JURNAL ILMU SEJARAH DAN PENDIDIKAN JURNAL DIAKRONIKA Membangun Masa Depan dengan Kerangka Masa Lalu http://diakronika.ppj.unp.ac.id KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU Rober Bastian, Erniwati, Etmi Hardi [email protected] Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang Abstrak Penelitian ini membahas mengenai Kelenteng See Hin Kiong sebagai Benteng bagi umat Konghucu di Kota Padang pada masa Orde Baru. Penelitian ini menggunakan konsep perubahan untuk melihat perubahan fungsi yang dialami oleh kelenteng pada masa Orde Baru. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode sejarah yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisam sejarah. Hasil penelitian ini adalah bahwa perubahan fungsi kelenteng disebabkan oleh kebijakan politik negara pada masa Soeharto yang membatasi aktifitas sosial dan budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia. Kelenteng See Hin Kiong yang semula menjadi pusat seluruh akttifitas kehidupan etnis Tionghoa Padang dengan kesadaran yang kuat akan etnis ke-Tionghoa-annya mengalamin perubahan hanya sebagai tempat ibadah dan media masyarakat Tionghoa Padang mengurus tempat pemakamaman dengan pemerintah kota. Perubahan fungsi kelenteng ini juga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak mengakui agama Konghucu di Indonesia. Hal ini menyebabkan penganut konghucu meleburkan diri ke agama Budha yang sama-sama melakukan sembahyang leluhur di kelenteng. Kelenteng See Hin Kiong semakin kurang dikunjungi oleh etnis Tionghoa setelah agama Budha memiliki tempat ibadah sendiri yaitu Vihara. Kata kunci: Kelenteng, Perubahan Fungsi, Orde Baru © 2018 Universitas Negeri Padang pISSN 1411-1764 eISSN 2620-9446 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU A. PENDAHULUAN Kedatangan etnis Tionghoa sudah terjadi berabad-abad yang lalu menandakan bahwa etnis Tionghoa yang datang ke Indonesia termasuk Sumatera Barat sudah menjadi salah satu etnis yang merupakan bagian dari keberagaman etnis di Indonesia. Asal usul kedatangan bermula dari kepentingan perdagangan, akhirnya menyisakan etnis Tionghoa yang menetap di Sumatera barat termasuk di Padang. Sebagai salah satu etnis yang sudah lama tinggal di Indonesia, posisi etnis Tionghoa sangat dipengaruhi oleh politik negara dimana etnis tersebut tinggal. Ketika terjadi kudeta tahun 1965 yang diprakarsai oleh kelompok komunis, maka tumbuhlah image yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa identik dengan komunis, karena Tiongkok berorientasi kepada komunis. Kedudukan etnis Tionghoa pun berada pada posisi yang dimarjinalkan. Mereka masih tergantung kepada politik pemerintah yang berlaku sehingga mereka seperti dikontrol oleh otoritas yang sedang berkuasa. Kontrol dari pihak otoritas yang berpengaruh kepada etnis Tionghoa juga dilakukan terhadap tempat ibadah, termasuk Kelenteng See Hin Kiong Padang. Pada masa pemerintahan Soeharto kelenteng mengalami pergeseran fungsi terutama dengan dikeluarkan kebijakan Intruksi Presiden No.14 Tahun 1967 yang melarang segala aktifitas berbau Tionghoa. Pelarangan kebudayaan Tionghoa menyebabkan budaya Tionghoa hanya untuk etnis Tionghoa saja dan dilakukan secara tertutup dan sederhana. Sebagai tempat ibadah, sosial dan budaya etnis Tionghoa, kelenteng tidak diperbolehkan menyelenggarakan kebudayaan di depan umum. Kemudian disusul dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tahun 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah RI pada saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha membuat agama Konghucu tidak jelas statusnya. Hal ini menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa yang pindah ke agama Buddha, Katolik, bahkan Islam. Akibatnya kelenteng menjadi sepi dan hanya untuk tempat ibadah orang-orang yang beragama Buddha sampai Vihara Budha Warman didirikan pada tahun 1989. Kajian ini membahas tentang pergesaran fungsi Kelenteng See Hin Kiong sebagai tempat kegiatan sosial dan pengembangan kebudayaan masyarakat Tionghoa Padang seiring dengan munculnya kebijakan pemerintah pada masa pemerintahan Soeharto. Penulis berharap melalui tulisan ini dapat memberikan 74 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU