Penerapan Penilaian Otentik Posted by Hadi Susanto on 20 Desember 2015 Posted in: Pembelajaran. 1 Komentar A. Pendahuluan Penilaian otentik memiliki relevansi terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai tuntutan Kurikulum 2013 yang mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. Penilaian otentik bertujuan untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Penilaian otentik dalam implementasi kurikulum 2013 mengacu kepada penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat (peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal, pengetahuan melalui tes tulis, tes, lisan, dan penugasan, keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, proyek, dan penilaian portofolio. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mengamanatkan kepada pemerintah agar mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 3 menyebutkan sebagai berikut. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Inovasi di bidang pendidikan telah banyak diupayakan oleh pemerintah, baik dalam pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan tinggi guna meningkatkan kualitas pendidikan. Misalnya, meningkatkan kualitas guru melalui penataran-penataran, seminar pendidikan, dan pendidikan lanjutan. Di samping itu, inovasi dalam pembelajaran telah banyak dilakukan seperti pembelajaran melalui simulasi komputer, cara belajar siswa aktif atau pendekatan keterampilan proses. Namun belum menampakkan peningkatan hasil secara signifikan Sesungguhnya telah banyak usaha yang ditempuh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan khususnya di tingkat sekolah dasar, antara lain berupa alokasi dana pendidikan, perubahan kurikulum, peningkatan kualitas guru sekolah dasar, pengadaan sarana dan prasarana pembelajaran serta sumber belajar. Di samping itu, terdapat beberapa faktor penentu keberhasilan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah dasar antara lain: proses pembelajaran, guru, siswa, sarana dan prasarana pembelajaran dan cara evaluasi guru, lingkungan sosial siswa di sekolah, kurikulum sekolah, dan sumber belajar (Dimyanti dan Moedjiono, 1994:248) Dari faktor penentu keberhasilan itu, proses pembelajaran merupakan salah satu faktor yang paling penting. Jika proses pembelajaran berjalan baik dengan didukung oleh faktor penentu keberhasilan yang lainnya, akan menghasilkan anak didik yang bermutu yang dapat bersaing dalam era globalisasi. Guru hendaknya secara ideal melaksanakan pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi intertaksi antara guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa-guru. Untuk itu, antara siswa dan guru menjalankan perannya masing-masing. Guru membelajarkan siswa dan siswa belajar bagaimana belajar. Dengan kata lain dalam pembelajaran harus terjadi interaksi yang bersifat multi arah (Dimyanti dan Mudjiono, 1994:120) Interaksi multi arah akan terjadi bila guru telah mempersiapkan administrasi, materi, dan media pembelajaran yang refresentatif yang akan digunakan dalam melaksanakan pembelajarannya. Saat melaksanakan pembelajaran guru telah terampil menggunakan delapan keterampilan mengajar dan pada akhir pembelajaran guru telah menemukan dasar. Guru memiliki peran dan kedudukan yang cukup signifikan dalam proses penilaian, yakni orang yang mengetahui hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar peserta didik merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Maka dari itu dengan penilaian hasil belajar dapat diketahui seberapa besar keberhasilan peserta didik dalam menguasai kompetensi atau materi yang telah diajarkan oleh guru. Penilaian dapat dijadikan acuan untuk melihat tingkat keberhasilan atau efektivitas guru dalam pembelajaran. Oleh karena itu, penilaian hasil belajar harus dilakukan dengan baik mulai dari penentuan instrumen, penyusunan instrumen, telaah instrumen, pelaksanaan penilaian, analisis hasil penilaian dan program tindak lanjut hasil penilaian. Penilaian hasil belajar yang baik akan memberikan informasi yang bermanfaat dalam perbaikan kualitas proses belajar mengajar. Sebaliknya, jika terjadi kesalahan dalam penilaian hasil belajar maka akan terjadi salah informasi tentang kualitas proses belajar mengajar dan pada akhirnya tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sistem penilaian yang digunakan oleh guru umumnya paper and pencil test karena mereka menilai cukup praktis dalam arti tidak membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang banyak. Sebaliknya, jika menggunakan penilaian autentik membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang lebih banyak, sehingga guru enggan menggunakannya. Pemikiran dan perilaku inilah yang menghambat tercapainya kualitas pembelajaran dalam pendidikan. Hasil penelitian Pantiwati (2013) dalam Pantiwati (2013: 2) tentang profil sistem penilaian oleh guru juga menunjukkan bahwa tes tulis bentuk obyektif mendominasi instrumen pengukuran hasil belajar peserta didik, selain itu respon peserta didik juga mendukung bentuk tes tertulis dibandingkan bentuk penilaian lain. Peserta didik tidak menyukai penilaian melalui analisis kritis artikel maupun portofolio yang menuntut peserta didik berfikir tingkat tinggi. Hal senada juga diungkapkan oleh Umar dalam Pantawati (2013: 2) bahwa keadaan lulus 100% peserta didik pada ujian nasional berdampak buruk pada perilaku mengajar guru. Guru umunya sudah merasa aman dan selesai tugasnya jika sudah melaksanakan semua kewajiban kurikuler meskipun peserta didiknya tidak memahami apa yang diajarkan. Sebuah pendidikan yang tidak menghasilkan lulusan yang bermutu bukanlah merupakan investasi sumber daya manusia, melainkan pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Oleh karena itu perlu adanya metode yang tepat untuk melakukan evaluasi agar penilaian yang dilakukan pada peserta didik dapat memberikan informasi yang utuh tentang peserta didik. Jika seorang peserta didik dikatakan berhasil dalam belajarnya, maka keberhasilan itu haruslah diukur dengan alat ukur yang sesuai dengan tujuan belajarnya atau kompetensi yang harus dicapainya. Informasi yang diperoleh dari penilaian harus komprehensif dan telah dilakukan pada saat-saat yang tepat selama dan setelah peserta didik belajar. Artinya pengukuran harus dilakukan sepanjang proses belajar yang dijalani peserta didik. Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi memiliki hubungan yang sangat terkait. Penilaian kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, dan pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi. Penilaian kelas dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti penilaian unjuk kerja, penilaian sikap, penilaian tertulis, penilaian proyek, penilaian produk, penilaian portofolio, dan penilaian diri. Penilaian dilakukan sebelum pengukuran karena pengukuran merupakan pemberian angka pada objek atau aturan yang memberikan arti kuantitatif. Grounlund (1993) dalam Pantiwati (2013: 3) menyatakan bahwa pengukuran adalah proses untuk memperoleh deskripsi angka tentang derajat karakteristik tertentu yang dimiliki oleh individu. Pengumpulan informasi ini selain dilakukan menggunakan tes, juga dilakukan dengan mengobservasi peserta didik ketika sedang belajar, mewawancarai atau sedang menilai produk peserta didik. Guru diberi kebebasan dalam menentukan teknik pengambilan nilai baik itu bentuk instrumen, maupun butir-butir instrumen yang akan digunakan untuk indikator yang telah dirumuskan. Hasil penilaian sangat diperlukan dalam melakukan evaluasi, hal ini terkait dengan kebutuhan untuk membuat keputusan. Brown (2004) dalam Pantawati (2013: 3) menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan melakukan keputusan berdasarkan informasi yang telah diperoleh dalam penilaian tersebut. Penilaian dan evaluasi saling terkait karena hasil penilaian merupakan salah satu sumber informasi yang sangat penting dalam lingkungan belajar. Oleh karena itu penilaian dapat dipakai sebagai dasar untuk mengevaluasi program pembelajaran sesuai dengan harapan. Tercapainya kompetensi lulusan tidak hanya tergantung pada program pembelajaran namun terkait langsung dengan penilaian. Johnson (2002) dalam Pantawati (2013: 1) mengungkapkan bahwa penilaian dapat dilakukan tanpa evaluasi tetapi tidak dapat mengevaluasi diluar penilaian dan evaluasi dilakukan sesaat sedangkan penilaian secara terus menerus. Implementasi kurikulum 2013 telah mengubah paradigma pendidikan dari behavioristik ke konstruktivistik, tidak hanya menuntut adanya perubahan dalam proses pembelajaran tetapi juga perubahan dalam melaksanakan penilaian. Paradigma lama pada penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada hasil yang cenderung menilai kemampuan aspek kognitif, melalui bentuk tes seperti pilihan ganda, benar atau salah, dan menjodohkan. Bentuk tes tersebut dinilai telah gagal mengetahui kinerja peserta didik yang sesungguhnya. Tes tersebut belum bisa mengetahui gambaran yang utuh mengenai sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik dikaitkan dengan kehidupan nyata mereka di luar sekolah atau masyarakat. Selain itu, aspek afektif dan psikomotorik juga diabaikan. Pembelajaran berbasis konstruktivisme pada penilaian pembelajaran tidak hanya ditujukan untuk mengukur tingkat kemampuan kognitif semata, tetapi mencakup seluruh aspek kepribadian peserta didik, seperti perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan sosial dan aspek-aspek kepribadian individu lainnya. Kurikulum 2013 menitikberatkan pada kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ketiga komponen tersebut secara eksplisit dinyatakan dalam kompetensi inti yang harus dimiliki peserta didik. Kurikulum 2013 mengatur kegiatan pembelajaran yang mengutamakan pendekatan ilmiah (scientific) yaitu mengamati, menanya, melatih, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan. Perubahan yang mendasar tersebut berdampak pada sistem penilaian yang lebih mengarah ke penilaian autentik. Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyebutkan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik didasarkan pada prinsip objektif, terpadu, ekonomis, transparan, akuntabel, dan edukatif. Terkait dengan konsep penilaian autentik, penilaian adalah proses pengumpulan berbagai informasi yang dapat memberikan gambaran sebenarnya tentang perkembangan belajar peserta didik. Istilah autentik merupakan sinonim dari asli, nyata, valid, atau reliabel. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Kunandar (2014: 36) mengemukakan bahwa, “Kurikulum 2013 mempertegas adanya pergeseran dalam melakukan penilaian, yakni dari penilaian melalui tes (berdasarkan hasil saja), menuju penilaian autentik (mengukur sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil)”. Penilaian ini mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik,baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, dan membangun jejaring atau mengkomunikasikan. Penilaian autentik dilakukan oleh guru dalam bentuk penilaian kelas melalui penilaian kinerja, portofolio, produk, projek, tertulis, dan penilaian diri. Penilaian otentik adalah penilaian yang dilakukan dalam suasana non-threatening. Penilaian ini berupa proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Penilaian otentik memiliki sifat-sifat: (1) berbasis kompetensi, (2) berpusat pada siswa, (3) terintegrasi dalam proses pembelajaran, (4) on-going dan berkelanjutan (Tim Penyusun, 2008:23). Penilaian atau evaluasi merupakan satu tahapan dalam siklus pembelajaran yang peranannya tidak bisa diabaikan. Dikatakan demikian karena evaluasi minimal dapat menghasilkan dua hal yaitu: (1) sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran, dan (2) dapat memberikan informasi mengenai kualitas perolehan pada subjek didik. Penilaian yang baik adalah bagian integral dari pembelajaran yang baik. Penilaian yang tepat paling tidak berorientasi pada dua prioritas utama: (1) tujuan utama pendidikan, yaitu learning how to learn from an experience, agar perencanaan pembelajaran berikutnya menjadi bermakna, dan (2) pengakomodasian keragaman peserta didik utamanya dalam hal gaya belajar dalam rangka membantu perencanaan perbaikan proses belajar. Dalam kaitannya dengan penilaian terhadap siswa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menyebutkan agar selama proses pembelajaran, guru memonitor partisipasi atau keikutsertaan siswa dari awal hingga akhir pembelajaran. Implikasi lain dari diterapkannya standar kompetensi adalah guru harus mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic assessment) yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi. B. Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi Evaluasi yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah evaluation. Secara umum, pengertian evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh. Dalam pengertian yang lain, evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan, sampai sejauh mana tujuan program telah tercapai. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wrightstone, dkk (1956) yang mengemukakan bahwa pengertian evaluasi adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan ke arah tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan. Beberapa ahli mendefinisikan evaluasi sebagai berikut. a. Menurut Edwin Wandt dan Gerald W. Brown dalam Sudijono (2006: 1), evaluation refer to the act or process to determining the value of somethingyaitu suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. b. Suchman dalam Suharsimi (2010: 1) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan dan seorang ahli evaluasi Stufflebeam mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan. c. Worthen dan Sanders mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga dari sesuatu, dalam mencari sesuatu tersebut juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan, sesuatu program, produksi, prosedur serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan (Suharsimi, 2004: 1) d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 57 ayat (1) menyebutkan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan kegiatan yang direncanakan untuk menilai ketercapaian suatu program yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan. 2. Model-Model Evaluasi Woolfolk dan Nicolich mengemukakan bahwa penilaian atau evaluasi merupakan suatu proses membandingkan informasi dengan kriteria, kemudian membuat pertimbangan; yakni membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai. Sejalan dengan pengertian tersebut, Raka Joni mengemukakan bahwa penilaian adalah penetapan baik-buruk terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Gronlund dan Linn mengemukakan bahwa penilaian merupakan proses pengumpulan informasi, analisis dan interpretasi informasi yang sistematis untuk menentukan sejauh mana murid mencapai tujuan pembelajaran. Secara lebih rinci, Phi Delta Kappa National Study Committee of Evaluation menguraikan pengertian evaluasi sebagai proses pencarian, perolehan dan penyediaan informasi yang berguna bagi pertimbangan alternatif-alternatif keputusan. Pengertian ini berkaitan dengan tiga hal mendasar, yaitu: 1) evaluasi merupakan suatu proses sistematis yang berkelanjutan; 2) proses tersebut meliputi tiga langkah, yakni: (1) menyusun pertanyaan yang memerlukan jawaban dan informasi spesifik yang ingin diperoleh, (2) mengumpulkan data yang relevan, (3) menyajikan informasi yang dihasilkan oleh pengambil keputusan yang akan mempertimbangkan dan menginterpretasikannya berkaitan dengan alternatif keputusan yang akan diambil; 4) evaluasi mendukung proses pembuatan keputusan dengan menyediakan alternatif-alternatif yang terseleksi serta menidaklanjuti konsekuensi-konsekuensinya. Menyimak berbagai pengertian yang diberikan para ahli tentang penilaian, Stufflebeam et.al mengelompokkan adanya tiga sudut pandang definisi penilaian, yaitu: 1) pengertian yang mengidentikkan penilaian dengan pengukuran, 2) pengertian penilaian sebagai sebuah proses melihat kongruensi antara tujuan dengan apa yang dilaksanakan, dan 3) penilaian sebagai sebuah pertimbangan (judgment) profesional. Perbedaan-perbedaan pengertian diatas nampak menunjukkan adanya perbedaan pendekatan yang dilakukan dalam melakukan penilaian. Tiga pendekatan evaluasi program pendidikan yang banyak dikenal dan sering dijadikan rujukan dalam pelaksanaan evaluasi program pendidikan, yakni : a) Objective-Oriented Approach, b) Management-Oriented Approach, dan c) Naturalistic-Participant Approach. dengan uraian-uraian yang disertai contoh penggunaannya. Model evaluasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu program berjalan sehingga dapat ditentukan langkah-langkah yang akan dilakukan. Model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli dalam mengevaluasi sebagai berikut. a. Goal Oriented Evaluation Model (Tyler) Model ini merupakan model yang muncul paling awal, yang menjadi objek pengamatan dalam model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus, mengecek sejauh mana tujuan tersebut sudah terlaksana dalam program. Pendekatan berorientasi tujuan ini pertama kali dikenalkan oleh Ralph Tyler tahun 40-50 an sebagai standar baru bagi evaluasi pendidikan. Sebelumnya untuk mengevaluasi bidang pendidikan dilakukan dengn tes yang menggunakan acuan kriteria. Tyler menggunakan metodologi yang lebih kompleks untuk menghubungkan hasil pencapaian siswa dengan hasil belajar yang diinginkan Tyler merumuskan evaluasi hasil belajar dari tujuan pembelajaran berdasarkan taksonomi tujuan pembelajaran yang dikembangkan oleh Bloom dan Krathwohl. Pendekatan ini kemudian diberinama Pendekatan/ model Tyler, sesuai nama pengembangnya. Model Tyler ini kemudian banyak dipakai untuk mengevaluasi hasil atau program pendidikan. Cara pendekatan berorientasi tujuan ini bisa juga digunakan untuk mengevaluasi program lain seperti program kesehatan. Dalam perkembangan lebih lanjut, model/pendekatan berorientasi tujuan in kemudian dikembangkan atau disempurnakan lagi oleh Metffessel dan Michael tahun 1967, oleh Provus 1973 dan juga oleh Hammond. Dari berapa-berapa model pendekatan baru ini ciri utamanya tetap sama yaitu jika suatu kegiatan atau program sudah mempunyai tujuan yang hendak dicapai, maka evaluasinya berfokus pada apakah tujuan itu telah dicapai. Dalam model ini, seorang evaluator secara terus menerus melakukan pantauan terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian yang terus-menerus ini menilai kemajuan-kemajuan yang dicapai peserta program serta efektifitas temuan-temuan yang dicapai oleh sebuah program. Salah satu model yang bisa mewakili model ini adalah discrepancy model yang dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat lebih jauh tentang adanya kesenjangan (discrepancy) yang ada dalam setiap komponen yakni apa yang seharusnya dan apa yang secara riil telah dicapai. Kekuatan utama dari pendekatan evaluasi berorientasi tujuan adalah kelugasannya. Pendekatan ini mudah dimengerim mudah diikuti, mudah diterapkan dan juga mudah disetujui untuk diteliti oleh direktur program. Pendekatan ini telah menstimulasi pengembangan teknik, prosedur pengukuran dan instrumen untuk berkembang. Literatur mengenai pendekatan ini pun berlimpah, ide kreatif dan modelmodel baru yang lahir dari pendekatan inipun banyak bermunculan. Dengan pendekatan ini pemilik program bisa melihat lebih jelas hasil pencapaian dari suatu program sehingga bisa menilai dan menimbang suatu program b. Formatif – Sumatif Evaluation Model (Michael Scriven) Model ini menunjukkan adanya tahapan dalam lingkup objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (disebut evalausi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatif) Evaluator dalam menggunakan model ini tidak dapat melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif. Model yang dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjuk tentang apa, kapan, dan tujuanevaluasi tersebut dilakanakan. Menurut Scriven (1991) dalam diktat teori dan praktek evaluasi program bimbingan dan konseling (Aip Badrujaman, 2009), evaluasi formatif adalah suatu evaluasi yang biasanya dilakukan ketika suatu produk atau program tertentu sedang dikembangkan dan biasanya dilakukan lebih dari sekali dengan tujuan untuk melakukan perbaikan. Sedangkan Weston, McAlpine dan Bordonaro (1995) dalam diktat teori dan praktek evaluasi program bimbingan dan konseling (Aip Badrujaman, 2009) menjelaskan bahwa tujuan dari evaluasi formatif adalah untuk memastikan tujuan yang diharapkan dapat tercapai dan untuk melakukan perbaikan suatu produk atau program. Hal ini senada dengan Worthen dan Sanders (1997) dalam diktat teori dan praktek evaluasi program bimbingan dan konseling (Aip Badrujaman, 2009) yang menyatakan bahwa evaluasi formatif dilakukan untuk memberikan informasi evaluatif yang bermanfaat untuk memperbaiki suatu program. Baker mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi kegunaan evaluasi formatif, yaitu kontrol dan waktu. Bila saran perbaikan akan dijalankan, maka evaluasi formatif diperlukan sebagai kontrol. Informasi yang diberikan menjadi jaminan apakah kelemahan dapat diperbaiki. Apabila informasi mengenai kelemahan tersebut terlambat sampai kepada pengambilan keputusan, maka evaluasi bersifat sia-sia. Berbeda dengan evaluasi formatif, evaluasi summatif lebih diarahkan untuk menguji efek dari komponen-komponen pendidikan/pembelajaran terhadap murid-murid, atau dapat juga dikatakan bahwa evaluasi summatif dirancang untuk mengetahui seberapa jauh kurikulum yang telah disusun sebelumnya memberikan hasil pada siswa antara lain mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal itu dapat dilihat pada hasil pre test dan post test, antara kelompok eksperimen dan control. Walaupun Scriven tidak mengarahkan model ini pada evaluasi dalam proses belajar mengajar, namun pelaksanaan kurikulum tidaklah dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Contoh: Dalam sebuah kurikulum kimia di SMA, untuk menilai kurikulum kimia itu, maka setiap unit atau satuan pelajaran harus dicobakan/dilaksanakan. Pada akhir pelaksanaan setiap kegiatan belajar mengajar, atau pada pertengahan dan akhir semester evaluasi hasil belajar dapat dan perlu dilakukan baik untuk menentukan tingkatan atau angka yang dicapai siswa dalam bidang tersebut maupun proses pendidikan berikutnya. Evaluasi sumatif juga dilakukan setelah program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur pencapaian program. Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program pembelajaran dimaksudkan sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau kedudukan individu di dalam kelompoknya. Mengingat bahwa obyek sasaran dan waktu pelaksanaan berbeda antara evaluasi formatif dan sumatif maka lingkup sasaran yang dievaluasi juga berbeda. ada beberapa contoh mudah dalam memahami evaluasi formatif dan sumatif. evaluasi formatif ibaratnya proses dalam pembuatan masakan, dimana ada proses pemasakan, proses pemotongan sayur dan proses pemberian bumbu. sedangkan evaluasi sumatif adalah proses ketika masakan itu telah disajikan dan bagaimana tiap individu menikmati masakan tersebut. c. Context, Input, Process, Product Evaluation Model ( Stufflebeam) Model evaluasi ini merupakan yang paling banyak digunakan oleh para evaluator model ini di kembangkan oleh Stufflebeam dan kawan-kawan (1967) di Ohio State University. CIPP merupakan singkatan dari Context, Input, Process, Product Evaluation Model atau evaluasi terhadap konteks, input evaluation atau evaluasi terhadap masukan, process evaluation atau evaluasi terhadap proses, product evaluation atau evaluasi terhadap hasil. Keempat kata yang disebutkan dalam Context, Input, Process, Product Evaluation Model tersebut merupakan sasaran evaluasi yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan. Secara rinci keempat kegiatan tersebut adalah 1) Evaluasi konteks, yaitu upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek, 2) Evaluasi masukan, yaitu kemampuan awal siswa dan sekolah dalam menunjang pembelajaran antara lain kemampuan sekolah menyediakan petugas yang tepat, ahli kesehatan yang berkualitas dan sebagainya, 3) Evaluasi proses, yaitu merujuk pada apa (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, siapa (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, kapan (when) kegiatan akan selesai. Evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana, 4) Evaluasi produk atau hasil, yaitu evaluasi produk atau hasil yang diarahkan pada hal–hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan mentah. d. Discrepancy Model Kata discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi kesenjangan. model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan dalam pelaksanaan program. Evaluasi ini dilakukan oleh evaluator untuk mengukur besarnya kesenjangan yang ada disetiap komponen. Discrepancy sesungguhnya dimaksudkan ketidaksesuaian (bukan kesenjangan, atau perbedaan). Yang dimaksudkan adalah ketidaksesuaian, ketidakselarasan antara dua hal yang seharusnya, idealnya, harapannya, sama (A discrepancy exists between things which ought to be the same). Sinonimnya incongruity, disagreement, discordance, contrariety, variance. Objek sasaran evaluasi program (lembaga pendidikan, misalnya) dengan menggunakan model dicrepancy Provus itu ada lima aspek yaitu desain, instalasi, proses, produk, dan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis). Design (rancangan; program design). Yang dimaksud adalah ranncangan kegiatan atau program kerja. Oleh karena itu ada yang menyebutnya dengan program definition (penetapan program). Yang dievaluasi mengenainya adalah ada tidaknya unsur input, proses, dan output (sesuatu itu lahan, personil, sarana prasarana, sumber daya sekarang berkeadaan seperti apa, mau diproses dengan cara bagaimana, agar menjadi seperti apa). Diteliti evaluasi kemudian kekomprehensifan dan kosistensi (keselarasan) internal rancangan tersebut. Installation (program installation; penyediaan perangkat-perlengkapan yang dibutuhkan program). Agar program bisa dilaksanakan, lembaga pembuat program itu tentu harus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber daya, perangkat dan perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program. Jika diprogramkan meningkatkan kemampuan mahasiswa mengajar, misalnya, apakah sudah disiapkan tempat latihan mengajar yang baik. Process (program process). Yang dimaksud dengan program process adalah proses pelaksanaan program. Di dalamnya termasuk kepemimpinan dan penugasan-penugasan (instruction). Yang dievaluasi adalah keterkaitan (kegayutan) antara sesuatu yang akan diubah, dibangun, dikembangkan dsb. dengan kegiatan (proses) untuk mengubah, membangun, mengembangkannya. Jika diharapkan sekian orang staf bisa studi lanjut, maka proses yang gayut adalah menyiapkan mereka untuk bisa studi lanjut, misalnya meningkatkan kemampuan bahasa ingggris, meningkatkan penguasaan metodologi penelitian dan penulisan karya ilmiah, bukan menugaskan studi lanjut. Product (program product, hasil program). Yang dievaluasi adalah efektivitas desain atau rancangan program; tegasnya apakah tujuan atau target program bisa tercapai. Cost (biaya, pengeluaran). Yang dimaksud adalah implikasi (kemanfaatan) sosial politik ekonomi apa yang diharapkan bisa tergapai dari pelaksanaan program tersebut. e. Countenance Evaluation Model (oleh Stake) Menurut Stake sangat jarang ditemukan laporan penelitian yang relevan atau untuk data perilaku berkaitan dengan keputusan akhir kurikuler dan juga jarang ditemukan kegiatan evaluasi formal yang menguraikan kondisi awal dan transaksi dalam kelas. Oleh karena itu, Stake mengembangkan model evaluasi, bukan tentang apa yang harus diukur dan bagaimana cara mengukurnya melainkan sebagai latarbelakang mengembangkan rencana evaluasi. Jadi, model Countenance Stake berorientasi sekitar program pendidikan bukan pada produk pendidikan, karena nilai produk tergantung pada penggunaan program. Dalam tulisannya Stake memperkenalkan konsep evaluasi yang berorientasi pada sifat dinamis dan kompleks pendidikan, salah satu yang memberikan perhatian yang tepat untuk tujuan beragam dan penilaian dari praktisi. Menurut Stake, tujuan dan prosedur evaluasi pendidikan akan bervariasi misalnya apa yang cukup tepat untuk satu sekolah mungkin kurang tepat bagi orang lain. Model Countenance adalah model pertama evaluasi kurilulum yang dikembangkan Stake. Pengertian Countenance adalah keseluruhan, sedangkan pengertian lain adalah sesuatu yang disenangi (favourable). Menurut Provus (1972), Tujuan dari model Countenance Stake adalah melengkapi kerangka untuk pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum. Perhatian utama Stake adalah hubungan antara tujuan penilaian dengan keputusan berikutnya berdasarkan sifat data yang dikumpulkan. Hal tersebut, karena Stake melihat adanya ketidaksesuaian antara harapan penilai dan guru. Penilaian yang dilakukan oleh guru tidak akan sama hasilnya dengan penilaian yang dilakukan oleh ahli penilaian. Jadi, menurut Porvus model Countenance Stake dimaksudkan guna memastikan bahwa semua data yang dikumpulkan dan diolah untuk melengkapi informasi yang dapat digunakan oleh pemakai data. Hal ini berarti bahwa penilai harus mengumpulkan data deskriptif yang lengkap tentang hasil belajar siswa dan data pelaksanaan pengajaran, dan hubungan antara kedua faktor tersebut. Di samping itu juga, jugment data harus dikumpulkan. Sedangkan menurut Howard, H (2008) evaluasi Stake’s orientasinya adalah tujuan dan pendekatan mekanik dalam program pendidikan. Oleh karena itu, Kemble & Charles (2010) mengatakan bahwa model countenance stake sangat berpengaruh pada program pendidikan. Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, suatu kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada pemakaian checklist, structured visitation by peers, controlled comparisons, and standardized testing of students (Hasan, 2008, 207). Dalam hal checklist Shepard (1997) menyebutkan bahwa terdapat lima ketegori yaitu: (1) obyektivitas atau tujuan evaluasi, (2) spesifikasi program meliputi filsafat pendidikan yang dianut pada mata pelajaran, tujuan pembelajaran, dan lain sebagainya, (3) outcome program, seperti pengalaman belajar, pencapaian hasil siswa, (4) hubungan dan indikator mencakup kongruensi kenyataan dan harapan, kontingensi meliputi sebab akibat, dan (5) judgment nilai. Oleh karena itu, Hasan (2008; 201) mengatakan bahwa model Countenance stake bersifat arbitraty dan tidak perlu dianggap sebagai suatu yang mutlak. Stake’s mempunyai keyakinan bahwa suatu evaluasi haruslah memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan. Dalam model ini stake sangat menekankan peran evaluator dalam mengembangkan tujuan kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur, sebagaimana berlaku dalam tradisi pengukuran behavioristik dan kuantitatif. Model Countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan Matriks Pertimbangan. Matriks pertimbangan baru dapat dikerjakan oleh evaluator setelah matriks Deskripsi diselesaikan. Matriks Desktripsi terdiri atas kategori rencana (intent) dan observasi. Matriks Pertimbangan terdiri atas kategori standard dan pertimbangan. Pada setiap kategori terdapat tiga fokus yaitu: (1) antecedents yaitu sebuah kondisi yang ada sebelum instruksi yang mungkin berhubungan dengan hasil, contohnya: latar belakang guru, kurikulum yang sesuai, ketersediaan sumber daya, (2) transaction yaitu pertemuan dinamis yang merupakan proses instruksi (kegiatan, proses, dll), contohnya: interaksi guru dan siswa, komponen partisipasi, dan (3) outcomes yaitu efek dari pengalaman pembelajaran (pengamatan dan hasil tenaga kerja), contohnya performance guru, peningkatan kinerja. f. Decision Oriented Evaluation Dalam model ini, evaluasi harus dapat memberikan landasan berupa informasi-informasi yang akurat dan obyektif bagi pengambil kebijakan untuk memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan program. Evaluasi Context, Input, Process, Product Evaluation Model yang dikembangkan oleh stufflebeam merupakan salah satu contoh model evaluasi ini. Model