Uploaded by User14922

39-1-59-1-10-20181109(1)

advertisement
JURNAL ILMU SEJARAH DAN PENDIDIKAN
JURNAL DIAKRONIKA
Membangun Masa Depan dengan Kerangka Masa Lalu
http://diakronika.ppj.unp.ac.id
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA
ORDE BARU
Rober Bastian, Erniwati, Etmi Hardi
[email protected]
Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang
Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai Kelenteng See Hin Kiong
sebagai Benteng bagi umat Konghucu di Kota Padang pada masa Orde
Baru. Penelitian ini menggunakan konsep perubahan untuk melihat
perubahan fungsi yang dialami oleh kelenteng pada masa Orde Baru.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan metode sejarah yaitu heuristik, kritik sumber,
interpretasi, dan penulisam sejarah. Hasil penelitian ini adalah bahwa
perubahan fungsi kelenteng disebabkan oleh kebijakan politik negara
pada masa Soeharto yang membatasi aktifitas sosial dan budaya
masyarakat Tionghoa di Indonesia. Kelenteng See Hin Kiong yang
semula menjadi pusat seluruh akttifitas kehidupan etnis Tionghoa
Padang dengan kesadaran yang kuat akan etnis ke-Tionghoa-annya
mengalamin perubahan hanya sebagai tempat ibadah dan media
masyarakat Tionghoa Padang mengurus tempat pemakamaman dengan
pemerintah kota. Perubahan fungsi kelenteng ini juga disebabkan
karena kebijakan pemerintah yang tidak mengakui agama Konghucu di
Indonesia. Hal ini menyebabkan penganut konghucu meleburkan diri ke
agama Budha yang sama-sama melakukan sembahyang leluhur di
kelenteng. Kelenteng See Hin Kiong semakin kurang dikunjungi oleh
etnis Tionghoa setelah agama Budha memiliki tempat ibadah sendiri
yaitu Vihara.
Kata kunci: Kelenteng, Perubahan Fungsi, Orde Baru
© 2018 Universitas Negeri Padang
pISSN 1411-1764 eISSN 2620-9446
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
A. PENDAHULUAN
Kedatangan etnis Tionghoa sudah terjadi berabad-abad yang lalu menandakan
bahwa etnis Tionghoa yang datang ke Indonesia termasuk Sumatera Barat sudah
menjadi salah satu etnis yang merupakan bagian dari keberagaman etnis di
Indonesia. Asal usul kedatangan bermula dari kepentingan perdagangan, akhirnya
menyisakan etnis Tionghoa yang menetap di Sumatera barat termasuk di Padang.
Sebagai salah satu etnis yang sudah lama tinggal di Indonesia, posisi etnis Tionghoa
sangat dipengaruhi oleh politik negara dimana etnis tersebut tinggal. Ketika terjadi
kudeta tahun 1965 yang diprakarsai oleh kelompok komunis, maka tumbuhlah
image yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa identik dengan komunis, karena
Tiongkok berorientasi kepada komunis. Kedudukan etnis Tionghoa pun berada pada
posisi yang dimarjinalkan. Mereka masih tergantung kepada politik pemerintah
yang berlaku sehingga mereka seperti dikontrol oleh otoritas yang sedang berkuasa.
Kontrol dari pihak otoritas yang berpengaruh kepada etnis Tionghoa juga dilakukan
terhadap tempat ibadah, termasuk Kelenteng See Hin Kiong Padang.
Pada masa pemerintahan Soeharto kelenteng mengalami pergeseran fungsi
terutama dengan dikeluarkan kebijakan Intruksi Presiden No.14 Tahun 1967 yang
melarang segala aktifitas berbau Tionghoa. Pelarangan kebudayaan Tionghoa
menyebabkan budaya Tionghoa hanya untuk etnis Tionghoa saja dan dilakukan
secara tertutup dan sederhana. Sebagai tempat ibadah, sosial dan budaya etnis
Tionghoa, kelenteng tidak diperbolehkan menyelenggarakan kebudayaan di depan
umum. Kemudian disusul dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tahun 1978 yang menyatakan bahwa agama
yang diakui oleh pemerintah RI pada saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
dan Budha membuat agama Konghucu tidak jelas statusnya. Hal ini menyebabkan
banyaknya etnis Tionghoa yang pindah ke agama Buddha, Katolik, bahkan Islam.
Akibatnya kelenteng menjadi sepi dan hanya untuk tempat ibadah orang-orang yang
beragama Buddha sampai Vihara Budha Warman didirikan pada tahun 1989.
Kajian ini membahas tentang pergesaran fungsi Kelenteng See Hin Kiong
sebagai tempat kegiatan sosial dan pengembangan kebudayaan masyarakat
Tionghoa Padang seiring dengan munculnya kebijakan pemerintah pada masa
pemerintahan Soeharto. Penulis berharap melalui tulisan ini dapat memberikan
74
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
masukan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tentang fungsi kelenteng bagi
masyarakat Tionghoa khususnya di Kota Padang.