masukan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tentang fungsi kelenteng bagi masyarakat Tionghoa khususnya di Kota Padang. B. METODE Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan sejarah. Pada tahapan heurisitik penulis mengumpulkan data berupa dokumen dari Kantor Sekretariat Kelenteng See Hin Kiong, Arsip Pengurus Kelenteng See Hin Kiong, Galeri Arsip Statis Kota Padang, Badan Pusat Statistik Kota Padang, Perpustakaan Universitas Negeri Padang, Perpustakaan Universitas Andalas dan studi lapangan berupa pengamatan dan wawancara. Untuk memperkaya informasi penulis menggunakan tulisan tentang Kelenteng yang ada di Indonesia, baik yang sudah diterbitkan sebagai buku maupun yang masih berupa laporan penelitian. Di antaranya buku Erniwati yang berjudul Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat dan Erniwati yang berjudul 140 Tahun Heng Beng Tong: Sejarah Perkumpulan Tionghoa 1876-2016. Buku Riniwaty Makmur yang berjudul Orang Padang Tionghoa: Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang. Penelitian M. Herwiranto: Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Penelitian Fahmi Prihantoro berjudul “Kelenteng, Agama, dan Identitas Budaya Masyarakat Cina: Studi Kasus pada Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang”. Pada tahapan kritik sumber penulis melakukan pengolahan data berdasarkan kategori kritik eksternal dan internal. Pada kritik eksternal penulis meilhat dokumen/data dari segi fisik dan keaslian data yang di peroleh, sedangkan pada kritik internal penulis melakukan perbandingan terhadap konten data yang berbicara mengenai Kelenteng See Hin Kiong. Pada tahapan interpretasi penulis menafsirkan data-data valid yang didapatkan mengenai Kelenteng See Hin Kiong. Pada tahapan penulisan sejarah penulis merangkai data yang didapat sesuai dengan kaidah penulisan penelitian sejarah. 75 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU C. HASIL DAN PEMBAHASAN Kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia terutama ke Sumatera Barat tidak dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi, ditandai dengan jatuhnya dinasti Ming pada tahun 1683 yang mengakibatkan timbulnya gelombang migrasi besar-besaran etnis Tionghoa ke berbagai kawasan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (yang waktu itu dikenal dengan kerajaan Nusantara). Etnis Tionghoa yang datang ke Indonesia sebagian besar berasal dari dua provinsi yaitu Provinsi Fujien (Fukien) dan Guandong (Kwan Fu). Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia selama ini diketahui berdasarkan hasil temuan benda-benda arkeologi perunggu di Sumatera Selatan yang mempunyai kesamaan dengan perunggu di Tiongkok dari Dinasti Han (206 SM-221M),1 serta bukti adanya hubungan pelayaran antara Tiongkok dengan Nusantara pada zaman prasejarah. Pada periode abad 7-16 etnis Tionghoa datang ke Sumatera Barat didorong oleh hubungan perdagangan.2 Kedatangan etnis Tionghoa ke Padang akhirnya membentuk komunitas sehingga pada abad ke-17 etnis Tionghoa Padang sudah mengangkat seorang Kapiten yang bernama Lie Pit sebagai pemimpin mereka di Padang.3 Selanjutnya sebagai tempat untuk berkumpul dan melaksanakan ritual budaya didirikan kelenteng yang dinamakan Kelenteng See Hin Kiong. Kelenteng merupakan tempat peribadatan bagi etnis Tionghoa sekaligus sebagai tempat berkumpulnya seluruh orang Tionghoa yang berasal dari berbagai marga. Di sana etnis Tionghoa melakukan berbagai ritual keagamaan, kegiatan sosial, serta tradisi kebudayaan untuk mempertahankan kebudayaan leluhur. Kelenteng See Hin Kiong merupakan kelenteng tertua dan satu-satunya yang ada di Kota Padang dengan lokasi di jalan Kelenteng No.312, Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Kelenteng See Hin Kiong berada pada 0′ 57′ 44.1′′ arah selatan dan 100′ 21′ 44.0′′ arah barat. Kelenteng See Hin 1 Benny G. Setiono. Tionghoa dalam Pasaran Politik. (Jakarta: Trans Media, 2008) Hlm. 26. 2 Erniwati. Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. (Yogyakarta: Ombak, 2007). Hlm 3. 3 Erniwati. Ibid. Hlm 5. 