilaian yang digunakan oleh
guru umumnya paper and pencil test karena mereka menilai cukup praktis dalam arti tidak membutuhkan
tenaga, biaya, dan waktu yang banyak. Sebaliknya, jika menggunakan penilaian autentik membutuhkan
tenaga, biaya, dan waktu yang lebih banyak, sehingga guru enggan menggunakannya. Pemikiran dan
perilaku inilah yang menghambat tercapainya kualitas pembelajaran dalam pendidikan.
Hasil penelitian Pantiwati (2013) dalam Pantiwati (2013: 2) tentang profil sistem penilaian oleh
guru juga menunjukkan bahwa tes tulis bentuk obyektif mendominasi instrumen pengukuran hasil belajar
peserta didik, selain itu respon peserta didik juga mendukung bentuk tes tertulis dibandingkan bentuk
penilaian lain. Peserta didik tidak menyukai penilaian melalui analisis kritis artikel maupun portofolio yang
menuntut peserta didik berfikir tingkat tinggi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Umar dalam Pantawati (2013: 2) bahwa keadaan lulus 100%
peserta didik pada ujian nasional berdampak buruk pada perilaku mengajar guru. Guru umunya sudah
merasa aman dan selesai tugasnya jika sudah melaksanakan semua kewajiban kurikuler meskipun peserta
didiknya tidak memahami apa yang diajarkan. Sebuah pendidikan yang tidak menghasilkan lulusan yang
bermutu bukanlah merupakan investasi sumber daya manusia, melainkan pemborosan biaya, tenaga dan
waktu. Oleh karena itu perlu adanya metode yang tepat untuk melakukan evaluasi agar penilaian yang
dilakukan pada peserta didik dapat memberikan informasi yang utuh tentang peserta didik. Jika seorang
peserta didik dikatakan berhasil dalam belajarnya, maka keberhasilan itu haruslah diukur dengan alat ukur
yang sesuai dengan tujuan belajarnya atau kompetensi yang harus dicapainya. Informasi yang diperoleh
dari penilaian harus komprehensif dan telah dilakukan pada saat-saat yang tepat selama dan setelah
peserta didik belajar. Artinya pengukuran harus dilakukan sepanjang proses belajar yang dijalani peserta
didik.
Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi memiliki hubungan yang sangat terkait. Penilaian kelas
merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat
penilaian, dan pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar
peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi. Penilaian kelas dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara, seperti penilaian unjuk kerja, penilaian sikap, penilaian tertulis, penilaian proyek, penilaian
produk, penilaian portofolio, dan penilaian diri.
Penilaian dilakukan sebelum pengukuran karena pengukuran merupakan pemberian angka pada
objek atau aturan yang memberikan arti kuantitatif. Grounlund (1993) dalam Pantiwati (2013: 3)
menyatakan bahwa pengukuran adalah proses untuk memperoleh deskripsi angka tentang derajat
karakteristik tertentu yang dimiliki oleh individu. Pengumpulan informasi ini selain dilakukan
menggunakan tes, juga dilakukan dengan mengobservasi peserta didik ketika sedang belajar,
mewawancarai atau sedang menilai produk peserta didik. Guru diberi kebebasan dalam menentukan
teknik pengambilan nilai baik itu bentuk instrumen, maupun butir-butir instrumen yang akan digunakan
untuk indikator yang telah dirumuskan.
Hasil penilaian sangat diperlukan dalam melakukan evaluasi, hal ini terkait dengan kebutuhan
untuk membuat keputusan. Brown (2004) dalam Pantawati (2013: 3) menyatakan bahwa evaluasi adalah
kegiatan melakukan keputusan berdasarkan informasi yang telah diperoleh dalam penilaian tersebut.
Penilaian dan evaluasi saling terkait karena hasil penilaian merupakan salah satu sumber informasi yang
sangat penting dalam lingkungan belajar. Oleh karena itu penilaian dapat dipakai sebagai dasar untuk
mengevaluasi program pembelajaran sesuai dengan harapan.
Tercapainya kompetensi lulusan tidak hanya tergantung pada program pembelajaran namun
terkait langsung dengan penilaian. Johnson (2002) dalam Pantawati (2013: 1) mengungkapkan bahwa
penilaian dapat dilakukan tanpa evaluasi tetapi tidak dapat mengevaluasi diluar penilaian dan evaluasi
dilakukan sesaat sedangkan penilaian secara terus menerus.
Implementasi kurikulum 2013 telah mengubah paradigma pendidikan dari behavioristik ke
konstruktivistik, tidak hanya menuntut adanya perubahan dalam proses pembelajaran tetapi juga
perubahan dalam melaksanakan penilaian. Paradigma lama pada penilaian pembelajaran lebih
ditekankan pada hasil yang cenderung menilai kemampuan aspek kognitif, melalui bentuk tes seperti
pilihan ganda, benar atau salah, dan menjodohkan. Bentuk tes tersebut dinilai telah gagal mengetahui
kinerja peserta didik yang sesungguhnya. Tes tersebut belum bisa mengetahui gambaran yang utuh
mengenai sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik dikaitkan dengan kehidupan nyata mereka
di luar sekolah atau masyarakat. Selain itu, aspek afektif dan psikomotorik juga diabaikan.
Pembelajaran berbasis konstruktivisme pada penilaian pembelajaran tidak hanya ditujukan untuk
mengukur tingkat kemampuan kognitif semata, tetapi mencakup seluruh aspek kepribadian peserta didik,
seperti perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan sosial dan aspek-aspek
kepribadian individu lainnya. Kurikulum 2013 menitikberatkan pada kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Ketiga komponen tersebut secara eksplisit dinyatakan dalam kompetensi inti yang harus
dimiliki peserta didik. Kurikulum 2013 mengatur kegiatan pembelajaran yang mengutamakan pendekatan
ilmiah (scientific) yaitu mengamati, menanya, melatih, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan.
Perubahan yang mendasar tersebut berdampak pada sistem penilaian yang lebih mengarah ke penilaian
autentik.
Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar
Penilaian Pendidikan menyebutkan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik didasarkan pada prinsip
objektif, terpadu, ekonomis, transparan, akuntabel, dan edukatif. Terkait dengan konsep penilaian
autentik, penilaian adalah proses pengumpulan berbagai informasi yang dapat memberikan gambaran
sebenarnya tentang perkembangan belajar peserta didik. Istilah autentik merupakan sinonim dari asli,
nyata, valid, atau reliabel.
Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran
sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Kunandar (2014: 36) mengemukakan bahwa, “Kurikulum 2013
mempertegas adanya pergeseran dalam melakukan penilaian, yakni dari penilaian melalui tes
(berdasarkan hasil saja), menuju penilaian autentik (mengukur sikap, keterampilan, dan pengetahuan
berdasarkan proses dan hasil)”. Penilaian ini mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta
didik,baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, dan membangun jejaring atau
mengkomunikasikan. Penilaian autentik dilakukan oleh guru dalam bentuk penilaian kelas melalui
penilaian kinerja, portofolio, produk, projek, tertulis, dan penilaian diri.
Penilaian otentik adalah penilaian yang dilakukan dalam suasana non-threatening. Penilaian ini
berupa proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran
yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau
menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah benar-benar
dikuasai dan dicapai. Penilaian otentik memiliki sifat-sifat: (1) berbasis kompetensi, (2) berpusat pada
siswa, (3) terintegrasi dalam proses pembelajaran, (4) on-going dan berkelanjutan (Tim Penyusun,
2008:23).
Penilaian atau evaluasi merupakan satu tahapan dalam siklus pembelajaran yang peranannya
tidak bisa diabaikan. Dikatakan demikian karena evaluasi minimal dapat menghasilkan dua hal yaitu: (1)
sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran, dan (2) dapat memberikan informasi mengenai kualitas
perolehan pada subjek didik. Penilaian yang baik adalah bagian integral dari pembelajaran yang baik.
Penilaian yang tepat paling tidak berorientasi pada dua prioritas utama: (1) tujuan utama pendidikan,
yaitu learning how to learn from an experience, agar perencanaan pembelajaran berikutnya menjadi
bermakna, dan (2) pengakomodasian keragaman peserta didik utamanya dalam hal gaya belajar dalam
rangka membantu perencanaan perbaikan proses belajar.
Dalam kaitannya dengan penilaian terhadap siswa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
menyebutkan agar selama proses pembelajaran, guru memonitor partisipasi atau keikutsertaan siswa dari
awal hingga akhir pembelajaran. Implikasi lain dari diterapkannya standar kompetensi adalah guru harus
mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic assessment) yang menjamin
pencapaian dan penguasaan kompetensi.
B. Evaluasi
1. Pengertian Evaluasi
Evaluasi yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah evaluation. Secara umum, pengertian
evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu
telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui
apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila
dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh. Dalam pengertian yang lain, evaluasi adalah
suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan, sampai sejauh mana tujuan
program telah tercapai. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wrightstone, dkk (1956) yang
mengemukakan bahwa pengertian evaluasi adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan ke
arah tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan. Beberapa ahli mendefinisikan evaluasi sebagai berikut.
a. Menurut Edwin Wandt dan Gerald W. Brown dalam Sudijono (2006: 1), evaluation refer to the
act or process to determining the value of somethingyaitu suatu tindakan atau suatu proses untuk
menentukan nilai dari sesuatu.
b. Suchman dalam Suharsimi (2010: 1) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan
hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan dan
seorang ahli evaluasi Stufflebeam mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran,
pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam
menentukan alternatif keputusan.
c. Worthen dan Sanders mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang
berharga dari sesuatu, dalam mencari sesuatu tersebut juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat
dalam menilai keberadaan, sesuatu program, produksi, prosedur serta alternatif strategi yang diajukan
untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan (Suharsimi, 2004: 1)
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 57 ayat (1) menyebutkan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan
secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan kegiatan
yang direncanakan untuk menilai ketercapaian suatu program yang bermanfaat bagi pengambilan
keputusan.
2. Model-Model Evaluasi
Woolfolk dan Nicolich mengemukakan bahwa penilaian atau evaluasi merupakan suatu proses
membandingkan informasi dengan kriteria, kemudian membuat pertimbangan; yakni membuat
keputusan berdasarkan nilai-nilai. Sejalan dengan pengertian tersebut, Raka Joni mengemukakan bahwa
penilaian adalah penetapan baik-buruk terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Gronlund dan
Linn mengemukakan bahwa penilaian merupakan proses pengumpulan informasi, analisis dan
interpretasi informasi yang sistematis untuk menentukan sejauh mana murid mencapai tujuan
pembelajaran. Secara lebih rinci, Phi Delta Kappa National Study Committee of Evaluation menguraikan
pengertian evaluasi sebagai proses pencarian, perolehan dan penyediaan informasi yang berguna bagi
pertimbangan alternatif-alternatif keputusan. Pengertian ini berkaitan dengan tiga hal mendasar, yaitu:
1) evaluasi merupakan suatu proses sistematis yang berkelanjutan; 2) proses tersebut meliputi tiga
langkah, yakni: (1) menyusun pertanyaan yang memerlukan jawaban dan informasi spesifik yang ingin
diperoleh, (2) mengumpulkan data yang relevan, (3) menyajikan informasi yang dihasilkan oleh pengambil
keputusan yang akan mempertimbangkan dan menginterpretasikannya berkaitan dengan alternatif
keputusan yang akan diambil; 4) evaluasi mendukung proses pembuatan keputusan dengan menyediakan
alternatif-alternatif yang terseleksi serta menidaklanjuti konsekuensi-konsekuensinya.
Menyimak berbagai pengertian yang diberikan para ahli tentang penilaian, Stufflebeam et.al
mengelompokkan adanya tiga sudut pandang definisi penilaian, yaitu: 1) pengertian yang mengidentikkan
penilaian dengan pengukuran, 2) pengertian penilaian sebagai sebuah proses melihat kongruensi antara
tujuan dengan apa yang dilaksanakan, dan 3) penilaian sebagai sebuah pertimbangan (judgment)
profesional. Perbedaan-perbedaan pengertian diatas nampak menunjukkan adanya perbedaan
pendekatan yang dilakukan dalam melakukan penilaian.
Tiga pendekatan evaluasi program pendidikan yang banyak dikenal dan sering dijadikan rujukan
dalam pelaksanaan evaluasi program pendidikan, yakni : a) Objective-Oriented Approach, b)
Management-Oriented Approach, dan c) Naturalistic-Participant Approach. dengan uraian-uraian yang
disertai contoh penggunaannya. Model evaluasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu
program berjalan sehingga dapat ditentukan langkah-langkah yang akan dilakukan. Model evaluasi yang
dikembangkan oleh para ahli dalam mengevaluasi sebagai berikut.
a. Goal Oriented Evaluation Model (Tyler)
Model ini merupakan model yang muncul paling awal, yang menjadi objek pengamatan dalam
model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus, mengecek sejauh mana tujuan tersebut sudah
terlaksana dalam program.
Pendekatan berorientasi tujuan ini pertama kali dikenalkan oleh Ralph Tyler tahun 40-50 an
sebagai standar baru bagi evaluasi pendidikan. Sebelumnya untuk mengevaluasi bidang pendidikan
dilakukan dengn tes yang menggunakan acuan kriteria. Tyler menggunakan metodologi yang lebih
kompleks untuk menghubungkan hasil pencapaian siswa dengan hasil belajar yang diinginkan
Tyler merumuskan evaluasi hasil belajar dari tujuan pembelajaran berdasarkan taksonomi tujuan
pembelajaran yang dikembangkan oleh Bloom dan Krathwohl. Pendekatan ini kemudian diberinama
Pendekatan/ model Tyler, sesuai nama pengembangnya. Model Tyler ini kemudian banyak dipakai untuk
mengevaluasi hasil atau program pendidikan. Cara pendekatan berorientasi tujuan ini bisa juga digunakan
untuk mengevaluasi program lain seperti program kesehatan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, model/pendekatan berorientasi tujuan in kemudian
dikembangkan atau disempurnakan lagi oleh Metffessel dan Michael tahun 1967, oleh Provus 1973 dan
juga oleh Hammond. Dari berapa-berapa model pendekatan baru ini ciri utamanya tetap sama yaitu jika
suatu kegiatan atau program sudah mempunyai tujuan yang hendak dicapai, maka evaluasinya berfokus
pada apakah tujuan itu telah dicapai.
Dalam model ini, seorang evaluator secara terus menerus melakukan pantauan terhadap tujuan
yang telah ditetapkan. Penilaian yang terus-menerus ini menilai kemajuan-kemajuan yang dicapai peserta
program serta efektifitas temuan-temuan yang dicapai oleh sebuah program. Salah satu model yang bisa
mewakili model ini adalah discrepancy model yang dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat lebih
jauh tentang adanya kesenjangan (discrepancy) yang ada dalam setiap komponen yakni apa yang
seharusnya dan apa yang secara riil telah dicapai.
Kekuatan utama dari pendekatan evaluasi berorientasi tujuan adalah kelugasannya. Pendekatan
ini mudah dimengerim mudah diikuti, mudah diterapkan dan juga mudah disetujui untuk diteliti oleh
direktur program. Pendekatan ini telah menstimulasi pengembangan teknik, prosedur pengukuran dan
instrumen untuk berkembang. Literatur mengenai pendekatan ini pun berlimpah, ide kreatif dan modelmodel baru yang lahir dari pendekatan inipun banyak bermunculan. Dengan pendekatan ini pemilik
program bisa melihat lebih jelas hasil pencapaian dari suatu program sehingga bisa menilai dan
menimbang suatu program
b. Formatif – Sumatif Evaluation Model (Michael Scriven)
Model ini menunjukkan adanya tahapan dalam lingkup objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang
dilakukan pada waktu program masih berjalan (disebut evalausi formatif) dan ketika program sudah
selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatif) Evaluator dalam menggunakan model ini tidak dapat
melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif.
Model yang dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjuk tentang apa, kapan, dan tujuanevaluasi
tersebut dilakanakan.
