BAB I LAPORAN KASUS Status Pasien A. Anamnesis (tanggal 16 September 2015) Identitas 1. Nama : Tn. S 2. Jenis Kelamin : Laki-laki 3. Umur : 75 tahun 4. Alamat : Karangsono RT 2 RW 1 Barat, Magetan 5. Pekerjaan : Wiraswasta (penjaga warung) 6. Agama : Islam Medical record 1. No Reg RS : 6645526 2. Tanggal pemeriksaan : 16 September 2015 3. Ruang rawat : Bangsal Wijayakusuma A (H+1) (sebelumnya di ICCU selama 3 hari) 4. MRS tanggal : 13 September 2015 Keluhan Utama: Sesak nafas dan batuk Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke IRD RSUD dr. Soedono pada tanggal 13 September 2015 pukul 23.10 dengan keluhan sesak nafas dan batuk berdahak sejak 2 hari terakhir. Batuk berdahak warna putih tanpa disertai darah. Pasien tidak mengeluhkan demam sebelumnya. Sesak nafas pada pasien dirasakan terus menerus baik saat aktivitas dan saat istirahat. Untuk mengurangi keluhan sesaknya, pasien istirahat dengan duduk dan berbaring dengan bantal dobel. Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas dan nyeri perut sejak keluhan sesak nafas dan batuk memberat 2 hari terakhir. Pasien juga merasakan telapak kaki kiri terasa panas. 1 Anamnesis Sistem: 1. Cerebrovaskuler : Demam (-), pusing (+) 2. Kardiovaskuler : Berdebar-debar (-), nyeri dada (-) 3. Respirasi : Batuk (+), pilek (-) 4. Digesti : Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (+) nyeri menelan (-), BAB (belum BAB 3 hari) 5. Urogenital : BAK kuning warna teh (-), nyeri saat BAK (-) 6. Integumentum : Kuning (-), gatal (-) 7. Muskuloskeletal : Pegal-pegal (+), telapak kaki kiri terasa panas Riwayat Penyakit Dahulu: 1. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung sejak 2 tahun yang lalu 2. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu 3. Pasien memiliki riwayat sering batuk 1 bulan terakhir 4. Pasien menyangkal mempunyai riwayat penyakit DM 5. Pasien menyangkal mempunyai riwayat penyakit maag dan asma Riwayat Penyakit Keluarga: 1. Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan serupa disangkal Riwayat Kebiasaan : 1. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak 50 tahun yang lalu. Setiap harinya pasien menghabiskan minimal 1 bungkus rokok. 2. Pasien memiliki kebiasaan makan yang tidak baik, pola makan tidak teratur. Pasien sering mengkonsumsi minuman kopi. B. Pemeriksaan Fisik (tanggal 16 September 2015) Keadaan Umum Keadaan sakit : Tampak sakit sedang-berat Kesadaran : Compos mentis Keadaan gizi : BB 60 kg; TB 155 cm 2 Dehidrasi :- Vital Sign Tekanan darah : 120/60 mmHg Pulse Rate : 98 x/menit Pernafasan : 21 x/menit Temperatur : 36,5 º C Pemeriksaan Organ 1. Kepala Konjungtiva anemis (-)/(-) Sklera ikterik (-)/(-) Sianosis (-) Dipsneu (-) 2. Leher Inspeksi : Tidak terlihat massa atau benjolan Palpasi : Tidak teraba massa atau benjolan Pemeriksaan trakea tidak terdapat deviasi trakea Pemeriksaan kelenjar tiroid tidak terdapat pembesaran Pemeriksaan tekanan vena sentral : JVP 5+3 3. Pemeriksaan thorax Pulmo a. Inspeksi : Statis dinamis simetris kanan-kiri b. Palpasi : Stem fremitus menurun kedua lapang paru 1/3 basal c. Perkusi : Redup pada kedua lapang paru 1/3 basal d. Auskultasi : Wheezing (+) Ronkhi kedua lapang paru 1/3 basal Suara vesikuler menurun pada pada ke dua lapang paru 1/3 basal paru Jantung a. Inspeksi : Iktus tampak pada SIC VI 2 cm sebelah lateral linea mid clavicula sinistra 3 b. Palpasi : Iktus tampak pada sic VI 2 cm sebelah lateral linea mid clavicula sinistra, kuat angkat (+), thrill (-) c. d. Perkusi : Atas : SIC II linea para sternalis sinistra Kiri : SIC VI linea mid clavicialris sinistra Kanan : SIC V linea para sternal dekstra Apeks : SIC VI, 2 cm sebelah lateral linea mid clavicula sinistra Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) 4. Pemeriksaan abdomen : a. Inspeksi : Cembung, collateral vein (-), caput medusa (-) b. Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan abdomen (+) c. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen d. Auskultasi : Terdengar bunyi bising usus normal e. Pemeriksaan ketok ginjal : Tidak terdapat nyeri ketok ginjal kanan kiri f. Pemeriksaan hepar : Perabaan hepar dalam batas normal g. Pemeriksaan lien : Perabaan lien dalam batas normal h. Pemeriksaan asites : Shiffting dullnes (-), tes undulasi (-) 5. Pemeriksaan Ektremitas: Piting edema pada kedua tungkai (-), akral hangat C. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (tanggal 13 September 2015) 1. Hb : 12,8 g/dl* 2. Hematokrit : 39,8 %/* 3. Leukosit : 10,9 10e3/uL 4. Trombosit : 356 ribu/uL 5. Eritrosit : 4,80 juta/uL 4 6. MCV : 83,0 fL 7. MCH : 26,7 pg* 8. MCHC : 32,2 %* 9. Kreatinin : 1,86 mg/dL* 10. Ureum : 39 mg/dL 11. AST (SGOT) : 34 U/L 37’C 12. ALT (SGPT) : 44 U/L 37’C* 13. GDS : 118 mg/dL 14. Natrium : 141 mmol/L 15. Kalium : 4,8 mmol/L* 16. Chlorida : 98 mmol/L Laboratorium (tanggal 14 September 2015) 1. Protein total : 6,66 g/dL* 2. Albumin : 3,45 g/dL* 3. Globulin : 3,21 g/dL 4. Kolesterol total : 225 mg/dL* 5. Kolesterol HDL : 62,3 mg/dL* 6. Kolesterol LDL : 145,58 mg/dL 7. Trigliserida : 87 mg/dL 8. BUN : 31,7 mg/dL* 9. Kreatinin : 1,93 mg/dL* 10. Asam urat : 12,00 mg/dL* 11. GDP : 98 mg/dL 12. GD2JPP : 117 mg/dL Foto Rontgen Thorax (tanggal 14 September 2015) Cor : melebar Pulmo : normal Kesimpulan : mild cardiomegali (membaik dibanding dengan foto sebelumnya) 5 D. Asessment Diagnosis Kerja 1. CHF grade IV 2. PJK OMI anterior-inferior 3. Hiperkolesterolemia 4. Azotemia pre-renal 5. Hiperuresemia Diagnosis Banding 1. Efusi Pleura 2. PPOK 3. Asma bronkial 4. Gagal ginjal kronik E. Penatalaksanaan: 1. Non farmakologi a. O2 nasal 3-4 liter per menit b. Istirahat tirah baring 2. Farmakologi a. Infus Pz 12 tpm b. Inj Furosemide 1-0-0 c. Tab Furosemide 1x1 d. Tab Spironolacton 100 mg ½-0-0 e. Tab Angioten 0-0-1 f. Tab Fasorbid 5 mg 2x1 g. Tab Digoxin 0,25 mg 1-0-0 h. Tab CPG 75 mg 0-1-0 i. Tab Diazepam 2 mg 0-1-1 j. Tab Allupurinol 300 mg 0-0-1 k. Tab Ambroxol 3x1 l. Tab Codein 3x1 m. Tab Cholvastin 200 mg 0-0-1 6 n. Inj Cefotaxim 3x1 (diberikan selama 3 hari) 3. Monitoring : a. Produksi urin b. Vital sign, keluhan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) / GAGAL JANTUNG A. Definisi Gagal Jantung Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks yang disebabkan karena ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara adekuat, hal ini terjadi akibat adanya gangguan struktural dan fungsional jantung. Pasien dengan gagal jantung harus memenuhi kriteria diagnosis sebagai berikut: 1. Gejala-gejala dari gagal jantung berupa sesak nafas yang spesifik pada saat istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga. 2. Tanda-tanda dari gagal jantung berupa retensi air seperti kongesti paru dan edema tungkai. 3. Tanda objektif ditemukannya abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung. (Sudoyo, 2009) B. Epidemiologi Menurut Yancy et al. (2013) risiko kelangsungan hidup pasien gagal jantung sebesar 20% pada orang amerika 40 tahun. Di Amerika Serikat, insidensi gagal jantung meningkat mencapai >650.000 kasus baru. Gagal jantung meningkat sesuai usia, meningkat rata-rata 20% per 1000 pada usia 65-69 tahun dan sebanyak >80% per 1000 pada usia 85tahun. Rata-rata laju kematian akibat gagal jantung sebesar 50% dalam 5 tahun setelah didiagnosis. C. Klasifikasi Gagal Jantung Prabowo & Priyatini (2010) mengklasifikasikan gagal jantung berdasarkan jenisnya sebagai berikut: 8 1. Forward dan backword failure Manifestasi gagal jantung timbul akibat berkurangnya aliran darah ke sistem arterial, sehingga terjadi pengurangan perfusi pada organ-organ yang vital dengan segala akibatnya. Jika hal ini terjadi pada jantung kanan, darah yang akan dipompa ke paru-paru terganggu karena terjadi emboli paru, sehingga dapat mengakibatkan kematian mendadak. Sedangkan jika pada jantung kiri misalnya disebabkan oleh hipertensi esenssial, yang mana hipertensi esenssial bersifat sistemik, maka aliran darah yang dipompa ke seluruh tubuh mendapatkan beban tahanan akibat resistensi pembuluh darah