76 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU Kiong berada pada lahan seluas 27.3x20.5 (559,65 m2) dan bangunan kelenteng berukuran 15.5x15.5 (240,25 m2).4 Gambar 1 Peta Lokasi Kelenteng See Hin Kiong (Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, 2018) Pada mulanya kelenteng See Hin Kiong bernama Kelenteng Kwam Im Teng. Kelenteng ini didirikan pada tahun 1841 oleh suku Tjiang dan Tjoan Tjioe yang berasal dari Tiongkok. Bukti pendirian dapat dilihat melalui tulisan yang tertera di lonceng (Genta) pertama yang terletak di tengah-tengah bangunan kelenteng tersebut. 5 Kedatangan suku Tjiang dan Tjoan Tjioe ke Padang untuk berniaga (dagang). Walaupun kelenteng ini didirikan oleh suku Tjiang dan Tjoan Tjiu, namun peruntukan Kelenteng ini secara keseluruhan adalah untuk semua etnis Tionghoa yang ada di Padang.6 4 Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang. (Padang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, 2018). Hlm 11. 5 Lonceng (genta) ini merupakan pesanan warga etnis Tionghoa Padang ke Tiongkok (Hokkian) pada tahun 1841 untuk di pakai di Kelenteng See Hin Kiong. 6 Batu Peringatan dari bangsa Hokkian, Tjiang dan Tjoan Tjioe tinggal di Padang: membaharui Se Hin Kiong. Padang 1 November 1905 77 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU Kelenteng See Hin Kiong pada mulanya berupa bangunan dari kayu. Pada tahun 1861, karena kelalaian dari Sae Kong (pandita)7 terjadilah kebakaran sehingga kelenteng tersebut menjadi abu. Pada masa Lie Goan Hwat menjadi kapten, ia bersama dengan Letnan Lie Lien It serta Letnan Lim Sun Mo sepakat untuk membangun kembali Kelenteng yang telah terbakar. Seteleh bermufakat, Lie Goan Hoat berkata: “ Segala pekerjaan wajib dilanjutkan dan tidak akan disia-siakan, sekarang Kwan Im Teng sudah terbakar, karena itu haruslah didirikan kembali yang baru tetapi ongkosnya amat besar, bagaimanakah akan berbuat?” Adanya keputusan rapat antara Lie Goan Hoat dengan Letnan Lie Lien It serta Letnan Lim Sun Mo Kelenteng Kwam In dibangun dengan bantuan dana dari penyewaan los bambu yang dijadikan sebagai pasar. Hasil dari pasar itu dipungut untuk pembayaran uang pinjaman tersebut. Pasar kemudian dinamakan dengan Pasar Tanah Kongsi.8 Pembangunan kelenteng dimulai pada tahun 1893 dan selesai tahun 1905/ tanggal Khong Soe 23 Tahun Theng Yoe. Itu dibuktikan dengan adanya batu prasasti yang ada di sisi dalam bangunan kelenteng. Salah satu kesulitan dalam pembangunan kelenteng ini adalah tenaga teknis (tukang kayu) yang sangat sulit didapatkan untuk membangun kelenteng. Karena memang arsitektur bangunan kelenteng ini sangat spesifik dan di luar daerah rantau Tionghoa sedikit sekali ditemukan adanya kelenteng sehingga keberadaan tukang kayu yang bisa untuk melaksanakan pembangunan kelenteng ini juga sangat susah. 7 Pandita adalah gelar kehormatan bagi sangha (persaudaraan suci para bhiksu), khususnya diIndonesia, kepada umat buddha yang diakui keahlian dan pemahamannya atas ajaran agama Budha. Kata pandita berarti orang yang bijaksana. Dalam pengertian ini seorang pandita selayaknya menjadi panutan, pembimbing, dan pembina umat lainnya. Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama: Pendekatan Budaya Terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Konghucu, di Indonesia Bagian I. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993). Hlm 182. 8 Batu Peringatan dari bangsa Hokkian, Tjiang dan Tjoan Tjioe tinggal di padang: membaharui Se Hin Kiong. Padang 1 November 1905 78 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU Lie Goan Hoat berkata:9 “Pekerjaan ini ada memberi pahala pada negeri dan akan mengembirakan hati” Berdasarkan fakta tersebut maka Kapten Lie Goan Hoat mengutus seorang anaknya yang bernama Lie Khong Teek untuk berlayar ke Tiongkok mencari tukang kayu yang pandai dan ahli untuk membangun kelenteng. Jumlah tukang kayu yang didatangkan dari Tiongkok sebanyak 10 (sepuluh) orang tukang.10 Gambar 2 Kelenteng See Hin Kiong tahun 1905 (Collectie_Tropenmuseum_Een_chinese_tempel_te_Padang._TMnr_60003313) Kemudian pada tanggal 1 November 1905 pembangunan kelenteng ini rampung dan Kelenteng Kwam Im Teng berganti nama menjadi Kelenteng See Hin Kiong. ”Se” berarti barat dan kependekan dari Se Tjong, ”Hin” berarti timbul atau 9 Menurut perkataan dari kapiten Lie Goan Hoat yang telah berbuat jasa besar itu, tentu “Kwan Im Teng” akan memberi pahala untuk negeri dan bangsa Tionghoa. Supaya jangan lupa dengan asalnya. 