Menurut Scriven (1991) dalam diktat teori dan praktek evaluasi program bimbingan dan konseling
(Aip Badrujaman, 2009), evaluasi formatif adalah suatu evaluasi yang biasanya dilakukan ketika suatu
produk atau program tertentu sedang dikembangkan dan biasanya dilakukan lebih dari sekali dengan
tujuan untuk melakukan perbaikan. Sedangkan Weston, McAlpine dan Bordonaro (1995) dalam diktat
teori dan praktek evaluasi program bimbingan dan konseling (Aip Badrujaman, 2009) menjelaskan bahwa
tujuan dari evaluasi formatif adalah untuk memastikan tujuan yang diharapkan dapat tercapai dan untuk
melakukan perbaikan suatu produk atau program. Hal ini senada dengan Worthen dan Sanders (1997)
dalam diktat teori dan praktek evaluasi program bimbingan dan konseling (Aip Badrujaman, 2009) yang
menyatakan bahwa evaluasi formatif dilakukan untuk memberikan informasi evaluatif yang bermanfaat
untuk memperbaiki suatu program. Baker mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi kegunaan
evaluasi formatif, yaitu kontrol dan waktu. Bila saran perbaikan akan dijalankan, maka evaluasi formatif
diperlukan sebagai kontrol. Informasi yang diberikan menjadi jaminan apakah kelemahan dapat
diperbaiki. Apabila informasi mengenai kelemahan tersebut terlambat sampai kepada pengambilan
keputusan, maka evaluasi bersifat sia-sia.
Berbeda dengan evaluasi formatif, evaluasi summatif lebih diarahkan untuk menguji efek dari
komponen-komponen pendidikan/pembelajaran terhadap murid-murid, atau dapat juga dikatakan
bahwa evaluasi summatif dirancang untuk mengetahui seberapa jauh kurikulum yang telah disusun
sebelumnya memberikan hasil pada siswa antara lain mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Hal itu dapat dilihat pada hasil pre test dan post test, antara kelompok eksperimen dan control. Walaupun
Scriven tidak mengarahkan model ini pada evaluasi dalam proses belajar mengajar, namun pelaksanaan
kurikulum tidaklah dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan.
Contoh:
Dalam sebuah kurikulum kimia di SMA, untuk menilai kurikulum kimia itu, maka setiap unit atau
satuan pelajaran harus dicobakan/dilaksanakan. Pada akhir pelaksanaan setiap kegiatan belajar mengajar,
atau pada pertengahan dan akhir semester evaluasi hasil belajar dapat dan perlu dilakukan baik untuk
menentukan tingkatan atau angka yang dicapai siswa dalam bidang tersebut maupun proses pendidikan
berikutnya.
Evaluasi sumatif juga dilakukan setelah program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah
untuk mengukur pencapaian program. Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program pembelajaran
dimaksudkan sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau kedudukan individu di dalam kelompoknya.
Mengingat bahwa obyek sasaran dan waktu pelaksanaan berbeda antara evaluasi formatif dan sumatif
maka lingkup sasaran yang dievaluasi juga berbeda. ada beberapa contoh mudah dalam memahami
evaluasi formatif dan sumatif. evaluasi formatif ibaratnya proses dalam pembuatan masakan, dimana ada
proses pemasakan, proses pemotongan sayur dan proses pemberian bumbu. sedangkan evaluasi sumatif
adalah proses ketika masakan itu telah disajikan dan bagaimana tiap individu menikmati masakan
tersebut.
c. Context, Input, Process, Product Evaluation Model ( Stufflebeam)
Model evaluasi ini merupakan yang paling banyak digunakan oleh para evaluator model ini di
kembangkan oleh Stufflebeam dan kawan-kawan (1967) di Ohio State University. CIPP merupakan
singkatan dari Context, Input, Process, Product Evaluation Model atau evaluasi terhadap konteks, input
evaluation atau evaluasi terhadap masukan, process evaluation atau evaluasi terhadap proses, product
evaluation atau evaluasi terhadap hasil. Keempat kata yang disebutkan dalam Context, Input, Process,
Product Evaluation Model tersebut merupakan sasaran evaluasi yang tidak lain adalah komponen dari
proses sebuah program kegiatan. Secara rinci keempat kegiatan tersebut adalah 1) Evaluasi konteks, yaitu
upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan
sampel yang dilayani, dan tujuan proyek, 2) Evaluasi masukan, yaitu kemampuan awal siswa dan sekolah
dalam menunjang pembelajaran antara lain kemampuan sekolah menyediakan petugas yang tepat, ahli
kesehatan yang berkualitas dan sebagainya, 3) Evaluasi proses, yaitu merujuk pada apa (what) kegiatan
yang dilakukan dalam program, siapa (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program,
kapan (when) kegiatan akan selesai. Evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana, 4) Evaluasi produk atau hasil, yaitu
evaluasi produk atau hasil yang diarahkan pada hal–hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada
masukan mentah.
d. Discrepancy Model
Kata discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
menjadi kesenjangan. model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model yang
menekankan pada pandangan adanya kesenjangan dalam pelaksanaan program. Evaluasi ini dilakukan
oleh evaluator untuk mengukur besarnya kesenjangan yang ada disetiap komponen.
Discrepancy sesungguhnya dimaksudkan ketidaksesuaian (bukan kesenjangan, atau perbedaan).
Yang dimaksudkan adalah ketidaksesuaian, ketidakselarasan antara dua hal yang seharusnya, idealnya,
harapannya, sama (A discrepancy exists between things which ought to be the same). Sinonimnya
incongruity, disagreement, discordance, contrariety, variance. Objek sasaran evaluasi program (lembaga
pendidikan, misalnya) dengan menggunakan model dicrepancy Provus itu ada lima aspek yaitu desain,
instalasi, proses, produk, dan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis).
Design (rancangan; program design). Yang dimaksud adalah ranncangan kegiatan atau program
kerja. Oleh karena itu ada yang menyebutnya dengan program definition (penetapan program). Yang
dievaluasi mengenainya adalah ada tidaknya unsur input, proses, dan output (sesuatu itu lahan, personil,
sarana prasarana, sumber daya sekarang berkeadaan seperti apa, mau diproses dengan cara bagaimana,
agar menjadi seperti apa). Diteliti evaluasi kemudian kekomprehensifan dan kosistensi (keselarasan)
internal rancangan tersebut.
Installation (program installation; penyediaan perangkat-perlengkapan yang dibutuhkan
program). Agar program bisa dilaksanakan, lembaga pembuat program itu tentu harus menyiapkan segala
sesuatu yang diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber
daya, perangkat dan perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program. Jika diprogramkan
meningkatkan kemampuan mahasiswa mengajar, misalnya, apakah sudah disiapkan tempat latihan
mengajar yang baik.
Process (program process). Yang dimaksud dengan program process adalah proses pelaksanaan
program. Di dalamnya termasuk kepemimpinan dan penugasan-penugasan (instruction). Yang dievaluasi
adalah keterkaitan (kegayutan) antara sesuatu yang akan diubah, dibangun, dikembangkan dsb. dengan
kegiatan (proses) untuk mengubah, membangun, mengembangkannya. Jika diharapkan sekian orang staf
bisa studi lanjut, maka proses yang gayut adalah menyiapkan mereka untuk bisa studi lanjut, misalnya
meningkatkan kemampuan bahasa ingggris, meningkatkan penguasaan metodologi penelitian dan
penulisan karya ilmiah, bukan menugaskan studi lanjut.
Product (program product, hasil program). Yang dievaluasi adalah efektivitas desain atau
rancangan program; tegasnya apakah tujuan atau target program bisa tercapai. Cost (biaya, pengeluaran).
Yang dimaksud adalah implikasi (kemanfaatan) sosial politik ekonomi apa yang diharapkan bisa tergapai
dari pelaksanaan program tersebut.
e. Countenance Evaluation Model (oleh Stake)
Menurut Stake sangat jarang ditemukan laporan penelitian yang relevan atau untuk data perilaku
berkaitan dengan keputusan akhir kurikuler dan juga jarang ditemukan kegiatan evaluasi formal yang
menguraikan kondisi awal dan transaksi dalam kelas. Oleh karena itu, Stake mengembangkan model
evaluasi, bukan tentang apa yang harus diukur dan bagaimana cara mengukurnya melainkan sebagai
latarbelakang mengembangkan rencana evaluasi. Jadi, model Countenance Stake berorientasi sekitar
program pendidikan bukan pada produk pendidikan, karena nilai produk tergantung pada penggunaan
program.
Dalam tulisannya Stake memperkenalkan konsep evaluasi yang berorientasi pada sifat dinamis
dan kompleks pendidikan, salah satu yang memberikan perhatian yang tepat untuk tujuan beragam dan
penilaian dari praktisi. Menurut Stake, tujuan dan prosedur evaluasi pendidikan akan bervariasi misalnya
apa yang cukup tepat untuk satu sekolah mungkin kurang tepat bagi orang lain.
Model Countenance adalah model pertama evaluasi kurilulum yang dikembangkan Stake.
Pengertian Countenance adalah keseluruhan, sedangkan pengertian lain adalah sesuatu yang disenangi
(favourable). Menurut Provus (1972), Tujuan dari model Countenance Stake adalah melengkapi kerangka
untuk pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum. Perhatian utama Stake adalah hubungan antara
tujuan penilaian dengan keputusan berikutnya berdasarkan sifat data yang dikumpulkan. Hal tersebut,
karena Stake melihat adanya ketidaksesuaian antara harapan penilai dan guru. Penilaian yang dilakukan
oleh guru tidak akan sama hasilnya dengan penilaian yang dilakukan oleh ahli penilaian. Jadi, menurut
Porvus model Countenance Stake dimaksudkan guna memastikan bahwa semua data yang dikumpulkan
dan diolah untuk melengkapi informasi yang dapat digunakan oleh pemakai data. Hal ini berarti bahwa
penilai harus mengumpulkan data deskriptif yang lengkap tentang hasil belajar siswa dan data
pelaksanaan pengajaran, dan hubungan antara kedua faktor tersebut. Di samping itu juga, jugment data
harus dikumpulkan. Sedangkan menurut Howard, H (2008) evaluasi Stake’s orientasinya adalah tujuan
dan pendekatan mekanik dalam program pendidikan. Oleh karena itu, Kemble & Charles (2010)
mengatakan bahwa model countenance stake sangat berpengaruh pada program pendidikan.
Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, suatu kegiatan evaluasi yang sangat
tergantung pada pemakaian checklist, structured visitation by peers, controlled comparisons, and
standardized testing of students (Hasan, 2008, 207). Dalam hal checklist Shepard (1997) menyebutkan
bahwa terdapat lima ketegori yaitu: (1) obyektivitas atau tujuan evaluasi, (2) spesifikasi program meliputi
filsafat pendidikan yang dianut pada mata pelajaran, tujuan pembelajaran, dan lain sebagainya, (3)
outcome program, seperti pengalaman belajar, pencapaian hasil siswa, (4) hubungan dan indikator
mencakup kongruensi kenyataan dan harapan, kontingensi meliputi sebab akibat, dan (5) judgment nilai.
Oleh karena itu, Hasan (2008; 201) mengatakan bahwa model Countenance stake bersifat arbitraty dan
tidak perlu dianggap sebagai suatu yang mutlak.
Stake’s mempunyai keyakinan bahwa suatu evaluasi haruslah memberikan deskripsi dan
pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan. Dalam model ini stake sangat menekankan peran evaluator
dalam mengembangkan tujuan kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur, sebagaimana berlaku
dalam tradisi pengukuran behavioristik dan kuantitatif.
Model Countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama dinamakan matriks Deskripsi
dan yang kedua dinamakan Matriks Pertimbangan. Matriks pertimbangan baru dapat dikerjakan oleh
evaluator setelah matriks Deskripsi diselesaikan. Matriks Desktripsi terdiri atas kategori rencana (intent)
dan observasi. Matriks Pertimbangan terdiri atas kategori standard dan pertimbangan. Pada setiap
kategori terdapat tiga fokus yaitu: (1) antecedents yaitu sebuah kondisi yang ada sebelum instruksi yang
mungkin berhubungan dengan hasil, contohnya: latar belakang guru, kurikulum yang sesuai, ketersediaan
sumber daya, (2) transaction yaitu pertemuan dinamis yang merupakan proses instruksi (kegiatan, proses,
dll), contohnya: interaksi guru dan siswa, komponen partisipasi, dan (3) outcomes yaitu efek dari
pengalaman pembelajaran (pengamatan dan hasil tenaga kerja), contohnya performance guru,
peningkatan kinerja.
f.
Decision Oriented Evaluation
Dalam model ini, evaluasi harus dapat memberikan landasan berupa informasi-informasi yang
akurat dan obyektif bagi pengambil kebijakan untuk memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan
program. Evaluasi Context, Input, Process, Product Evaluation Model yang dikembangkan oleh
stufflebeam merupakan salah satu contoh model evaluasi ini. Model Context, Input, Process, Product
Evaluation Modelmerupakan salah satu model yang paling sering dipakai oleh evaluator. Model ini terdiri
dari empat komponen evaluasi sesuai dengan nama model itu sendiri yang merupakan singkatan dari
Context, Input, Process dan Product.
Evaluasi konteks (context evaluation) merupakan dasar dari evaluasi yang bertujuan menyediakan
alasan-alasan (rationale) dalam penentuan tujuan (Baline R. Worthern & James R Sanders : 1979)
Karenanya upaya yang dilakukan evaluator dalam evaluasi konteks ini adalah memberikan gambaran dan
rincian terhadap lingkungan, kebutuhan serta tujuan (goal). Evaluasi input (input evaluation) merupakan
evaluasi yang bertujuan menyediakan informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan
sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan program. Evaluasi proses (process evaluation)
diarahkan pada sejauh mana kegiatan yang direncanakan tersebut sudah dilaksanakan. Ketika sebuah
program telah disetujui dan dimulai, maka dibutuhkanlah evaluasi proses dalam menyediakan umpan
balik (feedback) bagi orang yang bertanggungjawab dalam melaksanakan program tersebut
Evaluasi Produk (product evaluation) merupakan bagian terakhir dari model Context, Input,
Process, Product Evaluation Model. Evaluasi ini bertujuan mengukur dan menginterpretasikan capaiancapaian program. Evaluasi produk menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada input. Dalam
proses ini, evaluasi produk menyediakan informasi apakah program itu akan dilanjutkan, dimodifikasi
kembali atau bahkan akan dihentikan.
C. Penilaian Otentik
1. Latar Belakang Penilaian Otentik
Sejak sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan yang sangat cepat dalam penentuan penilaian
pendidikan. Bentuk penilaian yang biasa digunakan adalah tes pilihan ganda. Ketika penilaian jenis ini
dirasa tidak cukup merepresentasikan kemampuan nyata siswa, pendidik mulai mencari alternatif lain.
Selanjutnya, pendidik menitikberatkan penilaian aktivitas dalam kelas. Penilaian alternatif terdiri dari
sejumlah metode untuk menemukan apa yang siswa ketahui atau dapat lakukan yang menunjukkan
perkembangan dan informasi bahan pembelajaran, dan salah satu bentuk penilaian tradisional,
penamaan, tes pilihan berganda (Stiggins dalam O’malley dan Pierce, 1996:1). Penilaian alternatif
didefinisikan merujuk pada penilaian otentik karena penilaian ini mencerminkan pada aktivitas kelas dan
keadaan yang sebenarnya.
Pelaksanaan penilaian otentik didasari oleh dua hal, yaitu: penilaian tradisional tidak dapat
sepenuhnya menunjukkan kemampuan siswa dan guru mengalami kesulitan menggunakan informasi
yang
diperoleh
untuk
perencanaan
bahan-bahan
pembelajaran.
Tes
pilihan
ganda
tidak
akurat/representatif untuk mengetahui kemampuan berpikir siswa yang berhubungan dengan kurikulum.