Context, Input, Process, Product Evaluation Modelmerupakan salah satu model yang paling sering dipakai oleh evaluator. Model ini terdiri dari empat komponen evaluasi sesuai dengan nama model itu sendiri yang merupakan singkatan dari Context, Input, Process dan Product. Evaluasi konteks (context evaluation) merupakan dasar dari evaluasi yang bertujuan menyediakan alasan-alasan (rationale) dalam penentuan tujuan (Baline R. Worthern & James R Sanders : 1979) Karenanya upaya yang dilakukan evaluator dalam evaluasi konteks ini adalah memberikan gambaran dan rincian terhadap lingkungan, kebutuhan serta tujuan (goal). Evaluasi input (input evaluation) merupakan evaluasi yang bertujuan menyediakan informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan program. Evaluasi proses (process evaluation) diarahkan pada sejauh mana kegiatan yang direncanakan tersebut sudah dilaksanakan. Ketika sebuah program telah disetujui dan dimulai, maka dibutuhkanlah evaluasi proses dalam menyediakan umpan balik (feedback) bagi orang yang bertanggungjawab dalam melaksanakan program tersebut Evaluasi Produk (product evaluation) merupakan bagian terakhir dari model Context, Input, Process, Product Evaluation Model. Evaluasi ini bertujuan mengukur dan menginterpretasikan capaiancapaian program. Evaluasi produk menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada input. Dalam proses ini, evaluasi produk menyediakan informasi apakah program itu akan dilanjutkan, dimodifikasi kembali atau bahkan akan dihentikan. C. Penilaian Otentik 1. Latar Belakang Penilaian Otentik Sejak sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan yang sangat cepat dalam penentuan penilaian pendidikan. Bentuk penilaian yang biasa digunakan adalah tes pilihan ganda. Ketika penilaian jenis ini dirasa tidak cukup merepresentasikan kemampuan nyata siswa, pendidik mulai mencari alternatif lain. Selanjutnya, pendidik menitikberatkan penilaian aktivitas dalam kelas. Penilaian alternatif terdiri dari sejumlah metode untuk menemukan apa yang siswa ketahui atau dapat lakukan yang menunjukkan perkembangan dan informasi bahan pembelajaran, dan salah satu bentuk penilaian tradisional, penamaan, tes pilihan berganda (Stiggins dalam O’malley dan Pierce, 1996:1). Penilaian alternatif didefinisikan merujuk pada penilaian otentik karena penilaian ini mencerminkan pada aktivitas kelas dan keadaan yang sebenarnya. Pelaksanaan penilaian otentik didasari oleh dua hal, yaitu: penilaian tradisional tidak dapat sepenuhnya menunjukkan kemampuan siswa dan guru mengalami kesulitan menggunakan informasi yang diperoleh untuk perencanaan bahan-bahan pembelajaran. Tes pilihan ganda tidak akurat/representatif untuk mengetahui kemampuan berpikir siswa yang berhubungan dengan kurikulum. Tipe tes ini tidak dapat menggambarkan kemajuan pembelajaran dan bagaimana siswa belajar (Resnick dan Klopfer dalam O’malley dan Pierce,1996:4). Selain itu, hasil penilaian dengan tes berganda sering kali tidak sesuai dengan yang ditunjukkan siswa di dalam kelas. Padahal, guru memerlukan informasi tersebut sebagai ukuran apakah mereka dapat menyelesaikan tugas pembelajaran dengan baik/tidak. Informasi ini digunakan untuk perencanaan instruksional dan sebagai bahan umpan balik untuk memonitor kemajuan siswa. Secara konseptual penilaian otentik lebih bermakna secara signifikan dibandingkan dengan tes pilihan ganda terstandar sekalipun.Ketika menerapkan penilaian otentik untuk mengetahui hasil dan prestasi belajar peserta didik, pendidik menerapkan kriteria yang berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, aktivitas mengamati dan mencoba, dan nilai prestasi luar pembelajaran. Penilaian otentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. Penilaian otentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih otentik. Penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki peserta didik untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara bermakna, yang merupakan penerapan esensi pengetahuan dan keterampilan. Penilaian otentik juga menekankan kemampuan peserta didik untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan, melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai sehingga penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran. Penilaian otentik bertujuan untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Misalnya, penugasan kepada peserta didik untuk menulis topik-topik tertentu sebagaimana halnya di kehidupan nyata, dan berpartisipasi konkret dalam diskusi atau bedah buku, menulis untuk jurnal, surat, atau mengedit tulisan sampai siap cetak. Jadi, penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing something, melakukan sesuatu yang merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah dikuasai secara teoretis. Penilaian otentik lebih menuntut pembelajar mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan strategi dengan mengkreasikan jawaban atau produk. Peserta didik tidak sekedar diminta merespon jawaban seperti dalam tes tradisional, melainkan dituntut untuk mampu mengkreasikan dan menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis. Penilaian otentik dalam implementasi kurikulum 2013 mengacu kepada standar penilaian yang terdiri dari: a. Penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat (peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal. b. Pengetahuan melalui tes tulis, tes, lisan, dan penugasan. c. Keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, proyek, dan penilaian portofolio. Perkembangan terakhir saat ini yang menjadi perhatian guru, sekolah, dan pemerhati pendidikan adalah bagaimana bentuk penilaian dapat diaplikasikan untuk menilai pengetahuan dan kemampuan siswa yang diperoleh berfungsi efektif untuk masa depan dan masyarakat kompleks (hal ini tidak ditunjukkan oleh tes pilihan ganda). Sekolah dan pemerhati pendidikan melihat bahwa sekolah sukses harus mampu untuk memproduksi generasi baru dengan kemampuan yang yang dibutuhkan sepuluh tahun yang akan datang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bentuk penilaian, perkembangan pengukuran baru yang lebih baik. 2. Pengertian Penilaian Otentik Penilaian otentik atau authentic assessment merupakan penilaian langsung (direct assessment) dan ukuran langsung (Mueller, 2006:1), penilaian otentik lebih sering dinyatakan sebagai penilaian berbasis kinerja (performance based assessment), penilaian alternatif (alternative assessment) atau penilaian kinerja (performance assessment) Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai (Nurhadi, 2004: 172) Ada beberapa ahli yang membedakan dalam penggunaan istilah penilaian otentik dengan penilaian kinerja, seperti Marzano (1993), sementara Stiggins (1994) dan Mueller (2006) menggunakan kedua istilah tersebut secara sinonim. Istilah alternative assessment digunakan sebagai alternatif dari penilaian yang biasa digunakan (tradisional assessment), Istilah direct assessment digunakan karena penilaian otentik menyediakan lebih banyak bukti langsung dari penerapan ketrampilan dan pengetahuan. Pendapat serupa dikemukakan oleh Richard J. Stiggins (1987), bahkan Stiggins menekankan keterampilan dan kompetensi spesifik, untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai, dengan pernyataan : performance assessment call upon the examinee to demonstrate specific skills and competencies, tha is, to apply the skills and knowledge they have mastered (Stiggins, 1987: 34) Pada prinsipnya penilaian otentik memiliki karakteristik yang berbeda dengan penilaian tradisional. Sebagaimana Nurhadi mengemukakan bahwa karakteristik authentic assesment adalah sebagai berikut: 1) melibatkan pengalaman nyata (involves real-world experience), 2) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, 3) mencakup penilaian pribadi (self assesment) dan refleksi, 4) yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta, 5) berkesinambungan, 6) terintegrasi, 7) dapat digunakan sebagai umpan balik, 8) kriteria keberhasilan dan kegagalan diketahui siswa dengan jelas (Nurhadi, 2004: 173). Menurut Arikunto, Penilaian otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau konteks dunia nyata, yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk memecahkan masalah yang memberikan kemungkinan bahwa satu masalah bisa mempunyai lebih dari satu macam pemecahan. Dengan kata lain, assessment otentik memonitor dan mengukur kemampuan siswa dalam bermacam-macam kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi dalam situasi atau konteks dunia nyata (2008: 23). Berdasarkan kutipan di atas, dalam suatu proses pembelajaran, penilaian otentik mengukur, memonitor dan menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran, maupun berupa perubahan dan perkembangan aktivitas, dan perolehan belajar selama proses pembelajaran didalam kelas maupun diluar kelas. Sunartombs (2009: 2) juga menyatakan bahwa: Penilaian autentik juga disebut dengan penilaian alternatif. Pelaksanaan penilaian autentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Penilaian otentik tidak mengondisikan siswa belajar secara hafalan dan hanya sekedar mengerjakan beberapa soal tertulis melainkan lebih melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan seperti melakukan eksperimen sains, riset sosial, penulisan laporan, membaca dan menginterpretasi literatur, serta menyelesaikan soal-soal aplikatif. Model penilaian otentik akan berhasil jika siswa mengetahui apa yang diharapkan guru. Oleh karena itu, guru harus menyampaikan secara jelas kompetensi siswa yang diharapkan dan yang ingin dicapai. Jadi, penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menginginkan siswa untuk menunjukkan kinerja secara nyata yang merupakan penerapan pengetahuan yang dikuasainya secara teoretis. Penilaian otentik menuntut siswa untuk mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan siswa harus mampu menghasilkan jawaban atau produk yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis. Dengan demikian, siswa akan merasa proses pembelajaran yang dialaminya bermakna. Surapranata (2004: 13) mengatakan bahwa: Penilaian otentik juga disebut dengan penilaian alternatif. Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat berupa: tes yang menghadirkan benda atau kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), tugas (tugas keterampilan, tugas investigasi sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), dan format rekaman kegiatan belajar siswa misalnya: portofolio, interview, daftar cek, presentasi oral dan debat. Penilaian dalam Kurikulum 2013 mengacu pada Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar Penilaian bertujuan untuk menjamin: (1) perencanaan penilaian peserta didik sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai dan berdasarkan prinsip-prinsip penilaian, (2) pelaksanaan penilaian peserta didik secara profesional, terbuka, efektif, efisien, dan sesuai dengan konteks sosial budaya, dan (3) pelaporan hasil penilaian peserta didik secara objektif, akuntabel, dan informatif. Standar penilaian ini disusun sebagai acuan penilaian bagi pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah pada satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Penekanan penilaian dalam kurikulum 2013 adalah penilaian autentik (authentic assessment) Melalui kurikulum 2013 penilaian autentik menjadi penekanan yang serius dimana guru dalam melakukan penilaian hasil belajar peserta didik benar-benar memperhatikan penilaian autentik. Penilaian (assessment) adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Berdasarkan kutipan di atas, dikatakan bahwa penilaian otentik merupakan proses pengumpulan data oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar tercapai dengan baik, sehingga anak didik mampu menguasai materi pembelajaran yang telah disampaikan. Menurut Sunartombs (2009 :1): Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang siswa. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka) Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tujuan dari penilaian adalah untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi. Siswa tidak hanya harus memahami aspek pengetahuan, melainkan juga apa yang dapat dilakukan dengan pengetahuannya itu. Salah satu model penilaian yang sesuai dengan konsep tersebut adalah penilaian otentik. Berkaitan dengan disain, struktur, dan pemberian skor menurut Grant Wiggins dan Diane Hart yang dikutip Ariyanti (2010 : 17) Penilaian autentik harus didisain agar: (1) Mengarah kepada inti esensial learning, pemahaman dan kemampuan. (2) Bersifat edukatif dan menarik. (3) Merupakan bagian dari kurikulum bukan sembarang instruksional yang tanpa tujuan. (4) Mencerminkan kehidupan nyata, tantangan yang bersifat interdisipliner. (5) Menghadapkan siswa kepada masalah dan tugas yang bersifat kompleks, ambigu dan terbuka yang mengintregasikan pengetahuan dan keterampilan. (6) Puncaknya adalah produk dan penampilan siswa. (7) Berupa setting standar dan membawa siswa ke arah tingkat penguasaan pengetahuan yang lebih tinggi dan kaya. (8) Mengakui dan menghargai kemampuan siswa yang multiple, gaya belajar yang beragam dan latar belakang yang berbeda-beda. Penilaian otentik pada dasarnya bertujuan untuk mengukur berbagai keterampilan yang mencerminkan situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Di dalam penilaian otentik pengetahuan dan keterampilan merupakan dua hal yang utama dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini siswa menguasai pengetahuan yang dibutuhkannya sebagai tujuan akhir pembelajaran. Gambaran perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran yang benar. Pengertian penilaian autentik menurut para ahli sebagai berikut. a. Menurut Kunandar (2013: 35) mendefinisikan penilaian autentik adalah kegiatan menilai peserta didik yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan berbagai instrumen penilaian yang disesuaikan dengan tuntutan kompetensi yang ada di Standar Kompetensi atau Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. b. Pusat Kurikulum (2009) dalam Hartati Muchtar (2010: 72) menjelaskan penilaian autentik (authentic assessment) adalah suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prisip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti autentik, akurat, dan konsisten sebagai akuntabilitas publik. c. Johnson (2002) dalam Hartati Muchtar (2010: 72) menyatakan bahwa penilaian autentik memberikan kesempatan luas kepada peserta didik untuk menunjukkan apa yang telah dikuasai selama proses pembelajaran, yang berfokus pada tujuan, melibatkan pembelajaran secara langsung, membangun kerjasama, dan menanamkan tingkat berpikir yang lebih tinggi. Peserta didik dalam penilaian autentik diminta untuk menerapkan konsep atau teorinya pada dunia nyata. Autentik berarti keadaan sebenarnya yaitu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki peserta didik. Penilaian autentik mengacu pada Penilaian Acuan Patokan (PAP), yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal) Pencapaian kompetensi peserta didik tidak dalam konteks dibandingkan dengan peserta didik lainnya, tetapi dibandingkan dengan standar atau kriteria tertentu, yaitu Kriteria Ketuntasan Minimal. Jadi, guru dalam melakukan penilaian tidak hanya pada penilaian level Kompetensi Dasar, tetapi juga Kompetensi Inti dan Standar Kompetensi Lulusan. 