10 Yayasan Kelenteng See Hin Kiong, “ Sejarah Kelenteng See Hin Kiong”, dikutip dari seehinkiong.com/#sejarah pada tanggal 15 Maret 2018 pukul 15.52 WIB 79 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU terbit (Maknanya agama yang terbit dari “Se Tjong), dan ”Kiong” berarti balairung atau tempat kedudukan. Jika digabungkan, itu berarti balairung tempat kedudukan keramat yang beragama Budha.11 See Hin Kiong secara harafiah diartikan “Siapa di antara mereka itu yang keliru pikirannya, di sanalah tempat ia pergi menenangkan diri, bagi orang yang sakit juga boleh bertanya obat apa yang harus diambil, bagi pedagang agar bisa beruntung dan bagi orang dalam negeri agar memperoleh selamat”.12 Dalam perkembangannya kemudian Kelenteng See Hin Kiong menjadi tempat beribadah bagi etnis Tionghoa yang beragama Tao, Konghucu, dan Buddha (yang dikenal dengan Tridharma). Umat Tridharma melaksanakan ritual sembahyang kepada dewi Kwam In yaitu seorang dewi Belas kasih dan kepada arwah leluhur mereka di Kelenteng See Hin Kiong. Sembahyang ini rutin dilakukan hampir setiap hari. Selain itu juga dilakukan sembahyang untuk memperingati hari-hari besar Tionghoa, sembahyang rutin dalam 3 kali satu tahun. Adapun sembahyang itu adalah Sembahyang Tutup Tahun (Imlek), Sembahyang Bulan Tiga (Ceng Beng), Sembahyang Bulan Tujuh (Chong Yen Cie). 13 Hal ini merupakan tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari leluhur etnis Tionghoa dan dilakukan oleh semua kalangan etnis Tionghoa yang ada di Kota Padang. Pada masa pemerintahan Soekarno etnis Tionghoa diberikan kebebasan untuk bergerak di bidang politik. Hal ini dilihat dari munculnya etnis Tionghoa yang 11 Yayasan Kelenteng See Hin Kiong, “ Sejarah Kelenteng See Hin Kiong”, dikutip dari seehinkiong.com/#sejarah pada tanggal 15 Maret 2018 pukul 15.52 WIB Antonius Taufik, “Kelenteng See Hin Kiong – Padang,” dikutip dari Kelenteng.com/Kelenteng-seehien-kiong-padang/ pada tanggal 30 Desember 2017 pukul 01.36 WIB 12 13 Sembahyang tutup tahun (Imlek), dilaksanakan satu hari sebelum hari raya imlek. Dimulai pukul 11.00 WIB samai pukul 01.00 WIB, hal ini di anggap sebagai permulaan dari pergerakan waktu yaitu pada tanggal 30 bulan 12 imlek. Sembahyang ini diadakan untuk menghormati dan memuliakan leluhur dan bertujuan untuk memberi tahu kepada leluhur bahwa tahun yang baru akan segera datang, serta meminta perlindungan, keselamatan, kemakmuran, ditahun yang baru. Selanjutnya sembahyang bulan tiga (ceng beng), ceng beng berarti terang, yang dipercaya oleh orang Tionghoa Padang sebagai tahun malaikat. pada hari itu orang Tionghoa Padang berziarah ke makam, berdoa dan sembahyang sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing. Kemudian, sembahyang bulan tujuh (Chong Yen Cie), sembahyang bulan tujuh dilakukan pada bulan ke 7 tanggal 15 dalam penanggalan Tiongkok. Pada sembahyang bulan tujuh roh-roh dan arwah-arwah dipercaya diberi kebebasan selama satu bulan penuh ke bumi. Masyarakat Tionghoa Padang yang menganut kepercayaan tradisional menyelenggarakan sembahyang untuk menyajikan sajian bagi roh-roh dan arwah tersebut. Setelah sembahyang apa yang disajikan bihsa direbut atau dibagikan pada yang membutuhkan.Syamsi Kosasi, Wawancara. Wakil Yayasan Kelenteng See Hin Kiong. Pada Tanggal 06 Agustus 2018. Lihat Juga Riniwaty Makmur. Orang Padang Tionghoa: Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang. (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2018). Hlm. 175. 80 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU memiliki jabatan sebagai menteri pada masa itu, salah satunya adalah Lie Kiat Teng yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan. membolehkan etnis Tionghoa mengekspresikan Pemerintah Soekarno juga kebudayaan mereka serta menjalankan agama dan keyakinan mereka. Selain itu, pada masa Soekarno pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP No.10/1959 yang isinya melarang etnis Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Insiden ini terjadi karena interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya tidak terjalin dengan baik. Hal lain yang menjadi masalah utama munculnya peraturan tersebut adalah karena kesenjangan perekonomian yang terlihat jelas antara pedagang Tionghoa dibandingkan dengan pedagang yang berasal dari etnis lain. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-desa. Sebagai tandingan dalam persaingan usaha perdagangan antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya, pemerintahan memperkenalkan program Benteng agar mampu mengimbangi para pedagang Tionghoa. 14 Akibat dari kebijakan ini, etnis Tionghoa terpaksa meninggalkan pemukiman mereka yang telah terbentuk di pedesaan-pedesaan. Sepanjang tahun 1959 hingga 1960, himbauan pengusiran terhadap etnis Tionghoa didukung oleh pihak TNI AD. 136.000 orang Tionghoa angkat kaki dari Indonesia menuju negara lain, sedangkan 100.000 di antaranya kembali ke Tiongkok.15 Pengusiran terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di desa-desa dampaknya di Padang tidak terlalu terlihat karena Padang merupakan suatu daerah perkotaaan dan merupakan daerah rantaunya orang Minangkabau. Maka peraturan tentang perekonomian yang dikeluarkan pemerintah Soekarno yang melibatkan orang Tionghoa di Padang tidak terlalu berpengaruh. Masa peralihan kekuasaan berpindah ke tangan Soeharto setelah terjadinya peristiwa G30S. Etnis Tionghoa yang dilabeli sebagai komunis yang dianggap menjadi dalang dalam peristiwa tersebut akhirnya 14 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 2009). Hlm 312. 15 J.A.C.Mackie. Anti Chinese Outbreak in Indonesia 1959-1968, dalam The Chinese in Indonesia: Five Essays. (Melbourne: Thomas Nelson, 1976). Hlm 82. 81 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU kembali mendapat perlakuan secara khusus. perlakuan khusus tersebut juga berdampak terhadap Klenteng See Hin Kiong di Padang. Pada tahun 1962 Kelenteng See Hin Kiong kedatangan Bhikkhu Yang Arya Ashin Jinarakhita yang sekarang dikenal dengan Yang Arya Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera (Ketua Shangha Agung Indonesia) yang merupakan tokoh dan pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia, atas kedatanganya Bhikkhu Yang Arya Ashin Jinarakhita mengubah fungsi Kelenteng See Hin Kiong menjadi tempat pengembangan ajaran Budha Darma, akan tetapi tidak menutup ruang bagi penganut Taoisme dan Konghucu untuk menjalankan ritualnya di Kelenteng See Hin Kiong. Atas kedatangan Bhikkhu Yang Arya Bhikkhu Ashin Jinarakhita ini lah yang melatar belakangi berdirinya Vihara agama budha di Jalan Kelenteng I/3 Padang yang sekarang kita kenal dengan nama Vihara Buddha Warman yang berarti Cahaya/ Sinar Buddha. Selain sebagai tempat ibadah, kelenteng pada masa Soekarno juga berfungsi sebagai tempat kegiatan sosial dan berkumpulnya etnis Tionghoa. Kelenteng sebagai wadah untuk mendekatkan dan menjaga serta mempererat tari persaudaraan antar etnis Tionghoa terutama penganut Tridharma. Kegiatan sosial dan pengembangan kebudayaan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa biasanya digelar pada hari-hari besar tertentu, seperti tahun baru Imlek dan hari ulang tahun Kelenteng. Kelenteng dijadikan sebagai tempat berkumpul kelompok kesenian tarian Naga-Singa atau Liong Samsi yang biasa disebut tarian Barongsai. 16 Yang berkumpul di kelenteng tidak hanya kelompok muda-mudi dari kalangan etnis Tionghoa tetapi juga dari kalangan etnis lainnya, termasuk dari etnis Minangkabau. Di saat acara arak-arakan Cap Go Meh masing-masing marga juga mengunjungi kelenteng sebagai wujud penghormatan, mulai saat mengawali upacara sampai ke penutupan. Arak-arakan Toapekong atau Kio akan melakukan penghormatan kepada dewa dan dewi yang ada di kelenteng sebelum di arak berkeliling kampung Tionghoa.17 M Herwiratno, “Kelenteng: Benteng terakhir dan titik awal perkembangn Kebudayaa Tionghoa di Indonesia, Jurnal: Lingua Cultura Vol.1 No. 1Mei 2007. Hlm 82. 16 17 Kio merupakan dewa-dewi yang terdapat dimasing-masing rumah marga Tionghoa yang ada dipadang. 