Tipe tes ini tidak dapat menggambarkan kemajuan pembelajaran dan bagaimana siswa belajar (Resnick
dan Klopfer dalam O’malley dan Pierce,1996:4). Selain itu, hasil penilaian dengan tes berganda sering kali
tidak sesuai dengan yang ditunjukkan siswa di dalam kelas. Padahal, guru memerlukan informasi tersebut
sebagai ukuran apakah mereka dapat menyelesaikan tugas pembelajaran dengan baik/tidak. Informasi ini
digunakan untuk perencanaan instruksional dan sebagai bahan umpan balik untuk memonitor kemajuan
siswa.
Secara konseptual penilaian otentik lebih bermakna secara signifikan dibandingkan dengan tes
pilihan ganda terstandar sekalipun.Ketika menerapkan penilaian otentik untuk mengetahui hasil dan
prestasi belajar peserta didik, pendidik menerapkan kriteria yang berkaitan dengan konstruksi
pengetahuan, aktivitas mengamati dan mencoba, dan nilai prestasi luar pembelajaran. Penilaian otentik
memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan
Kurikulum 2013. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik
dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. Penilaian otentik
cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk
menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih otentik.
Penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki peserta didik untuk
menunjukkan kinerja di dunia nyata secara bermakna, yang merupakan penerapan esensi pengetahuan
dan
keterampilan.
Penilaian
otentik
juga
menekankan
kemampuan
peserta
didik
untuk
mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak
sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan, melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan
yang telah dikuasai sehingga penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif
untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran.
Penilaian otentik bertujuan untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang
mencerminkan situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Misalnya,
penugasan kepada peserta didik untuk menulis topik-topik tertentu sebagaimana halnya di kehidupan
nyata, dan berpartisipasi konkret dalam diskusi atau bedah buku, menulis untuk jurnal, surat, atau
mengedit tulisan sampai siap cetak. Jadi, penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing
something, melakukan sesuatu yang merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah dikuasai
secara teoretis.
Penilaian otentik lebih menuntut pembelajar mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan,
dan strategi dengan mengkreasikan jawaban atau produk. Peserta didik tidak sekedar diminta merespon
jawaban seperti dalam tes tradisional, melainkan dituntut untuk mampu mengkreasikan dan
menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis. Penilaian otentik dalam
implementasi kurikulum 2013 mengacu kepada standar penilaian yang terdiri dari:
a. Penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat (peer
evaluation) oleh peserta didik dan jurnal.
b. Pengetahuan melalui tes tulis, tes, lisan, dan penugasan.
c.
Keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik
mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, proyek, dan penilaian
portofolio.
Perkembangan terakhir saat ini yang menjadi perhatian guru, sekolah, dan pemerhati pendidikan
adalah bagaimana bentuk penilaian dapat diaplikasikan untuk menilai pengetahuan dan kemampuan
siswa yang diperoleh berfungsi efektif untuk masa depan dan masyarakat kompleks (hal ini tidak
ditunjukkan oleh tes pilihan ganda). Sekolah dan pemerhati pendidikan melihat bahwa sekolah sukses
harus mampu untuk memproduksi generasi baru dengan kemampuan yang yang dibutuhkan sepuluh
tahun yang akan datang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bentuk penilaian, perkembangan pengukuran
baru yang lebih baik.
2. Pengertian Penilaian Otentik
Penilaian otentik atau authentic assessment merupakan penilaian langsung (direct assessment)
dan ukuran langsung (Mueller, 2006:1), penilaian otentik lebih sering dinyatakan sebagai penilaian
berbasis kinerja (performance based assessment), penilaian alternatif (alternative assessment) atau
penilaian kinerja (performance assessment) Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh
guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui
berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa
tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai (Nurhadi, 2004: 172)
Ada beberapa ahli yang membedakan dalam penggunaan istilah penilaian otentik dengan
penilaian kinerja, seperti Marzano (1993), sementara Stiggins (1994) dan Mueller (2006) menggunakan
kedua istilah tersebut secara sinonim. Istilah alternative assessment digunakan sebagai alternatif dari
penilaian yang biasa digunakan (tradisional assessment), Istilah direct assessment digunakan karena
penilaian otentik menyediakan lebih banyak bukti langsung dari penerapan ketrampilan dan
pengetahuan. Pendapat serupa dikemukakan oleh Richard J. Stiggins (1987), bahkan Stiggins menekankan
keterampilan dan kompetensi spesifik, untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah
dikuasai, dengan pernyataan : performance assessment call upon the examinee to demonstrate specific
skills and competencies, tha is, to apply the skills and knowledge they have mastered (Stiggins, 1987: 34)
Pada prinsipnya penilaian otentik memiliki karakteristik yang berbeda dengan penilaian
tradisional. Sebagaimana Nurhadi mengemukakan bahwa karakteristik authentic assesment adalah
sebagai berikut: 1) melibatkan pengalaman nyata (involves real-world experience), 2) dilaksanakan selama
dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, 3) mencakup penilaian pribadi (self assesment) dan
refleksi, 4) yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta, 5) berkesinambungan, 6)
terintegrasi, 7) dapat digunakan sebagai umpan balik, 8) kriteria keberhasilan dan kegagalan diketahui
siswa dengan jelas (Nurhadi, 2004: 173). Menurut Arikunto,
Penilaian otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau konteks dunia
nyata, yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk memecahkan masalah yang memberikan
kemungkinan bahwa satu masalah bisa mempunyai lebih dari satu macam pemecahan. Dengan kata lain,
assessment otentik memonitor dan mengukur kemampuan siswa dalam bermacam-macam kemungkinan
pemecahan masalah yang dihadapi dalam situasi atau konteks dunia nyata (2008: 23).
Berdasarkan kutipan di atas, dalam suatu proses pembelajaran, penilaian otentik mengukur,
memonitor dan menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain kognitif, afektif, dan
psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran, maupun berupa
perubahan dan perkembangan aktivitas, dan perolehan belajar selama proses pembelajaran didalam
kelas maupun diluar kelas. Sunartombs (2009: 2) juga menyatakan bahwa:
Penilaian autentik juga disebut dengan penilaian alternatif. Pelaksanaan penilaian autentik tidak
lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper
and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas
atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah.
Penilaian otentik tidak mengondisikan siswa belajar secara hafalan dan hanya sekedar
mengerjakan beberapa soal tertulis melainkan lebih melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan seperti
melakukan eksperimen sains, riset sosial, penulisan laporan, membaca dan menginterpretasi literatur,
serta menyelesaikan soal-soal aplikatif. Model penilaian otentik akan berhasil jika siswa mengetahui apa
yang diharapkan guru. Oleh karena itu, guru harus menyampaikan secara jelas kompetensi siswa yang
diharapkan dan yang ingin dicapai. Jadi, penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang
menginginkan siswa untuk menunjukkan kinerja secara nyata yang merupakan penerapan pengetahuan
yang dikuasainya secara teoretis. Penilaian otentik menuntut siswa untuk mendemonstrasikan
pengetahuan, keterampilan, dan siswa harus mampu menghasilkan jawaban atau produk yang
dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis. Dengan demikian, siswa akan merasa proses pembelajaran
yang dialaminya bermakna. Surapranata (2004: 13) mengatakan bahwa:
Penilaian otentik juga disebut dengan penilaian alternatif. Pelaksanaan penilaian otentik tidak
lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper
and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas
atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini
dapat berupa: tes yang menghadirkan benda atau kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian),
tugas (tugas keterampilan, tugas investigasi sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), dan format
rekaman kegiatan belajar siswa misalnya: portofolio, interview, daftar cek, presentasi oral dan debat.
Penilaian dalam Kurikulum 2013 mengacu pada Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang
Standar Penilaian Pendidikan. Standar Penilaian bertujuan untuk menjamin: (1) perencanaan penilaian
peserta didik sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai dan berdasarkan prinsip-prinsip penilaian, (2)
pelaksanaan penilaian peserta didik secara profesional, terbuka, efektif, efisien, dan sesuai dengan
konteks sosial budaya, dan (3) pelaporan hasil penilaian peserta didik secara objektif, akuntabel, dan
informatif. Standar penilaian ini disusun sebagai acuan penilaian bagi pendidik, satuan pendidikan, dan
pemerintah pada satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Penekanan penilaian dalam kurikulum 2013 adalah penilaian autentik (authentic assessment)
Melalui kurikulum 2013 penilaian autentik menjadi penekanan yang serius dimana guru dalam melakukan
penilaian hasil belajar peserta didik benar-benar memperhatikan penilaian autentik. Penilaian
(assessment) adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan
belajar siswa.
Berdasarkan kutipan di atas, dikatakan bahwa penilaian otentik merupakan proses pengumpulan
data oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui
berbagai teknik yang mampu menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar tercapai
dengan baik, sehingga anak didik mampu menguasai materi pembelajaran yang telah disampaikan.
Menurut Sunartombs (2009 :1):
Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian
untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar siswa atau ketercapaian kompetensi
(rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi
belajar seorang siswa. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata)
dan nilai kuantitatif (berupa angka) Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan
nilai kuantitatif tersebut. Tujuan dari penilaian adalah untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat
penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi.
Siswa tidak hanya harus memahami aspek pengetahuan, melainkan juga apa yang dapat dilakukan
dengan pengetahuannya itu. Salah satu model penilaian yang sesuai dengan konsep tersebut adalah
penilaian otentik. Berkaitan dengan disain, struktur, dan pemberian skor menurut Grant Wiggins dan
Diane Hart yang dikutip Ariyanti (2010 : 17)
Penilaian autentik harus didisain agar: (1) Mengarah kepada inti esensial learning, pemahaman
dan kemampuan. (2) Bersifat edukatif dan menarik. (3) Merupakan bagian dari kurikulum bukan
sembarang instruksional yang tanpa tujuan. (4) Mencerminkan kehidupan nyata, tantangan yang bersifat
interdisipliner. (5) Menghadapkan siswa kepada masalah dan tugas yang bersifat kompleks, ambigu dan
terbuka yang mengintregasikan pengetahuan dan keterampilan. (6) Puncaknya adalah produk dan
penampilan siswa. (7) Berupa setting standar dan membawa siswa ke arah tingkat penguasaan
pengetahuan yang lebih tinggi dan kaya. (8) Mengakui dan menghargai kemampuan siswa yang multiple,
gaya belajar yang beragam dan latar belakang yang berbeda-beda.
Penilaian otentik pada dasarnya bertujuan untuk mengukur berbagai keterampilan yang
mencerminkan situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Di dalam
penilaian otentik pengetahuan dan keterampilan merupakan dua hal yang utama dan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini siswa menguasai pengetahuan yang dibutuhkannya
sebagai tujuan akhir pembelajaran. Gambaran perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh
guru agar bisa memastikan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran yang benar. Pengertian
penilaian autentik menurut para ahli sebagai berikut.
a. Menurut Kunandar (2013: 35) mendefinisikan penilaian autentik adalah kegiatan menilai
peserta didik yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan
berbagai instrumen penilaian yang disesuaikan dengan tuntutan kompetensi yang ada di Standar
Kompetensi atau Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar.
b. Pusat Kurikulum (2009) dalam Hartati Muchtar (2010: 72) menjelaskan penilaian autentik
(authentic assessment) adalah suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan informasi tentang
hasil belajar siswa dengan menerapkan prisip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti
autentik, akurat, dan konsisten sebagai akuntabilitas publik.
c. Johnson (2002) dalam Hartati Muchtar (2010: 72) menyatakan bahwa penilaian autentik
memberikan kesempatan luas kepada peserta didik untuk menunjukkan apa yang telah dikuasai selama
proses pembelajaran, yang berfokus pada tujuan, melibatkan pembelajaran secara langsung, membangun
kerjasama, dan menanamkan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Peserta didik dalam penilaian autentik diminta untuk menerapkan konsep atau teorinya pada
dunia nyata. Autentik berarti keadaan sebenarnya yaitu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki
peserta didik. Penilaian autentik mengacu pada Penilaian Acuan Patokan (PAP), yaitu pencapaian hasil
belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal) Pencapaian
kompetensi peserta didik tidak dalam konteks dibandingkan dengan peserta didik lainnya, tetapi
dibandingkan dengan standar atau kriteria tertentu, yaitu Kriteria Ketuntasan Minimal. Jadi, guru dalam
melakukan penilaian tidak hanya pada penilaian level Kompetensi Dasar, tetapi juga Kompetensi Inti dan
Standar Kompetensi Lulusan.
3. Bentuk-bentuk Penilaian Otentik
Semakin tinggi tingkat perkembangan dan jenjang pendidikan peserta didik pengusaan
kompetensi pengetahuan dan keterampilan semakin besar (luas), tetapi penguasaan kompetensi sikap
semakin kecil karena diasumsikan bahwa penguasan kompetensi sikap sudah tertanam dijenjang
sebelumnya. Pada jenjang pendidikan yang rendah, seperti SD/MI dan SMP/MTS penanaman kompetensi
sikap harus benar-benar menjadi penekanan dan perhatian, sehingga ketika peserta didik kelak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi memiliki fondasi sikap yang lebih kuat dan dijenjang
yang lebih tinggi tinggal memperdalam kompetensi pengetahuan dan keterampilannya.
Pelaksanaan penilaian autentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional
(multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang
memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam
memecahkan suatu masalah. Penilaian otentik tidak mengondisikan siswa belajar secara hafalan dan
hanya sekedar mengerjakan beberapa soal tertulis melainkan lebih melibatkan siswa dalam kegiatankegiatan seperti melakukan eksperimen sains, riset sosial, penulisan laporan, membaca dan
menginterpretasi literatur, serta menyelesaikan soal-soal aplikatif.
Model penilaian otentik akan berhasil jika siswa mengetahui apa yang diharapkan guru. Oleh
karena itu, guru harus menyampaikan secara jelas kompetensi siswa yang diharapkan dan yang ingin
dicapai. Jadi, penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menginginkan siswa untuk
menunjukkan kinerja secara nyata yang merupakan penerapan pengetahuan yang dikuasainya secara
teoretis. Penilaian otentik menuntut siswa untuk mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan
siswa harus mampu menghasilkan jawaban atau produk yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis.
Dengan demikian, siswa akan merasa proses pembelajaran yang dialaminya bermakna.
Bentuk-bentuk penilaian otentik menurut Kusmana (2010: 3), sebagai berikut: a) unjuk kerja
(performance), b) penugasan (project), c) kinerja (hasil karya/product), d) portofolio (kumpulan kerja
siswa), dan e) penilaian diri (self assessment). Ahli lain mengatakan bahwa penilaian otentik dalam
pendidikan dapat menggunakan berbagai jenis alat penilaian yaitu : (1) Rubrik/Pemandu Penskoran, (2)
Portofolio/e-portofolio, (3) Tugas Otentik, (4) Penilaian diri (Self Assessment), (5) Interviu/Wawancara, (6)
Menceritakan Kembali kisah atau sebuah teks, (7) Contoh penulisan, (8) Proyek/Pameran, (9) Eksperimen/
Demonstrasi, (10) Soal berbentuk tanggapan terkonstruksi (Constructed response items), (11) Catatan
observasi guru, (12) Jurnal/Entri buku harian, (13) Karya tulis, (14) Kuis lisan, (15) Character map, (16)
Graphic organizer, (17) Check list, (18) Reading Log, (19) Rekaman Video, (20) Rekaman proses diskusi,
dan (21) Anecdotal record (Ismet Basuki dan Hariyanto, 2014 : 171-173).
Dengan demikian, bentuk-bentuk penilaian tersebut memungkinkan siswa untuk menyelesaikan
tugas dan menampilkan hasil belajarnya dengan cara yang dianggap paling baik. Dalam hal ini masingmasing siswa dapat menemukan pemecahan suatu masalah dengan cara yang berbeda-beda yang mereka
pandang paling efektif.
Surapranata (2004: 13) mengatakan bahwa: Penilaian otentik juga disebut dengan penilaian
alternatif. Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional
(multiple-choic, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang
memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam
memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat berupa: tes yang menghadirkan benda atau
kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), tugas (tugas ketrampilan, tugas investigasi sederhana
dan tugas investigasi terintegrasi), dan format rekaman kegiatan belajar siswa misalnya: portofolio,
interview, daftar cek, presentasi oral dan debat.