B. METODE
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode
sejarah yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan sejarah. Pada
tahapan heurisitik penulis mengumpulkan data berupa dokumen dari Kantor
Sekretariat Kelenteng See Hin Kiong, Arsip Pengurus Kelenteng See Hin Kiong,
Galeri Arsip Statis Kota Padang, Badan Pusat Statistik Kota Padang, Perpustakaan
Universitas Negeri Padang, Perpustakaan Universitas Andalas dan studi lapangan
berupa pengamatan dan wawancara.
Untuk memperkaya informasi penulis menggunakan tulisan tentang Kelenteng
yang ada di Indonesia, baik yang sudah diterbitkan sebagai buku maupun yang
masih berupa laporan penelitian. Di antaranya buku Erniwati yang berjudul Asap
Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat dan Erniwati yang
berjudul 140 Tahun Heng Beng Tong: Sejarah Perkumpulan Tionghoa 1876-2016.
Buku Riniwaty Makmur yang berjudul Orang Padang Tionghoa: Dima Bumi
Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang. Penelitian M. Herwiranto: Kelenteng: Benteng
Terakhir dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa di Indonesia.
Penelitian Fahmi Prihantoro berjudul “Kelenteng, Agama, dan Identitas Budaya
Masyarakat Cina: Studi Kasus pada Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang”.
Pada tahapan kritik sumber penulis melakukan pengolahan data berdasarkan
kategori kritik eksternal dan internal. Pada kritik eksternal penulis meilhat
dokumen/data dari segi fisik dan keaslian data yang di peroleh, sedangkan pada
kritik internal penulis melakukan perbandingan terhadap konten data yang berbicara
mengenai Kelenteng See Hin Kiong. Pada tahapan interpretasi penulis menafsirkan
data-data valid yang didapatkan mengenai Kelenteng See Hin Kiong. Pada tahapan
penulisan sejarah penulis merangkai data yang didapat sesuai dengan kaidah
penulisan penelitian sejarah.
75
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia terutama ke Sumatera Barat tidak
dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi, ditandai dengan jatuhnya dinasti Ming
pada tahun 1683 yang mengakibatkan timbulnya gelombang migrasi besar-besaran
etnis Tionghoa ke berbagai kawasan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (yang
waktu itu dikenal dengan kerajaan Nusantara). Etnis Tionghoa yang datang ke
Indonesia sebagian besar berasal dari dua provinsi yaitu Provinsi Fujien (Fukien)
dan Guandong (Kwan Fu). Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia selama ini
diketahui berdasarkan hasil temuan benda-benda arkeologi perunggu di Sumatera
Selatan yang mempunyai kesamaan dengan perunggu di Tiongkok dari Dinasti Han
(206 SM-221M),1 serta bukti adanya hubungan pelayaran antara Tiongkok dengan
Nusantara pada zaman prasejarah. Pada periode abad 7-16 etnis Tionghoa datang ke
Sumatera Barat didorong oleh hubungan perdagangan.2
Kedatangan etnis Tionghoa ke Padang akhirnya membentuk komunitas
sehingga pada abad ke-17 etnis Tionghoa Padang sudah mengangkat seorang
Kapiten yang bernama Lie Pit sebagai pemimpin mereka di Padang.3 Selanjutnya
sebagai tempat untuk berkumpul dan melaksanakan ritual budaya didirikan
kelenteng yang dinamakan Kelenteng See Hin Kiong. Kelenteng merupakan tempat
peribadatan bagi etnis Tionghoa sekaligus sebagai tempat berkumpulnya seluruh
orang Tionghoa yang berasal dari berbagai marga. Di sana etnis Tionghoa
melakukan berbagai ritual keagamaan, kegiatan sosial, serta tradisi kebudayaan
untuk mempertahankan kebudayaan leluhur.
Kelenteng See Hin Kiong merupakan kelenteng tertua dan satu-satunya yang
ada di Kota Padang dengan lokasi di jalan Kelenteng No.312, Kelurahan Kampung
Pondok, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Kelenteng See Hin Kiong berada
pada 0′ 57′ 44.1′′ arah selatan dan 100′ 21′ 44.0′′ arah barat. Kelenteng See Hin
1
Benny G. Setiono. Tionghoa dalam Pasaran Politik. (Jakarta: Trans Media, 2008) Hlm. 26.
2
Erniwati. Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. (Yogyakarta: Ombak,
2007). Hlm 3.
3
Erniwati. Ibid. Hlm 5.
76
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
Kiong berada pada lahan seluas 27.3x20.5 (559,65 m2) dan bangunan kelenteng
berukuran 15.5x15.5 (240,25 m2).4
Gambar 1
Peta Lokasi Kelenteng See Hin Kiong (Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera
Barat, 2018)
Pada mulanya kelenteng See Hin Kiong bernama Kelenteng Kwam Im Teng.