besar, sehingga ventrikel memompa terus-menerus dan dapat menjadi hipertrofi. Hipotesis backword failure yaitu apabila ventrikel gagal untuk memompakan darah, maka darah akan terbendung dan tekanan di atrium serta vena-vena dibelakangnya akan naik. Gejala yang timbul pada backword failure antara lain: a. Dyspneu: sering tetapi non spesifik, awalnya terjadi saat exercise b. Orthopneu: sering dan cukup spesifik, terdapat pula pada penderita paru c. Paroxysmal Nocturnal Dyspneu: sering dan sangat spesifik d. Edem Paru: dekompensasi akut Gejala yang timbul pada forwad failure antara lain: a. Exertional Fatigue: sering tetapi non spesifik b. Kelemahan umum: sering tetapi non spesifik. 2. Gagal jantung sistolik dan diastolik Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan fisik, foto thorax, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan echodopler. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatigue, kemampuan aktifitas menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran 9 vena pulmonalis. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolic yaitu: gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif. 3. Gagal jantung high-output dan low-output Pada gagal jantung jenis ini menunjukkan bagaimana keadaan curah jantung (tinggi atau rendahnya) sebagai penyebab terjadinya manifestasi klinik gagal jantung. Curah jantung yang rendah pada penyakit apapun (bawaan, hipertensi, katup, koroner, kardiomiopati) dapat menimbulkan low-output failure. Sedangkan pada penyakit dengan curah jantung yang tinggi misalnya pada tirotoksikosis, beri-beri, pagets, anemia dan fistula arteri-vena, gagal jantung yang terjadi disebut high-output failure. 4. Gagal jantung akut dan kronik Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik (Manurung, 2006). Gagal jantung kronis didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang disertai keluhan berupa sesak, fatiq baik dalam keadaan istirahat maupun beraktifitas (Ghani, 2006). 5. Gagal jantung kiri dan kanan Gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan ventrikel, meningkatnya tekanan vena pulmonalis dan paru sehingga menyebabkan pasien sesak nafas dan terjadi ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi jika terjadi kelemahan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. 6. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan derajat keterbatasan fungsional New York Heart Association (NYHA) pertama kali membuat klasifikasi gagal jantung yang berdasarkan pada derajat keterbatasan fungsional. Pembagian 10 fungsional NYHA sering digunakan untuk menentukan progresifitas gagal jantung. Sistem ini membagi pasien atas 4 kelas fungsional yang bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I), gejala muncul pada aktifitas ringan (kelas II), gejala muncul pada saat aktifitas berat (kelas III) dan gejala muncul pada saat istirahat (kelas IV). Kelas fungsional pada penderita gagal jantung cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan ini dapat terjadi walaupun tanpa perubahan pengobatan dan tanpa perubahan pada fungsi ventrikel yang dapat diukur. ACC/AHA membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas gagal jantung atas 4 stadium yaitu stadium A adalah beresiko tinggi untuk menjadi gagal jantung tanpa ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium B adalah adanya disfungsi jantung tanpa gejala, stadium C adalah adanya disfungsi jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala yang berat dan refrakter terhadap terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada keberadaan faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, pengenalan progresifitasnya, dan strategi pengobatan pada upaya preventif. Penderita gagal jantung akan mengalami perjalanan penyakitnya dari stadium A ke D namun tidak dapat kembali lagi ke stadium A. D. Etiologi Gagal Jantung Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif adalah: 1. Penyakit Jantung Koroner Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif (Hellerman, 2003). Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal jantung kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (Doughty dan White, 2007) 2. Hipertensi Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008 didapatkan bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Studi 11 terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi faktor predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000). 3. Kardiomiopati Kardiomiopati merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital. Kardiomiopati terdiri dari beberapa jenis yaitu: Dilated kardiomiopati yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated kardiomiopati berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000). Hipertrophic kardiomiopati merupakan salah satu jenis kardiomiopati yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel (Scoote M., Purcell I.F., Wilson P.A., 2005). Jenis lain yaitu Restrictive and Obliterative kardiomiopati. Karakteristik jenis ini berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah amiloidosis, sarcoidosis, hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya (Scoote M., Purcell I.F., Wilson P.A., 2005). 4. Kelainan Katup Jantung Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi 12 ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000). 5. Aritmia Artial Fibrilasi Aritmia artial fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu adanya faktor lainnya seperti PJK atau hipertensi. Sebanyak 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Cowie et.al., 1998). 6. Alkohol dan Obat-obatan Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang menyebabkan dilated kardiomiopati. Didapati 2-3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine (Cowie, 2008). E. Patogenesis Gagal Jantung Gagal jantung kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti kardiomiopati. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan gejala asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri. Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya adalah: 1. Aktivasi Renin Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik 2. Peningkatan kontraksi miokardium Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi perangsangan 13 baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan arkus aorta yang kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat (Mann, 2008). Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang lebih lanjut (Mann, 2008). F. Diagnosis Gagal Jantung Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-doppler 1. Pemeriksaan Fisik a. Gejala dan tanda sesak nafas b. Edema paru c. Peningkatan JVP d. Hepatomegali e. Edema tungkai 2. Pemeriksaan Penunjang a. Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri. b. Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia. 14 c. Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat disinggirkan. d. Tes laboratorium darah lengkap direkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Adapun kriteria Framingham adalah sebagai berikut: 1. Kriteria Mayor: a. Paroksismal nocturnal dispneu b. Distensi vena leher c. Ronki paru d. Kardiomegali e. Edema paru akut f. Adanya gallop S3 g. Peninggian tekanan vena jugularis h. Refluks hepatojugular 2. Kriteria Minor: a. Edema ekstremitas b. Batuk malam hari c. Dispnea d’effort d. Hepatomegali e. Efusi pleura f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal g. Takikardia (>120 x/menit) h. Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan 15 G. Penatalaksanaan Gagal Jantung Manajemen gagal jantung ditujukan kepada tindakan untuk mengurangi beban kerja jantung dan manifestasi klinis selektif terhadap ketiga faktor yang mempengaruhi fungsi miokard, seperti beban preload, afterload dan kontraktilitas miokardium. Terapi gagal jantung menurut Nafrialdi dan Setiawati (2007) dibagi menjadi terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi nonfarmakologis gagal jantung berupa: 1. Diet Pasien dengan gagal jantung yang juga memiliki penyakit lain seperti diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberikan edukasi serta penanganan terhadap kelainan tersebut, asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 gram Na/hari atau <2 gram untuk derajat gagal jantung sedang-berat. Asupan cairan juga harus dibatasi sampai 1,5-2 liter/hari, yang harus diperhatikan juga urin outputnya. 