Berdasarkan kutipan di atas, dikatakan bahwa penilaian otentik merupakan proses pengumpulan
data oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui
berbagai teknik yang mampu menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar tercapai
dengan baik, sehingga anak didik mampu menguasai materi pembelajaran yang telah disampaikan.
Menurut Sunartombs (2009 :1), Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan
beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar siswa atau
ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik
apa hasil atau prestasi belajar seorang siswa.
Penilaian otentik dapat berbentuk tugas (task) bagi para siswa untuk menampilkan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap, dan sebuah kriteria penilaian atau rubrik (rubrics) yang akan digunakan untuk
menilai penampilan berdasarkan tugas tersebut. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengembangkan
hanya bentuk tugas otentik dan rubrik.
a. Tugas otentik
Tugas otentik adalah the authentic tasks are assignment given to students designed to assess their
ability to apply standard-driven knowledge and skills to real-world challenges. Lebih lanjut Baron’s
(Marzano, 1993) mengemukakan lima kriteria task untuk penilaian otentik yaitu: 1) tugas tersebut
bermakna baik bagi siswa maupun bagi guru; 2) tugas disusun bersama atau melibatkan siswa; 3) tugas
tersebut menuntut siswa menemukan dan menganalisis informasi sama baiknya dengan menarik
kesimpulan tentang hal tersebut; 4) tugas tersebut meminta siswa untuk mengkomunikasikan hasil
dengan jelas; 5) tugas tersebut mengharuskan siswa untuk bekerja atau melakukan.
Tugas-tugas penilain kinerja dapat berbentuk : 1) computer adaptive testing; 2) tes pilihan ganda
diperluas; 3) extended response atau open ended question; 4) group performance assessment atau
individual performance assessment; 5) interviu secara lisan dari asesor; 6) observasi partisipasif; 7)
portofolio; 8) projek, expo atau dokumentasi; 9) constructed response (siswa perlu mengkonsruk sendiri
jawabannya).
b. Rubrics
Kriteria penilaian (Rubrics) merupakan alat pemberi skor yang berisi daftar criteria untuk sebuah
pekerjaan atau tugas (Andrade dalam Zainul, 2001:19),Secara singkat scoring rubrics terdiri dari beberapa
komponen, yaitu : 1) dimensi; 2) definisi dan contoh; 3) skala; dan 4) standar. Dimensi akan dijadikan dasar
menilai kinerja siswa. Definisi dan contoh merupakan penjelasan mengenai setiap dimensi, skala
ditetapkan karena akan digunakan untuk menilai dimensi, sedangkan standar ditentukan untuk setiap
kategori kinerja.
Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat digunakan sebagai patokan untuk menilai suatu rubrik,
yaitu:
a. Seberapa jauh rubrik tersebut (jelas) berhubungan langsung dengan criteria yang dinilai?
b. Seberapa jauh rubrik tersebut mencakup keseluruhan standar dimensi kinerja yang dinilai?
c. Apakah kriteria yang dipilih sudah menggunakan standar yang secara umum berlaku dalam
bidang kinerja yang dinilai?
d. Sejauhmana dimensi dan skala yang digunakan terdefinisi dengan baik?
e. Jika menggunakan skala numerik sejauh mana angka-angka yang digunakan itu memang secara
adil menggambarkan perbedaan dari setiap kategori kinerja?
f. Seberapa jauh selisih skor yang dihasilkan oleh rater yang berbeda?
g. Apakah rubric yang digunakan dipahami oleh siswa?
h. Apakah rubrik cukup adil dan bebas dari bias?
i.
Apakah
penilaian
rubric
mudah
digunakan,
cukup
praktis
dan
mudah
diadministrasikannya?(Zainul, 2001: 29-30).
4. Deskriptor dan Level Kinerja
Penilaian berbentuk rubrik sebaiknya juga menggunakan komponen yang secara umum
digunakan dalam penilaian berbasis kinerja yaitu deskriptor. Deskriptor mengekspresikan tingkat kinerja
siswa pada masing-masing level dari suatu penampilan. Contohnya: rumusan standar minimal dalam
perumusan tujuan pembelajaran khusus. Deskriptor juga digunakan untuk memperjelas harapan atau
aspek yang dinilai, selain itu deskriptor juga membantu penilai (rater) lebih konsisten dan lebih objektif,
bagi guru yang melaksanakan penilaian otentik, descriptor membantu memperoleh umpan balik yang
lebih baik.
5. Perbedaan Penilaian Otentik dan Penilaian Tradisional
Penilaian tradisional merujuk pada ukuran-ukuran yang dipaksakan, seperti tes pilihan ganda,
isian, benar salah, menjodohkan dan bentuk-bentuk serupa lainnya yang biasa digunakan dalam
pendidikan. Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan
dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu
mengungkapkan, membuktikan, atau menujukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-
benar dikuasai dan tercapai (Nurhadi, 2004: 172). Lebih lanjut Hill dan Ruptic (1994: 8) menyatakan bahwa
asesmen adalah suatu proses untuk mengumpulkan bukti dan mendokumentasikan pembelajaran dan
pertumbuhan anak.
Pada hakikatnya baik penilaian tradisional maupun penilaian otentik sama-sama memiliki tujuan
esensial berkaitan dengan misi utama sekolah adalah membantu warga negara produktif. Namun pada
implementasinya kedua pandangan tersebut memiliki strategi dan teknik yang berbeda. Adapun teknik
penilaian otentik adalah sebagai berikut.
a. Penilaian Pengamatan
Pengamatan merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan
menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman
observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati, sehingga penilaian pengamatan (kinerja)
adalah penilaian yang dilakukan dengan cara mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu.
Oleh karena itu dalam penilaian kinerja diperlukan instrumen berupa lembar pengamatan atau lembar
observasi. Penilaian pengamatan berguna untuk mengukur keterampilan peserta didik melakukan kinerja
tertentu. Contoh kinerja yang dapat diamati antara lain: bermain peran, memainkan alat musik,
bernyanyi, membaca puisi/deklamasi, menggunakan peralatan laboratorium, mengoperasikan suatu alat.
Teknik penilaian pengamatan dapat dilakukan sebagai berikut.
1) Pemeriksaan terhadap dokumen belajar peserta didik, meliputi: prestasi belajar materi
sebelumnya, kesulitan belajar, hasil pekerjaan rumah, penilaian orang tua/wali terhadap kemajuan
belajar peserta didik dan hal-hal terkait lainnya.
2) Pengamatan terhadap peserta didik pada saat mereka memperhatikan penjelasan Pendidik,
membaca, bekerjasama dengan teman lainnya, mengerjakan tugas-tugas, memecahkan masalah, dan
kegiatan lainnya.
3) Melalui teknik penilaian lainnya (diskusi, tanya jawab, tes, dll), Pendidik mengamati motivasi
dan kemajuan belajar peserta didik, serta kendala yang dihadapi peserta didik maupun Pendidik dalam
pembelajaran.
b. Penilaian Diri
Penilaian diri adalah suatu teknik penilaian yang meminta peserta didik untuk menilai dirinya
sendiri berkaitan dengan status, proses, dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya. Teknik
penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Penilaian diri
didefinisikan sebagai monitoring of one’s own levels of knowledge, performance, abilities, thinking,
behaviour and/or strategy (Wilson and Wing Jan 1998;2). Kutipan di atas menunjukkan bahwa penilaian
diri adalah kegiatan untuk memonitor tingkat penampilan atau performansi, kemampuan, prilaku dan
strategi yang dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi suatu tugas yang diberikan atau dilakukan.
Selain itu penilaian diri mencakup dapat tiga domain yaitu pengetahuan, ketrampilan dan sikap.
Penilaian kompetensi kognitif, misalnya peserta didik diminta untuk menilai penguasaan
pengetahuan dan keterampilan berpikirnya sebagai hasil belajar dari suatu mata pelajaran tertentu.
Penilaian kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat
curahan perasaannya terhadap suatu objek tertentu. Penilaian kompetensi psikomotorik, peserta didik
dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya berdasarkan kriteria
atau acuan yang telah disiapkan.
Penggunaan teknik ini dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan kepribadian
seseorang. Keuntungan penggunaan penilaian diri di kelas antara lain: dapat menumbuhkan rasa percaya
diri peserta didik, karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri; peserta didik
menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus melakukan
introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya; dan dapat mendorong, membiasakan,
dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam
melakukan penilaian.
Penilaian diri merupakan suatu metode penilaian yang memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk mengambil tanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri. Mereka diberi kesempatan
untuk menilai pekerjaan dan kemampuan mereka sesuai dengan pengalaman yang mereka rasakan.
Penilaian diri dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan objektif. Oleh karena itu, penilaian diri oleh
peserta didik di kelas perlu dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
1) Menentukan kompetensi atau aspek kemampuan yang akan dinilai.
2) Menentukan kriteria penilaian yang akan digunakan.
3) Merumuskan format penilaian, dapat berupa pedoman penskoran, daftar tanda cek, atau skala
penilaian.
4) Meminta peserta didik untuk melakukan penilaian diri.
5) Pendidik mengkaji sampel hasil penilaian secara acak, untuk mendorong peserta didik supaya
senantiasa melakukan penilaian diri secara cermat dan objektif.
6) Menyampaikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan hasil kajian terhadap sampel
hasil penilaian yang diambil secara acak.
c. Penilaian Jurnal
Jurnal merupakan wadah yang memuat hasil refleksi berupa sebuah dokumen yang secara terus
menerus bertambah dan berkembang, dan ditulis oleh peserta didik untuk mencatat setiap kemajuan.
Jurnal juga merupakan catatan pendidik selama proses pembelajaran yang berisi informasi hasil
pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang terkait dengan kinerja ataupun sikap
dan perilaku peserta didik yang dipaparkan secara deskriptif. Jurnaljugamerupakan laporan yang ditulis
sendiri oleh peserta didik, dimanapeserta didik menceritakan hal-hal mengenai subjek yang telah
dipelajarinya.
Jurnal digunakan untuk kelengkapan assessment, yaitu untuk memperoleh beberapa pemecahan
masalah yang berasal dari buku pelajaran yang dipelajari peserta didik atau pekerjaan rumah yang telah
dibuat oleh peserta didik, untuk memperoleh tanggapan peserta didik terhadap pertanyaan dari pendidik
atau peserta didik lainnya, untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan melaporkan bagaimana cara
memecahkan masalah tersebut, untuk mengklarifikasikan sesuatu yang baru dan menyempurnakan suatu
teori dari apa yang telah dipelajari di sekolah, untuk menghubungkan ide-ide yang telah dikemukakan
dari suatu permasalahan, dari pemikiran tentang proyek yang berpotensi, tulisan-tulisan, dan presentasipresentasi, dan untuk mengikuti kemajuan dari sebuah eksperimen, situasi di sekolah terhdap peserta
didiknya terjadi selanjutnya
Kelebihan penilaian Jurnal antara lain dapat membantu mengidentifikasi apa yang telah dipelajari
dan meningkatkan bagian yang masih kurang, membantu melihat pola belajar dan gaya belajar,
memberikan gambaran mengenai kemajuan yang didapat masalah yang dihadapi dan bagaimana
menyelesaikannya,
memiliki
catatan
tentang
segala
aktivitas
yang
dilakukan,
membantu
pengorganisasian belajar, melatih kemampuan menulis pertanyaan bagi pendidik, dan melatih
kemampuan mengkomunikasikan respon dengan cara yang dirasa nyaman.
Teknik penilaian Jurnal dilakukan dengan menilai hasil kumpulan catatan atau keberhasilan dalam
suatu kegiatan dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu: catatan dasar atau kelengkapan catatan,
ketepatan waktu, pengembangan indicator yang tinggi, sedang dan rendah, penilaian jurnal pada criteria
lainnya, dan menambahkan penilaian untuk criteria bersama lainnya untuk menentukan nilai total.
d. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis adalah penilaian yang menuntut peserta didik memberi jawaban secara tertulis
berupa pilihan dan/atau isian. Penilaian tertulis yang dikembangkan dalam penilaian otentik lebih
dutekankan pada penilaian tertulis yang jawabannya berupa isian dapat berbentuk isian singkat dan/atau
uraian.
Soal dengan mensuplay jawaban terdiri dari isian atau melengkapi, jawaban singkat atau pendek,
dan Soal uraian. Teknik penilaian tes tertulis bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta
didik untuk mengingat, memahami, mengorganisasikan gagasan yang sudah dipelajari dengan cara
mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersbut dalam bentuk uraian tulisan. Teknik ini dapat
digunakan untuk menilai berbagai jenis kemampuan, yaitu mengemukakan pendapat, berpikir logis, kritis,
sistematis dan menyimpulkan.
Dalam penyusunan instrumen penilaian tertulis perlu mempertimbangkan Substansi, misalnya
kesesuaian butir soal dengan indikator soal dan indikator pembelajaran; Konstruk, misalnya rumusan soal
atau pertanyaan harus jelas dan tegas. Bahasa, misalnya rumusan soal tidaak menggunakan kata/kalimat
yang menimbulkan penafsiran ganda.
Soal bentuk uraian non-objektif tidak dapat diskor secara objektif, karena jawaban yang dinilai
dapat berupa opini atau pendapat peserta didik sendiri, bukan berupa konsep kunci yang sudah pasti.
Pedoman penilaiannya berupa kriteria-kriteria jawaban. Setiap kriteria jawaban diberi rentang skor
tertentu, misalnya 0 – 5. Tidak ada jawaban untuk suatu kriteria diberi skor 0. Besar kecilnya skor yang
diperoleh peserta didik untuk suatu kriteria ditentukan berdasarkan tingkat kesempurnaan jawaban.
e. Penilaian Lisan
Tes lisan yakni tes yang pelaksanaannya dilakukan denganmengadakan tanya jawab secara
langsung antara pendidik dan pesertadidik Penilaian lisan sering digunakan oleh pendidik di kelas untuk
menilai peserta didik dengan cara memberikan beberapa pertanyaan secara lisan dan dijawab oleh
peserta didik secara lisan juga.
Pertanyaan lisan merupakan variasi dari tes uraian. Penilaian ini sering digunakan pada ujian akhir
mata pelajaran agama dan sosial. Kelebihan penilaian ini antara lain: memberikan kesempatan kepada
pendidik dan peserta didik untuk menentukan sampai seberapa baik pendidik atau peserta didik dapat
menyimpulkan atau mengekspresikan dirinya, peserta didik tidak terlalu tergantung untuk memilih
jawaban tetapi memberikan jawaban yang benar, peserta didik dapat memberikan respons dengan bebas.
Penilaian lisan bertujuan untuk mengungkapkan sebanyak mungkin pegetahuan dan pemahaman peserta
didik tentang materi yang diuji. Sedangkan kelemahan tes lisan antara lain subjektivitas pendidik sering
mencemari hasil tes dan waktu pelaksanaan yang diperlukan relatif cukup lama. Penilaian lisan dapat
dilakukan dengan dengan teknik sebagai berikut.
1) Sebelum dilaksanakan tes lisan, pendidik sudah melakukan inventarisasi berbagai jenis soal
yang akan diajukan kepada peserta didik, sehingga dapat diharapkan memiliki validitas yang tinggi dan
baik dari segi isi maupun konstruksinya.
2) Siapkan pedoman dan ancar-ancar bentuk jawaban, agar mempunyai kriteria pasti dalam
penskoran dan tidak terkecok dengan jawaban yang panjang lebar dan berbelit-belit.
3) Skor ditentukan saat masing-masing peserta didik selesai dites, agar pemberian skor atau nilai
yang diberikan tidak dipengaruhi oleh jawaban yang diberikan oleh peserta didik yang lain.
4) Tes yang diberikan hendaknya tidak menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi
diskusi.
5) Untuk menegakan objektivitas dan prinsip-prinsip keadilan, pendidik tidak diperkenankan
memberikan angin segar atau memancing dengan kata-kata atau kode tertentu yang bersifat menolong
peserta didik dengan aalasan kasihan atau rasa simpati.