Kelenteng ini didirikan pada tahun 1841 oleh suku Tjiang dan Tjoan Tjioe yang
berasal dari Tiongkok. Bukti pendirian dapat dilihat melalui tulisan yang tertera di
lonceng (Genta) pertama yang terletak di tengah-tengah bangunan kelenteng
tersebut. 5 Kedatangan suku Tjiang dan Tjoan Tjioe ke Padang untuk berniaga
(dagang). Walaupun kelenteng ini didirikan oleh suku Tjiang dan Tjoan Tjiu, namun
peruntukan Kelenteng ini secara keseluruhan adalah untuk semua etnis Tionghoa
yang ada di Padang.6
4 Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota
Padang. (Padang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, 2018). Hlm 11.
5 Lonceng (genta) ini merupakan pesanan warga etnis Tionghoa Padang ke Tiongkok (Hokkian) pada
tahun 1841 untuk di pakai di Kelenteng See Hin Kiong.
6 Batu Peringatan dari bangsa Hokkian, Tjiang dan Tjoan Tjioe tinggal di Padang: membaharui Se Hin
Kiong. Padang 1 November 1905
77
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
Kelenteng See Hin Kiong pada mulanya berupa bangunan dari kayu. Pada
tahun 1861, karena kelalaian dari Sae Kong (pandita)7 terjadilah kebakaran sehingga
kelenteng tersebut menjadi abu. Pada masa Lie Goan Hwat menjadi kapten, ia
bersama dengan Letnan Lie Lien It serta Letnan Lim Sun Mo sepakat untuk
membangun kembali Kelenteng yang telah terbakar.
Seteleh bermufakat, Lie Goan Hoat berkata:
“ Segala pekerjaan wajib dilanjutkan dan tidak akan disia-siakan,
sekarang Kwan Im Teng sudah terbakar, karena itu haruslah didirikan
kembali yang baru tetapi ongkosnya amat besar, bagaimanakah akan
berbuat?”
Adanya keputusan rapat antara Lie Goan Hoat dengan Letnan Lie Lien It serta
Letnan Lim Sun Mo Kelenteng Kwam In dibangun dengan bantuan dana dari
penyewaan los bambu yang dijadikan sebagai pasar. Hasil dari pasar itu dipungut
untuk pembayaran uang pinjaman tersebut. Pasar kemudian dinamakan dengan
Pasar Tanah Kongsi.8
Pembangunan kelenteng dimulai pada tahun 1893 dan selesai tahun 1905/
tanggal Khong Soe 23 Tahun Theng Yoe. Itu dibuktikan dengan adanya batu
prasasti yang ada di sisi dalam bangunan kelenteng. Salah satu kesulitan dalam
pembangunan kelenteng ini adalah tenaga teknis (tukang kayu) yang sangat sulit
didapatkan untuk membangun kelenteng. Karena memang arsitektur bangunan
kelenteng ini sangat spesifik dan di luar daerah rantau Tionghoa sedikit sekali
ditemukan adanya kelenteng sehingga keberadaan tukang kayu yang bisa untuk
melaksanakan pembangunan kelenteng ini juga sangat susah.
7 Pandita adalah gelar kehormatan bagi sangha (persaudaraan suci para bhiksu), khususnya diIndonesia,
kepada umat buddha yang diakui keahlian dan pemahamannya atas ajaran agama Budha. Kata pandita berarti
orang yang bijaksana. Dalam pengertian ini seorang pandita selayaknya menjadi panutan, pembimbing, dan
pembina umat lainnya. Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama: Pendekatan Budaya Terhadap Aliran
Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Konghucu, di Indonesia Bagian I. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993).
Hlm 182.
8 Batu Peringatan dari bangsa Hokkian, Tjiang dan Tjoan Tjioe tinggal di padang: membaharui Se Hin
Kiong. Padang 1 November 1905
78
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
Lie Goan Hoat berkata:9
“Pekerjaan ini ada memberi pahala pada negeri dan akan mengembirakan
hati”
Berdasarkan fakta tersebut maka Kapten Lie Goan Hoat mengutus seorang
anaknya yang bernama Lie Khong Teek untuk berlayar ke Tiongkok mencari tukang
kayu yang pandai dan ahli untuk membangun kelenteng. Jumlah tukang kayu yang
didatangkan dari Tiongkok sebanyak 10 (sepuluh) orang tukang.10
Gambar 2
Kelenteng See Hin Kiong tahun 1905
(Collectie_Tropenmuseum_Een_chinese_tempel_te_Padang._TMnr_60003313)
Kemudian pada tanggal 1 November 1905 pembangunan kelenteng ini
rampung dan Kelenteng Kwam Im Teng berganti nama menjadi Kelenteng See Hin
Kiong. ”Se” berarti barat dan kependekan dari Se Tjong, ”Hin” berarti timbul atau
9 Menurut perkataan dari kapiten Lie Goan Hoat yang telah berbuat jasa besar itu, tentu “Kwan Im Teng”
akan memberi pahala untuk negeri dan bangsa Tionghoa. Supaya jangan lupa dengan asalnya.