3. Bentuk-bentuk Penilaian Otentik Semakin tinggi tingkat perkembangan dan jenjang pendidikan peserta didik pengusaan kompetensi pengetahuan dan keterampilan semakin besar (luas), tetapi penguasaan kompetensi sikap semakin kecil karena diasumsikan bahwa penguasan kompetensi sikap sudah tertanam dijenjang sebelumnya. Pada jenjang pendidikan yang rendah, seperti SD/MI dan SMP/MTS penanaman kompetensi sikap harus benar-benar menjadi penekanan dan perhatian, sehingga ketika peserta didik kelak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi memiliki fondasi sikap yang lebih kuat dan dijenjang yang lebih tinggi tinggal memperdalam kompetensi pengetahuan dan keterampilannya. Pelaksanaan penilaian autentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Penilaian otentik tidak mengondisikan siswa belajar secara hafalan dan hanya sekedar mengerjakan beberapa soal tertulis melainkan lebih melibatkan siswa dalam kegiatankegiatan seperti melakukan eksperimen sains, riset sosial, penulisan laporan, membaca dan menginterpretasi literatur, serta menyelesaikan soal-soal aplikatif. Model penilaian otentik akan berhasil jika siswa mengetahui apa yang diharapkan guru. Oleh karena itu, guru harus menyampaikan secara jelas kompetensi siswa yang diharapkan dan yang ingin dicapai. Jadi, penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menginginkan siswa untuk menunjukkan kinerja secara nyata yang merupakan penerapan pengetahuan yang dikuasainya secara teoretis. Penilaian otentik menuntut siswa untuk mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan siswa harus mampu menghasilkan jawaban atau produk yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis. Dengan demikian, siswa akan merasa proses pembelajaran yang dialaminya bermakna. Bentuk-bentuk penilaian otentik menurut Kusmana (2010: 3), sebagai berikut: a) unjuk kerja (performance), b) penugasan (project), c) kinerja (hasil karya/product), d) portofolio (kumpulan kerja siswa), dan e) penilaian diri (self assessment). Ahli lain mengatakan bahwa penilaian otentik dalam pendidikan dapat menggunakan berbagai jenis alat penilaian yaitu : (1) Rubrik/Pemandu Penskoran, (2) Portofolio/e-portofolio, (3) Tugas Otentik, (4) Penilaian diri (Self Assessment), (5) Interviu/Wawancara, (6) Menceritakan Kembali kisah atau sebuah teks, (7) Contoh penulisan, (8) Proyek/Pameran, (9) Eksperimen/ Demonstrasi, (10) Soal berbentuk tanggapan terkonstruksi (Constructed response items), (11) Catatan observasi guru, (12) Jurnal/Entri buku harian, (13) Karya tulis, (14) Kuis lisan, (15) Character map, (16) Graphic organizer, (17) Check list, (18) Reading Log, (19) Rekaman Video, (20) Rekaman proses diskusi, dan (21) Anecdotal record (Ismet Basuki dan Hariyanto, 2014 : 171-173). Dengan demikian, bentuk-bentuk penilaian tersebut memungkinkan siswa untuk menyelesaikan tugas dan menampilkan hasil belajarnya dengan cara yang dianggap paling baik. Dalam hal ini masingmasing siswa dapat menemukan pemecahan suatu masalah dengan cara yang berbeda-beda yang mereka pandang paling efektif. Surapranata (2004: 13) mengatakan bahwa: Penilaian otentik juga disebut dengan penilaian alternatif. Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choic, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat berupa: tes yang menghadirkan benda atau kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), tugas (tugas ketrampilan, tugas investigasi sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), dan format rekaman kegiatan belajar siswa misalnya: portofolio, interview, daftar cek, presentasi oral dan debat. Berdasarkan kutipan di atas, dikatakan bahwa penilaian otentik merupakan proses pengumpulan data oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar tercapai dengan baik, sehingga anak didik mampu menguasai materi pembelajaran yang telah disampaikan. Menurut Sunartombs (2009 :1), Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang siswa. Penilaian otentik dapat berbentuk tugas (task) bagi para siswa untuk menampilkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, dan sebuah kriteria penilaian atau rubrik (rubrics) yang akan digunakan untuk menilai penampilan berdasarkan tugas tersebut. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengembangkan hanya bentuk tugas otentik dan rubrik. a. Tugas otentik Tugas otentik adalah the authentic tasks are assignment given to students designed to assess their ability to apply standard-driven knowledge and skills to real-world challenges. Lebih lanjut Baron’s (Marzano, 1993) mengemukakan lima kriteria task untuk penilaian otentik yaitu: 1) tugas tersebut bermakna baik bagi siswa maupun bagi guru; 2) tugas disusun bersama atau melibatkan siswa; 3) tugas tersebut menuntut siswa menemukan dan menganalisis informasi sama baiknya dengan menarik kesimpulan tentang hal tersebut; 4) tugas tersebut meminta siswa untuk mengkomunikasikan hasil dengan jelas; 5) tugas tersebut mengharuskan siswa untuk bekerja atau melakukan. Tugas-tugas penilain kinerja dapat berbentuk : 1) computer adaptive testing; 2) tes pilihan ganda diperluas; 3) extended response atau open ended question; 4) group performance assessment atau individual performance assessment; 5) interviu secara lisan dari asesor; 6) observasi partisipasif; 7) portofolio; 8) projek, expo atau dokumentasi; 9) constructed response (siswa perlu mengkonsruk sendiri jawabannya). b. Rubrics Kriteria penilaian (Rubrics) merupakan alat pemberi skor yang berisi daftar criteria untuk sebuah pekerjaan atau tugas (Andrade dalam Zainul, 2001:19),Secara singkat scoring rubrics terdiri dari beberapa komponen, yaitu : 1) dimensi; 2) definisi dan contoh; 3) skala; dan 4) standar. Dimensi akan dijadikan dasar menilai kinerja siswa. Definisi dan contoh merupakan penjelasan mengenai setiap dimensi, skala ditetapkan karena akan digunakan untuk menilai dimensi, sedangkan standar ditentukan untuk setiap kategori kinerja. Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat digunakan sebagai patokan untuk menilai suatu rubrik, yaitu: a. Seberapa jauh rubrik tersebut (jelas) berhubungan langsung dengan criteria yang dinilai? b. Seberapa jauh rubrik tersebut mencakup keseluruhan standar dimensi kinerja yang dinilai? c. Apakah kriteria yang dipilih sudah menggunakan standar yang secara umum berlaku dalam bidang kinerja yang dinilai? d. Sejauhmana dimensi dan skala yang digunakan terdefinisi dengan baik? e. Jika menggunakan skala numerik sejauh mana angka-angka yang digunakan itu memang secara adil menggambarkan perbedaan dari setiap kategori kinerja? f. Seberapa jauh selisih skor yang dihasilkan oleh rater yang berbeda? g. Apakah rubric yang digunakan dipahami oleh siswa? h. Apakah rubrik cukup adil dan bebas dari bias? i. Apakah penilaian rubric mudah digunakan, cukup praktis dan mudah diadministrasikannya?(Zainul, 2001: 29-30). 4. Deskriptor dan Level Kinerja Penilaian berbentuk rubrik sebaiknya juga menggunakan komponen yang secara umum digunakan dalam penilaian berbasis kinerja yaitu deskriptor. Deskriptor mengekspresikan tingkat kinerja siswa pada masing-masing level dari suatu penampilan. Contohnya: rumusan standar minimal dalam perumusan tujuan pembelajaran khusus. Deskriptor juga digunakan untuk memperjelas harapan atau aspek yang dinilai, selain itu deskriptor juga membantu penilai (rater) lebih konsisten dan lebih objektif, bagi guru yang melaksanakan penilaian otentik, descriptor membantu memperoleh umpan balik yang lebih baik. 5. Perbedaan Penilaian Otentik dan Penilaian Tradisional Penilaian tradisional merujuk pada ukuran-ukuran yang dipaksakan, seperti tes pilihan ganda, isian, benar salah, menjodohkan dan bentuk-bentuk serupa lainnya yang biasa digunakan dalam pendidikan. Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menujukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar- benar dikuasai dan tercapai (Nurhadi, 2004: 172). Lebih lanjut Hill dan Ruptic (1994: 8) menyatakan bahwa asesmen adalah suatu proses untuk mengumpulkan bukti dan mendokumentasikan pembelajaran dan pertumbuhan anak. Pada hakikatnya baik penilaian tradisional maupun penilaian otentik sama-sama memiliki tujuan esensial berkaitan dengan misi utama sekolah adalah membantu warga negara produktif. Namun pada implementasinya kedua pandangan tersebut memiliki strategi dan teknik yang berbeda. Adapun teknik penilaian otentik adalah sebagai berikut. a. Penilaian Pengamatan Pengamatan merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati, sehingga penilaian pengamatan (kinerja) adalah penilaian yang dilakukan dengan cara mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Oleh karena itu dalam penilaian kinerja diperlukan instrumen berupa lembar pengamatan atau lembar observasi. Penilaian pengamatan berguna untuk mengukur keterampilan peserta didik melakukan kinerja tertentu. Contoh kinerja yang dapat diamati antara lain: bermain peran, memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi/deklamasi, menggunakan peralatan laboratorium, mengoperasikan suatu alat. Teknik penilaian pengamatan dapat dilakukan sebagai berikut. 1) Pemeriksaan terhadap dokumen belajar peserta didik, meliputi: prestasi belajar materi sebelumnya, kesulitan belajar, hasil pekerjaan rumah, penilaian orang tua/wali terhadap kemajuan belajar peserta didik dan hal-hal terkait lainnya. 2) Pengamatan terhadap peserta didik pada saat mereka memperhatikan penjelasan Pendidik, membaca, bekerjasama dengan teman lainnya, mengerjakan tugas-tugas, memecahkan masalah, dan kegiatan lainnya. 3) Melalui teknik penilaian lainnya (diskusi, tanya jawab, tes, dll), Pendidik mengamati motivasi dan kemajuan belajar peserta didik, serta kendala yang dihadapi peserta didik maupun Pendidik dalam pembelajaran. b. Penilaian Diri Penilaian diri adalah suatu teknik penilaian yang meminta peserta didik untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses, dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya. Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Penilaian diri didefinisikan sebagai monitoring of one’s own levels of knowledge, performance, abilities, thinking, behaviour and/or strategy (Wilson and Wing Jan 1998;2). Kutipan di atas menunjukkan bahwa penilaian diri adalah kegiatan untuk memonitor tingkat penampilan atau performansi, kemampuan, prilaku dan strategi yang dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi suatu tugas yang diberikan atau dilakukan. Selain itu penilaian diri mencakup dapat tiga domain yaitu pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Penilaian kompetensi kognitif, misalnya peserta didik diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikirnya sebagai hasil belajar dari suatu mata pelajaran tertentu. Penilaian kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu objek tertentu. Penilaian kompetensi psikomotorik, peserta didik dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Penggunaan teknik ini dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Keuntungan penggunaan penilaian diri di kelas antara lain: dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri; peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya; dan dapat mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian. Penilaian diri merupakan suatu metode penilaian yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengambil tanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri. Mereka diberi kesempatan untuk menilai pekerjaan dan kemampuan mereka sesuai dengan pengalaman yang mereka rasakan. Penilaian diri dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan objektif. Oleh karena itu, penilaian diri oleh peserta didik di kelas perlu dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut. 1) Menentukan kompetensi atau aspek kemampuan yang akan dinilai. 2) Menentukan kriteria penilaian yang akan digunakan. 3) Merumuskan format penilaian, dapat berupa pedoman penskoran, daftar tanda cek, atau skala penilaian. 4) Meminta peserta didik untuk melakukan penilaian diri. 5) Pendidik mengkaji sampel hasil penilaian secara acak, untuk mendorong peserta didik supaya senantiasa melakukan penilaian diri secara cermat dan objektif. 6) Menyampaikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan hasil kajian terhadap sampel hasil penilaian yang diambil secara acak. c. Penilaian Jurnal Jurnal merupakan wadah yang memuat hasil refleksi berupa sebuah dokumen yang secara terus menerus bertambah dan berkembang, dan ditulis oleh peserta didik untuk mencatat setiap kemajuan. Jurnal juga merupakan catatan pendidik selama proses pembelajaran yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang terkait dengan kinerja ataupun sikap dan perilaku peserta didik yang dipaparkan secara deskriptif. Jurnaljugamerupakan laporan yang ditulis sendiri oleh peserta didik, dimanapeserta didik menceritakan hal-hal mengenai subjek yang telah dipelajarinya. Jurnal digunakan untuk kelengkapan assessment, yaitu untuk memperoleh beberapa pemecahan masalah yang berasal dari buku pelajaran yang dipelajari peserta didik atau pekerjaan rumah yang telah dibuat oleh peserta didik, untuk memperoleh tanggapan peserta didik terhadap pertanyaan dari pendidik atau peserta didik lainnya, untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan melaporkan bagaimana cara memecahkan masalah tersebut, untuk mengklarifikasikan sesuatu yang baru dan menyempurnakan suatu teori dari apa yang telah dipelajari di sekolah, untuk menghubungkan ide-ide yang telah dikemukakan dari suatu permasalahan, dari pemikiran tentang proyek yang berpotensi, tulisan-tulisan, dan presentasipresentasi, dan untuk mengikuti kemajuan dari sebuah eksperimen, situasi di sekolah terhdap peserta didiknya terjadi selanjutnya Kelebihan penilaian Jurnal antara lain dapat membantu mengidentifikasi apa yang telah dipelajari dan meningkatkan bagian yang masih kurang, membantu melihat pola belajar dan gaya belajar, memberikan gambaran mengenai kemajuan yang didapat masalah yang dihadapi dan bagaimana menyelesaikannya, memiliki catatan tentang segala aktivitas yang dilakukan, membantu pengorganisasian belajar, melatih kemampuan menulis pertanyaan bagi pendidik, dan melatih kemampuan mengkomunikasikan respon dengan cara yang dirasa nyaman. Teknik penilaian Jurnal dilakukan dengan menilai hasil kumpulan catatan atau keberhasilan dalam suatu kegiatan dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu: catatan dasar atau kelengkapan catatan, ketepatan waktu, pengembangan indicator yang tinggi, sedang dan rendah, penilaian jurnal pada criteria lainnya, dan menambahkan penilaian untuk criteria bersama lainnya untuk menentukan nilai total. d. Penilaian Tertulis Penilaian tertulis adalah penilaian yang menuntut peserta didik memberi jawaban secara tertulis berupa pilihan dan/atau isian. Penilaian tertulis yang dikembangkan dalam penilaian otentik lebih dutekankan pada penilaian tertulis yang jawabannya berupa isian dapat berbentuk isian singkat dan/atau uraian. Soal dengan mensuplay jawaban terdiri dari isian atau melengkapi, jawaban singkat atau pendek, dan Soal uraian. Teknik penilaian tes tertulis bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengingat, memahami, mengorganisasikan gagasan yang sudah dipelajari dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersbut dalam bentuk uraian tulisan. Teknik ini dapat digunakan untuk menilai berbagai jenis kemampuan, yaitu mengemukakan pendapat, berpikir logis, kritis, sistematis dan menyimpulkan. Dalam penyusunan instrumen penilaian tertulis perlu mempertimbangkan Substansi, misalnya kesesuaian butir soal dengan indikator soal dan indikator pembelajaran; Konstruk, misalnya rumusan soal atau pertanyaan harus jelas dan tegas. Bahasa, misalnya rumusan soal tidaak menggunakan kata/kalimat yang menimbulkan penafsiran ganda. Soal bentuk uraian non-objektif tidak dapat diskor secara objektif, karena jawaban yang dinilai dapat berupa opini atau pendapat peserta didik sendiri, bukan berupa konsep kunci yang sudah pasti. Pedoman penilaiannya berupa kriteria-kriteria jawaban. Setiap kriteria jawaban diberi rentang skor tertentu, misalnya 0 – 5. Tidak ada jawaban untuk suatu kriteria diberi skor 0. Besar kecilnya skor yang diperoleh peserta didik untuk suatu kriteria ditentukan berdasarkan tingkat kesempurnaan jawaban. e. Penilaian Lisan Tes lisan yakni tes yang pelaksanaannya dilakukan denganmengadakan tanya jawab secara langsung antara pendidik dan pesertadidik Penilaian lisan sering digunakan oleh pendidik di kelas untuk menilai peserta didik dengan cara memberikan beberapa pertanyaan secara lisan dan dijawab oleh peserta didik secara lisan juga. Pertanyaan lisan merupakan variasi dari tes uraian. Penilaian ini sering digunakan pada ujian akhir mata pelajaran agama dan sosial. Kelebihan penilaian ini antara lain: memberikan kesempatan kepada pendidik dan peserta didik untuk menentukan sampai seberapa baik pendidik atau peserta didik dapat menyimpulkan atau mengekspresikan dirinya, peserta didik tidak terlalu tergantung untuk memilih jawaban tetapi memberikan jawaban yang benar, peserta didik dapat memberikan respons dengan bebas. Penilaian lisan bertujuan untuk mengungkapkan sebanyak mungkin pegetahuan dan pemahaman peserta didik tentang materi yang diuji. Sedangkan kelemahan tes lisan antara lain subjektivitas pendidik sering mencemari hasil tes dan waktu pelaksanaan yang diperlukan relatif cukup lama. Penilaian lisan dapat dilakukan dengan dengan teknik sebagai berikut. 