6) Tes lisan harus berlangsung secara wajar. Artinya, hal tersebut jangan sampai menimbulkan
rasa takut, gugup atau panik di kalangan peserta didik.
7) Pendidik mempunyai pedoman rentang waktu bagi peserta didik dalam menjawab soal-soal
atau pertanyaan pada tes lisan.
8) Pertanyaan yang diajukan hendaknya bervariasi, dalam arti bahwa sekalipun inti persoalan
yang ditanyakan sama, namun cara pengajuan pertanyaannya dibuat berlainana atau beragam.
9) Pelaksanaan tes dilakukan secara individual (satu demi satu), agar tidak mempengaruhi mental
peserta didik yang lainnya.
f.
Penilaian Praktek
Penilaian praktek dilakukan dengan cara mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan
aktivitas pembelajaran. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi atau
indikator keberhasilan yang menurut peserta didik menunjukkan unjuk kerja, misalnya bermain peran,
memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi, menggunkan peralatan laboratorium, mengoperasikan
komputer.
Dalam penilaian praktek perlu mempertimbangkan: langkah-langkah kinerja yang diharapkan
dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja dari suatu kompetensi, kelengkapan dan ketepatan
aspek yang akan dinilai dalam kinerja tersebut, kemampuan khusus yang diperlukan untuk menyelesaikan
tugas, upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak terlalu banyak, sehingga semua dapat diamati, dan
kemampuan yang akan dinilai diurutkan berdasarkan urutan yang akan diamati.
Teknik Penilaian Praktek dibagi dua macam, yaitu daftar cek dan skala rentang. Daftar Cek Pada
penilaian praktek yang menggunakan daftar cek (ya – tidak), peserta didik mendapat nilai apabila kriteria
penguasaaan kompetensi tertentu dapat diamati oleh penilai. Kelemahan teknik penilaian ini ialah penilai
hanya mempunyai dua pilihandan tidak menpunyai nilai tengah. Misalnya benar-salah, dapat diamatitidak dapat diamati.
Sedangkan skala rentang pada penilaian unjuk kerja memungkinkan penilai memberikan skor
tengah terhadap penguasaan kompetensi tertentu. Karena pemberian nilai secara kontinuum di mana
pilihan kategori nilai lebih dari dua, misalnya sangat kompeten – kompeten – tidak kompeten – sangat
tidak kompeten. Penilaian skala rentang sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu orang agar faktor
sujektivitas dapat diperkecil dan hasil penilaian lebih akurat.
g. Penilaian Proyek
Penilaian proyek adalah penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam
periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupapenyelidikan terhadap sesuatu yang mencakup
perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data secara tertulis
maupun lisan dalam waktu tertentu.
Penilaian proyek adalah cara penilaian yang dilakukan dengan melakukan pengamatan dan
penilaian terhadap tugas-tugas proyek tertentu yang dikerjakan peserta didik pada periode waktu
tertentu. Seperti penilaian produk, penilaian proyek juga tidak hanya berfokus pada hasil akhir proyek
dalam bentuk produk akhir tertentu, melainkam juga berfokus pada seluruh proses penyelesaian proyek
dari aspek persiapan proyek, pengerjaan proyek, hingga hasil proyek berupa laporan proyek. Penilaian
proyek umumnya dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran berorientasi proyek.
Dalam pembelajaran berorientasi proyek beberapa kompetensi yang umumnya dicapai dalam
pembelajaran antara lain, tingkat pemahaman peserta didik dalam bidang tertentu yang terkait, dan
kemampuan peserta didik mempresentasikan subjek penelitian tertentu yang relevan. Sebagai contoh
proyek, misalnya penelitian sederhana tentang pencemaran air di lingkungan rumah tangga, mengusulkan
proyek pementasan drama anak-anak dalam rangka membangun semangat nasionalisme, dan
sebagainya.
Penilaian proyek, dilakukan dengan mengamati dan menilai kinerja dan karya proyek peserta didik
(biasanya berkelompok) menggunakan format penilaian dengan daftar cek dan skala rentang.Penilaian
proyek dimaksudkan untuk mengetahui: pemahaman peserta didik dalam bidang tertentu, kemampuan
peserta didik mengaplikasikan pengetahuan tertentu melalui suatu penyelidikan, kemampuan peserta
didik memberi informasi tentang sesuatu yang menjadi hasil penyelidikannya. Ada tiga hal yang perlu
diperhatikan dalam penilaian proyek.
1) Kemampuan pengelolaan yang meliputi kemampuan dalam memilih topik (bila belum
ditentukan secara spesifik oleh pendidik), mencari informasi dan mengelola waktu pengumpulan data
serta penulisan laporan.
2) Relevansi yaitu kesesuain dengan mata pelajaran ditinjau dari segi pengetahuan, ketrampilan
dan pemahaman selama proses belajar.
3) Keaslian yaitu proyek yang dilakukan peserta didik merupakan karya nyata peserta didik dengan
kontribusi pendidik pada petunjuk dan dukungan.
Penilaian proyek dapat dilakukaan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan tugas, dan hasil
akhir proyek. Pendidik perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan
disain pengumpulan data, analisis data, kemudian menyiapkan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil
penelitiannya juga dapat disajikan dalam bentuk poster. Pelaksanaan penilaian ini dapat menggunakan
alat/instrumen penilaian berupa daftar cek (checklist) atau skala rentang (rating scale).
h. Penilaian Fortofolio
Portofolio adalah kumpulan hasil karya seorang peserta didik, sebagai hasil pelaksanaan tugas
kinerja, yang ditentukan oleh pendidik atau oleh peserta didik bersama pendidik, sebagai bagian dari
usaha mencapai tujuan belajar, atau mencapai kompetensi yang ditentukan dalam kurikulum. Jadi, tidak
setiap kumpulan karya seorang peserta didik disebut portofolio. Portofolio digunakan sebagai instrumen
penilaian untuk menilai kompetensi peserta didik, atau menilai hasil belajar peserta didik.
Sebagai sebuah konsep, portofolio dapat dimaknai sebagai suatu wujud benda fisik, sebagai suatu
proses sosial pedagogis, dan sebagai suatu kata sifat (adjective). Sebagai suatu wujud benda fisik
portofolio adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan
pada suatu bundel (map), sebagai suatu proses sosial pedagogis, portofolio adalah sekumpulan
pengalaman belajar yang terdapat di dalam pribadi peserta didik, baik yang berujud pengetahuan,
ketrampilan, maupun sikap. Sedangkan sebagai suatu adjective, portofolio sering disandingkan dengan
konsep lain, misalnya konsep pembelajaran dan penilaian.
Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan
informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu.
Informasi perkembangan peserta didik (hasil pekerjaan) dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik
oleh peserta didiknya, hasil tes (bukan nilai). Portfolio akan merangkum berbagai informasi secara berkala,
berkesinambungan, dan menyeluruh, tentang proses dan hasil pertumbuhan dan perkembangan
wawasan pengetahuan, sikap, dan keterampilan perserta didik yang bersumber dari catatan dan
dokumentasi pengalaman belajar.
Secara teknis pengelolaan penilaian portofolio dapat ditempuh dengan mengacu pada paling
sedikit tujuh unsur, yaitu:
1) Membuat peserta didik memahami makna penilaian portofolio dalam kaitannya dengan
pencapaian dan kemajuan hasil belajarnya,
2) Menentukan topik pekerjaan atau karya peserta didik yang akan dikoleksi sebagai portofolio,
3) Mengumpulkan dan menyimpan pekerjaan atau karya peserta didik yang dipilih sebagai
portofolio,
4) Memilih atau menentukan kriteria untuk menilai pekerjaan atau karya peserta didik yang akan
dikoleksisebagai portofolio,
5) Membantu dan mendorong peserta didik agar selalu mengevaluasi dan memperbaiki hasilhasilpekerjaan atau karya portofolio mereka,
6) Menjadwalkan dan melaksanakan pertemuan portofolio dengan peserta didik,
7) Melibatkan orang tua dan unsur-unsur lain terkait dalam program dan pelaksanaan penilaian
portofolio peserta didik
Menurut pandangan penilaian tradisional (biasa) untuk menjadi warga yang produktif seseorang
harus memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan tertetu, sekolah harus membekali siswa dengan
sejumlah keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang telah ditetapkan terlebih dahulu untuk menunjang
agar setiap warga negara produktif, penilaian (asesmen) dikembangkan dan dilaksanakan untuk
menentukan ketercapaian kurikulum atau berhasil atau tidaknya melalui serangkaian tes yang telah
disiapkan untuk peserta didik. Sebaliknya penilaian otentik berangkat dari alas an dan praksis yaitu misi
sekolah adalah mengembangkan warga negara produktif.
Untuk menjadi seorang warga negara yang produktif, seseorang harus mampu menampilkan
sejumlah task yang bermakna dai dunia sesungguhnya (real mirror). Sekolah mempunyai kewajiban untuk
membantu siswanya menjadi mahir dalam menampilkan sejumlah tugas yang akan dikuasai saat mereka
lulus, penilaian digunakan untuk menentukan berhasil atau tidaknya siswa memiliki pengetahuan,
ketrampilan dan sikap melalui penampilan tugas-tugas bermakna yang menyerupai tantangan dunia
sesunguhnya. Apakah siswa-siswa tersebut mampu melakukannya?
Penilaian otentik menggiring kurikulum atau rancangan kurikulum dengan langkah mundur, yang
berarti bahwa setiap guru memiliki kewajiban untuk mendesain tugas-tugas yang memungkinkan siswa
menampilkan apa yang telah dikuasainya, selanjutnya dikembangkan kurikulum yang memungkinkan
siswa menampilkan kinerjanya dengan baik, pada aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang esensi,
penilaian otentik merupakan pelengkap dari penilaian tradisional.
6. Ciri-ciri dan Karakteristik Penilaian Autentik
Model penilaian otentik pada Kurikulum 2013 sebagaimana diketeahui bahwa penilaian pada
kurikulum KTSP berbeda dengan kurikulum 2013. Dalam kurikulum 2013, penilaian dilakukan secara
komperehensif untuk menilai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran meliputi:
ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan (Lampiran Permendikbud Nomor 66 tahun 2013). Penilaian
otentik menilai kesiapan peserta didik serta proses dan hasil belajar secara utuh. Dalam penilaian otentik
setiap pendidik mengetahui perkembangan siswa dalam setiap proses kegiatan belajar mengajar di kelas.
Setiap komponen yang ada di kelas termasuk antar siswa ikut terlibat dalam penilaian otentik ini. pada
kurikulum sebelumnya penilaian menggunakan skala 0 hingga 100, sedangkan aspek afektif menggunakan
huruf A, B, C, dan D.
Penilaian otentik dilakukan dengan cara siswa diminta menampilkan sejumlah tugas dalam dunia
sesungguhnya yang memperlihatkan aplikasi pengetahhuan, ketrampilan dan sikap yang esensial. Adapun
ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai berikut.
a. Penilaian harus mengukur semua aspek pembelajaran, yakni kinerja dan hasil atau produk.
Artinya, dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik harus mengukur aspek kinerja (performance)
dan produk atau hasil yang dikerjakan oleh peserta didik. Penilaian kinerja atau produk dipastikan bahwa
kinerja atau produk tersebut merupakan cerminan dari kompetensi peserta didik secara nyata dan
objektif.
b. Penilaian dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran. Artinya, dalam melakukan
penilaian terhadap peserta didik, guru dituntut untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan atau
kompetensi proses (kemampuan atau kompetensi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran) dan
kemampuan atau kompetensi peserta didik setelah melakukan kegiatan pembelajaran.
c. Penilaian menggunakan berbagai cara dan sumber. Dalam melakukan penilaian terhadap
peserta didik harus menggunakan beberapa teknik penilaian (disesuaikan dengan tuntutan kompetensi)
dan menggunakan berbagai sumber atau data yang bisa digunakan sebagai informasi yang
menggambarkan penguasaan kompetensi peserta didik.
d. Penilaian bentuk tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian. Artinya, dalam melakukan
penilaian peserta didik terhadap pencapaian kompetensi tertentu harus secara komprehensif dan tidak
hanya mengandalkan hasil tes semata. Informasiinformasi lain yang mendukung pencapaian kompetensi
peserta didik dapat dijadikan bahan dalam melakukan penilaian.
e. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus mencerminkan bagian-bagian
kehidupan peserta didik yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau
kegiatan yang mereka lakukan setiap hari.
f. Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian peserta didik, bukan
keluasannya (kuantitas) Artinya, dalam melakukan penilaian peserta didik terhadap pencapaian
kompetensi harus mengukur kedalaman terhadap pengusaan kompetensi tertentu secara objektif
(Kunandar, 2013: 38).
Lebih lanjut dijelaskan, karakteristik penilaian otentik adalah: (1) dilaksanakan selama dan
sesudah proses pembelajaran berlangsung, (2) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, (3) yang
diukur adalah pengetahuan dan keterampilan, (4) berkesinambungan, (5) terintegrasi, dan (6) dapat
digunakan sebagai feed back. Jenis-jenis penilaian otentik meliputi penilaian kinerja, penilaian diri, esai,
penilaian proyek, penilaian produk, dan portofolio. Kegiatan-kegiatan penilaian otentik antara lain
observasi (pengamatan), presentasi, diskusi, wawancara, dan lain-lain. Kegiatan penilaian yang tidak
otentik adalah tes objektif seperti pilihan ganda, menghapal materi, dan kegiatan-kegiatan lain yang
hanya menuntut siswa secara mekanis dan tidak langsung terkait dengan kehidupan (Marhaeni,
2008)Adapun karakteristik yang terdapat pada penilaian autentik (authentic assessment) menurut
Kunandar adalah :
a. Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif. Artinya, penilaian autentik dapat dilakukan
untuk mengukur pencapaian kompetensi terhadap satu atau beberapa kompetensi dasar (formatif)
maupun pencapaian kompetensi terhadap standar kompetensi atau kompetensi inti dalam satu semester.
b. Mengukur keterampilan dan perfomansi, bukan mengingat fakta. Artinya, penilaian autentik
itu ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi yang menekankan aspek keterampilan (skill) dan
kinerja (performance), bukan hanya mengukur kompetensi yang sifatnya mengingat fakta (hafalan dan
ingatan).
c. Berkesinambungan dan terintegrasi. Artinya, dalam melakukan penilaian autentik harus secara
berkesinambungan (terus menerus) dan merupakan satu kesatuan secara utuh sebagai alat untuk
mengumpulkan informasi terhadap pencapaian kompetensi peserta didik.
d. Digunakan sebagai feed back. Artinya, penilaian autentik yang dilakukan oleh guru oleh guru
dapat digunakan sebagai umpan balik terhadap pencapaian kompetensi peserta didik secara
komprehensif.
Perencanaan yang baik juga harus diterapkan dalam kegiatan penilaian yang menjadi bagian dari
kegiatan pembelajaran. Mueller yang dikutip Nurgiyantoro (2008) mengemukakan sejumlah langkah yang
perlu ditempuh dalam pengembangan penilaian otentik, yaitu yang meliputi: (1) penentuan standar, (2)
penentuan tugas otentik, (3) pembuatan kriteria, dan (4) pembuatan rubrik.
7. Manfaat Penilaian Otentik
Mueller (dalam Nurgiyantoro, 2008: 254) menyatakan bahwa penilaian otentik yang diterapkan
dalam proses pembelajaran dapat memberikan beberapa manfaat. Manfaat yang diperoleh dari
pelaksanaan penilaian otentik adalah sebagai berikut.
a. Penggunaan penilaian otentik memungkinkan dilakukannya pengukuran secara langsung
terhadap kinerja pembelajar sebagai indikator capaian kompetensi yang dibelajarkan. Penilaian yang
hanya mengukur capaian pengetahuan yang telah dikuasai pembelajar hanya bersifat tidak langsung.
Tetapi, penilaian otentik menuntut pembelajar untuk berunjuk kerja dalam situasi yang konkret dan
sekaligus bermakna yang secara otomatis juga mencerminkan penguasaan dan keterampilan
keilmuannnya. Unjuk kerja tersebut bersifat langsung, langsung terkait dengan konteks situasi dunia nyata
dan tampilannya juga dapat diamati langsung. Hal itu lebih mencerminkan tingkat capaian pada bidang
yang dipelajari.
b. Penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk mengkonstruksikan hasil belajarnya.