10 Yayasan Kelenteng See Hin Kiong, “ Sejarah Kelenteng See Hin Kiong”, dikutip dari
seehinkiong.com/#sejarah pada tanggal 15 Maret 2018 pukul 15.52 WIB
79
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
terbit (Maknanya agama yang terbit dari “Se Tjong), dan ”Kiong” berarti balairung
atau tempat kedudukan. Jika digabungkan, itu berarti balairung tempat kedudukan
keramat yang beragama Budha.11 See Hin Kiong secara harafiah diartikan “Siapa di
antara mereka itu yang keliru pikirannya, di sanalah tempat ia pergi menenangkan
diri, bagi orang yang sakit juga boleh bertanya obat apa yang harus diambil, bagi
pedagang agar bisa beruntung dan bagi orang dalam negeri agar
memperoleh
selamat”.12
Dalam perkembangannya kemudian Kelenteng See Hin Kiong menjadi tempat
beribadah bagi etnis Tionghoa yang beragama Tao, Konghucu, dan Buddha (yang
dikenal dengan Tridharma). Umat Tridharma melaksanakan ritual sembahyang
kepada dewi Kwam In yaitu seorang dewi Belas kasih dan kepada arwah leluhur
mereka di Kelenteng See Hin Kiong. Sembahyang ini rutin dilakukan hampir setiap
hari. Selain itu juga dilakukan sembahyang untuk memperingati hari-hari besar
Tionghoa, sembahyang rutin dalam 3 kali satu tahun. Adapun sembahyang itu
adalah Sembahyang Tutup Tahun (Imlek), Sembahyang Bulan Tiga (Ceng Beng),
Sembahyang Bulan Tujuh (Chong Yen Cie). 13 Hal ini merupakan tradisi yang
dilaksanakan secara turun-temurun dari leluhur etnis Tionghoa dan dilakukan oleh
semua kalangan etnis Tionghoa yang ada di Kota Padang.
Pada masa pemerintahan Soekarno etnis Tionghoa diberikan kebebasan untuk
bergerak di bidang politik. Hal ini dilihat dari munculnya etnis Tionghoa yang
11 Yayasan Kelenteng See Hin Kiong, “ Sejarah Kelenteng See Hin Kiong”, dikutip dari
seehinkiong.com/#sejarah pada tanggal 15 Maret 2018 pukul 15.52 WIB
Antonius Taufik, “Kelenteng See Hin Kiong – Padang,” dikutip dari Kelenteng.com/Kelenteng-seehien-kiong-padang/ pada tanggal 30 Desember 2017 pukul 01.36 WIB
12
13
Sembahyang tutup tahun (Imlek), dilaksanakan satu hari sebelum hari raya imlek. Dimulai pukul
11.00 WIB samai pukul 01.00 WIB, hal ini di anggap sebagai permulaan dari pergerakan waktu yaitu pada
tanggal 30 bulan 12 imlek. Sembahyang ini diadakan untuk menghormati dan memuliakan leluhur dan bertujuan
untuk memberi tahu kepada leluhur bahwa tahun yang baru akan segera datang, serta meminta perlindungan,
keselamatan, kemakmuran, ditahun yang baru. Selanjutnya sembahyang bulan tiga (ceng beng), ceng beng
berarti terang, yang dipercaya oleh orang Tionghoa Padang sebagai tahun malaikat. pada hari itu orang
Tionghoa Padang berziarah ke makam, berdoa dan sembahyang sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing. Kemudian, sembahyang bulan tujuh (Chong Yen Cie), sembahyang bulan tujuh dilakukan pada bulan
ke 7 tanggal 15 dalam penanggalan Tiongkok. Pada sembahyang bulan tujuh roh-roh dan arwah-arwah
dipercaya diberi kebebasan selama satu bulan penuh ke bumi. Masyarakat Tionghoa Padang yang menganut
kepercayaan tradisional menyelenggarakan sembahyang untuk menyajikan sajian bagi roh-roh dan arwah
tersebut. Setelah sembahyang apa yang disajikan bihsa direbut atau dibagikan pada yang membutuhkan.Syamsi
Kosasi, Wawancara. Wakil Yayasan Kelenteng See Hin Kiong. Pada Tanggal 06 Agustus 2018. Lihat Juga
Riniwaty Makmur. Orang Padang Tionghoa: Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang. (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2018). Hlm. 175.