82 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU Selain itu, Kelenteng See Hin Kiong juga diyakini dapat memberikan kesembuhan bagi masyarakat yang mempercayai pengobatan tradisional Tionghoa. Bahkan tetesan air yang berasal dari mulut naga bagian atap Kelenteng See Hin Kiong diyakini mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti kanker dan berbagai macam penyakit lainnya. Dari hasil wawancara Penulis kepada pak Gani yang berumur 78 tahun, beliau mengatakan: “untuk obat ada saya tanam, untuk orang sakit kanker ada saya tanam, orang bisu-bisu itu batangnya disana, tumbuhannya direbus lalu diminum airnya, tapi ga ada orang datang kepada saya, kalau mau datang sama saya, datang, kalo bisa saya obat dan saya tidak mengharapkan uang, saya mencari amal” 18 Menurut Syamsi Kosasi sebagai wakil pengurus Kelenteng See Hin Kiong mengatakan: “dulu ada orang minta doa karena sakit, dia udah ke dokter ga mempan juga, hingga dia berdoa di kelenteng kemudian dia siapkan sesajian, kemudian ada kertas hu namanya (Jimat) nanti diambil kan sudah didoa, lalu dibakar diminum airnya, sejak dulu sampai sekarang masih kita sediakan kertas itu” 19 Kelenteng See Hin Kiong kemudian juga berfungsi sebagai tempat melapor jika ada keluarga dari etnis Tionghoa yang meninggal. Setelah keluarga melaporkan ada yang meninggal kepada kongsi maka kongsi kemudian akan memberikan surat pengantar pengurusan untuk mendapatkan lahan perkuburan di TPU kepada kelenteng. Setelah menerima laporan tersebut kemudian kelenteng akan membuatkan surat pengantar kepada pemerintah Kota Padang. Kelenteng See Hin Kiong berfungsi sebagai media yang menghubungkan etnis Tionghoa yang membutuhkan lahan pemakaman dengan pemerintah Kota Padang.20 Di Kelenteng See Hin Kiong juga terdapat ritual yang di kenal Ramalan Tjiamsie yaitu sebuah ritual yang dilakukan untuk meramal nasib seseorang dengan menggunakan dua balok kayu dan kertas-kertas syair untuk mengetahui peruntungan nasib seseorang. Ramalan Tjiamsie befungsi sebagai tempat mencari 18 Ghan Se Pioe, Wawancara. Masyarakat Tionghoa Kota Padang juga penjaga rumah abu. Pada Tanggal 31 Juli 2018. 19 Syamsi Kosasi, Wawancara. Wakil Yayasan Kelenteng See Hin Kiong. Pada Tanggal 06 Agustus 20 Syamsi Kosasi, Ibid 2018. 83 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU jawaban di saat etnis Tionghoa sedang bingung atau ragu untuk mengambil sebuah keputusan yang penting, baik berhubungan dengan urusan bisnis, maupun urusan jodoh. Ramalan pekerjaan Tjiamsie dipimpin langsung oleh pengurus kelenteng bagian kebudayaan. Tata cara Tjiamsie diawali dengan berdoa sebagai bentuk persetujuan dari dewa, kemudian diambil 28 batang bambu kecil berukuran 10 cm yang berbentuk sumpit, setiap bambu memiliki nomor yang telah disesuaikan. kemudian orang Tionghoa menyebutkan nama dan usianya dalam hati sembari mengambil satu batang bambu, setelah itu dicocokkan dengan 28 kertas dalam ramalan Tjiamsie. Kertas-kertas syair berisi syair dan ramalan berupa peruntungan karier, jodoh, rezeki, dan kehidupan rumah tangga.21 Perubahan besar terjadi setelah peristiwa gerakan 30 September 1965 yang memposisikan etnis Tionghoa sebagai bagian dari komunis. Identifikasi ini berdampak terhadap posisi etnis Tionghoa dalam politik Indonesia. Etnis Tionghoa kemudian berada di dalam kontrol politik negara yang tidak memihak, di antaranya adalah deskriminasi dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa. 22 Dikeluarkannya kebijakan tersebut melarang segala aktifitas berbau Tionghoa di depan umum. Akibatnya, budaya Tionghoa hanya untuk orang-orang Tionghoa saja dan dilakukan secara tertutup dan sederhana. Adapun ketentuan-ketentuan pokok yang terkandung dalam Inpres no.14 tahun 1967 yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain: 1. Tanpa mengurai jaminan keleluasaan memeluk agama dan menuaikan ibadatnya, tata cara ibadat Tiongkok yang memiliki aspek aftinitas cultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. 21 Sebagian warga Tionghoa masih menganggap ramalan ini dapat menuntun mereka untuk menjalani hidup dan menghapus nasib buruk paling tidak dapat menguranginya. Tjiamsie dimanfaatkan juga untuk memulai dalam mengembangkan bisnis dan meningkatkan karier serta menapak masa depan yang lebih indah disaat peruntungan sangat baik. Edy Yusuf, Wawancara. Mantan ketua Kelenteng See Hin Kiong periode 20042012. Pada Tanggal 11 Agustus 2018. Lihat juga Ika Ningtyas. “Aktivitas Sosial dan Budaya Etnis Tionghoa di Kelenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi 1967-2010”. Tesis Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret. Hlm 16. 