Penilaian haruslah tidak sekadar meminta pembelajar mengulang apa yang telah dipelajari karena hal
demikian hanyalah melatih mereka menghafal dan mengingat saja yang kurang bermakna. Dengan
penilaian otentik pembelajar diminta untuk mengkonstruksikan apa yang telah diperoleh ketika mereka
dihadapkan pada situasi konkret. Dengan cara ini pembelajar akan menyeleksi dan menyusun jawaban
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan analisis situasi yang dilakukan agar jawabannya relevan dan
bermakna.
c. Penilaian otentik memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar, dan
penilaian menjadi satu paket kegiatan yang terpadu. Dalam pembelajaran tradisional, juga model
penilaian tradisional, antara kegiatan pengajaran dan penilaian merupakan sesuatu yang terpisah, atau
sengaja dipisahkan. Namun, tidak demikian halnya dengan model penilaian otentik.
Dari beberapa bentuk penilaian proses yang telah disebutkan di atas, maka penilaian otentik
dianggap dapat meningkatkan hasil pembelajaran. Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan
format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test),
tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau
mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat
berupa: (1) tes yang menghadirkan benda atau kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), (2)
tugas (tugas keterampilan, tugas investigasi sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), (3) format
rekaman kegiatan belajar siswa (misalnya: portofolio, interview, daftar cek).
Dalam penilaian otentik siswa akan terlibat kegiatan mempraktekkan bagaimana menerapkan
pengetahuan dan keterampilannya untuk tugas-tugas baru. Proses assessment melibatkan berbagai
macam kegiatan seperti interview lisan, pemecahan masalah baik secara perorangan maupun kelompok,
unjuk kerja, dan kreativitas penulisan portofolio. Dalam penilaian otentik tidak terjadi belajar hafalan dan
tes yang bersifat pasif melainkan siswa terlibat kegiatan-kegiatan seperti melakukan eksperimen sains,
riset sosial, menulis cerita dan laporan, membaca dan menginterpretasi literatur, dan menyelesaikan soalsoal aplikatif.
8. Teknik Penilaian Kompetensi Sikap
Alport (dalam Griffin dan Peter, 1991:56) menyatakan bahwa afektif merupakan bentuk integrasi
dari beberapa karakter, yaitu: prediksi respon baik dan tidak baik, sikap dibentuk oleh pengalaman, dan
tercermin dalam kegiatan sehari-hari. Karakteristik sikap yang dinilai merupakan bentuk perasaan
individual dan emosional siswa. Dalam melakukan penilaian ini guru harus cermat dan hati-hati karena
skala sikap biasanya sulit ditentukan secara objektif. Komponen penilaian sikap pada siswa meliputi emosi,
konsistensi, target/tujuan, dan ketertarikan/minat. Indikator yang dapat digunakan pada skala sikap
misalnya baik-tidak baik, indikator pada minat misalnya tertarik-tidak tertarik dan sebagainya.
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan teknik skala, metode observasi, dan respon psikologi.
Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan seseorang
dalam merespon sesuatu atau objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup
yang dimiliki seseorang. Sikap terdiri dari tiga komponen, yakni: afektif, kognitif, dan konatif. Komponen
afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh seseorang atau penilaiannya terhadap sesuatu objek.
Komponen kognitif adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang mengenai objek. Kemudian komponen
konatif adalah kecenderungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu berkenaan
dengan kehadiran objek sikap (Kunandar, 2013: 103)
Sikap menentukan keberhasilan belajar seseorang, karena orang yang tidak memiliki minat pada
pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat
dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu,
semua pendidik atau guru harus mampu membangkitkan minat peserta didik untuk mencapai kompetensi
yang telah ditentukan. Kunandar (2013: 104) mendefinisikan bahwa penilaian kompetensi sikap adalah
penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik
yang meliputi aspek menerima atau memerhatikan (receiving atau attending), merespon atau
menanggapi (responding), menilai atau menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelola
(organization), dan berkarakter (characterization)
Penilaian sikap dalam kurikulum 2013 dibagi menjadi dua, yakni sikap spiritual dan sikap sosial
dan keduanya masuk pada kompetensi inti, yakni kompetensi inti 1 (KI 1) untuk sikap spiritual dan
kompetensi inti 2 (KI 2) untuk sikap sosial. Dalam kurikulum 2013 kompetensi sikap, baik sikap spiritual
(KI 1) maupun sikap sosial (KI 2) tidak diajarkan dalam Proses Belajar Mengajar (PBM), tetapi menjadi
pembiasaan melalui keteladanan.
Ruang lingkup penilaian kompetensi sikap terdiri dari lima jenjang proses berpikir, yakni: 1)
kemampuan menerima, yaitu kepekaan seseorang dalam menerima atau stimulus dari luar yang datang
kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain, 2) kemampuan merespon, yaitu
kemampuan seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan
membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara, 3) kemampuan menilai, yaitu kemampuan
memberikan nilai atau penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu
tidak dikerjakan, dirasakan akan merugikan, 4) kemampuan mengatur dan mengorganisasikan, yaitu
kemampuan mempertemukan perbedaan nilai, sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal yang
membawa kepada perbaikan umum, 5) kemampuan berkarakter, yaitu kemampuan memadukan semua
sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
Seorang guru dalam melakukan penilaian kompetensi sikap dapat menggunakan teknik seperti:
(1) observasi atau pengamatan perilaku dengan alat lembar pengamatan atau observasi, (2) penilaian diri,
(3) penilaian teman sejawat (peer evaluation) oleh peserta didik, (4) jurnal, dan (5) wawancara dengan
pedoman wawancara. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian
antarpeserta didik adalah daftar cek (check list) atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik,
sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik dan pada wawancara berupa daftar pertanyaan.
Pada kurikulum 2013 skala nila tidak lagi 0 – 100, melainkan 1 – 4 untuk aspek kognitif dan
psikomotor, sedangkan untuk aspek afektif menggunakan SB untuk kategori Sangat Baik, B untuk kategori
Baik, C untuk kategori Cukup, dan K untuk kategori Kurang. Skala nilai 1 – 4 dengan ketentuan kelipatan
0,33. Di antara aspek penilaian pada kurikulum 2013 adalah penilaian kognitif, penilaian psikomotor, dan
penilaian afektif.
a. Sikap (spiritual dan sosial) untuk LHB terdiri atas sikap dalam mata pelajaran dan sikap antar
mata pelajaran. Sikap dalam mata pelajaran diisi oleh setiap guru mata pelajaran berdasarkan rangkuman
hasil pengamatan guru, penilaian diri, penilaian sejawat, dan jurnal, ditulis dengan predikat Sangat Baik
(SB), Baik (B), Cukup (C), atau Kurang (K). Sikap antar mata pelajaran diisi oleh wali kelas setelah berdiskusi
dengan semua guru mata pelajaran, disimpulkan secara utuh dan ditulis dengan deskripsi koherensi.
b. Penilaian sikap dalam mata pelajaran diperoleh dari hasil penilaian observasi (penilaian proses),
penilaian diri sendiri, penilaian antar teman, dan jurnal catatan guru.
c. Nilai observasi diperoleh dari hasil pengamatan terhadap Proses sikap tertentu sepanjang
proses pembelajaran satu Kompetensi Dasar (KD).
Untuk penilaian sikap spiritual dan Sosial (Kompetensi Inti 1 dan Kompetensi Inti 2) menggunakan
nilai kualitatif sebagai berikut.
SB
= Sangat Baik
= 80 – 100
B
= Baik
= 70 – 79
C
= Cukup
= 60 – 69
K
= Kurang
= < 60
Teknik-teknik penilaian kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
a. Observasi
Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan
menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman atau
lembar observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku atau aspek yang diamati. Perilaku seseorang pada
umumnya menunjukkan kecenderungan seseorang dalam sesuatu hal. Oleh karena itu, guru dapat
melakukan pengamatan atau observasi terhadap peserta didik yang dibinanya. Hasil pengamatan atau
observasi dapat dijadikan sebagai umpan balik dalam pembinaan terhadap peserta didik. Pengamatan
atau observasi perilaku peserta didik dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan alat
lembar pengamatan atau observasi.
b. Penilaian Diri
Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk
mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi sikap, baik
sikap spritual maupun sikap sosial. Instrumen yang digunakan berupaberupa lembar penilaian diri.
Penilaian diri (self assessment) adalah teknik penilaian dimana peserta didik diminta untuk menilai dirinya
sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajari.
c. Penilaian Antarpeserta Didik atau Penilaian Antarteman
Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat pencapaian kompetensi sikap, baik sikap spiritual maupun sosial dengan cara meminta peserta
didik untuk saling menilai satu sama lain. Instrumen yang digunakan bisa berupa lembar penilaian
antarpeserta didik dalam angket atau kuesioner. Penilaian antarpeserta didik menuntut keobjektifan dan
rasa tanggung jawab dari peserta didik, sehingga menghasilkan data yang akurat.
d. Jurnal
Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan diluar kelas yang berisi informasi hasil
pengamatan tentang kekuatan dana kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku.
Guru hendaknya meiliki catatan-catatan khusus tentang sikap spritual dan sikap sosial. Catatn-catatan
tersebut secara tertulis dan dijadikan dokumen bagi guru untuk melakukan pembinaan dan bimbingan
terhadap peserta didik. Jurnal yang berisi catatan-catatan peserta didik sebaiknya dibuat per peserta
didik. Catatan-catatan kelemahan atau kekurangan peserta didik berkaitan dengan sikap spiritual dan
sikap sosial selanjutnya ditindaklanjuti dengan upaya-upaya pembinaan dan bimbingan. Dengan
demikian, akan terjadi perubahan sikap dan perilaku dari peserta didik secara bertahap.
Catatan-catatan peserta didik yang berkaitan dengan kekuatan atau keunggulan dari peserta didik
dilakukan pendampingan dan pengembagan, sehingga kekuatan dan keunggulan tersebut berkembang
lebih baik lagi seiring dengan peningkatan kematangan dari peserta didik tersebut. Guru hendaknya
memiliki profil setiap peserta didik yang memuat catatan-catatan sikap dan perilaku peserta didik seharihari. Dengan demikian, guru dapat memantau dan memonitor perkembangan sikap dan perilaku peserta
didik dari waktu ke waktu secara objektif.
e. Wawancara
Wawancara merupakan teknik penilaian dengan cara guru melakukan wawancara terhadap
peserta didik menggunakan pedoman atau panduan wawancara berkaitan dengan sikap spiritual dan
sikap sosial tertentu yang ingin digali dari peserta didik.
Seorang guru dalam melakukan penilaian dengan wawancara dapat menggunakan instrumen
penilaian berupa daftar pertanyaan berkaitan dengan sikap spiritual dan sikap sosial yang langsung
ditanyakan kepada peserta didik.
9. Teknik Penilaian Kompetensi Pengetahuan
Aspek ini berhubungan dengan pengetahuan individual (kepandaian/pemahaman) yang
ditunjukkan dengan siswa memperoleh hasil dari pembelajaran yang telah dilakukan. Bentuk penilaian
kognitif ini secara eksplisit maupun implisit harus merepresentasikan tujuan pencapaian pembelajaran.
Biasanya tes yang dilaksanakan oleh guru dapat berupa ujian untuk mengetahui pemahaman terhadap
materi.
Kunandar (2013: 165) mendefinisikan penilaian kompetensi pengetahuan atau kognitif adalah
penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian atau penguasaan peserta didik dalam
aspek pengetahuan yang meliputi ingatan atau hafalan, pemahaman, penerapan atau aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Dalam kurikulum 2013 kompetensi pengetahuan menjadi kompetensi inti dengan
kode Kompetensi Inti 3. Kompetensi pengetahuan merefleksikan konsep-konsep keilmuan yang harus
dikuasai oleh peserta didik melalui proses belajar mengajar. Ruang lingkup kompetensi pengetahuan atau
kognitif terdiri atas enam jenjang proses berpikir, yakni:
a. Kemampuan menghafal, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall)
atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus, dan sebagainya tanpa
mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan
proses berpikir yang paling rendah. Kemampuan mengetahui juga dapat diartikan kemampuan
mengetahui fakta, konsep, prinsip, dan skill.
b. Memahami, yaitu kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah
sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan demikian, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan
dapat melihatnya dari berbagai aspek. Seorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia
dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan
kata-katanya sendiri. Kemampuan memahami juga dapat diartikan kemampuan mengerti tentang
hubungan antarfaktor, antarkonsep, antarprinsip, antardata, hubungan sebab akibat, dan penarikan
kesimpulan.
c. Menerapkan, adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide
umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori, dan sebagainya
dalam situasi yang baru dan konkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berpikir setingkat lebih
tinggi dari pemahaman. Kemampuan mengaplikasikan sesuatu juga dapat diartikan menggunakan
pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Menganalisa, yaitu kemampuan sesorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau
keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan diantara bagianbagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Analisis merupakan proses berpikir
setingkat lebih tinggi dari penerapan atau aplikasi. Kemampuan menganalisis juga dapat diartikan
menentukan bagian-bagian dari suatu masalah, dan penyelesaian atau gagasan serta menunjukkan
hubungan antar bagian itu.
e. Mensintesis, yaitu kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari proses berpikir analisis.
Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga
menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Berpikir sintesis merupakan
proses berpikir setingkat lebih tinggi dari berpikir analisa. Kemampuan melakukan sintesis juga dapat
diartikan menggabungkan berbagai informasi menjadi satu kesimpulan atau konsep, meramu atau
merangkai berbagai gagasan menjadi sesuatu yang baru.
f. Mengevalusai., yaitu kemampuan sesorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu
situasi, nilai, ide. Kemampuan melakukan evaluasi dapat diartikan mempertimbangkan dan menilai benar
salah, baik buruk, bermanfaat tidak bermanfaat.
Seorang guru dalam menilai kompetensi pengetahuan dapat menggunakan instrumen berupa: (1)
tes tertulis dengan menggunakan butir soal, (2) tes lisan dengan bertaya langsung terhadap peserta didik
menggunakan daftar pertanyaan, dan (3) penugasan atau proyek dengan lembar kerja tertentu yang harus
dikerjakan oleh peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Adapun penilaian Pengetahuan Adapun bentuk
penilaian pengetahuan terdiri atas: (1) Nilai Proses (Nilai Harian = NH), (2) Nilai Ulangan Tengah Semester
(UTS), dan (3) Nilai Ulangan Akhir Semester (UAS).
Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes tertulis merupakan tes dimana soal dan
jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik
tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban, tetapi bisa dalam bentuk yang lain. Teknik penilaian
tertulis dipergunakan untuk mengukur kemampuan kognitif yang meliputi ingatan atau hafalan,
pemahaman, penerapan atau aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tes tertulis termasuk ke dalam
kelompok tes verbal, artinya tes yang soal dan jawaban yang diberikan oleh peserta didik berupa tulisan
(Kunandar, 2013: 174)
Bentuk tes tertulis adalah bentuk tes tertulis apa yang digunakan oleh guru dalam mengukur
pencapaian kompetensi pengetahuan (kognitif) peserta didik. Tes tertulis terdiri dari: (1) soal pilihan
ganda, (2) isian, (3) jawaban singkat (pendek), (4) benar-salah (B-S), (5) menjodohkan, (6) uraian.
Aspek skor terhadap jawaban penilaian tertulis dapat dibedakan menjadi dua, yakni objektif tes
dan subjektif tes. Objektif tes adalah adalah tes tertulis yang pertanyaannya bersifat tertutup, sehingga
jawabannya pasti dan singkat atau pendek. Sedangkan subjektif tes adalah penilaian tertulis yang
pertanyaannya bersifat terbuka, sehingga jawabnya berbentuk uraian yang cukup panjang. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan dalam menyusun instrumen penilaian tertulis adalah: 1) Karakteristik mata
pelajaran dan keluasan ruang lingkup materi yang akan diuji, 2) Materi, yakni kesesuaian soal dengan
standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian pada kurikulum: 3) Konstruksi, yakni
rumusan soal harus jelas, 4) Bahasa, yakni rumusan soal tidak menimbulkan penafsiran ganda.