80
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
memiliki jabatan sebagai menteri pada masa itu, salah satunya adalah Lie Kiat Teng
yang
menjabat
sebagai
Menteri
Kesehatan.
membolehkan etnis Tionghoa mengekspresikan
Pemerintah
Soekarno
juga
kebudayaan mereka serta
menjalankan agama dan keyakinan mereka. Selain itu, pada masa Soekarno
pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang
ekonomi yaitu PP No.10/1959 yang isinya melarang etnis Tionghoa berdagang di
wilayah pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Insiden ini terjadi karena
interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya tidak terjalin dengan baik. Hal
lain yang menjadi masalah utama munculnya peraturan tersebut adalah karena
kesenjangan perekonomian yang terlihat jelas antara pedagang Tionghoa
dibandingkan dengan pedagang yang berasal dari etnis lain. Peraturan ini membatasi
secara tegas peran dan hak ekonomi etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan
berdagang sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat
kecamatan apalagi di desa-desa. Sebagai tandingan dalam persaingan usaha
perdagangan
antara
etnis
Tionghoa
dengan
etnis
lainnya,
pemerintahan
memperkenalkan program Benteng agar mampu mengimbangi para pedagang
Tionghoa. 14 Akibat dari kebijakan ini, etnis Tionghoa terpaksa meninggalkan
pemukiman mereka yang telah terbentuk di pedesaan-pedesaan. Sepanjang tahun
1959 hingga 1960, himbauan pengusiran terhadap etnis Tionghoa didukung oleh
pihak TNI AD. 136.000 orang Tionghoa angkat kaki dari Indonesia menuju negara
lain, sedangkan 100.000 di antaranya kembali ke Tiongkok.15
Pengusiran terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di desa-desa dampaknya di
Padang tidak terlalu terlihat karena Padang merupakan suatu daerah perkotaaan dan
merupakan daerah rantaunya orang Minangkabau. Maka peraturan tentang
perekonomian yang dikeluarkan pemerintah Soekarno yang melibatkan orang
Tionghoa di Padang tidak terlalu berpengaruh. Masa peralihan kekuasaan berpindah
ke tangan Soeharto setelah terjadinya peristiwa G30S. Etnis Tionghoa yang dilabeli
sebagai komunis yang dianggap menjadi dalang dalam peristiwa tersebut akhirnya
14 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. (Jakarta:
Gramedia, 2009). Hlm 312.
15 J.A.C.Mackie. Anti Chinese Outbreak in Indonesia 1959-1968, dalam The Chinese in Indonesia: Five
Essays. (Melbourne: Thomas Nelson, 1976). Hlm 82.
81
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
kembali mendapat perlakuan secara khusus. perlakuan khusus tersebut juga
berdampak terhadap Klenteng See Hin Kiong di Padang.
Pada tahun 1962 Kelenteng See Hin Kiong kedatangan Bhikkhu Yang Arya
Ashin Jinarakhita yang sekarang dikenal dengan Yang Arya Maha Sthavira Ashin
Jinarakkhita Maha Thera (Ketua Shangha Agung Indonesia) yang merupakan tokoh
dan pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia, atas kedatanganya
Bhikkhu Yang Arya Ashin Jinarakhita mengubah fungsi Kelenteng See Hin Kiong
menjadi tempat pengembangan ajaran Budha Darma, akan tetapi tidak menutup
ruang bagi penganut Taoisme dan Konghucu untuk menjalankan ritualnya di
Kelenteng See Hin Kiong. Atas kedatangan Bhikkhu Yang Arya Bhikkhu Ashin
Jinarakhita ini lah yang melatar belakangi berdirinya Vihara agama budha di Jalan
Kelenteng I/3 Padang yang sekarang kita kenal dengan nama Vihara Buddha
Warman yang berarti Cahaya/ Sinar Buddha.
Selain sebagai tempat ibadah, kelenteng pada masa Soekarno juga berfungsi
sebagai tempat kegiatan sosial dan berkumpulnya etnis Tionghoa. Kelenteng
sebagai wadah untuk mendekatkan dan menjaga serta mempererat tari persaudaraan
antar etnis Tionghoa terutama penganut Tridharma. Kegiatan sosial dan
pengembangan kebudayaan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa biasanya
digelar pada hari-hari besar tertentu, seperti tahun baru Imlek dan hari ulang tahun
Kelenteng. Kelenteng dijadikan sebagai tempat berkumpul kelompok kesenian
tarian Naga-Singa atau Liong Samsi yang biasa disebut tarian Barongsai. 16 Yang
berkumpul di kelenteng tidak hanya kelompok muda-mudi dari kalangan etnis
Tionghoa tetapi juga dari kalangan etnis lainnya, termasuk dari etnis Minangkabau.
Di saat acara arak-arakan Cap Go Meh masing-masing marga juga mengunjungi
kelenteng sebagai wujud penghormatan, mulai saat mengawali upacara sampai ke
penutupan. Arak-arakan Toapekong atau Kio akan melakukan penghormatan
kepada dewa dan dewi yang ada di kelenteng sebelum di arak berkeliling kampung
Tionghoa.17
M Herwiratno, “Kelenteng: Benteng terakhir dan titik awal perkembangn Kebudayaa Tionghoa di
Indonesia, Jurnal: Lingua Cultura Vol.1 No. 1Mei 2007. Hlm 82.
16
17
Kio merupakan dewa-dewi yang terdapat dimasing-masing rumah marga Tionghoa yang ada dipadang.