1) Sebelum dilaksanakan tes lisan, pendidik sudah melakukan inventarisasi berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada peserta didik, sehingga dapat diharapkan memiliki validitas yang tinggi dan baik dari segi isi maupun konstruksinya. 2) Siapkan pedoman dan ancar-ancar bentuk jawaban, agar mempunyai kriteria pasti dalam penskoran dan tidak terkecok dengan jawaban yang panjang lebar dan berbelit-belit. 3) Skor ditentukan saat masing-masing peserta didik selesai dites, agar pemberian skor atau nilai yang diberikan tidak dipengaruhi oleh jawaban yang diberikan oleh peserta didik yang lain. 4) Tes yang diberikan hendaknya tidak menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi. 5) Untuk menegakan objektivitas dan prinsip-prinsip keadilan, pendidik tidak diperkenankan memberikan angin segar atau memancing dengan kata-kata atau kode tertentu yang bersifat menolong peserta didik dengan aalasan kasihan atau rasa simpati. 6) Tes lisan harus berlangsung secara wajar. Artinya, hal tersebut jangan sampai menimbulkan rasa takut, gugup atau panik di kalangan peserta didik. 7) Pendidik mempunyai pedoman rentang waktu bagi peserta didik dalam menjawab soal-soal atau pertanyaan pada tes lisan. 8) Pertanyaan yang diajukan hendaknya bervariasi, dalam arti bahwa sekalipun inti persoalan yang ditanyakan sama, namun cara pengajuan pertanyaannya dibuat berlainana atau beragam. 9) Pelaksanaan tes dilakukan secara individual (satu demi satu), agar tidak mempengaruhi mental peserta didik yang lainnya. f. Penilaian Praktek Penilaian praktek dilakukan dengan cara mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan aktivitas pembelajaran. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi atau indikator keberhasilan yang menurut peserta didik menunjukkan unjuk kerja, misalnya bermain peran, memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi, menggunkan peralatan laboratorium, mengoperasikan komputer. Dalam penilaian praktek perlu mempertimbangkan: langkah-langkah kinerja yang diharapkan dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja dari suatu kompetensi, kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai dalam kinerja tersebut, kemampuan khusus yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak terlalu banyak, sehingga semua dapat diamati, dan kemampuan yang akan dinilai diurutkan berdasarkan urutan yang akan diamati. Teknik Penilaian Praktek dibagi dua macam, yaitu daftar cek dan skala rentang. Daftar Cek Pada penilaian praktek yang menggunakan daftar cek (ya – tidak), peserta didik mendapat nilai apabila kriteria penguasaaan kompetensi tertentu dapat diamati oleh penilai. Kelemahan teknik penilaian ini ialah penilai hanya mempunyai dua pilihandan tidak menpunyai nilai tengah. Misalnya benar-salah, dapat diamatitidak dapat diamati. Sedangkan skala rentang pada penilaian unjuk kerja memungkinkan penilai memberikan skor tengah terhadap penguasaan kompetensi tertentu. Karena pemberian nilai secara kontinuum di mana pilihan kategori nilai lebih dari dua, misalnya sangat kompeten – kompeten – tidak kompeten – sangat tidak kompeten. Penilaian skala rentang sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu orang agar faktor sujektivitas dapat diperkecil dan hasil penilaian lebih akurat. g. Penilaian Proyek Penilaian proyek adalah penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupapenyelidikan terhadap sesuatu yang mencakup perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu. Penilaian proyek adalah cara penilaian yang dilakukan dengan melakukan pengamatan dan penilaian terhadap tugas-tugas proyek tertentu yang dikerjakan peserta didik pada periode waktu tertentu. Seperti penilaian produk, penilaian proyek juga tidak hanya berfokus pada hasil akhir proyek dalam bentuk produk akhir tertentu, melainkam juga berfokus pada seluruh proses penyelesaian proyek dari aspek persiapan proyek, pengerjaan proyek, hingga hasil proyek berupa laporan proyek. Penilaian proyek umumnya dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran berorientasi proyek. Dalam pembelajaran berorientasi proyek beberapa kompetensi yang umumnya dicapai dalam pembelajaran antara lain, tingkat pemahaman peserta didik dalam bidang tertentu yang terkait, dan kemampuan peserta didik mempresentasikan subjek penelitian tertentu yang relevan. Sebagai contoh proyek, misalnya penelitian sederhana tentang pencemaran air di lingkungan rumah tangga, mengusulkan proyek pementasan drama anak-anak dalam rangka membangun semangat nasionalisme, dan sebagainya. Penilaian proyek, dilakukan dengan mengamati dan menilai kinerja dan karya proyek peserta didik (biasanya berkelompok) menggunakan format penilaian dengan daftar cek dan skala rentang.Penilaian proyek dimaksudkan untuk mengetahui: pemahaman peserta didik dalam bidang tertentu, kemampuan peserta didik mengaplikasikan pengetahuan tertentu melalui suatu penyelidikan, kemampuan peserta didik memberi informasi tentang sesuatu yang menjadi hasil penyelidikannya. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian proyek. 1) Kemampuan pengelolaan yang meliputi kemampuan dalam memilih topik (bila belum ditentukan secara spesifik oleh pendidik), mencari informasi dan mengelola waktu pengumpulan data serta penulisan laporan. 2) Relevansi yaitu kesesuain dengan mata pelajaran ditinjau dari segi pengetahuan, ketrampilan dan pemahaman selama proses belajar. 3) Keaslian yaitu proyek yang dilakukan peserta didik merupakan karya nyata peserta didik dengan kontribusi pendidik pada petunjuk dan dukungan. Penilaian proyek dapat dilakukaan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan tugas, dan hasil akhir proyek. Pendidik perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan disain pengumpulan data, analisis data, kemudian menyiapkan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil penelitiannya juga dapat disajikan dalam bentuk poster. Pelaksanaan penilaian ini dapat menggunakan alat/instrumen penilaian berupa daftar cek (checklist) atau skala rentang (rating scale). h. Penilaian Fortofolio Portofolio adalah kumpulan hasil karya seorang peserta didik, sebagai hasil pelaksanaan tugas kinerja, yang ditentukan oleh pendidik atau oleh peserta didik bersama pendidik, sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan belajar, atau mencapai kompetensi yang ditentukan dalam kurikulum. Jadi, tidak setiap kumpulan karya seorang peserta didik disebut portofolio. Portofolio digunakan sebagai instrumen penilaian untuk menilai kompetensi peserta didik, atau menilai hasil belajar peserta didik. Sebagai sebuah konsep, portofolio dapat dimaknai sebagai suatu wujud benda fisik, sebagai suatu proses sosial pedagogis, dan sebagai suatu kata sifat (adjective). Sebagai suatu wujud benda fisik portofolio adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan pada suatu bundel (map), sebagai suatu proses sosial pedagogis, portofolio adalah sekumpulan pengalaman belajar yang terdapat di dalam pribadi peserta didik, baik yang berujud pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap. Sedangkan sebagai suatu adjective, portofolio sering disandingkan dengan konsep lain, misalnya konsep pembelajaran dan penilaian. Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu. Informasi perkembangan peserta didik (hasil pekerjaan) dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didiknya, hasil tes (bukan nilai). Portfolio akan merangkum berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh, tentang proses dan hasil pertumbuhan dan perkembangan wawasan pengetahuan, sikap, dan keterampilan perserta didik yang bersumber dari catatan dan dokumentasi pengalaman belajar. Secara teknis pengelolaan penilaian portofolio dapat ditempuh dengan mengacu pada paling sedikit tujuh unsur, yaitu: 1) Membuat peserta didik memahami makna penilaian portofolio dalam kaitannya dengan pencapaian dan kemajuan hasil belajarnya, 2) Menentukan topik pekerjaan atau karya peserta didik yang akan dikoleksi sebagai portofolio, 3) Mengumpulkan dan menyimpan pekerjaan atau karya peserta didik yang dipilih sebagai portofolio, 4) Memilih atau menentukan kriteria untuk menilai pekerjaan atau karya peserta didik yang akan dikoleksisebagai portofolio, 5) Membantu dan mendorong peserta didik agar selalu mengevaluasi dan memperbaiki hasilhasilpekerjaan atau karya portofolio mereka, 6) Menjadwalkan dan melaksanakan pertemuan portofolio dengan peserta didik, 7) Melibatkan orang tua dan unsur-unsur lain terkait dalam program dan pelaksanaan penilaian portofolio peserta didik Menurut pandangan penilaian tradisional (biasa) untuk menjadi warga yang produktif seseorang harus memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan tertetu, sekolah harus membekali siswa dengan sejumlah keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang telah ditetapkan terlebih dahulu untuk menunjang agar setiap warga negara produktif, penilaian (asesmen) dikembangkan dan dilaksanakan untuk menentukan ketercapaian kurikulum atau berhasil atau tidaknya melalui serangkaian tes yang telah disiapkan untuk peserta didik. Sebaliknya penilaian otentik berangkat dari alas an dan praksis yaitu misi sekolah adalah mengembangkan warga negara produktif. Untuk menjadi seorang warga negara yang produktif, seseorang harus mampu menampilkan sejumlah task yang bermakna dai dunia sesungguhnya (real mirror). Sekolah mempunyai kewajiban untuk membantu siswanya menjadi mahir dalam menampilkan sejumlah tugas yang akan dikuasai saat mereka lulus, penilaian digunakan untuk menentukan berhasil atau tidaknya siswa memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap melalui penampilan tugas-tugas bermakna yang menyerupai tantangan dunia sesunguhnya. Apakah siswa-siswa tersebut mampu melakukannya? Penilaian otentik menggiring kurikulum atau rancangan kurikulum dengan langkah mundur, yang berarti bahwa setiap guru memiliki kewajiban untuk mendesain tugas-tugas yang memungkinkan siswa menampilkan apa yang telah dikuasainya, selanjutnya dikembangkan kurikulum yang memungkinkan siswa menampilkan kinerjanya dengan baik, pada aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang esensi, penilaian otentik merupakan pelengkap dari penilaian tradisional. 6. Ciri-ciri dan Karakteristik Penilaian Autentik Model penilaian otentik pada Kurikulum 2013 sebagaimana diketeahui bahwa penilaian pada kurikulum KTSP berbeda dengan kurikulum 2013. Dalam kurikulum 2013, penilaian dilakukan secara komperehensif untuk menilai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran meliputi: ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan (Lampiran Permendikbud Nomor 66 tahun 2013). Penilaian otentik menilai kesiapan peserta didik serta proses dan hasil belajar secara utuh. Dalam penilaian otentik setiap pendidik mengetahui perkembangan siswa dalam setiap proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Setiap komponen yang ada di kelas termasuk antar siswa ikut terlibat dalam penilaian otentik ini. pada kurikulum sebelumnya penilaian menggunakan skala 0 hingga 100, sedangkan aspek afektif menggunakan huruf A, B, C, dan D. Penilaian otentik dilakukan dengan cara siswa diminta menampilkan sejumlah tugas dalam dunia sesungguhnya yang memperlihatkan aplikasi pengetahhuan, ketrampilan dan sikap yang esensial. Adapun ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai berikut. a. Penilaian harus mengukur semua aspek pembelajaran, yakni kinerja dan hasil atau produk. Artinya, dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik harus mengukur aspek kinerja (performance) dan produk atau hasil yang dikerjakan oleh peserta didik. Penilaian kinerja atau produk dipastikan bahwa kinerja atau produk tersebut merupakan cerminan dari kompetensi peserta didik secara nyata dan objektif. b. Penilaian dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran. Artinya, dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik, guru dituntut untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan atau kompetensi proses (kemampuan atau kompetensi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran) dan kemampuan atau kompetensi peserta didik setelah melakukan kegiatan pembelajaran. c. Penilaian menggunakan berbagai cara dan sumber. Dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik harus menggunakan beberapa teknik penilaian (disesuaikan dengan tuntutan kompetensi) dan menggunakan berbagai sumber atau data yang bisa digunakan sebagai informasi yang menggambarkan penguasaan kompetensi peserta didik. d. Penilaian bentuk tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian. Artinya, dalam melakukan penilaian peserta didik terhadap pencapaian kompetensi tertentu harus secara komprehensif dan tidak hanya mengandalkan hasil tes semata. Informasiinformasi lain yang mendukung pencapaian kompetensi peserta didik dapat dijadikan bahan dalam melakukan penilaian. e. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan peserta didik yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari. f. Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian peserta didik, bukan keluasannya (kuantitas) Artinya, dalam melakukan penilaian peserta didik terhadap pencapaian kompetensi harus mengukur kedalaman terhadap pengusaan kompetensi tertentu secara objektif (Kunandar, 2013: 38). Lebih lanjut dijelaskan, karakteristik penilaian otentik adalah: (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (2) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, (3) yang diukur adalah pengetahuan dan keterampilan, (4) berkesinambungan, (5) terintegrasi, dan (6) dapat digunakan sebagai feed back. Jenis-jenis penilaian otentik meliputi penilaian kinerja, penilaian diri, esai, penilaian proyek, penilaian produk, dan portofolio. Kegiatan-kegiatan penilaian otentik antara lain observasi (pengamatan), presentasi, diskusi, wawancara, dan lain-lain. Kegiatan penilaian yang tidak otentik adalah tes objektif seperti pilihan ganda, menghapal materi, dan kegiatan-kegiatan lain yang hanya menuntut siswa secara mekanis dan tidak langsung terkait dengan kehidupan (Marhaeni, 2008)Adapun karakteristik yang terdapat pada penilaian autentik (authentic assessment) menurut Kunandar adalah : a. Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif. Artinya, penilaian autentik dapat dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi terhadap satu atau beberapa kompetensi dasar (formatif) maupun pencapaian kompetensi terhadap standar kompetensi atau kompetensi inti dalam satu semester. b. Mengukur keterampilan dan perfomansi, bukan mengingat fakta. Artinya, penilaian autentik itu ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi yang menekankan aspek keterampilan (skill) dan kinerja (performance), bukan hanya mengukur kompetensi yang sifatnya mengingat fakta (hafalan dan ingatan). c. Berkesinambungan dan terintegrasi. Artinya, dalam melakukan penilaian autentik harus secara berkesinambungan (terus menerus) dan merupakan satu kesatuan secara utuh sebagai alat untuk mengumpulkan informasi terhadap pencapaian kompetensi peserta didik. d. Digunakan sebagai feed back. Artinya, penilaian autentik yang dilakukan oleh guru oleh guru dapat digunakan sebagai umpan balik terhadap pencapaian kompetensi peserta didik secara komprehensif. Perencanaan yang baik juga harus diterapkan dalam kegiatan penilaian yang menjadi bagian dari kegiatan pembelajaran. Mueller yang dikutip Nurgiyantoro (2008) mengemukakan sejumlah langkah yang perlu ditempuh dalam pengembangan penilaian otentik, yaitu yang meliputi: (1) penentuan standar, (2) penentuan tugas otentik, (3) pembuatan kriteria, dan (4) pembuatan rubrik. 