Penulisan soal tes tertulis merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam penyiapan bahan
ulangan atau ujian. Setiap butir soal yang ditulis harus berdasarkan rumusan indikator yang sudah disusun
di dalam kisi-kisi dan berdasarkan kaidah penulisan soal.
1) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Pilihan Ganda. Soal bentuk pilihan ganda adalah suatu
soal yang jawabannya harus dipilih dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Secara
umum, setiap soal pilihan ganda terdiri dari pokok soal (stem) dan pilihan jawaban (option) Pilihan
jawaban terdiri atas kunci jawaban dan pengecoh (distractor) Kunci jawaban adalah jawaban yang benar
atau paling benar. Pengecoh adalah jawaban yang tidak benar, namun memungkinkan seseorang
memilihnya apabila tidak menguasai bahan atau materi tersebut.
2) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Isian. Tes tertulis bentuk isian adalah suatu bentuk
tes diman butir soal suatu kalimat dimana bagian-bagian tertentu yang dianggap penting dikosongkan dan
belum sempurna, sehingga peserta didik diminta untuk melengkapinya dengan benar.
3) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Jawaban Singkat. Tes tertulis jawaban singkat adalah
suatu bentuk tes tertulis yang di dalamnya guru memberikan pertanyaan kepada peserta didik yang
memerlukan jawaban secara singkat.
4) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Benar Salah. Tes tertulis benar salah adalah suatu
bentuk tes tertulis dimana soalnya berupa pernyataan yang mengandung dua kemungkinan, yakni benar
atau salah. Karakteristik soal tertulis benar atau salah adalah mudah disusun dan dapat mengungkap
materi atau konsep yang cukup luas.
5) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Uraian. Soal bentuk uraian adalah alat penilaian yang
menuntut peserta didik untuk dapat mengingat, memahami, dan mengorgansasikan gagasan atau hal-hal
yang sudah dipelajari, dengan cara mengemukakan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan
menggunakan kata-katanya sendiri.
Tes lisan menurut Kunandar (2013: 225) adalah tes yang dipergunakan untuk mengukur tingkat
pencapaian kompetensi, terutama pengetahuan (kognitif) dimana guru memberikan pertanyaan langsung
kepada peserta didik dengan bahasa verbal dan ditanggapi oleh peserta didik secara langsung dengan
bahasa verbal juga. Tes lisan menuntut peserta didik memberikan jawaban secara lisan. Tes lisan biasanya
dilaksanakan dengan cara mengadakan percakapan antara siswa dengan tester tentang masalah yang
diujikan. Pelaksanaan tes lisan dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung antara
pendidik dan peserta didik. Tes lisan digunakan untuk mengungkapkan hasil belajar peserta didik pada
aspek pengetahuan.
Instrumen penugasan berupa pekerjaan rumah atau proyek yang dikerjakan secara individu atau
kelompok sesuai dengan karakteristik tugas. Penilaian ini bertujuan untuk pendalaman terhadap
penguasaan kompetensi pengetahuan yang telah dipelajari atau dikuasai di kelas melalui proses
pembelajaran.
10. Teknik Penilaian Keterampilan
Perkembangan psikomotorik juga merupakan bagian dai ranah evaluasi yang harus diketahui oleh
guru. Penilaian psikomotorik merupakan bentuk pengukuran kemampuan fisik siswa yang meliputi otot,
kemampuan bergerak, memanipulasi objek, dan koordinasi otot syaraf. Contoh penilaian ini misalnya
pada kemampuan otot kecil (misal mengetik) atau otot besar (misal melompat). Contoh yang termasuk
aktivitas motorik seperti pendidikan fisik, menulis tangan, membuat hasil karya kerajinan dan lain-lain.
Pengetahuan guru untuk mengenali kemampuan psikomotorik siswa sangat penting karena psikomotorik
merupakan bagian dari bentuk kecerdasan. Siswa yang mampu mengetik secara cepat tidak hanya
sekedar memiliki kemampuan menggunakan perangkat computer secara efisien, tetapi di dalamnya juga
terintegrasi kemampuan untuk membaca dan mengeja. Tipe penilaian psikomotorik yang digunakan harus
mengacu pada tujuan, misalnya melalui pertanyaan di bawah ini.
a. Apakah peserta didik mampu melakukan tugas dengan baik?
b. Apakah peserta didik dapat menunjukkan penampilan yang terbaiknya dalam tugas tersebut?
c. Bagaimana penampilan seorang peserta didik jika dibandingkan dengan peserta didik yang lain
dalam kelas/bidang yang sama?
Kunandar (2013: 255) mendefinisikan ranah psikomotorik adalah ranah yang berkaitan dengan
keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar
tertentu. Psikomotorik berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan
sebagai hasil dari tercapainya kompetensi pengetahuan. Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk
keterampilan dan kemampuan bertindak individu yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif
dan hasil belajar afektif. Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotorik apabila
peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung
dalam ranah kognitif dan afektif.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kompetensi keterampilan
adalah penilaian yang dilakukan oleh guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi keterampilan
dari peserta didik yang meliputi aspek imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi (Kunandar,
2013: 257). Penilaian rapor untuk pengetahuan dan keterampilan menggunakan penilaian kuantitatif
dengan skala 1 – 4 (kelipatan 0,33), dengan 2 (dua) desimal dan setiap aras (tingkatan) diberi predikat
sebagai berikut.
A
: 3,67 – 4.00
A-
: 3,34 – 3,66
B+
: 3,01 – 3,33
B
: 2,67 – 3,00
B-
: 2,34 – 2,66
C+
: 2,01 – 2,33
C
: 1,67 – 2,00
C-
: 1,34 – 1,66
D+
: 1,01 – 1,33
D
: < 1,00
Ruang lingkup kompetensi keterampilan terdapat 5 (lima) jenjang berpikir, yakni: (1) imitasi, yaitu
kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan yang dilihat atau
diperhatikan sebelumnya. (2) manipulasi, yaitu kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana
yang belum pernah dilihat, tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja, (3) presisi, yaitu
kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan yang akurat sehingga mampu menghasilkan produk kerja yang
tepat, (4) artikulasi, yaitu kemampuan melakukan kegiatan yang kompleks dan tepat sehingga hasil
kerjanya merupakan sesuatu yang utuh dan (5) naturalisasi, yaitu kemampuan melakukan kegiatan secara
reflek, yakni kegiatan yang melibatkan fisik saja sehingga efektifitas kerja tinggi.
Proses penilaian otentik mengungkapkan kinerja siswa yang mencerminkan bagaimana peserta
didik belajar, capaian hasil, motivasi, dan sikap yang terkait dengan aktivitas pembelajaran. Penilaian ini
memerlukan waktu yang lebih lama ketika mengumpulkan informasi tetapi dapat mengungkap
kompetensi peserta didik yang sebenarnya. Hal ini berbeda dengan penilaian tradisional yang dapat
dilakukan dalam waktu singkat, cakupan pertanyaan yang luas, dan derajad validitas dan reliabilitas lebih
tinggi.
O’malley dan Pierce (1996:4) mengatakan bahwa penilaian otentik adalah bentuk penilaian yang
menunjukkan pembelajaran siswa yang berupa pencapaian, motivasi, dan sikap-yang relevan dalam
aktivitas kelas. Contoh penilaian otentik termasuk di dalamnya penilaian perfomansi (performance
assessment), portofolio (portfolios), dan penilaian diri-sendiri (student self-assessment).
a. Penilaian Performansi (Performance Assessment)
Penilaian ini merupakan bentuk penilaian yang membangun respon siswa, misalnya dalam hal
berbicara atau menulis. Respon siswa dapat diperoleh guru dengan melakukan observasi selama
pembelajaran di kelas. Penilaian ini meminta siswa untuk menyelesaikan tugas yang komplek dalam
konteks pengetahuan, pembelajaran terkini, dan keahlian yang relevan untuk menemukan solusi dari
suatu permasalahan. Siswa dapat menggunakan bahan-bahan atau menunjukkan hasil aktifitas tangan
dalam mengatasi masalah, contoh: laporan berbicara, menulis, proyek individu maupun grup, pameran,
dan demonstrasi.
Karakteristik penilaian perfomansi (diadaptasi dari Aschbacher:1991, Herman, Aschbacher, dan
Winters: 1992 dalam O’malley dan Pierce,1996:5) seperti di bawah ini.
1) Respon yang dibangun: siswa membangun respon, mengembangkan respon, meminta bentuk
performansi/tampilan atau menciptakan produk.
2) Pemikiran tingkat tinggi: siswa menggunakan pikiran tingkat tinggi untuk membangun respon
ketika membuka dan mengakhiri pertanyaan.
3) Keotentikan: tugas itu penuh makna, menantang, meminta aktivitas siswa bahwa atau konteks
dunia nyata lain dimana siswa akan menunjukkannya.
4) Terpadu: tugas merupakan penyatuan dari kemampuan berbahasa.
5) Proses dan produk: prosedur dan strategi untuk memperoleh respon yang benar atau untuk
mencari solusi atas tugas yang kompleks.
6) Kedalaman vs keluasan: penilaian perfomansi menyediakan informasi yang mendalam
mengenai kemampuan siswa yang merupakan kebalikan dari tes pilihan ganda yang cakupannya luas
tetapi tidak mendalam.
Penilaian perbuatan atau unjuk kerja adalah penilaian tindakan atau tes praktik yang secara
efektif dapat digunakan untuk kepentingan pengumpulan berbagai informasi tentang bentuk-bentuk
perilaku atau keterampilan yang diharapkan muncul dalam diri peserta didik. Penilaian unjuk kerja
dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Penilaian unjuk kerja
merupakan penilaian yang meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan dan mengaplikasikan
pengetahuan ke dalam konteks yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (Kunandar, 2013:263).
Penilaian perfomansi biasanya meminta guru memutuskan respon yang ditunjukkan siswa. Untuk
membantu guru membuat keputusan yang akurat dan reliabel, penyekoran merujuk pada penggunaan
rubrik yang nilai numeriknya merupakan kumpulan tingkatan perfomansi, misalnya 1: dasar, 2: pandai,
dan 3: mahir. Kriteria masing-masing tingkatan harus ditetapkan tepat sesuai dengan kemampuan yang
akan didemonstrasikan siswa. Salah satu karakteristik penilaian perfomansi adalah kriteria dibuat umum
dan diketahui dalam tingkatannya. Oleh karena itu, siswa dapat berpartisipasi dalam penempatan dan
penggunaan kriteria penilaian diri terhadap penampilannya sendiri.
b. Penilaian Diri-Sendiri (Student Self-Assessment)
Penilaian ini merupakan kunci dalam penilaian otentik dan dalam pengaturan pembelajaran diri,
motivasi dan strategi untuk menyelesaikan permasalahan dengan tujuan spesifik. Penilaian diri sendiri
digunakan untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang di dalamnya merupakan
integrasi dari kemampuan kognitif, motivasi, dan sikap terhadap pembelajaran. Dalam pengaturan diri
pembelajar, murid membuat pilihan, memilih aktivitas pembelajaran, dan merencanakan bagaimana
mereka menggunakan waktu dan sumber. Mereka memiliki kebebasan untuk memilih aktivitas yang
menantang, mengambil resiko, meningkatkan kemahiran pembelajaran, dan mencapi tujuan yang telah
direncanakan.
Pada penilaian ini siswa memiliki kontrol pembelajarannya sendiri sehingga mereka dapat
memutuskan untuk menggunakan sumber yang tersedia di dalam atau di luar kelas. Siswa dapat mengatur
pembelajarannya sendiri dan bekerja sama dengan murid lain dalam bertukar ide, saling membantu, dan
saling mendukung dengan sesama teman sebaya. Ketika siswa belajar, mereka membangun makna,
meninjau kembali pemahamannya, dan berbagi makna dengan teman yang lain. Siswa dapat menemukan
makna dan pemahaman baru sehingga mereka dapat memonitor pengaturan diri demi kemajuan
pembelajaran. Penilaian diri dan pengaturan diri adalah inti pembelajaran dan menjadi bagian dari
pembelajaran.
Penggunaan penilaian otentik secara tidak langsung akan merubah bahan-bahan pembelajaran.
Sebagai contoh, kita tidak dapat menggunakan portofolio tanpa merubah filosofi pengajaran dan pusat
pembelajarannya (pusatnya siswa). Dalam pembelajaran ini, siswa tidak hanya mendapatkan masukan
dari yang mereka pelajari tetapi juga bagaimana mereka menilainya.
Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional
(multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang
memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam
memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat berupa: a) tes yang menghadirkan benda atau
kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), b) tugas (tugas ketrampilan, tugas investigasi
sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), c) format rekaman kegiatan belajar siswa (misalnya :
portofolio, interview, daftar cek, presentasi oral, dan debat). Beberapa pembaharuan yang tampak pada
penilaian otentik adalah sebagai berikut.
1) Penilaian otentik melibatkan siswa dalam tugas yang penting, menarik, bermanfaat, dan
relevan dengan kehidupan nyata siswa.
2) Penilaian otentik tampak dan terasa sebagai kegiatan belajar bukan tes tradisional.
3) Penilaian otentik melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan mencakup pengetahuan
yang luas.
4) Penilaian otentik menyadarkan peserta didik tentang apa yang harus dikerjakannya.
5) Penilaian otentik merupakan alat penilaian yang mencakup latar standar (standard setting),
bukan alat penilaian yang distandarisasikan.
6) Penilaian otentik berpusat pada siswa (student centered) bukan berpusat pada guru (teacher
centered).
7) Penilaian otentik dapat menilai siswa yang berbeda kemampuan, gaya belajar, dan latar
belakang kulturalnya.
c. TeknikPenilaian Bentuk Proyek
Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang meliputi:
pengumpulan, pengorganisasian, pengevaluasian, dan penyajian data yang harus diselesaikan peserta
didik (individu/kelompok) dalam waktu periode tertentu. Tugas tersebut bisa berupa investigasi atau
penelitian sederhana tentang suatu masalah yang berkaitan dengan materi tertentu mulai dari
perencanaan, pengumpulan data atau informasi, pengolahan data, penyajian data dan menyusun laporan.
Penilaian proyek dimaksudkan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan,
kemampuan penyelidikan, dan kemampuan menginformasikan dari peserta didik secara jelas.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian proyek, yaitu: 1) Kemampuan pengelolaan,
yaitu kemampuan peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi, mengolah waktu pengumpulan
data dan penulisan laporan. 2) Relevansi, yaitu tugas atau proyek yang diberikan pada peserta didik harus
sesuai dengan karakteristik materi, lingkungan sekolah dan karakteristik peserta didik. 3) Keaslian, yaitu
tugas atau proyek yang dikerjakan peserta didik benar-benar hasil pekerjaan peserta didik dengan
bimbingan guru.
Seorang guru dalam melakukan penilaian proyek dapat menggunakan instrumen penilaian berupa
lembar penilaian proyek berupa daftar cek (check list) dan skala penilaian (rating scale)
d. Teknik Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan
informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu.
Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh
peserta didik, hasil tes atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensi tertentu dalam satu
mata pelajaran. Menurut Genesee dan Upshur (1997) dalam Kunandar (2013:294), portofolio adalah
skumpulan pekerjaan peserta didik yang dapat menunjukkan kepada mereka (juga bagi yang lain) atas
usaha, kemajuan dan pencapaian mereka dalam mata pelajaran tertentu.