82
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
Selain itu, Kelenteng See Hin Kiong juga diyakini dapat memberikan
kesembuhan bagi masyarakat yang mempercayai pengobatan tradisional Tionghoa.
Bahkan tetesan air yang berasal dari mulut naga bagian atap Kelenteng See Hin
Kiong diyakini mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti kanker dan
berbagai macam penyakit lainnya. Dari hasil wawancara Penulis kepada pak Gani
yang berumur 78 tahun, beliau mengatakan:
“untuk obat ada saya tanam, untuk orang sakit kanker ada saya tanam,
orang bisu-bisu itu batangnya disana, tumbuhannya direbus lalu
diminum airnya, tapi ga ada orang datang kepada saya, kalau mau datang
sama saya, datang, kalo bisa saya obat dan saya tidak mengharapkan
uang, saya mencari amal” 18
Menurut Syamsi Kosasi sebagai wakil pengurus Kelenteng See Hin Kiong
mengatakan:
“dulu ada orang minta doa karena sakit, dia udah ke dokter ga mempan
juga, hingga dia berdoa di kelenteng kemudian dia siapkan sesajian,
kemudian ada kertas hu namanya (Jimat) nanti diambil kan sudah didoa,
lalu dibakar diminum airnya, sejak dulu sampai sekarang masih kita
sediakan kertas itu” 19
Kelenteng See Hin Kiong kemudian juga berfungsi sebagai tempat melapor
jika ada keluarga dari etnis Tionghoa yang meninggal. Setelah keluarga melaporkan
ada yang meninggal kepada kongsi maka kongsi kemudian akan memberikan surat
pengantar pengurusan untuk mendapatkan lahan perkuburan di TPU kepada
kelenteng. Setelah menerima laporan tersebut kemudian kelenteng akan
membuatkan surat pengantar kepada pemerintah Kota Padang. Kelenteng See Hin
Kiong berfungsi sebagai media yang menghubungkan etnis Tionghoa yang
membutuhkan lahan pemakaman dengan pemerintah Kota Padang.20
Di Kelenteng See Hin Kiong juga terdapat ritual yang di kenal Ramalan
Tjiamsie yaitu sebuah ritual yang dilakukan untuk meramal nasib seseorang dengan
menggunakan dua balok kayu dan kertas-kertas syair untuk mengetahui
peruntungan nasib seseorang. Ramalan Tjiamsie befungsi sebagai tempat mencari
18 Ghan Se Pioe, Wawancara. Masyarakat Tionghoa Kota Padang juga penjaga rumah abu. Pada
Tanggal 31 Juli 2018.
19
Syamsi Kosasi, Wawancara. Wakil Yayasan Kelenteng See Hin Kiong. Pada Tanggal 06 Agustus
20
Syamsi Kosasi, Ibid
2018.
83
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
jawaban di saat etnis Tionghoa sedang bingung atau ragu untuk mengambil sebuah
keputusan yang penting, baik berhubungan dengan urusan bisnis,
maupun urusan jodoh. Ramalan
pekerjaan
Tjiamsie dipimpin langsung oleh pengurus
kelenteng bagian kebudayaan. Tata cara Tjiamsie diawali dengan berdoa sebagai
bentuk persetujuan dari dewa, kemudian diambil 28 batang bambu kecil berukuran
10 cm yang berbentuk sumpit, setiap bambu memiliki nomor yang telah
disesuaikan. kemudian orang Tionghoa menyebutkan nama dan usianya dalam hati
sembari mengambil satu batang bambu, setelah itu dicocokkan dengan 28 kertas
dalam ramalan Tjiamsie. Kertas-kertas syair
berisi syair dan ramalan berupa
peruntungan karier, jodoh, rezeki, dan kehidupan rumah tangga.21
Perubahan besar terjadi setelah peristiwa gerakan 30 September 1965 yang
memposisikan etnis Tionghoa sebagai bagian dari komunis. Identifikasi ini
berdampak terhadap posisi etnis Tionghoa dalam politik Indonesia. Etnis Tionghoa
kemudian berada di dalam kontrol politik negara yang tidak memihak, di antaranya
adalah deskriminasi dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967
tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.
22
Dikeluarkannya
kebijakan tersebut melarang segala aktifitas berbau Tionghoa di depan umum.
Akibatnya, budaya Tionghoa hanya untuk orang-orang Tionghoa saja dan dilakukan
secara tertutup dan sederhana.
Adapun ketentuan-ketentuan pokok yang terkandung dalam Inpres no.14
tahun 1967 yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain:
1.
Tanpa mengurai jaminan keleluasaan memeluk agama dan menuaikan
ibadatnya, tata cara ibadat Tiongkok yang memiliki aspek aftinitas cultural
yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara
intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.