2. Merokok, kebiasaan ini mutlak harus dihentikan. 3. Aktivitas fisik Olahraga teratur dan rutin serta santai seperti berjalan maupun bersepeda dianjurkan pada pasien dengan gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III). 4. Istirahat, sangat dianjurkan pada pasien dengan gagal jantung berat atau yang tidak stabil. 5. Bepergian, pada pasien dengan gagal jantung harus diedukasikan untuk menghindari tempat panas dan lembab. Manajemen gagal jantung sudah dapat dilakukan pada NYHA derajat II. Menurut Carleton dan O’Donnel (2007), prinsip tatalaksana pada gagal jantung adalah: 1. Pengurangan beban preload Beban preload yang terjadi pada gagal jantung adalah akibat meningkatnya retensi cairan dalam tubuh. Pembatasan asupan garam dalam makanan dapat membantu memperbaiki keadaan ini. Jika keadaan ini belum juga berhasil, maka dapat dilakukan pemberian obat-obat diuretika. Pemilihan obat diuretika dan penentuan dosis harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemberian diuretika dosis tinggi akan memicu hipoalbuminemia dan hiponatremia serta meningkatkan kemungkinan hipotensi bila diberikan bersamaan dengan golongan antihipertensi ACE inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker. Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut 16 yang selalu disertai kelebihan cairan. Pada gagal jantung seperti ini diberikan diuretik sampai terjadi diuresis yang cukup sehingga mempertahankan euvolemia pasien tesebut (Nafrialdi dan Setiawati, 2007). Menurut Manurung (2009), beberapa pilihan diuretika yang dapat diberikan secara intravena pada pasien dengan gagal jantung terdapat pada tabel berikut: Sifat Retensi Air Sedang Diuretika Dosis Harian Perhatian Furosemide 20-40 mg Pemberian Bumetanide 1,5-1 mg oral Torasemide 10-20 mg harus secara maupun i.v disesuaikan klinis pasien. Dosis dititrasi. Selama pemakaian obat ini, pantau Na, K, Cr dan tekanan darah Berat Furosemide 40-100 mg Pemberian infus Furosemide i.v 5-40 mg/jam lebih baik Bumetanide 1-4 mg dibandingkan bolus Torasemide 20-100 mg Refrakter terhadap Tambah HCT 50-100 mg diuretika Kombinasi lebih baik dibandig loop Atau Metolazone 2,5-10 mg diuretika dosis tinggi. Atau spironolakton 25-50 mg Lebih poten pada CCT<30ml/menit Berikan pada terutama fungsi real yang baik, dan nilai kalium yang normal atau rendah. Pasien dengan Acetazolamide 0,5 mg i.v alkalosis 17 Refrakter diuretika Penambahan dan HCT dopamine atau dobutamine Selain mekanisme retensi cairan yang dikontrol, cara lain untuk mengatasi bebas preload adalah dengan melebarkan pembuluh darah melalui redistribusi darah dari sentral ke perifer. Pemberian obat-obat vasodilator dapat membantu tercapainya tujuan pengobatan ini. Menurut Manurung (2009), pemberian vasodilator direkomendasikan pada derajat awal gagal jantung akut yang apabila tidak ditemukan adanya tanda-tanda hipotensi secara klinis, tekanan darah diastolik <90 mmHg atau penyakit valvular obstruktif yang serius. Pemberian vasodilator menurut Nafrialdi dan Setiawati (2007) dapat berupa nitrogliserin intravena, hidralazine-isosorbide dinitrate (ISDN), nitropusside intravena dan nesitiride intravena. Pemberian iv nitrat atau nitropusside direkomendasikan bila tekanan darah sistolik >110 mmHg dan pemberiannya harus lebih hati-hati pada tekanan darah sistolik antara 90-11- mmHg (Manurung, 2009). Pemberian obat golongan ini dimaksudkan untuk mengatasi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume atau meningkatkan oksigen pada miokardium, terutama pasien dengan sindrom koroner akut. Menurut Nafrialdi dan Setiawati (2007), nitropusside merupakan prodrug dari nitrit oxide (NO), sehingga bersifat vasodilator kuat yang bekerja pada arteri maupun vena, sehingga efektif menurunkan preload maupun afterload jantung. Obat ini memiliki masa kerja yang cepat (2-5 menit) karena cepat dimetabolisme membentuk NO yang aktif. Obat ini biasa digunakan untuk mengatasi gagal jantung akut di IGD. 2. Pengurangan beban afterload Pada pasien gagal jantung, tubuh memiliki mekanisme respon kompensasi berupa aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin aldosteron. Respon ini justru memperberat kerja jantung karena pembuluh darah tubuh menjadi konstriksi dan meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel serta beban akhir. Obat-obat yang dapat membantu tercapainya tujuan tatalaksana ini adalah kelompok penghambat enzim konversi angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme ACE-I). 18 Menurut Nafrialdi dan Setiowati (2007), obat golongan ini bekerja dengan menghambat pengkonversian angiotensin I menjadi angitensin II. Obat ini juga menghambat degradasi bradikinin yang secara normal banyak bekerja lokal pada reseptor di sel endotel dan menyebabkan nitrit oxide (NO) dan prostasiklin (PG12). Efek samping utama pada penggunaan obat golongan ini adalah batuk kering, yang diduga terjadi pada jalur KKP (kalikrein-bradkinin-prostaglandin) yang melibatkan bradikinin, substansi P, prostaglandin, dan leukotrien. Efek samping utama pada penggunaan obat golongan ini adalah batuk kering yang diduga terjadi pada jalur KKP (kalikrein-bradkininprostaglandin) yang melibatkan bradikinin, substansi P, prostaglandin dan leukotrien. Ghanie (2009) telah merangkum jenis obat golongan ini beserta dosis penggunannya. Obat Dosis Initial Dosis Pemeliharaan Benazepril 2,5 mg 5-10 mg 2x per hari Captopril 6,25 mg (3x per hari) 25-50 mg 3x per hari Enalapril 2,5 mg per hari 10 mg 2x per hari Lisinopril 2,5 mg per hari 5-20 mg per hari Quinapril 2,5-5 mg per hari 5-10 mg per hari Ramipril 1,25-2,5 mg per hari 2,5-5 mg 2x per hari Cilazapril 0,5 mg per hari 1-2,5 mg per hari Fosinopril 10 mg per hari 20 mg per hari Trandolapril 1 mg per hari 4 mg per hari Sistem renin angiotensin juga dapat diatur dengan obat-obatan golongan β-blocker. Obat golongan ini, menurut Nafiraldi dan Setiowati (2007) dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung kronik. Obat ini bekerja terutama dengan hambatan respon negatif dari aktivasi simpatis serta berefek jauh lebi menguntungkan disbanding intropik negatif. 19 Golongan Beta bloker Dosis awal Peningkatan dosis Dosis maksimal (mg/hari) Bisoprolol 1,25 mg 2,5 ; 3,75 ; 5 ; 7,5 ; 10 mg 10 mg Metoprolol suksinat CR 5 mg 10 ; 15 ; 30 ; 50 ; 150 mg 75, 100 mg Carvedilol 12,5 / 25 mg 25 ; 50 ; 100 ; 200 200 mg mg Nabivolol 3,125 mg 6,25 ; 12,5 ; 25 ; 50 50 G mg Obat golongan aldosterone antagonis (Antagonist Receptor Aldosteron; ARB) dapat diberikan secara kmbinasi dengan golongan penyekat enzim konversi angiotensin, penyekat beta, diuretic, pada gagal jantung derajat NYHA III-IV. Contoh obat golongan ini adalah spironolakton dan epierenon. Dalam penggunaan obat ini kadar kaliumnya harus 5 mmol/L dan kreatinin 2 – 2,5 mg/dL atau klirens kreatinin >30 ml/menit. Penggunaan obat ini dimulai dari dosis awal yang rendah. 3. Peningkatan kontraktilitas Obat inotropik digunakan pada pasien dengan gagal jantung karena dapat meningkatan kontratilitas miokardium. Obat golongan ini terdiri atas glikosida (digoksin) dan non-glikosida jantung (amin simpatomimetik dan penghambat fosfodierteerase seperti amrinon dan enoksimon). Digoksin merupakan obat golongan glikosida jantung yang memiliki efek inotropik positif, konotropik negatif, dan mengurangi aktivitas simpatis. Efek inotropik positif dihasilkan dari mekanisme meningkatnya persediaan kalsium intrasel untuk protein-protein kontraktil, aktin, dan miosin. Biasanya dosis yang digunakan adalah 0,125-0,25 perhari jika fungsi ginjal normal (pada lansia dosis yang digunakan 0,06250,125) dengan digoksin 0,25 mg per tablet. 20 BAB III DOKUMENTASI 21