Seorang guru dalam melakukan penilaian portofolio dapat menggunakan instrumen penilaian
berupa tabel yang memaparkan hasil karya peserta didik dan tanggal pembuatannya disertai dengan
komentar dari guru. Bentuk penilaian portofolio merupakan sistem pengumpulan hasil kerja siswa yang
dianalisis untuk menunjukkan kemajuan belajar siswa dalam jangka waktu tertentu. Contoh penilaian
portofolio, misalnya: menulis, membaca buku harian, menggambar, audio atau video, dan atau komentar
guru dan siswa tentang kemajuan yang telah dicapai siswa.
e. Teknik Penilaian Bentuk Produk
Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk yang
dihasilkan oleh peserta didik. Penilaian produk dilakukan untuk menilai hasil pengamatan, percobaan,
maupun tugas proyek tertentu dengan menggunakan cara holistik atau analitik. Cara holistik, yaitu
berdasarkan kesan keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan pada tahap appraisal dan cara analitik,
yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap semua kriteria yang terdapat pada
semua tahap pengembangan suatu produk.
Seorang guru dalam melakukan penilaian produk dapat menggunakan instrumen penilaian
berupa lembar penilaian produk berupa daftar cek (check list) dan skala penilaian (rating scale)
f.
Teknik Penilaian Bentuk Kombinasi
Instrumen penilaian bentuk kombinasi digunakan apabila guru ingin melakukan penilaian
terhadap peserta didik yang berkaitan dengan proses atau kinerja dan sekaligus menilai hasil atau produk
dari hasil kinerja peserta didik secara bersamaan. Tujuan dari penilaian kompetensi keterampilan ini
dimaksudkan agar hasil penilaiannya lebih akurat, karena dinilai proses dan hasilnya secara simultan.
11. Alasan Perlunya Penilaian Otentik
Rasionalisasi diperlukannya penilaian otentik dalam pembelajaran yaitu : (1)keinginan pihak
terkait dengan pendidikan (stakeholders pendidikan) untuk menyoroti sifat-sifat konstruktif dari
pembelajaran dan pendidikan, (2)penilaian otentik mengizinkan peserta didik memilih jalannya sendiri
untuk mendemonstrasikan kompetensi dan ketrampilannya, (3) penilaian otentik mengevaluasi seberapa
efektif siswa secara langsung mampu menerapkan pengetahuannya dalam berbagai jenis dan tugas,
(4)memberikan legitimasi pembelajaran dengan mengaitkannya pada konteks dunia nyata,
(5)memberikan kemungkinan kolaborasi antar-siswa dan kolaborasi lintas kurikulum. (Ismet Basuki dan
Hariyanto, 2014: 169)
Pada hakikatnya penilaian otentik (authentic assessment) dilakukan berdasarkan kinerja siswa
dalam menyelesaikan berbagai macam tugas yang diberikan oleh seorang guru, hal ini dimungkinkan,
tugas-tugas yang ada tidak dapat dikerjakan di dalam kelas, sehingga tugas-tugas tersebut harus
dikerjakan di luar pelajaran bahkan di luar sekolah, bagaimana cara menilai pembelajaran seperti itu?.
Sebagaimana Winggins (2005:2) mengatakan orang-orang biasanya menyebutkan pembelajaran berbasis
proyek atau project-based learning, penilaian otentik syarat dengan menilai hasil belajar diantaranya
berdasarkan penugasan atau proyek, lebih lanjut Asmawi Zainul (2001:7-8) menekankan perlunya
penilaian kinerja untuk mengukur aspek lain di luar kognitif, yaitu tujuh kemampuan dasar menurut
Howard Gardner yang tidak mungkin dinilai dengan cara-cara yang biasa. Ketujuh kemampuan dasar
tersebut adalah: (1) visual-spatial, (2) bodiy-kinesthetic, (3) musical-rhythmical, (4) interpersonal, (5)
intrapersonal, (6) logical mathematical, (7) Verbal linguistic. Hanya dua sajalah cara penilaian yang kita
lakukan yaitu logical mathematical dan verbal linguistic.
Fakta empiris mengatakan bahwa sebagian besar guru tidak tertarik dan tidak mau menggunakan
penilaian otentik atau penilaian berbasis kinerja, dengan alasan membuang waktu dan energi serta terlalu
mahal, padahal menilai kinerja dengan tes tertulis termasuk dalam kategori tidak valid, menurut Wiggins
(2005:2-3) merancang dan melaksanakan penilaian kinerja sangatlah efisien, karena ajeg atau konsisten
(reliable), tidak mahal dan tidak membuang waktu. Standar tidak dapat dibuat tanpa melakukan penilaian
berbasis kinerja, Grant Wiggins (1993) menekankan hal yang lebih unik lagi dengan menekankan perlunya
kinerja secara efektif dan kreatif, yaitu: “…Engaging and worthy problems or questions of importance, in
which students must us knowledge to fashion performance effectively and creatively. The tasks are either
replicas of or analogous to the kinds of problems faced by adult citizens and consumers of professionals
in the field” (Wiggins, 1993: 229)
12. Bagaimama Menyiapkan Penilaian Otentik
Penilaian otentik dilakukan dengan cara siswa diminta menampilkan sejumlah tugas dalam dunia
sesungguhnya yang memperlihatkan aplikasi pengetahhuan, ketrampilan dan sikap yang esensial. Adapun
langkah-langkah persiapannya yaitu:
a. Mengidentifikasi standar. Identifikasi standar merupakan satu pernyataan singkat dan harus
diketahui atau dapat dilakukan siswa pada materi tertentu. Operasional rumusan standar hendaknya
dapat diobservasi, dan dapat diukur, harus ditulis dengan jelas, operasional, tidak ambigu dan tidak rancu.
b. Memilih suatu tugas otentik. Tugas otentik yang telah diberikan hendaknya berdasarkan kajian
standar yang kita buat dan mengkaji kenyataan (dunia) sesungguhnya (the real mirror).
c. Mengidentifikasi kriteria untuk tugas (tasks). Kriteria tidak lain adalah indikator-indikator dari
kinerja yang baik pada sebuah tugas, apabila terdapat sejumlah indikator, dalam membuat identifikasi
perlu diperhatikan apakah indikator-indikator tersebut sekuensial (memerlukan urutan) atau tidak.
D. Penutup
Perbaikan kualitas pendidikan senantiasa menjadi kebutuhan bagi setiap bangsa yang
menginginkan perbaikan kualitas manusianya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan
perbaikan kualitas pendidikan adalah dengan menyempurnakan kurikulum pendidikan yang digunakan.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum terbaru yang dirilis oleh pemerintah Indonesia dalam rangka
melakukan perbaikan dengan melakukan penguatan pada dimensi proses pembelajaran dan penilaian.
Dimensi yang ditekankan dan menjadi perhatian bagi guru selaku pelaksana pendidikan adalah dimensi
penilaian dimana kurikulum 2013 menuntut guru untuk mengukur bukan hanya hasil kerja siswa tetapi
juga proses belajar yang dilalaui siswa (Kunandar, 2013). Prinsip penilaian yang ditawarkan dalam
Kurikulum 2013 melalui Permendikmud No.66 tahun 2013 tentang standar penilaian adalah penilaian
otentik.
Menurut Rahayu (2014), Di antara beberapa kelebihan penilaian otentik dalam penerapan
kurikulum 2013 antara lain:
a. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran
sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013.
b. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam
rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain.
c. Penilaian autentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual,
memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih
autentik.
d. Penilaian autentik sangat relevan dengan pendekatan tematik terpadu dalam pembejajaran,
khususnya jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran yang sesuai. Penilaian autentik sering
dikontradiksikan dengan penilaian yang menggunakan standar tes berbasis norma, pilihan ganda, benarsalah, menjodohkan, atau membuat jawaban singkat. Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan
dalam proses pembelajaran, karena memang lazim digunakan dan memperoleh legitimasi secara
akademik.
e. Penilaian autentik dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru bekerja sama
dengan peserta didik. Dalam penilaian autentik, seringkali pelibatan siswa sangat penting. Asumsinya,
peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu bagaimana akan dinilai.
Peserta didik diminta untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam rangka
meningkatkan pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan pembelajaran serta mendorong kemampuan
belajar yang lebih tinggi.
f.
Pada penilaian autentik guru harus dapat menerapkan kriteria yang berkaitan dengan
konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan, dan pengalaman yang diperoleh dari luar sekolah.
g. Penilaian autentik mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar dan kegiatan siswa
belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik, serta keterampilan belajar. Karena penilaian itu
merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan peserta didik berbagi pemahaman tentang kriteria
kinerja. Dalam beberapa kasus, peserta didik bahkan berkontribusi untuk mendefinisikan harapan atas
tugas-tugas yang harus mereka lakukan.
h. Penilaian autentik sering digambarkan sebagai suatu bentuk penilaian atas perkembangan
peserta didik, karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar
tentang subjek.
i. Penilaian autentik harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal
apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan perolehan belajar, dan sebagainya. Atas dasar itu,
guru dapat mengidentifikasi materi apa yang sudah layak dilanjutkan dan untuk materi apa pula kegiatan
remedial harus dilakukan
Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang berkesinambungan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran. Sebagai komponen yang tidak terpisahkan
dalam sebuah pembelajaran, penilaian digunakan guru untuk memperoleh informasi tentang
pembelajaran dilakukan. Dalam dunia pendidikan, sering kali ada tiga istilah yang digunakan bergantian
pemakaiaannya atau bahkan disamakan pengertiannya padahal secara esensi berbeda. Ketiga istilah
tersebut adalah penilaian (evaluasi, evaluation), pengukuran (measurement), dan tes (test). Tuckman
(melalui Nurgiyantoro,2012:6) mengatakan bahwa penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui
(menguji) apakah suatu kegiatan, proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan
atau kriteria yang telah ditentukan. Istilah yang kedua, pengukuran merupakan bagian dari alat penilaian
dan selalu berhubungan dengan data-data kuantitatif, misalnya skor peserta didik. Istilah yang terakhir,
yaitu tes merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi (kemampuan) peserta didik. Tes ini
biasanya lebih popular dengan kata ujian atau ulangan.
Reynolds dkk (2010:3) juga mengungkapkan perbedaan ketiga istilah di atas. Tes adalah sebuah
sarana yang digunakan untuk mengetahui contoh perilaku individual yang diamati, dievaluasi, dan diberi
skor dengan standar prosedur tertentu. Tes ini bertujuan untuk mengetahui informasi secara lebih spesifik
tentang pencapaian materi yang telah diajarkan. Dengan adanya tes, pendidik akan mengetahui secara
lebih nyata hasil dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Pengukuran adalah seperangkat aturan
untuk menilai tingkat pencapaian yang ditunjukkan objek, ciri-ciri, atribut, dan sikap siswa. Penilaian
adalah sebuah prosedur sistematis yang digunakan untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan
untuk menyimpulkan karakteristik siswa atau objek untuk mencapai tujuan pendidikan. Penilaian harus
mampu memberikan pemahaman secara spesifik terhadap karakteristik peserta didik yang dilakukan
secara terintegrasi. Jadi, dapat dikatan bahwa tes merupakan salah satu metode pengumpulan informasi
dan merupakan salah satu alat dalam penilaian. Oleh karena itu, penilaian memiliki cakupan yang lebih
luas daripada tes.
Griffin dan Peter (1991:4) mengatakan bahwa penilaian merupakan proses pengumpulan hasil
dari pencapaian pembelajaran siswa. Penilaian berdasarkan pada kenyataan. Hal ini tidak hanya sekedar
tes, pengukuran, maupun penyekoran. Dengan kata lain, merupakan usaha untuk mendeskripsikan
beberapa karakteristik seseorang atau sesuatu. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa penilaian adalah prosedur pengumpulan informasi tentang karakteristik siswa pada suatu proses
pembelajaran. Penilaian ini merupakan serangkaian kegiatan yang di dalamnya menginterpretasikan
kinerja yang ditunjukkan secara nyata dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Penilaian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran di kelas. Setiap
pembaca/ Widyaiswara/pendidik/narasumber/fasilitator sudah seharusnya memahami dan mampu
melaksanakan penilaian haasil pembelajaran. Namun penilaian proses dan hasil belajar hendaknya secara
menyeluruh, sehingga smua aspeK kemampuan peserta didikdapat diukur. Oleh karena itu, penulis
menganjurkan untuk membaca artikel ini, sebab dengan membaca artikel ini diharaapkan dapat
memperkuat keyakinan dan memperdalam pengetahuan serta menambah keterampilan dalam
melaksanakan penilaian otentik terhadap peserta diklat atau peserta didik.
Daftar Pustaka
AECT. 2004. AECT Definition and Terminology Committee Document: The Meanings of
Educational Technology.
Anas Sudijono. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ardana, I Made. 2011. Pengembangan Model dan Asesmen Otentik Pembelajaran Matematika
Berorientasi Gaya Kognitif dan Budaya untuk Siswa Sekolah Dasar di Provinsi Bali.
Arikunto, Suharsimi. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bandung : Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Asep Jihad dan Abdul Haris. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.
Burhanuddin Tola. 2010. Penilaian Diri (Self Evaluation) Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan
Balitbang Kemendiknas.
Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2004.
Penilaian Proyek, Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Dimyanti dan Moedjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan dan
Peningkatan Tenaga Kependidikan.
Djaali. 2000. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: UNJ.
Gronlund, N.E. 1998. Assessment of Student Achievement. 6th ed. Boston: Allyn and Bacon.
Harris Duncan dan Bell Chris. 1994. Evaluating and Assessing for Learning. New Jersey: Nichols
Publishing Company.
Ismet Basuki & Hariyanto. 2014 Asesmen Pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Kunandar. 2013. Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum
2013. Jakarta: Rajawali Press.
Marhaeni, A.A.I.N. 2008. Tinjauan Teoritis Mengenai Asesmen Otentik dan Implementasinya
dalam Pembelajaran. Makalah. Disampaikan dalam Seminar tentang Profesionalisme Guru dan Inovasi
Pembelajaran.
Marzano, R. J., et al. 1994. Assessing Student Outcomes : Performance Assessment Using the Five
Dimensions of Learning Model. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.
Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Mimin Haryati. Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Gaung
Persada Press, 2010.
Muchtar, Hartati. 2010. Penerapan Penilaian Autentik dalam Upaya Peningkatan Mutu
Pendidikan. Jakarta: Jurnal Pendidikan Penabur.
Mueller,
J.
2006.
Authentic
Assessment.
North
Central.
Tersedia
:
http://jonatan,muller,faculty.noctri.edu/toolbox/wahtisist.htm
Mulyasa. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: ROSDA.
Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Nurgiyantoro.2008. Penilaian Otentik. Jurnal Cakrawala Pendidikan. November 2008, Th. XXVII,
No. 3.
Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004. Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia.
Nuryanti Rustaman. 2014. Penilaian Otentik (Authentic Assessment) dan Penerapannya dalam
Bidang Pendidikan Sains. Bandung: UPI FMIPA.
Pantiwati, Yuni. 2013. Hakekat Assesmen Autentik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Biologi. Malang: JEMS (Jurnal Edukasi dan Sains)
Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Jakarta.
Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar
Penilaian Pendidikan. Jakarta.
Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum. Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan
Pendidikan. Jakarta.
Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Pusbang Tendik. 2013. Pedoman Kegiatan Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013 Oleh
Guru Inti. Jakarta: Kemdikbud.
Seels, Barbara B. dan Rita C.Richey. 1994. Teknologi Pembelajaran Definisi dan Kawasannya.
Jakarta: UNJ.
Stinggins, R.J. 1994. Student-Centered Classroom Assessment. New York : Macmillan College
Publishing Company.
Suastra, I.W. 2009. Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Alamiah
dan Sosial Budayanya. Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja.
Subkhan,
Edi.
2013.
Pengantar
Teknologi
Pendidikan
Perspektif Paradigmatik
Multidimensional. Yogyakarta: Deepublish.
Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo.
dan
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
Supardi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Penyusun. 2008. Materi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Asesmen. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Widoyoko, Eko Putro. 2010. Evaluasi Program Pembelajaran Panduan Praktis Bagi Pendidik dan
Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Winggins, G. 2005. Grant Wiggins on Assessment, Edutopia. The George Lucas Educational
Founfation (online) Availlable: http://www.gief.org.
Zainul, A. 2001. Alternative Assessment. Applied Approach Mengajar di Perguruan Tinggi, Jakarta
: Pusat Antar Universitas untuk peningkatan dan pengembangan aktivitas instruksional. Ditjen Dikti
Depdiknas.
Download