21 Sebagian warga Tionghoa masih menganggap ramalan ini dapat menuntun mereka untuk menjalani
hidup dan menghapus nasib buruk paling tidak dapat menguranginya. Tjiamsie dimanfaatkan juga untuk
memulai dalam mengembangkan bisnis dan meningkatkan karier serta menapak masa depan yang lebih indah
disaat peruntungan sangat baik. Edy Yusuf, Wawancara. Mantan ketua Kelenteng See Hin Kiong periode 20042012. Pada Tanggal 11 Agustus 2018. Lihat juga Ika Ningtyas. “Aktivitas Sosial dan Budaya Etnis Tionghoa di
Kelenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi 1967-2010”. Tesis Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas
Maret. Hlm 16.
22
Erniwati, Op Cit, 2016. Hlm 192.
84
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
2.
Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Tiongkok dilakukan secara
tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan
keluarga.
3.
Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksaan cara-cara
beribadat agama, kepercayaan dan adat-istiadat Tiongkok diatur oleh Menteri
Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung.
4.
Pengamanan dan penerbitan terhadap pelaksaan kebijakan pokok ini diatur
oleh Menteri Dalam Negeri bersama Jaksa Agung. Instruksi mulai berlaku
pada hari ditatapkan 6 Desember 1967.
Semenjak dikeluarkannya Inpres No.14/1967 pada tanggal 6 Desember 1967,
perayaan Imlek etnis Tionghoa di kota Padang masih bisa dilaksanakan. Hanya saja
secara sangat sederhana sehingga imlek sangat sepi dan hanya dalam lingkungan
keluarga saja. Perayaan hanya dilaksanakan di dalam gedung perhimpunan atau di
rumah marga. Selain itu etnis Tionghoa juga mengunjungi kelenteng untuk
melakukan upacara sembahyang. Tetapi apabila rumah mereka memiliki altar, maka
sembahyang juga dapat dilakukan di rumah masing-masing. Pada waktu itu
kelenteng hanya dihias sederhana bahkan tidak dibolehkan menggunakan pernakpernik yang terlalu mencolok.23 Pernak-pernik seperti Tenglong (Lampion) hanya
boleh dipasang didalam rumah. Samseng 24 tidak lagi disajikan. Hal yang selalu
dilakukan oleh etnis Tionghoa Padang adalah melakukan sembahyang di pagi hari
kemudian berkumpul dengan keluarga di rumah keluarga yang paling tertua untuk
makan bersama, selanjutnya membagikan Ang pau.25
Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada pak Gani yang berumur
78 tahun, beliau mengatakan:
“ Keadaan Kelenteng waktu itu aman, cuman perayaan tidak ada,
kelenteng sepi, tapi tetap ada orang sembahyang tapi untuk perayaan
23
Charles A. Coppel. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. (Jakarta: Sinar Harapan, 1993). Hlm. 207.
24 Samseng adalah makanan yang berasal dari tiga bahan yaitu darat, laut dan udara. Hewan darat
diwakili oleh babi yang melambangkan kemakmuran. Hewan dari laut diwakili oleh ikan yang melambangkan
anugerah agar rezeki terus melimpah, dan ayam mewakili hewan udara yang memaknai manusia tidak boleh
sombong. Eddy Sadeli, Subangsih suku Tionghoa untuk Tanah air Indonesia. (Jakarta: lembaga penelitian dan
pengabdian masyarakat Tionghoa di Indonesia, 2009) hlm. 11.
25
Ang pau berasal dari lafal dialek Hokkian yang artinya amplop merah berisikan uang yang
diberikan pada anak-anak atau orang yang belum menikah pada Tahun Baru Imlek.
85
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
sembahyang tinggi tu tidak ada lagi, acara Imlek hanya dalam gedung
(Kelenteng) ini saja dan rumah masing-masing”. 26
Menurut Syamsi Kosasi sebagai wakil pengurus Kelenteng See Hin Kiong, Ia
mengatakan:
“ Kelenteng waktu itu biasa-biasa saja ya gak ada apa-apa, orang tetap
ritual ya tetap ritual, ga ada terganggu, cuman yang dilarangkan berbaur
kebudayaannya seperti barongsai, acara perayaan dulu ga ada, takut juga,
dulu kami ga sampai fikiran kesana, udah dilarang ya udah, paling intern
pribadi aja dulu, atau di kelenteng ini kumpul-kumpul begitu aja, takut
nanti salah kaprah karena dilarang kok dibikin juga kan gitu, karena kita
antisipasi jangan sampai terjadi kurang bagus udah lah kita tahan diri
aja”. 27
Pada tahun 1978 pemerintah Soeharto kembali menerbitkan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978
yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah RI pada saat itu adalah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Akibatnya, penganut agama Konghucu
dan Tao banyak yang pindah ke agama Buddha, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
bahkan Islam. Akibatnya kelenteng menjadi sepi dan hanya untuk tempat ibadah
orang-orang yang beragama Buddha dan secara diam-diam menganut Konghucu
meskipun di dalam Kartu Tanda Pengenal (KTP) menganut agama resmi negara.