22 Erniwati, Op Cit, 2016. Hlm 192. 84 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU 2. Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Tiongkok dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. 3. Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksaan cara-cara beribadat agama, kepercayaan dan adat-istiadat Tiongkok diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung. 4. Pengamanan dan penerbitan terhadap pelaksaan kebijakan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri bersama Jaksa Agung. Instruksi mulai berlaku pada hari ditatapkan 6 Desember 1967. Semenjak dikeluarkannya Inpres No.14/1967 pada tanggal 6 Desember 1967, perayaan Imlek etnis Tionghoa di kota Padang masih bisa dilaksanakan. Hanya saja secara sangat sederhana sehingga imlek sangat sepi dan hanya dalam lingkungan keluarga saja. Perayaan hanya dilaksanakan di dalam gedung perhimpunan atau di rumah marga. Selain itu etnis Tionghoa juga mengunjungi kelenteng untuk melakukan upacara sembahyang. Tetapi apabila rumah mereka memiliki altar, maka sembahyang juga dapat dilakukan di rumah masing-masing. Pada waktu itu kelenteng hanya dihias sederhana bahkan tidak dibolehkan menggunakan pernakpernik yang terlalu mencolok.23 Pernak-pernik seperti Tenglong (Lampion) hanya boleh dipasang didalam rumah. Samseng 24 tidak lagi disajikan. Hal yang selalu dilakukan oleh etnis Tionghoa Padang adalah melakukan sembahyang di pagi hari kemudian berkumpul dengan keluarga di rumah keluarga yang paling tertua untuk makan bersama, selanjutnya membagikan Ang pau.25 Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada pak Gani yang berumur 78 tahun, beliau mengatakan: “ Keadaan Kelenteng waktu itu aman, cuman perayaan tidak ada, kelenteng sepi, tapi tetap ada orang sembahyang tapi untuk perayaan 23 Charles A. Coppel. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. (Jakarta: Sinar Harapan, 1993). Hlm. 207. 24 Samseng adalah makanan yang berasal dari tiga bahan yaitu darat, laut dan udara. Hewan darat diwakili oleh babi yang melambangkan kemakmuran. Hewan dari laut diwakili oleh ikan yang melambangkan anugerah agar rezeki terus melimpah, dan ayam mewakili hewan udara yang memaknai manusia tidak boleh sombong. Eddy Sadeli, Subangsih suku Tionghoa untuk Tanah air Indonesia. (Jakarta: lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat Tionghoa di Indonesia, 2009) hlm. 11. 25 Ang pau berasal dari lafal dialek Hokkian yang artinya amplop merah berisikan uang yang diberikan pada anak-anak atau orang yang belum menikah pada Tahun Baru Imlek. 85 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU sembahyang tinggi tu tidak ada lagi, acara Imlek hanya dalam gedung (Kelenteng) ini saja dan rumah masing-masing”. 26 Menurut Syamsi Kosasi sebagai wakil pengurus Kelenteng See Hin Kiong, Ia mengatakan: “ Kelenteng waktu itu biasa-biasa saja ya gak ada apa-apa, orang tetap ritual ya tetap ritual, ga ada terganggu, cuman yang dilarangkan berbaur kebudayaannya seperti barongsai, acara perayaan dulu ga ada, takut juga, dulu kami ga sampai fikiran kesana, udah dilarang ya udah, paling intern pribadi aja dulu, atau di kelenteng ini kumpul-kumpul begitu aja, takut nanti salah kaprah karena dilarang kok dibikin juga kan gitu, karena kita antisipasi jangan sampai terjadi kurang bagus udah lah kita tahan diri aja”. 