7. Manfaat Penilaian Otentik Mueller (dalam Nurgiyantoro, 2008: 254) menyatakan bahwa penilaian otentik yang diterapkan dalam proses pembelajaran dapat memberikan beberapa manfaat. Manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan penilaian otentik adalah sebagai berikut. a. Penggunaan penilaian otentik memungkinkan dilakukannya pengukuran secara langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai indikator capaian kompetensi yang dibelajarkan. Penilaian yang hanya mengukur capaian pengetahuan yang telah dikuasai pembelajar hanya bersifat tidak langsung. Tetapi, penilaian otentik menuntut pembelajar untuk berunjuk kerja dalam situasi yang konkret dan sekaligus bermakna yang secara otomatis juga mencerminkan penguasaan dan keterampilan keilmuannnya. Unjuk kerja tersebut bersifat langsung, langsung terkait dengan konteks situasi dunia nyata dan tampilannya juga dapat diamati langsung. Hal itu lebih mencerminkan tingkat capaian pada bidang yang dipelajari. b. Penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk mengkonstruksikan hasil belajarnya. Penilaian haruslah tidak sekadar meminta pembelajar mengulang apa yang telah dipelajari karena hal demikian hanyalah melatih mereka menghafal dan mengingat saja yang kurang bermakna. Dengan penilaian otentik pembelajar diminta untuk mengkonstruksikan apa yang telah diperoleh ketika mereka dihadapkan pada situasi konkret. Dengan cara ini pembelajar akan menyeleksi dan menyusun jawaban berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan analisis situasi yang dilakukan agar jawabannya relevan dan bermakna. c. Penilaian otentik memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar, dan penilaian menjadi satu paket kegiatan yang terpadu. Dalam pembelajaran tradisional, juga model penilaian tradisional, antara kegiatan pengajaran dan penilaian merupakan sesuatu yang terpisah, atau sengaja dipisahkan. Namun, tidak demikian halnya dengan model penilaian otentik. Dari beberapa bentuk penilaian proses yang telah disebutkan di atas, maka penilaian otentik dianggap dapat meningkatkan hasil pembelajaran. Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat berupa: (1) tes yang menghadirkan benda atau kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), (2) tugas (tugas keterampilan, tugas investigasi sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), (3) format rekaman kegiatan belajar siswa (misalnya: portofolio, interview, daftar cek). Dalam penilaian otentik siswa akan terlibat kegiatan mempraktekkan bagaimana menerapkan pengetahuan dan keterampilannya untuk tugas-tugas baru. Proses assessment melibatkan berbagai macam kegiatan seperti interview lisan, pemecahan masalah baik secara perorangan maupun kelompok, unjuk kerja, dan kreativitas penulisan portofolio. Dalam penilaian otentik tidak terjadi belajar hafalan dan tes yang bersifat pasif melainkan siswa terlibat kegiatan-kegiatan seperti melakukan eksperimen sains, riset sosial, menulis cerita dan laporan, membaca dan menginterpretasi literatur, dan menyelesaikan soalsoal aplikatif. 8. Teknik Penilaian Kompetensi Sikap Alport (dalam Griffin dan Peter, 1991:56) menyatakan bahwa afektif merupakan bentuk integrasi dari beberapa karakter, yaitu: prediksi respon baik dan tidak baik, sikap dibentuk oleh pengalaman, dan tercermin dalam kegiatan sehari-hari. Karakteristik sikap yang dinilai merupakan bentuk perasaan individual dan emosional siswa. Dalam melakukan penilaian ini guru harus cermat dan hati-hati karena skala sikap biasanya sulit ditentukan secara objektif. Komponen penilaian sikap pada siswa meliputi emosi, konsistensi, target/tujuan, dan ketertarikan/minat. Indikator yang dapat digunakan pada skala sikap misalnya baik-tidak baik, indikator pada minat misalnya tertarik-tidak tertarik dan sebagainya. Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan teknik skala, metode observasi, dan respon psikologi. Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu atau objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki seseorang. Sikap terdiri dari tiga komponen, yakni: afektif, kognitif, dan konatif. Komponen afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh seseorang atau penilaiannya terhadap sesuatu objek. Komponen kognitif adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang mengenai objek. Kemudian komponen konatif adalah kecenderungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu berkenaan dengan kehadiran objek sikap (Kunandar, 2013: 103) Sikap menentukan keberhasilan belajar seseorang, karena orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu, semua pendidik atau guru harus mampu membangkitkan minat peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Kunandar (2013: 104) mendefinisikan bahwa penilaian kompetensi sikap adalah penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik yang meliputi aspek menerima atau memerhatikan (receiving atau attending), merespon atau menanggapi (responding), menilai atau menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelola (organization), dan berkarakter (characterization) Penilaian sikap dalam kurikulum 2013 dibagi menjadi dua, yakni sikap spiritual dan sikap sosial dan keduanya masuk pada kompetensi inti, yakni kompetensi inti 1 (KI 1) untuk sikap spiritual dan kompetensi inti 2 (KI 2) untuk sikap sosial. Dalam kurikulum 2013 kompetensi sikap, baik sikap spiritual (KI 1) maupun sikap sosial (KI 2) tidak diajarkan dalam Proses Belajar Mengajar (PBM), tetapi menjadi pembiasaan melalui keteladanan. Ruang lingkup penilaian kompetensi sikap terdiri dari lima jenjang proses berpikir, yakni: 1) kemampuan menerima, yaitu kepekaan seseorang dalam menerima atau stimulus dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain, 2) kemampuan merespon, yaitu kemampuan seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara, 3) kemampuan menilai, yaitu kemampuan memberikan nilai atau penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan merugikan, 4) kemampuan mengatur dan mengorganisasikan, yaitu kemampuan mempertemukan perbedaan nilai, sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal yang membawa kepada perbaikan umum, 5) kemampuan berkarakter, yaitu kemampuan memadukan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Seorang guru dalam melakukan penilaian kompetensi sikap dapat menggunakan teknik seperti: (1) observasi atau pengamatan perilaku dengan alat lembar pengamatan atau observasi, (2) penilaian diri, (3) penilaian teman sejawat (peer evaluation) oleh peserta didik, (4) jurnal, dan (5) wawancara dengan pedoman wawancara. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek (check list) atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik dan pada wawancara berupa daftar pertanyaan. Pada kurikulum 2013 skala nila tidak lagi 0 – 100, melainkan 1 – 4 untuk aspek kognitif dan psikomotor, sedangkan untuk aspek afektif menggunakan SB untuk kategori Sangat Baik, B untuk kategori Baik, C untuk kategori Cukup, dan K untuk kategori Kurang. Skala nilai 1 – 4 dengan ketentuan kelipatan 0,33. Di antara aspek penilaian pada kurikulum 2013 adalah penilaian kognitif, penilaian psikomotor, dan penilaian afektif. a. Sikap (spiritual dan sosial) untuk LHB terdiri atas sikap dalam mata pelajaran dan sikap antar mata pelajaran. Sikap dalam mata pelajaran diisi oleh setiap guru mata pelajaran berdasarkan rangkuman hasil pengamatan guru, penilaian diri, penilaian sejawat, dan jurnal, ditulis dengan predikat Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), atau Kurang (K). Sikap antar mata pelajaran diisi oleh wali kelas setelah berdiskusi dengan semua guru mata pelajaran, disimpulkan secara utuh dan ditulis dengan deskripsi koherensi. b. Penilaian sikap dalam mata pelajaran diperoleh dari hasil penilaian observasi (penilaian proses), penilaian diri sendiri, penilaian antar teman, dan jurnal catatan guru. c. Nilai observasi diperoleh dari hasil pengamatan terhadap Proses sikap tertentu sepanjang proses pembelajaran satu Kompetensi Dasar (KD). Untuk penilaian sikap spiritual dan Sosial (Kompetensi Inti 1 dan Kompetensi Inti 2) menggunakan nilai kualitatif sebagai berikut. SB = Sangat Baik = 80 – 100 B = Baik = 70 – 79 C = Cukup = 60 – 69 K = Kurang = < 60 Teknik-teknik penilaian kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. a. Observasi Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman atau lembar observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku atau aspek yang diamati. Perilaku seseorang pada umumnya menunjukkan kecenderungan seseorang dalam sesuatu hal. Oleh karena itu, guru dapat melakukan pengamatan atau observasi terhadap peserta didik yang dibinanya. Hasil pengamatan atau observasi dapat dijadikan sebagai umpan balik dalam pembinaan terhadap peserta didik. Pengamatan atau observasi perilaku peserta didik dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan alat lembar pengamatan atau observasi. b. Penilaian Diri Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi sikap, baik sikap spritual maupun sikap sosial. Instrumen yang digunakan berupaberupa lembar penilaian diri. Penilaian diri (self assessment) adalah teknik penilaian dimana peserta didik diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajari. c. Penilaian Antarpeserta Didik atau Penilaian Antarteman Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap, baik sikap spiritual maupun sosial dengan cara meminta peserta didik untuk saling menilai satu sama lain. Instrumen yang digunakan bisa berupa lembar penilaian antarpeserta didik dalam angket atau kuesioner. Penilaian antarpeserta didik menuntut keobjektifan dan rasa tanggung jawab dari peserta didik, sehingga menghasilkan data yang akurat. d. Jurnal Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan diluar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dana kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Guru hendaknya meiliki catatan-catatan khusus tentang sikap spritual dan sikap sosial. Catatn-catatan tersebut secara tertulis dan dijadikan dokumen bagi guru untuk melakukan pembinaan dan bimbingan terhadap peserta didik. Jurnal yang berisi catatan-catatan peserta didik sebaiknya dibuat per peserta didik. Catatan-catatan kelemahan atau kekurangan peserta didik berkaitan dengan sikap spiritual dan sikap sosial selanjutnya ditindaklanjuti dengan upaya-upaya pembinaan dan bimbingan. Dengan demikian, akan terjadi perubahan sikap dan perilaku dari peserta didik secara bertahap. Catatan-catatan peserta didik yang berkaitan dengan kekuatan atau keunggulan dari peserta didik dilakukan pendampingan dan pengembagan, sehingga kekuatan dan keunggulan tersebut berkembang lebih baik lagi seiring dengan peningkatan kematangan dari peserta didik tersebut. Guru hendaknya memiliki profil setiap peserta didik yang memuat catatan-catatan sikap dan perilaku peserta didik seharihari. Dengan demikian, guru dapat memantau dan memonitor perkembangan sikap dan perilaku peserta didik dari waktu ke waktu secara objektif. e. Wawancara Wawancara merupakan teknik penilaian dengan cara guru melakukan wawancara terhadap peserta didik menggunakan pedoman atau panduan wawancara berkaitan dengan sikap spiritual dan sikap sosial tertentu yang ingin digali dari peserta didik. Seorang guru dalam melakukan penilaian dengan wawancara dapat menggunakan instrumen penilaian berupa daftar pertanyaan berkaitan dengan sikap spiritual dan sikap sosial yang langsung ditanyakan kepada peserta didik. 9. Teknik Penilaian Kompetensi Pengetahuan Aspek ini berhubungan dengan pengetahuan individual (kepandaian/pemahaman) yang ditunjukkan dengan siswa memperoleh hasil dari pembelajaran yang telah dilakukan. Bentuk penilaian kognitif ini secara eksplisit maupun implisit harus merepresentasikan tujuan pencapaian pembelajaran. Biasanya tes yang dilaksanakan oleh guru dapat berupa ujian untuk mengetahui pemahaman terhadap materi. Kunandar (2013: 165) mendefinisikan penilaian kompetensi pengetahuan atau kognitif adalah penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian atau penguasaan peserta didik dalam aspek pengetahuan yang meliputi ingatan atau hafalan, pemahaman, penerapan atau aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Dalam kurikulum 2013 kompetensi pengetahuan menjadi kompetensi inti dengan kode Kompetensi Inti 3. Kompetensi pengetahuan merefleksikan konsep-konsep keilmuan yang harus dikuasai oleh peserta didik melalui proses belajar mengajar. Ruang lingkup kompetensi pengetahuan atau kognitif terdiri atas enam jenjang proses berpikir, yakni: a. Kemampuan menghafal, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus, dan sebagainya tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berpikir yang paling rendah. Kemampuan mengetahui juga dapat diartikan kemampuan mengetahui fakta, konsep, prinsip, dan skill. b. Memahami, yaitu kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan demikian, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai aspek. Seorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Kemampuan memahami juga dapat diartikan kemampuan mengerti tentang hubungan antarfaktor, antarkonsep, antarprinsip, antardata, hubungan sebab akibat, dan penarikan kesimpulan. c. Menerapkan, adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori, dan sebagainya dalam situasi yang baru dan konkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berpikir setingkat lebih tinggi dari pemahaman. Kemampuan mengaplikasikan sesuatu juga dapat diartikan menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. d. Menganalisa, yaitu kemampuan sesorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan diantara bagianbagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Analisis merupakan proses berpikir setingkat lebih tinggi dari penerapan atau aplikasi. Kemampuan menganalisis juga dapat diartikan menentukan bagian-bagian dari suatu masalah, dan penyelesaian atau gagasan serta menunjukkan hubungan antar bagian itu. e. Mensintesis, yaitu kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Berpikir sintesis merupakan proses berpikir setingkat lebih tinggi dari berpikir analisa. Kemampuan melakukan sintesis juga dapat diartikan menggabungkan berbagai informasi menjadi satu kesimpulan atau konsep, meramu atau merangkai berbagai gagasan menjadi sesuatu yang baru. f. Mengevalusai., yaitu kemampuan sesorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai, ide. Kemampuan melakukan evaluasi dapat diartikan mempertimbangkan dan menilai benar salah, baik buruk, bermanfaat tidak bermanfaat. Seorang guru dalam menilai kompetensi pengetahuan dapat menggunakan instrumen berupa: (1) tes tertulis dengan menggunakan butir soal, (2) tes lisan dengan bertaya langsung terhadap peserta didik menggunakan daftar pertanyaan, dan (3) penugasan atau proyek dengan lembar kerja tertentu yang harus dikerjakan oleh peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Adapun penilaian Pengetahuan Adapun bentuk penilaian pengetahuan terdiri atas: (1) Nilai Proses (Nilai Harian = NH), (2) Nilai Ulangan Tengah Semester (UTS), dan (3) Nilai Ulangan Akhir Semester (UAS). Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban, tetapi bisa dalam bentuk yang lain. Teknik penilaian tertulis dipergunakan untuk mengukur kemampuan kognitif yang meliputi ingatan atau hafalan, pemahaman, penerapan atau aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tes tertulis termasuk ke dalam kelompok tes verbal, artinya tes yang soal dan jawaban yang diberikan oleh peserta didik berupa tulisan (Kunandar, 2013: 174) Bentuk tes tertulis adalah bentuk tes tertulis apa yang digunakan oleh guru dalam mengukur pencapaian kompetensi pengetahuan (kognitif) peserta didik. Tes tertulis terdiri dari: (1) soal pilihan ganda, (2) isian, (3) jawaban singkat (pendek), (4) benar-salah (B-S), (5) menjodohkan, (6) uraian. Aspek skor terhadap jawaban penilaian tertulis dapat dibedakan menjadi dua, yakni objektif tes dan subjektif tes. Objektif tes adalah adalah tes tertulis yang pertanyaannya bersifat tertutup, sehingga jawabannya pasti dan singkat atau pendek. Sedangkan subjektif tes adalah penilaian tertulis yang pertanyaannya bersifat terbuka, sehingga jawabnya berbentuk uraian yang cukup panjang. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun instrumen penilaian tertulis adalah: 1) Karakteristik mata pelajaran dan keluasan ruang lingkup materi yang akan diuji, 2) Materi, yakni kesesuaian soal dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian pada kurikulum: 3) Konstruksi, yakni rumusan soal harus jelas, 4) Bahasa, yakni rumusan soal tidak menimbulkan penafsiran ganda. Penulisan soal tes tertulis merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam penyiapan bahan ulangan atau ujian. Setiap butir soal yang ditulis harus berdasarkan rumusan indikator yang sudah disusun di dalam kisi-kisi dan berdasarkan kaidah penulisan soal. 1) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Pilihan Ganda. Soal bentuk pilihan ganda adalah suatu soal yang jawabannya harus dipilih dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Secara umum, setiap soal pilihan ganda terdiri dari pokok soal (stem) dan pilihan jawaban (option) Pilihan jawaban terdiri atas kunci jawaban dan pengecoh (distractor) Kunci jawaban adalah jawaban yang benar atau paling benar. Pengecoh adalah jawaban yang tidak benar, namun memungkinkan seseorang memilihnya apabila tidak menguasai bahan atau materi tersebut. 2) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Isian. Tes tertulis bentuk isian adalah suatu bentuk tes diman butir soal suatu kalimat dimana bagian-bagian tertentu yang dianggap penting dikosongkan dan belum sempurna, sehingga peserta didik diminta untuk melengkapinya dengan benar. 3) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Jawaban Singkat. Tes tertulis jawaban singkat adalah suatu bentuk tes tertulis yang di dalamnya guru memberikan pertanyaan kepada peserta didik yang memerlukan jawaban secara singkat. 4) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Benar Salah. Tes tertulis benar salah adalah suatu bentuk tes tertulis dimana soalnya berupa pernyataan yang mengandung dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Karakteristik soal tertulis benar atau salah adalah mudah disusun dan dapat mengungkap materi atau konsep yang cukup luas. 5) Teknik Penulisan Soal Tes Tertulis Bentuk Uraian. Soal bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk dapat mengingat, memahami, dan mengorgansasikan gagasan atau hal-hal yang sudah dipelajari, dengan cara mengemukakan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Tes lisan menurut Kunandar (2013: 225) adalah tes yang dipergunakan untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi, terutama pengetahuan (kognitif) dimana guru memberikan pertanyaan langsung kepada peserta didik dengan bahasa verbal dan ditanggapi oleh peserta didik secara langsung dengan bahasa verbal juga. Tes lisan menuntut peserta didik memberikan jawaban secara lisan. Tes lisan biasanya dilaksanakan dengan cara mengadakan percakapan antara siswa dengan tester tentang masalah yang diujikan. Pelaksanaan tes lisan dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung antara pendidik dan peserta didik. Tes lisan digunakan untuk mengungkapkan hasil belajar peserta didik pada aspek pengetahuan. Instrumen penugasan berupa pekerjaan rumah atau proyek yang dikerjakan secara individu atau kelompok sesuai dengan karakteristik tugas. Penilaian ini bertujuan untuk pendalaman terhadap penguasaan kompetensi pengetahuan yang telah dipelajari atau dikuasai di kelas melalui proses pembelajaran. 10. Teknik Penilaian Keterampilan Perkembangan psikomotorik juga merupakan bagian dai ranah evaluasi yang harus diketahui oleh guru. Penilaian psikomotorik merupakan bentuk pengukuran kemampuan fisik siswa yang meliputi otot, kemampuan bergerak, memanipulasi objek, dan koordinasi otot syaraf. Contoh penilaian ini misalnya pada kemampuan otot kecil (misal mengetik) atau otot besar (misal melompat). Contoh yang termasuk aktivitas motorik seperti pendidikan fisik, menulis tangan, membuat hasil karya kerajinan dan lain-lain. Pengetahuan guru untuk mengenali kemampuan psikomotorik siswa sangat penting karena psikomotorik merupakan bagian dari bentuk kecerdasan. Siswa yang mampu mengetik secara cepat tidak hanya sekedar memiliki kemampuan menggunakan perangkat computer secara efisien, tetapi di dalamnya juga terintegrasi kemampuan untuk membaca dan mengeja. Tipe penilaian psikomotorik yang digunakan harus mengacu pada tujuan, misalnya melalui pertanyaan di bawah ini. a. Apakah peserta didik mampu melakukan tugas dengan baik? b. Apakah peserta didik dapat menunjukkan penampilan yang terbaiknya dalam tugas tersebut? c. Bagaimana penampilan seorang peserta didik jika dibandingkan dengan peserta didik yang lain dalam kelas/bidang yang sama? Kunandar (2013: 255) mendefinisikan ranah psikomotorik adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Psikomotorik berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan sebagai hasil dari tercapainya kompetensi pengetahuan. Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif. Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotorik apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan afektif. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kompetensi keterampilan adalah penilaian yang dilakukan oleh guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi keterampilan dari peserta didik yang meliputi aspek imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi (Kunandar, 2013: 257). Penilaian rapor untuk pengetahuan dan keterampilan menggunakan penilaian kuantitatif dengan skala 1 – 4 (kelipatan 0,33), dengan 2 (dua) desimal dan setiap aras (tingkatan) diberi predikat sebagai berikut. A : 3,67 – 4.00 A- : 3,34 – 3,66 B+ : 3,01 – 3,33 B : 2,67 – 3,00 B- : 2,34 – 2,66 C+ : 2,01 – 2,33 C : 1,67 – 2,00 C- : 1,34 – 1,66 D+ : 1,01 – 1,33 D : < 1,00 Ruang lingkup kompetensi keterampilan terdapat 5 (lima) jenjang berpikir, yakni: (1) imitasi, yaitu kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya. (2) manipulasi, yaitu kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana yang belum pernah dilihat, tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja, (3) presisi, yaitu kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan yang akurat sehingga mampu menghasilkan produk kerja yang tepat, (4) artikulasi, yaitu kemampuan melakukan kegiatan yang kompleks dan tepat sehingga hasil kerjanya merupakan sesuatu yang utuh dan (5) naturalisasi, yaitu kemampuan melakukan kegiatan secara reflek, yakni kegiatan yang melibatkan fisik saja sehingga efektifitas kerja tinggi. Proses penilaian otentik mengungkapkan kinerja siswa yang mencerminkan bagaimana peserta didik belajar, capaian hasil, motivasi, dan sikap yang terkait dengan aktivitas pembelajaran. Penilaian ini memerlukan waktu yang lebih lama ketika mengumpulkan informasi tetapi dapat mengungkap kompetensi peserta didik yang sebenarnya. Hal ini berbeda dengan penilaian tradisional yang dapat dilakukan dalam waktu singkat, cakupan pertanyaan yang luas, dan derajad validitas dan reliabilitas lebih tinggi. O’malley dan Pierce (1996:4) mengatakan bahwa penilaian otentik adalah bentuk penilaian yang menunjukkan pembelajaran siswa yang berupa pencapaian, motivasi, dan sikap-yang relevan dalam aktivitas kelas. Contoh penilaian otentik termasuk di dalamnya penilaian perfomansi (performance assessment), portofolio (portfolios), dan penilaian diri-sendiri (student self-assessment). a. Penilaian Performansi (Performance Assessment) Penilaian ini merupakan bentuk penilaian yang membangun respon siswa, misalnya dalam hal berbicara atau menulis. Respon siswa dapat diperoleh guru dengan melakukan observasi selama pembelajaran di kelas. Penilaian ini meminta siswa untuk menyelesaikan tugas yang komplek dalam konteks pengetahuan, pembelajaran terkini, dan keahlian yang relevan untuk menemukan solusi dari suatu permasalahan. Siswa dapat menggunakan bahan-bahan atau menunjukkan hasil aktifitas tangan dalam mengatasi masalah, contoh: laporan berbicara, menulis, proyek individu maupun grup, pameran, dan demonstrasi. Karakteristik penilaian perfomansi (diadaptasi dari Aschbacher:1991, Herman, Aschbacher, dan Winters: 1992 dalam O’malley dan Pierce,1996:5) seperti di bawah ini. 1) Respon yang dibangun: siswa membangun respon, mengembangkan respon, meminta bentuk performansi/tampilan atau menciptakan produk. 2) Pemikiran tingkat tinggi: siswa menggunakan pikiran tingkat tinggi untuk membangun respon ketika membuka dan mengakhiri pertanyaan. 3) Keotentikan: tugas itu penuh makna, menantang, meminta aktivitas siswa bahwa atau konteks dunia nyata lain dimana siswa akan menunjukkannya. 4) Terpadu: tugas merupakan penyatuan dari kemampuan berbahasa. 5) Proses dan produk: prosedur dan strategi untuk memperoleh respon yang benar atau untuk mencari solusi atas tugas yang kompleks. 6) Kedalaman vs keluasan: penilaian perfomansi menyediakan informasi yang mendalam mengenai kemampuan siswa yang merupakan kebalikan dari tes pilihan ganda yang cakupannya luas tetapi tidak mendalam. Penilaian perbuatan atau unjuk kerja adalah penilaian tindakan atau tes praktik yang secara efektif dapat digunakan untuk kepentingan pengumpulan berbagai informasi tentang bentuk-bentuk perilaku atau keterampilan yang diharapkan muncul dalam diri peserta didik. Penilaian unjuk kerja dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Penilaian unjuk kerja merupakan penilaian yang meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan dan mengaplikasikan pengetahuan ke dalam konteks yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (Kunandar, 2013:263). Penilaian perfomansi biasanya meminta guru memutuskan respon yang ditunjukkan siswa. Untuk membantu guru membuat keputusan yang akurat dan reliabel, penyekoran merujuk pada penggunaan rubrik yang nilai numeriknya merupakan kumpulan tingkatan perfomansi, misalnya 1: dasar, 2: pandai, dan 3: mahir. Kriteria masing-masing tingkatan harus ditetapkan tepat sesuai dengan kemampuan yang akan didemonstrasikan siswa. Salah satu karakteristik penilaian perfomansi adalah kriteria dibuat umum dan diketahui dalam tingkatannya. Oleh karena itu, siswa dapat berpartisipasi dalam penempatan dan penggunaan kriteria penilaian diri terhadap penampilannya sendiri. b. Penilaian Diri-Sendiri (Student Self-Assessment) Penilaian ini merupakan kunci dalam penilaian otentik dan dalam pengaturan pembelajaran diri, motivasi dan strategi untuk menyelesaikan permasalahan dengan tujuan spesifik. Penilaian diri sendiri digunakan untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang di dalamnya merupakan integrasi dari kemampuan kognitif, motivasi, dan sikap terhadap pembelajaran. Dalam pengaturan diri pembelajar, murid membuat pilihan, memilih aktivitas pembelajaran, dan merencanakan bagaimana mereka menggunakan waktu dan sumber. Mereka memiliki kebebasan untuk memilih aktivitas yang menantang, mengambil resiko, meningkatkan kemahiran pembelajaran, dan mencapi tujuan yang telah direncanakan. Pada penilaian ini siswa memiliki kontrol pembelajarannya sendiri sehingga mereka dapat memutuskan untuk menggunakan sumber yang tersedia di dalam atau di luar kelas. Siswa dapat mengatur pembelajarannya sendiri dan bekerja sama dengan murid lain dalam bertukar ide, saling membantu, dan saling mendukung dengan sesama teman sebaya. Ketika siswa belajar, mereka membangun makna, meninjau kembali pemahamannya, dan berbagi makna dengan teman yang lain. Siswa dapat menemukan makna dan pemahaman baru sehingga mereka dapat memonitor pengaturan diri demi kemajuan pembelajaran. Penilaian diri dan pengaturan diri adalah inti pembelajaran dan menjadi bagian dari pembelajaran. Penggunaan penilaian otentik secara tidak langsung akan merubah bahan-bahan pembelajaran. Sebagai contoh, kita tidak dapat menggunakan portofolio tanpa merubah filosofi pengajaran dan pusat pembelajarannya (pusatnya siswa). Dalam pembelajaran ini, siswa tidak hanya mendapatkan masukan dari yang mereka pelajari tetapi juga bagaimana mereka menilainya. Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat berupa: a) tes yang menghadirkan benda atau kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), b) tugas (tugas ketrampilan, tugas investigasi sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), c) format rekaman kegiatan belajar siswa (misalnya : portofolio, interview, daftar cek, presentasi oral, dan debat). Beberapa pembaharuan yang tampak pada penilaian otentik adalah sebagai berikut. 1) Penilaian otentik melibatkan siswa dalam tugas yang penting, menarik, bermanfaat, dan relevan dengan kehidupan nyata siswa. 2) Penilaian otentik tampak dan terasa sebagai kegiatan belajar bukan tes tradisional. 3) Penilaian otentik melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan mencakup pengetahuan yang luas. 4) Penilaian otentik menyadarkan peserta didik tentang apa yang harus dikerjakannya. 5) Penilaian otentik merupakan alat penilaian yang mencakup latar standar (standard setting), bukan alat penilaian yang distandarisasikan. 6) Penilaian otentik berpusat pada siswa (student centered) bukan berpusat pada guru (teacher centered). 7) Penilaian otentik dapat menilai siswa yang berbeda kemampuan, gaya belajar, dan latar belakang kulturalnya. c. TeknikPenilaian Bentuk Proyek Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang meliputi: pengumpulan, pengorganisasian, pengevaluasian, dan penyajian data yang harus diselesaikan peserta didik (individu/kelompok) dalam waktu periode tertentu. Tugas tersebut bisa berupa investigasi atau penelitian sederhana tentang suatu masalah yang berkaitan dengan materi tertentu mulai dari perencanaan, pengumpulan data atau informasi, pengolahan data, penyajian data dan menyusun laporan. Penilaian proyek dimaksudkan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan, dan kemampuan menginformasikan dari peserta didik secara jelas. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian proyek, yaitu: 1) Kemampuan pengelolaan, yaitu kemampuan peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi, mengolah waktu pengumpulan data dan penulisan laporan. 2) Relevansi, yaitu tugas atau proyek yang diberikan pada peserta didik harus sesuai dengan karakteristik materi, lingkungan sekolah dan karakteristik peserta didik. 3) Keaslian, yaitu tugas atau proyek yang dikerjakan peserta didik benar-benar hasil pekerjaan peserta didik dengan bimbingan guru. Seorang guru dalam melakukan penilaian proyek dapat menggunakan instrumen penilaian berupa lembar penilaian proyek berupa daftar cek (check list) dan skala penilaian (rating scale) d. Teknik Penilaian Portofolio Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensi tertentu dalam satu mata pelajaran. Menurut Genesee dan Upshur (1997) dalam Kunandar (2013:294), portofolio adalah skumpulan pekerjaan peserta didik yang dapat menunjukkan kepada mereka (juga bagi yang lain) atas usaha, kemajuan dan pencapaian mereka dalam mata pelajaran tertentu. Seorang guru dalam melakukan penilaian portofolio dapat menggunakan instrumen penilaian berupa tabel yang memaparkan hasil karya peserta didik dan tanggal pembuatannya disertai dengan komentar dari guru. Bentuk penilaian portofolio merupakan sistem pengumpulan hasil kerja siswa yang dianalisis untuk menunjukkan kemajuan belajar siswa dalam jangka waktu tertentu. Contoh penilaian portofolio, misalnya: menulis, membaca buku harian, menggambar, audio atau video, dan atau komentar guru dan siswa tentang kemajuan yang telah dicapai siswa. e. Teknik Penilaian Bentuk Produk Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk yang dihasilkan oleh peserta didik. Penilaian produk dilakukan untuk menilai hasil pengamatan, percobaan, maupun tugas proyek tertentu dengan menggunakan cara holistik atau analitik. Cara holistik, yaitu berdasarkan kesan keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan pada tahap appraisal dan cara analitik, yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap semua kriteria yang terdapat pada semua tahap pengembangan suatu produk. Seorang guru dalam melakukan penilaian produk dapat menggunakan instrumen penilaian berupa lembar penilaian produk berupa daftar cek (check list) dan skala penilaian (rating scale) f. Teknik Penilaian Bentuk Kombinasi Instrumen penilaian bentuk kombinasi digunakan apabila guru ingin melakukan penilaian terhadap peserta didik yang berkaitan dengan proses atau kinerja dan sekaligus menilai hasil atau produk dari hasil kinerja peserta didik secara bersamaan. Tujuan dari penilaian kompetensi keterampilan ini dimaksudkan agar hasil penilaiannya lebih akurat, karena dinilai proses dan hasilnya secara simultan. 