Dalam perkembangannya kemudian, penganut agama Buddha lama kelamaan
juga meninggalkan Kelenteng See Hin Kiong setelah pendeta memindahkan tempat
ibadah ke Cetiya Bodhi Jaya di Pulau Karam dan ditingkatkan menjadi pusat
pengembangan Budha Cetiya Budha Warman di Vihara Jalan Muara no. 34 Padang
pada tahun 1989.28 Sementara itu fungsi kelenteng sebagai sarana sosial dan tempat
berkumpul etnis Tionghoa Padang beralih fungsi kepada perkumpulan marga dan
perkumpulan sosial, budaya dan pemakaman Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan
Himpunan Tjinta Teman (HTT) serta Perkumpulan Sosial Katolik dan Pemakaman
26
Ghan Se Pioe, Wawancara. Masyarakat Tionghoa Kota Padang juga penjaga rumah abu. Pada Tanggal
31 Juli 2018.
27
Syamsi Kosasi, Wawancara. Wakil Yayasan Kelenteng See Hin Kiong. Pada Tanggal 06 Agustus
2018.
28 Pada tahun 1978 ajaran budha ditingkatkan kembali menjadi Maha Cetiya Buddha Warman dan
tahuun 1980 menjadi Vihara Buddha Warman. Erniwati. 140 Tahun Heng Beng Tong: Sejarah Perkumpulan
Tionghoa 1876-2016. (Depok: Penerbit Komunitas Bambu. 2016). Hlm 195.
86
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
(PSKP) Santa Yusuf. Akibatnya Kelenteng See Hin Kiong hanya berfungsi sebagai
tempat sembahyang kepada leluhur saja.29
D. KESIMPULAN
Perubahan politik negara ikut mempengaruhi terjadinya perubahan fungsi
terhadap tempat ibadah terutama bagi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia.
Pembatasan pelaksanaan budaya dan agama tradisional etnis Tionghoa ikut
memengaruhi terjadinya perubahan fungsi Kelenteng See Hin Kiong yang semula
menjadi sentral kegiatan etnis Tionghoa Padang dari seluruh aspek kehidupan.
Kelenteng yang awalnya sebagai tempat kegiatan sosial, pengembangan
kebudayaan, ritual keagamaan, dan pemakaman bagi etnis Tionghoa yang memeluk
ajaran Tridharma mengalami perubahan fungsi sehingga kelenteng hanya sebagai
tempat melakukan ritual upacara sembahyang nenek moyang dan media bagi etnis
Tionghoa untuk mengurus lahan perkuburan bagi keluarga yang telah meninggal
sebelum ke Pemerintah Kota Padang.
DAFTAR RUJUKAN
Antonius Taufik. “Kelenteng See Hin Kiong – Padang,” diakses tanggal 30
Desember 2017 dari Kelenteng.com/Kelenteng-see-hien-kiong-padang/.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. (2018). Deskripsi Cagar Budaya
Tidak Bergerak Kota Padang. Padang: Balai Pelestarian Cagar Budaya
Sumatera Barat.
Batu Peringatan dari bangsa Hokkian, Tjiang dan Tjoan Tjioe tinggal di padang:
membaharui Se Hin Kiong. Padang 1 November 1905.
Benny G. Setiono. (2008). Tionghoa dalam Pasaran Politik. Jakarta: Trans Media.
Coppel, Charles A. (1993). Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Sinar
Harapan.
29
Erniwati. Ibid
87
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU
Eddy Sadeli. (2009). Subangsih suku Tionghoa untuk Tanah air Indonesia. Jakarta:
lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Erniwati. (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera
Barat. Yogyakarta: Ombak.
Erniwati. (2016). 140 Tahun Heng Beng Tong: Sejarah Perkumpulan Tionghoa
1876-2016. Depok: Penerbit Komunitas Bambu.
Ghan Se Pioe, Wawancara. Masyarakat Tionghoa Kota Padang juga penjaga rumah
abu. Pada Tanggal 31 Juli 2018.
Hilman Hadikusuma. (1993). Antropologi Agama: Pendekatan Budaya Terhadap
Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Konghucu, di Indonesia Bagian I.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
J.A.C.Mackie. (1976). Anti Chinese Outbreak in Indonesia 1959-1968, dalam The
Chinese in Indonesia: Five Essays. Melbourne: Thomas Nelson.
Justian Suhandinata. (2009). WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan
Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
M Herwiratno. (2007). Kelenteng: Benteng terakhir dan titik awal perkembangn
Kebudayaa Tionghoa di Indonesia, Jurnal: Lingua Cultura, 1(1), 82.
Riniwaty Makmur. (2018). Orang Padang Tionghoa: Dima Bumi Dipijak, Disinan
Langik Dijunjuang. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Syamsi Kosasi. Wawancara. Wakil Yayasan Kelenteng See Hin Kiong. Pada
Tanggal 06 Agustus 2018.
Yayasan Kelenteng See Hin Kiong, “ Sejarah Kelenteng See Hin Kiong”, diakses
tanggal 15 Maret 2018 dari seehinkiong.com/#sejarah
88
Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018
Download