27 Pada tahun 1978 pemerintah Soeharto kembali menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah RI pada saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Akibatnya, penganut agama Konghucu dan Tao banyak yang pindah ke agama Buddha, Kristen Katolik, Kristen Protestan, bahkan Islam. Akibatnya kelenteng menjadi sepi dan hanya untuk tempat ibadah orang-orang yang beragama Buddha dan secara diam-diam menganut Konghucu meskipun di dalam Kartu Tanda Pengenal (KTP) menganut agama resmi negara. Dalam perkembangannya kemudian, penganut agama Buddha lama kelamaan juga meninggalkan Kelenteng See Hin Kiong setelah pendeta memindahkan tempat ibadah ke Cetiya Bodhi Jaya di Pulau Karam dan ditingkatkan menjadi pusat pengembangan Budha Cetiya Budha Warman di Vihara Jalan Muara no. 34 Padang pada tahun 1989.28 Sementara itu fungsi kelenteng sebagai sarana sosial dan tempat berkumpul etnis Tionghoa Padang beralih fungsi kepada perkumpulan marga dan perkumpulan sosial, budaya dan pemakaman Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan Himpunan Tjinta Teman (HTT) serta Perkumpulan Sosial Katolik dan Pemakaman 26 Ghan Se Pioe, Wawancara. Masyarakat Tionghoa Kota Padang juga penjaga rumah abu. Pada Tanggal 31 Juli 2018. 27 Syamsi Kosasi, Wawancara. Wakil Yayasan Kelenteng See Hin Kiong. Pada Tanggal 06 Agustus 2018. 28 Pada tahun 1978 ajaran budha ditingkatkan kembali menjadi Maha Cetiya Buddha Warman dan tahuun 1980 menjadi Vihara Buddha Warman. Erniwati. 140 Tahun Heng Beng Tong: Sejarah Perkumpulan Tionghoa 1876-2016. (Depok: Penerbit Komunitas Bambu. 2016). Hlm 195. 86 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU (PSKP) Santa Yusuf. Akibatnya Kelenteng See Hin Kiong hanya berfungsi sebagai tempat sembahyang kepada leluhur saja.29 D. KESIMPULAN Perubahan politik negara ikut mempengaruhi terjadinya perubahan fungsi terhadap tempat ibadah terutama bagi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia. Pembatasan pelaksanaan budaya dan agama tradisional etnis Tionghoa ikut memengaruhi terjadinya perubahan fungsi Kelenteng See Hin Kiong yang semula menjadi sentral kegiatan etnis Tionghoa Padang dari seluruh aspek kehidupan. Kelenteng yang awalnya sebagai tempat kegiatan sosial, pengembangan kebudayaan, ritual keagamaan, dan pemakaman bagi etnis Tionghoa yang memeluk ajaran Tridharma mengalami perubahan fungsi sehingga kelenteng hanya sebagai tempat melakukan ritual upacara sembahyang nenek moyang dan media bagi etnis Tionghoa untuk mengurus lahan perkuburan bagi keluarga yang telah meninggal sebelum ke Pemerintah Kota Padang. DAFTAR RUJUKAN Antonius Taufik. “Kelenteng See Hin Kiong – Padang,” diakses tanggal 30 Desember 2017 dari Kelenteng.com/Kelenteng-see-hien-kiong-padang/. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. (2018). Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang. Padang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Batu Peringatan dari bangsa Hokkian, Tjiang dan Tjoan Tjioe tinggal di padang: membaharui Se Hin Kiong. Padang 1 November 1905. Benny G. Setiono. (2008). Tionghoa dalam Pasaran Politik. Jakarta: Trans Media. Coppel, Charles A. (1993). Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Sinar Harapan. 29 Erniwati. Ibid 87 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018 KELENTENG SEE HIN KIONG: PERUBAHAN FUNGSI PADA MASA ORDE BARU Eddy Sadeli. (2009). Subangsih suku Tionghoa untuk Tanah air Indonesia. Jakarta: lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat Tionghoa di Indonesia. Erniwati. (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Erniwati. (2016). 140 Tahun Heng Beng Tong: Sejarah Perkumpulan Tionghoa 1876-2016. Depok: Penerbit Komunitas Bambu. Ghan Se Pioe, Wawancara. Masyarakat Tionghoa Kota Padang juga penjaga rumah abu. Pada Tanggal 31 Juli 2018. Hilman Hadikusuma. (1993). Antropologi Agama: Pendekatan Budaya Terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Konghucu, di Indonesia Bagian I. Bandung: Citra Aditya Bakti. J.A.C.Mackie. (1976). Anti Chinese Outbreak in Indonesia 1959-1968, dalam The Chinese in Indonesia: Five Essays. Melbourne: Thomas Nelson. Justian Suhandinata. (2009). WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia. M Herwiratno. (2007). Kelenteng: Benteng terakhir dan titik awal perkembangn Kebudayaa Tionghoa di Indonesia, Jurnal: Lingua Cultura, 1(1), 82. Riniwaty Makmur. (2018). Orang Padang Tionghoa: Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Syamsi Kosasi. Wawancara. Wakil Yayasan Kelenteng See Hin Kiong. Pada Tanggal 06 Agustus 2018. Yayasan Kelenteng See Hin Kiong, “ Sejarah Kelenteng See Hin Kiong”, diakses tanggal 15 Maret 2018 dari seehinkiong.com/#sejarah 88 Diakronika Edisi Khusus Tahun 2018