11. Alasan Perlunya Penilaian Otentik Rasionalisasi diperlukannya penilaian otentik dalam pembelajaran yaitu : (1)keinginan pihak terkait dengan pendidikan (stakeholders pendidikan) untuk menyoroti sifat-sifat konstruktif dari pembelajaran dan pendidikan, (2)penilaian otentik mengizinkan peserta didik memilih jalannya sendiri untuk mendemonstrasikan kompetensi dan ketrampilannya, (3) penilaian otentik mengevaluasi seberapa efektif siswa secara langsung mampu menerapkan pengetahuannya dalam berbagai jenis dan tugas, (4)memberikan legitimasi pembelajaran dengan mengaitkannya pada konteks dunia nyata, (5)memberikan kemungkinan kolaborasi antar-siswa dan kolaborasi lintas kurikulum. (Ismet Basuki dan Hariyanto, 2014: 169) Pada hakikatnya penilaian otentik (authentic assessment) dilakukan berdasarkan kinerja siswa dalam menyelesaikan berbagai macam tugas yang diberikan oleh seorang guru, hal ini dimungkinkan, tugas-tugas yang ada tidak dapat dikerjakan di dalam kelas, sehingga tugas-tugas tersebut harus dikerjakan di luar pelajaran bahkan di luar sekolah, bagaimana cara menilai pembelajaran seperti itu?. Sebagaimana Winggins (2005:2) mengatakan orang-orang biasanya menyebutkan pembelajaran berbasis proyek atau project-based learning, penilaian otentik syarat dengan menilai hasil belajar diantaranya berdasarkan penugasan atau proyek, lebih lanjut Asmawi Zainul (2001:7-8) menekankan perlunya penilaian kinerja untuk mengukur aspek lain di luar kognitif, yaitu tujuh kemampuan dasar menurut Howard Gardner yang tidak mungkin dinilai dengan cara-cara yang biasa. Ketujuh kemampuan dasar tersebut adalah: (1) visual-spatial, (2) bodiy-kinesthetic, (3) musical-rhythmical, (4) interpersonal, (5) intrapersonal, (6) logical mathematical, (7) Verbal linguistic. Hanya dua sajalah cara penilaian yang kita lakukan yaitu logical mathematical dan verbal linguistic. Fakta empiris mengatakan bahwa sebagian besar guru tidak tertarik dan tidak mau menggunakan penilaian otentik atau penilaian berbasis kinerja, dengan alasan membuang waktu dan energi serta terlalu mahal, padahal menilai kinerja dengan tes tertulis termasuk dalam kategori tidak valid, menurut Wiggins (2005:2-3) merancang dan melaksanakan penilaian kinerja sangatlah efisien, karena ajeg atau konsisten (reliable), tidak mahal dan tidak membuang waktu. Standar tidak dapat dibuat tanpa melakukan penilaian berbasis kinerja, Grant Wiggins (1993) menekankan hal yang lebih unik lagi dengan menekankan perlunya kinerja secara efektif dan kreatif, yaitu: “…Engaging and worthy problems or questions of importance, in which students must us knowledge to fashion performance effectively and creatively. The tasks are either replicas of or analogous to the kinds of problems faced by adult citizens and consumers of professionals in the field” (Wiggins, 1993: 229) 12. Bagaimama Menyiapkan Penilaian Otentik Penilaian otentik dilakukan dengan cara siswa diminta menampilkan sejumlah tugas dalam dunia sesungguhnya yang memperlihatkan aplikasi pengetahhuan, ketrampilan dan sikap yang esensial. Adapun langkah-langkah persiapannya yaitu: a. Mengidentifikasi standar. Identifikasi standar merupakan satu pernyataan singkat dan harus diketahui atau dapat dilakukan siswa pada materi tertentu. Operasional rumusan standar hendaknya dapat diobservasi, dan dapat diukur, harus ditulis dengan jelas, operasional, tidak ambigu dan tidak rancu. b. Memilih suatu tugas otentik. Tugas otentik yang telah diberikan hendaknya berdasarkan kajian standar yang kita buat dan mengkaji kenyataan (dunia) sesungguhnya (the real mirror). c. Mengidentifikasi kriteria untuk tugas (tasks). Kriteria tidak lain adalah indikator-indikator dari kinerja yang baik pada sebuah tugas, apabila terdapat sejumlah indikator, dalam membuat identifikasi perlu diperhatikan apakah indikator-indikator tersebut sekuensial (memerlukan urutan) atau tidak. D. Penutup Perbaikan kualitas pendidikan senantiasa menjadi kebutuhan bagi setiap bangsa yang menginginkan perbaikan kualitas manusianya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan perbaikan kualitas pendidikan adalah dengan menyempurnakan kurikulum pendidikan yang digunakan. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum terbaru yang dirilis oleh pemerintah Indonesia dalam rangka melakukan perbaikan dengan melakukan penguatan pada dimensi proses pembelajaran dan penilaian. Dimensi yang ditekankan dan menjadi perhatian bagi guru selaku pelaksana pendidikan adalah dimensi penilaian dimana kurikulum 2013 menuntut guru untuk mengukur bukan hanya hasil kerja siswa tetapi juga proses belajar yang dilalaui siswa (Kunandar, 2013). Prinsip penilaian yang ditawarkan dalam Kurikulum 2013 melalui Permendikmud No.66 tahun 2013 tentang standar penilaian adalah penilaian otentik. Menurut Rahayu (2014), Di antara beberapa kelebihan penilaian otentik dalam penerapan kurikulum 2013 antara lain: a. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. b. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. c. Penilaian autentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih autentik. d. Penilaian autentik sangat relevan dengan pendekatan tematik terpadu dalam pembejajaran, khususnya jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran yang sesuai. Penilaian autentik sering dikontradiksikan dengan penilaian yang menggunakan standar tes berbasis norma, pilihan ganda, benarsalah, menjodohkan, atau membuat jawaban singkat. Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan dalam proses pembelajaran, karena memang lazim digunakan dan memperoleh legitimasi secara akademik. e. Penilaian autentik dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru bekerja sama dengan peserta didik. Dalam penilaian autentik, seringkali pelibatan siswa sangat penting. Asumsinya, peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu bagaimana akan dinilai. Peserta didik diminta untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam rangka meningkatkan pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan pembelajaran serta mendorong kemampuan belajar yang lebih tinggi. f. Pada penilaian autentik guru harus dapat menerapkan kriteria yang berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan, dan pengalaman yang diperoleh dari luar sekolah. g. Penilaian autentik mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar dan kegiatan siswa belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik, serta keterampilan belajar. Karena penilaian itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan peserta didik berbagi pemahaman tentang kriteria kinerja. Dalam beberapa kasus, peserta didik bahkan berkontribusi untuk mendefinisikan harapan atas tugas-tugas yang harus mereka lakukan. h. Penilaian autentik sering digambarkan sebagai suatu bentuk penilaian atas perkembangan peserta didik, karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar tentang subjek. i. Penilaian autentik harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan perolehan belajar, dan sebagainya. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa yang sudah layak dilanjutkan dan untuk materi apa pula kegiatan remedial harus dilakukan Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang berkesinambungan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran. Sebagai komponen yang tidak terpisahkan dalam sebuah pembelajaran, penilaian digunakan guru untuk memperoleh informasi tentang pembelajaran dilakukan. Dalam dunia pendidikan, sering kali ada tiga istilah yang digunakan bergantian pemakaiaannya atau bahkan disamakan pengertiannya padahal secara esensi berbeda. Ketiga istilah tersebut adalah penilaian (evaluasi, evaluation), pengukuran (measurement), dan tes (test). Tuckman (melalui Nurgiyantoro,2012:6) mengatakan bahwa penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui (menguji) apakah suatu kegiatan, proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditentukan. Istilah yang kedua, pengukuran merupakan bagian dari alat penilaian dan selalu berhubungan dengan data-data kuantitatif, misalnya skor peserta didik. Istilah yang terakhir, yaitu tes merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi (kemampuan) peserta didik. Tes ini biasanya lebih popular dengan kata ujian atau ulangan. Reynolds dkk (2010:3) juga mengungkapkan perbedaan ketiga istilah di atas. Tes adalah sebuah sarana yang digunakan untuk mengetahui contoh perilaku individual yang diamati, dievaluasi, dan diberi skor dengan standar prosedur tertentu. Tes ini bertujuan untuk mengetahui informasi secara lebih spesifik tentang pencapaian materi yang telah diajarkan. Dengan adanya tes, pendidik akan mengetahui secara lebih nyata hasil dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Pengukuran adalah seperangkat aturan untuk menilai tingkat pencapaian yang ditunjukkan objek, ciri-ciri, atribut, dan sikap siswa. Penilaian adalah sebuah prosedur sistematis yang digunakan untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk menyimpulkan karakteristik siswa atau objek untuk mencapai tujuan pendidikan. Penilaian harus mampu memberikan pemahaman secara spesifik terhadap karakteristik peserta didik yang dilakukan secara terintegrasi. Jadi, dapat dikatan bahwa tes merupakan salah satu metode pengumpulan informasi dan merupakan salah satu alat dalam penilaian. Oleh karena itu, penilaian memiliki cakupan yang lebih luas daripada tes. Griffin dan Peter (1991:4) mengatakan bahwa penilaian merupakan proses pengumpulan hasil dari pencapaian pembelajaran siswa. Penilaian berdasarkan pada kenyataan. Hal ini tidak hanya sekedar tes, pengukuran, maupun penyekoran. Dengan kata lain, merupakan usaha untuk mendeskripsikan beberapa karakteristik seseorang atau sesuatu. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah prosedur pengumpulan informasi tentang karakteristik siswa pada suatu proses pembelajaran. Penilaian ini merupakan serangkaian kegiatan yang di dalamnya menginterpretasikan kinerja yang ditunjukkan secara nyata dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Penilaian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran di kelas. Setiap pembaca/ Widyaiswara/pendidik/narasumber/fasilitator sudah seharusnya memahami dan mampu melaksanakan penilaian haasil pembelajaran. Namun penilaian proses dan hasil belajar hendaknya secara menyeluruh, sehingga smua aspeK kemampuan peserta didikdapat diukur. Oleh karena itu, penulis menganjurkan untuk membaca artikel ini, sebab dengan membaca artikel ini diharaapkan dapat memperkuat keyakinan dan memperdalam pengetahuan serta menambah keterampilan dalam melaksanakan penilaian otentik terhadap peserta diklat atau peserta didik. Daftar Pustaka AECT. 2004. AECT Definition and Terminology Committee Document: The Meanings of Educational Technology. Anas Sudijono. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ardana, I Made. 2011. Pengembangan Model dan Asesmen Otentik Pembelajaran Matematika Berorientasi Gaya Kognitif dan Budaya untuk Siswa Sekolah Dasar di Provinsi Bali. Arikunto, Suharsimi. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bandung : Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2009. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Asep Jihad dan Abdul Haris. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo. Burhanuddin Tola. 2010. Penilaian Diri (Self Evaluation) Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas. Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2004. Penilaian Proyek, Jakarta : Balitbang Depdiknas. Dimyanti dan Moedjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Tenaga Kependidikan. Djaali. 2000. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: UNJ. Gronlund, N.E. 1998. Assessment of Student Achievement. 6th ed. Boston: Allyn and Bacon. Harris Duncan dan Bell Chris. 1994. Evaluating and Assessing for Learning. New Jersey: Nichols Publishing Company. Ismet Basuki & Hariyanto. 2014 Asesmen Pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Kunandar. 2013. Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: Rajawali Press. Marhaeni, A.A.I.N. 2008. Tinjauan Teoritis Mengenai Asesmen Otentik dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Makalah. Disampaikan dalam Seminar tentang Profesionalisme Guru dan Inovasi Pembelajaran. Marzano, R. J., et al. 1994. Assessing Student Outcomes : Performance Assessment Using the Five Dimensions of Learning Model. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development. Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Mimin Haryati. Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010. Muchtar, Hartati. 2010. Penerapan Penilaian Autentik dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan. Jakarta: Jurnal Pendidikan Penabur. Mueller, J. 2006. Authentic Assessment. North Central. Tersedia : http://jonatan,muller,faculty.noctri.edu/toolbox/wahtisist.htm Mulyasa. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: ROSDA. Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Nurgiyantoro.2008. Penilaian Otentik. Jurnal Cakrawala Pendidikan. November 2008, Th. XXVII, No. 3. Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004. Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia. Nuryanti Rustaman. 2014. Penilaian Otentik (Authentic Assessment) dan Penerapannya dalam Bidang Pendidikan Sains. Bandung: UPI FMIPA. Pantiwati, Yuni. 2013. Hakekat Assesmen Autentik dan Penerapannya dalam Pembelajaran Biologi. Malang: JEMS (Jurnal Edukasi dan Sains) Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta. Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan. Jakarta. Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Pusbang Tendik. 2013. Pedoman Kegiatan Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013 Oleh Guru Inti. Jakarta: Kemdikbud. Seels, Barbara B. dan Rita C.Richey. 1994. Teknologi Pembelajaran Definisi dan Kawasannya. Jakarta: UNJ. Stinggins, R.J. 1994. Student-Centered Classroom Assessment. New York : Macmillan College Publishing Company. Suastra, I.W. 2009. Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Alamiah dan Sosial Budayanya. Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja. Subkhan, Edi. 2013. Pengantar Teknologi Pendidikan Perspektif Paradigmatik Multidimensional. Yogyakarta: Deepublish. Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo. dan Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Supardi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Tim Penyusun. 2008. Materi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Asesmen. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Widoyoko, Eko Putro. 2010. Evaluasi Program Pembelajaran Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Winggins, G. 2005. Grant Wiggins on Assessment, Edutopia. The George Lucas Educational Founfation (online) Availlable: http://www.gief.org. Zainul, A. 2001. Alternative Assessment. Applied Approach Mengajar di Perguruan Tinggi, Jakarta : Pusat Antar Universitas untuk peningkatan dan pengembangan aktivitas instruksional. Ditjen Dikti Depdiknas.